You are on page 1of 14

MAKALAH KONSEP FIQIH GAWAT DARURAT DALAM ISLAM

Disusun Oleh :

1) Muhammad Aljaz Pra Aditya (2011020056)


2) Siti Marjukoh (2011020062)
3) Muhammad Lutfi (2011020078)
4) Anugroho Farkhan D. (2011020083)
5) Arina Izzatun Jannah (2011020088)
6) Izmi Nada (2011020089)
7) Destia Aufa Anindita (2011020092)

Kelas 6 B

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN S1

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMADIYAH PURWOKERTO

Tahun Ajaran 2023

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat serta
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Makalah Fikih Kegawat
daruratan dalam islam” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada mata
kuliah Keperawatan Gawat Darurat. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan tentang fikih gawat darurat bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terimakasih kepada. Selaku dosen mata kuliah Keperawatan Gawat
Darurat yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini,
untuk itu kami mengharapkan saran dan masukan untuk perbaikan makalah ini. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca.Terimakasih.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Purwokerto 10 April 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

I. KATA PENGANTAR
II. BAB 1
A. Latar Belakang………………………………………………………….…4
III. BAB 2
A. Pengertian Fiqih……………………………………………………….…..5
B. Hukum Islam………………………………………………………………5
C. Darurat…………………………………………………………………….5
D. Konsep darurat Dalam islam ……………………………………………..7
E. Identifikasi Darurat dalam Hukum Islam…………………………………8
F. Batasan-batasan Darurat…………………………………………………..8
G. Kategori Darurat…………………………………………………………..9
H. Maslahah…………………………………………………………………10
I. Qawaid Fiqhiyyah………………………………………………………..10
J. Permasalahan hokum Dalam Darurat…………………………………….11
IV. BAB 3
A. Kesimpulan……………………………………………………………….13
B. Saran ……………………………………………………………………..13
V. DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………14

3
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fiqih atau Hukum Islam merupakan salah satu bidang studi Islam yang paling dikenal
oleh masyarakat. Hal ini antara lain karena Fiqih terkait langsung dengan kehidupan
masyarakat. Dari sejak lahir sampai dengan meninggal dunia manusia selalu berhubungan
dengan Fiqih. Fiqih adalah pengetahuan tentang hukum syara yang bersifat amaliyah yang
diperoleh dari dalil-dalil terperinci.

Kegawat daruratan merupakan suatu kejadian yang tiba-tiba menuntut tindakan segera
yang mungkin karena epidemi, kejadian alam, untuk bencana teknologi, perselisihan atau
kejadian yang disebabkan oleh manusia (WHO, 2012 dalam Putri dkk, 2019). Kondisi gawat
darurat dapat terjadi akibat dari trauma atau non trauma yang mengakibatkan henti nafas, henti
jantung, kerusakan organ dan atau perdarahan. Kegawatdaruratan bisa terjadi pada siapa saja
dan di mana saja, biasanya berlangsung secara cepat dan tiba-tiba sehingga tak seorangpun
dapat memprediksikan. Oleh sebab itu, pelayanan kedaruratan medik yang tepat dan segera
sangat dibutuhkan agar kondisi kegawatdaruratan dapat diatasi. Dengan pemahaman yang utuh
tentang konsep dasar gawat darurat, maka angka kematian dankecacatan dapat ditekan
serendah mungkin (Sudiharto, 2013 dalam Putri dkk,2019).
Salah satu tugas petugas kesehatan adalah menangani masalah kegawatdaruratan.
Walaupun begitu tidak menutup kemungkinan kondisi kegawatdaruratan tersebut dapat terjadi
di luar rumah sakit atau di daerah yang sulit dijangkau oleh petugas kesehatan sehingga peran
serta masyarakat menjadi hal penting yang dibutuhkan dalam kondisi tersebut yaitu membantu
korban sebelum ditemukan oleh petugas kesehatan (Sudiharto & Sartono, 2011 dalam
Ngirarung dkk, 2017).

4
BAB 2
LANDASAN TEORI

A. Pengertian Fiqih
Pengertian fiqih secara definitive berarti ilmu tentang syara’ yang bersifat amaliyah
(praktis) yang digali dan ditemukan dari dalil tafsili (terperinci). Sedangkan Al-Amidi
menyatakan bahwa fiqh sebagai ilmu yang membahas seperangkat hukum-hukum syara’ yang
bersifat furu’iyah yang berhasil diperoleh berdasarkan penalaran dan istidlal. Hukum
disebutkan dalam bentuk jamak untuk menjelaskan bahwa fiqh adalah ilmu tentang
seperangkat aturan-aturan yang disebut hukum.

