Professional Documents
Culture Documents
Received: May 17, 2021; Accepted: June 29D, 2021; Published: June 30, 2021
ABSTRACT
This study analyzes the marketing channels and efficient distribution channels carried out by
farmers in marketing sugar products to consumers, knowing how the most economically efficient
distribution channels and the obstacles faced by each distribution institution. The essentials primary
method used in this research was descriptive. Determination of the location of the study was done
purposively. Farmer samples were taken by simple random sampling, and the example of traders was
taken by snowball sampling. The entire selection was 28 famers and eight merchants. The research
was conducted in May 2018. Data analyzes by calculating the marketing margin and efficiency of
each marketing channel. This study indicates that farmers chose four distribution channels to
distribute the sugar they have to consumers. The most economically efficient distribution channel was
distribution channel III, with an IDR 7,61/kg marketing efficiency value and a marketing margin was
IDR 1.000/kg.
PENDAHULUAN
Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia serta salah
satu dari sembilan bahan pokok kebutuhan pangan yang sangat penting bagi kebutuhan sehari-hari,
bagi rumah tangga maupun industri makanan dan minuman Gula dunia sebesar 70% diproduksi dari
tebu yang pada umumnya tumbuh di daerah tropis di belahan selatan bumi, sedangkan sisanya gula
bit yang tumbuh di belahan utara bumi (Rukmana, 2015). Gula kristal putih berbasis tebu di Indonesia
diproduksi oleh 62 unit pabrik yang terdiri dari 50 unit dikelola BUMN dan 12 pabrik swasta. Propinsi
Jawa Timur pada tahun 2014 menjadi propinsi dengan luas panen tebu terbesar dan menjadi sentra
industri gula di Indonesia (Direktorat Jendral Perkebunan, 2015). Produksi yang dihasilkan provinsi
Jawa Timur mencapai 40-50% dari produksi nasional (Direktorat Jendral Perkebunan, 2016). Kondisi
tersebut menggambarkan bahwa komoditas gula telah menjadi salah satu sektor sub pertanian yang
mampu menggerakkan perekonomian di Jawa Timur.
Salah satu Pabrik Gula yang dinaungi oleh PTPN X di Jawa Timur adalah Pabrik Gula (PG)
Gempolkrep di Kabupaten Mojokerto. Produksi perkebunan tebu Kabupaten Mojokerto tahun 2018
mencapai 56.581 ton dengan produktivitas 7,7 Ton/Ha (BPS, 2020). Pabrik Gula Gempolkrep
memperoleh bahan baku tebu dari petani mitra melalui kontrak kerjasama yang disepakati oleh
kedua belah pihak. Salah satu kontrak yang tertera dalam perjanjian bahwa petani mitra bebas
menjual gula atas pembagian hasil yang diperoleh dan tidak mengharuskan petani menjual ke pabrik
gula kembali.
Penentuan bagi hasil gula milik petani dengan PG didasari dari hasil rendemen tebu petani.
Sistem bagi hasil ini digunakan untuk menghitung SHU (Sisa Hasil Usaha) petani. Setelah dilakukan
bagi hasil antara petani dengan PG Gempolkrep, gula pasir sisa bagi hasil adalah milik petani
sepenuhnya. Gula SHS (Superium Hoofd Suiker) hasil dari tebu milik petani akan dibagi dengan
proporsi 10% dan 90% per petani. 10% gula SHS akan diberikan ke petani berupa gula natura,
JIA (Jurnal Ilmiah Agribisnis): Jurnal Agribisnis dan Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian
2021: 6(3):107-113
sedangkan 90% gula SHS akan dijual di pelelangan gula yang diadakan oleh APTR (Asosiasi Petani
Tebu Rakyat). Artinya, petani yang menjual gula pasir di luar pabrik gula akan membentuk saluran
distribusi yang berbeda dengan pabrik gula.
Kurfiyati (2003) menyebutkan perusahaan harus berhati-hati dalam menentukan saluran
distribusi yang akan digunakan karena saluran distribusi mempengaruhi semua keputusan
pemasaran lainnya. Bulog merupakan salah satu lembaga distribusi gula pasir hingga ke konsumen.
BULOG membeli gula dari empat sumber yaitu gula bagian petani, gula milik PG-PNP, gula milik PG
non PNP dan gula impor (Manik, 2007). Selain BULOG terdapat lembaga pemasaran lain yang
terlibat dalam pemasaran gula pasir (Rofiq, 2011), seperti pedagang besar, pemborong, koperasi
hingga pengecer.
