You are on page 1of 25

PEMIKIRAN TASAWUF GURU BAKHIET

Perspektif Teori Tindakan Sosial Max Weber


SULAIMAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
Jl. Walisongo 3-5 Semarang, Jawa Tengah
e-mail: sulaiman@walisongo.ac.id
Abstract: The article elaborates Guru Bakhiet’s sufism thought with the perspective of
Max Weber's social action theory. By referring to Weber's theory, Guru Bakhiet
occupies position as ‘the actor/agent, the meaning, and the movement’. As the actor, he
is 'the source of meaning, the interpreter of meaning, and contextualising and
transforming meaning' to his own community or outside community so that they are
moved to act. He builds his movement with a rational action based on the value. The
value of his central reference is the teachings of sufsm that have been interpreted
creatively to be understood by others, and act with and on behalf of the value.
Therefore, the movement or social action is performed by Guru Bakhiet is not merely
emerges from a vacuum. It appears in an interaction pattern that already exists between
individuals and groups. Therefore, when Sufism in his mind, it means the actor speaks
of texts, while the texts are about language, and the language plays the personality of
the Sufis and the people around them. Because of his important role, it is very important
to continue to renew the language of Sufism and refresh it in order to maintain its
transformative power or social criticism in the contextual or reality realm. Here, the
actor needs creative innovation so that the teachings of Sufism can move others.
Keywords: neo-sufism, Nusantara, ‘Alawīyah, actor, the meaning, and the movement.

Abstrak: Artikel ini mengelaborasi pemikiran tasawuf Guru Bakhiet dengan perspektif
teori tindakan sosial Max Weber. Dengan kerangka teori Weber ini, Guru Bakhiet
menduduki posisi sebagai ‘agen/aktor, makna, dan aksi’. Sebagai aktor, ia adalah
‘sumber makna, pemberi makna, dan mengkontekstualisasikan serta mentrans-
formasikan makna’ kepada komunitasnya sendiri atau komunitas luar sehingga mereka
tergerak untuk bertindak. Ia membangun aksinya dengan tindakan yang rasional
berdasarkan value (nilai). Value yang menjadi referensi sentralnya adalah tasawuf yang
telah dimaknai secara kreatif agar dapat dipahami oleh orang lain, dan bertindak dengan
dan atas nama value tersebut. Karena itu, gerakan atau aksi sosial yang dilakukan Guru
Bakhiet tidak semata-mata lahir dari sebuah kekosongan. Ia muncul dalam pola
interaksi yang sudah ada di kalangan individu dan kelompok. Ketika tasawuf yang
melingkarinya (sphered Sufism), berarti sang aktor berbicara tentang teks-teks,
sedangkan teks-teks adalah tentang bahasa, dan bahasa itu berperan membentuk
kepribadian para sufi dan orang-orang di sekeliling mereka. Karena peranan pentingnya
itulah sangat penting untuk terus memperbarui bahasa tasawuf dan menyegarkannya
agar tetap memiliki kekuatan transformatifnya atau kritik sosialnya dalam ranah
kontekstual atau realitas. Di sinilah, sang aktor membutuhkan inovasi kreatif terhadap
ajaran tasawuf sehingga mampu menggerakkan orang lain.
Kata-kata Kunci: neo-sufism, Nusantara, ‘Alawīyah, actor, the meaning, and the
movement.

PENDAHULUAN
KH. Muhammad Bakhiet (lahir 1 Januari 1966)--akrab dipanggil Guru Bakhiet
dan sebutan ini yang digunakan dalam tulisan ini—adalah salah seorang ulama

1
terkemuka dan berpengaruh di Kalimantan Selatan saat ini. Ia adalah mursyid Tarekat
‘Alawīyah, pimpinan Majlis Taklim dan Pondok Pesantren Nurul Muhibbin di
Kalimantan Selatan (Mujiburrahman, dkk, 2012: 107-136; Asmaran As, 2013: 177–198;
Sahriansyah, dkk, 2009; Hakim, 2011: 19-38). Tarekat ‘Alawīyah yang diikuti oleh
Guru Bakhiet merupakan kombinasi dari Tarekat Ghazāliyah dan Syażiliyah. Tarekat
Ghazāliyah lebih menekankan olah fisik (riyāḍah badāniyah) seperti puasa, qiyām al-
lail, khalwat, dan sejenisnya; Tarekat Syażiliyah lebih menekankan olah batin (riyāḍah
bāṭiniyah) seperti ikhlas, menjauhi riya’, refleksi diri (tafakkur) dan sebagainya. Tarekat
‘Alawīyah menyeimbangkan dua aspek esensial dari kedua tarekat tersebut. Karena itu,
tarekat ini adalah tarekat ilmu dan amal yang seimbang (Ibrahim, 2001). Dalam
konteks Islam Nusantara, tasawuf yang diikuti oleh Guru Bakhiet adalah neo-sufisme
sebagaimana telah dirumuskan oleh para ahli (lihat: Rahman, 1979; Azra, 1994;
Palacois, 2016; Voll, 2008; O’Fahy dan Radtke, 1993; Knysh, 2002).
Neo-sufisme tidak terlepas dari pengaruh Tarekat ‘Alawīyah yang dianut Guru
Bakhiet. Menurut Azyumardi Azra (2001: XIX), Umar Ibrahim (2001), dan Clarence-
Smith (1997: 15-16) bahwa karakteristik ajaran tarekat ‘Alawīyah lebih mengedepankan
aspek-aspek humanitas seperti ‘ilm (ilmu) dan ‘amal (sikap). Selain itu, pola pendidikan
tasawufnya menciptakan garis demarkasi menurut tingkatan sālik (murid); dimulai dari
tarekat ‘āmmah (langkah awal) menuju tarekat khāṣṣah. Fakta inilah yang
menempatkan Tarekat ‘Alawīyah sebagai gerakan neo-sufisme, sehingga tarekat ini
menjauhkan diri dari praktik-praktik esoterik yang ketat dan lebih menekankan
pentingnya ilmu pengetahuan, dan sangat menganjurkan keterlibatan dalam aktivitas
duniawi dengan menolak materialisme.
Fakta lain yang menarik dari afiliasi Guru Bakhiet ke dalam Tarekat ‘Alawīyah
adalah bukti bahwa tarekat ini tidak eksklusif hanya dianut oleh kalangan sayyid
(keturunan Nabi Muhammad) saja. Memang pada awal lahirnya Tarekat ‘Alawīyah
didominasi oleh kaum ‘Alawīyīn, atau lebih tegasnya lagi dengan kaum sādah, kaum
sayyid yang merupakan lapisan paling atas dalam strata masyarakat Hadhramaut. Dalam
perkembangannya, tarekat ini tidak hanya diikuti oleh kaum ‘Alawīyīn, melainkan juga
oleh orang-orang Hadhramaut dari strata lain, yakni masyāyikh dan muwallad
(peranakan). Bahkan, di beberapa tempat, tarekat ini juga menerima pengikut dari
kalangan non-Hadhrami. Dalam perkembangan lebih lanjut di kalangan para sayyid
yang berorientasi kepada tasawuf, dari dalam tarekat ini muncul beberapa cabang:
Ṭarīqah ‘Aidarūsiyah, Ṭarīqah ‘Aṭṭāsiyah, dan lain-lain.
Di Indonesia Tarekat ‘Alawīyah merupakan tarekat sufi tertua di Indonesia dan
salah seorang pembesar Walisongo, yaitu Imam Aḥmad ibn ‘Īsā al-Muhājir merupakan
salah satu pelopor tarekat ini. Sebagian besar keturunannya berhasil melestarikannya
sampai sekarang. Dua ulama terkemuka Nusantara, Syekh Yūsuf al-Khalwātī dan
Syekh Nūr ad-Dīn al-Ranīrī adalah pengikut tarekat ini. Syekh Yūsuf menyatakan
bahwa silsilah tarekat ini mengacu kepada keturunan keluarga Rasulullah SAW, yang di

2
dalamnya tercantum nama Syekh Aḥmad ibn ‘Īsā al-Muhājir. Tarekat ini cukup populer
di Hadhramaut yang merupakan daerah asal para da’i yang membawanya ke Asia
Tenggara. Di Indonesia tarekat ini tidak mengenakan pakaian khusus, tidak pula
menetapkan syekh tertentu. Praktik yang dilakukan hanya berupa bacaan rawātib yang
diwarisi secara turun-temurun sejak Rasulullah SAW dan sahabatnya. Para pemuka
tarekat ini juga tidak menetapkan syarat-syarat atau kaidah tertentu selain mendorong
untuk selalu membaca rawātib dan wirid-wirid (Shihab, 2001: 192).
Dari latar belakang di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pemikiran
tasawuf Guru Bakhiet lebih mendalam dengan perspektif teori tindakan sosial Max
Weber. Fokus kajian adalah latar belakang dan posisi Guru Bakhiet serta pemikiran dan
aksi yang dilakukannya sesuai dengan perspektif teori yang digunakan.
TELAAH PUSTAKA
Kajian terhadap Guru Bakhiet telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya
dengan berbagai perspektif. Di bawah ini disajikan beberapa penelitian atau kajian
terhadap Guru Bakhiet.
RISET TERHADAP GURU BAKHIET
Nama Peneliti dan Judul Penelitian Deskripsi Singkat
Tempat Publikasi
Mujiburrahman, M. Ulama Banjar Kharismatik  Tiga ulama Banjar yang dibahas dalam penelitian ini, jelas
Zainal Abidin, dan Masa Kini di Kalimantan menunjukkan ciri-ciri seorang tokoh kharismatik berdasarkan
Rahmadi. Jurnal al- Selatan: Studi Terhadap teori kharisma dalam sosiologi. Mereka adalah tokoh-tokoh
Banjari (IAIN Figur Guru Bachiet, Guru yang memiliki keistimewaan, dan tampil di saat krisis, baik
Antasari), Vol. 11, No. Danau, dan Guru Zuhdi krisis sosial yang tengah terjadi, ataupun krisis kepemimpinan
2, Juli 2012, h. 107-136. ulama setelah wafatnya ulama kharismatik terkemuka di
Kalimantan Selatan, Guru Zaini bin Abdul Ghani, yang dikenal
dengan Guru Sakumpul. Masing-masing tokoh memiliki pesona,
yang mampu memukau ribuan khalayak yang setia
mendengarkan ceramah-ceramahnya. Ia seolah memiliki
kekuatan magnetik, yang menyerap orang-orang di
sekelilingnya untuk medekat.
 Tiga tokoh ini tampaknya menunjukkan pergeseran pusat
kharisma, dari Martapura di mana Guru Sakumpul menetap,
menyebar ke tiga wilayah: Banjarmasin, Barabai, Tanjung.
Masih terlalu dini untuk memperkirakan, siapakah salah satu
dari tiga tokoh ini yang kelak akan menempati posisi
kharismatik yang lebih luas dan besar di masa yang akan
datang. Dari segi keunikan, barangkali Guru Bakhiet memiliki
peluang untuk itu. Hanya saja, pengaruhnya tampaknya masih di
wilayah Hulu Sungai, belum merambah kepada dua wilayah
Hilir yang amat penting: Kabupaten Banjar dan Kota
Banjarmasin.
Asmaran As. Jurnal al- Tarekat-Tarekat di  Penelitian mengkaji tiga tarekat yang sudah mapan dan
Banjari (IAIN Kalimantan Selatan mempunyai pengikut yang berjumlah besar di Kalimantan
Antasari), (‘Alawiyyah, Sammāniyah Selatan, yakni ‘Alawiyyah, Sammāniyah dan Tijāniyyah. Hasil
Vol. 12, No.2, Juli 2013, dan Tijāniyyah ) penelitian menyebutkan bahwa tarekat-tarekat yang berkembang
h. 177–198. di Kalimantan Selatan ada yang langsung dibawa oleh gurunya
yang belajar di Timur Tengah dan ada pula yang melalui pulau
Jawa. Semua tarekat yang diteliti ternyata memiliki ajaran dan
karakteristik masing-masing, namun tetap memenuhi unsur-
unsur yang menjadi ciri dari sebuah tarekat.
 Penelitian ini juga menyinggung sosok KH. Muhammad
Bakhiet sebagai guru utama (mursyid) dari tarekat ‘Alawiyyah.
Sahriansyah, Nor Ulama Banjar dan Karya- Memetakan pengaruh tiga ulama terkemuka Banjarmasin
Ipansyah, Abdul Hakim. Karyanya (K. H. Abdul dengan wilayah dakwah masing-masing. Penelitian belum
Lemlit IAIN Antasari Hamid Karim, K. H. Zaini mengungkapkan bangunan-bangunan pemikiran tiga ulama
Banjarmasin Tahun 2009 Ghani dan K. H. tersebut secara komprehensif.
Muhammad Bakhiet)
Abdul Hakim. Jurnal Tarekat ‘Alawiyyah di Aspek penting dari neo-sufisme adalah sebuah esoterisme yang

