Professional Documents
Culture Documents
IJTIHAD
Metodologi Penetapan Hukum
1
Kata ijtihad dan Jihad berasal dari akar kata yang sama yakni jahada (bersungguh-sungguh atau
mengerahkan segenap kemampaun). Selanjutnya dalam perkembangan makna, jihad bermakna pengerahan
kemampuan yang lebih bersifat fisikal sedangkan ijtihad menegarkan kemampaun yang bersifat pemikiran
ilmiah.
2
Rumusan ijtihad ini adalah rumusan penulis sendiri sebagai sebuah kesimpulan dari seluruh sumber
bacaan yang berkenaan dengan ijtihad.
Mengapa perlu Ijtihad, apa urgensinya ? Nabi Muhammad saw wafat pada tahun
10 hijriyah, dalam usia 63 tahun, setelah beliau memperjuangkan tegaknya tawhid dan
syari’ah Islam selama 23 tahun, yakni 13 tahun di Mekah, dan 10 tahun di Medinah. Pada
tahun 10 hijriyah itu, tepatnya 80 hari sebelum nabi saw wafat, turunlah ayat Alqur’an yang
kemudian dicantumkan dalam surat al-Maidah ayat 3 yang isi pokoknya adalah pernyataan
Allah Swt bahwa Islam adalah agama yang diridai Allah, Islam adalah kenikmatan terbesar
dari Allah Swt, prinsip-prinsip hukum dan nilai-nilai Islam telah sempurna, bahkan dalam
beberapa perkara detailnya, dan Islam adalah agama yang sempurna, perfect.
Jika menggunakan bahasa hukum yang sekarang berkembangan mungkin dikatakan :”
Hal-hal yang belum diatur secara jelas dalam peraturan ini, akan diatur kemudian dalam
peraturan lainnya yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Al-Qur’an dan hadits”. Aturan
yang dimaksud adalah Ijtihad.
Setelah nabi Muhammad saw wafat, persoalan syar’i terus bermunculan, baik dalam
kaitannya dengan ibadah mahdloh maupun ibadah ghair mahdloh, di dalam semua lapangan
kehidupan, baik ekonomi, politik, kesehatan, rumah tangga, dll. Akan tetapi AL-Qur’an dan
hadits belum menjelaskan secara detail-eksplisit hukum tersebut, padahal tetap memerlukan
solusi, agar segenap perilaku manusia tidak keluar dari syari’at Islam. Jalan keluar adalah
ijtihad. Jadi ijtihad sangat perlu sebagai langkah penetapan hukum yang masih belum jelas.
Jadi ijtihad diperlukan karena Nabi saw telah wafat, Alqur’an dan Sunnah Rasul telah
berhenti msedangkan persoalan agama terus bermunculan yang memerlukan penanganan
secara hukum.
Apakah Objek Ijtihad itu ? Objek material ijtihad adalah hukum Islam, sedangkan
objek formalnya adalah hukum-hukum yang belum dijelaskan secara eksplisit di dalam
Alqur’an dan Hadits, misalnya tentang hukum donor mata, bayi clonning, pasar bebas dll.
Oleh karena itu hukum-hukum yang sudah jelas seperti hukum zina, judi, shalat lima waktu,
bukan objek kajian ijtihad. Salah satu kaidah ijtihad adalah “la masagha li alijtihadi fi
maurdhin nash” tidak ada tempat bagi ijtihad dalam persoalan yang sudah jelas nashnya.
Keharaman arak, babi, zina, riba, judi, dan menikah dengan nonmuslim, semuanya
telah ditegaskan di dalam Al-Qur’an. Tafsirannya pun jelas, para ulama terdahulu pun tidak
berbeda pendapat atas keharamannya. Adapun soal-soal rinciannya, misalnya bagaimana
bunga bank, apakah riba atau bukan, itulah yang menjadi objek kajian ijtihad.
Contoh lain, agama Allah hanya satu, Islam, tawhid, agama para nabi. Adapun agama,
ajaran, isme yang menduakan Tuhan adalah batil, Allah tidak akan menerimanya. Ini telah
diterangkan di dalam QS. 3 : 19 dan 85. Ditafsirkan oleh para ulama dengan seragam.