Sari dan Nofialdi (2017) menyebutkan bahwa produk gula merah tebu petani dipasarkan di
beberapa pasar tradisional dan ke pedagang pengumpul dengan harga berkisar Rp 10.000,- hingga
Rp 15.000,- per kilogramnya, dengan sistem pembayaran tunai. Lebih lanjut (Efendi et al., 2017)
menyebutkan bahwa distribusi gula merah di Desa Kubangkangkung, Kecamatan Kawunganten
Kabupaten Cilacap melalui saluran langsung ke konsumen dan saluran tidak langsung melalui
pedagang pengepul dan pengecer. Pemilihan saluran pemasaran oleh petani berhubungan erat
dengan kepercayaan petani terhadap pedagang yang menjadi pelanggannya (Mokuna et al., 2017).
Saluran pemasaran yang berbeda akan menghasilkan marjin pemasaran yang berbeda (Harifudin et
al., 2011). Marjin pemasaran merupakan perbedaan harga beli dengan harga jual. Pasar yang efisien
ketika marjin pemasarannya merata di semua lembaga yang terlibat dalam saluran pemasaran.
Panjang pendeknya saluran distribusi pemasaran suatu produk akan mempengaruhi marjin
keuntungan dan efisiensi pemasaran suatu produk. (Ariani, 2000) menyatakan bahwa marjin
pemasaran gula pasir di Kabupaten Bogor dari distributor hingga konsumen akhir sekitar Rp 653 per
kilogram gula pasir. Berdasarkan faktor jarak dan perbedaan harga jual gula pasir ditingkat distributor
hingga konsumen diperoleh bahwa pemasaran gula pasir cukup efisien. (Mubyarto, 1989)
menyebutkan bahwa syarat untuk memperoleh pemasaran yang efisien yaitu: 1. Mampu
menyampaikan hasil-hasil dari petani produsen ke konsumen dengan biaya semurah-murahnya dan
2. Mampu mengadakan pembagian yang adil dari seluruh harga yang dibayar konsumen akhir bagi
semua yang terlibat dalam pemasaran. (Sustiyana et al., 2013) menyebutkan bahwa saluaran
pemasaran harus dipilih yang paling efisien agar diperoleh distribusi keuntungan yang adil bagi
lembaga pemasaran yang terlibat.
Faktor-faktor yang dapat digunakan sebagai ukuran efisiensi pemasaran antara lain:
keuntungan pemasaran, harga yang diterima konsumen, tersedianya fasilitas fisik pemasaran untuk
melancarkan transaksi dan transportasi serta kompetisi pasar atau persaingan antar pelaku
pemasaran (Soekartawi, 1993).
Gula pasir milik petani mitra PG Gempolkrep Kabupaten Mojokerto selama ini dijual sendiri
sesuai keinginan petani dan membentuk saluran distribusi yang berbeda dengan distribusi gula pasir
yang dimiliki PG Gempolkrep. Selama ini penelitian lebih banyak mengarah pada produksi dan
pemasaran gula pasir oleh PG, sehingga perlu dikaji bagaimana saluran distribusi dan marjin
pemasaran gula pasir milik petani hingga ke konsumen akhir beserta efisiensi saluran pemasarannya.
.
MATERI DAN METODE
Margin pemasaran
Perbedaan harga yanga terjadi di tingkat produsen (harga jual) dengan harga ditingkat
konsumen (harga beli). (Adiwilaga, 1996) untuk menghitung jumlah margin pemasaran yang
diperoleh pada masing-masing lembaga pemasaran, digunakan rumus sebagai berikut:
M = Hp – Hb
Keterangan:
M = Margin Pemasaran
Hb = Harga Pembelian
Hp = Harga Penjualan
Keuntungan Pemasaran
Selisih dari margin yang diterima dengan biaya yang dikeluarkan pada setiap lembaga
pemasaran (Harifudin et al., 2011). Menurut (Adiwilaga, 1996) untuk mengetahui jumlah keuntungan
yang diperoleh masing-masing lembaga pemasaran, digunakan rumus sebagai berikut:
Π = M – Bp
Keterangan:
Π = Keuntungan Lembaga Pemasaran
M = Margin Pemasaran
Bp = Biaya Pemasaran
Efisiensi Pemasaran
Menurut (Harifudin et al., 2011) merupakan perbandingan antara total keuntungan dengan
total biaya pemasaran (Rp/Kg). Untuk mengetahui tingkat efisiensi pemasaran secara ekonomis yang
diperoleh masing-masing lembaga pemasaran, digunakan rumus sebagai berikut:
Efisiensi ekonomi =
Karakteristik Responden
Tabel 1. Karakteristik petani dan pedagang berdasarkan usia, jenis kelamin, dan pendidikan
Petani Pedagang
No. Karakteristik Jumlah Persentase Jumlah Persentase
(orang) (%) (orang) (%)
1. Usia (tahun)
35 - 49 9 32,1 3 37,5
50 - 64 10 35,7 5 62,5
> 64 9 32,1
2. Jenis Kelamin
Laki-laki 27 96,3 7 87,5
Perempuan 1 3,7 1 12,5
3. Pendidikan
Sekolah Dasar 6 21,4 4 50,0
SMP 6 21,4 3 37,5
SMA 10 35,7 1 12,5
Perguruan Tinggi 6 21,4
Sumber : Analisis Data Primer (2018)
Petani tebu sebagian besar berusia 50 hingga 64 tahun (35,7%), sedangkan pedagang gula
pasir (62,5%). Hal ini menunjukkan usia petani dan pedagang masih produktif. Baik petani maupun
pedagang didominasi laki-laki. Petani 35,7% berpendidikan SMA sedangkan pedagang gula pasir
50% berpendidikan SD. Pendidikan merupakan hal penting karena mempengaruhi pola berfikir petani
maupun pedagang.