B. Hukum Islam
Kata hukum Islam tidak ditemukan sama sekali didalam Al-Qur’an dan literature
hukum Islam. Yang ada dalam Al-Qur’an adalah kata syari’ah, fiqh, hukum Allah dan kata
yang seakar dengannya. Dengan demikian kata hukum islammerupakan istilah khas Indonesia.
Menurut Amir Syarifuddin, yang dimaksud dengan hukum Islam adalah seperangkat aturan
berdasarkan wahyu Allah dan sunnah rasul tentang tingkah laku. manusia mukalllaf yang
diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam. Sedangkan
menurut Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy yang dimaksud dengan hukum Islam yaitu: ”hasil
daya upaya para fuqaha dalam menerapkan syariat Islam sesuai dengan kebutuhan
masyarakat”. Hukum Islam itu adalah hukum yang terus hidup, sesuai dengan dinamika
masyarakat. Dia mempunyai gerak yang tetap dan perkembangan yang terus menerus.
Karenanya hukum Islam itu selalu berkembang,dan perkembangan itu merupakan tabi’at
hukum Islam yang selalu berkembang.

C. Darurat
Yang dimaksudkan dengan Dharurriyaat adalah segala sesuatu yang tidak dapat
ditnggalkan dalam kehidupan keagamaan dan kehidupan manusia, dalam arti jika ia tidak ada,
maka kehidupan didunia ini menjadi rusak, hilang kenikmatan, menghadapi siksaan diakhirat.
Termasuk yang dharuriyaat adalah masalah-masalah keimanan, aturan-aturan pokok di dalam
ibadah mahdah, memelihara diri, keturunan, harta, dan akal. Adapun yang dimaksud dengan
hajiyaat adalah sesuatu yang dibutuhkan manusia menghindari kesempitan dan menolak
kesulitan. Yang mana jika ia tidak ada, akan membuat manusia mengalami kesempitan tanpa
merusak kehidupan.Dalam kata lain kesulitan yang dialami masih memiliki keluasan dan

5
fleksibilitas. Contohnya: aturan-aturan yang berkaitan dnengan rukshah, boleh jama' dan qasar
dalam shalat bagi yang berpergian, adanya aturan wali hakim di dalam pernikahan, dll.
Dan yang dimaksud dengan tahsiniyaat adalah hal-hal yang menjadi tuntutan dari
martabat diri dan akhlak yang mulia atau yang ditunjukan untuk mendapatkan adat isitiadat
yang baik. Lingkupnya mencakup seluruh hal-hal terdahulu, berupa ibadat, mu'amalat, adat
istiadat, dan bebagai hukuman. Contohnya: aturan-aturan yang berkaitan dengan thaharah dan
ibadah-ibadah sunnah dalam ibadah mahdhah seperti, menutup aurat dengan pakaian yang
bagus dan rapi, sopan santun dalam tata cara makan dan minum, dll.
Istilah “darurat” berasal dari rahim ajaran Islam, yakni al-dlarûrah. Dalam bahasa Arab,
“darurat” bisa ditulis dengan al-dlaruurah, al-dlaaruurah, atau al-dlaaruuraa’. Kata ini akrab
dalam wacana hukum Islam, terutama dalam perbincangan ushûl al-fiqh dan qawâ’id al-fiqh.
Al-Qur’an sendiri menyebutnya dengan istilah idlthirâr (dalam Surat al-Baqarah: 173 dan al-
An’am: 119). Menurut al-Layts, kata al-dlarûrah adalah bentuk jadian dari al-idlthirâr. Secara
bahasa, dua kata ini bermakna sama, yakni suatu kebutuhan yang amat mendesak (syiddatul
luzûm), sesuatu yang tak dapat dihindari (lâ ghinâ ‘anhu), atau sesuatu yang memaksa
(alja’ahu). Menurut al-Hamawy, darurat merupakan limit akhir keterpaksaan yang jika tidak
menerjang sesuatu meski dilarang bisa mengancam jiwa (maksudnya gimana nih ?). (Hâsyiyah
al-Hamawy ‘alâ al-Asybah wa al-Nadhâ’ir li Ibn Nujaym: 108). Pendapat ini selaras dengan
sebagian pendapat dari kalangan ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.
Karena bisa mengalami ancaman jiwatu (al-khawf ‘ala al-nafs min al-halâk), maka
dalam keadaan darurat seseorang diperbolehkan untuk melakukan sesuatu yang dilarang (tubîh
al-mahdhûrât) dalam kerangka menyelamatkan jiwanya dari kematian. Di sini, ulama
bersepakat (ijma’) bahwa bangkai, darah, air kencing, dan daging babi (sesuatu yang
diharamkan oleh syara’) adalah halal bagi seseorang yang khawatir dirinya binasa akibat
kelaparan dan kehausan. Tetapi tingkat kebolehannya sekadar untuk mempertahankan
hidupnya dan “menyelamatkannya” dari kematian. Melebihi dari itu, hukumnya tetap haram
(Marâtib al-Ijmâ’: 151, al-Majmû’: IX: 39, al-Mughniy: IX: 412, Fath al-Bâri: X: 65).
Ulama sepakat, dalam keadaan darurat seseorang diperbolehkan untuk berdusta (suatu
tindakan yang diharamkan Allah). Darurat di sini contohnya adalah ketika ia didatangi oleh
seorang lalim yang akan membunuh seseorang yang sedang bersembunyi, ia boleh berbohong
untuk melindungi orang itu. Atau ada orang ingin merampas harta yang dititipkan kepadanya,
ia boleh mengatakan tak mengetahui keberadaan harta itu. Menurut para ulama, dusta demikian
sangat diperbolehkan, bahkan bisa menjadi wajib, demi menjaga jiwa dan kehidupan orang
yang terancam itu.