Adapun persoalan, tentang seseorang yang mati ketika berbuat maksiat, apakah ke neraka
atau ke syurga, itulah objek ijtihad.
Apa ruang lingkup Ijtihad ?
Ruang lingkup kajian ijtihad adalah semua persoalan diniyah, baik menyangkut
aqidah, syari’ah maupun akhlak. Ijtihad dalam persoalan akidah misalnya bagaimana nasib
orang-orang yang sudah mendengar dakwah Islam tapi hanya selintas sehingga tidak sempat
meresponnya sehingga dia mati dalam keadaan tidak memeluk Islam, akankah Allah
mengampuninya, atau dia harus masuk neraka ?. Bagaimana hukum pengobatan dengan
menggunakan hipnotis (hipboterafi) ?. Persoalan ibadah misalnya hukum menghajikan orang
yang sudah wafat (badal haji) ? Bagaimana hukum zakat profesi ?. Persoalan akhlak misalnya
bagaimana hukum menyewakan rahim (rental rahim) ? bagaimana hukum merokok, makruh
atau haram ? .Bolehkah seseorang menonton film porno agar dia bisa bergairah kepada
isterinya ?.
Singkatnya, ruang lingkup ijtihad adalah seluruh persoalan diniyah yang belum
dijelaskan secara eksplisit oleh Alqur’an dan Sunnah Rasulullah saw.
2. Metodologi Ijtihad
Ijtihad bisa dilakukan melalui beberapa teknik pendekatan istihsan, qiyas, mashalaihul
mursalah maupun ijmak. Metode pendekatan ini dirumuskan oleh para imam Mujtahidin yang
sampai saat ini diakui akurasinya. Penjelasannya sbb :
a. Qiyas (analogi) adalah menentukan hukum sesuatu yang belum jelas dengan cara
membandingkan hukum sesuatu yang telah ada dengan hukum yang akan dicari dengan
melihat ciri-ciri persamaamnya (‘illat). Contoh : bagaimana hukumnya apabila seorang anak
mengatakan “ gila luh” kepada orangtuanya. Apakah ia berdosa ? Perbuatan yang diharamkan
dilakukan seorang anak kepada orangtua yang secara ekplisit disebutkan di dalam Al-Qur’an
surat 17 ayat 23 adalah mengatakan “ah” (wala taqul lahuma uff = janganlah kami
mengatakan ah kepada kedua orangtuamu !” ). Mengapa kepada orangtua dilarang
mengatakan “ah” ? karena kata-kata itu menyakitkan hati, itulah illatnya. Selanjutnya kata-
kata “gila luh”, itu lebih menyakitkan lagi daripada kata-kata “ah”, maka mengatakan “gila
luh” kepada orangtua, hukumnya lebih haram lagi.
b. Istihsan (stihsan = minta yang terbaik) ialah menetapkan hukum sesuatu yang belum jelas
dengan cara memilih satu di antara alternatif yang ada dengan pertimbangan mana yang
paling ringan keburukannya. Contoh : Seorang anak perempuan dipaksa menikah dengan pria
pilihan ibunya yang sama sekali tidak dicintainya, padahal ia sudah mempunyai calon suami
pilihannya sendiri. Ibunya mengancam :”Kalau kamu tidak mau ikut pilihan mamah, jangan
panggil aku mamah. Jika aku mati, aku tak sudi kamu mengantarkan jenazahku !”. Anak
perempuan itu, bisa meminta hasil ijtihad seorang ulama. Melalui analisis terhadap sejumlah
ayat Al-Qir’an dan hadits, serta dengan mengingat, menimbang, memperhatikan, dan
memutuskan. Semuanya dievaluasi mana baiknya dan apa buruknya. Mana yang paling
sedikit buruknya itulah yang akan dipilih sebagai keputusan akhir. Contoh lain soal donor
mata.
c. Mashalihul mursalah : ialah menetapkan hukum sesuatu yang belum jelas, dengan dasar
penetapannya adalah dampak baik dan buruk bagi orang banyak, akibat perbuatannya itu.
