You are on page 1of 18

Jurnal Walennae, Vol. 17, No.

1, Juni 2019 (19-36)


ISSN (p) 1411-0571; ISSN (e) 2580-121X
Website: http://walennae.kemdikbud.go.id
http://dx.doi.org/10.24832/wln.v17i1.365

MISTIFIKASI RITUAL SISTEM PERTANIAN TRADISIONAL


MASYARAKAT AJATAPPARENG, SULAWESI SELATAN

Ritual Mystification of Traditional Farming System


on Ajatappareng Community, South Sulawesi
Nani Somba1a, Syahruddin Mansyur1b, Muhammad Nur2
1
Balai Arkeologi Sulawesi Selatan
Jl. Pajjaiyang No. 13 Sudiang Raya Makassar, Indonesia
a
nani.somba@kemdikbud.go.id;
b
syahruddin.mansyur@kemdikbud.go.id
2
Departemen Arkeologi, Universitas Hasanuddin
Jl. Perintis Kemerdekaan, Km. 10, Makassar, Indonesia
mnur@unhas.ac.id

Naskah diterima: 20/03/2019; direvisi: 28/03-09/05/2019; disetujui: 10/06/2019


Publikasi ejurnal: 01/06/2019

Abstract
The Ajatappareng region is known as the most important rice producer in South Sulawesi. Historical
sources and archaeological evidence show that agricultural tradition in this region has been going on
for at least the 14th century. In that time span, the Ajatappareng community carried out an agricultural
system as a system of knowledge passed down from generation to generation. This study aims to obtain
a record of knowledge related to the traditional farming system of the Ajatappareng community. It used
etnographic method with data collection techniques through in-depth interviews and literature studies.
The data obtained illustrates the belief system in the traditional farming system of the Ajatappareng
community that has various stages and processes. This belief system is illustrated throught a series of
rituals that become an integral part of Ajatappareng community’s agricultural system. In the process,
this agricultural system has undergone various changes along with the development of knowledge. The
recording of knowledge about agricultural traditions, belief system and the changes that surround them
are important given the global trend that promotes sustainable food agriculture management.
Keyword: agricultural, system, ritual, traditional, Ajatappaerng.

Abstrak
Wilayah Ajatappareng dikenal sebagai penghasil beras paling utama di Sulawesi Selatan. Sumber-
sumber sejarah dan bukti-bukti arkeologi yang ada menunjukkan bahwa tradisi pertanian di wilayah ini
telah berlangsung setidaknya sejak abad ke-14. Sejak itu pula, masyarakat Ajatappareng menjalankan
sistem pertanian sebagai pengetahuan yang diwariskan secara turun temurun. Penelitian ini bertujuan
untuk menjelaskan pengetahuan terkait sistem kepercayaan dalam pertanian tradisional masyarakat
Ajatappareng. Penelitian menggunakan metode etnografi dengan teknik pengumpulan data melalui
wawancara mendalam dan diikuti studi literatur. Sistem pertanian tradisional masyarakat Ajatappareng
memiliki berbagai tahapan dan proses, pengetahuan masyarakat tidak hanya masalah teknis, tetapi juga
menyangkut sistem kepercayaan yang diwujudkan melalui rangkaian ritual. Sistem pertanian ini telah
mengalami berbagai perubahan seiring dengan perkembangan pengetahuan masyarakat. Rekaman
pengetahuan tentang tradisi pertanian, sistem kepercayaan, serta perubahan-perubahan yang
melingkupinya, menjadi penting mengingat tren global yang mengedepankan pengelolaan kawasan
pertanian pangan berkelanjutan
Kata Kunci: pertanian, sistem, ritual, tradisional, Ajattappareng.

Copyright ©Jurnal Walennae – Balai Arkeologi Sulawesi Selatan | 19


PENDAHULUAN Rappang. Sekarang, kelima kerajaan ini
Bugis merupakan etnik terbesar di berada di dua kabupaten, yaitu Kabupaten
Pulau Sulawesi (Pelras, 2006), mendiami 11 Sidenreng Rappang dan Kabupaten Pinrang.
Kabupaten di Sulawesi Selatan, yaitu Wilayah Ajatappareng sejak dulu
Kabupaten Pinrang, Parepare, Sidrap, Barru, dikenal sebagai penghasil beras di Sulawesi
Pangkep, Maros, Soppeng, Bone, Wajo, Selatan. Potensi pertanian itu pula yang
Sinjai, dan Bulukumba. Bugis menempati menjadi salah satu alasan bagi Kerajaan
daerah pesisir barat, dataran rendah, dataran Gowa menaklukkan wilayah Ajatappareng
tinggi dan pesisir timur Sulawesi Selatan. (Suppa, Sawitto, dan Sidenreng) pada abad
Sebagian besar masyarakatnya ke-16, diyakini dilatarbelakangi oleh upaya
mengembangkan kegiatan pertanian padi. Gowa menguasai sumber pangan wilayah
Beberapa ahli mengungkapkan bahwa tersebut (Latif, 2014, p. 11; Poelinggomang,
aktivitas pertanian telah berlangsung sejak 2002, p. 26). Demikian juga catatan Tome
abad ke-14 yang ditandai oleh penemuan Pires abad ke-16 mengungkapkan bahwa
bukti padi di Situs Allangkanange di Wajo pedagang-pedagang Bugis datang ke
dan Situs Tinco di Soppeng (Bulbeck & Malaka, Pahang, dan Siam membawa beras
Caldwell, 2008; Hasanuddin, 2015; dengan kualitas bagus sebagai salah satu
Macknight, 1983). komoditi dagang (Cortesao, 2015, p. 313).
Penduduk Bugis menempati wilayah Ajatappareng khususnya Suppa juga
geografis yang berbeda-beda, sehingga merupakan bandar niaga pada periode awal
terdapat kebiasaan dan tradisi bervariasi abad ke-16, utamanya setelah Malaka jatuh
antara setiap lokalitas orang Bugis, ke tangan Portugis tahun 1511 dan sebelum
meskipun sepintas lalu terkesan tidak terlalu kebangkitan Makassar sebagai bandar niaga
tampak. Ada beberapa kondisi yang pada pertengahan abad ke-16 (Latif, 2014, p.
melatarbelakangi munculnya perbedaan 10). Hingga abad ke-19, peran Ajatappareng
tradisi pertanian pada setiap lokalitas Bugis sebagai penghasil beras terus bertahan.
tersebut, seperti perbedaan geografis, curah Laporan Gubernur Celebes pada 7 April
hujan, angin, perbedaan musim dan potensi 1892, menyebutkan bahwa produksi beras di
hidrologi. Perbedaan tradisi pertanian pada Ajatappareng mengalami surplus sehingga
setiap lokalitas Bugis tersebut ditandai dua dapat dikirim untuk memenuhi permintaan
hal, yaitu tradisi menulis pada daun lontar di wilayah lain di Hindia Belanda (Morris,
atau kertas sejak abad ke-17, dan kuatnya 1982). Sumber-sumber historis yang ada
tradisi pertanian tersebut melekat pada setiap juga menunjukkan tradisi pertanian
lokalitas Bugis. Tradisi menulis naskah khususnya padi sawah telah berlangsung
dalam masyarakat Bugis berhasil lama dalam masyarakat di wilayah
mendokumentasikan peristiwa dan Ajatappareng.
pengetahuan masyarakatnya, termasuk Sistem pertanian bagi masyarakat
aspek-aspek yang terkait dengan pertanian dengan latar budaya agraris dipahami
pada masa lampau. sebagai cara atau teknik mengelola sumber-
Pada kesempatan ini akan membahas sumber alam untuk peningkatan
sistem pertanian tradisional masyarakat produktivitas hasil pertanian. Secara umum,
Bugis di wilayah barat Danau Tempe atau sistem pertanian dalam pengelolaan
biasa dikenal dengan sebutan Ajatappareng pertanian jenis padi sawah memiliki
(Druce, 2005; Latif, 2014; Pabitjara, 2006). kesamaan dengan tata cara yang dilakukan
Ajatappareng merupakan sebuah di beberapa daerah, meski tetap ada
persekutuan kerajaan yang terbentuk pada perbedaan-perbedaan yang menjadi
abad ke-18 yang beranggotakan: Kerajaan karakteristik sistem pertanian setempat.
Sawitto, Suppa, Sidenreng, Alitta, dan Sistem pertanian masyarakat di Indonesia