6
Daud al-Dhahiri juga memperbolehkan orang yang terpaksa (al-mudlthir) untuk
memakan makanan orang lain tanpa wajib menggantinya seukur menghilangkan
kedaruratannya (al-Majmû’: IX: 51). Artinya, demi menjaga jiwa dan kehidupannya yang
tengah terancam, seseorang boleh mencuri makanan orang lain untuk dimakan sebatas
menghilangkan kelaparan yang menghinggapinya.

D. Konsep Darurat dalam Islam


Menurut Al-Jurjani dalam At-Ta'rifat, kata al- dharurah berasal dari kata aldharar
(mudarat), yaitu suatu musibah yang tidak dapat dihindari. Menurut ulama Malikiyah, darurat
adalah kekhawatiran akan binasanya jiwa, baik pasti ataupun dalam perkiraan;atau khawatir
akan mengalami kematian. Dalam hal di atas tidak disyaratkan seseorang harus menunggu
sampai datang kematian, tetapi cukuplah dengan adanya kekhawatiran akan kebinasaan
sekalipun dalam tingkat perkiraan. Menurut ulama' Syafi'iah, darurat itu rasa kuatir akan
terjadinya kematian atau sakit yang menakutkan atau menjadi semakin parahnya penyakit
ataupun membuat semakin lamanya sakit.
Imam asy-Suyuthi, dalam Al-Asybâh wa an-Nazhâ’ir, mengatakan bahwa darurat
adalah sampainya seseorang pada batas ketika ia tidak memakan yang dilarang, ia akan binasa
(mati) atau mendekati binasa. Wahbah Az-Zuhaili, mendefinisikan darurat sebagai datangnya
kondisi bahaya atau kesulitan yang amat berat kepada diri manusia, yang membuat dia kuatir
akan terjanya kerusakan (dharar) atau sesuatu yang menyakiti jiwa, anggota tubuh,
kehormatan, akal, harta, dan yang bertalian dengannya. Ketika itu boleh atau tak dapat tidak
harus mengerjakan yang diharamkan, atau meninggalkan yang diwajibkan, atau menunda
waktu pelaksanaannya guna menghindari kemudharatan yang diperkirakannya dapat menimpa
dirinya selama tidak keluar dari syarat-syarat yang ditenutkan oleh syara'.
Berbagai definisi ulama mazhab empat mempunyai pengertian yang hampir sama, yaitu
kondisi terpaksa yang dikhawatirkan dapat menimbulkan kematian, atau mendekati kematian.
Dengan kata lain, semuanya mengarah pada tujuan pemeliharaan jiwa (hifzh an-nafs). Wahbah
Az-Zuhaili menilai definisi tersebut (empat madzhab) tidaklah lengkap, sebab menurutnya,
definisi darurat haruslah mencakup semua yang berakibat dibolehkannya yang haram atau
ditinggalkannya yang wajib

