You are on page 1of 24

MAKALAH

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI TENGAH


KEBERAGAMAN DALAM BINGKAI
BHINEKA TUNGGAL IKA

Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah :


PAI, Pluralisme dan Multikulturalisme

Dosen Pengampu : 
1. Dr.Marwan Setiawan, M.M.Pd
2. Dr. H.Akhmad Roziqin,M.Ag

Disusun Oleh:
Ai Nuryanah, S.Pd.I
Asyifa nur rohmah, S.Pd
Nurul Aidah, S.Pd.I
Yunarti Safitri, S. Pd.I

PROGRAM MAGISTER S2 PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA
BANDUNG

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke-hadirat Allah Yang Maha Esa, karena atas
rahmat dan hidayah-Nya kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul
“Pendidikan Multikultural di tengah keberagaman dalam bingkai Bhineka
Tunggal Ika ’

Dalam penyusunan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan-


kekurangan baik pada teknis penyusunan maupun materi, mengingat akan
kemampuan yang dimiliki oleh kami. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak
sangat kami harapkan demi penyempurnaan penyusunan makalah ini.

Kami berharap semoga tulisan ini dapat memberi informasi yang berguna bagi
pembacanya, terutama mahasiswa, supaya bisa memahami pengertian negara
Kesatuan Republik Indonesia, karena kita adalah penerus Bangsa Indonesia.

Bandung, 04 Desember 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………………………..i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………………………..……ii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang……………………………………………………………………………1
B. Rumusan Masalah………………………………………………………………………3
C. Tujuan Penulisan………………………………………………………………………..3
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural………..4
B. Ciri – ciri Pendidikan Multikultural……………………………………………..8
C. Pendidikan Multikultural di Indonesia………………………………………...9
D. Pendekatan Proses Pendidikan Multikultural…………………………….13
E. Pengembangan Materi Pendidikan Agama Islam
Berbasis Multikultural………………………………………………………………14
F. Urgensi Pendidikan Multikultural……………………………………………...16

BAB III PENUTUP


A. Simpulan…………………………………………………………………………………20
B. Saran……………………………………………………………………………………….20
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………………………..21

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Sebagai bangsa yang besar seperti jumlah penduduk yang sangat banyak,
kekayaan alam yang melimpah, wilayah yang sangat luas, serta kekayaan budaya dan
bahasa yang sangat beragam, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dan
sekaligus juga memiliki permasalahan yang besar pula. Artinya Indonesia di samping
besar potensi positifnya, besar pula potensi negatif atau permasalahan-permasalahan
yang dihadapi. Dengan kata lain, kebesaran Indonesia adalah anugerah Tuhan sebagai
manifestasi maha Pemurah dan sekaligus menjadi masalah yang diperlukan kearifan
dalam menghadapinya. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia
yang sangat plural, baik ditinjau dari suku bangsa, ras, bahasa, adat istiadat, seni
budaya, agama dan aliran kepercayaan. Atas dasar kenyataan di atas, Indonesia
rentan terhadap konflik internal yang bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar
golongan) maka dipandang perlu adanya suatu sistem pendidikan yang dapat
memberikan solusi alternatif bagi seluruh kebutuhan dan tuntutan dari masyarakat
Indonesia.
Kondisi masyarakat yang plural baik dari segi budaya, ras, agama, dan status
sosial ekonomi cenderung untuk menimbulkan potensi benturan bernuansa SARA
termasuk nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat. Oleh karena itu dipandang
perlu adanya suatu pendidikan multikultural dalam sistem pendidikan nasional
Indonesia agar peserta didik dapat memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-
gejala atau permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi akibat perbedaan dan tata
nilai yang terjadi pada lingkungan masyarakat. Apabila hal ini tidak segera diatasi,
maka konflik sosial yang sering terjadi di Indonesia dan tidak jarang dilakukan dalam
bentuk kekerasan fisik dapat berpotensi mengancam persatuan, kesatuan, serta
keutuhan bangsa. Walaupun konflik itu akan selalu terjadi, karena merupakan
realitas permanen dalam perubahan suatu kehidupan, akan tetapi konflik tersebut
tidak boleh dibiarkan berkembang yang berpotensi merusak tatanan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian perlu digulirkan
paradigma baru baik melalui sistem politik yang mampu mengendalikan konflik
maupun melalui jalur pendidikan yang mampu mengayomi dan menyadarkan seluruh
lapisan masyarakat dengan tidak membedakan latar belakang mereka.
Dalam perjalanan panjang sejarah Indonesia, realitas kehidupan berbangsa dan
bernegara, masalah kesatuan dan persatuan bangsa telah mengalami pasang surut
yang cukup melelahkan dan menguras energi potensial bangsa ini. Polemik Natsir-
Soekarno pada masa pra kemerdekaan, tentang hubungan agama dan negara adalah
satu contoh nyata sebagai sebuah realitas sejarah bangsa ini (Suhelmi:1999). Polemik
tersebut merefleksikan pencarian bentuk negara dan sekaligus pertarungan ideologis
yang amat tajam antara kubu nasionalis sekuler dan kubu Islam politik yang sampai
hari ini masih menjadi perbincangan yang hangat. Pada masa awal kemerdekaan dan
masa orde lama juga telah terjadi pertarungan-pertarungan ideologis yang tak jarang
berakhir dengan kontak senjata dan peristiwa-peristiwa berdarah yang hingga saat
ini masih diselimuti awan kelabu (Wieringa:1999). Bahkan lebih tragis lagi ada
komponen bangsa yang tidak dapat mengenyam kebebasan berpolitik termasuk
melaksanakan ajaran agamanya. Sampai pada akhir rezim orde baru juga banyak
yang mengalami tekanan dari penguasa yang pada waktu itu menggunakan paham
otoriter militerisme.
Banyaknya persoalan yang muncul di tanah air terutama dari aspek sosial,
budaya, dan agama disinyalir disebabkan oleh lemahnya peran pendidikan dalam
melakukan penanaman atau inkulkasi nilai kebaikan bersama yang seharusnya
menjadi roh bangsa ini. Peristiwa-peristiwa seperti konflik antar ras, agama, suku,
golongan, perebutan kekuasaan di berbagai daerah adalah bukti nyata bahwa
pemahaman terhadap nilai kebersamaan masih lemah. Konflik merupakan cerminan
kehidupan manusia yang tidak konsisten dalam memperjuangkan kebenaran,
kebaikan, serta keadilan, dan juga sebagai cerminan dari ketidakmampuan manusia
dalam membangun hubungan yang harmonis dengan sesama, alam lingkungan, dan
Tuhan.
Konflik dan kekerasan terjadi di berbagai wilayah Indonesia disebabkan karena
tidak saling memahami dan menghargai antar kelompok satu dengan kelompok
lainnya. Padahal dalam realitas plural atau multikultural seperti Indonesia, yang
terpenting diperhatikan dalam kehidupan adalah bagaimana satu kelompok dapat
hidup berdampingan secara harmonis dengan kelompok atau keyakinan yang lain
dan menjunjung tinggi nilai-nilai pluralitas universal atau dalam konteks ke-
Indonesiaan berbhineka tunggal ika. Hal ini tidak tampak atau paling tidak semakin
menurun kualitasnya dalam kehidupan bangsa dan berbangsa di Indonesia. Dialog
antar budaya dan agama yang sering diadakan oleh para tokoh agama dari berbagai
keyakinan seolah-olah kurang membuahkan hasil yang signifikan kalau tidak
dikatakan tidak menghasilkan sesuatu hal yang diharapkan secara ideal. Bahkan
semakin sering pula terjadi kekerasan dan konflik sosial dan horizontal yang pada
akhirnya tanpa disadari nilai-nilai universal tersebut tidak tampak dalam kehidupan
masyarakat. Sebagian ada yang mengatakan bahwa kekerasan dilakukan karena
menjalankan kewajiban berdasarkan perintah Tuhan, agama, dan atau atas nama
jihad untuk membela “kebenaran”. Oleh karena itu doktrin mati syahid karena
perjuangan yang ditanamkan atau tertanam dalam diri seseorang membuat
2
pemahaman tentang realitas plural di tanah air kurang, terabaikan atau bahkan tidak
diindahkan lagi.
B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah pada makalah ini, diantaranya adalah seagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan multikulturalisme dan pendidikan
multikultural?
2. Apa ciri-ciri Pendidikan multicultural?
3. Bagaimana Pendidikan multicultural di Indonesia?
4. Bagaimana pendekatan proses pendidikan multikultural ?
5. Bagaimana pengembangan materi pendidikan agama Islam berbasis
multicultural ?
6. Bagaimana urgensi Pendidikan multicultural?
7. Apa tujuan pendidikan multicultural ?
C. TUJUAN PENYUSUNAN MASALAH

Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk :

1. Mengetahui pengertian multikulturalisme dan pendidikan multikultural


2. Mengetahui ciri-ciri Pendidikan multicultural
3. Megetahui Pendidikan multicultural di Indonesia
4. Mengetahui pendekatan proses pendidikan multicultural
5. Mengetahui pengembangan materi pendidikan agama Islam berbasis
multicultural
6. Mengetahui urgensi Pendidikan multicultural
7. Apa tujuan pendidikan multicultural

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural


Multikulturalisme mengandung dua pengertian yang sangat kompleks yaitu
”multi” yang berarti plural, ”kulturalisme” berisi pengertian budaya. Istilah plural
mengandung arti yang berjenis-jenis, karena pluralisme bukan berarti sekedar
pengakuan akan adanya hal-hal yang berjenis-jenis, tetapi juga pengakuan tersebut
mempunyai implikasi-implikasi politis, sosial, dan ekonomi. Oleh sebab itu,
pluralisme berkaitan dengan prinsip-prinsip demokrasi dalam tata dunia atau
masyarakat yang etis. Banyak negara yang menyatakan dirinya sebagai negara
demokrasi, tetapi tidak mengakui adanya pluralisme di dalam kehidupannya,
sehingga terjadi berbagai jenis segregasi. Pluralisme ternyata berkenaan dengan hak
hidup kelompok-kelompok masyarakat yang ada dalam suatu komunitas. Komunitas-
komunitas tersebut mempunyai budayanya masing-masing yang jelas berbeda satu
dengan yang lain (Muhadjir:2000).
Dalam sejarahnya, pendidikan multikultural sebagai sebuah konsep atau
pemikiran tidak muncul dalam ruangan kosong, namun ada interest politik, sosial,
ekonomi, dan intelektual yang mendorong kemunculannya. Wacana pendidikan
multikultural pada awalnya sangat bias Amerika karena punya akar sejarah dengan
gerakan Hak Asasi Manusia dari berbagai kelompok yang tertindas di negeri tersebut.
Banyak lacakan sejarah atau asal-usul pendidikan multikultural yang merujuk pada
gerakan sosial orang Amerika keturunan Afrika dan kelompok kulit berwarna lain
yang mengalami praktik diskriminasi di lembaga-lembaga publik pada masa
perjuangan hak asasi pada tahun 1960-an. Di antara lembaga yang secara khusus
disorot karena bermusuhan dengan ide persamaan ras pada saat itu adalah lembaga
pendidikan. Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, suarasuara yang menuntut
lembaga-lembaga pendidikan agar konsisten dalam menerima dan menghargai
perbedaan semakin kuat yang dikumandangkan oleh para aktivis, para tokoh, dan
orang tua. Mereka menuntut adanya persamaan kesempatan di bidang pekerjaan dan
pendidikan. Momentum inilah yang dianggap sebagai awal mula dari konseptualisasi
pendidikan multikultural. Konsep pendidikan multikultural yang dianut oleh negara-
negara demokratis seperti Amerika Serikat dan Kanada telah mengalami perjalanan
panjang dan sudah menemukan jatidirinya.
Pendidikan multikultural merupakan proses pengembangan sikap dan tata laku
seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui

4
upaya pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan, dan cara-cara mendidik yang
menghargai pluralitas dan heterogenitas secara humanistik. Pendidikan multikultural
mengandung arti bahwa proses pendidikan yang diimplementasikan pada kegiatan
pembelajaran di satuan pendidikan selalu mengutamakan unsur perbedaan sebagai
hal yang biasa, sebagai implikasinya pendidikan multikultural membawa peserta
didik untuk terbiasa dan tidak mempermasalahkan adanya perbedaan secara prinsip
untuk bergaul dan berteman dengan siapa saja tanpa membedakan latar belakang
budaya, suku bangsa, agama, ras, maupun adat istiadat yang ada.
Muhaemin el Ma‟hady berpendapat bahwa secara sederhana pendidikan
multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan tentang keragaman kebudayaan
dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu
bahkan dunia secara keseluruhan (global).1
Pendidikan multikultural memandang manusia sebagai makhluk makro yang
tidak akan terlepas dari akar budaya dan kelompok etnisnya. 2 Secara generik,
pendidikan multikultural memang sebuah konsep yang dibuat dengan konsep untuk
menciptakan persamaan peluang bagi semua siswa yang berbeda ras, etnis, kelas
sosial dan kelompok budaya.
Pendidikan multikultural memegang peranan dan posisi yang strategis dalam
rangka mensukseskan pencapaian tujuan yang bernuansa pada keimanan dan
ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di samping itu pendidikan multikultural
berupaya untuk mensosialisasikan, menanamkan dan menghargai nilai-nilai
kemajemukan. Setiap siswa ditanamkan untuk menerima keragaman dalam
kehidupan yang harmonis dan saling menolong. (Achmaduddin, 2006).
Dalam Q.S Al-Isra ayat 70 :
ࣖ ‫ت َو َفض َّْل ٰن ُه ْم َع ٰلى َك ِثي ٍْر ِّممَّنْ َخلَ ْق َنا َت ْفضِ ْياًل‬ َّ ‫۞ َولَ َق ْد َكرَّ ْم َنا َبنِيْٓ ٰا َد َم َو َح َم ْل ٰن ُه ْم فِى ْال َبرِّ َو ْال َبحْ ر َو َر َز ْق ٰن ُه ْم م َِّن‬
ِ ‫الطي ِّٰب‬ ِ
“ Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkut
mereka di darat dan di laut. Kami anugerahkan pula kepada mereka rezeki dari
yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami
ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.”
Allah memuliakan Bani Adam yaitu manusia dari makhluk-makhluk yang lain,
baik malaikat, jin, semua jenis hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Kelebihan manusia
dari makhluk-makhluk yang lain berupa fisik maupun non fisik, sebagaimana firman
Allah:
‫ت فَلَهُ ْم اَجْ ٌر َغ ْي ُر‬ ّ ٰ ‫ اِاَّل الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ وْ ا َو َع ِملُ وا‬٥ َ‫ ثُ َّم َر َد ْد ٰن هُ اَ ْس فَ َل َس افِلِ ْي ۙن‬٤ ‫لَقَ ْد خَ لَ ْقنَا ااْل ِ ْن َسانَ فِ ْٓي اَحْ َس ِن تَ ْق ِوي ۖ ٍْم‬
ِ ‫الص لِ ٰح‬
٦ ‫َم ْمنُوْ ۗ ٍن‬