20 | Mistifikasi Ritual Sistem Pertanian……..Nani Somba, Syahruddin Mansyur, Muhammad Nur


berkembang dengan karakter masing- masyarakat Ajatappareng, c) transformasi
masing, meskipun beberapa di antaranya budaya pertanian, dan d) pudarnya ritual
tetap memiliki kesamaan-kesamaan pada pertanian.
aspek tertentu. Sistem pengetahuan
masyarakat terkait budaya agraris di METODE PENEITIAN
Nusantara masih ada yang tetap Penelitian ini bertujuan untuk
dipertahankan. Hal ini dapat dilihat pada menghasilkan gambaran tentang sistem
sistem subak atau pengelolaan air irigasi kepercayaan dalam pertanian tradisional dan
tradisional bagi masyarakat di Bali, serta perubahan-perubahan yang terjadi dalam
upacara-upacara tradisional yang terkait budaya pertanian masyarakat Ajatappareng.
dengan pertanian seperti mendak/mapag Penelitian ini menggunakan pendekatan
toya dan ritual niduhen bagi masyarakat kualitatif. Pemerolehan data-data dilakukan
tradisional yang ada di Bali, ritual rabu melalui studi pustaka untuk memperoleh
nehah bagi masyarakat Gampong Paloh referensi yang sesuai, observasi pada lokasi
Kayee Kunyet di Aceh, sistem pertanian arkeologis, kritik ekstern dan intern pada
masyarakat Saleman di Maluku dan data naskah serta wawancara terbuka dan
Tapanuli Utara yang tetap mempertahankan mendalam. Data-data kemudian
sistem tradisional untuk pemenuhan diidentifikasi dan dihubungkan antara satu
kebutuhan sehari-hari (Afandi, Arjani, & dengan lainnya untuk memperoleh
Kaler, 2017; Maulida, 2017; Nurung & gambaran secara holistik dan
Pratiwi, 2011; Purwanto, 2010; Sartini, memperbanyak pemahaman secara
2017). mendalam, serta menjelaskannya secara
Diskusi tentang sistem pertanian di kualitatif (Moleong, 2008, p. 31).
Indonesia, setidaknya dapat diuraikan antara
lain tentang; a) Sistem pertanian, mulai dari HASIL DAN PEMBAHASAN
aturan dan proses pengolahan sawah, proses 1. Sistem Kepercayaan dalam
penanaman padi, sistem pengairan sawah, Pertanian Tradisional Masyarakat
hingga sistem panen dan bagi hasil; b) Hak Ajatappareng.
kepemilikan lahan persawahan; serta c) Dalam mitologi Bugis, yang
Sistem kepercayaan dalam pertanian berkenaan dengan padi, peranan mitos Dewi
tradisional. Pada dasarnya, wawasan Sangiang Serri sangatlah penting. Terlebih
pengetahuan dan kebudayan pertanian etnik adanya kenyataan bahwa masyarakat Bugis
Bugis adalah bagian dari kekayaan hanya mengenal upacara adat pertanian
etnografis Indonesia. Penelitian mendalam untuk padi saja. Demikian pula bahwa teknik
tentang budaya pertanian Bugis pada pertanian tradisional masyarakat Bugis
lokalitas Ajatappareng, berdasarkan data selalu menempatkan petuah-petuah para
BPS tahun 2018 menunjukkan bahwa tetua dan ahli pertanian sebagai aturan yang
wilayah ini merupakan penghasil beras harus dijalankan. Oleh karena itu, siklus
tertinggi di Sulawesi Selatan (BPSP, 2018). yang baku pada pengolahan sawah selalu
Pembahasan artikel ini difokuskan pada ditandai dengan ritual-ritual tertentu secara
sistem kepercayaan dalam budaya pertanian teratur (Pelras, 2006, p. 276).
tradisional khususnya bagi masyarakat Sistem kepercayaan dalam pertanian
Ajatappareng. Oleh karena itu, pembahasan tradisional masyarakat Bugis juga mengenal
tentang fenomena budaya pertanian penentuan waktu yang baik. Pelras (2006),
masyarakat Ajatappareng dibagi menjadi a) menyebut bahwa naskah pertanian Bugis
sistem kepercayaan dalam pertanian yang disebut lontara pallaonrumang atau
tradisional masyarakat Ajatappareng, b) allaonrumangeng berisikan seluruh
mistifikasi ritual sistem pertanian tradisional khasanah pengetahuan pertanian yang

Jurnal Walennae, Vol. 17, No. 1, Juni 2019: Hal. 19-36 | 21


tersebut hanya berlaku lokal karena adanya
perbedaan musim hujan untuk masing-
masing daerah di Sulawesi Selatan (Pelras,
2006, p. 278).
Selanjutnya proses pengolahan
sawah dimulai dengan kegiatan pembukaan
lahan persawahan baru yang dikenal dengan
istilah makkabekka’ galung atau
ekstensifikasi pada masa lalu. Makkabekka’
adalah proses membuka lahan persawahan
dengan membabat belukar dan pohon-pohon
yang berada pada lahan tertentu. Sebelum
memulai mengolah atau menanam padi,
masyarakat biasanya tidak hanya
mengandalkan pada tata cara pengolahan,
tetapi juga sangat bergantung pada ritual
yang berhubungan dengan doa-doa, seperti
melakukan ritual mappalili. Pada dasarnya,
mappalili, atau maccera’ tana dipimpin oleh
sanro galung dengan membuat sesajen yang
Gambar 1. Lontara Kutika, jenis lontara yang
terdiri dari telur, daun waru (mparu), pinang
menjelaskan tentang penentuan hari baik,
koleksi pribadi milik Bapak Mahmud, Sawitto
(alosi), daun sirih (rekko ota), beras (berre’),
(atas). Lontara Kutika, koleksi pribadi milik Drs. kapur (puale) dan indo/datu ase. Sesajen ini
Andi Muhammad Saleh Pasanrangi (Petta Saleh), kemudian diletakkan di dalam walasaji pada
Sidenreng (bawah) (Sumber: Foto Repro sudut sawah, dimana saat itu pula
Dokumen Penelitian Balai Arkeologi Sulawesi dipotongkan seekor ayam sebagai paccera
Selatan, 2018). tanah dengan doa keselamatan untuk padi:
Nasalama na mappasalama kuduppai
berasal dari para nenek moyang (toriolo).
Naskah ini berisi pengamatan fenomena akkaresongengku, kualengngi olota
alam dan rasi bintang pada setiap musim baca doang salama natarima Puang
tanam, serta berbagai penjelasan mengenai Allahtaala (Wawancara: La Sewa, 58
segala sesuatu yang harus dilaksanakan pada tahun, petani, 24 Oktober 2018).
setiap periode yang didasarkan atas sistem
penanggalan matahari (gambar 1). Nama Setelah ritual mappalili dilakukan,
hari yang digunakan merujuk pada sistem maka dimulailah membajak sawah dengan
kalender Arab, sementara nama bulan menggunakan alat bajak (rakkala) yang
merujuk pada bahasa Portugis. Dalam sistem ditarik oleh dua ekor kerbau. Alat
penentuan waktu ini1, terdapat sembilan rasi pengolahan sawah yang lebih modern adalah
bintang yang memegang peran penting, traktor tangan atau biasa disebut dengan
yaitu: Tekko Soro; Worong-mporong; Wara- dompeng (dalam istilah lokal Bugis).
wara’; Tanra Tellu; Manu’; Watang-mpata; Proses selanjutnya adalah proses
Empang-e’ (empangnge) atau Bola penanaman padi yang juga sarat dengan
Keppang; Walu Janda; dan Lambaru rangkaian ritual-ritual. Sebelum menanam
(lambaru’). Namun, naskah penanggalan padi, biasanya terlebih dahulu menyiapkan
benih dari gabah atau padi yang sudah

1
Versi lain tentang pembagian waktu, lihat Manusia terhadap Lingkungannya: Daerah Sulawesi
Badaruddin, et. al., (1986), “Sistem Ekonomi Selatan”. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Tradisional sebagai Perwujudan Tanggapan Aktif Hal. 38-39.