3
al-Banjari (IAIN Kalimantan Selatan: Sebuah menghendaki aktif dan terlibat dalam masalah-masalah
Antasari), Telaah Unsur Neo-Sufisme kemasyarakatan. Hal ini juga dilakukan oleh K.H. Ahmad
Vol. 10, No. 1, Januari Dalam Tarekat Bachiet, sebagai guru tarekat ‘Alawiyyah. Guru Bachiet adalah
2011, h. 19–38. sosok seorang ulama yang sangat peduli kepada sesama, peduli
terhadap para janda, dhu‟afa, dan habaib, peduli terhadap
pendidikan dan keberagamaan masya-rakatnya. Kepeduliannya
terha-dap keadaan masyarakat di sekitarnya tersebut
diapresiasikanya dalam sebuah pondok pesantren “Nurul
Muhibbin” yang berfungsi sebagai lembaga pendidikan
keagamaan dan sebagai majelis taklim tarekat ‘Alawiyyah.

Dari empat kajian di atas yang membahas Guru Bakhiet, artikel Abdul Hakim
memberikan petunjuk awal tentang pemikiran neo-sufisme Guru Bakhiet. Bertolak dari
penelitian ini dan beberapa penelitian yang disebutkan di atas, penelitian ini mempunyai
penekanan yang sekaligus menjadikannya berbeda dengan penelitian-penelitian
sebelumnya. Pertama, melakukan pengkajian ulang (restudying) terhadap kajian Abdul
Hakim karena temuan-temuan yang dipaparkannya dalam Jurnal al-Banjari tersebut
masih belum memperlihatkan wajah (face/portrait) yang sesungguhnya dari neo-
sufisme Guru Bakhiet. Kedua, penelitian yang akan dilakukan ini mengkaji Guru
Bakhiet dengan menggunakan pendekatan teori tindakan sosial Max Weber. Dengan
pendekatan teori ini, Guru Bakhiet berperan sebagai aktor/agen, aksi, dan makna.
Ketiga konsep kunci ini inheren dalam diri Guru Bakhiet sehingga memberikan
inspirasi atau motivasi bagi orang lain untuk melakukan aksi religio-sosial baik secara
sukarela maupun terstruktur secara organik.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menekankan pada: pertama, studi eksploratif, yakni dengan
mengeksplorasi sedalam-dalamnya pemikiran Guru Bakhiet dengan teknik deskriptif
naratif dengan menggunakan metode kualitatif. Analisis kualitatif ini menitikberatkan
pada pemahaman data-data dengan cara klasifikasi, kategorisasi, dan taksonomi
(Bungin, 2007; Denzin dan Lincoln, 1994). Setelah itu akan dikonstruksi dan dianalisis
menjadi suatu kesatuan yang utuh pemikiran Guru Bakhiet yang bersumber dari data
primer dan sekunder yang disajikan di bawah ini.

4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebagaimana sudah disinggung di atas, penelitian ini mengkaji Guru Bakhiet dari
perspektif Teori Tindakan Sosial Max Weber (1864-1920). Menurut perspektif teori ini,
Guru Bakhiet menempati posisi sebagai (1) aktor/agen, (2) aksi, dan (3) makna.

Menurut Weber, sebuah tindakan (aksi) adalah ‘sosial’ jika tindakan itu memiliki
makna ketika individu berinteraksi dengan individu lain dan hasilnya mempengaruhi
perilaku individu lainnya (Secher, 1962). Ini bermakna bahwa seorang aktor dalam
interaksi sosialnya harus mampu membawa perubahan sosial dalam komunitasnya
(insider), dan bahkan komunitas eksternalnya (outsider) (Turner, 2012: 111), meskipun
pemikiran manusia atau individu memiliki bentuk dan metode yang berbeda-beda,
sehingga memunculkan tindakan-tindakan yang berbeda dan saling mempengaruhi.
Dalam teorinya ini, Weber menekankan pentingnya hermeneutika dan fenomenologi
untuk memahami tindakan sosial sejumlah aktor yang terlibat dalam tindakan-tindakan
itu. Dalam batas tertentu, aktor yang satu memperhatikan dan mempertimbangkan
perilaku aktor lain; aktor tersebut bisa jadi sama-sama sepakat dalam interpretasi-
interpretasi mereka atas perilaku aktor lain, atau bisa juga tidak (Littlejohn, 1989: 134).
Dalam pandangan Weber, aktor pada kondisi-kondisi sosial atau dalam bentuk
yang lain, ia memiliki kesadaran, kondisi pikiran, perasaan, dan orientasi-orientasi
tertentu. Kondisi-kondisi ini tentu saja berimplikasi pada persepsi aktor dalam bertindak
demi mempertahankan atau mengubah dunia. Ada proses-proses sosiasi yang dinamis
yang melibatkan para anggotanya, baik melalui ikatan-ikatan dan solidaritas yang
dibangun melalui bentuk-bentuk rasional berupa perjuangan bersama melawan musuh
atau pesaing tertentu. Loyalitas yang diprovokasi oleh rahasia-rahasia bersama,
hubungan-hubungan perbedaan dan super-ordinasi yang direproduksi dalam hierarki
institusional, persahabatan akrab dan intimasi yang lahir dari berbagai kebutuhan hidup
atau hubungan-hubungan terhormat lainnya (Backhtiar, 2010: 257). Selain itu, aktor
dalam menentukan pilihan tindakan sosialnya berada dalam empat kemungkinan
tipologi. Pertama, tindakan rasional bersifat instrumental (instrumentally rational
action), yakni tindakan yang ditujukan pada pencapaian tujuan-tujuan yang secara
rasional diperhitungkan dan diupayakan sendiri oleh aktor yang bersangkutan. Kedua,
tindakan yang rasional berdasarkan nilai (value-rational action) yang dilakukan untuk
alasan-alasan dan tujuan-tujuan yang ada kaitannya dengan nilai-nilai yang diyakini
secara personal tanpa memperhitungkan prospek-prospek yang ada kaitannya dengan

5
berhasil atau gagalnya tindakan tersebut Ketiga, tindakan afektif (affectual action), yang
ditentukan oleh kondisi-kondisi dan orientasi-orientasi emosional si aktor (Weber,
1978: 24-25). Keempat, tindakan tradisional (traditional action) yang ditentukan oleh
kebiasaan-kebiasaan yang sudah mengakar secara turun-menurun dan tindakan
tradisional yang ditentukan oleh kebiasaan-kebiasaan yang sudah mengakar secara
turun-menurun (Turner, 2012: 115).
Aktor: Mursyid Tarekat dan Pondok Pesantren
Dengan merujuk teori Weber, Guru Bakhiet adalah aktor utama yang menjadi
‘sumber makna, pemberi makna, dan mengkonteksualisasikan serta mentrans-
formasikan makna’ kepada komunitasnya sendiri atau komunitas luar sehingga mereka
tergerak untuk bertindak. Ia membangun gerakannya dengan tindakan rasional
berdasarkan value (nilai). Value yang menjadi referensi sentralnya adalah ajaran
tasawuf yang telah dimaknai secara kreatif agar dapat dipahami oleh orang lain, dan
bertindak dengan dan atas nama value tersebut. Berdasarkan kenyataan ini, gerakan atau
aksi sosial yang dilakukan Guru Bakhiet tidak semata-mata lahir dari sebuah
kekosongan (vacuum space) melainkan ia muncul dalam pola interaksi yang sudah ada
di kalangan individu dan kelompok. Dengan meminjam kata-kata John D. McCarthy
(1996: 47), Guru Bakhiet hadir dengan menciptakan gerakan baru (new movement) atau
menyuburkan dan mengarahkan gerakan-gerakan yang tengah berlangsung. Di tengah-
tengah proses yang berlangsung itu, ia dapat menemukan yang baru, kemudian
mengubah secara radikal dan menggabungkan secara kreatif bentuk-bentuk yang ada
ketika ia berupaya menggapai tujuan kolektifnya.
Dalam posisi sebagai mursyid Tarekat ‘Alawīyah, Guru Bakhiet berbicara
tentang teks-teks tasawuf, sedangkan teks-teks tersebut adalah tentang bahasa, dan
bahasa itu berperan membentuk kepribadian Sufi dan orang-orang di sekelilingnya.
Karena peranan pentingnya itulah, ia merasa berkewajiban untuk terus memperbarui
bahasa tasawuf dan menyegarkannya agar tetap memiliki kekuatan transformatifnya
(Riyadi, 2014: 104) atau kritik sosialnya (Siroj, 2006) dalam ranah kontekstual atau
realitas. Ia membutuhkan inovasi kreatif agar ajaran tasawuf mampu menggerakkan
orang lain. Proses inovasi kreatif ini bukanlah ‘barang baru’, sebab sufi-sufi terdahulu
juga sudah melakukannya, misalnya, Abū Naṣr as-Sarrāj aṭ-Ṭūsī adalah sufi yang
kreatif membawa ungkapan-ungkapan baru walaupun banyak dari ungkapan itu sudah
tidak dipakai lagi. Disusul al-Hujwīrī yang mengenalkan konsep muraqa’ah (baju
tambalan), meskipun tidak banyak orang di masa sekarang yang menggunakan istilah
itu. Di lain pihak, Ibn Qayyim al-Jawzīyah tergolong sangat agresif membawa istilah-
istilah baru melalui kitabnya Madārij as-Sālikīn, istilah-istilah yang bagi para sufi
masih asing dan tidak mudah digolongkan sebagai suatu bentuk ajaran tasawuf (Riyadi,
2014: 105).
Di era modern ini, tokoh-tokoh seperti Seyyed Hossein Nasr mengusung istilah
Islam tradisional sebagai inti tasawuf (Nasr,1994); Muḥammad ‘Ābid al-Jabīrī (2000)

