Professional Documents
Culture Documents
Abstract
Tofu industrial waste is waste generated from the process of making tofu. In the process, the tofu
industry produces two types of waste, namely solid waste and liquid waste. Of the two types of waste,
waste is the largest and best part of environmental waste. Most of the liquid waste produced is a thick
liquid that is separated from a mixture of tofu and a high organic substance called whey or whey. The
content of organic substances in the tofu industrial wastewater will cause a decrease in the
concentration of dissolved oxygen in the air. A decrease beyond the threshold will result in the death of
air biota due to lack of oxygen.
The results show that the tofu industrial wastewater has a fairly high BOD concentration, which is
around 5,000 - 10,000 mg/l and a COD concentration of around 7,000 - 12,000 mg/l (Sato, 2015). This
result exceeds the wastewater quality standard for industrial activities, in accordance with the
Regulation of the Minister of the Environment Number 15 of 2008 concerning Wastewater Quality
Standards for Soybean Businesses and/or Processing Activities, with a limit of 150 mg/l of BOD and
300 mg/l of COD. To increase the potential for environmental pollution due to tofu industrial waste, it
is necessary to design a treatment model that is cheap, and efficient and used by the community to
improve the quality of the liquid waste before being discharged into the environment. One of the widely
used wastewater treatment methods is to use bacteria for the bioremediation process.
Keyword: Biodegradation, liquid waste of tofu, bacteria, waste treatment
Abstrak
Limbah industri tahu adalah limbah yang dihasilkan dari proses pembuatan tahu. Dalam
prosesnya, industri tahu menghasilkan dua jenis limbah yakni limbah padat dan limbah cair. Dari
kedua jenis limbah tersebut, limbah cair merupakan bagian terbesar dan berpotensi mencemari
lingkungan. Sebagian besar limbah cair yang dihasilkan adalah cairan kental yang terpisah dari
gumpalan tahu dan mengandung zat organik yang tinggi yang disebut dengan air dadih atau whey.
Kandungan zat organik dalam limbah cair industri tahu akan menyebabkan terjadinya penurunan
konsentrasi oksigen terlarut di dalam air. Penurunan yang melewati ambang batas akan
mengakibatkan kematian biota air akibat kekurangan oksigen.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, limbah cair industri tahu mempunyai konsentrasi BOD
yang cukup tinggi, yaitu sekitar 5.000 - 10.000 mg/l dan konsentrasi COD sekitar 7.000 - 12.000 mg/l
(Sato, 2015). Hasil ini melebihi baku mutu air limbah bagi kegiatan industri, sesuai dengan Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup Nomor 15 Tahun 2008 Tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha
dan/atau Kegiatan Pengolahan Kedelai, dengan batas kandungan BOD 150 mg/l dan COD 300 mg/l.
Mengingat tingginya potensi pencemaran lingkungan akibat limbah cair industri tahu, maka
diperlukan desain model pengolahan yang murah, dan efisien serta mudah digunakan oleh masyarakat
untuk meningkatkan kualitas limbah cair tersebut sebelum dibuang ke lingkungan. Salah satu metode
pengolahan limbah cair banyak digunakan adalah dengan menggunakan bakteri untuk bioremidiasi.
Kata Kumci: Biodegradasi, limbah cair tahu, bakteri asli, pengolahan limbah
PENDAHULUAN
Industri tahu merupakan industri yang banyak tersebar di seluruh wilayah Indonesia
dan menjadi salah satu industri rumah tangga yang kebanyakan telah menyatu dengan
pemukiman penduduk. Industri tahu di Indonesia didominasi oleh usaha-usaha skala kecil
dengan modal yang terbatas dan sebagian besar tidak memiliki unit pengolahan limbah.
Karenanya itu, pertumbuhan industri tahu di Indonesia belum diiringi dengan pengolahan yang
maksimal terhadap limbah yang dihasilkan sehingga limbah hasil pengolahan tersebut
langsung dibuang ke selokan atau badan air tanpa pengolahan terlebih dahulu.