E. Identifikasi Darurat dalam Hukum Islam


Ada beberapa syarat yang harus terpenuhi, antara lain:

7
1) Dharurat merupakan tindakan penyelamatan diri (hifz an-nafs) akibat timbulnya
kekhawatiran yang mendalam jika hal tersebut tidak dilakukanakan menimbulkan
rusaknya salah satu bagian dari maqashid asy-syari’ah yang wajib dijaga menurut
syara’.
2) Dharurat tidak berhubungan dengan perbuatan maksiat. Larangan seorang untuk
melakukan perbuatan maksiat dalam kondisi dharurat lebih dilandasi pada sikap at-
tasamuh (toleransi) dan rukhshah (dispensasi) yang diberikan oleh Allah SWT kepada
manusia. Karena itu tidak diperkenankan rukhshah dalam perbuatan maksiat.
3) Dharurat merupakan satu-satunya alasan yang dapat menghilangkan kesulitan bagi
orang yang sedang berada dalam masalah.
4) Rukhshah hanya boleh digunakan dalam keadaan terdesak saja atau untuk mencegah
terjadinya kemadharatan.
5) Jika dapat diyakini bahwa orang yang berada dalam kondisi dharurat akan terkena
bahaya jika tidak mengambil jalan dharurat.
6) Dharurat tidak melanggar hak orang lain atau melanggar hal-hal yang telah dilarang
oleh agama.
7) Kerusakan yang timbul akibat meninggalkan perbuatan yang dilarang lebih besar
daripada kerusakan yang timbul karena melakukannya.

F. Batasan-batasan Darurat
Dalam kaitan ini Wahbah Zuhaili memberikan batasan-batasan tentang keadaan
darurat, yang dimaksudkan untuk menunjukan hukum yang boleh dipegang dan boleh pula
melanggar kaidah-kaidah yang umum dalam menetapkan yang haram dan menetapkan
yang wajib karena darurat itu. Batasan-batasan yang dimaksudkan yaitu:
1) Darurat yang dimaksud harus sudah ada bukan masih ditunggu, dengan kata lain
kekhawatiran akan kebinasaan atau hilangnya jiwa atau harta itu betul-betul ada dalam
kenyataan dan hal itu diketahui melalui dugaan kuat berdasarkan pengalaman-
pengalaman yang ada.
2) Orang yang terpaksa itu tidak punya pilihan lain kecuali melanggar perintah-perintah
atau larangan syara', atau tidak ada cara lain yang dibenarkan untuk menghindari
kemudaratan selain melanggar hukum.
3) Hendaknya, dalam keadaan adanya yang diharamkan bersama yang dibolehkan itu
(dalam keadaan-keadaan yang biasa) alasan yang dibolehkan seseorang melakukan
yang haram.

8
4) Bahwa orang yang terpaksa itu membatasi diri pada hal yang dibenarkan melakukannya
karena darurat itu dalam pandangan jumhur fuqaha pada batas yang paling rendah atau
dalam kadar semestinya, guna menghindari kemudaratan karena membolehkan yang
haram itu adalah darurat.
5) dalam keadaan darurat berobat, hendaknya yang haram itu dilakukan berdasarkan dari
diagnosa dokter yang adil dan dipercaya baik dalam masalah agama maupun ilmunya
Kebolehan berbuat atau meninggalkan seseuatu karena darurat adalah untuk
memenuhi penolakan terhadap bahaya, bukan yang lain. dalam hal ini, Wabah az-
Zuhaili membagi kepentingan manusia akan sesuatu dengan kepentingan manusia akan
sesuatu dengan 4 klasifikasi, yaitu:
1) Darurat, yaitu kepentingan manusia yang diperbolehkan menggunakan sesuatu yang
dilarang, karena kepentingan itu menempati puncak kepentingan kehidupan manusia,
bila tidak dialaksanakan maka mendatangkan kerusakan. Kondisi semacam ini
memperbolehkan segala yang diharamkan atau yang dilarang.
2) Hajah, yaitu kepentingan manusia akan sesuatu yang bila tidak dipenuhi mendatangkan
kesulitan atau mendekati kerusakan. Kondisi semacam ini tidak menghalalkan yang
haram.
3) Manfaat, yaitu kepentingan manusia untuk menciptakan kehidupan yang layak. Maka
hukum diterapkan menurut apa adanya karena kesungguhannya hukum itu
mendatangkan manfaat.
4) Fudu, yaitu kepentingan manusia hanya sekedar untuk berlebihlebihan, yang
memungkinkan mendatangkan kemaksiatan atau keharaman

