You are on page 1of 4

Kendala-Kendala Pelaksanaan Demokrasi

Sejak memasuki era reformasi, konsep demokrasi semakin nyata


didengungkan. Hal ini terlihat dari kebebasan pers dan kebebasan berpendapat di
kalangan masyarakat dalam mengkritik pemerintah. Dicabutnya larangan ekspresi
budaya Tionghoa oleh Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid menandakan bahwa
prinsip Demokrasi Pancasila masih diminati oleh bangsa ini. Namun di sisi lain,
era reformasi juga membawa dilema untuk bangsa ini. Salah satunya adalah
karena kebebasan berpendapat kerap disalahgunakan sebagai penegasan terhadap
identitas kelompok tertentu atas nama mayoritas. Hal tersebut tentunya menjadi
permasalahan tersendiri bagi bangsa ini dan secara potensial ini dapat mencederai
hakikat Demokrasi Pancasila. Sebagai contohnya, banyak kita temukan konflik
berbasis perbedaan agama dan budaya terjadi di masyarakat, maraknya ujaran
kebencian terhadap kelompok minoritas, serta bermunculannya ideologi intoleran
dan kejahatan terorisme.

Di level pemerintahan dan politik, kondisi demokrasi di Indonesia,


khususnya dari aspek supremasi hukum, juga cukup mengkhawatirkan. Salah
satunya bisa kita soroti dari banyaknya tindakan pelanggaran HAM, minimnya
pelibatan aspirasi publik terhadap Rancangan berbagai Undang-Undang seperti
Revisi UU KPK, RKUHP, keberadaan UU ITE yang menyulitkan pejuang HAM,
beberapa penerbitan Perpu yang tidak dilandaskan pada kajian yang objektif dan
masih banyak lagi. Hal tersebut sangat ironis karena kedaulatan ada di tangan
rakyat dan partisipasi rakyat adalah hal yang mutlak sekaligus kunci dari
demokrasi itu sendiri.Selain itu, jika kita melihat situasi politik belakangan ini,
banyak politikus yang memanfaatkan isu-isu SARA untuk saling menyerang
lawan politik mereka demi mendapatkan legitimasi dari masyarakat. Oleh karena
itu, beberapa contoh di atas berpotensi mencederai Demokrasi Pancasila dan
memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. Kita seakan lupa bahwa negeri ini
menjadi kuat karena dibangun dari perbedaan.
Sebagian besar responden melihat bahwa demokrasi di Indonesia berada
dalam situasi yang suram berupa kemunduran (44,7%), stagnasi/kemandegan
(23,7%) bahkan tak sedikit yang menilai kita telah berada dalam otoriterisme
(28,9% ). Hanya 2,7% responden yang menilai demokrasi kita mengalami
kemajuan. Secara kesuluruhan ada 25 permasalahan yang menandai kemunduruan
demokrasi di Indonesia. 21 di antaranya di dapat memulai hasil survei antara lain:

1. politik uang dalam pemilu (100%),


2. macetnya kaderisasi partai politik (94,7%),
3. populisme dan politik identitas (86,8%),
4. hilangnya oposisi (92.1%),
5. korupsi politik (100%),
6. kabar bohong dan ujaran kebencian (97,4%),
7. rendahnya literasi politik (92,1%),
8. lemahnya masyarakat sipil (89,5%),
9. rendahnya kualitas pemilu (100%),
10. media masa yang partisan (89,5%),
11. rendahnya literasi media (92,1%),
12. rendahnya efektivitas pemerintahan (94,7%), 
13. rendahnya partisipasi politik (100%),
14. ancaman kebebasan berpendapat (94,7%),
15. ancaman kebebasan berserikat (94,7%),
16. imunitas terhadap pelanggar HAM (86,8%),
17. kesenjangan ekonomi (94,7%),
18. diskriminasi terhadap minoritas (97,4%),
19. toleransi atau anjuran terhadap kekerasan (94,6%),
20. terror siber terhadap kelompok kritis (92,1%),
21. krimininalisasi kelompok kritis (92,1%). Sepuluh yang lainnya muncul
dalam diskusi terfokus antara lain berupa: politik dinasti, oligarki politik,
oligarki media dan netralitas ASN.
22. Politik dinasti: politik dinasti merupakan salah satu masalah serius
demokrasi yang diungkapkan peserta diskusi dan menjadi kesepatakan
forum. Secara spesifik wilayah yang dinilai  menjadi lokus
berlangsungnya politik dinasti adalah di Banten yang diprkatikkan oleh
keluarga ratu Atut dan Solo yang dikaitkan dengan majunya Kaesang putra
Presiden Jokowi dalam pilkada yang sangat berpeluang menjadi calon
tunggal.
23. Oligarki politik:  penumpukan kekuasaan dan kekayaan di tangan
segelintir elit merupakan satu hal yang dilihat sebagai masalah demokrasi
lainnya. Elit yang kaya dan berkuasa ini menggunakannya untuk membeli
suara dalam pemilu sehingga mereka yang terpilih belum tentu merupakan
refleksi suara rakyat.
24. Oligarki media: penguasaan media masa oleh segelintir orang saja yang
sebagian di antaranya adalah politisi dinilai sebagai masalah lain yang
melemahkan fungsi media sebagai anjing penjaga demokrasi
25. Netralitas: ada dilema di kalangan ASN karena meskipun mereka secara
aturan mereka diharuskan untuk netral namun pada praktiknya seringkali
justru diminta untuk mendukung incumbent.
26. Tidak adanya transparansi keuangan partai politik terutama di masa
pemilihan umum.
27. Oligarki politik:  penumpukan kekuasaan dan kekayaan di tangan
segelintir elit merupakan satu hal yang dilihat sebagai masalah demokrasi
lainnya. Elit yang kaya dan berkuasa ini menggunakannya untuk membeli
suara dalam pemilu sehingga mereka yang terpilih belum tentu merupakan
refleksi suara rakyat. Termasuk oligarki di tingkat lokal.
28. Oligarki media: penguasaan media masa oleh segelintir orang saja yang
sebagian di antaranya adalah politisi dinilai sebagai masalah lain yang
melemahkan fungsi media sebagai anjing penjaga demokrasi
29. Netralitas: ada dilema di kalangan ASN karena meskipun mereka secara
aturan mereka diharuskan untuk netral namun pada praktiknya seringkali
justru diminta untuk mendukung incumbent.
30. Buzzers dan cyber troops: para pelaku manipulasi opini publik untuk
tujuan politik. Mereka tidak menyatakan bahwa mereka dibayar untuk
penyebaran opini itu.
31. Lemahnya perlindungan terhadap data pribadi, bahkan banyak kasus
peretasan data pribadi dialami oleh mereka karena aktvisme politiknya.

You might also like