You are on page 1of 22

MAKALAH

FIKIH KONTEMPORER
“Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam II”

Disusun Oleh :

KHOERUDIN YUSUF ( 1706049 )

HASBI PAUJI ( 1706057 )

PROGRAM STUDI INFORMATIKA

SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI GARUT

2017-2018

1
KATA PENGANTAR

Seraya mengucapkan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan


Rahmat serta Hidayah-Nya, sehingga kita masih dalam keadaan sehat. Dan
khususnya, kami (penyusun) bisa menyelesaikan Makalah dengan judul ‘Fikih
Kontemporer ‘.

Makalah ini tentunya jauh dari kata sempurna tapi penulis tentunya bertujuan
untuk menjelaskan atau memaparkan point-point di makalah ini, sesuai dengan
pengetahuan yang kami peroleh, baik dari buku maupun sumber-sumber yang
lain. Semoga semuanya memberikan manfaat bagi kita. Bila ada kesalahan tulisan
atau kata-kata di dalam makalah ini, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Garut, 10 Mei 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I ...................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 1

1.3 Tujuan ....................................................................................................... 1

BAB II ..................................................................................................................... 3

PEMBAHASAN ..................................................................................................... 3

2.1 Pengertian Fiqh Kontemporer .................................................................. 3

2.2 Tujuan Fiqh Kontemporer ........................................................................ 4

2.3 Berbagai Pemikiran Islam Tentang Fiqh Kontemporer............................ 5

2.4 Ruang Lingkup Kajian fiqh Kontemporer ................................................ 6

2.5 Landasan Hukum Fiqih Kontemporer ...................................................... 9

2.5.1 Metode Ijtihad ....................................................................................... 11

2.6 Contoh fiqih kontemporer ...................................................................... 14

2.6.1 Fiqih Kontemporer Munakahat ....................................................... 14

2.6.2 Hukum Memakan Kopi Luwak ....................................................... 15

2.7 Hikmah Mempelajari Fiqih Kontemporer .............................................. 16

BAB III ................................................................................................................. 18

PENUTUP ............................................................................................................. 18

3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 18

3.2 Saran ....................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 19

ii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Akibat arus modrenisasi yang meliputi hampir sebagian besar Negara-


negara yang dihuni mayoritas umat islam. Dengan adanya arus modrenisasi
tersebut, mangakibatkan munculnya berbagai macam perubahan dalam tatanan
sosial umat islam, baik yang menyangkut Ideologi Politik, Sosial, Budaya dan
sebagainya. Berbagai perkembangan tersebut seakan-akan cenderung menjauhkan
umat dari nilai-nilai agama. Hal tersebut terjadi karena aneka prubahan tersebut
banyak melahirkan simbol-simbol sosial dan kultural yang secara eksplisit tidak
memiliki simbol keagamaan yang telah mapan, atau disebabkan kemajuan
modrenisasi tidak diimbangi dengan pembaharuan pemikiran keagamaan.

Telah mapannya sistem pemikiran barat di mayoritas negeri muslim secara


faktual lebih mudah diterima dan diamalkan apa lagi sangat didukung oleh
kekuatan yang bersifat struktural maupun kultural, namun masyarakat islam
dalam penerimaan konsepsi barat tersebut tetap merasakan adanya semacam
“kejanggalan” baik secara psikologis, sosiologis maupun politis. Tetapi karena
belum terwujudnya konsepsi islam yang lebih kotekstual, maka dengan rasa
ketidak berdayaan mereka mengikuti saja konsepsi yang tidak islami. Hal tersebut
akhirnya menggugah naluri pakar hukum islam yang lebih relevan dengan
perkembangan zaman.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian fiqh kontemporer?


2. Apa tujuan fiqh kontemporer ?
3. Bagaimana pemikiran islam tentang fiqh kontemporer ?
4. Apa saja ruang lingkup kajian fiqh kontemporer?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian fiqh kontemporer.


2. Untuk mengetahui tujuan fiqh kontemporer.

1
3. Untuk mengetahui pemikiran islam tentang fiqh kontemporer.
4. Untuk mengetahui ruang lingkup kajian fiqh kontemporer.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Fiqh Kontemporer

Fiqh menurut bahasa adalah mengetahui sesuatu dengan mengerti. Adapun


fiqh menurut istilah adalah ilmu tentang hukum syara yang bersifat amali diambil
dari dalil-dalil yang tafsili.

Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian kontemporer berarti


sewaktu, semasa, pada waktu atau masa yang sama, pada masa kini,dewasa ini.
Jadi dapat disimpulkan bahwa fiqh kontemporer adalah tentang perkembangan
pemikiran fiqh dewasa ini. Dalam hal ini yang menjadi titik acuan adalah
bagaimana tanggapan dan metodologi hukum islam dalam memberikan jawaban
terhadap masalah-masalah kontemporer.

Perkembangan kehidupan manusia selalu berjalan sesuai dengan ruang dan


waktu, dan ilmu fiqh adalah ilmu yang selalu berkembang karena tuntutan
kehidupan zaman. Fiqh adalah ilmu yang sangat penting bagi kehidupan umat
islam.

Dengan semakin berkembangnya arus informasi dan jaringan komunikasi


dunia, terjadi pulalah apa yang disebut dengan proses modernisasi. Modernisasi
tersebut melahirkan berbagai macam bentuk perubahan baik secara struktural
maupun kultural.

Perubahan struktural berarti perubahan yang hanya meliputi struktur sosial


belaka, yakni jalinan dan hubungan satu sama lain dari keseluruhan unsur sosial.
Unsur-unsur sosial yang pokok adalah kaidah-kaidah, lembaga-lembaga,
kelompok-kelompok dan lapisan sosial. Sedangkan perubahan secara kultural
lebih bersifat ideologis atau immaterial yakni perubahan nilai-nilai, pemikiran dan
sebagainya. Dalam era modernisasi dewasa ini, salah satu aspek pemikiran
yang turut mengalami tuntutan perubahan adalah di bidang hukum islam.
Mengingat hukum islam merupakan salah satu bagian ajaran agama yang

3
terpenting, maka perlu ditegaskan di sini aspek mana yang mengalami perubahan
dalam kaitannya dengan hokum islam tersebut. Karena agama dalam
pengertiannnya sebagai wahyu Tuhan tidak akan berubah, tetapi tentang
pemikiran manusia tentang ajarannya, terutama dalam hubungan dengan
penerapannya di dalam dan di tengah-tengah masyarakat yang selalu berubah.

Berdasarkan hal tersebut di atas, bahwa perubahan yang dimaksud


bukanlah perubahan secara tekstual tetapi secara kontekstual. Teks Al-Qur’an
tentunya tidak mengalai perubahan, tetapai pemahaman dan penerapannya dapat
disesuaikan dengan konteks perkembangan zaman. Karena perubanhan sosial
merupakan suatu proses kemasyarakatan yang berjalan secara terus menerus,
maka perubahan penerapan dan pemahaman ajaran islam juga harus bersifat
kontinu sepanjang zaman. Dengan demikian ialam akan tetap relevan dan actual,
serta mampu menjawab tantangan modernitas.

Pengaruh-pengaruh unsur perubahan di atas dapat menimbulkan peruhan


dalam system pemikiran islam termasuk pembaharuan dalam hokum islam.
Dengan demikian hokum islam akan tetap mampu mengembangkan dirinya sesuai
dengan tuntutan zaman (modenitas). Tanpa adanya upaya pembaharuan pemikiran
dimaksud tentu akan menimbulkan kesulitan dalam kemasyarakatan hukum
sebagai salah satu pilar masyarakat, sedangkan kehidupan masyarakat itu sendiri
senantiasa mengalami perkembangan, maka upaya pembaharuan pemahaman
hokum islam pun harus dapat mengikuti perubahan itu.

2.2 Tujuan Fiqh Kontemporer

Dr. Yusuf Qardlawi dalam salah satu kitabnya secara implisit


mengungkapkan betapa perlunya fiqh kontemporer. Dengan adanya kemajuan
yang cukup mendasar, timbul pertanyaan bagi kita, mampukah ilmu fiqh
menghadapi zaman modern?. Masih relevankah hukum islam -yang lahir 14 abad
silam- diterapkan sekarang?. Tentu saja kita, sebagai muslim, akan menjawabnya.
Hukum islam mampu menghadapi zaman, dan masih relevan untuk diterapkan
“tidak asal bicara, memang. Tapi, untuk menuju kesana, perlu syarat yang harus
dijalani secara konsekuen. Untuk merealisir tujuan penciptaan fiqh kontemporer
tersebut Qardlawi menawarkan konsep ijtihad. ijtihad yang perlu di buka kembali.

4
Manapaak-tilasi apa yang telah dilakukan ulama salaf. Dalam hal yang berkaitan
dengan hukum kemasyarakatan, kita perlu bebas madzhab.