22 | Mistifikasi Ritual Sistem Pertanian……..Nani Somba, Syahruddin Mansyur, Muhammad Nur


dipisahkan dari tangkainya (lengoreng), kebaikan bagi semua anggota masyarakat.
pemisahan gabah dari batangnya bisa Aturan ini dapat kita jumpai pada salah satu
dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan lontara La Towa yang menjelaskan tentang
ditumbuk di lesung atau diinjak-injak aturan-aturan dan pesan-pesan dari Nene’
(direse’). Sebelum di turunkan ke sawah, Mallomo’3 tentang mula-mula diterapkan
dilakukan perendaman benih selama dua aturan yang baik di Sidenreng mengenai
malam, kemudian diangkat untuk disimpan aturan bagi orang yang bekerja di sawah,
di atas rumah, biasanya ditempatkan di tiang seperti yang dijelaskan di dalam lontara
tengah rumah (possi bola), dan dikenal berikut:
dengan istilah mappatinro bine, biasanya “dari hal orang yang bekerja sawah,
disertai daun sirih (rekko’ ota) dan lampu apabila tiga bulan lagi, maka waktu
terbuat dari kemiri yang ditumbuk, orang bekerja sawah, duduklah engkau
kemudian dipilin menjadi sebuah lilin sekalian orang Sidenreng memutuskan
selama satu malam. Hingga dasawarsa 1960- sekalian perkara sawah, yang telah
an, bibit (bine) yang akan ditanam (termasuk dibicarakan dan janganlah terima
jenis ketan atau ase pulu’) masih mengambil orang yang baru datang mengadukan
dari berbagai varietas lokal2 sisa panen perkara sawahnya. Janganlah
sebelumnya. Masa pertumbuhan varietas bicarakan pada tahun itu, melainkan
tradisional berlangsung selama 110-150 kalau sudah memotong padi, barulah
malam (Pelras, 2006, p. 279). Setelah padi ini mulai membicarakan perkara
berusia sekitar sepuluh hari maka petani sawah, kalau dua bulan lagi waktunya
datang lagi mengunjungi padinya pada orang bekerja sawah, berkumpul
waktu sore (malam jumat) dengan membaca pulalah orang Sidenreng dan
doa: beritahukan kepada Arung Matowa,
“enreni kobolata tudangemmu, pura supaya janganlah ada membicarakan
paccingni bolata, pura ballani tappere perkara sawah. Orang yang
uddaningmu, muliwu manengngi mengerjakan sawah itu pada tahun
maggoro goroe tikkeng ase” yang lalu dialah mengerjakan sawah
(Wawancara: La Sewa, 58 tahun, itu tahun. Demikianlah juga pada
petani, 24 Oktober 2018). sekalian Lili’, dan kepada sekalian
negeri yang mengikut di Sidenreng
Begitu pula, apabila padi mulai berisi menyiarkan perintah yang disepakati
dewasa (anaddarani), petani kembali lagi itu. Kalau sudahlah berkumpul di
menyemburkan air dengan daun sirih Sidenreng, pulanglah masing-masing
(mangeppi), kemudian membaca doa-doa di negerimu engkau orang Lili’, dan
keselamatan (pakkuru sumange), sebagai beritahukan pada anak negerimu
pengharapan dalam menyambut buah padi supaya jangan ada yang
yang mulai berisi. membicarakan sawah, dan beri
Selain berbagai bentuk ritual dalam pengajaran kepada anak buahmu, dari
rangkaian proses pengolahan sawah, hal aturan bekerja sawah. Suruh juga
masyarakat Ajatappareng di Sidenreng juga hadat memberitahukan pada waktu
memiliki aturan atau pesan yang harus pasar besar di Sidenreng dan
diikuti agar hasil panen mendatangkan tentukanlah pula seorang pabbicara,

2 3
Variates padi lokal yang dikenal masyarakat Bugis Nene Mallomo atau Nene Allomo adalah seorang
sebelum penggunaan varietas padi unggul, tokoh legendaris yang menjadi tokoh panutan
diantaranya: ase unnyi, ase bakko, ase loco-loco, ase masyarakat Sidenreng Rappang yang dikenal
bulukumba, ase bekka, ase lambau, dll (Badaruddin, memiliki sikap adil dan bijaksana.
Mappasere, & Aminullah, 1986, p. 67)

Jurnal Walennae, Vol. 17, No. 1, Juni 2019: Hal. 19-36 | 23


yang mengurus perkara sawah, dan dia kerbau hitam dan kambing dan kami
yang menurunkan engkau di sawah makan berkumpul dengan orang
engkau sekalian Matowa, orang banyak di sawah ini. Barulah kami
bekerja sawah (Baoesat, 2006) bawa hasilnya itu ke rumah, dan kami
“Lontara Terjemahan La Towa, hal. makan bersama anak istri dan cucu-
104, Koleksi Petta Saleh” cucu dan dikuatkan oleh hadat dan
syarat, dan kami makan dengan
Artinya, bahwa masyarakat petani panjang umur kami, mengerjakan
sebelum memulai pekerjaan turun sawah, suruhan dan menjauhkan diri dari
harus selalu berkumpul antara para Matowa larangan dan melakukan kewajiban
dan masyarakat tani, untuk membicarakan hadat dan syarat”. Apabila hendak
dan menentukan waktu yang baik untuk mengerjakan La Salama
memulai persiapan pengolahan padi sawah. kumpulkanlah perkakas yang dipakai
Penentuan waktu ini dilakukan melalui oleh kerbau perkakas yang dipakai
kesepakatan bersama untuk menghindari oleh kerbau yang bekerja sawah di
terjadi kegagalan panen, sehingga tidak ada bawah kolong pertengahan rumah,
yang saling menyalahkan dan ketika panen kalau memulai bekerja, sembelihlah
padi melimpah seluruh masyarakat petani seekor ayam merah untuk kerbau itu
akan menerima secara bersuka ria bersama- (kerbau dicera) ayam merah itu,
sama. kuning kakinya dan kuning paruhnya
Sebelum memulai mengerjakan dan seekor ayam yang kuning bulunya,
sawah, diharapkan para petani dengan kuning kakinya dan paruhnya, kamu
Matowa, untuk saling memohon kebaikan, niatkan dalam hatimu, bahwa darah
saling memaafkan, tolong menolong dan dari ayam itu untuk jin dan setan
tidak boleh ada kesalahpahaman diantara penjaga sawah itu, dagingnya adalah
mereka. Artinya, ketika dalam menjalankan untuk dewata.
pekerjaan atau mengolah sawah nantinya, Kalau dibawalah perkakas kerbau itu
tidak ada lagi berpikir yang kurang baik pada sawah itu pada kerbaumu,
diantara mereka tetapi, bekerja dengan hati berkelilinglah jalan ke kandang tiga
yang lega, bersih dan tenang. kali, hadapkan ke arah negeri. Kalau
Setelah kesepakatan antara Matowa, hendaklah mengenakan perkakas yang
Pabbicara dan Addatuang terjadi, maka dipakai kerbau menjaga sawah
wajiblah dimulai pengolahan sawah adat pulangkanlah dulu kerbaumu itu pada
yang disebut dengan sawah Lasalama. Para tempatnya dan keluarkan perkakas
penentu kebijakan yang mewakili yang dipakainya, dan ambillah tanah
masyarakat petani mulai mengelilingi sawah yang ada dekat kerbaumu dan engkau
Lasalama sebagai tanda, bahwa pengolahan sapukan pada badanmu dan di badan
sawah sudah harus dikerjakan. Hubungan kerbaumu, supaya tidak kena penyakit
antara masyarakat petani sawah dengan padimu itu. Kalau engkau sapukan
para, Matowa, Pabbicara dan Addatuang, tanah di badanmu engkau berkata pada
berjalan dengan harmonis. Adapun niat yang tanah itu demikian: “kamu yang
dimaksudkan itu adalah; disapukan atau kamu yang disapui,
isipuru nama sebenarnya air itu, air
“Kami sengaja berjalan keliling La yang memelihara kepadamu padi,
salama (nama tanah sawah) kami angin yang menjadikan engkau besar
tanami padi, apabila kami dan awan yang menyusukan padamu
mendapatkan hasil yang banyak itu (padi). Noeng nama kami. Dari sebab
selamat juga, kami tentu sembelih itu maka bersamaan sifat dengan padi,