Industri tahu dalam proses pengolahannya menghasilkan dua jenis limbah yaitu limbah
padat dan limbah cair. Limbah padat berupa ampas tahu telah dapat ditanggulangi dengan
memanfaatkannya sebagai bahan pembuatan oncom atau bahan makanan ternak. Sedangkan
limbah cair pada proses produksi tahu berasal dari proses pencucian kedelai, perendaman,
perebusan, penyaringan, pengepresan dan pencetakan tahu serta pencucian alat dan lantai. Oleh
karenanya limbah cair yang dihasilkan sangat tinggi. Sebagian besar limbah cair yang
dihasilkan oleh industri pembuatan tahu adalah cairan kental yang terpisah dari gumpalan tahu
dan mengandung zat organik tinggi yang disebut dengan air dadih atau whey (Husin, 2008)
Senyawa-senyawa organik tersebut adalah, protein sebesar 40 - 60%, karbohidrat
sebesar 25 - 50%, lemak berkisar 8 - 12%, dan sisanya berupa kalsium, besi, fosfor, dan vitamin
(Ratnani dkk., 2010). Kandungan zat organik serta padatan tersuspensi maupun terlarut dalam
limbah tahu industri tahu akan mengalami proses perubahan fisika, kimia, dan biologi
(Budiman & Amirsan, 2015).
Jika senyawa organik tersebut diuraikan maka akan dihasilkan gas metana yang
menyebabkan unsur hara dalam tanah tidak seimbang, karbon dioksida dan gas-gas lain. Gas-
gas yang bisa ditemukan adalah gas nitrogen (N2), oksigen (O2), hidrogen sulfida (H2S),
amonia (NH3), karbondioksida (CO2) dan metana (CH4). Gas-gas tersebut berasal dari
dekomposisi bahanbahan organik yang terdapat di dalam air buangan (Herlambang, 2002).
Sedangkan, kandungan zat tersuspensi dalam limbah cair industri tahu akan
menyebabkan air menjadi kotor, keruh dan menimbulkan bau yang sangat menyengat akibat
proses pembusukan oleh bakteri. Kandungan zat organik dan anorganik dalam limbah cair
industri tahu akan mengalami proses perguraian dari senyawa kompleks menjadi senyawa yang
lebih sederhana. Proses penguraian bahan organik oleh mikroorganisme aerob memerlukan
oksigen dalam jumlah besar untuk memperoleh energi. Hal ini menyebabkan terjadinya
penurunan konsentrasi oksigen terlarut di dalam air. Penurunan yang melewati ambang batas
akan mengakibatkan kematian biota air akibat kekurangan oksigen. Sesuai dengan Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup Nomor 15 Tahun 2008 Tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi
Usaha dan/atau Kegiatan Pengolahan Kedelai, dengan batas kandungan BOD 150 mg/l dan
COD 300 mg/l. Mengingat tingginya potensi pencemaran lingkungan akibat limbah cair
industri tahu, maka diperlukan desain model pengolahan yang murah, dan efisien serta mudah
digunakan oleh masyarakat untuk meningkatkan kualitas limbah cair tersebut sebelum dibuang
ke lingkungan. Metode pengolahan limbah cair yang sering digunakan yaitu biodegradasi
ataupun bioremediasi.
Bioremediasi memanfaatkan makhluk hidup yang merombak substansi atau bahan
berbahaya bagi lingkungan menjadi komponen tidak berbahaya bagi lingkungan. Salah satu
alternatif yang digunakan untuk mencegah kerusakan lingkungan dari limbah cair tahu tersebut
adalah dengan menggunakan bakteri yang berpotensi untuk merombak polutan. Limbah
tersebut diurai bakteri sampai volumnya lebih sedikit melalui reaksi enzimatis. Bakteri mampu
menurunkan bahan organik di dalam limbah cair tahu dengan kenaikan pH, serta penurunan
nilai BOD dan COD (Wigyanto dkk., 2009).
Perlunya pengkajian mengenai bakteri indigenus dalam limbah tahu dan perannya
dalam bioremidiasi mendorong pelaksanaan penelitian ini dengan tujuan untuk karakterisasi
bakteri indigeneus yang mendominasi limbah cair tahu dan mengetahui isolat bakteri yang
paling efektif dalam mendegradasi limbah cair tahu.
METODE PENELETIAN
Alat dan Bahan
Alat utama yang digunakan dalam penelitian terdiri dari timbangan analitik, toples,
selang, gelas ukur, pH, TDS meter, termometer, aerator, shaking incubator, serangkaian alat
destilasi, autoklaf, LAF, inkubator. Bahan utama berupa limbah cair tahu, medium Nutrient
Agar, dan Medium Nutrient Broth.
