You are on page 1of 18

Konsep Grati ikasi dalam Perspektif Hukum Islam

Al-Risalah ISSN: 1412-436X


Forum Kajian Hukum dan Sosial Kemasyarakatan
Vol. 16, No. 1, Juni 2016 (hlm. 1-18)

KONSEP GRATIFIKASI DALAM PERSPEKTIF


HUKUM ISLAM

Abdul Karim
Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya,
50603 Kuala Lumpur, Malaysia
E-mail: abdulkarim678@gmail.com

Fazzan
Jabatan Fiqh dan Ushul, Akademi Pengajian Islam
Universiti Malaya, 50603 Kuala Lumpur, Malaysia
E-Mail: fazzan75@gmail.com

Zulqarnain
Jabatan Fiqh dan Ushul, Akademi Pengajian Islam
Universiti Malaya, 50603 Kuala Lumpur, Malaysia
E-Mail: izul1975@gmail.com

Naskah diterima tanggal 15 Maret 2016, revisi I tanggal 18 April 2016, dan revisi II tanggal 22 Mei 2016

Abstract: Gratification has been practiced by Muslim since centuries ago untill now. Basically, gratifica-
tion is a paying a tribute from one to another. But today, there is a legislation rule ban gratification practice.
Therefore, this study will be examined the concept of gratification based on Islamic law. This study used
descriptive-analytic method and normative approach, which means gratification concept is observed as accord-
ing to al-Qur’an, hadist and opinion of theologians. The result of this study shows that, gratification has a very
broad meaning in Islam, which may take forms in any kinds of tributes or charity. The gratification concept
sometimes means shadakah, hibah, gift and risywah. The sort of gratification in Islam is classified to positive
categories and negative categories. Shadakah, hibah and gift are including to positive dividend, these are rec-
ommended in Islam. Yet, it will be negative dividend if state officials are as receivers. While risywah and gift
(state officials) are including to negative gratification, these practices are prohibited and immoral (maksiat)
based on al-Qur’an, hadist and opinion of theologians. Risywah and gift (state officials) are categorized to
jarimah ta’zir, the doer can be punished with ta’zir penalty, ranging from the heaviest to it should be heaviest
and lightest punishment.

Keywords: Gratification concept, Islamic law perspective.

Abstrak: Gratifikasi merupakan perbuatan yang sudah dipraktekkan oleh umat Islam semenjak dahulu
sampai sekarang. Karena pada intinya gratifikasi adalah pemberian dari seseorang kepada orang lain. Namun
dewasa ini ada aturan perundang-undangan yang melarang amalan gratifikasi. Untuk itu, dalam kajian
ini akan ditelaah konsep berkaitan dengan gratifikasi dalam tinjauan Hukum Islam. Kajian ini dilakukan
dengan menggunakan metode deskriptif-analitik dengan pendekatan normatif, yaitu meninjau konsep grati-

Al-Risalah Vol. 16, No. 1, Juni 2016 1


Abdul Karim, Fazzan, dan Zulqarnain

fikasi berdasarkan al-Qur’an dan hadis serta pendapat para ulama yang telah ada yang berkaitan dengan
gratifikasi. Hasil kajian menunjukkan bahwa, dalam Islam gratifikasi mempunyai makna yang sangat luas,
yaitu segala bentuk pemberian. Konsep gratifikasi dalam Islam adakala berupa sedekah, hibah, hadiah, dan
risywah. Bentuk-bentuk gratifikasi dalam Islam tersebut ada yang termasuk ke dalam kategori positif dan
kategori negatif. Gratifikasi dalam bentuk sedekah, hibah, dan hadiah termasuk ke dalam amalan grati-
fikasi positif, amalan tersebut memang dianjurkan dalam Islam. Namun, amalan ini dapat berubah menjadi
amalan negatif apabila penerimanya adalah petugas negara. Adapun gratifikasi dalam bentuk hadiah kepada
penguasa dan risywah termasuk ke dalam gratifikasi negatif, karena dua bentuk amalan gratifikasi ini telah
disebutkan dalam al-Qur’an, hadis, maupun pendapat para ulama sebagai amalan yang dilarang syara’, yaitu
suatu amalan maksiat (jarimah). Gratifikasi dalam bentuk hadiah kepada penguasa dan risywah termasuk
kedalam kategori jarimah ta’zir, maka pelakunya dapat dihukum dengan hukuman ta’zir, mulai hukuman
terberat hingga hukuman teringan.

Kata Kunci: Konsep gratifikasi, perspektif hukum Islam.

Pendahuluan penulis menggunakan metode deskriptif-ana-


Gratifikasi dengan makna pemberian pada litik.
dasarnya merupakan suatu hal yang diboleh-
kan dalam Islam. Bahkan Islam menganjurkan Definisi Gratifikasi
memberi gratifikasi karena dengannya akan Dalam kamus Bahasa Indonesia, gratifikasi
tercipta rasa kasih sayang di antara sesama. diartikan sebagai pemberian hadiah uang ke-
Pemberian gratifikasi dapat menumbuhkan pada pegawai di luar gaji yang ditentukan.1
rasa kasih sayang tentunya pemberian yang Sedangkan dalam kamus Hukum, gratifikasi
dilakukan berlandaskan hati nurani yang tulus yang berasal dari bahasa Belanda, gratificatie,
dan ikhlas, dan semata-mata hanya mengharap atau bahasa Inggrisnya gratification diartikan
ridha Allah SWT. Akan tetapi, dalam realitas sebagai hadiah uang. Berdasarkan kedua defi-
dan perkembangannya, gratifikasi terkadang nisi tersebut, baik dalam kamus Bahasa Indo-
dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan- nesia maupun kamus Hukum, gratifikasi diar-
tujuan tertentu, sebagai media untuk menda- tikan sebagai pemberian hadiah berupa uang.
patkan keselamatan dan keuntungan. Dian- Definisi dalam kedua kamus tersebut bersifat
taranya ialah gratifikasi yang diberikan untuk netral. Artinya, amalan gratifikasi bukanlah
penguasa atau pegawai negara. Ditambah lagi merupakan suatu amalan tercela atau makna
dengan diberlakukannya undan-undang yang suatu perbuatan negatif. Sedangkan objek
melarang amalan gratifikasi dalam masyarakat gratifikasi dalam kamus Bahasa Indonesia
Indonesia. Padahal amalan tersebut sudah laz- jelas ditujukan kepada pegawai, sementara
im dilakukan oleh masyarakat. Amalan grati- dalam kamus Hukum objek gratifikasi tidak
fikasi tidak luput berlaku dalam dunia Islam ditentukan.2
dan juga dipraktikkan oleh orang muslim di Adapun definisi gratifikasi dalam un-
Indonesia. Hanya saja istilah gratifikasi secara dang-undang adalah pemberian dalam arti
harfiah tidak dikenal dalam sistem Hukum Is-
1 Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Tanti Yuniar,
lam. Maka dari itu, perlu ada pengkajian un-
(Jakarta: Agung Media Mulia, t.t.), hlm. 224.
tuk mencari perbincangan Hukum Islam men- 2 Eddy OS Hiareij, “Memahami Gratifikasi”,
genai gratifikasi. Dalam melakukan kajian ini Kompas.com, 13 Juni 2011.

2 Vol. 16, No. 1, Juni 2016 Al-Risalah


Konsep Grati ikasi dalam Perspektif Hukum Islam

luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, lebih luas dari sekedar material.5 Ahmad Mus-
rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa tafa al-Maraghi menjelaskan, bahwa yang di-
bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, maksudkan dengan sedekah ialah bukan saja
perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, memberikan suatu zat (benda) kepada orang
dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik lain dengan tujuan karena Allah, tetapi boleh
yang diterima di dalam negeri maupun di luar juga suatu perkhidmatan. Sebagaimana hadis
negeri dan yang dilakukan dengan mengguna- Rasul SAW yang diriwayatkan daripada Abu
kan sarana elektronik atau tanpa sarana elek- Aiyub yang artinya:
tronik.3 akan kutunjuki kepada kalian tentang sebaik-
Ringkasnya, dalam tinjauan undang-un- baik sedekah dari pada memberikan suatu
dang tidak semua gratifikasi dilarang. Grati- benda, ialah bersedekah dengan mendamaikan
kedua kelompok yang sedang bersengketa,
fikasi yang dibolehkan oleh undang-undang
menyatukan kedua kelompok yang sedang ber-
adalah pemberian yang dilakukan dengan niat pecah belah.
yang tulus dari seseorang kepada orang lain
Dalam hadis yang lain yang diriwayatkan
tanpa memikirkan diri sendiri artinya pembe-
dari ‘Abd Allah Ibn ‘Umar, Rasulullah bers-
rian dalam bentuk “tanda terimakasih” tanpa
abda yang artinya; “sebaik-baik sedekah ialah
mengharapkan balasan apa-apa. Sedangkan
mendamaikan kedua kelompok yang sedang
gratifikasi yang dilarang dalam undang-un-
bertelagah”.6
dang adalah perbuatan penerimaan gratifikasi
Dari beberapa definisi tersebut di atas,
oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Neg-
dapat disimpulkan bahwa sedekah merupakan
ara yang dianggap sebagai perbuatan korupsi
suatu amalan menyerahkan sesuatu barang/
apabila pemberian tersebut dilakukan karena
zat untuk dipergunakan atau dimiliki oleh
berhubungan dengan jabatannya dan berten-
orang lain karena mengharapkan pahala di-
tangan dengan kewajiban atau tugasnya.
akhirat nanti, atau mengharapkan ridha Allah.
Sedekah boleh berupa zat (benda) yang ketara
Konsep Gratifikasi dalam Hukum Islam
(materi) boleh juga juga berupa jasa (non ma-
teri).
1. Gratifikasi dalam Bentuk Sedekah
Ulama fikih sepakat mengatakan bahwa
Sedekah ialah pemberian berupa sesuatu yang sedekah merupakan salah satu amalan yang
berguna bagi orang lain yang memerlukan ban- disyari’atkan dan hukumnya ialah sunnah.
tuan (fakir dan miskin) dengan tujuan beriba- Kesepakatan mereka didasari pada surat al-
dah (mencari pahala) kepada Allah semata.4 Baqarah 2: 280.7 Sedekah ini disunnatkan di
Quraish Shihab mengartikan sedekah sebagai setiap saat, tanpa ada batas waktu. Sedekah se-
pengeluaran harta secara ikhlas yang bersi-
fat sunnah atau anjuran. Jika infaq berkenaan 5 Quraish Shihab, Quraish Shihab Menjawab:
dengan materi maka sedekah mempunyai arti 1001 Keislaman yang Patut Anda Ketahui (Ja-
karta: Lentera Hati, 2008), hlm. 191.
6 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,
3 Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2001 tentang Jilid Ke-2, (Makkah al-Mukarramah: Maktabah
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. al-Tijariyah, t.t), hlm. 154.
4 Kamus Istilah Fiqh, Abdul Mujieb dan Mabruri 7 Abdul Aziz Dahlan, (ed.), Ensiklopedi Hukum
Tholhah Syafi’ah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003),
1994), hlm. 311. hlm. 1619.