24 | Mistifikasi Ritual Sistem Pertanian……..Nani Somba, Syahruddin Mansyur, Muhammad Nur


air dan lain-lain, datang dari Tuhan. Mallomo di Sidenreng, yaitu ade’ puraonro
Peliharakan badan kami di dalam di Sidenreng dari pabbicara aruae, no’
sifatnya Tuhan Allah. Adapun rumput rakkalana (yang mengerjakan sawahnya
yang tersangkut pada gigi bajak itu Addatuang). Apabila orang dibenci oleh
ambillah juga engkau peliharakan Matowanya dan tidaklah turun bekerja pada
baik-baik. Apabila orang yang bekerja sawah Lasalama dan tidaklah pula bersama
sawah itu kena penyakit ambillah sama Matowanya bekerja di rumah Salassa
rumput itu campur dengan sirih yang atau di Ale’ Karaja dan tidak mau bernaung
bertemu uratnya tiga lembar dan di bawah bendera Matowanya (tidak mau
kunyah sampai halus baru sapukan mengikut perintah) dan dia hendak pindah
pada badan orang sakit itu. Engkau mengikut perintah Matowa lain di
ambil segenggam tanah, banyaknya Sidenreng, disuruhlah orang itu merombak
seperti sesuap nasi, baru engkau dan mencabut tiang rumahnya serta
menghadap matahari dan berkata dipindahkan rumahnya itu ke negeri
demikian, “Apabila tertahan bulan tempatnya mengikut perintah.
yang terbit, barulah tertahan juga reski Masyarakat yang tidak mau
kami datang dari Tuhan Allah”. mengikuti lagi aturan-aturan dari yang sudah
Katanya raja yang dahulu yang diterapkan oleh kerajaan/addatuang, maka
menjadikan besar kerajaannya negeri masyarakat itu dipersilahkan untuk pergi ke
Sidenreng. Apabila musim panas itu negeri itu, dengan membawa rumahnya
lewat, iyatuh sudahlah waktunya sekalian.
datang hujan, tetapi tidak ada hujan
yang turun hanya panas saja, selama- 2. Mistifikasi4 Ritual dalam Sistem
lamanya, dan kena penyakit padi itu Pertanian Tradisional.
atau ada satu binatang merusakkan dan
memakannya, sepakatlah engkau a. Mappalili
orang Sidenreng keluar di padang Ritual mappalili adalah satu bentuk
berkumpul makan semuanya bersama, upacara ritual yang berkaitan dengan
dan engkau lihat dari mana asal keberadaan mitos tentang Dewi Sri
kecelakaan itu. Kalaulah sudah ‘Sangiang Serri’, mitos ini berhubungan
didapat sebabnya itu sembelihlah dengan kepercayaan masyarakat, awal
kerbau hitam, dan berikan kepada munculnya tanaman padi, terutama tentang
orang yang berkuasa di sawah, dan tata cara pengolahan sawah dan penanaman
mohonkan maaf dari kesalahan pada padi. Jadi sebelum masyarakat memulai
dewata, barulah disembelih kerbau itu aktifitas pertanian, masyarakat petani sudah
dan dimakan bersama-sama orang melakukan suatu ritual yang namanya
yang berkumpul di padang itu mappalili, ritual bersifat sakral (suci),
(Baoesat, 2006) “Lontara Terjemahan sebagai pertanda, bahwa mereka sangat
La Towa, hal. 105-6, Koleksi Petta menghormati dan menghargai yang
Saleh”. namanya tanaman padi, sebagai sumber
pemenuhan kebutuhan hidupnya. Keyakinan
Demikian aturan-aturan yang masyarakat tani akan ritual mappalili,
diajarkan oleh Nene’ Mallomo yang sebagai usaha memohon pertolongan dari
berhubungan dengan tata cara dan larangan roh para leluhur nenek moyang mereka, dan
yang ditetapkan bagi seluruh pekerja sawah. kuasa campur tangan Sang Maha Kuasa
Selain pasal menentukan aturan Nene’ sebagai pencipta segala-galanya. Tempat

4
memandang sesuatu sebagai misteri.

Jurnal Walennae, Vol. 17, No. 1, Juni 2019: Hal. 19-36 | 25


untuk mengolah hasil pertanian. Sementara
fungsi sakral adalah sebagai media dalam
pelaksanaan upacara atau ritual yang
berkaitan dengan pertanian.
Setiap upacara ritual mappalili selalu
ada pemimpin upacara, seperti halnya pada
upacara ritual lainnya. Ritual mappalili
dipimpin oleh seseorang yang dianggap
mempunyai kelebihan dalam hal tertentu
biasa disebut Sanro Wanua/Uwak, Sanro
Wanua ini, dianggap punya kemampuan dan
pengetahuan tertentu mengenai penentuan
hari-hari baik untuk memulai aktifitas
pertanian, pada sisi lain. Sanro Wanua juga
dianggap dapat berhubungan langsung
dengan roh-roh halus para leluhur yang
dapat membantu dan melindungi masyarakat
dalam berbagai hal-hal buruk pada
kehidupan masyarakat. Berbeda dengan
daerah lain, di wilayah Ajatappareng, ritual
mappalili tidak dipimpin oleh seorang Bissu
sebagaimana dikenal di daerah lain. Meski
demikian, kedua pemimpin ritual ini yaitu
Sanro Wanua dan Bissu tetap memiki peran
Gambar 2. Temuan lumpang batu di Watang dan prosesi ritual yang sama.
Sidenreng (atas) dan Alitta (bawah). Awalnya, Dalam konteks prosesi ritual, terjadi
lumpang batu berfungsi sakral sebagai tempat
mistifikasi ritual dimana bissu atau sanro
pelaksanaan ritual pertanian (Sumber: Balai
Arkeologi Sulawesi Selatan, 2018).
wanua berfungsi sebagai aktor yang
memerankan peran pendeta atau pemimpin
pelaksanaan ritual mappalili sangat identik ritual tertentu yang dipertunjukkan pada
dengan tempat-tempat yang dianggap sakral audiens (masyarakat yang mengikuti prosesi
atau makam tokoh yang dihormati atau mappalili). Mistifikasi ritual dalam proses
tempat turunnya Tomanurung (Somba & mappalili sesunguhnya bertujuan untuk
Nur, 2016, p. 225). Di beberapa tempat di menjaga jarak sosial antara bissu sebagai
Ajatappareng, lokasi yang dapat pemimpin ritual dengan masyarakat sebagai
dicontohkan sebagai tempat pelaksanan peserta ritual agar senantiasa dianggap
ritual ini adalah Lawarangparang di Suppa, “makarama” (Bahfiarti, 2011, pp. 165–
Arajang Sawitto di Sawitto, Makam Pallipa 169).
Pute di Katteong (Langga), dan Makam Upacara ritual “Mappalili”, berasal
Petta Maupe di Katteong (Langga), dan dari kata palili’ yang berarti usaha
Makam Petta Maupe di Watang Sidenreng masyarakat petani untuk melindungi
(Mansyur et al., 2018; Tim Penelitian, tanaman padi dari sesuatu yang dianggap
2012). Salah satu temuan arkeologis yang akan mengganggu atau merusak tanaman,
umum dijumpai di situs-situs pemukiman sehingga dilakukanlah satu bentuk
adalah temuan lumpang batu yang memiliki permohonan dan penghormatan terhadap
fungsi profan sekaligus fungsi sacral Sang Maha Kuasa. Ritual Mappalili’, dari
(gambar 2). Fungsi profan tampak pada hasil wawancara langsung dengan informan
penggunaan lumpang batu sebagai media kunci bapak Andi Muhammad Saleh