Misalnya : Larangan mendirikan bangunan / rumah di kawasan hutan serapan air. Pihak
Pemerintah Daerah berhak melarang pembuatan rumah tersebut, dengan pertimbangan bahwa,
kalau wilayah itu dijadikan lahan pembangunan, maka akan mengakibatkan kekeringan ke
wilayah kota yang datar.
d. Ijmak, yaitu menetapkan hukum yang belum jelas melalui musyawarah guna mencapai
kesepakatan pemikiran para ulama. Misalnya, dengan melihat eksistensi PBB yang
didominasi oleh Amerika Serikat, apakah negara kita masih perlu menjadi anggota PBB atau
lebih baik keluar ? Keputusannya segenap ulama ini dinamakan ijmak. Jadi Ijmak merupakan
ijtihad kolektif.
Ada dua macam ijmak, yakni keputusannya dihasilkan melalui adu pendapat dan penjelasan-
penjelasan (bayan) para ulama dalam suatu forum musyawarah terbuka. Inilah yang disebut dengan
Ijmak Bayany, ijmak qauly atau ijmak hakiki . Bisa jadi kesepakatan ini hanya bersikap no coment
terhadap lontaran ide, gagasan, hukum yang diketengahkan oleh seorang ulama. Dalam hal ini para
ulama tidak menerima dan tidak menolak dengan jelas melainkan hanya diam (sukut). Ini disebut
Ijmak Sukuti (bersikap diam dianggap setuju). Akan tetapi diamnya seseorang bisa saja bukan
sebagai tanda setuju melainkan karena rasa takut bicara. Jika demikian, diam sebagai tanda setuju
dianggap kebenaran relatif atau ijmak nisbi.
MUKHTASHAR
SEPUTAR IJTIHAD
1. HAKIKAT : Hakikat ijtihad ialah mengerahkan segenap kemampuan akademis untuk
menetapkan hukum sesuatu yang belum jelas, melalui serangkaian analisis terhadap
ayat Alqur’an dan hadits yang implisit, sehingga mendapatkan kesimpulan tentang
hukum sesuatu yang dicari.
4. URGENSI : Keberadaan Ijtihad sangat urgen, karena tanpa ijtihad akan banyak
persoalan keagamaan yang terus menerus tidak jelas hukumnya sehingga umat bisa
menjadi bingung.
5. OBJEK : Objek kajian ijtihad adalah seluruh persoalan agama yang belum jelas
hukumnya. Ijtihad tidak boleh mengambil objek tentang hal-hal yang sudah jelas
hukumnya tertera di dalam Alqur’an maupun hadits.
6. RUANG LINGKUP: Ruang lingkup kajian ijtihad adalah semua persoalan agama,
baik dalam lingkup akidah, syari’ah maupun akhlak.
8. SIFAT HASIL IJTIHAD : Hasil ijtihad mengandung kebenaran relatif, terikat tempat
dan waktu. Ulama yang menetapkan hukum dengan ijtihad terikat dengan hasil
ijtihadnya.
10. MADZHAB : Secara bahasa madzhab adalah pendirian, dalam makna sosiologis,
madzhab adalah perbedaan pendapat para ulama yang dipertajam dan diikuti dengan
para pengikut yang fanatik. Dalam hal ini tidak sedikit ulama yang mewajibkan umat
Islam untuk bermadzhab (memilih antara madzhab Imam Hanafi, Maliki, Syaf’i atau
Hambali), padahal tidak ada satu ayat Alqur’an dan satu hadits pun yang mewajibkan
kita bermadzhab.
11. KHILAFIYAH DAN BID’AH : Apabila ada satu atau beberapa hadits shahih
melahirkan banyak tafsiran dan pilihan, harus didiskusikan sampai diperdebatkan
mana yang paling akurat. Apabila telah melalui serangkaian perdebatan ternyata tidak
ada titik temu, maka itu disebut masalah Khilafiyah (perbedaan pendapat). Dalam hal
ini kita harus tasammuh (toleransi). Tetapi apabila amal ibadah itu tidak memiliki
landasan hadits, hadits dhaif sekalipun, tapi semata-mata hasil kreativitas seorang
ulama, maka amal ibadah itu disebut bid’ah. Termasuk ke dalam bid’ah juga adalah
amal ibadah yang ada landasan haditsnya tetapi para ulama hampir sepakat atas
kedhaifannya.
---- selesai--------