Al-Risalah Vol. 16, No. 1, Juni 2016 3


Abdul Karim, Fazzan, dan Zulqarnain

bagai amalan sunnah diterangkan melalui dal- milik seseorang kepada orang lain dikala dia
il al-Qur’an dan hadis. Adapun dalil tentang masih hidup tanpa adanya imbalan. Imam
anjuran bersedekah dalam al-Qur’an separti Taqy al-Din dalam kitab Kifayat al-Akhyar
yang dinyatakan di dalam nas QS. al-Baqarah menjelaskan, yang dimaksud dengan hibah
2: 245. Dan masih banyak lagi ayat al-Qur’an ialah tamliku bi‘ayri ‘iwad (pemilikan tanpa
yang bercakap tentang sedekah. Adapun dasar penggantian).11
hukum sedekah dalam hadis ialah hadis dari Berdasarkan berbagai definisi di atas,
Abu Hurayrah.8 dengan mudah boleh dikatakan bahwa hibah
Disamping sunnah, adakalanya hukum ialah suatu akad pemberian hak milik oleh
sedekah menjadi haram yaitu dalam kasus seseorang kepada orang lain ketika ia masih
seseorang yang bersedekah mengetahui pasti hidup tanpa mengharapkan imbalan dan balas
bahwa orang yang akan menerima sedekah jasa. Oleh sebab itu, hibah merupakan pem-
tersebut akan mempergunakan harta sedekah berian yang murni bukan karena mengharap-
untuk kemaksiatan. Adakalanya hukum kan pahala dari Allah SWT serta tidak pula
sedekah berubah menjadi wajib, yaitu ketika terbatas berapa jumlahnya. Maka apabila ses-
seseorang berjumpa dengan orang lain yang eorang memberikan hartanya kepada orang
sedang kelaparan hingga dapat mengancam lain untuk dimanfaatkan tetapi tidak diberikan
keselamatan jiwanya, sementara dia mempu- kepadanya hak pemilikan maka hal itu tidak
nyai makanan yang lebih dari apa yang diper- disebut hibah, ia disebut dengan i’arah (pinja-
lukan saat itu. Hukum sedekah juga menjadi man). Begitu juga, apabila seseorang member-
wajib jika seseorang bernazar hendak ber- ikan sesuatu kepada orang lain dengan tujuan
sedekah kepada seseorang atau lembaga. memperoleh pahala, hal separti ini disebut
dengan sedekah. Lain halnya jika tujuannya
2. Gratifikasi dalam Bentuk Hibah untuk menghormati atau sebagai penghargaan
atas prestasi seseorang baik ia berharap pahala
Hibah menurut syara’ juga diartikan ialah
atau tidak, itu dinamakan dengan hadiah.
pemilikan yang sunnat ketika hidup.9 Hibah
Adanya hibah juga didasari al-Qur’an
juga bermakna memberikan pemilikan harta
al-Karim. Dalam al-Qur’an, penggunaan kata
kepada orang lain di saat masih hidup tanpa
hibah digunakan dalam konteks pemberian
imbalan.10 Pengartian yang hampir sama
anugerah Allah SWT kepada utusan-utusan-
juga dikemukakan Sayid Sabiq dalam kitab-
nya, do’a-do’a yang dipanjatkan oleh hamba-
nya Fiqh al-Sunnah, yaitu suatu akad yang
hambanya, terutama para Nabi, dan menjelas-
pokok perpertanyaannya pemberian harta
kan sifat Allah yang Maha Memberi Kurnia.
Namun ayat tersebut boleh digunakan anjuran
8 Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, al-Maktabah al- secara awam, agar seseorang memberikan se-
Syamilah, Bab Sadaqah, Jilid Ke-2, Hadis No.
bahagian rezekinya kepada orang lain, mis-
1410, (t.tp: Dar Tuq al-Najah, 1422 H), hlm.108.
9 Al-Sayyid Abū Bakr, I‘ānah al-Tālibīn, Jilid. alnya, QS. al-Baqarah 2: 262 dan QS. al-Mu-
Ke-4, (Beirut: Dār al-Fikr, t.t), hlm. 141. nafiqun 63: 10.
10 ‘Abd al-‘Adim Ibn Badawi al-Khalafi, al-Wajiz
fi fiqh al-Sunnah wa al-Kitab al-‘Aziz: Kitab
al-Taharah wa al-Salah, Alih Bahasa oleh Tim
Tashfiyah LIPIA, (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 11 Taqy al-Din Abu Bakar Ibn Muhammad, Kifayat
2006), hlm. 66. al-Akhyar (Bandung: al-Ma’arif, t.t), hlm. 323.

4 Vol. 16, No. 1, Juni 2016 Al-Risalah


Konsep Grati ikasi dalam Perspektif Hukum Islam

3. Gratifikasi dalam Bentuk Hadiah Dari dua dalil tersebut dapat ditarik
Najamuddin Ahmad Ibn al-Rafi’ah dalam pemahaman bahwa pemberian hadiah
kitabnya Kifayah Rasulullah SAW fi Syarh dianjurkan oleh Allah dan disunnahkan
al-Tanbih yang dikutip oleh ‘Abd Ghani Ibn oleh Rasulullah. Hadiah merupakan suatu
Isma’il dalam Tahqiq al-Qadiyah fi al-Farq lambang kasih sayang diantara sesama
Bayna al-Risywah wa al-Hadiyah, ia berkata, manusia. Tidak dilihat besar dan kecilnya
hadiah ialah jenis-jenis kebaikan (pemberian) pemberian tersebut.
yang mengandung makna adanya peminda- Adapun tentang menerima hadiah
han hak milik tanpa alat tukar, yang mana ke- dibolehkan juga berdasarkan firman Al-
baikan itu dibawakan ke tempat orang yang lah SWT dalam QS. al-Nisa’ 4: 4 di atas.
diberi sebagai bentuk penghormatan untuk Dan hadis-hadis yang menunjukkan di-
memupuk silaturrahim.12 bolehkannya menerima hadiah sangatlah
Adapun tinjauan Islam berkenaan dengan banyak. Di antaranya ialah hadis riwayat
hukum memberi dan menerima gratifikasi da- al-Bukhari dari Ibn ‘Umar,15 hadis riwayat
lam bentuk hadiah dapat penulis jelaskan se- Malik dari ‘Ata’ Ibn Yasar,16 hadis riwayat
bagai berikut: Ahmad dari al-Muttalib Ibn ‘Abd Allah
a) Dibolehkan Memberi Hadiah. Ibn Hantab,17 hadis riwayat Ahmad dari
Memberi hadiah dan menerimanya Khalid Ibn ‘Ady al-Juhany,18 dan hadis ri-
serta membalas kepada yang memberi wayat Ahmad dari Abu Hurayrah.19
hadiah itu dibolehkan (tidak dimakruh- b) Rasulullah juga Menerima Hadiah.
kan) saling memberi hadiah sesama Rasulullah ialah manusia yang dija-
orang Islam, hukum ini disepakati oleh min oleh Allah terhindar dari kesalahan
mayoritas, walaupun ada sebahagian me- (ma’sum). Beliau ialah manusia yang
makruhkannya.13 Hadiah yang diberikan
15 Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Op. Cit., hlm.
dapat melahirkan kasih sayang dalam
123.
hati, maka sangat wajar jika Rasulullah 16 Malik, Mawata’ al-Imam Malik, al-Maktabah
menganjurkan untuk saling memberi al-Syamilah, Bab Ma Ja’a fi al-Ta’afuf ‘an al-
dan menerima hadiah, karena faedah dan Masa’alah, Jil. Ke-2, Hadis No. 9, (Beirut: Dar
manfaatnya amat besar bagi umat Islam. Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, 1985), hlm. 998. Lihat
‘Abd Ghani Ibn Isma’il, Tahqiq al-Qadiyah fi
Memberi hadiah ialah dibolehkan, hal ini al-Farq Bayna al-Risywah wa al-Hadiyah (t.tp.:
berdasarkan firman Allah SWT dalam al- Maktabah al-Qur’an, 2003), hlm. 38.
Qur’an al-Karim QS. al-Nisa’ 4: 4 dan 17 Al-Bayhaqi, al-Sunan al-Kubra, al-Maktabah al-
sabda Nabi Muhammad SAW dari Abu Syamilah, Bab I ’ta’ al-Ghani min al-Tatawu’, Jil.
Ke-6, Hadis No. 12043, (Beirut: Dar al-Kutb al-
Hurayrah.14
‘Ilmiyah, 2003), hlm. 305.
18 Ahmad bin Hambal, Musnad Imam Ahmad, al-
12 Ibid., 80-81. Maktabah al-Syamila, Bab Hadith Khalid Ibn
13 M. Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh ‘Ady al-Juhany ‘an al-Nabi SAW, Jil. Ke-29,
Islam, (Jakarta: Putra Rizki Putra, 1997), hlm. Hadis No. 17936, (t.tp: Mu’assasah al-Risalah,
445. 2001), hlm. 456. Sanad hadis ini sahih. Disamp-
14 Al-Turmidhi, Sunan al-Turmidhi, al-Maktabah ing itu, hadis ini juga diriwayatkan oleh Abu
al-Syamilah, Bab fi Hassi, Jilid Ke-4, Hadis No. Ya’la, al-Tabrani, Ibn Hibban dan Hakim.
2130, (Mesir: Syirkah Maktabah wa Matba'ah 19 Ahmad bin Hambal, Musnad Imam, Jilid Ke-13,
Mustafa al-Babi al-Halabi, 1975), hlm. 441. Op. Cit., hlm. 299.