26 | Mistifikasi Ritual Sistem Pertanian……..Nani Somba, Syahruddin Mansyur, Muhammad Nur


Pasanrangi, bahwa mappalili adalah mereka, meskipun beberapa petani masih
termasuk ritual maccera tanah (gambar 3). melakukan secara sendiri-sendiri di rumah,
Setiap ritual yang disertai dengan kata mereka hanya melakukan doa di rumah
maccera, berarti selalu disertai dengan secara sendiri-sendiri dan memohon akan
pemotongan hewan diantaranya; kerbau, kelancaran dan keberhasilan panen mereka
kambing dan ayam. Jenis hewan yang nantinya. Ilmu pengetahuan dan wawasan
dipotong tergantung kemampuan dan berfikir yang semakin berkembang, menjadi
kesepakatan masyarakat yang melaksanakan faktor tersendiri yang mempengaruhi pola
ritual. Upacara ritual seperti ini, sekarang pikir masyarakat berubah dan secara lambat
sudah susah dijumpai lagi, akibat laun dapat mempengaruhi pola pikir
pengetahuan dan wawasan masyarakat masyarakat tani, untuk tidak lagi
semakin berkembang. Masyarakat petani melaksanakan ritual yang berhubungan
sawah yang masih melaksanakan ritual dengan hal-hal berbau mistis (sakral). Pada
mappalili, menganggap bahwa, sisi lain, ritual mappalili memiliki nilai-nilai
bagaimanapun mereka tetap harus positif terutama nilai-nilai sosial, yaitu
mengingat pesan-pesan nenek moyang solidaritas gotong royong, kebersamaan
mereka. Sebahagian masyarakat petani sosial dan ekonomi. Tradisi ini membangun
sawah lainnya menganggap, bahwa itu kebersamaan dan rasa solidaritas antar
merupakan perbuatan syirik yang warga dimana dalam pelaksanaan tradisi ini
bertentangan dengan syariat Islam warga secara bersama-sama saling
(Fajriyani, 2015, p. 60). menikmati serta berpartisipasi demi
Saat ini, nilai sakral ritual seperti itu kelancaran acara mappalili tanpa melihat
tidak lagi menjadi begitu penting bagi status sosial. Nilai ini dapat menumbuhkan

Gambar 3. Buju Tompo’e, sumur tua penanda situs Lawarangparang, salah satu titik utama dalam
pelaksanaan ritual Mappalili oleh masyarakat Suppa, dan pohon ritual di lokasi Situs Lawarangparang (atas).
Makam Pallipa Pute, tempat pelaksanaan ritual Mappadendang masyarakat Katteong/Langnga (kiri bawah).
Makam Petta Maupe, tempat pelaksanaan ritual Mappalili dan ritual-ritual keselamatan
lainnya/Mappangolo atau Massorong (kanan bawah) (Sumber: Balai Arkeologi Sulawesi Selatan, 2018).

Jurnal Walennae, Vol. 17, No. 1, Juni 2019: Hal. 19-36 | 27


rasa persaudaran diantara mereka, serta wujud permohonan dan kepasrahan manusia
saling bersilaturahmi dan mengakrabkan terhadap Sang Maha Pencipta, sehingga
sesama anggota masyarakat (Asrianensi, segala sesuatunya harus selalu berpedoman
2014, p. 45). pada pesan-pesan para leluhur mereka
Sebagai sebuah manifestasi ritual, sebagai penghormatan. Rasa hormat ini
mappalili (gambar 4) memiliki beragam dimanifestasikan dalam bentuk ritual
makna dalam kehidupan orang Bugis, mappalili’, sehingga apapun yang akan
seperti: kesetiaan dan kepercayaan; dilakukan berkaitan dengan tanaman padi
penghargaan terhadap leluhur; sebagai tanda sawah, masyarakat petani sawah tidak
bagi petani; dan penghormatan (Khaedir, pernah lupa untuk melakukan ritual
2018, pp. 68–76). Mappalili’ merupakan mappalili’ mulai dari membuka lahan

Gambar 4. Dokumentasi lama prosesi mappalili yang dilaksanakan oleh masyarakat Ajatappareng, dalam
proses ini peran Sanro masih sangat sentral dan sakral (Sumber: Repro koleksi Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Kabupaten Pinrang, 2018).

28 | Mistifikasi Ritual Sistem Pertanian……..Nani Somba, Syahruddin Mansyur, Muhammad Nur


(makkabeka’), menyiapkan benih Pada saat hasil panen sudah
(mappatinro bine), sampai pada saat akan dikumpulkan di rumah, sebelum dinaikkan
memulai memanen padi (mappamula pada tempat khusus yang biasa disebut
mengngala). dengan lumbung padi (lanrang) khusus
untuk raja, dan (rakkeang) untuk masyarakat
b. Mappadendang biasa, rakkeang adalah bagian atas rumah
Mappadendang adalah salah satu panggung Bugis. Khusus untuk lumbung
tradisi suka cita yang berlanjut sampai padi bagi raja (lanrang), dibuatkan cukup
sekarang, ritual ini merupakan pengucapan besar dan tersendiri, ini disebabkan para raja
syukur masyarakat petani atas keberhasilan jaman dahulu memiliki lahan persawahan
panen padi mereka. Ritual ini dilaksanakan yang cukup luas. Maka dilaksanakanlah
secara bersama- sama, masyarakat tetangga yang namanya mappadendang sebagai
kampung datang untuk mengadakan pesta bentuk kesyukuran atas hasil panen padi
mappadendang, berkumpul di suatu tempat yang melimpah.
tertentu, kadang di sawah, di halaman Peralatan5 yang dipakai, adalah
Saoraja atau di lapangan. Tergantung lesung kayu berbentuk persegi panjang
kesepakatan antara masyarakat petani, (palungeng), hampir menyerupai bentuk
pemerintah maupun pemangku adat perahu, dengan enam batang kayu panjang
(Addatuang). pada saat pesta bulat (alu), berukuran satu meter setengah,
mappadendang, berbagai macam permainan sebagai alat untuk menumbuk padi di dalam
menyertai diantaranya adalah; ayunan lesung, Pemain terdiri dari wanita dan pria
(mattojang/mappere’), main layangan dengan memakai perlengkapan baju adat
(mappasajang), pajoge’, massempe, Bugis/Makassar. Perempuan memakai baju
mallanca, dan disertai kesenian berupa bodo dengan sarung sutra, untuk laki-laki
kecapi. Sama seperti ritual mappalili, di memakai jas tutup warna hitam dengan tutup
masa lalu tempat pelaksanaan ritual kepala berupa sarung yang dililit (passapu)
mappadendang dilaksanakan di tempat- atau songko’ to Bone. Jumlah pemain terdiri
tempat yang dianggap sakral atau dari dua orang laki-laki bertindak sebagai
dikeramatkan. pemimpin, masing-masing berada pada
Mappadendang sebagai ucapan rasa kedua ujung lesung, untuk mengatur irama
syukur masyarakat petani padi sejak dahulu, atau ritme dan tempo dengan menggunakan
biasanya dilaksanakan setelah mendapakan alu, sedangkan yang menumbuk pada lesung
hasil panen padi, dan dilaksanakan tiap adalah perempuan yang sudah mahir dan
tahun pada musim kemarau pada malam hari berpengalaman berjumlah empat sampai
saat bulan purnama, namun pada saat enam orang. Biasanya dua orang laki-laki
sekarang mappadendang tidak lagi melakukan tari-tarian berputar mengelilingi
dilaksanakan pada malam hari, tetapi para perempuan yang sedang menumbuk
dilaksanakan pada siang hari. Pola lesung. Pada saat mappadendang, suara
perubahan waktu pelaksanan, telah merubah lesung dengan alu saling bertautan dan
nilai sakral ritual itu sendiri. Masyarakat mengeluarkan bunyi-bunyian yang
petani tidak lagi menganggap sakral, tetapi berirama, dan irama yang bertalu talu
hanya sebagai ajang berkumpul, bersukaria menjadi penyemangat bagi masyarakat
bersama para masyarakat petani sawah petani yang telah bekerja keras selama
setelah panen raya. proses pengolahan sawah.