Langkah Kerja Penelitian
Penelitian dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) menggunakan empat
perlakuan dan setiap perlakuan dilakukan tiga kali pengulangan dan dilakukan pengamatan
parameter untuk setiap pengulangan dan perlakuannya. Perlakuan terdiri dari kontrol negatif
(tanpa penambahan bakteri), perlakuan A (penambahan bakteri R3), perlakuan B (penambahan
bakteri R7), perlakuan C (penambahan bakteri R3 + R7). Dilanjutkan analisis data
menggunakan ANOVA dan Duncan Multiple Range Test (DMRT)
Selanjutnya tahapan penelitian sampel limbah cair tahu diambil kemudian dilakukan
pengenceran 10-1 sampai 10-5 . Masing-masing seri pengenceran diambil dan diisolasikan
pada medium NA. Karakterisasi isolat bakteri diawali dengan tahap pengamatan morfologi
bakteri (seperti bentuk, elevasi, margin, warna dan permukaan koloni), pengecatan gram, uji
katalase, uji sifat biokimia yaitu uji fermentasi karbohidrat (glukosa, sukrosa dan laktosa), uji
reduksi nitrat, uji pembentukan indol. Hasil uji karakterisasi dibandingkan dengan buku
Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology 7th edition untuk dilakukan identifikasi jenis
isolat yang ditemukan.
Setelah itu, isolat diperbanyak dan dilakukan tahap aplikasi sederhana pada limbah
dengan membandingkan hasil uji dari parameter pH, suhu, COD, BOD5, TDS, TSS, kadar
amilum (karbohidrat) dan N-total selama aplikasi. Lalu dilakukan analisis data menggunakan
SPSS. Parameter pH, suhu dan TDS diukur setiap hari selama 7 hari pelaksanaan menggunakan
alat pH meter dan TDS meter, sedangkan konsentrasi amilum (karbohidrat) yang diuji
menggunakan metode Luff Schoorl, BOD5, COD, TSS, dan konsentrasi N-Total diukur pada
hari ke-0 dan hari ke-7.
Berdasarkan beberapa hasil uji yang telah dilakukan pada Tabel 1 diperkirakan isolat
bakteri R3 merupakan bakteri genus Pseudomonas, sedangkan isolat bakteri R7 diperkirakan
genus Bacillus. Kedua isolat tersebut mampu menghasilkan enzim protease untuk
mendegradasi bahan organik di dalam limbah khususnya protein.
Berdasarkan Tabel kedua dibawah pH di awal perlakuan pada hari sebelum aplikasi
berkisar pada angka 3,4 dan perlahan mengalami kenaikan secara konstan dengan nilai pH
antara 4,0 sampai 5,6 pada hari setelah pemberian perlakuan. Hal tersebut dapat terjadi karena
adanya penguraian bahan organik yang ditunjukkan dengan kenaikan nilai pH mendekati netral
dan munculnya bau busuk dari gas amonia saat pemecahan protein yang dilakukan oleh
mikrobia-mikrobia
Berdasarkan reaksi, lingkungan yang dihasilkan dari proses adalah bersifat basa karena
adanya pembentukan ammonia, apabila reaksi yang terbentuk berupa NH4+ maka sifat
lingkungannya adalah asam (Effendi, 2003). Berdasarkan Peraturan Gubernur DIY No.7
Tahun 2010 nilai standar pH pada limbah cair tahu yang berkisar antara 6,0-9,0. Meskipun
belum terlihat jelas angka pH pada setiap perlakuan terus mengalami peningkatan sehingga
hampir mendekati standar pH yang diberikan.
Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa suhu pada perlakuan K, A, B dan C
mengalami kenaikan setiap harinya meskipun tidak meningkat secara cepat. Suhu awal hari
sebelum perlakuan sekitar 27oC, sedangkan pada hari ke-7 setelah perlakuan suhu meningkat
menjadi sekitar 28oC. Kenaikan suhu pada saat proses bioremediasi berlangsung dapat terjadi
karena faktor lingkungan di sekitar tempat bioremediasi seperti kelembaban lingkungan, cuaca
di sekitar serta cahaya matahari. Kelembaban dan adanya sinar matahari juga memengaruhi
tinggi rendahnya suhu. Berdasarkan Peraturan Gubernur DIY No.7 Tahun 2010 nilai standar
suhu pada limbah cair tahu maximal adalah 38oC sehingga suhu akhir pada penelitian sudah di
bawah standar baku mutu yang ditentukan.