6
dan Murtadha Muthahhari (1998) membawa konsep ‘irfān. Dari tokoh-tokoh yang
disebut terakhir telah melakukan Sufism creativity (kreativitas tasawuf), yakni upaya
responsif terhadap kehidupan manusia yang berubah-ubah. Kehidupan manusia itu tidak
statis, tetapi selalu berubah-ubah. Tuhan tidak pernah berhenti menciptakan sesuatu
yang baru (QS. ar-Raḥmān/55: 29), sehingga Dia selalu memanifestasikan Diri-Nya
dalam setiap keagungan yang baru dan dengan cara yang lebih menakjubkan. Dengan
kata lain, kreativitas-Nya tidak statis. Muhammad Iqbal, seorang penyair dan pemikir
Islam kreatif, mengatakan bahwa manusia adalah pencipta yang membantu Tuhan (co-
creator with God). Inilah status tertinggi yang dapat diraih oleh manusia (Engineer,
2006: 187).
Berdasarkan dinamika kreatif tasawuf di atas menegaskan bahwa tasawuf bersifat
kontekstual dan sekaligus normatif. Tasawuf tidak dapat menghindar dari
kontekstualitas dan normativitas. Jika tasawuf tidak bersifat kontekstual, ia tidak akan
berguna bagi masyarakat pada saat dan tempat tertentu; dan jika tidak normatif, maka
tasawuf bukan hanya akan mempertahankan status quo, namun juga tidak akan
memberikan inspirasi bagi manusia dalam menjalani kehidupannya. Jadi, tasawuf yang
kreatif tidak lain kecuali tanggapan manusia terhadap kehidupannya yang senantiasa
berubah yang diciptakan oleh Tuhan. Tanggapan itu, agar lebih bermakna, harus bersifat
dinamis. Inilah yang sudah dilakukan oleh Guru Bakhiet melalui Tarekat ‘Alawīyah
dengan media Majlis Taklim dan Pondok Pesantren Nurul Muhibbin di Barabai,
Kalimantan Selatan.
Jika merujuk pendapat Jajat Burhanudin (2012: 2) bahwa ulama di Indonesia
berperan penting sebagai (1) ulama terus berpartisipasi dalam pembentukan diskursus
Islam kontemporer, (2) selain sebagai pemimpin pesantren, sejumlah ulama Indonesia
kini menjadi terlibat, sebagai contoh, dalam memperkenalkan Islam sebagai media cetak
dan elektronik, yang sebelumnya diakui sebagai milik kaum Muslim reformis di
perkotaan, (3) ulama juga berpartisipasi dalam berbagai peristiwa politik akbar di
Indonesia, seperti pemilihan umum. Dalam konteks Guru Bakhiet, ia sepenuhnya
memainkan perannya dalam pembentukan diskursus Islam kontemporer dengan berpijak
diskursus tradisional (salaf) yang sudah mengalami proses kreatif guna menjawab
tantangan zamannya. Ia juga telah memanfaatkan teknologi untuk menyampaikan
pesan-pesan keislamannya kepada umat tanpa terhalang oleh ruang dan waktu.
Dalam perannya sebagai mursyid tarekat dalam diskursus Islam kontemporer di
Indonesia saat ini (Hakim, 2011: 44), kehadiran Tarekat ‘Alawīyah di Kalimantan
Selatan memang cukup menarik diamati jika melihat fakta sejarah dan sosial
keagamaan masyarakat Banjar (Hakim, 2011: 27). Menurut laporan penelitian Martin
van Bruinessen (1995: 199-205) bahwa di kalangan penduduk desa di Kalimantan
Selatan, lebih daripada tempat-tempat lain di Nusantara, adaptasi doktrin-doktrin mistik
dan kosmologis dari Ibn ‘Arabī ke dalam budaya setempat dalam bentuk yang merakyat
dan disederhanakan masih tetap hidup. Banyak dari amalan-amalan tradisional lainnya

7
pun, yang di tempat-tempat lain telah dikikis habis oleh ulama ortodoks, masih bertahan
kendatipun ada usaha-usaha pemurnian oleh Majelis Ulama provinsi dan kabupaten.
Ditambahkan van Bruinessen, Islam formal yang berorientasi kepada syariat seperti
yang diajarkan oleh para ulama tidak memuaskan kebutuhan religius semua orang
Banjar. Berulang kali muncul pemimpin baru agama yang mengajarkan corak
keislaman yang lebih sufistik, sering sangat diwarnai oleh ajaran-ajaran mengenai nūr
Muḥammad dan martabat tujuh, versi ajaran waḥdah al-wujūd yang populer di daerah
tersebut. Ditambah lagi dengan munculnya sosok Haji Abdul Hamid Abulung dengan
ajarannya yang disebut-sebut oleh para ahli sebagai al-Ḥallāj Kalimantan Selatan,
karena ia mengambil posisi ekstrim dalam ajaran tasawufnya (Bruinessen, 1995: 202-
203; lihat juga: Steenbrink, 1984). Dalam kondisi seperti ini, tentu saja Guru Bakhiet
memahami betul pengaruh ajaran tasawuf tersebut bagi masyarakat di mana ia tinggal
dan menyebarkan pemikiran dan gerakannya.
Guru Bakhiet memainkan peranan penting dalam usaha mendekatkan para
pengikut atau jemaahnya kepada pelaksanaan syariat dan sekaligus bertasawuf. Bagi
para pengikutnya (jamaah Tarekat ‘Alawīyah dikenal dengan istilah Muhibbin), Guru
Bakhiet diyakini sebagai pemandu ibadah dan pembimbing spiritual dalam menempuh
perjalanan tarekat. Dalam level-level tertentu, murīd-murīd atau masyarakat umumnya
memercayai bahwa Sang Guru mempunyai kemampuan khusus dalam membantu
proses hubungan dengan Tuhan dan bisa memberikan jalan keluar atau solusi terhadap
persoalan-persoalan sehari-hari mereka serta mampu meramalkan baik dan buruk suatu
pekerjaan. Konsekuensi logis dari ini, sosok Guru Bakhiet adalah tokoh spiritual
(cultural hero) atau orang saleh. Di sini, posisi Guru Bakhiet berada di suatu pola
sistem hubungan yang berlapis sesuai dengan pemaknaan realitas-realitas yang
melingkarinya: realitas teologis (manusia—Tuhan), realitas psikologis (manusia—
cultural hero), dan realitas empirik (manusia—pemimpin upacara). Dalam realitas
teologis, manusia memercayai bahwa hanya Tuhanlah yang menjadi pusat tujuan
bergantung, dan dari Allah pula suatu harapan (doa) dikabulkan, ditunda, atau diubah
sesuai dengan kapasitas manusia yang memintanya. Hubungan teologis ini berjalan atau
dijalankan dalam kehidupan keseharian, dalam kehidupan pribadi atau bersama di
dalam keadaan-keadaan biasa (normal). Namun, ketika manusia khusus atau harapan-
harapan khusus, maka manusia akan menghampiri tokoh-tokoh spiritual yang diyakini
memiliki hubungan yang lebih dekat karena kesuciannya kepada Tuhan untuk secara
khusus meng-apeal-kan keadaan, harapan, atau keinginannya itu. Realitas demikian
inilah yang disebut dengan realitas psikologis. Sedangkan untuk menghubungi tokoh-
tokoh spiritual agar berkenan menjadi “perantara” dirinya, dibutuhkan suatu tata cara
khusus (formula). Pengetahuan dan ketrampilan demikian itu dipercayakan kepada
pemimpin-pemimpin ritual. Inilah suatu realitas empiris dalam kehidupan sosialnya
(Thohir, 2006: 168).

8
Peran dominan Guru Bakhiet sebagai ‘tokoh spiritual atau orang saleh’ ini terjadi
bersama surutnya peran ahli syariat akibat modernisasi pendidikan Islam yang tidak
secara sistematis melakukan regenerasi ahli syariat. Hal ini juga mengubah Islam politik
(baca: syariat) ke Islam kultural yang lebih terbuka dari sekadar praktik syariat,
walaupun tetap menunjuk kuatnya orientasi syariat di mana faktor utama “kesalehan”
diukur dari ketaatan syariat. Orang saleh ini juga memainkan peran mediator atau
wasīlah dalam hubungan pemeluk Islam yang kurang saleh dengan Tuhan (Mulkhan,
2000: 114). Dengan kata lain, peran Guru Bakhiet menjadi penting sebagai pembimbing
dalam memperoleh perkenan Tuhan. Ia dipercaya lebih dekat dan mampu ‘membujuk’
Tuhan agar memberi ‘perkenan’, sehingga apa yang diinginkan oleh umat cepat
terkabulkan dibanding berdoa sendiri. Pengikatan diri pada ‘orang saleh’ diyakini bisa
menjamin nasib dan sekurangnya untuk memperoleh ‘perkenan’ Tuhan (Al-Kumayi,
2011).
Makna: Pandangan-Pandangan Sufistik
Untuk memahami pemaknaan ajaran tasawuf Guru Bakhiet, ada dua cara.
Pertama, melalui Tarekat ‘Alawīyah; sebab tarekat ini telah menjalankan ajaran-ajaran
tasawuf sebagaimana sudah ditetapkan oleh founding fathers tarekat tersebut.
Karakteristik dari tarekat ini cenderung pada tasawuf akhlaki (al-taṣawwuf al-akhlāqī),
yang menekankan pada moral yang mulia (khuluq sinnī) (aṭ-Ṭūsī, 1960: 45). Pengamal
tasawuf haruslah bersih hatinya dari kotoran, dan hatinya penuh dengan hikmah, serta
merasa cukup dengan Allah daripada makhluk-makhluk-Nya, dan dengan sikap ini
baginya nilai emas dan tanah (lempung) terlihat sama (al-Ḥaddād, 1993: 92). Selain itu,
mereka juga harus menjaga amal, perkataan, niat, dan moral agar bersih (ṣafā) dari
berbagai macam penyakit hati, seperti riya, sum‘ah, dan yang semisalnya, serta bersih
dari segala sesuatu yang menyebabkan timbulnya amarah Allah; secara lahir dan batin,
dia selalu ingat dan taat kepada Allah, serta memutuskan segala sesuatu yang dapat
melupakan-Nya, baik itu berkaitan dengan keluarga, harta, kedudukan, maupun lainnya.
Mereka melakukan semua itu dengan sadar berdasarkan ilmu, al-Quran, dan Sunnah,
serta tuntunan para salaf, yang sampai ke derajat kesempurnaan sebagai sufi. Untuk
sampai ke tingkat derajat ṣūfī kāmil dibutuhkan tahapan-tahapan dalam pembenahan
diri, dan yang terpenting dari tahapan itu, ialah iṣlāḥ as-sarīrah (pembenahan atau
pembersihan batin) dari hal-hal yang menghalangi seseorang sampai ke Tuhan (al-
wuṣūl) dan sikap murāqabah (Ibrahim, 2001: 150). Bagi Guru Bakhiet, iṣlāḥ as-sarīrah
direpresentasikan dalam praktik keseharian, khususnya saat pengajian, para jamaah
harus berpakaian serba putih. Keharusan memakai pakaian serba putih, di samping
memang dianjurkan oleh ajaran agama sebagaimana hadis yang sering dikemukakan
sebagai dalilnya, juga bisa dipahami sebagai metode pendidikan rohani, di mana
jamaah dikondisikan dalam situasi serba putih sebagai simbol bersih lahir dan batin
dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Pedoman pakaian putih ini telah