Al-Risalah Vol. 16, No. 1, Juni 2016 5


Abdul Karim, Fazzan, dan Zulqarnain

sempurna, karena setiap amalan yang ia but di Madinah dan mengambil salah satu
lakukan tidak terlepas dari pantauan dan hamba sahaya itu untuk dirinya, yang ke-
tuntunan Allah. Ia melakukan sesuatu mudian melahirkan Ibrahim. Sedangkan
bukan mengedepankan keinginannya se- hamba sahaya yang satu lagi diberikan
mata, tetapi selalu dibimbing oleh wahyu. kepada Hasan Ibn Thabit, yang kemudian
Untuk itu, Rasulullah sekalipun men- melahirkan anak yang bernama Muham-
erima hadiah, sudah pasti akan terhindar mad.25
dari amalan-amalan yang menyimpang. Sekurang-kurangnya dari bebera-
Keputusan yang ia berikan boleh dipas- pa hadis yang telah penulis kemukakan
tikan tidak akan terpengaruh oleh had- jelaslah Rasulullah menerima pemberian
iah yang beliau terima. Oleh karena itu, hadiah, mulai dari pemberian oleh masa-
hadiah yang Nabi terima bukanlah hadiah yarakat biasa hingga para bangsawan
yang terlarang dan risywah. negara atau penguasa. Penerimaan Rasu-
Banyak dalil yang menerangkan ten- lullah SAW terhadap hadiah merupakan
tang Rasulullah SAW menerima pembe- salah satu wujud kemurahan hatinya dan
rian hadiah dari orang lain. Hal itu boleh satu bentuk akhlak yang baik yang akan
dilihat dari beberapa hadis Nabi yang di- menyatukan hati. Memakan makanan
riwayat al-Bukhari dari Abi Hurayrah,20 yang dihadiahkan dan memakai baju yang
21
hadis riwayat al-Bukhari dari Anas, merupakan hadiah ialah salah satu syi’ar
hadis riwayat al-Tabrani dari Anas Ibn Rasulullah SAW dan salah satu ciri beliau
22
Malik, hadis riwayat al-Bukhari dari sebagaimana tersurat dalam nas.
Abi Hurayrah,23 dan hadis riwayat Abu c) Tidak Boleh Memberi Hadiah kepada Ha-
Dawud dari Anas Ibn Malik.24 kim dan Pejabat.
Sebagai contoh lainnya, Nabi Mu- Dalam perbahasan yang lalu, di-
hammad SAW pernah menerima hadiah bolehkan memberi dan menerima hadiah
dari penguasa Qibti. Penguasa Koptik per- kepada sesama rakyat biasa, menerima
nah memberikan hadiah kepadanya beru- hadiah dari penguasa, dan Rasulullah pun
pa dua hamba sahaya perempuan yang pernah menerima hadiah. Akan tetapi bagi
bersaudara dan seekor hewan sejenis pejabat atau pegawai negara separti hakim
kuda. Lalu Nabi memandu hewan terse- dan lain-lain dilarang menerima hadiah.
Dengan begitu dilarang juga bagi yang
20 Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Jilid Ke-3., Op.
Cit., hlm. 155.
21 Ibid., Bab I’za Tahawalat al-Sadaqah, Jilid Ke-2, 25 Qutaybah al-Daynuri menulis dalam kitabnya
hlm. 128. al-Ma’arif, sebagaimana yang dikutip oleh ‘Abd
22 Al-Tabrani, al-Mu’jam al-Awsat, al-Maktabah Ghani bin Isma’il dalam Tahqiq al-Qadiyah,
al-Syamilah, Bab Man Baqiyah min Awali Ismi- ketika menyebut anak-anak Rasulullah SAW.
hi Mim min Ismihi Musa, Jilid Ke-8, Hadis No. Qutaybah al-Daynuri mengatakan, Ibrahim Ibn
8235, (al-Qahirah: Dar al-Haramayn, t.t), hlm. Mariyah al-Qibtiyah dilahiirkan di Madinah
150. selepas lapan tahun kedatangan Rasulullah SAW
23 Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Jilid Ke-3, Op. ke sana, ia hidup selama satu tahun, sepuluh bu-
Cit., hlm. 153. lan, dan lapan hari. ibunya, Mariyah al-Qibtiyah
24 Abu Dawud, Musnah Abi Dawud, al-Maktabah merupakan hadiah dari Muqawqis, penguasa Is-
al-Syamilah, Jilid Ke-3, Hadis No. 2169, (Mesir: kandariyah, untuk Rasulullah SAW. Lihat, ‘Abd
Dar Hijr, 1999), hlm. 537. Ghani bin Isma’il, Op. Cit., hlm. 70-71.

6 Vol. 16, No. 1, Juni 2016 Al-Risalah


Konsep Grati ikasi dalam Perspektif Hukum Islam

memberinya. Karena pemberian hadiah Dari ayat al-Qur’an dan hadis-hadis


kepada pegawai negara termasuk dalam di atas, walaupun bukan khusus bercakap
amalan hadiah yang diharamkan. Hal ini tentang konteks pemberi hadiah, karena
untuk menjaga hal-hal yang tidak baik dalam ayat dan hadis di atas lebih ke-
efeknya. Apalagi memberi hadiah kepada pada dilarangnya menerima pemberian
orang yang semula belum pernah mem- apabila dia sebagai pegawai negara, na-
beri hadiah ketika dia belum memangku mun larangan untuk memberikan boleh
jabatannya. Dalam hujjah hukum Islam, dipahami melalui mafhum mukhalafah,
mengantisipasi untuk tidak terbukanya yaitu dilarangnya petugas mengambil se-
peluang untuk terjadinya penyelewengan suatu pemberian bermakna larangan bagi
ini disebut sadd al-dhari’ah. Karena didu- seseorang memberikannya. Jadi, dari pe-
ga pemberian hadiah tersebut mempunyai mahaman mafhum mukhalafah nas-nas
maksud dan tujuan tertentu, tidak sekedar tersebut boleh dipahami bahwa bentuk
kasih sayang atau persaudaraan. Hal itu amalan yang mengatasnamakan hadiah
barangkali dilakukan untuk mendapatkan kepada penguasa atau pegawai negara
sesuatu yang diinginkannya, baik berupa ialah haram hukumnya.
pekerjaan, perlindungan, dukungan, dan Tentang pembahasan sebelumnya,
pertolongan. Kalau sudah demikian ben- bahwa Rasulullah pernah menerima had-
tuknya, maka itu bukan lagi hadiah seba- iah, itu khusus bagi Nabi, sedangkan
gaimana yang telah ditakrifkan, melaink- untuk hakim atau penguasa selain Nabi
an sudah merupakan bentuk kemaksiatan, diharamkan menerima hadiah dan mem-
karena pemberian itu tidak dimaksudkan berikan hadiah untuknya, sekalipun tanpa
untuk suatu kebaikan, yaitu keinginan un- adanya permintaan. Karena pemberian
tuk mendapat ridha Allah SWT. hadiah kepada selain Nabi, termasuk ke
Pemberian hadiah kepada penguasa dalam amalan yang dilarang. Hal ini seba-
dilarang berdasarkan al-Qur’an al-Karim gaimana kita fahami dari nas al-Qur’an
QS. ‘Ali ‘Imrān 3: 161 dan hadis Nabi dan hadis di atas. Disamping itu juga per-
Muhammad SAW riwayat al-Bukhārī nah dijelaskan oleh ‘Umar bin ‘Abd al-
dari Abi Humayd al-Sai’dy,26 hadis ri- ‘Aziz, ia suatu ketika diberi hadiah oleh
wayat Muslim dari ‘Adī Ibn ‘Amiyrah seseorang tapi ditolaknya karena waktu
al-Kindy,27 hadis riwayat al-Bukhārī dari itu dia sedang menjabat sebagai khalifah.
Abu Hurayrah,28 dan hadis riwayat Ah- Orang yang memberi hadiah kemudian
mad dari Abi Humayd al-Sai’dy.29 berkata, ‘’Rasulullah pernah menerima
hadiah’’. Lalu ‘Umar menjawab, ‘’hal itu
26 Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Jilid Ke-9, Op. bagi Rasulullah merupakan hadiah tapi
Cit., hlm. 70.
bagi kita itu ialah risywah.”30 Jadi, setiap
27 Muslim, Sahih Muslim, al-Maktabah al-Syami-
lah, Bab Tahrim Hadaya al-‘Amal, Jilid Ke-3, hadiah yang diberikan kepada pegawai
Hadis No. 30, (t.tp: Dar Tuq al-Najah, 1422 H), karena kedudukannya sebagai seorang
hlm. 1465. pegawai tidak boleh diterima dan haram
28 Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Jilid Ke-4, Op.
Cit., Hadis No. 3073. 30 Muhammad Yūsuf al-Qardāwī, al-Halāl wa al-
29 Ahmad bin Hambal, Musnad Imam, Jilid Ke-39, Harām fī al-Islām, (Beirut: al-Maktab al-Islāmī,
Op. Cit, hlm. 14. 1994), hlm. 230.