pedagang tingkat Desa/pengecer kemudian sampai ke tangan konsumen. Saluran distribusi IV hanya
dipilih oleh 7,14% petani, yaitu gula pasir dari petani dijual langsung kepada konsumen tanpa
melewati pedagang perantara. Perbedaan pemilihan saluran pemasaran, di pengaruhi oleh beberapa
hal diantaranya banyaknya gula yang dimiliki oleh petani, luas lahan yang dimiliki bahkan sampai
pada hubungan kekerabatan. Hal ini sejalan dengan penelitian (Erviyani et al., 2017) dan (D. D. A.
Putri et al., 2020) bahwa petani akan menjual produknya ke pedagang karena hubungan kekerabatan
dan kepercayaan.
Petani sebagian besar memilih menjual gula pasirnya langsung ke pedagang tingkat
kabupaten (39,29%) (Tabel 2). Hal ini karena petani tidak perlu mengeluarkan biaya untuk
transportasi, administrasi dan tenaga kerja. Pedagang yang akan mengambil sendiri gula di gudang
PG. Pedagang tingkat kabupaten relatif memiliki modal lebih besar dan langsung membayar dalam
bentuk tunai. Hal ini sejalan dengan (D. D. A. Putri et al., 2020) bahwa sistem pembayaran
mempengaruhi pemilihan pedagang oleh petani.
Penentuan harga gula pasir di dasarkan atas kesepakatan bersama antara petani dan
pedagang berdasarkan harga yang lebih tinggi dari harga beli di dalam pabrik. Harga gula pasir
sesuai dengan harga pasaran yang berlaku di tingkat produsen dan pedagang. Kesepakatan
bersama dilakukan dengan tujuan agar kedua belah pihak saling menguntungkan satu sama lain. Hal
ini yang membuat petani menjual ke pedagang pengecer langsung (7,4%) karena menurut (Magfiroh
dan Wibowo, 2019) petani akan menerima harga yang cukup tinggi. Hal ini sejalan dengan (Efendy,
2001) bahwa penentuan harga jual pleh pedagang gula aren akan mempengaruhi penjualan gula
aren oleh petani. (Rasihen, 2018) menyatakan bahwa petani gula aren menjual produksi langsung ke
konsumen karena harga yang lebih tinggi.
Tabel 3. Harga jual dan harga beli gula pasir oleh pedagang di setiap saluran distribusi
Pedagang Pedagang Pedagang
No. Saluran Distribusi Konsumen
Kabupaten Kecamatan Desa
1 Saluran I
Harga Beli (Rp/Kg) 9.600 10.500 11.300 12.000
Harga Jual (Rp/Kg) 10.500 11.300 12.000 0
2 Saluran II
Harga Beli (Rp/Kg) 0 9.800 10.900 11.500
Harga Jual (Rp/Kg) 0 10.900 11.500 0
Tabel 3. Harga jual dan harga beli gula pasir oleh pedagang di setiap saluran distribusi
Pedagang Pedagang Pedagang
No. Saluran Distribusi Konsumen
Kabupaten Kecamatan Desa
3 Saluran III
Harga Beli (Rp/Kg) 0 0 10.000 11.000
Harga Jual (Rp/Kg) 0 0 11.000 0
4 Saluran IV
Harga Beli (Rp/Kg) 0 0 0 0
Harga Jual (Rp/Kg) 0 0 0 11.000
Sumber: Analisis Data Primer (2018)
Harga jual gula pasir tertinggi adalah di saluran distribusi I yaitu Rp 12.000/Kg, pada saluran
II harga jual gula pasir adalah Rp 11.500/Kg dan harga jual terendah adalah harga jual gula pasir
pada saluran III dan IV yaitu Rp 11.000/Kg. (Tabel 3).Hal ini berarti, semakin panjang saluran
distribusi, maka semakin tinggi harga yang diterima oleh konsumen, (Efendi et al., 2017), (Rasihen,
2018), dan (D. D. A. Putri et al., 2020).