9
dirumuskan dalam buku al-Qaul as-Sadād fī al-Faṣl baina al-Bayāḍ wa as-Sawād (Tim
Bahtsul Masail Pondok Pesantren Nurul Muhibbin, 2017).
Cara kedua untuk memahami Guru Bakhiet adalah melalui guru-guru dan kitab-
kitab yang dipelajarinya selama mondok di berbagai pesantren baik di Kalimantan
Selatan maupun di pulau Jawa. Pemikiran Guru Bakhiet banyak dipengaruhi oleh Imam
al-Ghazali. Ia merujuk kitab-kitab al-Ghazali dalam pengajiannya seperti Bidāyah al-
Hidāyah dan Minhāj al-'Ābidīn. Paparannya mengenai Asmaul Husna dalam karyanya
Mengenal al-Asma al-Husna Jalan Menuju Ma'rifatullah banyak mengutip pendapat
Imam al-Ghazali.
Ulama tasawuf yang juga mempengaruhi pemikiran Guru Bakhiet adalah Ibn
‘Aṭā’illāh as-Sakandarī. Hal ini berdasarkan pada pengakuannya dan kitab-kitab Ibn
‘Aṭā’illāh yang dikaji dan disampaikannya di majlis-majlis taklim asuhannya. Kitāb al-
Ḥikam adalah karya Ibn ‘Aṭā’illāh yang menjadi rujukan utama Guru Bakhiet dalam
pengajiannya di Pesantren Nurul Muhibbin. Ia mengulas pasal demi pasal dari setiap
pertemuan dengan durasi 30 menit hingga tamat. Dalam mengulas setiap hikmah, ia
menggunakan berbagai macam kitab yang mengomentari al-Ḥikam. Ia kemudian
melakukan interpretasinya sendiri terhadap hikmah-hikmah yang ada dalam al-Ḥikam
sehingga mudah dipahami oleh jemaah-jemaahnya yang awam sekalipun. Bagian-
bagian yang pelik dari al-Ḥikam dan sesungguhnya hanya bisa dipahami oleh kalangan
sangat spesial (khawāṣ al-khawāṣ) diurai secara sangat jenius sehingga orang-orang
awam bisa memahami, menghayati, dan mengamalkan pesan-pesan tersebut.
Di Indonesia, al-Ḥikam popularitasnya menempati urutan kedua setelah Iḥyā'
`Ulūm al-Dīn karya al-Ghazālī. Menurut Martin van Bruinessen, al-Ḥikam diajarkan di
pesantren-pesantren tradisional pada tingkat tsanawiyah (menengah pertama) dan aliyah
(menengah atas) (Bruinessen, 1995: 163).
Tabel
Kitab Tasawuf di Pesantren
Nama Kitab Nama Kitab Tingkatan
Al-Ghazālī Iḥyā’ `Ulūm al-Dīn `Aliyah
Al-Ghazālī Bidāyah al-Hidāyah Tsanawiyah
Al-Ghazālī Minhāj Al-`Ābidīn Tsanawiyah
al-Sakandarī al-Ḥikam Tsanawiyah/`Aliyah
An-Nawāwī Al-Ażkar `Aliyah
Nawāwī Banten Maraqil-‘Ubudiyah Tsanawiyah
Al-Falimbanī Sayr al-Sālikīn `Aliyah
Al-Falimbanī Hidāyah al-Sālikīn Tsanawiyah
Zain Ad-Dīn Al-Malibari Idāyah Al-Ażkiyā' `Aliyah
ad-Dimyāthī Kifāyah Al-Atqiyā’ `Aliyah
Abdallah b. `Alwi Al-Ḥaddad Risālah Al-Mu`āwanah `Aliyah
Abdallah b. `Alwi Al- Ḥaddad Al-Naṣā'iḥ al-Dīniyah `Aliyah
Ihsan b. Muhammad Dahlan Sirāj al-Ṭālibīn Tsanawiyah
Karya-karya Ibn ‘Aṭā’illāh yang dikaji oleh Guru Bakhiet adalah Tāj al-`Arūs al-
Ḥāwī li Tahżīb an-Nufūs yang hingga kini masih sangat populer. Sebagian besar

10
tersusun dari kutipan-kutipan kitab al-Ḥikam, al-Tanwīr dan Laṭ'āif. Karena itu dapat
dikatakan buku ini secara tidak langsung cenderung menjelaskan popularitas karya-
karya sebelumnya. Ibn ‘Aṭā’illāh menyusun karyanya ini sebagai sebuah memori atau
sebuah sintesis ringkas dari karya-karya yang lain, namun secara definitif kesatuan
interiornya pada tulisan ini masih kurang (Danner, 1984).
Ada beberapa kitab atau risalah yang terkadang disandarkan kepada Guru Bakhiet
sebagai pengarangnya meskipun namanya tidak tercantum pada risalah tersebut, tetapi
hanya mencantumkan nama Majelis Taklim Nurul Muhibbin. Kitab-kitab itu di
antaranya adalah Kitāb al-Maḥabbah min Iḥyā 'Ulūm al-Dīn, Kitāb al-Tafakkur min
Iḥyā 'Ulūm al-Dīn, Kitāb Adab al-Kasb min Iḥyā 'Ulūm al-Dīn, Kitab al-Ikhlāṣ, Kitāb
al-Ṣalah min Iḥyā 'Ulūm al-Dīn. Semua kitab ini merupakan terjemahan dari bagian-
bagian kitab Iḥyā 'Ulūm al-Dīn karya Imam al-Ghazali. Meskipun demikian adapula
kitab atau risalah yang secara jelas mencantumkan namanya sebagai pengarang kitab
tersebut, seperti Nūr al-Muḥibbīn fī Tarjamah Ṭarīqah al- 'Ārifīn min Sadātinā
al-'Alawīyyīn dan Mengenal al-Asma al-Husna Jalan Menuju Ma'rifatullah. Semua
kitab ini dalam bentuk Arab-Melayu dan diterbitkan oleh Pondok Pesantren dan Majelis
Taklim Nurul Muhibbin Barabai. Sedangkan mengenai pandangan-pandangan sufistik
Guru Bakhiet yang paling penting akan diuraikan di bawah ini.
Ilmu
Menurut Guru Bakhiet (tth: 110), ilmu yang harus dicari adalah ilmu yang dapat
mendekatkan diri kepada Allah atau ilmu yang mudah dengannya kita bisa mendapat
ma‘rifah Allah. Selain itu, ilmu yang wajib dicari dan dipelajari adalah ilmu yang
menjelaskan tentang sah dan diterimanya ibadah oleh Allah, seperti ilmu tentang
bagaiman salat yang sah. Ini adalah ilmu farḍu ‘ain. Selain itu, dalam mempelajari ilmu
harus melalui guru dan guru itu silsilahnya harus sampai kepada Rasulullah SAW. Ilmu
tidak cukup hanya dipelajari di buku atau kitab. Bisa membaca buku bukanlah syarat
untuk sahnya ibadah. Para wali banyak yang tidak pandai membaca, namun mereka bisa
makrifat dan berpengetahuan luas.” (Bakhiet, tth: 111). Pernyataan Guru Bakhiet ini
menegaskan posisi menuntut ilmu sebagaimana yang sudah dijadikan pedoman utama
para sufi. Para sufi bersepakat bahwa menuntut ilmu itu harus memberi manfaat kepada
penuntutnya, yang dapat menopang ketaatan kepada Allah, menyusupkan khasyyah
(rasa takut) kepada-Nya, dan berpijak di atas rambu-rambu yang sudah digariskan-Nya,
dan inilah yang disebut dengan ma‘rifat terhadap Allah. Ilmu yang bermanfaat juga
meliputi ilmu tentang Allah, dan perihal apa yang diperintahkan oleh Allah. Hal ini bisa
terjadi jika dalam menuntut ilmu tersebut hanya semata-mata karena Allah (Ḥawwā,
1989: 601-602).
Guru Bakhiet (tth: 111) juga mengingatkan pentingnya untuk mengamalkan ilmu.
Ilmu tanpa amal tidak akan ada faedahnya. Sebaliknya, amal tanpa ilmu tidak akan
berdaya guna. Ilmu dan amal ibarat saudara kembar yang tidak bisa dipisahkan. Seorang
sālik yang menempuh jalan iman, jalan makrifat kepada Allah dan jalan untuk sampai

11
kepada rida-Nya membutuhkan ilmu di setiap fase suluknya. Di awal fase
perjalanannya, dia harus memiliki ilmu tentang akidah, perbaikan ibadah dan pelurusan
muamalah, dan di tengah-tengah perjalanannya, ia membutuhkan ilmu tentang kondisi-
kondisi hati, perbaikan akhlak, pensucian jiwa, dan lain-lainnya. Karena itu,
memperoleh ilmu adalah salah satu titik dasar terpenting dalam metode praktis tasawuf.
Sebab, tasawuf tidak lain adalah pelaksanaan ajaran-ajaran Islam secara sempurna tanpa
mengurangi salah satu aspek lahir dan batinnya (al-Ghazālī, tth: 91).
Ma‘rifatullāh
Pembahasan tentang makrifatullah (mengenal Allah) diulas Guru Bakhiet dalam
bukunya, Mengenal al-Asmā’ al-Ḥusnā’ Jalan Menuju Ma‘rifatullāh Subḥānahu wa
Ta‘āla. Dalam bukunya ini, Guru Bakhiet mendahului uraiannya dengan menjelaskan
esensi dari makrifatullah (ma‘rifah Allāh). Menurutnya, makrifat kita dalam dunia ini
merupakan modal kita untuk melihat Allah di dalam surga. Bagaimana pun kita taat
kepada Allah tetapi belum merasakan makrifat kepada Allah, meskipun kita dapat
masuk ke dalam surga namun tidak akan bisa melihat Allah. Orang-orang yang bisa
melihat Allah hanyalah mereka yang telah makrifat kepada Allah di dalam dunia ini
(Bakhiet, tth: 1). Tiap orang yang tidak sempat merasakan lezatnya makrifat kepada
Allah SWT maka di akhirat nanti tidak akan merasakan lezatnya memandang zat Allah
(Bakhiet, tth: 432). Pendapat ini sudah lazim di kalangan para sufi. Seorang sufi Bahā’
al-Walad menyatakan bahwa orang-orang yang benar-benar beriman sudah pernah
melihat-Nya, baik ia menyadari maupun tidak. Ketika Bahā’ al-Walad menguraikan
tentang hakikat dari subḥānallāh yang mengoreksi pemaknaannya sebagai ajaran
transendensi Allah dan kemustahilan melihat-Nya. Menurutnya, makna yang
sebenarnya subḥānallāh adalah bahwa Allah bisa dilihat di mana-mana (Chittick, 2008:
123).
Nikmat terbesar yang nanti akan dinikmati oleh orang-orang yang beriman adalah
melihat Allah di surga. Di tempat ini, mereka akan melihat Allah dengan mata telanjang
tanpa tabir dan bercakap-cakap langsung dengan-Nya. Namun, selama di dunia ini kita
tidak boleh membayang-bayangkan wujud Allah dengan apa pun. Karena semua yang
ada di dunia ini adalah ciptaan-Nya, sehingga jika ada yang berani menyamakan-Nya
dengan ciptaan-Nya berarti syirik atau mempersekutukan-Nya. Tidak ada sesuatu pun
yang serupa dengan Dia (QS. al-Syūrā/42: 11), Dia adalah Maha Esa, Allah tempat
bergantung, Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada satu pun
yang serupa dengan-Nya (QS. al-Ikhlas/112: 1-4) (lihat: Ibn Kaṡīr, 998: 287; az-
Zuhailī, 2009, XV: 286-287; Hadzami, 1982: 7).
Di bagian lain, Guru Bakhiet menjelaskan bahwa jalan utama untuk makrifat atau
mengenal Allah ini adalah dengan mengenal nama-nama-Nya. Sebab, dengan nama-
nama-Nya ini maka kita akan bisa naik untuk mengenal zat-Nya (Bakhiet, tth: 1). Guru
Bakhiet menulis, “Kenapa kita disuruh mengenal namanya sebelum mengenal orangnya
atau zatnya? Menurut ulama ahli suluk, sebelum kenal sifat dan zat, kita harus kenal