Al-Risalah Vol. 16, No. 1, Juni 2016 7


Abdul Karim, Fazzan, dan Zulqarnain

hukumnya karena andaikan pejabat terse- kebatilan atau untuk menghancurkan ke-
but tidak sedang menjabat dan hanya ting- benaran. Syaykh ‘Abd al-‘Azīz bin ‘Abd
gal di rumahnya nescaya tidak akan ada Allāh bin Baz mendefinisikan risywah
orang yang memberinya hadiah. dengan memberikan harta kepada ses-
Dengan demikian, hadiah juga seru- eorang sebagai pampasan pelaksanaan
pa dengan pemberian yang diharamkan, maslahat (tugas/kewajiban) yang tugas
apabila hadiah itu diberikan kepada pen- itu harus dilaksanakan tanpa menunggu
guasa. Hanya saja hukum hadiah boleh ganjaran atau uang tip.33
berubah bergantung pada masing-masing Dalam kitab Kasyf al-Qanna’an
atau pihak yang berkaitan dengannya. Jadi Matn al-Iqna’, karangan Mansur Ibn
dapat disimpulkan sebagai berikut, dalam Yunus Idris al-Bahuti. Definisi yang ada
Islam dibolehkan memberi hadiah kepada dalam kitab ini menurut penulis cukup
sesama dan boleh menerima hadiah dari menarik sebab ia mengemukakan bahwa
orang yang sederajat dan penguasa asal- jika pihak pertama memberikan sesuatu
kan hadiah itu berpunca dari harta yang kepada pihak kedua dalam rangka mence-
baik, bukan diperolehnya dengan cara gah pihak kedua agar tidak menzaliminya
yang haram. Adapun memberikan hadiah dan agar pihak kedua mahu melakukan
kepada penguasa dilarang, karena ditakut- kewajibannya maka pemberian semacam
kan akan menyimpang dari prinsip-prin- ini tidak dianggap risywah yang dila-
sip pemberian hadiah, artinya kemungki- rang agama.34 Senada dengan penganda-
nan tidak lagi hanya sekedar kasih sayang ian yang dikemukakan oleh al-Bahuti di
dan penghargaan, tetapi ditakutkan punya atas, Syams al-Haq al-‘Adim juga mem-
maksud-maksud tertentu. Untuk mengan- punyai pandangan yang hampir sama
tisipasi perkara tersebut, maka Rasulullah dengan al-Bahuti.35 Akan tetapi menurut
dan para sahabat menjangka sejak awal Syams al-Haq, pemberian atau risywah
dengan mengharamkan pemberian hadiah itu dilakukan harus dengan niat agar pe-
kepada penguasa, hakim dan pelaksana nyimpangan dan penyelewengan pihak
negara lain. penerima risywah boleh diubah semakin
d) Gratifikasi dalam Bentuk Risywah. baik. Dalam definisi ini dikemukakan
Al-Sayyid Abū Bakr mendefinisikan sebuah pengandaian, yaitu seandainya
risywah dengan “memberikan sesuatu pihak kedua melakukan kezaliman terh-
agar hukum diputuskan secara tidak be- adap pihak pertama dan pihak kedua tidak
nar/tidak adil, atau untuk mencegah putu- melaksanakan kewajiban-kewajiban yang
san yang benar/adil.”31 Definisi yang leb- seharusnya ia lakukan terhadap pihak per-
32
ih kurang sama diberikan oleh al-Jurjāni. tama, maka dalam isu ini boleh diberikan
Sedangkan menurut Ibrahim al-Nakha’ī,
33 Abū Abdul Halim Ahmad. S., Suap, Dampak dan
risywah ialah sesuatu yang diberikan Bahyanya Bagi Masyarakat, Cet. Ke-1, (Jakarta:
kepada seseorang untuk menghidupkan Pustaka al-Kautsar, 1996), hlm. 20-21.
34 Al-Bahuti, Kasyf al-Qanna’an Matn al-Iqna’
31 Al-Sayyid Abū Bakr, Op. Cit., hlm. 232. Jilid Ke-6, (Beirut: Dar al-Fikr, 1982), hlm. 316.
32 ‘Ali al-Jurjānī, al-Ta‘rīfāt, al-Maktabah al- 35 M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana
Syāmilah, http://alwarraq.com, al-Isdār al-Thānī, Islam, Cet. Ke-1, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm.
hlm. 111. 90.

8 Vol. 16, No. 1, Juni 2016 Al-Risalah


Konsep Grati ikasi dalam Perspektif Hukum Islam

sesuatu berupa risywah. dua bentuk risywah apabila ditinjau dari


Dari uraian di atas boleh disimpulkan tujuan melakukannya. Pertama, risywah
bahwa, risywah ialah sesuatu yang diberi- yang dilakukan dengan tujuan untuk mem-
kan kepada hakim atau pejabat dan lain- benarkan yang salah dan menyalahkan
lain dengan segala bentuk dan caranya. yang benar. Dengan kata lain, pemberian
Sesuatu yang diberikan adakala berupa untuk membatilkan kebenaran dan mem-
harta atau sesuatu yang bermanfaat bagi benarkan yang batil. Amalan risywah ini
penerima, sehingga keinginan pemberi boleh mengalahkan pihak yang semestin-
riyswah menjadi kenyataan. Dan amalan ya menang dan memenangi pihak yang se-
sedekah, hibah, hadiah, dan waqaf boleh patutnya kalah. Dan kedua, risywah yang
berubah menjadi risywah apabila pembe- dilakukan dengan tujuan untuk menuntut
rian itu diperuntukkan kepada penguasa atau memperjuangkan hak yang sepatut-
atau pegawai negara, dan kepada pihak nya diterima oleh pemberi (al-rasyi) atau
lain apabila pemberian tersebut bertujuan untuk menolak kemudaratan, kezaliman,
agar pihak penerima menuruti kemahuan dan ketidak adilan yang dirasakan oleh
pihak pemberi. pihak pemberi tersebut. Dalam arti lain,
Ibn ‘Abidin dengan mengutip kitab yaitu pemberian untuk mempertahankan
al-Fath, mengemukakan empat macam kebenaran dan mencegah kebatilan dan
bentuk risywah. Pertama, risywah yang kezaliman.
haram atas orang yang mengambil dan Berdasarkan kategori risywah yang
yang memberikannya, yaitu risywah un- penulis simpulkan di atas, maka hukum
tuk mendapatkan keuntungan dalam ke- riyswah ada dua pula, yaitu risywah yang
hakiman dan pemerintahan. Kedua, risy- hukumnya haram dan risywah yang huku-
wah terhadap hakim agar dia memutuskan mnya halal. Namun hukum dasar risywah
perkara, sekalipun keputusannya benar, ialah haram. Hal ini berlandaskan banyak
karena dia mesti melakukan hal itu. Ri- sekali dali-dalil, baik al-Qur’an, hadis,
sywah model ini haram bagi yang mem- maupun dalil-dalil ijtihadi lain yang men-
beri dan menerima. Ketiga, risywah untuk erangkannya yang akan penulis uraikan
meluruskan suatu perkara dengan mem- berikut ini:
inta penguasa menolak kemudaratan dan 1) Risywah yang Hukumnya Haram.
mengambil manfaat. Risywah ini haram Syariat Allah ialah cahaya yang
bagi yang mengambilnya saja. Dan keem- menerangi kegelapan, maka setiap
pat, risywah untuk menolak ancaman atas sesuatu yang dijadikan sarana untuk
diri atau harta, boleh bagi yang memberi menolong kebatilan di atas kebenaran
dan haram bagi orang yang mengambil. hukumnya haram. Dengan demikian,
Hal ini boleh dilakukan karena menolak risywah yang dilakukan dengan tu-
kemudaratan dari orang muslim ialah wa- juan untuk membenarkan yang salah
jib, namun tidak boleh mengambil harta dan menyalahkan yang benar hukum-
untuk melakukan yang wajib.36 nya jelas haram. Karena hal ini san-
Menurut penulis, subtansinya ada gat dilarang dan sangat dibenci da-
lam Islam karena sebenarnya amalan
36 Muhammad Amin, Khususyiyah Ibn ‘Abidin,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1386 H), hl. 78. tersebut termasuk amalan yang batil.