1
Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 168
2
bid, 187

5
“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-
baiknya, kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan; maka mereka
akan mendapat pahala yang tidak ada putus-putusnya.” (at-Tin/95: 4-6);
Selain diberi panca indera yang sempurna, manusia juga diberi hati yang
berfungsi untuk menimbang dan membuat keputusan. Firman Allah:
‫هّٰللا‬
َ‫صا َر َوااْل َ ْفـِٕ َدةَ ۙ لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكرُوْ ن‬ َ ‫َو ُ اَ ْخ َر َج ُك ْم ِّم ۢ ْن بُطُوْ ِن اُ َّم ٰهتِ ُك ْم اَل تَ ْعلَ ُموْ نَ َش ْيـ ًۙٔا و‬
َ ‫َّج َع َل لَ ُك ُم ال َّس ْم َع َوااْل َ ْب‬
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan dan
hati nurani, agar kamu bersyukur.”(an-Nahl/16: 78);
Kemuliaan manusia ini sesuai dengan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi.
Firman Allah:
ٰۤ
َ‫ك ال ِّد َم ۤا ۚ َء َونَحْ نُ نُ َس بِّ ُح بِ َح ْم ِدك‬ ِ ْ‫ك لِ ْل َمل ِٕى َك ِة اِنِّ ْي َجا ِع ٌل فِى ااْل َر‬
ُ ِ‫ض خَ لِ ْيفَةً ۗ قَالُ ْٓوا اَتَجْ َع ُل فِ ْيهَا َم ْن يُّ ْف ِس ُد فِ ْيهَا َويَ ْس ف‬ َ ُّ‫َواِ ْذ قَا َل َرب‬
َ‫ك ۗ قَا َل اِنِّ ْٓي اَ ْعلَ ُم َما اَل تَ ْعلَ ُموْ ن‬ َ َ‫َونُقَدِّسُ ل‬
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ”Aku
hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, ”Apakah Engkau hendak
menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan
kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman,
”Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (al-Baqarah/2: 30);
Meskipun demikian, banyak manusia yang tidak menyadari akan ketinggian
derajatnya sehingga tidak melaksanakan fungsinya sebagaimana disebutkan dalam
firman Allah:
‫ان اَّل يَ ْس َمعُوْ نَ بِهَ ۗا‬
ٌ ‫ْصرُوْ نَ بِهَ ۖا َولَهُ ْم ٰا َذ‬
ِ ‫س لَهُ ْم قُلُوْ بٌ اَّل يَ ْفقَهُوْ نَ بِهَ ۖا َولَهُ ْم اَ ْعي ٌُن اَّل يُب‬ ‫ْأ‬
ِ ۖ ‫َولَقَ ْد َذ َر نَا لِ َجهَنَّ َم َكثِ ْيرًا ِّمنَ ْال ِجنِّ َوااْل ِ ْن‬
ٰۤ ُ
َ َ‫ك َكااْل َ ْن َع ِام بَلْ هُ ْم ا‬
ُّ‫ضل‬ َ ‫ول ِٕى‬ ‫ا‬
“Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin
dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk
memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka
mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-
ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. (al-Araf 7:
179)
Banks (2007: 83-84) mengidentifikasi ada lima dimensi pendidikan
multikultural yang diperkirakan dapat membantu guru dalam mengimplementasikan
beberapa program yang mampu merespon terhadap perbedaan pelajar, yaitu :
1. Dimensi Integrasi Isi atau Materi (content integration)
Dimensi ini digunakan oleh guru untuk memberikan keterangan dengan hal-hal
penting dalam pembelajaran dengan merefleksikan materi yang berbeda-beda.
Secara khusus, para guru menggabungkan kandungan materi pembelajaran ke

6
dalam kurikulum dengan beberapa cara pandang yang beragam. Salah satu
pendekatan umum adalah mengakui kontribusinya, yaitu guru-guru bekerja ke
dalam kurikulum mereka dengan membatasi fakta tentang semangat
kepahlawanan dari berbagai kelompok.
Dengan beberapa pendekatan, guru menambah beberapa unit atau topik secara
khusus yang berkaitan dengan materi multikultural. Dengan kata lain adalah
upaya untuk mengintegrasikan pendidikan multikultural dalam kurikulum atau
bagian dalam kurikulum integrasi tersebut ditempatkan. Isi kurikulum tersebut
antara lain, berkaitan dengan masalah bagaimana mengurangi berbagai
prasangka dalam perlakuan dan tingkah laku rasial dari etnis-etnis tertentu dan
di dalam materi apa prasangka-prasangka tersebut dapat dikemukakan. Di
dalam kaitan ini, diperlukan studi mengenai jenis-jenis kebudayaan dari
kelompokkelompok etnis. Dalam kaitan ethnic studies movement sejak tahun
1960-an di Amerika Serikat, termasuk di dalam gerakan ini adalah menulis dan
mengumpulkan sejarah dari masing-masing kelompok etnis yang ada di dalam
masyarakat
2. Dimensi Konstruksi Pengetahuan (knowledge construction)
Dimensi yang mengharuskan agar para guru membantu siswa untuk memahami
beberapa perspektif dan merumuskan kesimpulan yang dipengaruhi oleh
disiplin pengetahuan yang mereka miliki. Dimensi ini juga berhubungan dengan
pemahaman para pelajar terhadap perubahan pengetahuan yang ada pada diri
mereka sendiri.
3. Dimensi Pengurangan Prasangka (prejudice reduction)
Guru melakukan banyak usaha untuk membantu siswa dalam mengembangkan
perilaku positif tentang perbedaan kelompok. Kondisi yang dimaksud adalah
bahan pembelajaran yang memiliki citra yang positif tentang perbedaan
kelompok dan menggunakan bahan pembelajaran tersebut secara konsisten
dan terus-menerus. Penelitian menunjukkan bahwa para pelajar yang datang ke
sekolah dengan banyak stereotip, cenderung berperilaku negatif dan banyak
melakukan kesalahpahaman terhadap kelompok etnis dan ras dari luar
kelompoknya. Penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan textbook
multikultural atau bahan pengajaran lain dan strategi pembelajaran yang
kooperatif dapat membantu para pelajar untuk mengembangkan perilaku dan
persepsi terhadap ras yang lebih positif. Jenis strategi dan bahan dapat
menghasilkan pilihan para pelajar untuk lebih bersahabat dengan ras luar, etnis,
dan kelompok budaya lain.