12
benar nama-nama Allah SWT, dengan kenal baik nama Allah SWT kita bisa kenal zat,
sifat dan af‘al-Nya.” (Bakhiet, tth: 2).
Dalam sebuah ceramahnya yang disiarkan melalui TV Aswaja atau Youtube, Guru
Bakhiet (Youtube2017b) mengulas panjang lebar tentang makrifat ketika ia
menguraikan hikmah ke-8 dari Kitab al-Ḥikam karya Ibn ‘Aṭā’illāh. Menurut Guru
Bakhiet, makrifat atau mengenal Allah merupakan impian bagi mereka yang
mempunyai akal sehat, sebagaimana firman Allah:…liya’budun adalah liya’rifun untuk
mengenal Aku. Mereka yang berakal sehat ingin sekali mengenal Allah. Dalam hal
makrifat ini manusia terbagi tiga. Pertama, kelompok lā ‘aqla lahum (manusia yang
tidak ada akal baginya); artinya ia manusia tetapi tidak mempunyai akal. Manusia-
manusia seperti hanya kenal kepada makhluk, dan tidak mengenal al-Khāliq (Sang
Pencipta) dan Pemilik semua makhluk. Yang masuk kelompok ini adalah binatang
(kambing), ia hanya kenal pada pengembalanya tetapi tidak kenal kepada pemilik
kambing. Kambing hanya kenal kepada orang-orang yang memberi makannya, tetapi
kambing tidak kenal kepada yang mempunyai makanan. Begitu pengembala datang,
kambing mendekat karena si pengembala membawa rumput. Datang pemiliknya
memakai mobil dan memakai jas, orangnya bungas (tampan), tetapi kambing tidak
menghiraukannya. Dipanggil-panggil kambing itu malah menjauh padahal ia adalah
pemilik kambing. Kalau pemilik memerintahkan kambing itu disembelih pastilah
disembelih kambing itu. Kambing itu hanya kenal dengan pengembala yang berpakaian
compang-camping. Karena hanya memang pengembala itu yang tiap hari membawakan
makanan. Di lain pihak, memang kambing tidak mau berusaha kenal dengan
pemiliknya. Inilah gambaran manusia yang hanya kenal kepada makhluk. Tidak kenal
dan tidak mau kenal dengan al-Khāliq, kepada Penciptanya. Manusia kelompok ini
keinginannya hanya ingin dekat makhluk. Keinginannya diperhatikan makhluk.
Keinginannya jinak dengan makhluk. Kalaupun ia beribadah, bersembahyang, bersede-
kah, tapi tujuannya agar dipuji oleh makhluk, agar makhluk simpati kepadanya, agar
dipilih oleh makhluk seandainya ia mencalonkan suatu posisi atau jabatan tertentu.
Manusia-manusia seperti ini di akhirat nanti akan mengalami kesulitan-kesulitan,
mengalami kesengsaraan-kesengsaraan, disebabkan oleh tidak kenalnya mereka kepada
al-Khāliq.
Kedua, lahum ‘aqlun saqīm (baginya ada akal tetapi akalnya sakit), ada akal tetapi
akalnya tidak sehat. Orang yang akalnya tidak sehat ini ketika minum tes manis akan
berasa pahit. Orang-orang kelompok ini ingin dapat nikmat Allah, ingin dapat
perlindungan Allah, ingin mati masuk ke surga, ingin banyak dapat bidadari, tetapi tidak
hasrat di dalam hatinya untuk mengenal Allah. Mereka tidak ada minat sama sekali
untuk mengenal Allah, yang penting dapat nikmat, dapat kebahagiaan, dapat
kesenangan dari Allah, dipelihara Allah dari berbagai marabahaya, rezeki diluaskan
Allah. Perkara siapa Allah, ia tidak perlu merasa tahu. Inilah gambaran orang yang
berakal tetapi akalnya sakit. Orang-orang kelompok ini memang beribadah,

13
bersembahyang, membaca al-Quran, namun selalu meminta kepada Allah murah rezeki,
selamat dari balak, lunas hutang, mati masuk surga, meminta berkumpul dengan Nabi di
surga. Kelompok yang kedua ini andaikata ia mati dan masuk surga, maka
kesenangannya dalam surga itu adalah makan, minum, berpakaian yang indah, bercinta
dengan pasangan-pasangannya. Itulah kesena-ngannya dalam surga.
Ketiga, lahum ‘aqlun salīm (bagi mereka akal yang selamat), akal yang sehat.
Siapa mereka yang berakal sehat itu? Itulah kelompok orang-orang yang ingin kenal
dengan Allah. Yang ingin dekat dengan Allah. Yang ingin jinak dengan Allah. Mereka
ingin ketika mendapat suatu nikmat, bukan hanya melihat pengantar nikmat tetapi ingat
pada pemberi dan pengirim nikmat itu, yakni Allah SWT. Ditambahkan oleh Guru
Bakhiet, bahwa Nabi Muhammad SAW adalah orang yang telah dibukakan makrifatnya
oleh Allah sehingga beliau adalah orang yang paling takut dan paling mengenal Allah.
Beliau bersabda, "Aku lebih takut kepada Allah dan lebih mengetahui tentang
Allah daripada kalian semua" (HR. Bukhari). Menurut Ibn Hajar, sabda Nabi tersebut
menunjukkan bahwa ilmu tentang Allah itu bertingkat-tingkat. Karena itu, ada sebagian
orang lebih baik daripada yang lainnya. Dan Nabi Muhammad SAW adalah di antara
hamba-hamba Allah yang paling tinggi derajatnya. Dalam hal ini, ilmu tentang Allah itu
mengharuskan adanya pengetahuan yang berkaitan dengan segala sifat, hukum dan hal-
hal yang tercakup di dalamnya. Dan Nabi sudah memenuhi kriteria ini.
Ibn al-Qayyim berpendapat, seseorang tidak akan mungkin mendapat predikat
ma’rifat, jika ia tidak mengetahui tentang Allah dan jalan yang mengantarkan kepada-
Nya serta penyakit-penyakit dan penghalang-penghalangnya. Selain itu, ia tidak berhak
menyandang predikat ma’rifat sebelum ia berperilaku batin "menurut" Allah. Karena
itu, tegas Ibn al-Qayyim, orang akan memperoleh predikat ini jika ia mengenal Allah
melalui nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya, kemudian menyelaraskan
dengan kemauan Allah dalam masalah muamalatnya, ikhlas kepada-Nya dalam tujuan
dan niat, menanggalkan akhlak tercela berikut penyakit-penyakitnya, bersabar
menerima keputusan Allah tentang nikmat dan musibah-Nya (al-Jauziyah, tth, III: 337-
338).
Orang-orang yang makrifat kepada Allah apa pun status pekerjaannnya ia lebih
mementingkan akhirat dibanding dunia (Bakhiet, Youtube2017d). Mereka yang sudah
makrifat kepada Allah, niscaya mereka memandang segala sesuatu mampu melihat
kehadiran Allah di situ (Youtube2017i). Makrifat itu diperoleh jika Allah telah
mencintai seseorang hamba yang dikehendaki-Nya.
“Orang yang sudah makrifat itu bisa menyaksikan Allah itu ada sehingga mereka tidak
lari dari apa pun. Mereka tidak menjauh dari apa pun, dan mereka tidak khawatir sesuatu
itu menghalangi mereka dari Tuhan mereka. Ini kalau mereka sudah makrifat kepada
Allah SWT. Mereka diberikan jabatan, diterima. Mereka diberikan kekayaan oleh orang,
mereka terima. Mereka diberika apa saja dilaksanakan. Karena semua pekerjaan itu tidak
menghalangi mereka lagi dari musyahadah kepada Allah SWT. Setiap sesuatu yang

14
mereka lihat, setiap sesuatu yang mereka pandang, setiap yang mereka perbuat, semua itu
mendekatkan diri mereka kepada Allah SWT.” (Youtube2017i).
Rahmat dan Kemurkaaan Allah
Berkaitan dengan konsep rahmat dan kemurkaan Allah ini, Guru Bakhiet
sepenuhnya mengikuti para guru sufí yang telah membahas masalah ini. Para guru sufi
mendeskripsikan Allah sebagai Yang Jalāl (Keagungan) dan Yang Jamāl (Keindahan)
dan menjadi topik sentral dalam pemikiran tasawuf mereka (Murata, 1992; Schimmel,
1992). Dalam dunia yang kita alami ini, ada hal-hal tertentu yang menampakkan sifat
kemurkaan Tuhan secara langsung (Jalāl), dan hal-hal lainnya dikuasai oleh sifat
rahmat-Nya (Jamāl). Secara umum, segala sesuatu yang berkaitan dengan alam lahiriah
dan material cenderung memani-festasikan kemurkaan. Sebaliknya, semakin dekat kita
dengan dunia spiritual, semakin dekat pula kita menghampiri rahmat murni.
Sebagaimana dikemukakan Rūmī, “Dunia ini adalah tempat kemurkaan Allah”, yang
berarti bahwa akhirat adalah tempat kelembutan dan rahmat Allah (Chittick, 2008: 12).
Menurut Guru Bakhiet, Allah itu mendahulukan rahmat-Nya daripada murka-Nya.
Karena itu, ketika ada seorang hamba melakukan dosa, sebesar apa pun dosanya,
niscaya Dia akan mengampuninya. Ia menceritakan tentang seorang yang telah
membunuh seratus manusia, tetapi ketika ia telah menyadari akan perbuatannya itu dan
bertobat kepada Allah, maka dosa-dosanya pun diampuni oleh Allah (Youtube2017f).
Zikir dan Wirid
Pada umumnya wirid dalam tarekat terbagi dalam tiga bentuk. Pertama, wirid
lazīmah adalah bentuk bacaan yang dilaksanakan sesuai waktu yang sudah ditentukan,
misalnya setiap pagi, setiap malam, setiap sore, dan seterusnya. Kedua, wirid wazīfah
adalah amalan yang dilaksanakan satu kali dalam sehari semalam. Ketiga, wirid
hailalah. Wirid ini dilaksanakan satu kali dalam seminggu secara berjamaah. Wirid
yang terakhir ini penekanannya pada menggerakkan ruh untuk membangun tauḥīd
żauqī (tauhid rasa). Seseorang akan meraih tauḥīd żauqī apabila segala pikirannya
khusus terhadap keesaan Allah (muwaḥḥid), pikirannya tidak menampakkan dirinya,
yaitu dengan peniadaan semua sekutu terhadap makhluk Allah, dibarengi dengan
pelaksanaan semua perintah-Nya, baik secara lahir maupun batin. Tauḥīd żauqī yang
“sempurna” akan tercapai apabila perhatian muwaḥḥid pada dirinya telah hilang
(fanā’/sirna). Tegasnya tingkat kesempurnaan tauhid akan dicapai apabila muwaḥḥid
sudah terserap atau menyatu ke dalam cahaya Tuhan. Dengan ungkapan lain: tauḥīd li
nafsih bi nafsih ‘an nafsih (untuk Allah, dengan Allah, dari Allah) (Fathurahman, 1999:
115, 117). Demikian pentingnya posisi wirid ini, Guru Bakhiet menegaskan bahwa
siapa yang tidak mempunyai wirid, maka orang itu adalah kera. Kera itu adalah
binatang yang paling jahat. Mengapa disebut binatang paling jahat, karena umat-umat
dahulu yang maksiat, yang menentang Rasul diubah bentuknya oleh Allah menjadi
kera. Andaikata ada binatang yang lebih jahat dari kera, maka kera tetaplah yang paling
jahat. Disebutkan dalam sebuah kitab bahwa daging kera adalah daging paling jahat.