Al-Risalah Vol. 16, No. 1, Juni 2016 9


Abdul Karim, Fazzan, dan Zulqarnain

Dalil al-Qur’an tentang larangan dan Hurayrah.39


haramnya amalan risywah tersebut Dari hadis-hadis tersebut, Rasul-
ialah QS. al-Baqarah 2: 188, QS. al- lah SAW tidak hanya melaknat orang
Mai’dah 5: 42, QS. al-Mai’dah 5: 62 yang melakukan risywah. Namun
dan 63. celaan juga dialamatkan bagi orang
Dari uraian pendapat para mufa- yang menerima risywah. Hadis-hadis
sirin dalam mengomentari ayat-ayat di atas memberikan pandangan bah-
di atas, dapat disimpulkan bahwa Al- wa risywah haram baik orang yang
lah mengharamkan risywah dimana memberikan maupun menerimanya.
hal tersebut merupakan kebiasaan Selain al-Qur’an dan hadis, ke-
orang-orang Yahudi. Di dalam QS. haraman risywah juga sudah menjadi
al-Baqarah 2: 188 Allah melarang kesepakatan para ulama (ijma’). Ban-
memakan harta dengan cara batil atau yak sekali dalil ijma’ yang menyebut-
haram apapun jalannya. Namun di kan bahwa risywah haram. Salah sa-
ayat tersebut terdapat qarinah (bukti tunya separti apa yang dikemukakan
yang menguatkan) bahwa yang di- oleh Imam Al-Qurtubi dalam al-Jami’
maksudkan ialah risywah. Larangan li Ahkam, ketika menafsirkan QS. al-
tersebut diperkukuhkan dengan QS. Mai’dah 5: 42, ia mengatakan, ‘’Dan
al-Mai’dah 5: 42, 62 dan 63 yang tidak ada perbedaan hukum dikalan-
merupakan celaan yang amat bu- gan para salaf bahwa melakukan risy-
ruk bagi orang-orang Yahudi karena wah untuk menolak yang hak atau da-
melakukan risywah. Maka jelas sekali lam perkara yang dilarang merupakan
pandangan al-Qur’an bahwa risywah riyswah (suht) yang haram.’’40 Sedan-
merupakan kejahatan awam yang di- gkan dalam kitab Nihayah al-Muhtaj,
haramkan oleh Allah dan merupakan Imam al-Ramli yang digelar sebagai
kebiasaan orang-orang kafir dari ka- al-Syafi’i al-Saghir (Imam al-Syafi’i
langan Yahudi. kecil) menjelaskan, ‘’Bila saja ses-
Adapun keharaman risywah da- eorang mencurahkan harta untuk ber-
lam hadis, banyak sekali hadis-hadis hukum dengan yang tidak haq atau
yang menjelaskan tentang keharaman menolak berhukum dengan yang haq
risywah. Di antara ialah hadis riwayat maka ia telah berbuat risywah yang di
Abu Dawud,37 hadis riwayat Ibn Ma- haramkan secara ijma’.’’41
jah dari ‘Abd Allah Ibn ‘Umar,38 dan Hamd Ibn ‘Abd al-Rahman al-
hadis riwayat Al-Turmizi dari Abu Junayd dalam bukunya juga men-
jelaskan haramnya risywah secara
37 Abu Dawud, Sunan Abi Daud, Bab fi Kirahiyah
al-Risywah, Jilid Ke-3., Hadis No. 3580, hlm.
300. Al-Hakim, Mustadrak ‘Ala Sahihayn, Jil. 39 Al-Turmidhi, Sunan al-Turmidhi, Jilid Ke-4, Op.
Ke-4, Hadis No. 7066, (Beirut: Dar al-Kutub al- Cit., hlm. 614.
I’lmyah, 1990), hlm. 115. 40 Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Jilid
38 Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, al-Maktabah al- Ke-6, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993),
Syamilah, Bab al-Ta’liz fi al-Hayf wa al-Risy- hlm. 183.
wah, Jilid Ke-2, Hadis No. 2313, (t.tp: Dar ‘Ihya’ 41 Al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, Jilid Ke-8, (Bei-
al-Kitab al-‘Arabiyah, t.t), hlm. 775. rut: Dar al-Fikr, 1984), hlm. 255.

10 Vol. 16, No. 1, Juni 2016 Al-Risalah


Konsep Grati ikasi dalam Perspektif Hukum Islam

ijma’, sebagaimana petikannya Gambaran di atas memperlihat-


berikut ini, “Dan sungguh telah ber- kan ketegasan sikap ulama terhadap
sepakat para sahabat dan pengikut, amalan risywah. Bahkan dalam kon-
begitu juga dengan para ulama umat teks kehakiman, para ulama melaku-
atas haramnya risywah dengan segala kan tindakan preventif dengan meng-
bentuknya. Dan telah terdapat nas- haramkan penerimaan hadiah oleh
nas yang menjelaskan tentang pelak- seorang qadi padahal itu belum secara
sanaan dan tafsiran apa yang terdapat automatik boleh disebut risywah. Se-
dalam al-Qur’an dan sunnah serta orang qadi tidak boleh menerima had-
berusaha menjauhinya semaksimal iah dari siapa saja, baik dalam bentuk
mungkin”.42 uang atau lain bila si pemberi tidak
Berdasarkan dalil-dali kehara- biasanya memberi hadiah (sebelum
man risywah di atas, baik al-Qur’an, ia menjabat). Atau orang itu pernah
hadis, dan konsensus (ijma’) para memberinya hadiah, tetapi setelah ia
ulama, maka risywah dengan segala memangku jabatannya, orang terse-
bentuknya ialah haram. Sebagaimana but melebihkan jumlah dan jenisnya.
yang sudah disebutkan sebelumnya, Hal ini sebagaimana yang diterang-
salah satu bentuk amalan risywah kan dalam kitab I‘anah al-Tālibīn.45
ialah pemberiah (hadiah) yang tu- Dari keterangan di atas, terlihat
juannya untuk kebatilan. Seorang dimana kecenderungan emosional
pejabat haram hukumnya menerima manusia boleh mempengaruhi kepu-
hadiah. Bahkan termasuk hadiah yang tusan yang akan diambilnya. Bagi
diharamkan bagi seorang pegawai mereka yang memegang kuasa di
yang meski tidak sedang berkaitan sektor awam, keadaan ini boleh men-
perkara atau urusan, karena kalau ada imbulkan kerugian bagi pihak lain
kebiasaan memberi hadiah sebelum dan harus dicegah sejak awal. Sama
menjadi pegawai, setelah menduduki halnya dengan larangan memutuskan
jabatan terjadi peningkatan jumlah perkara dalam keadaan emosi sedang
kebiasaan pemberian hadiah terse- tidak normal. Atas partimbangan itu,
but.43 Seorang pegawai juga haram muncullah ketetapan hukum yang
menerima hadiah dari seseorang yang mana seorang hakim tidak dibenar-
jika bukan karena jabatannya, nes- kan memutuskan hukum bagi dirinya,
caya orang tersebut tidak akan mem- orang tuanya, anak-anaknya dan bagi
berikannya.44 rakan kerjanya. Tetapi mereka dipu-
tuskan oleh imam atau hakim yang
42 Hamd Ibn ‘Abd al-Rahman al-Junayd, Atharu
lain, atau penggantinya. Hal ini untuk
Risywah fi Ta’thuri Namwi al-Iqtisadi wa Asal-
ib Daf’iha fi Zilli Syari’ah Islamiyah, (Riyad: mengelakkan tuhmah (isu pembicar-
al-Markas al-‘Arabi li Dirasah al-Amniyyah wa aan tidak baik). Hakim tidak dibenar-
Tadrib, 1982), hlm. 5. kan memutuskan suatu dasar atau hu-
43 Muhammad Amin Ibn ‘Abidin, Rad al-Mikhtar kum bagi sebahagian orang tua (ibu
‘alā al-Dār al-Mukhtar Hasyiyat Ibn ‘Abidin,
Jilid Ke-4, (Beirut: Dār al-Ihyā’, 1987), hlm. 34.
44 Ibid., Jilid Ke-5, hlm. 373. 45 Al-Sayyid Abū Bakr, Op. Cit., hlm. 229.