7
4. Dimensi Pendidikan yang Sama/Adil (equitable pedagogy)
Dimensi ini memperhatikan cara-cara dalam mengubah fasilitas pembelajaran
sehingga mempermudah pencapaian hasil belajar pada sejumlah siswa dari
berbagai kelompok. Strategi dan aktivitas belajar yang dapat digunakan sebagai
upaya memperlakukan pendidikan secara adil, antara lain dengan bentuk kerja
sama, dan bukan dengan cara-cara yang kompetitif (competition learning).
Dimensi ini juga menyangkut pendidikan yang dirancang untuk membentuk
lingkungan sekolah, menjadi banyak jenis kelompok, termasuk kelompok etnis,
wanita, dan para pelajar dengan kebutuhan khusus yang akan memberikan
pengalaman pendidikan persamaan hak dan persamaan memperoleh
kesempatan belajar
5. Dimensi Pemberdayaan Budaya Sekolah dan Struktur Sosial (empowering
school culture and social structure)
Dimensi ini penting dalam memperdayakan budaya siswa yang dibawa ke
sekolah yang berasal dari kelompok yang berbeda. Di samping itu, dapat
digunakan untuk menyusun struktur sosial (sekolah) yang memanfaatkan
potensi budaya siswa yang beranekaragam sebagai karakteristik struktur
sekolah setempat, misalnya berkaitan dengan praktik kelompok, iklim sosial,
latihanlatihan, partisipasi ekstra kurikuler, dan penghargaan staff dalam
merespon berbagai perbedaan yang ada di sekolah. Keempat pendekatan
tersebut di atas semuanya bermuara kepada pemberdayaan kebudayaan
sekolah. Apabila pendekatan-pendekatan pendidikan multikultural tersebut di
atas dapat dilaksanakan, maka dengan sendirinya lahir kultur sekolah yang kuat
dalam menghadapi masalah-masalah sosial dalam masyarakat. Sekolah
merupakan lembaga yang akan menjadi suatu motor penggerak dalam
perubahan struktur masyarakat yang timpang karena kemiskinan atau pun
tersisih dalam budaya ”mainstream” masyarakat.

B. Ciri – ciri Pendidikan Multikultural


Menurut Tilaar (2004: 59), pendidikan multikulturalisme biasanya mempunyai
cirri-ciri sebagai berikut:
1. Tujuanya membentuk” manusia budaya” dan menciptakan “masyarakat
berbudaya (berperadaban)”.
2. Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusian, nilai-nilai bangsa, dan
nilai-nilai kelompok etnis (cultural).
3. Metodenya demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan
keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis (multikulturalis).

8
4. Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang
meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.

Dalam konteks ini dapat dikatakan, tujuan utama dari pendidikan multikultural
adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap
penganut agama dan budaya yang berbeda. dan yang terpenting dari strategi
pendidikan multikultural ini tidak hanya bertujuan agar supaya siswa mudah
memahami pelajaran yang dipelajarinya, akan tetapi juga untuk meningkatkan
kesadaran mereka agar selalu berprilaku humanis, pluralis, dan demokrasi. (Fajar:
2005: 88).

C. Pendidikan Multikultural di Indonesia


Wacana multikulturalisme dalam konteks Indonesia menemukan
momentumnya ketika sistem nasional yang otoriter-militeristik tumbang seiring
dengan jatuhnya rezim Soeharto. Saat itu, keadaan negara menjadi kacau yang
ditandai dengan berbagai konflik antarsuku bangsa dan antar golongan yang
menimbulkan ketidaknyamanan bagi masyarakat. Kondisi yang demikian membuat
berbagai pihak semakin mempertanyakan kembali sistem nasional seperti apa yang
cocok bagi Indonesia yang sedang berubah, serta sistem apa yang dapat membuat
masyarakat Indonesia hidup damai dengan meminimalisir potensi konflik.
Multikulturalisme adalah konsep yang dianggap mampu menjawab tantangan
perubahan zaman dengan alasan multikulturalisme merupakan sebuah ideologi yang
mengagungkan atau mengusung perbedaan budaya, atau sebuah keyakinan yang
mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai corak kehidupan
masyarakat. Multikulturalisme akan menjadi pengikat dan jembatan yang
mengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan suku bangsa dalam
masyarakat yang multikultural. Didorong oleh tuntutan warga Amerika keturunan
Afrika, Latin/Hispanic, warga pribumi, dan kelompok marginal lain terhadap
persamaan kesempatan pendidikan serta didorong oleh usaha komunitas pendidikan
profesional untuk memberikan solusi terhadap masalah pertentangan ras dan
rendahnya prestasi kaum minoritas di sekolah menjadikan pendidikan multikultural
sebagai slogan yang sangat populer pada tahun 1990-an. Selama dua dekade konsep
pendidikan multikultural menjadi slogan yang sangat populer di sekolah-sekolah
Amerika Serikat. Secara umum, konsep ini diterima sebagai strategi penting dalam
mengembangkan toleransi dan sensitivitas terhadap sejarah dan budaya dari
kelompok etnis yang beraneka macam di negara ini.
Ide pendidikan multikulturalisme akhirnya menjadi komitmen global
sebagaimana direkomendasi UNESCO Oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi itu di
antaranya pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk

9
mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinekaan pribadi, jenis
kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan untuk
berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan yang lain. Kedua, pendidikan
hendaknya meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan
penyelesaian-penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan
solidaritas antara pribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya
meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai dan tanpa
kekerasan. Karena itu, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan
kedamaian dalam diri pikiran peserta didik sehingga dengan demikian mereka
mampu membangun secara lebih kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk
berbagi dan memelihara.
Konsep pendidikan multikultural dalam perjalanannya menyebar luas ke
kawasan di luar Amerika khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman
etnis, ras, agama, dan budaya seperti Indonesia. Pada saat ini, pendidikan
multikultural secara umum mencakup ide pluralisme budaya dan agama. Tema
umum yang dibahas meliputi pemahaman budaya, penghargaan budaya dari
kelompok yang beragam dan persiapan untuk hidup dalam masyarakat pluralistik.
Paradigma pendidikan multikulturalisme sangat bermanfaat untuk membangun
kohesivitas, soliditas, dan intimidasi di antara keragaman etnis, ras, agama, budaya,
dan berbagai hal yang lain di antara kita. Permasalahan di atas juga memberi
dorongan dan spirit bagi lembaga pendidikan nasional untuk mau menanamkan sikap
kepada peserta didik untuk menghargai orang, budaya, agama, dan keyakinan lain.
Oleh karena itu diharapkan bahwa dengan implementasi pendidikan yang
berwawasan multikultural, akan membantu siswa mengerti, menerima, dan
menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya, dan nilai kepribadian. Lewat
penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah, akan menjadi media
pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya,
agama, ras, etnis, dan lainnya di antara sesama serta mau hidup bersama secara
damai. Agar proses ini berjalan sesuai harapan, maka seyogianya kita mau menerima
jika pendidikan multikultural disosialisasikan melalui lembaga pendidikan, bahkan
apabila memungkinkan dapat ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan
di berbagai jenjang dan jenis pendidikan. Pada konteks ini dapat dikatakan, tujuan
utama dari pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati,
respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda.
Lebih jauh lagi, penganut agama dan budaya yang berbeda dapat belajar untuk
melawan atau setidaknya tidak setuju dengan ketidaktoleranan seperti pengadilan
negara atas sah-tidaknya teologi atau ideologi, perang agama, diskriminasi, dan
hegemoni budaya di tengah kultur monolitik dan uniformitas global. Pada era tahun
10
1980-an tampaknya merpakan era yang dianggap sebagai kemunculan lembaga
sekolah yang berlandaskan pendidikan multikultural yang didirikan oleh para
peneliti dan aktivis pendidikan progresif. James Bank adalah salah satu pioner dari
pendidikan multikultural. yang mampu mengubah konsep pendidikan multikultural
menjadi ide persamaan pendidikan bagi semua orang.
Pada konteks Indonesia, perbincangan tentang konsep pendidikan multikultural
semakin memperoleh momentum pasca runtuhnya rezim otoritermiliteristik Orde
Baru karena hempasan badai reformasi. Era reformasi ternyata tidak hanya
membawa berkah bagi bangsa kita namun juga memberi peluang meningkatnya
kecenderungan primordialisme. Untuk itu, dirasakan kita perlu menerapkan
paradigma pendidikan multikultur untuk menangkal semangat primordialisme
tersebut. Secara generik, pendidikan multikultural memang sebuah konsep yang
dibuat dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua
siswa yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya. Salah satu
tujuan penting dari konsep pendidikan multikultural adalah untuk membantu semua
siswa agar memperoleh pengetahuan, sikap dan keterampilan yang diperlukan dalam
menjalankan peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi-pluralistik serta
diperlukan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan warga dari kelompok yang
beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan untuk
kebaikan bersama.
Menurut H.A.R. Tilaar (2004) untuk membangun pendidikan multikultural di
Indonesia membutuhkan beberapa dimensi, antara lain sebagai berikut:
1. Right to Culture dan identitas budaya local
Multikulturalisme meskipun didorong oleh pengakuan terhadap hak asasi
manusia, namun akibat globalisasi pengakuan tersebut diarahkan juga kepada
hak-hak yang lain, yaitu hak akan kebudayaan (right to culture). Pendidikan
multikultural di Indonesia haruslah diarahkan kepada terwujudnya masyarakat
madani (civil society) di tengah-tengah kekuatan kebudayaan global
2. Kebudayaan Indonesia
Kebudayaan Indonesia yang-menjadi adalah suatu Weltanschauung, artinya
pegangan setiap insan dan setiap identitas budaya mikro Indonesia. Sebagai
suatu Weltanschauung, hal tersebut merupakan suatu system nilai yang baru
(value system). Sebagai suatu value system yang baru, memerlukan suatu
proses perwujudannya antara lain melalui proses dalam pendidikan nasional.
Oleh sebab itu, di tengah-tengah maraknya identitas kesukuan, sekaligus perlu
ditekankan sistem nilai baru yang akan kita wujudkan, yaitu sistem nilai
keindonesiaan. Hal tersebut bukannya suatu yang mudah karena memerlukan
paradigm shift di dalam proses pendidikan bangsa Indonesia. Sebagai suatu
11
paradigma baru di dalam sistem pendidikan nasional, maka perlu dirumuskan
bagaimana pendidikan nasional diarahkan kepada pemeliharaan dan
pengembangan konsep negara-bangsa, yaitu Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang didasarkan kepada kekayaan kebudayaan dari berbagai
suku bangsa di Indonesia.
3. Konsep pendidikan multikultural normative
Tujuan pendidikan multikultural normatif untuk mewujudkan kebudayaan
Indonesia yang dimiliki oleh suatu negara-bangsa, tapi jangan sampai
menjadikan konsep pendidikan multicultural normative sebagai suatu paksaan
dengan menghilangkan keanekaragaman budaya-budaya lokal. Pendidikan
multikultural normative, justru memperkuat identitas suatu suku yang
kemudian dapat menyumbangkan bagi terwujudnya suatu kebudayaan
Indonesia yang dimiliki oleh seluruh bangsa Indonesia. Konsep ini dengan
sendirinya sesuai dengan tuntutan atas hak asasi manusia dan sekaligus hak
untuk mempunyai dan mengembangkan budaya sendiri (right to culture).
4. Pendidikan multikultural merupakan suatu rekonstruksi sosial
Suatu rekonstruksi sosial artinya upaya untuk melihat kembali kehidupan sosial
yang ada dewasa ini. Salah satu masalah yang timbul akibat berkembangnya
rasa kedaerahan, identitas kesukuan, the right to culture dari perorangan
maupun suatu suku bangsa Indonesia, telah menimbulkan rasa kelompok yang
berlebihan dan tidak jarang menyebabkan pergeseran dan tidak jarang
menyebabkan pergeseran-pergeseran horizontal yang tidak dikenal
sebelumnya. Rasa kesukuan yang berlebihan dapat melahirkan
ketidakharmonisan dalam kehidupan bangsa yang pluralis. Oleh sebab itu,
pendidikan multikultural tidak akan mengenal fanatisme atau fundamentalisme
sosial-budaya termasuk agama, karena masing-masing komunitas mengenal
dan menghargai perbedaan-perbedaan yang ada sehingga pendidikan
multikultural di Indonesia memerlukan pedagogik baru.
Untuk melaksanakan konsep pendidikan multikultural di dalam masyarakat
pluralis, memerlukan pedagogik baru, karena pedagogik tradisional membatasi
proses pendidikan dalam ruang sekolah yang sarat dengan pendidikan
intelektualistik. Sedangkan kehidupan sosial-budaya di Indonesia menuntut
pendidikan hati (pedagogy of heart), yaitu diarahkan kepada rasa persatuan
dari bangsa Indonesia yang pluralistik. Pedagogik yang dibutuhkan ialah: 1)
Pedagogik pemberdayaan (pedagogy empowerment). 2) Pedagogik kesetaraan
manusia dalam kebudayaan yang beragam (pedagogy of equity). Pedagogik
pemberdayaan pertama-tama berarti, seorang mengenal budayanya sendiri dan
selanjutnya kebudayaan itu digunakan untuk mengembangkan budaya
12
Indonesia di dalam negara-bangsa Indonesia. Di dalam upaya tersebut
diperlukan pedagogik kesetaraan antar-individu, antar suku, dan tidak
membedakan asal-usul suku bangsa dan agamanya.
5. Pendidikan Multikultural bertujuan untuk masa depan serta etika
berbangsa
Dalam TAP/MPR RI Tahun 2001 No. VI dan VII mengenai visi Indonesia masa
depan, serta etika kehidupan berbangsa perlu dijadikan pedoman yang sangat
berharga dalam mengembangkan konsep pendidikan multikultural. Dalam
kaitan ini, perlu dipertimbangkan menghidupkan kembali pendidikan budi
pekerti, terutama di tingkat pendidikan dasar, melengkapi pendidikan agama
yang sudah ditangani dengan UU No. 20 Tahun 2003 (Tilaar:2007:185).

Pernyataan-pernyataan dan keyataan di atas adalah satu usaha dalam upaya


membangun pendidikan multikultural di Indonesia sebagai sebuah negara yang
plural. Hal ini membutuhkan satu konsep pendidikan multikultural yang dapat
menghasilkan peserta didik yang dapat menghargai perbedaan dan hidup dalam
keharmonisan perbedaan.

D. Pendekatan Proses Pendidikan Multikultural


Berikut beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural, yaitu:

Pertama, tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan


(education) dengan persekolahan atau pendidikan multikultural dengan program-
program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai
transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi, bahwa tanggung jawab
primer mengembangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik sematamata
berada di tangan mereka dan justru semakin banyak pihak yang bertanggung jawab
karena program-program sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal
di luar sekolah.

Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan


kelompok etnik adalah sama. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan
semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini.
secara tradisional, para pendidik mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan
kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient, ketimbang dengan sejumlah
orang yang secara terus menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam
satu atau lebih kegiatan. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini
diharapkan dapat mengilhami para penyusun program-program pendidikan
multikultural untuk melenyapkan kecenderungan memandang anak didik secara
stereotip menurut identitas etnik mereka dan akan meningkatkan eksplorasi

13
pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak
didik dari berbagai kelompok etnik.

Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu "kebudayaan baru"


biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dan intensif dengan orang-orang yang
sudah memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa upaya-upaya
untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antithesis
terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas
solidaritas kelompok akan menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan ”baru” yang
pada akhirnya harus disadari bahwa pendidikan bagi pluralisme budaya dan
pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara logis walaupun memang
harus dapat diterjemahkan secara praktis atau bahkan pragmatis.

Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa


kebudayaan. Dalam pengertian ini seorang pendidik harus mampu memilah dan
memilih satu kebudayaan yang akan diadopsi serta ditentukan oleh situasi dan
kondidsi yang paling mungkin. Dengan demikian tidak akan terkesan terlalu besar
keinginan yang tidak dibarengi dengan melihat kemampuan atau kenyataan yang ada.

Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan (baik dalam maupun luar sekolah)


meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan.
Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dua budaya atau
dapat diartikan dikotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini
bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas
kebudayaan. Dengan demikian pendekatan ini akan meningkatkan kesadaran tentang
realitas multikulturalisme sebagai pengalaman normal dan normatif sebagai manusia.
Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk
menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui
kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik.

E. Pengembangan Materi Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural


Menurut Zamroni (2007:273 – 274) dalam pendidikan agama agar tercipta
kesadaran multikultural maka sekolah perlu memperhatikan beberapa hal, yaitu:
1. Pendidikan agama bersifat transformatif, artinya pendidikan agama harus
mampu menumbuhkan perubahan yang menitik beratkan pada rasa dan
suasana kebersamaan yang penuh dengan toleransi.
2. Dalam melaksanakan proses pembelajaran guru senantiasa bersifat reflektif
yang mengedepankan sintesis atau memadukan materi pembelajaran
dengan kondisi dan latar belakang yang ada khususnya murid. Guru juga
harus mampu berdialog agar murid cakap dalam menganalisa berbagai

14
permasalahan dan memberikan argumentasi balik dengan penuh sopan
santun yang pada akhirnya akan menciptakan saling memahami perbedaan
yang ada. Guru juga senantiasa bersifat Caring yang berarti menjadi orang
tua yang baik penuh perhatian pada anak didik.
3. Pendidikan Agama juga harus dapat mengembangkan kesadaran pada anak
didik hakikat masyarakat majemuk sehingga akan memunculkan kesadaran
bahwa perbedaan merupakan rahmat dan juga akan menumbuhkan sifat
toleransi yang tulus.

Dalam rangka membangun keberagamaan yang inklusif di sekolah ada beberapa


materi pendidikan agama Islam yang bisa dikembangkan dengan nuansa
multikultural, antara lain: Pertama, materi al-Qur’an, dalam menentukan ayat-ayat
pilihan, selain ayat-ayat tentang keimanan juga perlu ditambah dengan ayat-ayat
yang dapat memberikan pemahaman dan penanaman sikap ketika berinteraksi
dengan orang yang berlainan agama, sehingga sedini mungkin sudah tertanam sikap
toleran, inklusif pada peserta didik, yaitu a) materi yang berhubungan dengan
pengakuan Al-Qur’an akan adanya pluralitas dan berlomba dalam kebaikan misalnya
yang ada pada surat al-Baqarah ayat 148; b) Materi yang berhubungan dengan
pengakuan koeksistensi damai dalam hubungan antar umat beragama missal dalam
surat Al-Mumtahanah ayat 8 dan 9); c) materi yang berhubungan dengan keadilan
dan persamaan seperti dalam an-Nisa’: 135. Kedua, materi fikih dapat diperluas
dengan kajian fikih siasah (pemerintahan) yang di dalamnya terkandung konsep-
konsep kebangsaan yang telah dicontohkan pada zaman Nabi Muhammad maupun
khalifah-khalifah sesudahnya. Pada zaman Nabi misalnya, cara Nabi mengelola dan
memimpin masyarakat Madinah yang multietnis, multi-kultur, dan multi-agama.
Keadaan masyarakat Madinah pada waktu itu tidak jauh berbeda dengan masyarakat
Indonesia, yang juga multi-etnis, multikultur, dan multi-agama. Ketiga, materi akhlak
yang memfokuskan kajiannya pada perilaku baik-buruk terhadap Allah, Rasul,
sesama manusia, diri sendiri, serta lingkungan, penting artinya bagi peletakan dasar-
dasar kebangsaan. Hal ini berangkat dari pernyataan normatif yang terbukti secara
historis bahwa “keberlangsungan” suatu bangsa tergantung pada akhlak anak bangsa
tersebut. Apabila suatu bangsa meremehkan akhlak, punahlah bangsa tersebut
seperti yang dicontohkan dalam Al-Qur’an tentang kehancuran kaum Luth yang
disebabkan oleh runtuhnya sendi-sendi moral warganya. Agar Pendidikan Agama
bernuansa multikultural ini dapat efektif maka peran guru agama Islam memang
sangat menentukan. Selain selalu mengembangkan metode mengajar yang variatif,
tidak monoton dan yang lebih penting, guru agama Islam juga harus mampu menjadi
model atau keteladanan. Keempat, materi SKI, materi yang bersumber pada fakta dan

15
realitas historis dapat dicontohkan praktik-praktik interaksi sosial yang diterapkan
Nabi Muhammad ketika membangun masyarakat Madinah. Dari sisi historis proses
pembangunan Madinah yang dilakukan Nabi dapat ditemukan fakta tentang adanya
pengakuan dan penghargaan atas nilai pluralisme dan toleransi. Agar pemahaman
pluralisme dan toleransi dapat tertanam dengan baik pada peserta didik, maka perlu
ditambahkan uraian tentang proses pembangunan masyarakat Madinah dalam
materi keadaan masyarakat Madinah pasca Hijrahnya nabi yang dalam hal ini dapat
ditelusuri pada Piagam Madinah. Sebagai salah satu produk sejarah umat Islam,
Piagam Madinah merupakan bukti bahwa Nabi Muhammad berhasil memberlakukan
nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan, penegakan hukum, jaminan kesejahteraan
bagi semua warga serta perlindungan terhadap kelompok minoritas. Beberapa ahli
tentang sejarah Islam menyebut Piagam Madinah sebagai loncatan sejarah yang luar
biasa. Dalam konstitusi itulah pertama kalinya dirumuskan ide-ide kemasyarakatan
dan kenegaraan yang kini menjadi pandangan hidup modern di dunia, seperti
kebebasan beragama, hak setiap kelompok untuk mengatur hidup sesuai dengan
keyakinannya, kemerdekaan hubungan ekonomi antar golongan dan lain-lain.

