You are on page 1of 3

Kajian Rutin Ba’da MaghRiB

Ust. Abu Abdillah Irsan, S.H., M.H.

22-10-2022

Kedudukan Muslim Non-Mujtahid Dalam Syari’at

•Perkembangan teknologi mengubah kehidupan masyarakat, terlebih lagi kaum muslimin. Di zaman
lampau, para ulama mencari hadits dengan melakukan perjalanan jauh. Sekarang kemudahan untuk
menuntut ilmu ada di mana-mana.

•Perkembangan teknologi juga membawa perubahan sikap bagi kaum muslimin. Oleh karena itu,
sepatutnya kita mempertimbangkan sikap kita dalam segala hal.

•Sekarang ini banyak orang yang mudah berbicara tentang masalah agama terkhusus halal dan
haram tanpa mempedulikan siapakah dirinya. Sekarang ini juga banyak majlis yang diadakan oleh
muslim Non-Mujtahid yang mereka itu tidak memiliki landasan ilmu syar’i yang cukup tetapi mereka
berani berbicara halal dan haram. Mereka melakukan dengan analisis lalu menjawab pertanyaan
yang diajukan pada mereka. Padahal itu belum menjadi kapasitas mereka.

•Ada lagi yang lebih parah bahwa ada seorang Non-Mujtahid mendebat seorang ahli ilmu yang
sudah mencapai derajat Mujtahid dan ia hanya bermodalkan membaca buku tentang halal dan
haram.

•Muslim Non-Mujtahid atau orang awam di antara kaum muslimin, tidak bisa melakukan ijtihad
sebagaimana yang dilakukan oleh para ahli ilmu yang sudah sampai pada derajat Mujtahid/mampu
dan boleh untuk berijtihad.

•Ushul Fiqh merupakan salah satu cabang ilmu Syar’i yang didefinisikan oleh para ulama sebagai
cabang ilmu yang menjelaskan dalil-dalil fiqih secara universal dan menjelaskan bagaimana menarik
kesimpulan hukum dari dalil-dalil tersebut serta menjelaskan siapa yang berhak untuk berijtihad.

•Para Ulama mengklasifikasikan kedudukan seorang muslim berdasarkan ilmu Syar’i yang ia miliki.
Ada dua pendapat, yang pertama terbagi menjadi dua yaitu awam dan Mujtahid. Pendapat ini dipilih
oleh mayoritas ulama Ushul Fiqh termasuk Imam Syafi’i. Pendapat kedua membagi menjadi tiga,
yaitu awam, muttabi’ (muslim yang belum mampu berijtihad tetapi ia mengetahui dasar hukum yang
digunakan oleh mujtahid dalam menentukan hukum, dan mereka sejatinya termasuk awam), dan
Mujtahid. Maka sepatutnya bagi kita untuk bisa melihat siapa diri kita.

•Kedudukan muslim Non-Mujtahid dalam Ijma’, apakah mereka termasuk ahli Ijma’?

•Ijma’ menurut para ahli Ushul Fiqh adalah kesepakatan para mujtahid dari umat Nabi Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam masalah agama setelah wafatnya beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam.

•Golongan kaum muslimin yang disepakati bahwa mereka bukan ahli ijma’ adalah anak-anak dan
orang gila.
•Golongan kaum muslimin yang disepakati sebagai ahli ijma’ adalah para ahli ilmu yang pantas untuk
berijtihad. Pendapatnya tidak termasuk ijma’ hanya ketika pendapatnya berbeda dengan para
mujtahid lainnya.