Al-Risalah Vol. 16, No. 1, Juni 2016 11


Abdul Karim, Fazzan, dan Zulqarnain

bapak) dan anak-anaknya, karena Abu Lays al-Samarqand berkata,


hal ini boleh menimbulkan jurang di ‘’dalam kasus separti ini (risywah un-
pihak lain, mereka akan menilai da- tuk mencegah kezaliman) tidak ada
lam proses pengambilan keputusan masalah jika seseorang menyerah-
terdapat unsur nepotisme. Demikian kan hartanya kepada orang lain demi
juga kepada saudara-mara atau rakan mencari kebenaran.’’46 Termasuk
kongsinya, dalam hal ini orang akan juga orang yang dibenarkan menyer-
menganggap adanya unsur pakatan ahkan hartanya karena kasuselamatan
sulit. jiwanya terancam dan tidak dimung-
Oleh karena itu, bagi seorang kinkan untuk membela diri. Pembe-
imam (pemimpin), pejabat, dan rian risywah separti ini tidaklah di-
petugas haram menerima pemberi- larang, sebagaimana yang dimaksud
an dari sesiapa, karena hal ini boleh dalam berfirman Allah SWT QS. Al-
melemahkan kredibiliti seorang Baqarah 2: 286.
pemimpin yang ideal berperanan se- Dengan demikian, risywah un-
bagai pihak yang netral terhadap se- tuk mempertahankan kebenaran dan
luruh rakyatnya. Dengan menerima mencegah marabahaya serta kezali-
pemberian, termasuk hadiah, ia akan man itu dibenarkan jika memang
bersikap lunak dalam setiap dasar. tidak ada penyelesaian lain dan jika
Apalagi pelaku memberikan risywah tidak diberikan risywah justru akan
jelas-jelas untuk suatu maksud yang menimbulkan bahaya yang lebih be-
dapat menghilangkan atau mengu- sar.
rangkan hak orang lain. Berdasarkan uraian konsep gratifikasi
2) Risywah yang Hukumnya Halal. di atas, kelihatan bahwa dalam Islam, secara
Sebahagian ulama memboleh- garis besar, gratifikasi dengan berbagai macam
kan (rukhsah) amalan risywah (pem- bentuknya terbahagi ke dalam dua kelompok.
berian) yang dilakukan dengan tujuan Ada yang pada dasarnya bernilai positif, di-
untuk menuntut atau memperjuang- mana syara’ memang menganjurkan akan hal
kan hak yang sepatutnya diterima itu, separti sedekah, hibah, serta hadiah, dan
oleh pemberi (al-rasyi) atau untuk ada yang pada dasarnya bermakna negatif,
menolak kemudaratan, kezaliman, yaitu risywah atau hadiah yang diberikan
dan ketidak adilan yang dirasakan kepada penguasa yang memang sangat dila-
oleh pihak pemberi tersebut. Karena rang Islam. Bahkan boleh jadi gratifikasi yang
pemberian tersebut bertujuan untuk mengandungi nilai positif itu boleh berubah
mempertahankan kebenaran dan menjadi negatif, hal itu sangat bergantung
mencegah kebatilan dan kezaliman. dari tujuan diberikan dan kepada siapa dia
Namun, ia harus bersabar terlebih memberikannya. Untuk itu, gratifikasi positif
dahulu sehingga Allah membukakan akan mendapat ganjaran positif. Dan grati-
jalan untuknya. Mayoritas ulama ber- fikasi negatif tentunya akan mendapat huku-
pendapat, risywah jenis kedua ini,
46 ‘Abd Allah bin ‘Abd Muhsin, Suap dalam Pan-
yang menanggung dosanya hanya
dangan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press,
orang yang menerimanya. 2001), hlm. 9-11.

12 Vol. 16, No. 1, Juni 2016 Al-Risalah


Konsep Grati ikasi dalam Perspektif Hukum Islam

man yang negatif pula. man (‘uqubah).


Dengan melakukan analisa terhadap tiga
Hukuman Terhadap Pelaku Gratifikasi macam ta‘zīr, yaitu, al-ta‘zīr ‘alā al-ma‘āsī,
dalam Islam al-ta‘zīr li al-maslahah al-‘ammah, dan al-
ta‘zīr ‘ala al-mukhalafāt, maka gratifikasi
Gratifikasi yang mengandungi nilai positif
dalam bentuk risywah termasuk ke dalam kat-
akan mendapatkan balasan yang positif, jika
egori ta‘zīr al-ta‘zīr ‘alā al-ma‘āsī. Hal ini
niat dalam melakukan amalan itu semata-mata
disebabkan, risywah merupakan suatu amalan
karena Allah, bukan karena dipengaruhi oleh
maksiat yang dilarang oleh Allah dan Rasul-
faktor lain selain diri-Nya. Di antara ganjaran-
Nya melalui nas, hanya saja hukumanya yang
ganjaran kebaikan itu ialah, nanti sebahagian
tidak dijelaskan dalam al-Qur’an dan hadis.
besarnya akan diperolehi di akhirat. Orang
Oleh karena itu ia masuk dalam kategori
yang memberi sedekah, hibah, dan hadiah,
ta’zir. Karena ada penyebutan pengharaman
akan menuai hasilnya nanti, bergantung
amalannya saja dalam nas belum cukup me-
seberapa besar pemberian itu di dunia. Bila
masukkannya ke dalam klasifikasi hukuman
dia berbuat banyak, maka dia akan mendapat-
hudud. Jadi gratifikasi dalam bentuk risywah
kan banyak, tidak akan luput kebaikan itu dari
merupakan maksiat yang diharamkan selama-
balasan Allah nanti, walau sedikit pun. Allah
lamanya, untuknya dapat diganjar dengan hu-
menjanjikan, apa saja yang diberikan sese-
kuman yang berlaku untuk jarīmah ta‘zīr.
orang dengan ikhlas, pasti akan memperoleh
Sedangkan hukuman dalam bentuk had-
balasan. Orang-orang yang memberikan har-
iah boleh dikumpulkan kedalam al-ta‘zīr li al-
ta mereka di jalan Allah tanpa takut menjadi
maslahah al-‘ammah. Al-ta‘zīr li al-maslahah
miskin, akan memperoleh rahmat yang sangat
al-‘ammah hukumnya dilarang apabila me-
menakjubkan. Apa saja yang dibelanjakan di
menuhi syarat-syarat tertentu, karena tindakan
jalan Allah akan diganjar sepenuhnya. Hal ini
itu sendiri tidak bersifat maksiat. Hal ini sama
sebagaimana yang disampaikan Allah SWT
persis apa yang terdapat pada hadiah. Hadiah
melalui beberapa firmannya dalam al-Qur’an
pada dasarnya ialah suatu amalan yang dian-
al-Karim QS. Al-aqarah 2: 272.
jurkan, kemudian dikarenakan pemberian itu
Hukuman adalah balasan untuk pelaku
kepada penguasa, maka itu sudah memenuhi
amalan yang dilarang dalam syariat Islam
syarat amalan tersebut menjadi maksiat. Jadi
yang sering disebut dengan al-‘uqubah. Di-
memberinya kepada pegawai menjadi sebab
mana hukuman merupakan suatu bentuk aki-
hadiah dilarang. Dalam sisi yang lain, hadiah
bat yang harus ditanggung akibat melalukan
ini juga termasuk ke dalam al-ta‘zīr ‘alā al-
sesuatu yang dilarang dalam agama (jari-
ma‘āsī, karena hadiah kepada penguasa me-
mah), sebagai pemberi kasusan penghalang
mang sesuatu yang dilarang oleh Rasulullah,
untuk pelaku dan juga sebagai pembelajaran
sesuatu yang dilarang oleh Nabi berarti suatu
untuk orang lain agar tidak melakukan amalan
kemaksiatan. Jadi, ditinjau dari segi hadiah
yang sama. Dikarena gratifikasi bentuk risy-
secara awam, maka hukuman dalam bentuk
wah dan hadiah kepada petugas negara dalam
hadiah termasuk al-ta‘zīr li al-maslahah al-
Islam merupakan suatu pesalahan terhadap
‘ammah. Dan ditinjau dari segi khusus, had-
aturan syariat (al-jarimah), maka bagi pelaku
iah kepada penguasa, hukuman hadiah ter-
amalan tersebut layak untuk diberikan huku-
masuk dalam al-ta‘zīr ‘alā al-ma‘āsī. Sedikit

Al-Risalah Vol. 16, No. 1, Juni 2016 13


Abdul Karim, Fazzan, dan Zulqarnain

penulis tambah, segala bentuk amalan grati- sampai membinasakan. Dengan begitu sehar-
fikasi dalam Islam, sekalipun pada awalnya usnya dalam hukuman terhadap amalan ta‘zīr
bukan maksiat, maka boleh dikumpulkan ke tidak termasuk pemotongan anggota badan,
dalam al-ta‘zīr li al-maslahah al-‘ammah jikaapalagi sifatnya sampai menghilangkan nya-
amalan tersebut boleh terbukanya peluang ke- wa. Akan tetapi, ada sebahagian ahli hukum
pada kemaksiatan, misalnya sedekah, hibah, Islam memberikan pengecualian dari keteta-
waqaf, yang mana penerimanya ialah pen- pan awam tersebut, sehingga dibolehkannya
guasa. Hal ini untuk menjangka kemungkinan pemberian hukuman hukuman mati dalam kat-
berlakunya risywah. egori jarimah ta‘zīr. Hal demikian dibolehkan
Maka dari itu, hukuman untuk amalan jika kepentingan awam menghendakinya atau
gratifikasi yang diharamkan dalam Islam ialah apabila pembasmian terhadapnya tidak boleh
dalam bentuk hukuman ta’zir, hakim diberikan terealisasi kecuali dengan jalan menghukum-
kuasa untuk menjatuhkan hukuman untuknya, nya sampai mati (membunuhnya).
mulai dari hukuman yang paling ringan sam- Hukuman mati yang merupakan huku-
pai kepada hukuman yang paling berat sesuai man bagi pelaku jarimah ta‘zīr boleh dijatuh-
dengan pesalahan atau kesalahan dalam grati- kan separti kepada pelaku jarimah mata-mata,
fikasi. Untuk itu, jenis-jenis hukuman untuk pembuat fitnah, pelaku bid‘ah dan perogol
amalan gratifikasi tersebut sangat berbeda, yang membahayakan. Sukar memang menga-
dan hakim mempunyai hak untuk menetapkan takan bahwa di dalam jarīmah ta‘zīr tidak ada
salah satunya. Jadi jenis-jenis hukuman atau hukuman mati.49 Oleh karena itu hukuman da-
hukuman untuk kategori jarimah ta‘zīr grati- lam bentuk hukuman mati boleh dilaksanakan
fikasai ialah sebagai berikut:47 bagi pelaku jarimah ta‘zir tertentu. Karena
kasusan kerosakan yang ditimbulkannya cu-
1. Hukuman Mati kup luar biasa. Kasusan ini sama halnya den-
gan apa yang berlaku pada gratifikasi, kasu-
Hukuman mati dalam jarimah ta‘zīr disebut
san yang ditimbulkannya sudah merosakkan
dengan al-qatl al-siyāsah.48 Pada hakikat-
tatanan sosial masyarakat.
nya, tujuan utama hukuman ta‘zīr ialah untuk
memberikan pengajaran (ta’dib) dan tidak
2. Hukuman Cambuk