Tabel 6 dapat diketahui bahwa dari hari sebelum diberikan perlakuan hingga hari
terakhir setelah diberikan perlakuan konsentrasi TDS mengalami peningkatan hal tersebut
dapat terjadi karena proses pemecahan bahan organik berukuran besar menjadi berukuran lebih
kecil yang sebelumnya termasuk dalam suspended solid. Meskipun begitu seharusnya nilai
TDS semakin turun karena bahan organik tersebut digunakan oleh mikroorganisme sebagai
sumber energinya hal ini mungkin terjadi karena proses penggunaan bahan organik oleh
mikroorganisme belum sempurna (Paramita dkk., 2012).
Walaupun konsentrasi TDS meningkat namun kadar ini sudah termasuk di bawah
standar maksimum standar mutu Peraturan Gubernur DIY No.7 Tahun 2010 kadar maksimum
TDS adalah 1000 mg/L. Konsentrasi TSS pada limbah cair tahu terlihat menurun setelah diberi
perlakuan. Perlakuan C merupakan perlakuan dengan penambahan bakteri yang menurunkan
kadar TSS paling banyak dibandingkan yang lain. Penurunan kadar TSS belum memenuhi
standar mutu Peraturan Gubernur DIY No.7 Tahun 2010 kadar maksimum TSS adalah 75
mg/L, tetapi konsentrasinya terus menurun yang dapat terjadi karena proses degradasi
mikroorganisme pada limbah cair tahu karena bahan organiknya (protein, lemak dan
karbohidrat) pada proses hidrolisis. Padatan tersuspensi menjadi bentuk terlarut sehingga nilai
TSS menjadi berkurang (Paramita dkk., 2012).
Secara umum pengolahan aerob dengan bioremediasi menggunakan mikroorganisme
EM4 mampu menurunkan konsentrasi BOD dan COD limbah cair tahu, dimana persentase
penurunan konsentrasi mencapai 93,61-97,87%. Dari data yang diperoleh konsentrasi
penurunan BOD dan COD dengan proses aerob lebih tinggi dari pada konsentrasi penurunan
BOD dan COD dengan proses anaerob. Proses aerob ini lebih baik dari pada proses anaerob
untuk menurunkan konsentrasi BOD dan COD limbah cair tahu. Sebagai perbandingan hasil
penelitian (Nusa dan Heru, 1999) untuk konsentrasi BOD dan COD limbah cair tahu yang
diolah dengan cara anerob persentase penurunan konsentrasinya berkisar antara 70-80%,
kemudian penelitian yang sama dilakukan oleh (Nuraida, 1985) penurunan konsentrasi BOD
Biromediasi Limbah Cair Tahu Menggunakan Efektif Mikroorganisme (EM4) dan COD
mencapai 70-75%. Dari hasil penelitian ini menunjukan bahwa cara mengolah limbah tahu
secara aerob ini diperkirakan sangat cocok dengan industri skala kecil, mengingat biaya relatif
lebih terjangkau.
KESIMPULAN
Bakteri R3 diperkirakan bakteri genus Pseudomonas dengan karakteristik koloni
berbentuk circular, tepi entire, elevasi flat, warna putih kekuningan, bentuk sel kokus dan
warna merah dan gram negatif, uji glukosa dan sukrosa positif, indol dan katalase positif, uji
nitrat negatif, sedangkan isolat bakteri R7 diperkirakan genus Bacillus dengan karakteristik
koloni berbentuk circular, tepi entire, elevasi flat, warna putih susu, bentuk sel basil dan warna
sel ungu dan gram positif, uji glukosa positif, uji sukrosa dan laktosa serta nitrat negatif, uji
indol dan katalase positif. Kombinasi bakteri R3 dan R7 lebih efektif mendegradasi limbah
organik pada limbah cair tahu dibandingkan penggunaan isolat tunggal, karena mampu
menaikkan pH dan suhu paling cepat serta menurunkan : COD sebanyak ± 1%, BOD5
sebanyak ± 23%, TDS sebanyak 21%, TSS sebanyak 8,1 %, N-Total sebanyak 8,9% dan
karbohirat (amilum) sebanyak 34%.