Biaya transportasi berbeda berdasarkan jarak tempuh yang dilalui. Lebih lanjut (Kuntari et al.,
2019) menyebutkan bahwa, biaya transportasi mempengaruhi harga gula yang dijual di tingkat
konsumen. Biaya tenaga kerja pada saluran I dan II muncul karena pedagang tingkat Kabupaten dan
pedagang tingkat Kecamatan menggunakan tenaga kerja luar keluarga. Biaya penyimpanan pada
saluran distribusi I tinggi karena biaya membangun gudang yang dikeluarkan oleh pedagang cukup
tinggi sedangkan pada saluran II, III dan IV pedagang tidak menyimpan gula pasir di gudang tetapi
hanya di lemari rak (Tabel 4). Biaya administrasi yang dikeluarkan tiap saluran berbeda. 1 lembar DO
bisa terdiri dari 50 kg gula pasir sampai 2,7 ku gula pasir. Semakin banyak jumlah gula pasir yang
diambil, maka biaya administrasi yang dikeluarkan akan semakin sedikit dan semakin sedikit gula
yang diambil maka biaya administrasi akan semakin banyak. Biaya pengepakan pada saluran I, II
dan III tidak juah berbeda karena jumlah gula yang dijual hampir sama. Semakin tinggi biaya
pemasaran yang dikeluarkan oleh pedagang, maka semakin tinggi harga yang dikeluarkan oleh
konsumen (Kuntari et al., 2019) .Namun, pada saluran IV harga yang dikeluarkan oleh konsumen
sama dengan harga yang dikeluarkan oleh konsumen pada saluran III. Hal ini karena petani pada
saluran IV menganggap bahwa harga yang diberikan kepada konsumen adalah harga karena
hubungan kekerabatan hal ini sejalan dengan penelitian (D. D. A. Putri et al., 2020).
Keuntungan lembaga pemasaran yang tertinggi adalah pada saluran I yaitu Rp 1.627,52,
kemudian saluran II Rp 1.311,36, saluran III Rp 883,82 dan saluran IV Rp 1.282,45. (Tabel 5).
Sejalan dengan penelitian (Sustiyana et al., 2013), (Arbi et al., 2018) dan (Rofiq, 2011), semakin
panjang saluran yang dilewati maka keuntungan yang diperoleh setiap lembaga pemasaran akan
semakin sedikit
Share harga yang diterima petani yang paling tinggi terdapat pada saluran I dengan jumlah
92,98%. Saluran II dengan jumlah 92,41%, saluran III 90,90% dan saluran IV 86,36% (Tabel 6). Hal
ini menunjukkan pemasaran gula petani di semua saluran sudah efisien. Hal ini sejalan dengan
penelitian (C. F. Putri et al., 2018), karena nilai Farmer’s share lebih besar dari 40 %. Lebih lanjut
(Arbi et al., 2018): (Rofiq, 2011), menyebutkan bahwa, semakin banyak lembaga yang terlibat dalam
pemasaran gula petani maka share harga yang diterima petani akan semakin kecil.
Semakin besar nilai margin pemasaran yang diperoleh setiap lembaga pemasaran maka
efisiensinya akan semakin kecil. Efisiensi saluran pemasaran yang paling besar yaitu saluran III
dengan jumlah Rp 7,61/kg, dan yang paling kecil yaitu saluran I dengan jumlah Rp 2,11kg. Efisiensi
pemasaran sebesar Rp 2,11/kg berarti untuk setiap biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 1/kg
keuntungan yang diperoleh setiap lembaga pemasaran adalah Rp 2,11/kg. Saluran distribusi yang
paling efisien adalah saluran distribusi III karena setiap lembaga pemasaran akan memperoleh
keuntungan sebesar Rp 7,61/kg. Hal ini sejalan dengan (Erviyani et al., 2017), (Mokuna et al., 2017)
(C. F. Putri et al., 2018) bahwa semakin panjang saluran distribusi maka semakin tidak efisien saluran
pemasaran dan sebaliknya semakin pendek saluran pemasaran maka semakin efisien saluran
pemasaran.
Saluran distribusi yang dipilih oleh petani tebu untuk menyalurkan gula pasir yang dimiliki
yaitu: (1) Petani, Pedagang Kabupaten, Pedagang Kecamatan, Pedagang Desa dan konsumen, (2)
Petani, Pedagang Kecamatan, Pedagang Desa, konsumen, (3) Petani, Pedagang Desa, konsumen
dan (4) Petani langsung ke konsumen. Saluran distribusi yang paling efisien adalah saluran distribusi
III dengan marjin pemasaran Rp 1.000/kg dan nilai efisiensi pemasaran sebesar Rp 7,61/kg. Petani
tebu dapat menitipkan gula miliknya dahulu di gudang PG agar bisa menjualnya saat harga naik.
REFERENSI