15
Lebih jahat daripada daging anjing. Jadi orang yang tidak punya wirid itu seperti kera.
Bukan bentuknya seperti kera, tetapi tubuh daging orang itu sangat jahat karena
mungkin banyak makanan haram yang dimakannya, banyak harta tidak halal yang
masuk ke dalam tubuhnya sehingga dagingnya tumbuh menjadi tubuh yang paling jahat
seperti kera.” (Youtube2017e).
Tentu saja secara tampilan lahiriah (fisikal) orang yang tidak mempunyai wirid
tidak berubah wujud menjadi kera (monyet), tetapi dagingnya bagaikan daging monyet.
Karena itu penting bagi kita untuk membuat wirid. Tetapi yang paling penting dalam
menentukan wirid itu adalah yang enteng (mudah) dan dilaksanakan secara terus-
menerus. Sedangkan jika dilaksanakan secara instan tidak bisa disebut wirid. Dalam
melaksanakan wirid boleh jadi tidak tampak hasilnya, maka kita harus mengetahui
beberapa kemungkinan penyebabnya: pertama, dalam melaksanakan wirid itu mungkin
tidak ikhlas; memang ikhlas tetapi tidak hadir hati. Misalnya, seseorang membaca surah
Yasin, tetapi hatinya ke mana-mana. Seharusnya hatinya Yasin juga, ini yang
dinamakan ḥuḍūr al-qalb (kehadiran hati). Amalan-amalan itu tidak memberikan
faedah kepadanya kecuali dengan kehadiran hati. Misalnya, orang membaca lā ilāha
illā Allāh, ia tetap mendapatkan pahala, yakni pahala mulutnya yang membaca kalimat
itu. Karena itu buatlah wirid yang membuat hati kita hadir. Sehingga dalam wirid itu
yang paling penting adalah kehadiran hati itu dan wirid tidak perlu banyak-banyak
(Youtube2017e). Kehadiran hati inilah yang membawa seseorang kepada sasaran dari
zikir yang dibacanya. Guru Bakhiet menegaskan:
“Jika hati tetap belum merasakan efek dari wirid yang dibaca, meskipun sudah
menghadirkan hati dan ikhlas, maka ini bisa saja berkaitan dengan adab wirid. Karena itu,
seorang wārid harus memperhatikan adab-adab berwirid. Sebab adab inilah yang
menentukan diterima atau tidaknya zikir tersebut. Kada tahu dibasa, misalnya berzikir
sambil behunjur, bezikir sambil beduduk panggung, (duduk sambil betumpang batis). Ini
adalah duduknya para raja. Mehadap Allah musti seorang hamba. Allah kada katuju
kalakuan para raja itu ditiru mehadap Allah. Menuntut ilmu sudah bertahun-tahun, tetapi
belum juga paham, belum mampu mengamalkan, mungkin penyebabnya adalah karena
kurang beradab. Tidak beradab kepada kitab, tidak beradab kepada guru, tidak beradab
kepada Allah, tidak beradab kepada Rasul, sehingga mengaji puluhan tahun tidak nampak
hasilnya. Tidak mampu mengamalkan.” (Youtube2017).
Dalam kaitan dengan zikir dan wirid ini, Guru Bakhiet menegaskan sebaiknya
mengikuti formula-formula wirid yang sudah dibuat ulama-ulama terdahulu, seperti
Ratibul Ḥaddād, yang di dalamnya sudah ada zikir, salawat, istighfar, dan sebagainya.
Ia menggarisbawahi bahwa tanda-tanda orang yang makrifat itu hidupnya tenang,
lapang, tidak mengadu kepada makhluk. Jika berlawanan dari ini padahal dia sudah
mengamalkan wirid, hidup penuh keluh kesah, mengadu ke sana kemari, tetapi orang
semacam ini tidak boleh diremehkan atau dilecehkan. Karena dia mampu berwirid itu
saja sudah merupakan anugerah besar dari Allah. Anugerah ini tidak boleh dianggap
enteng. Soal dia belum mencapai makrifat adalah soal lain. Itu urusan Allah, bukan

16
urusan dirinya. Jika kita melihat ada kawan yang mengamalkan wirid atau rajin
menuntut ilmu tetapi kelakuannya belum bagus, jangan sekali-kali meremehkannya.
Karena berwirid yang dilakukannya itu adalah anugerah Allah, dan tidak semua orang
diberi anugerah seperti ini. Wirid itu merupakan penerang hati (Youtube2017e).
Sebagai mursyid Tarekat ‘Alawiyah, Guru Bakhiet mengikuti formula wirid yang
mapan dan diamalkan dalam tarekat tersebut yang dikenal dengan ratib. Pada tarekat
'Alawiyyah di Kabupaten HST yang dipimpin oleh Guru Bakhiet terdapat beberapa
wirid (ratib) yang harus diamalkan oleh para jamaah.
Khalwat
Khalwat adalah bagian penting dalam tasawuf. Khalwat lebih spesifik dari ‘uzlah.
Dari segi tujuan dan bentuknya, khalwat adalah semacam iktikaf, tetapi khalwat tidak
dilakukan di dalam masjid, meskipun ada juga yang dilakukan di dalam masjid. Tidak
ada batas maksimal bagi khalwat. Secara sederhana, khalwat adalah penyendirian
seorang salik ke tempat pengasingan [jauh dari keramaian orang-orang awam] untuk
mengabdikan diri sepenuhnya beribadah kepada Allah, di bawah bimbingan guru atau
syaikh sufi, dan untuk menyucikan jiwa dari segala jenis keyakinan palsu, pikiran dan
perasaan yang keruh, konsep yang keliru serta khayalan semu yang menjauhkannya dari
Allah. Dia menutup semua pintu hatinya kepada hal-hal selain Allah dan bercakap-
cakap dengan Diri-Nya melalui lidah batinnya (Gülen, 2001: 44). Khalwat dilakukan
selama 40 hari, sebagaimana perjanjian yang pernah terjadi pada Musa as. Pada
dasarnya, maksudnya adalah 30 hari, sebab itulah pokok dari perjanjian tersebut. Nabi
Muhammad sendiri berkhalwat di Gua Hira selama 30 hari, sebagaimana dijelaskan
dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Muslim. Beliau meninggalkan isteri beliau
dan berpuasa selama sebulan penuh. Sedangkan batas minimal melakukan khalwat
adalah 10 hari. Sebab, Nabi saw mengerjakan iktikaf pada 10 hari terakhir dari bulan
Ramadan (‘Īsā, 2007: 197).
Para sufi telah mempersyaratkan bahwa seseorang yang akan berkhalwat harus
mempunyai pengetahuan agama untuk memantapkan tauhidnya, agar setan tidak
menggodanya dengan bisikan-bisikannya (Qusyairī, tth). Karena itulah, murīd yang
akan melakukan khalwat harus dalam bimbingan dan pengawasan seorang syekh
(mursyid). Selama khalwat itu terdapat banyak sekali penyingkapan-penyingkapan yang
sangat besar dalam hati. Karena alasan inilah, sebagian sufi menegaskan bahwa khalwat
tidak sah dilakukan tanpa bimbingan seorang mursyid (Zarrūq, 2012: 39).
Langkah pertama dalam khalwat diselesaikan dalam empat puluh hari dan karena
itu disebut "khalwat empat puluh hari" (arba‘īn atau chilla). Menurut Annemarie
Schimmel, khalwat ini diwajibkan bagi seorang sufi pemula berdasarkan pertimbangan
guru spiritual. Ketika seorang guru menganggap layak dan perlu, maka seorang sufi
diharuskan menyelesaikan latihan keras selama empat puluh hari empat puluh malam
sendirian di dalam sebuah ruangan sempit dengan sesedikit mungkin cahaya, sedikit
makanan, mengisi waktu hanya dengan membaca Al-Quran, meditasi, dan

17
mengucapkan serangkaian doa tertentu atau asma-asma Tuhan. Gurunya biasanya akan
menjenguknya di petang hari untuk melihat kemajuannya dan menafsirkan mimpinya,
atau membawanya kembali ke dunia normal jika terbukti ia terlalu lemah untuk
melakukan latihan-latihan yang diwajibkan itu (Schimmel, 2002: 11).
Guru Bakhiet (Youtube2017c) menyatakan bahwa dalam khalwat atau uzlah
bertujuan untuk menjernihkan hati. Khalwat berarti menyendiri atau menjauh dari
manusia yang disertai dengan tafakkur. Dalam diri kita ini ada yang disebut dengan
qalbun (hati). Yang dimaksud hati di sini bukanlah segumpal daging yang terletak di
dada sebelah kiri, tetapi sesuatu yang dinisbahkan kepada Allah SWT. Yang berada di
dalam diri kita. Yang dengan hati itu kita dapat mengetahui mana yang baik dan mana
yang buruk, mana yang menuju surga dan mana yang menuju neraka. Apabila hati kita
baik maka baik seluruh anggota tubuh kita, dan apabila ia rusak maka rusaklah seluruh
anggota tubuh kita. Guru Bakhiet mengutip hikmah ke-12 dari Kitab al-Ḥikam
(Youtube2017c, Hikmah ke-12) karya Ibn ‘Aṭā’illāh yang menjelaskan tentang hati
yang rusak. Hati yang hanya mementingkan kepentingan-kepentingan sesaat, namun
melupakan akibat. Hati yang rusak ini jika ingin selamat mesti diobati agar hati ini
selalu ingat kepada Allah, selalu ingat kepada Rasulullah SAW, dan selalu memikirkan
hari akhirat. Bagaimana memperbaiki hati yang rusah itu. Guru Bakhiet menegaskan:
Yang paling bermanfaat, yang paling mujarab untuk mengobati hati yang rusak itu adalah
uzlah atau khalwat. Artinya menjauh daripada manusia, menyendiri, tetapi disertai
dengan tafakkur. Dengan kita menyendiri dan tafakkur tadi maka diharapkan hati yang
rusak tadi diharapkan bisa baik…Kita menyendiri itu haruslah disertai dengan tafakkur.
Jika tanpa tafakkur maka uzlah itu tidak ada kebaikannya. Sedangkan tafakkur tidak
uzlah, tafakkur ketika berada di tengah-tengah umat, tafakkur di tengah-tengah
masyarakat, maka tafakkur itu tidak akan menimbulkan kemajuan, tafakkur itu tidak akan
murni, tafakkur tidak akan bersih, sehingga tidak sesuai dengan yang diharapkan dalam
tafakkur itu (Youtube2017c).
Dalam sebuah hadisnya, Rasulullah bersabda, “Tafakkur sesaat lebih baik
nilainya (pahalanya) daripada ibadah tujuh puluh tahun.” Maksudnya, jika kita
beribadah selama tujuh tahun tetapi tidak ada tafakkurnya, maka tidak sebanding
dengan ketika kita melakukan tafakkur sesaat saja yang bernilai ibadah tujuh puluh
tahun di sisin Allah SWT. Karena melalui tafakkur itu seorang hamba dapat mengenai
hakikat-hakikat segala sesuatu, dengan tafakkur itu seseorang bisa mengagungkan
Allah, dengan tafakkur ia bisa mengagungkan sesuatu yang membuat ridanya Allah
(Youtube2017c).
Menurut Guru Bakhiet , dalam tafakkur itu yang pertama kali kita pikirkan adalah
diri kita, karena man ‘arafa nafsah ‘arafa rabbah, barang siapa yang mengenali dirinya,
maka dia akan mengetahui Tuhannya. Apa yang kita renungkan dari diri kita; pertama,
untuk apa aku diciptakan Allah? Maka pada saat khalwat itu, tafakkur ini fokus pada
untuk apa diciptakan atau diadakan oleh Allah ini. Pada sebagian manusia ada yang
beranggapan bahwa dia diciptakan untuk mengumpulkan harta sehingga kebanyakan

18
waktunya hanya dihabiskan untuk mengumpulkan harta, apakah ia mengakui atau tidak,
sebagian besar waktunya dihabiskan untuk mengum-pulkan harta sebanyak-banyaknya.
Jam delapan pagi sampai jam lima sore dihabiskan waktunya untuk berusaha mencari
duit. Malam kecapekan. Orang semacam ini secara hal atau isyarat mengakui bahwa dia
diciptakan untuk mencari duit walaupun di mulutnya tidak keluar kata-kata seperti itu.
Tetapi tingkah lakunya menunjukkan demikian. Kita harus menyadari ternyata waktu-
waktu yang dihabiskan selama ini ternyata hanya duniawi semata-mata. Akhirat ada tapi
porsinya kecil.
Dalam tradisi sufí, khalwat itu dilakukan selama 40 hari. Mengapa 40 hari?
Penyair besar Persia Farīduddīn ‘Aṭṭār (w. 1221) melukiskan pencarian seorang murid
(sālik) di dalam ruangan sempitnya itu dengan bahasa puisi: setiap hari ia bertanya
kepada makhluk di mana gerangan Tuhan, dan semua makhluk—matahari dan
rembulan, bintang-bintang dan planet-planet, angin dan binatang-binatang—menjawab
bahwa mereka juga sedang mencari Tuhan, hingga si pencari, berdasarkan petunjuk
Nabi Muhammad Saw., menemukan Tuhan yang lama dicari itu di dalam "lautan
jiwanya", karena jiwa, hati adalah tempat tinggal sesungguhnya bagi Sang Kekasih.
Syair ‘Aṭṭār itu adalah sebuah ungkapan yang sangat indah tentang kerinduan tanpa
batas, "ratapan dan keluhan makhluk" yang mengalir ke seluruh penjuru dunia
(Schimmel, 2002: 12).
Zuhud
Menurut Quraish Shihab, penafsiran yang telah diberikan oleh kaum sufi terhadap
makna zuhud dalam Islam, dirasa kurang menguntungkan karena hampir semuanya
berkaitan dengan pandangan pesimistis terhadap kehidupan dunia. Mengutip Murtadha
Muttahari dalam The Religion and World (1982), Quraish Shihab menambahkan ada
dua hal yang menjadi penyebab munculnya penafsiran yang keliru tersebut. Pertama,
pengaruh paham-paham yang didasarkan pada pandangan pesimistis terhadap dunia.
Kedua, disebabkan oleh latar belakang sejarah yang tidak menggembirakan dan faktor-
faktor sosial lainnya yang menimpa umat Islam selama lebih dari empat abad terakhir
ini (Shihab, 1997: x).
Guru Bakhiet dalam memandang zuhud juga cenderung tidak pesimistis.
Seseorang boleh memiliki harta tetapi tidak boleh diperbudak oleh harta itu sendiri.
Sebab dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda, “Awal umat ini terselamatkan karena
zuhud dan yakin (iman); dan akhir umat ini akan binasa karena sikap al-ḥirṣ (cinta
berlebihan pada dunia) dan angan-angan yang panjang.” Ini berarti bahwa al-ḥirṣ
akan mengantarkan manusia untuk menghamba kepada keinginan-keinginannya yang
rendah atau hawa nafsunya. Ini juga merupakan sikap penyekutuan Tuhan dengan
makhluk-Nya, yang dapat menghalangi seseorang untuk sampai kepada Tuhannya.
Hanya dengan sikap zuhd dan yaqīn seseorang dapat berjalan dengan bebas menuju
Tuhannya (Youtube2017).
Karamah