•Adapun muslim Non-Mujtahid yang mukallaf (baligh dan berakal), maka para ulama berbeda
pendapat dalam kedudukan mereka dalam Ijma’ ini. Pendapat pertama menyatakan bahwa muslim
awam mukallaf tidak termasuk ahli Ijma’ secara mutlak, dan ini adalah pendapat jumhur ulama
termasuk ulama empat madzhab. Pendapat kedua menyatakan bahwa muslim awam mukallaf
termasuk ahli Ijma’. Dasarnya adalah hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang artinya :
“Umatku tidak akan berkumpul dalam kesesatan.” Mereka berpendapat bahwa lafazh umat ini
berlaku umum. Akan alasan ini ditentang dengan fakta bahwa orang gila dan anak kecil adalah
termasuk umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Pendapat ketiga menyatakan bahwa
muslim awam mukallaf termasuk ahli Ijma’ dalam hukum Syar’i yang diketahui oleh seluruh kaum
muslimin secara umum dan bukan dalam hal terperinci yang hanya diketahui oleh para ahli ijtihad.
Adapun yang rajih adalah pendapat pertama.

•Adapun dalam masalah yang dibutuhkan ‘urf/adat di dalamnya yang bisa menjadi pertimbangan
dalam menentukan suatu hukum Syar’i, maka bagaimana posisi orang awam di sini?

•’Urf adalah segala sesuatu yang terjadi secara berulang-ulang yang tersebar secara luas dalam
mayoritas masyarakat di suatu negeri dan dianggap baik serta bisa diterima akal sehat. Maka orang-
orang awam yang mukallaf juga dianggap dalam menentukan hukum yang berkaitan dengan ‘urf
dalam masyarakat mereka.

Contohnya adalah batasan hak yang bisa ditagih istri pada suaminya. Contoh yang lain adalah dalam
menentukan makanan pokok yang bisa digunakan untuk membayar zakat fitrah dan zakat pertanian.
Contoh lain lagi adalah dalam menentukan batasan waktu bekerja seorang kuli bangunan dalam
sehari.

•Syarat-syarat berlakunya ‘Urf dalam pertimbangan Syari’at :

-‘Urf itu berlaku dalam masyarakat secara umum bukan dalam komponen tertentu dalam
masyarakat.

-‘Urf itu sedang berlaku dan bukan ‘Urf yang terjadi di masa lampau.

-‘Urf tidak menyelisihi Syari’at : Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’.

-‘Urf tidak menyelisihi kesepakatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak.

•Pertimbangan muslim Non-Mujtahid dalam maslahat dan mafsadat bagi dirinya, maka dalam
beberapa kondisi ia diperbolehkan untuk melakukan pertimbangan untuk itu karena tidak setiap saat
ia bisa bertanya pada seorang ahli ilmu.

•Maslahat ada tiga, mu’tabaroh (dibolehkan oleh Syari’at), mulghoh (maslahat yang dilarang oleh
Syari’at, misal : maslahat dalam khamr), dan mursalah (tidak dijelaskan secara jelas oleh Syari’at).
Maka dalam maslahat mursalah ini seorang awam bisa mempertimbangkan maslahat dan mafsadat
bagi dirinya. Akan tetapi untuk mengetahui perbuatan yang dia lakukan dalam maslahat mursalah itu
dikembalikan pada ahli ilmu.

•Muslim Non-Mujtahid tidak boleh berijtihad, apalagi mendebat ahli ilmu.

•Yang berhak melakukan istinbath (menarik kesimpulan) hukum baik dengan analisis, diskusi,
maupun selainnya hanyalah ahli ilmu.
•Jika anda bukan ahli ilmu maka kewajiban anda bukanlah berfatwa ataupun berdebat, tetapi
bertanya pada ahli ilmu lalu mengamalkan.

•Jika setiap orang tahu posisinya maka tidak akan banyak debat kusir.

•Imam Asy-Syathibi rahimahullah berkata : “Fatwa-fatwa para ahli ilmu bagi orang awam itu sama
seperti dalil-dalil syar’i bagi para ahli ilmu.” Kenapa beliau mengatakan ini? Karena jika orang awam
dihadapkan pada dalil-dalil syar’i untuk melakukan istinbath hukum, mereka tidak mampu dan itu
bukan kapasitas mereka.

You might also like