5
Versi lain menyebut komponen utama dalam acara Islam dalam Ritual “Mappadendang ” dalam Jurnal
ini yaitu 6 perempuan, 3 pria, bilik baruga, lesung, Hukum Islam Volume 14, No. 1, Juni 2016, hal. 93-
alu, dan pakaian tradisional yaitu baju Bodo. Lihat 110.
Abdul Rahim, 2016. Nilai-nilai Sistem Perekonomian

Jurnal Walennae, Vol. 17, No. 1, Juni 2019: Hal. 19-36 | 29


Fungsi ritual mappadendang adalah kerajaan-kerajaan di Ajatappareng, terdapat
manifestasi kegembiraan yang sangat dalam jabatan Matoa Paggalung, semacam menteri
dan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa, yang membidangi pertanian dan mengurus
atas apa yang telah dikerjakannya waktu menanam padi, mappalili, penentuan
menghasilkan hasil panen yang melimpah, bibit, pengairan dan ritual mappadendang
saling menjaga hubungan tali silaturahmi (Lontara’ Petta Saleh). Hirarki ini kemudian
antar keluarga, tetangga maupun kepada menghilang bersamaan dengan pergantian
pemerintah setempat, juga sekaligus sebagai pemerintahan pada Periode Kemerdekaan.
sarana hiburan bagi seluruh masyarakat Transformasi sistem penggarapan
petani yang telah bekerja dengan keras. sawah juga terjadi. Berdasarkan beberapa
Berkumpul menjadi salah satu bentuk untuk informan, sistem gotong royong telah mulai
saling menjunjung rasa solidaritas, ditinggalkan sejak sekitar tahun 1990-an di
kebersamaan dalam kegembiraan, suasana wilayah Ajatappareng, digantikan oleh
demikian diharapkan dapat menciptakan sistem penggarapan sawah secara individual.
suasana damai, tentram, nyaman dan tetap Bersamaan dengan itu, pembukaan lahan
saling menghargai, dan saling hormat persawahan baru oleh para raja
menghormati, dalam kehidupan (makkabekka’) dan pengerjaan sawah raja
bermasyarakat. Selain itu, mappadendang dengan sistem bagi hasil (matteseng) juga
juga menyimpan filosofi yang sangat tinggi semakin ditinggalkan. Sistem pengerjaan
dan merupakan sarana nenek moyang dalam sawah yang bersifat kolektif juga semakin
memperkuat persatuan dan kesatuan, ditinggalkan bersamaan dengan
pentingnya kerjasama, serta membentuk berpindahnya tanggung jawab kolektif
masyarakat dengan tatanan sosial yang solid menjaga kestabilan irigasi kepada
(Rahim, 2016, p. 108). pemerintah. Pudarnya sistem gotong royong
memang tidak berpengaruh besar pada
3. Transformasi Budaya Pertanian produksi beras tetapi membuka jalan menuju
Budaya pertanian dimaksud adalah persaingan antar petani.
aspek-aspek budaya yang terkait dengan Penentuan waktu tanam padi juga
pertanian seperti kebijakan pemerintah yang telah mengalami perubahan di wilayah
berhubungan dengan pertanian, sistem Ajatappareng. Berdasarkan naskah lontara
gotong royong, cara menentukan waktu dan studi etnografi, cara menentukan waktu
tanam, alat-alat yang terkait dengan tanam pada masa sebelum kemerdekaan
pertanian, sistem sosial masyarakat, tenaga adalah dengan cara-cara tradisional. Sekitar
kerja, pembagian hasil, sistem pewarisan tahun 1970-an atau sebelumnya,
dan ritual yang berhubungan dengan perhitungan waktu tanam padi
pertanian. Pada bagian ini, transformasi menggunakan perhitungan bintang yang
budaya pertanian diawali dengan kebijakan disebut pananrang, yaitu tradisi yang
pemerintah yang berhubungan dengan melembaga dan ditulis oleh masyarakat
pertanian. dalam banyak naskah lontarak. Lepasnya
Sebelum masyarakat Ajattappareng ketergantungan terhadap musim hujan
mengenal sistem pertanian modern, karena ketersediaan irigasi menyebabkan
kekuasaan dipegang oleh raja. Inisiatif perhitungan tradisional tentang waktu tanam
peningkatan hasil pertanian padi dipelopori padi tidak lagi bersifat fungsional.
oleh para raja [wawancara dengan Andi Alat-alat yang digunakan dalam
Suddini dan Petta Saleh] dengan cara kegiatan pertanian juga mengalami
pembuatan teppo dan Salo Kae (Sungai perubahan yang sangat cepat di wilayah
buatan yang digali secara bergotong royong) Ajatappareng dibandingkan dengan
untuk keperluan irigasi. Dalam struktur beberapa komunitas Bugis di wilayah

30 | Mistifikasi Ritual Sistem Pertanian……..Nani Somba, Syahruddin Mansyur, Muhammad Nur


Gambar 5. Gambaran tentang transformasi budaya pertanian. Mobil pemanen padi yang bekerja dekat
sebuah lumpang batu. Saat ini, harapan terhadap hasil panen salah satunya bergantung pada ketepatan
waktu panen oleh mobil/mesin kombain. Jauh sebelumnya, pengharapan terhadap hasil panen yang
melimpah bergantung pada pelaksanaan ritual mappalili yang sering dilaksanakan di tempat-tempat
keramat (salah satunya adalah di lokasi Lumpang Batu) (Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Sulawesi
Selatan, 2018).