Meskipun dalam tahapan konsep banyaknya agama dan keyakinan dalam


nuansa multikultur diharapkan terjadi keharmonisan hubungan, akan tetapi dalam
tahap implementasi masih banyak ketimpangan antara yang diharap dengan yang
terjadi di lapangan. Dalam artian tidak semua orang mampu bersikap inklusif dalam
hidup bersama di masyarakat yang majemuk. Walaupun secara normatif memang
seorang yang beragama tidak dapat menghindarkan diri dari bingkai teologis
tertentu, akan tetapi tidak berarti bersikap eksklusif dan menutup mata terhadap
realitas sosial yang ada di sekelilingnya. Oleh karenanya diperlukan pemahaman yang
komprehensif dan integral untuk mencairkan kebekuan teologis melalui
interkoneksitas nilai-nilai humanis yang bernuansa kebersamaan atau berjalan
bersama meskipun terdapat perberbedaan yang nyata.

F. Urgensi Pendidikan Multikultural


Untuk mewujudkan multikulturalisme dalam dunia pendidikan, maka
pendidikan multikultural juga perlu dimasuk kedalam kurikulum nasional, yang pada
akhirnya dapat menciptakan tatanan masyarakat Indonesia yang multikultural, serta
upaya-upaya lain yang dapat dilakukan guna mewujudkannya.
Karena begitu pentingnya pendidikan multikultural dengan adanya penindasan
atau penafikan atas dasar kepemilikan etnis, agama atau bentuk minoritas lainnya.
Dikotomi antar kita (kelompok dominan) dan mereka (di luar kelompok dominan)
dilembagakan dalam rangka menjauhkan kelompok minoritas dari posisi kekuasaan.
Pelembagaan diskriminasi ini terjadi di wilayah-wilayah penting dalam kehidupan

16
seperti pekerjaan, pendidikan, jabatan-jabatan publik dan hubungan-hubungan
sosial.
Situasi sosial, kultural masyarakat kita akhir-akhir ini memang semakin
mengkhawatirkan. Ada berbagai macam peristiwa dalam pendidikan yang semakin
merendahkan harkat dan derajat manusia. Hancurnya nilai-nilai moral, merebaknya
ketidakadilan, tipisnya rasa solidaritas dan lain-lain telah terjadi dalam lembaga
pendidikan kita.
Hal ini mewajibkan kita untuk mempertanyakan sejauh mana lembaga
pendidikan kita telah menjawab dan tanggap atas berbagai macam persoalan dalam
masyarakat kita. Ada apa dengan pendidikan kita sehingga manusia dewasa yang
telah lepas dari lembaga pendidikan formal tidak mampu menghidupi gerak dan
dinamika masyarakat yang lebih membawa berkah dan kebaikan bagi semua orang.
Pentingnya Pendidikan Multikultural adalah sebagai berikut :
1. Sebagai Sarana Alternatif Pemecahan Konflik
Meluasnya disintegrasi sosial merupakan salah satu fenomena krusial yang
telah membuat negeri ini terbengkalai. Konflik horizontal antar suku, agama,
ras, misalnya dan berbagai golongan sampai saat ini masih marak terjadi.
Tragedi kekerasan antar kelompok yang meledak secara sporadis di akhir tahun
1990-an, misalnya, kemudian konflik kekerasan yang bernuansa politis, etnis
dan agama seperti yang terjadi di berbagai wilayah Aceh, Maluku, Kalimantan
Barat dan Tengah merupakan salah satu fakta yang tidak terbantahkan bahwa
dalam lingkaran sosial bangsa Indonesia masih kokoh semangat narsistik-
egosentrisnya.
Penyelenggaraan pendidikan multikultural di dunia pendidikan diyakini dapat
menjadi solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi di
masyarakat, khususnya yang kerap terjadi di masyarakat Indonesia yang secara
realitas plural. Dengan kata lain, pendidikan multikultural dapat menjadi sarana
alternatif pemecahan konflik sosial budaya.
Secara sederhana, dalam pandangan multikulturalisme setiap budaya manusia
atau kelompok etnik harus diposisikan sejajar dan setara. Tidak ada yang lebih
tinggi dan tidak ada yang lebih dominan.3
Saat ini, Pendidikan Multikultural mempunyai dua tanggungjawab besar, yaitu:
menyiapkan bangsa Indonesia untuk siap menghadapi arus budaya luar di era
globalisasi dan menyatukan bangsa sendiri yang terdiri dari berbagai macam
budaya.
Dengan demikian, sebagaimana telah diperlihatkan dalam sejarah Indonesia
dimasa lampau, kemajemukan itu tidak menimbulkan konflik masyarakat,
3
Lihat dalam berita Media Indonesia, Senin, 29 November 2018

17
apalagi kerusuhan sosial. Sebaliknya bahkan menjadi himpunan kekuatan
bangsa dalam menumbuhkan semangat nasionalisme. Kemajemukan itu malah
telah menjadi slogan persatuan dan kesatuan bangsa; Bhineka Tunggal Ika. 4
2. Supaya Siswa Tidak Tercerabut dari Akar Budaya
Dalam era globalisasi saat ini, pertemuan antar-budaya menjadi “ancaman”
serius bagi anak didik. Untuk mensikapi realitas global tersebut, siswa
hendaknya diberi penyadaran akan pengetahuan yang beragam, sehingga
mereka memiliki kompetensi yang luas akan pengetahuan global, termasuk
aspek kebudayaan. Mengingat beragamnya realitas kebudayaan di negeri ini,
dan luar negeri, siswa pada era globalisasi ini sudah tentu perlu diberi materi
tentang pemahaman banyak budaya atau pendidikan multikultural. 5
3. Menuju Masyarakat Multikultural
Dalam masyarakat multikultural ditegaskan, bahwa corak masyarakat
Indonesia yang bhinneka Tunggal Ika ini bukan hanya di maksudkan pada
keanekaragaman suku bangsa, melainkan juga keanekaragaman budaya yang
ada dalam masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Eksistensi keberagaman
kebudayaan tersebut selalu dijaga/terjaga yang bisa tampak dalam sikap saling
menghargai, menghormati, toleransi antara satu kebudayaan dengan
kebudayaan lainnya.6
Dalam konteks ini ditegaskan bahwa perbedaan bukan menjadi penghalang
untuk bersatu padu meraih tujuan dan mewujudkan cita-cita dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
G. Tujuan Pendidikan Multikultural
Sebagaimana kita ketahui, bahwa bangsa Indonesia mempunyai filsafat hidup
pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pun disusun atas dasar
pancasila. Oleh karena itu, sudah selayaknya jika pendidikan di Indonesia juga
berdasarkan pada pancasila, hingga kini, dasar dan tujuan pendidikan nasional secara
yuridis masih sama, belum berubah. Tujuan pendidikan Nasional menurut UU 20
tahun 2003 adalah “ untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.7
Adapun tujuan Pendidikan multicultural adalah sebagai berikut :
1. Membangun Paradigma Keberagaman Inklusif
4
Syamsul Ma‟arif, The Beauty of Islam Dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme (Semarang; NEED‟S PRESS,
2008), 83
5
Chairul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar), 211
6
Subagyo, DKK Pendidikan Kewarganegaraan, (Semarang: UPT MKU UNNES, 2006), 121
7
Lebih jelas lihat dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional 2003 (Jakarta: Cemerlang, 2003), 7