19
Karamah bagi para wali adalah sesuatu yang bisa terjadi. Memang karamah
munculnya irrasional, tetapi munculnya tidak menghilangkan dasar-dasar prinsipal
agama, maka salah satu Sifat Wajib Allah adalah al-Qudrat (Kuasa) dalam wujudkan
karamah. Apabila Allah Maha Kuasa mewujudkannya, maka tak satu pun bisa
menghalangi kewenangan munculnya karamah tersebut (Qusyairī, tth: 353). Para sufi
menganggap cerita-cerita ajaib yang dialami oleh seorang sufi haruslah dianggap
sebagai cerita-cerita yang benar. Alasan mereka, karena al-Quran memberikan ilustrasi
mengenai adanya “makhluk yang telah diberikan ilmu dari kitab Allah” sehingga
mampu memindahkan singgasana dari satu tempat ke tempat lain (lihat: QS.
al-Naml/27: 40; Ali Imran/3: 37) (Kalābāżī,1993). Mereka mendukung adanya
karamah wali ini dengan dalil-dalil dari al-Quran, Sunnah Rasulullah SAW, āṡār
sahabat, dan orang-orang setelah mereka, sampai zaman kita sekarang ini. Selain itu,
para ahli fikih, ahli hadis, ahli uṣūl dan para syaikh tasawuf, yang karya-karya mereka
banyak membahas tentang karamah. Berkaitan dengan karamah ini, Guru Bakhiet
berpendapat bahwa kewalian yang terdapat pada diri seseorang ditutupi oleh sifat-sifat
kemanu-siaannya seperti makan, minum, menikah, mengantuk, dan sebagainya
(youtube2017h, Hikmah ke-105). Para waliyullah mempunyai kemampuan untuk tidak
makan selama berhari-hari, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, tidak tidur
bertahun-tahun, tetapi tidak diizinkan oleh Allah. Karena jika diperbolehkan akan
tampaklah perbedaan antara orang-orang yang dititipi ilmu rahasia ketuhanan dengan
orang-orang biasa. Dengan mengutip al-Suhrawardi, Guru Bakhiet mengatakan adanya
perbedaan antara karamah wali dengan mukjizat para Nabi. Jika Nabi wajib
menunjukkan kemukjizatannya, sedangkan para wali tidak diperbolehkan menunjukkan
karamahnya. Mukjizat bagi para Nabi dimaksudkan untuk menunjukkan status mereka
sebagai Rasul Allah yang wajib diimani oleh manusia, sedangkan karamah wali itu yang
menunjukkannya hanyalah Allah saja (‘Īsā, 2007: 361-362).
Mengapa para wali itu wajib menyembunyikan karamahnya? Sebab, menurut
Guru Bakhiet, Allah menghendaki agar rahasia-rahasia ketuhanan itu tetap tertutup
dalam diri mereka. Ini dimaksudkan agar mereka tidak dikenali oleh orang-orang awam,
kecuali orang-orang tertentu saja yang mengetahui kedudukan mereka.
AKSI: PERGAULAN (ṢUḤBAH) DAN MUŻAKARAH
Pergaulan (Ṣuḥbah) menekankan pentingnya memperhatikan orang lain dan
sekaligus memberikan bantuan kepadanya. Berkenaan dengan ini Guru Bakhiet berkata:
“Jangan segan-segan membantu orang lain. Ada seseorang yang perlu kepada kita dan
kita tolong orang itu menurut kemampuan kita berarti kita telah menolong Allah SWT,
dan jika telah menolong Allah SWT serahkanlah urusan itu kepada Allah SWT, pasti
Allah SWT akan menolong kita.” (Bakhiet, tth: 311).
Pergaulan yang paling utama adalah dengan para mursyid pewaris Nabi SAW.
Mereka adalah obat penangkal yang sangat mujarab. Menjauh dari mereka adalah racun
yang mematikan. Mereka adalah sekelompok manusia yang tidak akan membuat
sengsara orang yang bergaul dengan mereka. Bergaul dengan mereka adalah terapi

20
praktis yang sangat efektif untuk memperbaiki jiwa, memurnikan akhlak, menanamkan
akidah dan mengokohkan iman. Sebab, hal-hal tersebut tidak mungkin diraih dengan
hanya membaca buku dan mengkaji ilmu pengetahuan. Semua itu adalah sifat-sifat
praktis intuitif yang hanya dapat diserap dengan peneladanan, dengan interaksi dari hati
ke hati dan dengan pengaruh spiritual (‘Īsā, 2007: 42-43).
Mużakarah (dalam bahasa Indonesia: muzakarah) berarti (1) pertukaran pikiran
tentang suatu masalah; (2) pengulangan pelajaran secara bersama-sama. Bagi para sufi,
muzakarah adalah pengambilan manfaat yang dilakukan oleh murīd dari pengetahuan
yang dimiliki oleh mursyidnya. Metodenya bisa berupa pertanyaan yang diajukan oleh
murīd kepada mursyidnya tentang hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan
perbaikan akidah, ibadah, dan muamalah. Bisa juga seorang murīd menyatakan kepada
mursyidnya apa saja yang terjadi pada dirinya, yaitu keadaan hatinya, kecenderungan
jiwanya, atau godaan-godaan setan terhadapnya yang menjerumuskannya ke dalam
keraguan dan kesalahan, seperti keraguan terhadap akidahnya, atau kecintaannya
terhadap dunia, yang membuatnya bingung dalam menghadapinya (Bakhiet, tth: 193).
Selain itu, seorang murīd juga dapat menyatakan kepada mursyidnya tentang penyakit-
penyakit hatinya, seperti sifat angkuh, dengki, kemunafikan, kecintaan terhadap
kekuasaan dan lain sebagainya. Bisa pula dia menyatakan kepada mursyidnya tentang
kegelapan jiwanya, seperti dia pernah berbicara kepada khalayak ramai tentang
karamahnya agar mendapat pujian dan popularitas dan lain sebagainya. Tujuan dari
semua ini adalah untuk mengetahui cara yang efektif untuk menghindarkan diri dari
sifat-sifat tercela tersebut (Bakhiet, tth: 193).
Model mużakarah yang dilakukan oleh Guru Bakhiet ada dua model. Pertama,
mużakarah massal, yakni pemberian nasihat yang disampaikan dalam bentuk pengajian-
pengajian ilmu (majlis taklim) secara tematis baik face to face maupun melalui
pemanfaatan teknologi informatika. Pada model pertama ini, materi-materi yang
disampaikan mayoritas bersumber dari teks-teks tasawuf, seperti Kitab al-Ḥikam,
Risālah Ayyuhā al-Walad, kajian Asmaul Husna, dan lain-lain. Kedua, mużakarah
personal, yakni seorang murīd—baik dalam pengertian formal maupun non-formal—
berkonsultasi secara pribadi kepada Guru Bakhiet untuk urusan-urusan pribadi. Di sini,
Guru Bakhiet berfungsi sebagai seorang konselor spiritual untuk membantu
menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan yang dihadapi oleh murīd-murīd-nya.
Selain itu, masyarakat umum—khususnya mereka yang mengikuti pengajian-pengajian
yang diisi Guru Bakhiet—juga berkonsultasi kepadanya dengan berbagai persoalan
hidup: (1) ada yang bertanya soal hukum agama, (2) ada yang datang minta bantuan doa
untuk anaknya yang sakit, (3) ada yang datang minta nama untuk bayi yang baru lahir,
dan (4) ada pula yang datang karena sakit hati menghadapi anak yang nakal, atau suami
yang kawin lagi. Pokoknya segala macam persoalan hidup, diajukan kepada sang ulama
ini (Catatan lapangan, 10-15 Agustus 2017).

21
SIMPULAN
Guru Bakhiet—dalam kapasitasnya sebagai mursyid tarekat—telah memainkan
perannya yang sangat sentral dalam posisinya sebagai aktor, pemberi atau penafsir
makna terhadap teks-teks tradisional yang kemudian dikontekstualkan secara kreatif-
inovatif, sehingga jemaahnya dari berbagai strata sosial memahami pesan-pesan
sufistiknya. Teks-teks yang semula dianggap “berat” oleh sebagian sarjana Islam,
dibahasakan secara sederhana ole Guru Bakhiet. Implikasinya adalah pesan-pesan
sufistik akhirnya membumi dan tentu saja akan menggerakkan para Jemaah atau
pengikutnya untuk melaksanakan pesan-pesannya itu. Selain itu, Guru Bakhiet juga
memainkan perannya sebagai ‘pemandu ibadah dan pembimbing spiritual’ dalam
menempuh perjalanan tarekat dan juga menyelesaikan persoalan-persoalan sosial yang
diadukan masyarakat kepadanya.[]

DAFTAR PUSTAKA
Asmaran As.,. “Tarekat-Tarekat di Kalimantan Selatan (‘Alawiyyah, Sammāniyah dan
Tijāniyyah )”, Jurnal al-Banjari, Vol. 12, No.2, Juli 2013.
Azra, Azyumardi, “Tarekat ‘Alawiyyah dan Neo-Sufisme: Jaringan Ulama Hadhrami
Dalam Diaspora”, kata pengantar untuk buku Umar Ibrahim, Tharīqah
‘Alawiyyah: Napak Tilas dan Studi Kritis atas Sosok dan Pemikiran Allamah
Sayyid ‘Abdullāh al-Ḥaddād Tokoh Sufi Abad ke-17, Bandung: Mizan, 2001.
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara: Melacak
Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, cet. I, Bandung: Mizan,
1994.
Bachtiar, Wardi, Sosiologi Klasik Dari Comte hingga Parsons, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2010.
Bakhiet, Muhammad. Syarah Ayyuhal Walad-Tamat, video no.13,
https://www.youtube.com/watch?v=iBQNZOYqg2o (diakses: 18-07-2017). Kode:
youtube2017
Bakhiet, Muhammad. Kitab al-Ḥikam, Hikmah ke-1, https://www.youtube.com/watch?
v=Z_EcDPmyxhM (diakses: 22-02-2017). Kode: youtube2017a.
Bakhiet, Muhammad. Kajian Kitab al-Hikam, Hikmah ke-8,
https://www.youtube.com/watch?v=quBye5Z-kf8 (diakses: 22-2-2017). Kode:
Youtube2017b. Kode: youtube2017b.
Bakhiet, Muhammad, Kajian Kitab al-Hikam, Hikmah ke-12,
https://www.youtube.com/watch?v=0OPRfEtwc5U (diakses: 22-02-2017). Kode:
youtube2017c
Bakhiet, Muhammad. Kajian Kitab al-Hikam, Hikmah ke-28,
https://www.youtube.com/watch?v=KabgZtgHAIk (diakses: 22-02-2017).
Kode: youtube2017d.
Bakhiet, Muhammad. Kajian al-Hikam, Hikmah ke-65,
https://www.youtube.com/watch?v=YsHdd0BOgoM (diakses 22-2-2017). Kode:
Youtube2017e.
Bakhiet, Muhammad. Kajian al-Hikam, Hikmah ke-72,
https://www.youtube.com/watch?v=kzxYanX_c40. Kode: Youtube2017f.
Bakhiet, Muhammad Bakhiet. Kajian al-Hikam, Hikmah ke-105,
https://www.youtube.com/watch?v=OoaLGHGCIro (diakses: 4-07-2017). Kode:
Youtube2017g, Hikmah ke-105. G
Bakhiet, Muhammad, Kajian al-Hikam, Hikmah ke-105,
https://www.youtube.com/watch?v=OoaLGHGCIro (diakses: 04-07- 2017 dengan
view 32.758). Kode: youtube2017h.