47 ‘Abd al-Qādir ‘Awdah, al-Tasyrī‘ al-Jina’ī al- Para ulama sepakat memasukkan cambuk ke
Islāmī, Jilid Ke-1, (Beirut: Dār al-Kutub, 1963), dalam salah satu daripada hukuman terhadap
hlm. 687-708. jarīmah ta‘zīr. Namun para ulama berselisih
48 Hukuman mati dalam jarimah ta‘zīr disebut den-
pendapat dalam menetapkan batas tartinggi
gan al-qatl al-siyāsah karena dalam penetapan-
nya ada campur tangan penguasa atau hakim. hukuman cambuk dalam ta‘zīr. Imām Abū
Tentunya hal ini berbeda dengan hukuman mati Hanīfah dan Muhammad berpendapat bahwa
pada kasus qisās-diyāt dan hudūd yang dikenal batas tartinggi hukuman cambuk dalam ta‘zīr
dengan sebutan al-qatl al-syar‘ī. Penyebutan al- ialah tiga puluh sembilan kali, dan menu-
qatl al-syar‘ī terhadap hukuman mati pada huku-
rut Abū Yūsuf ialah tujuh puluh lima kali.
man qisās-diyāt dan hudūd dikarenakan ketentu-
annya sendiri sudah diatur oleh nas (al-Qur’ān Sementara di kalangan Syāfi‘iyyah ada tiga
atau hadis) sehingga tidak ada peluang bagi pen- pendapat. Pertama, sama dengan pendapat
guasa atau hakim untuk merubahnya, baik dalam
artian menambah ataupun menguranginya. Ibid. 49 Ibid.

14 Vol. 16, No. 1, Juni 2016 Al-Risalah


Konsep Grati ikasi dalam Perspektif Hukum Islam

Abū Hanīfah dan Muhammad, yaitu batas tart- mungkin penjara seumur hidup atau sampai
inggi hukuman dalam ta‘zīr ialah tiga puluh batasan bertaubat).51
sembilan kali. Kedua, sama dengan pendapat
Abū Yūsuf yaitu tujuh puluh lima kali jilid. 4. Hukuman Disalib
Dan pendapat ketiga, hukuman cambuk pada
Hukuman dalam bentuk salib selain terda-
ta‘zīr boleh lebih dari tujuh puluh lima kali,
pat pada hukuman untuk jarīmah ta‘zīr juga
tetapi tidak sampai seratus kali, dengan syarat
tedapat pada hukuman untuk jarīmah hudūd.
bahwa jarīmah ta‘zīr yang dilakukan hampir
Akan tetapi hukuman dalam bentuk salib
sejenis dengan jarīmah hudūd.
pada hukuman ta‘zīr tidak disertai oleh huku-
Menurut pendapat yang popular di kalan-
man mati, namum pelakunya disalib dalam
gan ahli fikih Mālikī, batas tartinggi diserah-
keadaan hidup dan dibolehkan untuk makan
kan kepada penguasa karena hukuman ta‘zīr
dan minum, tidak dilarang mengerjakan wud-
didasarkan atas kemaslahatan masyarakat dan
hu’, tetapi dalam mengerjakan solat cukup
disesuaikan berdasarkan berat dan ringannya
dengan isyārah saja. Dan batasnya menurut
pesalahan.50 Jadi dalam pendapat ini tidak
ahli fikih tidak boleh melebihi dari tiga hari
adanya sekatan minimum dan maksimum
lamanya.52
dalam pemberian hukuman ta‘zīr, hukuman
yang diberikan sangat bergantung kepada situ-
asi dan keadaan dengan partimbangan utama 5. Hukuman Pengasingan
ialah kemaslahatan bagi masyarakat awam, Pengasingan yang dalam bahasa Arabnya
bukan partimbangan individu atau kelompok disebut dengan al-hajr merupakan salah satu
tertentu. daripada hukuman untuk jarīmah ta‘zīr yang
boleh dipilih oleh hakim untuk ditetapkan ke-
3. Hukuman Penjara pada pesalah jarīmah ta‘zīr. Rasulullah per-
nah melakukan hukuman untuk jarīmah ta‘zīr
Hukuman dalam bentuk penjara atau dis-
dalam bentuk pengasingan bagi para pelaku
ebut juga dengan hukuman kurungan dalam
jarīmah, yaitu terhadap tiga orang (Ka‘ab bin
Hukum Islam ada dua bentuk, yaitu pertama
Mālik, Mirārah Ibn Rubay‘ah, dan Hilāl Ibn
penjara terhad atau sementara (ada batas
‘Umayyah) yang mana ketiganya tidak ikut
masa tertentu). Batas terendah dari hukuman
serta dalam perang Tabuk. Mereka dipulaukan
dalam bentuk penjara terhad ini ialah satu
oleh masyarakat dengan tidak diajak bicara se-
hari, sedangkan batas tartingginya menurut
lama lima puluh hari, sehingga pada akhirnya
Syāfi‘iyyah ialah selama satu tahun, dengan
turunlah ayat QS. al-Tawbah 9: 118.
mempersamanakan (menganalogikan)-nya
kepada pengasingan dalam jarīmah al-zinā.
Sedangkan ulama lain menyerahkan semuanya 6. Hukuman Denda
kepada penguasa dengan mempartimbangkan Islam juga mengenakan hukuman denda terh-
al-maslāhāh. Kemudian yang kedua penjara adap pelaku jarīmah yang digolongkan dalam
tidak terhad (tidak ditentukan batas masanya, kategori ta‘zīr. Misalnya mengenai pencurian
buah yang masih di pohonnya, hukuman-
50 Ibid., 689-694. Lihat juga, Wahbah al-Zuhaylī,
al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhū, (Damsyiq: Dār 51 Abd al-Qādir ‘Awdah, Loc. Cit.
al-Fikr, 1989), hlm. 5601. 52 Ibid., hlm. 689.