G. Kategori Darurat
Kategori darurat menurut ulama klasik, yaitu :
a. Rasa lapar yang sangat dan tidak ada sesuatu yang halal yang dapat dikonsumsi
b. Adanya paksaan yang tidak bisa ditolak dan mengancam eksistensi kehidupan
c. Adanya kefakiran (Al-Razi, Al-Qurtubi dan Ibn Al-Arabi)
Kategori darurat menurut umum, yaitu :
a. Darurat makanan dan obat-obatan (dharurah al-ghiza wa ad-dawa’)
b. Darurat karena paksaan (al-ikrah)
c. Darurat karena lupa (an-nisyan)
d. Darurat karena bodoh (Al-Jahl)
e. Darurat karena adanya kesulitan (al-’usr /’umum al-balwa)

9
f. Darurat karena bepergian (Al-Safar)
g. Darurat karena sakit (al-maradh)
h. Darurat karena bawaan sejak lahir (ad-dharar ath-thabi’y)
i. Darurat karena bela diri (ad-difa’asy-syar’i)
Apabila kondisi darurat seperti ini terjadi maka membolehkan darurat ( ‫الضرورات تبيح‬
‫المحظورات‬hal-hal yang dilarang) artinya yang dilarang boleh dilakukan dan yang wajib
boleh ditinggalkan.

H. Maslahah
Maslahah adalah bagaimana manusia dapat menggapai suatu kemanfaatan dan
terhindar dari kerusakan atau mencapai kemanfaatan dengan menjaga agama, jiwa,
keturunan (harga diri) akal dan harta. Jadi maslahah mencakup hal-hal yang bersifat
dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat, sedang darurat hanya terbatas pada hal-hal yang besifat
dharuriyat saja.

I. Qawaid Fiqhiyyah
‫المشقة تجلب التيسير‬
• Kesukaran membawa kemudahan
‫إذا ضاق األمر اتسع‬/ ‫إذا اتسع األمر ضاق‬
• Jika sesuatu sempit (sulit) maka diluaskan (dimudahkan)
‫الضرورات تبيح المحظورات‬
• Darurat membolehkan hal-hal yang dilarang
‫الضرورة تقدر بقدرها‬
• Darurat disesuaikan dengan kadarnya
‫ما جاز ْلذر يبطل بزواله‬
• Seauatu yang dibolehkan karena uzur maka batal setelah uzur itu tidak ada lagi
‫الميسور ال يسقط بال ْمسور‬
• Yang mudah tidak dijatuhkan dengan adanya kesusahan
‫االضطرار اليبطل حق الغير‬
• Darurat tidak menghilangkan hak orang lain
‫الحاجة ْاْلمة‬/ ‫الخاصة تنزل منزل الضرورة‬
• Hajat umum/khusus dapat menempati posisi darurat

J. Permasalahan Hukum dalam Darurat

10
Darurat ≥ membolehkan yang dilarang atau meninggalkan yang wajib. Segala sesuatu
dapat dilakukan karena adanya darurat (memakan makanan yang diharamkan dan obat-
obatan (najis) hukumnya boleh atau wajib. Batasan kebolehan melakukan yang dilarang
karena darurat guna menjaga jiwa dari kebinasaan. Konsekuensi hukum karena adanya
kondisi darurat.

K. Tinjauan Perspektif Fikih Sayisah Terhadap Badan Penaggulangan Bencana

Al - siyasah berasal dari kata pengatur, mengendalikan, mengurus, membuat keputusan,


memerintah dan memimpin. Selanjutnya berdasarkan pengertian hatfiah, kata siyasah berarti
pemerintahan, pengembalian keputusan, pembuatan kebijakan, pengurusan, pengawasan,
perekayasaan, dan arti arti lainnya. Secara tersirat, dalam pengertian al siyasah, terkandung
dan dimensi yang berkaitan satu sama lain. Pertama tujuan yang hendak dicapai melalui proses
pengendalian, kedua cara pengendalian menuju tujuan tersebut.