22
Bakhiet, Muhammad. Kajian Kitab al-Hikam, Hikmah ke-112,
https://www.youtube.com/watch?v=quBye5Z-kf8 (22-2-2017). Kode:
Youtube2017i, hikmah ke-112.
Bakhiet, Muhammad, Mengenal al-Asmā’ al-Ḥusnā’ Jalan Menuju Ma‘rifatullah
Subḥānahu wa Ta‘āla, Barabai Darat-Hulu Sungai Tengah-Kalimantan Selatan:
Pondok Pesantren dan Majlis Taklim Nurul Muhibbin, tth.
Bruinessen, Martin van, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarikat: Tradisi-tradisi Islam di
Indonesia, Bandung: Mizan, 1415/1995.
Bruinessen, Martin van, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Bandung: Mizan, 1995.
Bungin, H.M. Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan
Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana.
Burhanudin,, Jajat, Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah
Indonesia, Bandung: Mizan, 2012.
Chittick, William C., Sufism: A Beginner’s Guide, Oxford: One World, 2008.
Clarence-Smith, William Gervase, “Hadhramaut and the Hadhrami diaspora in the
modern colonial era: An introductory survey” dalam Ulrike Freitag and William
G. Clarence-Smith (eds.). Hadhrami Traders, Scholars, and Statesmen in the
Indian Ocean, 1750s-1960s, Leiden: Brill, 1997.
Danner, Victor, Ibn `Atha’illah’s Sufi Aphorisms (Kitab al-Hikam), Leiden: E.J. Brill,
1984.
Denzin, Norman K. dan Lincoln (ed.). 1994. Handbook of Qualitative Research
California: SAGE Publications, Inc.
Engineer, Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Fathurahman, Oman, Tanbīh al-Māsyī: Menyoal Wahdatul Wujud, Kasus Abdurrauf
Singkel di Aceh Abad 17, Bandung: Mizan, 1999.
Gulen, Fethullah, Kunci-kunci Rahasia Sufi, penerj. Tri Wibowo Budi Santoso, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
Ḥaddād, ‘Abdullāh bin ‘Alwī, al-Nafā’is al-‘Ulwiyyah fī al-Masā’il al-Ṣūfiyyah, cet ke-
1, t.k: Dār al-Ḥāwī, 1414 H/1993 M.
Hadzami, K.H.M. Sjafi`I, 100 Masalah Agama, Jil. III, Kudus, Menara Kudus, 1982.
Hakim, Abdul., “Tarekat ‘Alawiyyah di Kalimantan Selatan: Sebuah Telaah Unsur
Neo-Sufisme Dalam Tarekat”, Jurnal al-Banjari, Vol. 10, No. 1, Januari 2011.
Ḥawwā, Sa‘īd, Mużakirāt fī Manāzil al-Ṣiddīqīn wa al-Rabbāniyyīn, Beirūt-‘Ammān:
Dār ‘Ammār, 1409/1989.
Ibn Kaṡīr al-Dimasyqī, al-Imām al-Ḥāfiẓ ‘Imād al-Dīn Abī al-Fidā’ Ismā‘ī ibn ‘Umar,
Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Jil. VIII, Beirūt: Dār al-Kutub, 1419/1998.
Ibn Qayyim al-Jauziyah, Madārij as-Sālikīn Baina Manāzil Iyyaka Na’budu wa Iyyaka
Nasta’īn, diedit oleh Muhammad Hamid Al-Faqi, Jil. III, Kairo: Maktabah As-
Sunnah Al-Muhammadiyah, tth.
Ibrahim, Umar, Tharīqah ‘Alawiyyah: Napak Tilas dan Studi Kritis atas Sosok dan
Pemikiran Allamah Sayyid ‘Abdullāh al-Ḥaddād Tokoh Sufi Abad ke-17,
Bandung: Mizan, 2001.
Imām al-Ghazālī, Ayyuhā al-Walad, penyunting dan kata pengantar oleh Jamīl Ibrāhīm
Ḥabīb, naskah dimuat di website: //www.ghazali.org/, h.. 23-25.
Īsā, Abd al-Qādir, Ḥaqā’iq ‘an al-Taṣawwuf, Ḥalb-Sūriyah: Dār al-‘Irfān, 2007.
Jabīrī, Muḥammad ‘Ābid, Naqd al-‘Aql al-‘Arabī, Bunyat al-‘Aql al-‘Arabī: Dirāsah
Taḥlīlīyah Naqdīyah li Naẓm al-Ma‘rifah fī al-Thaqāfah al-‘Arabah, Lebanon:
Markaz Dirāsat al-Wiḥdah al-‘Arabiyah, 2000.
Kalābāżī, Abū Bakr Muḥammad bin Isḥāq, al-Ta‘aruf li Mażhab Ahl al-Taṣawwuf,
Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993.
Kumayi, Sulaiman, Bersama Allah Yang Tak Mungkin Menjadi Mungkin, Semarang:
Pustaka Nuun, 1433/2012.

23
Kumayi, Sulaiman, Islam Bubuhan Kumai: Perspektif Awam, Nahu, dan Hakekat,
Jakarta: Kementerian Agama RI, 2011.
Littlejohn, Stephen W., Theories of Human Communication, California: Wadsworth
Publishing Company, 1989.
McCarthy, John D., “Constraints and Opportunities in Adopting, Adapting, and
Inventing”, dalam Doug McAdam, John D. McCarthy dan Mayer N. Zald (eds.),
Comparative Perspectives on Social Movements: Political Opportunities,
Mobilizing Structures, and Cultural Framings, Cambridge: Cambridge University
Press, 1996.
Mujiburrahman, M. Zainal Abidin, dan Rahmadi, “Ulama Banjar Kharismatik Masa
Kini di Kalimantan Selatan: Studi Terhadap Figur Guru Bachiet, Guru Danau, dan
Guru Zuhdi. Jurnal al-Banjari (IAIN Antasari), Vol. 11, No. 2, Juli 2012.
Mulkhan, Abdul Munir, Islam Murni pada Masyarakat Petani, Yogyakarta: Bentang
Budaya, 2000.
Murata, Sachiko, The Tao of Islam: a Sourcebook on Gender Relationship in Islamic
Thought, New York: State University of New York Press, 1992.
Muthahhari, Murtadha, Mengenal Irfan: Meniti Maqam-maqam Kearifan, Bandung:
Mizan, 1998.
Nasr, Seyyed Hossein, Traditional Islam in the Modern World, London and New York:
Kegan Paul International, 1994.
O’Fahey, Rex Sean and Bernd Radtke, “Neo-Sufism Reconsidered”, Der Islam,
University of Bergen. Vol. 70, 1993, dan (6) Alexander Knysh, “Resistance
Movements in Western and Russian Scholarship”, Die Welt des Islams, vol. 42
(2), 2002.
Palacios, Marina, “Neo-Sufism: Examining the Roots of the Islamic reform Movement
called “Neo-Sufism”, tesis Master International Studies, Leiden, 2016.
Qusyairī, Abū al-Qāsim ‘Abd al-Karīm Hawāzin. Tth. al-Risālah al-Qusyairiyah fī ‘Ilm
al-Taṣawwuf , Beirut: Dār al-Khair.
Rahman, Fazlur, Islam, edisi II, Chicago: University of Chicago Press, 1979.
Riyadi, Abdul Kadir, Antropologi Tasawuf: Wacana Manusia Spiritual dan
Pengetahuan, Jakarta: LP3ES, 2014.
Sahriansyah, Nor Ipansyah, dan Abdul Hakim, “Ulama Banjar dan Karya-Karyanya (K.
H. Abdul Hamid Karim, K. H. Zaini Ghani dan K. H. Muhammad Bakhiet)”,
Lemlit IAIN Antasari Banjarmasin Tahun 2009.
Schimmel, Annemarie, Deciphering the Signs of God: A Phenomenological Approach
to Islam, U.K.: Edinburgh University Press, 1992.
Schimmel, Annemarie. 2002. "Pengantar" untuk buku Michaela Özelsel, 40 Hari
Khalwat: Catatan Harian Seorang Psikolog Dalam Pengasingan-Diri Sufistik,
penerj. Nuruddin Hidayat, Bandung: Pustaka Hidayah.
Secher, H.P., Basic Concepts in Sociology, Contributors: Max Weber, New York:
Citadel Press, 1962.
Shiab, Alwi, Islam Sufistik: “Islam Pertama” dan Pengaruhnya hingga Kini di
Indonesia, Bandung: Mizan, 2001.
Shihab, M. Quraish Shihab, "Sekapur Sirih" untuk Prof. Dr. HM. Amin Syukur, MA,
Zuhud dii Abad Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Siroj, Said Aqil, Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai
Inspirasi, Bukan Aspirasi, Bandung: Mizan, 2006.
Steenbrink, Karel A., Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Jakarta:
Bulan Bintang, 1984.
Sulaiman, Wajah Neo-Sufisme Nusantara: Analisis Tindakan Sosial Max Weber
terhadap Pemikiran dan Aksi KH. Muhammad Bakhiet, Semarang: LP2M UIN
Walisongo, 2017.
Thohir, Mudjahirin, Orang Islam Jawa Pesisiran, Semarang: FASINDO, 2006.

24
Tim Bahtsul Masail Pondok Pesantren Nurul Muhibbin, al-Qaul al-Sadād fī al-Faṣl
baina al-Bayāḍ wa al-Sawād, Barabai: PP Nurul Muhibbin, 1438/2017.
Turner, Bryan S., Teori Sosial Dari Klasik sampai Postmodern, Yogyakarta: Putaka
Pelajar, 2012,  h. 111; Ted Bento dan Ian Craib, Filsafat Ilmu Sosial Pendasaran
Filosofis Bagi Pemikiran Sosial, Yogyakarta: Ledalero, 2009.
Ṭūsī, Abū Naṣr al-Sarrāj, al-Luma’, Mesir: Dār al-Kutub al-Ḥadīṡah, 1380 H/1960 M.
Weber, Max, Economy and Society, Vol. 1, California: University of California Press,
1978.
Voll, J. O., “Neo-Sufism: Reconsidered Again”, Canadian Journal of African Studies,
vol. 42, 2008, Taylor & Francis.
Zarrūq, Aḥmad ibn Aḥmad, Qawā’id al-Taṣawwuf, Bayrūt : Dār al-Kutub al-'Ilmīyah,
2012.
Zuhailī, Wahbah, al-Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī‘ah wa al-Manhaj, Jil.
XV, Juz XXIX, Damaskus: Dār al-Fikr, 1430/2009.
Özelsel, Michaela, 40 Hari Khalwat: Catatan Harian Seorang Psikolog Dalam
Pengasingan-Diri Sufistik, penerj. Nuruddin Hidayat, Bandung: Pustaka Hidayah,
1423/2002.

25

You might also like