pedalaman lain di Sulawesi Selatan. Sebagai tidak dijumpai lagi. Sepeda motor
contoh, penggunaan tenaga hewan (kerbau modifikasi yang disebut tassi telah
atau sapi) untuk melakukan pembajakan menggantikan fungsi kuda atau nyarang
sawah sudah tidak dilakukan sejak tahun patteke. Jika dahulu setiap petani memiliki
1990-an dan hingga sekarang masih banyak minimal satu ekor kuda untuk mengangkut
masyarakat petani di wilayah pedalaman hasil panen, sekarang para petani
Sulawesi Selatan masih memakainya. menyerahkan pengangkutan hasil panen
Sekarang, masyarakat Ajatappareng kepada jasa tassi. Karena panen dapat
menggunakan traktor tangan (dompeng) berlangsung lima kali dalam dua tahun maka
untuk membajak dan menggemburkan tanah kondisi tersebut merangsang munculnya
pertanian. Alat traktor tangan jauh lebih satu lapangan kerja baru di Ajatappareng.
efektif dan efisien dibandingkan Sekitar tiga puluh tahun lalu,
menggunakan kerbau yang semakin sulit masyarakat masih memanen sendiri padi
diternakkan karena semakin sempitnya mereka dibantu oleh kerabat dan keluarga.
sumber makanan ternak (gambar 5). Terjadi perubahan saat itu dimana jasa
Jika dua puluh tahun lalu, kuda tenaga kerja pemanen (passangki)
pengangkut (nyarang patteke) berfungsi mengambil alih karena lebih cepat. Para
penting untuk mengangkut hasil panen dari passangki yang telah dikoordinir
sawah ke jalan, sekarang pemandangan itu berdatangan dari berbagai daerah dan

Jurnal Walennae, Vol. 17, No. 1, Juni 2019: Hal. 19-36 | 31


dengan cepat memanen padi-padi di sawah. dari lima kerajaan besar di Ajatappareng
Dalam lima tahun terakhir, jasa mobil tersebut. Meskipun demikian, seiring
pemanen padi mulai marak digunakan dan perjalanan waktu, besaran kedua ritual
sedikit demi sedikit menggantikan jasa tersebut semakin berkurang. Beberapa
passangki. Ketika musim panen tiba, bagian ritual disederhanakan, pergantian
beberapa masyarakat Ajatappareng dengan unsur-unsur baru dan pemeran ritual
menawarkan jasa mobil pemanen (sering juga mengalami perubahan. Bagian ritual
disebut oleh masyarakat setempat dengan yang disederhanakan misalnya ritual
istilah kombain padi yang bekerja jauh lebih maddojabine, masisi atau malleppe ase biasa
cepat dan murah. tidak dilakukan lagi. Beberapa tempat di
Gambaran transformasi budaya wilayah Ajatappareng menunjukkan bahwa
pertanian padi di wilayah Ajatappareng rangkaian ritual antara mappalili dan
berlangsung sangat cepat dalam rentang mappadendang mulai ditinggalkan.
waktu tiga puluh tahun terakhir. Masyarakat Pergantian unsur-unsur lama oleh
Ajatappareng memang telah unsur baru dalam ritual mappalili juga
mengidentikkan dirinya sebagai masyarakat terjadi misalnya di wilayah Akkarungeng
surplus padi dan letaknya pada pesisir barat Lanriseng, Kabupaten Pinrang, rakkala atau
juga merupakan faktor kunci cepatnya alat pembajak tidak lagi digunakan dalam
perubahan di wilayah ini. ritual mappalili sejak tahun 1990-an,
digantikan oleh traktor tangan atau disebut
4. Pudarnya Ritual Pertanian dompeng, juga di Desa Ciro-Ciroe,
Ritual pertanian di Ajatappareng Kecamatan Watang Pulu, Kabupaten Sidrap
dilakukan pada dua momen, pertama adalah (Asrianensi, 2014). Pelaksana atau
ritual mappalili, ritual yang menandai awal pemimpin ritual juga mengalami perubahan
kegiatan pertanian, dan kedua adalah ritual pada hampir semua Akkarungeng di
mappadendang, ritual kesyukuran setelah Ajatappareng dimana peran para raja dan
panen dilaksanakan. Antara kegiatan bangsawan berpindah kepada pemerintah
mappalili dan mappadendang, terdapat (Kepala Desa, Camat, Bupati). Para
beberapa ritual kecil yang dipimpin oleh bangsawan dan hirarki kerajaan yang
Sanro wanua dan hanya melibatkan memang sudah memudar tidak lagi
beberapa orang saja, misalnya ritual mendapat tempat khusus, digantikan oleh
maddoja bine, massisi atau malleppe ase. pemeran-pemeran yang memiliki modal
Tempat pelaksanaan upacara mappalili dan besar, kekuasaan, jabatan atau
mappadendang adalah tempat keramat yang kecendekiawanan.
biasanya berhubungan dengan tempat
kemunculan awal atau kuburan tokoh PENUTUP
legenda pada satu kerajaan. Sebagai contoh Tradisi pertanian di wilayah
di Suppa, tempat akhir persembahan kepala Ajatappareng telah berlangsung selama
kerbau yang telah dikurbankan dalam ritual berabad-abad, proses ini pun telah
mappalili dan mappadendang adalah melahirkan sistem pertanian yang
Lawaramparang, suatu mata air di pinggir dilaksanakan secara turun temurun. Tradisi
Pantai Suppa yang dipercaya sebagai tempat pertanian ini sekaligus menunjukkan bahwa
munculnya Tomanurung Suppa. sistem kepercayaan menjadi bagian yang
Sampai sekarang, ritual mappalili tidak terpisahkan dalam pengetahuan sistem
dan mappadendang masih dilakukan pada pertanian masyarakat di masa lalu. Dalam
beberapa bekas pusat kerajaan besar seperti prosesnya pula, terjadi berbagai perubahan
Sawitto, Sidenreng, Rappang, Alitta dan tidak hanya teknik pertanian (misalnya
Suppa serta pada beberapa Kerajaan Palili memanfaatkan kemajuan ilmu dan

32 | Mistifikasi Ritual Sistem Pertanian……..Nani Somba, Syahruddin Mansyur, Muhammad Nur


teknologi), namun perubahan-perubahan ini pengatahuan untuk disampaikan kepada
juga menyentuh aspek intangible yaitu generasi muda. Demikian pula mengamati
ritual-ritual pertanian. tren global saat ini yang mengedepankan
Tradisi pertanian di masa lalu sangat pengelolaan kawasan pertanian pangan
menggantungkan pengharapan masyarakat berkelanjutan.
(petani) akan hasil panen yang melimpah
pada berbagai bentuk ritual yang harus Ucapan Terima Kasih
mereka laksanakan. Pengharapan akan hasil Draft awal naskah ini adalah bagian (data
panen yang baik juga sangat bergantung etnografi) dari Laporan Penelitian “Irigasi
pada kepatutan masyarakat petani pada Ajatappareng: Menelusuri Jejak Sejarah
petuah-petuah dan aturan-aturan yang sudah Pertanian di Sulawesi Selatan”, yang didanai
dijalankan secara turun-temurun. Dalam oleh DIPA Balai Arkeologi Sulawesi
konteks sistem pertanian tradisional seperti Selatan. Penulis mengucapkan terima kasih
ini para penguasa menjadi inisiator utama kepada seluruh anggota tim (Dra.
dalam mempertahankan serta meningkatkan Muhaeminah; Asmunandar, S.S., M.Hum;
produksi beras. Salah satu bentuk dari upaya Nur. Ihsan Djindar, S.S., M.Hum;
tersebut adalah melalui mistifikasi ritual Lendrawati, S.S; Andika Saputra; dan Muh.
yang diinisiasi oleh pihak penguasa atau Ikram, M. S.S), serta semua pihak yang telah
kerajaan, yaitu Akkarungeng, Arajang, dan membantu pelaksanaan penelitian, Drs. H.
Addatuang. Alimin (Kabid. Kebudayaan Dinas Dikbud
Saat ini, sistem pertanian yang dijalankan Kab. Pinrang), dan Bahtiar, S.S (Staf Dinas
secara tradisional di Ajatappareng sudah Dikbud Kab. Sidrap); juga kepada seluruh
sangat sulit ditemui, informasi-informasi informan: Drs. Andi Muhammad Saleh
yang diperoleh lebih kepada ingatan-ingatan Pasanrangi (Sidenreng), Drs. Andi Suddini
personal yang dulunya menjalankan tradisi- (Talabangi), Yukkas, S.Pd. (Letta), H. Andi
tradisi pertanian beberapa dekade Monji (Suppa), La Sewa (Lerang, Sawitto),
sebelumnya. Disadari bahwa perkembangan La Nohong (Alitta), Wa’ Onding (Mojong,
ilmu pengetahuan dan teknologi telah Sidenreng), La Midding (Bangkai,
menuntut berbagai perubahan, terlebih Sidenreng).
tuntutan terhadap upaya peningkatan
produktivitas hasil pertanian. Namun di sisi ********
lain, ingatan-ingatan tentang tradisi
pertanian dan sistem pertanian tradisional
secara umum penting menjadi rekaman