Pengertian harfiah tidak menjelaskan ihwal fiqih yang sesungguhnya. Tujuanapa yang
hendak dicapai dengan pengendalian menurut fiqih siyasah. Cara yapa yang dipakai untu
mencapai tujuan tersebut menutut fiqih siyasah. Siyasah adalah segala perbuatan yang
membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kemafsadaran,
sekalipun Rasullullah tidak menetapkannya dan bahkan Allah swt, tidak menentukannya.

Pembidangan fiqih siyasah dalam kurikulum fakultas syariah dibagi dalam 4 bidang, yaitu
:

1. Fiqih siyasah dusturiyah, yang mengatur hubungan antar warga negara dengan lembaga
negara yang satudengan warga negara yang lain dalam batas administratif suatu negara.
2. Fiqih siyasah dawliyyah, yang mengatur antara warga negara dengan lembaga negara yang
satu dengan warga negara dan lembaga negara dari negara lain.
3. Fiqih siyasah maliyyah, yang mengatur hak dan kewajiban kepala negara dalam
pemasukan, pengelolaan, dan pengeluaran uang milik negara.
4. Fiqih siyasah harbiyah, yang mengatur tentang wewenang atau kekuasaan serta peraturan
pemrintahan dalam keadaan perang atau darurat.

Adapun tindakan praktis penanggulangan bencana perspektif Muhammadiyah dalam kinerja


nyata, sebagai berikut:

1) Mitigasi dan kesiapsiagaan terhadap bencana

11
Mitigasi bencana adalah tindakan pada tahap pra bencana yang tujuannya untuk
meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana.
2) Tanggap darurat
Tanggap darurat adalah sebagai serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera
pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan
meliputi kegiatan penyadaran dan evaluasi korban, harta benda, pemenuhan
kebutuhan dasar, perlindungan kelompok rentan, pengurusan pengungsi, serta
pemulihan darurat.
3) Pemulihan (Recovery) setelah bencana
Istilah recovery pasca bencana sesuai UU Nomor 24 Tahun 2007 meliputi rehabilitasi
dan rekonstruksi. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek
pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca
bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar
semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pasca bencana.

BAB 3
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

12
, Darurat adalah kekhawatiran akan binasanya jiwa, baik pasti ataupun dalam
perkiraan;atau khawatir akan mengalami kematian. Dalam hal di atas tidak disyaratkan
seseorang harus menunggu sampai datang kematian, tetapi cukuplah dengan adanya
kekhawatiran akan kebinasaan sekalipun dalam tingkat perkiraan.
Batasan-batasan Darurat Dalam kaitan ini Wahbah Zuhaili memberikan batasan-
batasan tentang keadaan darurat, yang dimaksudkan untuk menunjukan hukum yang boleh
dipegang dan boleh pula melanggar kaidah-kaidah yang umum dalam menetapkan yang
haram dan menetapkan yang wajib karena darurat itu.
Darurat membolehkan yang dilarang atau meninggalkan yang wajib. Segala sesuatu
dapat dilakukan karena adanya darurat (memakan makanan yang diharamkan dan obat-
obatan (najis) hukumnya boleh atau wajib. Batasan kebolehan melakukan yang dilarang
karena darurat guna menjaga jiwa dari kebinasaan. Konsekuensi hukum karena adanya
kondisi darurat.

B. Saran
maka penulis berharap makalah ini dapat digunakan sebagai salah satu acuan yang bisa
digunakan untuk meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan fiqih terkait dengan
keperawatan gawat darurat secara islam dan menurut para ahli. Sehingga mahasiswa dapat
belajar lebih banyak tentang gawat darurat yang sesuai syara dan fiqih.

DAFTAR PUSTAKA

Rahima S, 2018 Konsep Darurat dalam Fikih Kita

13
Rahmawati E, 2012 Konsep Kedaruratan Perspektif Hukum Islam dan Medis
Al-Qadharawi, 2007 Fiqh Maqashid Syariah, Moderasi Islam Antara Aliran Tekstual dan
Aliran Liberal
Hamsin MK, 2014 Konsep Darurat Dalam Islam Dan Masalah-Masalah Fikih Terkait
Bencana

14

You might also like