DAFTAR PUSTAKA
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. Cetakan Kelima. Yogyakarta : Kanisius.
Hanifah, A. dan Nugroho, T. 2001. Pengolahan Limbah Cair Tapioka dengan Teknologi EM
(Effective Mikroorganisms). Jurnal Natur Indonesia III (2).
Hardjohubojo, S dan Budihardjo, E. 1993. Kota Berwawasan Lingkungan. Penerbit Alumni,
Bandung. Indonesian Kyusei, ... Effective microorganisms (EM4). PT. Songgolangit
Persada, Jakarta.
Indrasti, N.S. dan Fauzi, A.M. 2009. Produksi Bersih. IPB Press. Jenie, B.S. dan Rahayu, W.P.
2007. Penanganan Limbah Industri Pangan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Jutono, J. Soedarsono, S. Hartadi, S. Kabirun, S. Suhadi, D. dan Soesanto. 1980. Pedoman
Praktikum Mikrobiologi Umum. Departemen Mikrobiologi Fakultas Pertanian UGM,
Yogyakarta.
Mahida, U.N. 1984. Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri. PT. Rajawali, Jakarta.
Moersidik, S.S. 1994. Industrial Waste Water Treatment a Technological Approach. Paper
Presented on Seminar on Chemicals in the Environment: Issues Relating to Air Quality
and Wastes. Centre for Human Research of Resources and the Environment, University of
Indonesia, Jakarta.
Moesa, I. 2009. Krisis Air Mengglobal. Suara Bumi. Vol 2, PPLH Regional Sumatera.
Nuraida, 1985, Analisis Kebutuhan Air Pada Industri Pengolahan Tahu dan Kedelai, Thesis
Master, Program Pasca Sarjana USU, Medan.
Nusa, I.S. dan Heru, D.W. 1999. Teknologi Pengolahan Air Limbah Tahu-Tempe dengan
Proses Biofilter Anaerob dan Aerob. Kelompok Teknologi Pengelolaan Air Bersih dan
Limbah Cair, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta. Peraturan Pemerintah
Tahun 2001, Nomor. 82. Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran
Air.
Paramita, P., Shovitri, M. dan N.D. Kuswytasari. 2012. Biodegradasi Limbah Organik Pasar
dengan Menggunakan Mikroorganisme Alami.
Pohan, N, 2008, Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu Dengan Proses Biofilter Aerobik
,Thesis Master, Program Pasca Sarjana USU, Medan.
Rizki, N., Sutrisno, E. dan Sumiyati,S. 2007. PenurunanKonsentrasi COD dan TSS pada
Limbah Cair Tahu dengan Teknologi Kolam (POND)-Biofilm Menggunakan Media
Biofilter Jaring Ikan dan Bioball. Program Studi Teknik Lingkungan Fakultas Teknik
Universitas Diponegoro, Semarang.
Radiyati, T., Selamet, R., dan Widodo, P. 1992. Pengolahan Kedelai. Subang: BPTTG
Puslitbang Fisika Terapan – LIPI.
Saeni, M.S. 2002. Dampak Pembangunan Pada Kualitas Air. Pelatihan Dosen-dosen Perguruan
Tinggi Negeri dan Swasta Se Sumatra dalam Bidang Dasar-dasar AMDAL. 17-26 Juni
2002. Bogor.
Sugiharto. 1987. Dasar-dasar Pengelolaan Air Limbah. UI Press. Jakarta.
Sulistyaningtyas, E. 2003. Pengaruh penambahan Amonium Sulfat dan Waktu Penundaan
Bahan Baku Limbah Cair Tahu Terhadap Kualitas Nata de Soya. JIPTUMM
Wigyanto, Nur Hidayat dan Alfia Ariningrum.2009. Bioremediasi Limbah Cair Sentra Industri
Tempe Sanan Serta Perencanaan Unit Pengolahannya (Kajian Pengaturan Kecepatan
Aerasi Dan Waktu Inkubasi). Jurnal Teknologi Pertanian. Vol. 10(2): 123-135.
Wijaya, Bayu. 2008. Potensi Limbah Cair Tahu untuk Produksi Biogas sebagai Energi
Alternative. UGM,Yogyakarta.
Yulvizar, C., Ismail, Y.S., Moulana, R. 2015. Karakteristik bakteri asam laktat indegenous dari
jeruk drien, Provinsi Aceh. Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian7(1): 31-34.