Jurnal Walennae, Vol. 17, No. 1, Juni 2019: Hal. 19-36 | 33


DAFTAR PUSTAKA
Afandi, M. Z., Arjani, N. L., & Kaler, I. K. (2017). Ritual Neduhin dalam Sistem Pertanian
Masyarakat Desa Bunutin, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali. Jurnal
Humanis, 21(1), 37–45. Retrieved from
https://ojs.unud.ac.id/index.php/sastra/article/view/35418
Asrianensi, J. (2014). Studi tentang Tradisi Mappalili pada Masyarakat Desa Ciro-Ciro’e
Kecamatan Watang Pulu Kabupaten Sidenreng Rappang. Jurnal Tomalebbi, 1(1), 41–
46.
Badaruddin, M., Mappasere, S. K. R., & Aminullah, A. (1986). Sistem Ekonomi Tradisional
sebagai Perwujudan Tanggapan Aktif Manusia terhadap Lingkungannya: Daerah
Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan
Daerah Sulawesi Selatan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Bahfiarti, T. (2011). Mistifikasi ‘Bissu’ dalam Upacara Ritual Adat Etnik Bugis Makassar
(Kajian Studi Dramaturgi). Jurnal Ilmu Komunikasi, 1(2), 159–170.
Baoesat, A. (2006). Terdjemahan Lontarak Latowa: Hadat Besar Keradjaan Rappeng, Djilid
I (H. A. M. S. Pasanrangi, Ed.).
BPSP. (2018). Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Padi Sawah dan Padi Ladang
Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan 2015. Makassar: Badan Pusat
Statistik Provinsi Sulawesi Selatan.
Bulbeck, D., & Caldwell, I. (2008). Oryza Sativa and The Origins of Kingdoms in South
Sulawesi, Indonesia: Evidence from Rice Husk Phytoliths. Indonesia and the Malay
World, 36, 1–20. https://doi.org/10.1080/13639810802016117
Cortesao, A. (2015). Suma Oriental: Karya Tome Pires: Perjalanan dari Laut Merah ke Cina
dan Buku Francisco Rodrigues (Edisi Terj; Adrian Perkasa & A. Pramesti, Eds.).
Yogyakarta: Ombak.
Druce, S. C. (2005). The Lands West of The Lakes: The History of Ajattapareng, South
Sulawesi, AD 1200 to 1600. The University of Hull.
Fajriyani, G. (2015). Upacara Mappalili oleh Pa’Bissu di Kelurahan Bontomate’ne
Kecamatan Segeri Kabupaten Pangkep. Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.
Hasanuddin. (2015). Kebudayaan Megalitik di Sulawesi Selatan dan Hubungannya dengan
Asia Tenggara. Universiti Sains Malaysia.
Khaedir. (2018). Makna Ritual Mappalili oleh Komunitas Bissu Bugis di Pangkep. Universitas
Islam Negeri Alauddin Makassar.
Latif, A. (2014). Para Penguasa Ajatappareng: Refleksi Sejarah Sosial Politik Orang Bugis.
Yogyakarta: Ombak.
Macknight, C. C. (1983). The Rise of Agriculture in South Sulawesi Before 1600. Review of
Indonesian and Malaysian Affairs, 17, 92–116. Retrieved from
http://www.oxis.org/articles-k-z/macknight-campbell/macknight-1983.pdf

34 | Mistifikasi Ritual Sistem Pertanian……..Nani Somba, Syahruddin Mansyur, Muhammad Nur


Mansyur, S., Somba, N., Muhaeminah, Nur, M., Asmunandar, & Djindar, N. I. (2018). Irigasi
Ajatappareng: Menelusuri Jejak Sejarah Pertanian di Sulawesi Selatan. Makassar.
Maulida, R. (2017). Rabu Nehah (Studi Etnografi tentang Larangan Turun ke Sawah pada
Masyarakat Gampong Paloh Kayee Kunyet, Kecamatan Nisam). Aceh Anthropological
Journal, 1(1), 57–59. Retrieved from
http://ojs.unimal.ac.id/index.php/AAJ/article/view/360
Moleong, L. J. (2008). Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revi). Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Morris. (1982). Celebes en Onderhoorigheden. In Koloniaal Verslag van 1892, Nederland
Oost Indie, Bijlage C, Tweede Kamer. Makassar: De Gouverneur van Celebes en
Onderhoorigheden.
Nurung, R. M., & Pratiwi, J. D. (2011). Motivasi Petani dalam Mempertahankan Sistem
Tradisional pada Usaha Tani Padi Sawah di Desa Parbaju Julu, Kabupaten Tapanuli
Utara, Provinsi Sumatera Utara. Jurnal Agrisep: Kajian Masalah Sosial Ekonomi
Pertanian Dan Agribisnis. https://doi.org/https://doi.org/10.31186/jagrisep.10.1.51-62
Pabitjara, B. (2006). Persekutuan Limae Ajatappareng Abad XVI”. Tesis Magister. Makassar.
Universitas Negeri Makassar.
Pelras, C. (2006). Manusia Bugis (Terjemahan; Abdul Rahman Abu, Hasriadi, & N.
Sirimorok, Eds.). Jakarta: Nalar bekerjasama dengan Forum Jakarta-Paris, EFEO.
Poelinggomang, E. L. (2002). Makassar Abad XIX: Studi tentang Kebijakan Perdagangan
Maritim. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia bekerjasama dengan Yayasan
Adikarya dan The Ford Foundation.
Purwanto, Y. (2010). Studi Sistem Pertanian Tradisional Masyarakat Negeri Saleman, Sera
Utara, Kabupaten Maluku Tengah. In Laporan Penelitian COLUPSIA Project, CIRAD
dan UNI EROPA. Collaborative Land Use Planning and Sustainable Institutional
Arrangements for Strengthening Land Tenure, Forest and Community Rights in
Indonesia. Retrieved from
http://www1.cifor.org/fileadmin/subsites/colupsia/documents/Studi_Sistem_Pertanian_
Tradisional_YP.pdf
Rahim, A. (2016). Nilai-nilai Sistem Perekonomian Islam dalam Ritual ‘Mappadendang.
Jurnal Hukum Islam, 14(1), 93–110.
Sartini, N. W. (2017). Makna Simbolik Bahasa Ritual Pertanian Masyarakat Bali. Jurnal
Kajian Bali, 14(1). https://doi.org/https://doi.org/10.24843/JKB.2017.v07.i02.p06
Somba, N., & Nur, M. (2016). Tradisi Bercocok Tanam di Kabupaten Soppeng. In
Hasanuddin & B. A. K.W. (Eds.), Lembah Walennae: Lingkungan Purba dan Jejak
Arkeologi Peradaban Soppeng. Yogyakarta: Ombak.

Jurnal Walennae, Vol. 17, No. 1, Juni 2019: Hal. 19-36 | 35


Tim Penelitian. (2012). Laporan Penelitian Arkeologi: Pembuktian Arkeologi terhadap
Toponim dalam Naskah Ajatappareng di Kabupaten Pinrang. Makassar.

36 | Mistifikasi Ritual Sistem Pertanian……..Nani Somba, Syahruddin Mansyur, Muhammad Nur

You might also like