18
Paradigma keagamaan yang inklusif berarti lebih mementingkan dan
menerapkan nilai-nilai agama dari pada hanya melihat dan mengagungkan
simbol-simbol keagamaan. Paradigma pemahaman keagamaan aktif sosial
berarti agama tidak hanya menjadi alat pemenuhan kebutuhan rohani secara
pribadi saja. Akan tetapi yang terpenting adalah membangun kebersamaan dan
solidaritas bagi seluruh manusia melalui aksi-aksi sosial yang nyata yang dapat
meningkatkan kesejahteraan umat manusia.
2. Menghargai Keragaman Bahasa dan Etnis di Sekolah
Sikap sensitif terhadap masalah-masalah yang diskriminatif khususnya
terhadap diskriminasi bahasa yang terjadi di sekolah. Maka niscaya usaha untuk
membangun sikap siswa agar mereka dapat selalu menghargai orang lain yang
mempunyai bahasa dan dialek yang berbeda, sedikit demi sedikit akan dapat
tertanam dan kemudian tumbuh dengan baik.46 Sekolah sebaiknya berperan
aktif dalam membangun pemahaman dan kesadaran siswa tentang pentingnya
sikap menghargai dan anti diskriminasi terhadap etnis lainnya dengan cara
membuat pusat kajian atau forum dialog untuk mengagas hubungan yang
harmonis antaretnis.
3. Membangun Sikap Sensitif Gender
Dalam kehidupan sosial pun pria dan wanita mempunyai hak yang sama.
Perannyalah yang berbeda sesuai kodrat yang dimiliki masing-masing.
Perbedaan jenis kelamin tidak hanya merupakan hal yang berhubungan dengan
warisan biologis. Masyarakat menuntut laki-laki dan perempuan untuk
bertingkah laku berbeda sesuai dengan perannya masing-masing. Untuk
memenuhi harapan ini, anak-anak harus memahami jenis kelamin mereka
masing-masing dan mengintegrasikannya ke dalam konsep diri mereka. Dalam
Islam, laki-laki juga diajarkan untuk melakukan tugas domestik untuk
meringankan beban istri di rumah, jika mereka sedang di rumah. Maka,
diskriminasi yang berlandaskan pada perbedaan jenis kelamin (gender) dan
sebagainya tidak memiliki dasar pijakan sama sekali dalam ajaran tauhid.

Lebih dari itu Abu Ishak al-Syatibi, dalam kutipan Saidani juga mengungkap
tentang pentingnya pendidikan multikultural dengan perincian sebagai berikut:
1. Memelihara agama
2. Memelihara jiwa
3. Memelihara akal
4. Memelihara keturunan dan memelihara harta
BAB III
PENUTUP
19
A. SIMPULAN
Pendidikan multikultural diperlukan bangsa Indonesia untuk mengurangi
terjadinya konflik horisontal antar masyarakat, baik karena perbedaan kultur, suku,
adat, maupun agama. Pendidikan multikultural menekankan pada pembelajaran yang
menghargai perbedaan, karena perbedaan itu merupakan hukum alam yang harus
dihadapi bukan menjadi sumber perpecahan umat manusia. Pendidikan multikultur
di Indonesia memang masih mencari bentuknya yang tepat dan efektif yang akan
mencerahkan bagi semua peserta didik di Indonesia.
Pendidikan agama yang sering dituduh paling bertanggungjawab terhadap
berbagai konflik yang banyak terjadi sebagai akumulasi perbedaan yang cukup tajam
di Indonesia harus mampu menampilkan diri sebagai satu pembelajaran yang
berwawasan multikultural. Hal ini dapat dilakukan melalui pilihan materi yang cocok
atau bernuansa toleransi terhadap semua manusia. Dengan kata lain pendidikan
agama mampu tampil atau menampilkan diri secara inklusif dalam bingkai
kebersamaan meski jelas berbeda serta tidak menekankan perbedaan yang ada
karena memang berbeda atau bahkan terjadi pembedaan karena semangat ideologi
kelompok. Dengan demikian diperlukan pemahaman yang komprehensif dan integral
terhadap substansi materi pendidikan agama serta cara pembelajaran yang efektif
agar tercapai tujuan pendidikan yang bernuansa multikultur.
Walaupun semua orang menginginkan dan menyadari tentang penting dan
gentingnya pendidikan multikultur di Indonesia sebagai upaya harmonisasi
kehidupan berbangsa dan beragama, akan tetapi perilaku atau sikap sebagian besar
masyarakat termasuk masyarakat terdidiknya terkadang kurang mencerminkan
semangat multikultur. Oleh karena itu diperlukan upaya yang cermat dan tepat untuk
menggugah kesadaran kolektif bangsa Indonesia agar tercipta keharmonisan abadi
pada bangsa ini. Guru adalah salah satu komponen terpenting dalam pendidikan, oleh
karenanya guru harus mampu menjadi model bagi terciptanya kehidupan multikultur
yang terimplementasi dalam keseharian baik di sekolah maupun di masyarakat.
Dikotomi antara nasionalis sekuler dan agama yang memberikan steriotipe bahwa
seolah-olah seorang yang nasionalis kurang agamis dan sebaliknya yang agamanya
kuat maka nasionalisme kurang haruslah segera dihilangkan agar tercipta
keharmonisan di antara warga negara Indonsia.
B. Saran
Demikianlah yang dapat kami sampaikan mengenai materi yang menjadi bahasan dalam
makalah ini, tentunya banyak kekurangan dan kelemahan kerena terbatasnya pengetahuan
dan kurangnya rujukan atau referensi yang kami peroleh hubungannya dengan makalah
ini. Penulis banyak berharap kepada para pembaca memberikan kritik dan saran yang
membangun kepada kami demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.

20
DAFTAR PUSTAKA
Suhelmi, Ahmad.(1999). Soekarno versus Natsir. Jakarta: Darul Falah.
Banks, James A. (1989). Multicultural Education: Issues and Perspectives. Boston-
London: Allyn and Bacon Press.
Banks, James A. (2007). Educating Citizens In Multicultural Society. Second edition.
New York: Teachers College Columbia University.
Noeng Muhajir, (2000) Filsafat dan Teori Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Ilmu.
Tilaar, H.A.R. (2002) Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik
Transformatif untuk Indonesia. Jakarta: PT. Grasindo.
Tilaar, H.A.R. (2004) Multikulturalisme Tantangan-tantangan Global Masa Depan
dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: PT Grasindo.
Wieringa, Saskia Eleonora. (1999). The Politization of Gender Relations in Indonesia
Women`s Movement and Gerwani Until the New Order State. dalam Hersri
Setiawan. Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, Jakarta : Garba
Budaya.
Zamroni. (2007). Pendidikan dan Demokrasi dalam Transisi. Jakarta: PSAP
Muhammadiyah.
Zamroni. (2011). Pendidikan Demokrasi pada Masyarakat Multikultural. Yogyakarta:
Gavin Kalam Utama
Zamroni. (2010a). The Implementation of Multicultural Education. A reader.
Yogyakarta: Graduate Program The State University of Yogyakarta.
Zamroni. (2010b). A Conception Frame-Work of Multicultural Teachers Education. A
reader. Yogyakarta: Graduate Program The State University of Yogyakarta

21

You might also like