Al-Risalah Vol. 16, No. 1, Juni 2016 15


Abdul Karim, Fazzan, dan Zulqarnain

nya berupa denda dua kali ganda harga buah berikut. Pertama, sedekah ialah penyerahan
tersebut, di samping hukuman lain yang ses- pemilikan harta kepada orang lain tanpa adan-
uai dengan amalannya tersebut. Demikianlah ya alat tukar, dilakukan hanya demi mem-
yang ditegaskan oleh Nabi SAW berikut ini, peroleh pahala di akhirat. Kedua, hibah ialah
“Dan barangsiapa yang membawa sesuatu ke penyerahan pemilikan harta kepada orang lain
luar, maka atasnya denda sebanyak dua kali tanpa adanya alat tukar dan tanpa mengharap-
beserta hukuman”. Dan hukuman yang sama kan balasan apapun. Ketiga, hadiah ialah pe-
juga dikenakan kepada orang yang menyem- nyerahan pemilikan harta kepada orang lain
bunyikan barang hilang.53 tanpa adanya balasan atau alat tukar, yang
Di samping hukuman yang telah dis- mana penyerahan itu dihantar ke tempat
ebutkan di atas, masih ada beberapa bentuk orang yang diberi sebagai penghormatan atau
hukuman ta‘zīr lain yang boleh dikenakan ke- karena prestasi. Jadi perbedaan hibah dengan
pada pelaku gratifikasi menurut hukum Islam, hadiah ialah, hadiah diberikan karena peng-
misalnya hukuman dalam bentuk pengasin- hormatan atau karena prestasi seseorang. Dan
gan, hukuman dalam bentuk celaan, huku- keempat, risywah ialah sesuatu yang diberi-
man dalam bentuk tasyhir (yaitu penerbitan kan kepada hakim atau penguasa dan lainnya
dengan tujuan untuk memaklumkan kepada dengan segala bentuk dan caranya. Pemberian
masyarakat tentang kejahatan yang dilaku- itu adakalanya berupa harta atau sesuatu yang
kannya, ini termasuk hukuman moral), huku- bermanfaat bagi penerima, sehingga keingi-
man dalam bentuk ancaman, hukuman dalam nan pemberi tersebut terwujud.
bentuk teguran, dan hukuman dalam bentuk Bentuk gratifikasi dalam Islam tersebut
peringatan,54 dan lain-lain. Intinya, jarīmah ada yang termasuk ke dalam kategori positif
ta‘zīr gratifikasi dalam bentuk risywah dan dan kategori amalan negatif. Gratifikasi dalam
hadiah kepada penguasa ialah amalan maksiat bentuk sedekah, hibah, dan hadiah termasuk
yang merugikan atau mengganggu kepentin- ke dalam amalan gratifikasi positif, amalan-
gan awam dan merupakan kuasa hakim atau amalan tersebut memang dianjurkan dalam
penguasa untuk menjatuhkan hukuman terten- Islam. Kepada pelaku amalan gratifikasi ini
tu sesuai dengan berat ringannya amalan yang akan mendapat ganjaran berupa syurga dan di
diperbuat. Karena tidak ada peraturan syar‘ī dunia ini akan semakin dilipatkan gandakan
yang menetapkan hal itu secara konkrit. hartanya, karena amalan yang tersebut ter-
masuk bahagian dari bentuk syukur terhadap
Penutup harta yang telah diamanahkan Allah padanya.
Adapun gratifikasi dalam bentuk hadiah
Dari uraian tentang gratifikasi dapat disim-
kepada penguasa dan risywah termasuk ke
pulkan bahwa, dalam Islam gratifikasi mem-
dalam amalan gratifikasi negatif, karena dua
punyai makna yang sangat luas, yaitu segala
bentuk amalan gratifikasi ini amalannya telah
bentuk pemberian. Amalan-amalan gratifikasi
disebutkan dalam al-Qur’an maupun hadis
dalam Islam adakala berupa sedekah, hibah,
sebagai amalan yang dilarang syara’, yaitu
hadiah, dan risywah. Di antara beberapa ben-
suatu amalan maksiat (jarimah), sementara
tuk gratifikasi itu dapat dibezakan sebagai
dalam nas tidak diterangkan jenis hukuman
untuknya. Dan memberikan risywah dalam
53 Ibid., hlm. 703-704.
54 Ibid., hlm. 702-703. keadaan untuk menegakkan kebenaran dan

16 Vol. 16, No. 1, Juni 2016 Al-Risalah


Konsep Grati ikasi dalam Perspektif Hukum Islam

mencegah kezaliman, menurut sebahagian jiz fi fiqh al-Sunnah wa al-Kitab al-‘Aziz:


ulama ada kemaafan (rukhsah), ketika tidak Kitab al-Taharah wa al-Salah, Alih Ba-
ada penyelesaian lain untuk itu. hasa Tim Tashfiyah LIPIA, Bogor: Pus-
Gratifikasi dalam bentuk hadiah kepa- taka Ibnu Katsir, 2006.
da penguasa dan risywah termasuk kedalam ‘Abd Ghani Ibn Isma’il, Tahqiq al-Qadiyah fi
kategori jarimah ta’zir. Untuk itu, pelaku al-Farq Bayna al-Risywah wa al-Hadi-
amalan tersebut dihukum dengan hukuman yah, t.tp: Maktabah al-Qur’an, 2003.
dalam bentuk hukuman ta’zir, mulai huku- Ahmad bin Hambal, Musnad Imam Ahmad,
man terberat hingga hukuman teringan. Dasar al-Maktabah al-Syamila, Bab Hadith
dalam memilih hukuman gratifikasi ini diten- Khalid Ibn ‘Ady al-Juhany ‘an al-Nabi
tukan oleh hakim dengan mempartimbangkan SAW, Jil. Ke-29, Hadis No. 17936, t.tp:
maslahatnya. Mu’assasah al-Risalah, 2001.
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-
Bibliography Maraghi, Jilid Ke-2, Makkah al-Mukar-
ramah: Maktabah al-Tijariyah, t.t.
Literatur ‘Ali al-Jurjānī, al-Ta‘rīfāt, al-Maktabah al-
Abdul Aziz Dahlan, (ed.), Ensiklopedi Hukum Syāmilah, http://alwarraq.com, al-Isdār
Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, al-Thānī.
2003. Al-Bayhaqi, al-Sunan al-Kubra, al-Maktabah
Abdul Mujieb dan Mabruri Tholhah Syafi’ah, al-Syamilah, Bab I ’ta’ al-Ghani min al-
Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: Pustaka Fir- Tatawu’, Jil. Ke-6, Hadis No. 12043,
daus, 1994. Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2003.
Abū Abdul Halim Ahmad. S., Suap, Dampak Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, al-Maktabah
dan Bahyanya Bagi Masyarakat, Cet. al-Syamilah, Bab Sadaqah, Jilid Ke-2.,
Ke-1, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1996. Hadis No. 1410, t.tp: Dar Tuq al-Najah,
Abu Dawud, Musnah Abi Dawud, al-Makta- 1422 H.
bah al-Syamilah, Jilid Ke-3, Hadis No. Al-Bahuti, Kasyf al-Qanna’an Matn al-Iqna’
2169, Mesir: Dar Hijr, 1999. Jilid Ke-6, Beirut: Dar al-Fikr, 1982.
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Bab fi Kira- Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Jilid
hiyah al-Risywah, Jilid Ke-3., Hadis No. Ke-6, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,
3580, hlm. 300. Al-Hakim, Mustadrak 1993.
‘Ala Sahihayn, Jilid Ke-4, Hadis No. Al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, Jilid Ke-8,
7066, Beirut: Dar al-Kutub al-I’lmyah, Beirut: Dar al-Fikr, 1984.
1990. Al-Sayyid Abū Bakr, I‘ānah al-Tālibīn, Jilid.
‘Abd Allah bin ‘Abd Muhsin, Suap dalam Ke-4, Beirut: Dār al-Fikr, t.t.
Pandangan Islam, Jakarta: Gema Insani Al-Turmidhi, Sunan al-Turmidhi, al-Mak-
Press, 2001. tabah al-Syamilah, Bab fi Hassi, Jilid
‘Abd al-Qādir ‘Awdah, al-Tasyrī‘ al-Jina’ī al- Ke-4, Hadis No. 2130, Mesir: Syirkah
Islāmī, Jilid Ke-1, Beirut: Dār al-Kutub, Maktabah wa Matba'ah Mustafa al-Babi
1963. al-Halabi, 1975.
‘Abd al-‘Adim Ibn Badawi al-Khalafi, al-Wa- Al-Tabrani, al-Mu’jam al-Awsat, al-Makta-
bah al-Syamilah, Bab Man Baqiyah min

Al-Risalah Vol. 16, No. 1, Juni 2016 17


Abdul Karim, Fazzan, dan Zulqarnain

Awali Ismihi Mim min Ismihi Musa, Jilid Muhammad Yūsuf al-Qardāwī, al-Halāl wa
Ke-8, Hadis No. 8235, al-Qahirah: Dar al-Harām fī al-Islām, Beirut: al-Maktab
al-Haramayn, t.t. al-Islāmī, 1994.
Eddy OS Hiareij, “Memahami Gratifikasi”, Muhammad Amin Ibn ‘Abidin, Rad al-
Kompas.com, 13 Juni 2011. Mikhtar ‘alā al-Dār al-Mukhtar Hasyi-
Hamd Ibn ‘Abd al-Rahman al-Junayd, Atharu yat Ibn ‘Abidin, Jilid Ke-4, Beirut: Dār
Risywah fi Ta’thuri Namwi al-Iqtisadi wa al-Ihyā’, 1987.
Asalib Daf’iha fi Zilli Syari’ah Islami- Muslim, Sahih Muslim, al-Maktabah al-
yah, Riyad: al-Markas al-‘Arabi li Dira- Syamilah, Bab Tahrim Hadaya al-‘Amal,
sah al-Amniyyah wa Tadrib, 1982. Jilid Ke-3, Hadis No. 30, t.tp: Dar Tuq
Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, al-Maktabah al-Najah, 1422 H.
al-Syamilah, Bab al-Ta’liz fi al-Hayf wa Quraish Shihab, Quraish Shihab Menjawab:
al-Risywah, Jilid Ke-2, Hadis No. 2313, 1001 Keislaman yang Patut Anda Keta-
t.tp: Dar ‘Ihya’ al-Kitab al-‘Arabiyah, t.t. hui, Jakarta: Lentera Hati, 2008.
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh Tanti Yuniar, Kamus Lengkap Bahasa Indone-
Islam, Jakarta: Putra Rizki Putra, 1997. sia, Jakarta: Agung Media Mulia, t.t.
M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pi- Taqy al-Din Abu Bakar Ibn Muhammad, Ki-
dana Islam. Cet. Ke-1, Jakarta: Amzah, fayat al-Akhyar, Bandung: al-Ma’arif,
2011. t.t.
Malik, Mawata’ al-Imam Malik, al-Maktabah Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2001 ten-
al-Syamilah, Bab Ma Ja’a fi al-Ta’afuf tang Pemberantasan Tindak Pidana Ko-
‘an al-Masa’alah, Jilid Ke-2, Hadis No. rupsi.
9, Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, Wahbah al-Zuhaylī, al-Fiqh al-Islāmī wa
1985. Adillatuhū, Damsyiq: Dār al-Fikr, 1989.
Muhammad Amin, Khususyiyah Ibn ‘Abidin,
Beirut: Dar al-Fikr, 1386 H.

18 Vol. 16, No. 1, Juni 2016 Al-Risalah

You might also like