Pandangan Prof. Said Rramadan tentang hal serupa. Semua pendapat yang
harus di timbang dengan kriteria Al-Qur’an dan As- sunnah. Dan semua manusia
sesudah Rasulullah SAW dapat berbuat keliru. Dalam segala hal dimana tidak ada
teks yang mengikat, maka pertimbangan masalah sajalah yang mengikat. dan
bahwa aturan demi maslahah dapat berubah bersama perubahan keadaan di masa,
terdahulu: “Di mana ada maslahah disanalah letak jalan Allah”. Perbedaan antara
syari’ah (Sebagaimana tercantum dalam Al-Qura’an dan As-sunnah) yang
mengikat abadi dengan dalil- dalil yang diterangkan oleh para fuqoha’ seharusnya
memeberikan pengaruh yang sangat sehat terhadap umat islam pada zaman ini.

Pernyataan diatas dapat kita ambil kesimpulan khususnya berkenaan


dengan munculnya isu fiqih kontemporer tersebut, yakni: bagaimanapu pemikiran
ulama bisa di pertanyakan kembali berdasarkan kriteria Al-Qur’an dan As-Sunnah
di sisi lain pertimbangan maslahah dapat di jadikan rujukan dalam upaya
penyesuaian fiqh dengan zaman yang berkembang. Terakhir, perbedaan antara
syari’ah dengan fiqih menjadi peluang timbulnya pengkajian fiqih kontemporer.
Demikianlah sekelumit beberapa latar belakang munculnya isu fiqih kontemporer
yang dapat penulis kemukakan.

2.3 Berbagai Pemikiran Islam Tentang Fiqh Kontemporer

Prof. Dr. Haru Nasution membagi ciri pemikiran islam ke dalam tiga
zaman, yakni zaman klasik ( abad VII-XII ) zaman ini disebut juga oleh beliau
sebagai zaman rasional, zaman pertengahan ( tradisional ) abad XIII-XVIII dan
zaman modern (kontemporer) abad XIX- . Berdasarkan kriteria di atas, fiqih
klasik yang di maksud adalah pola pemahaman fiqih abad VII-XII, sedangka fiqih
kontemporer, adalah pola pemahaman fiqih abad XIX dan seterusnya. Yang
menjadi fokus kajian disini adalah; adakah relevansinya antara pola pemahaman
fiqih kontemporer dengan fiqih klasik, lalu di mana letak relevansi pemahaman
antara kedua zaman tersebut?

5
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, metode berpikir ulama klasik terkait
langsung dengan al-qur’an dan hadist, sehingga banyak melahirkan ijtihad yang
kualitatif, hal ini banyak di contohkan oleh para sahabat nabi terutama Umar bin
Khattab. Metode berpikir itu pulalah yang di tiru oleh imam-imam mazhab fiqih
seperti imam Malik, Abu hanafiah, Syafi’i, dan ibnu hambal. Juga oleh para
mutakallimin seperti: Washil bin ‘Atha’, Abu al-huzail, Al-jubba’i, Al-asy’ari, Al-
maturidi, dan Al-ghozali.

Sedangkan pemikiran zaman pertengahan, berbeda dengan pemikiran


zaman klasik, menjadi terikat sekali dengan hasil pemikiran para ulama zaman
klasik. Ruang geraknya sempit, pemikiran rasional diganti dengan pola pemikiran
tradisional. Dalam menghadapi maslah-masalah baru mereka tidak lagi secara
langsung menggali ke al-qur’an dan hadist tetapi lebih banyak terikat denga
produk pemikiran ulama abad klasik. Sehingga orisinalitas pemikiran semakin
berkurang dan cenderung dogmatis. Maka bekulah pemikiran serta kurang mampu
beradaptasi dengan perkembangan zaman.

Corak pemikiran ini menampilkan sosok ulama islam abad pertengahan


dengan pola penalaran fiqih yang tradisional. Di zaman modern inipun masih
banyak umat islam yang terpaku dengan pola pemikiran islam abad pertengahan
tersebut hanya sebagian kecil yang sudah mulai memakai pola pemikiran rasional
zaman klasik.

2.4 Ruang Lingkup Kajian fiqh Kontemporer

Yang dimaksud dengan ruang lingkup kajian fiqih kontemporer disini


mencakup: pertama, masalah-masalah fiqih yang berhubungan dengan situasi
kontempoerer (modern). Kedua, wilayah kajian dalam alqur-an dan hadist.

1. Kajian fiqih kontemporer tersebut dapat di kategorikan ke dalam beberapa


aspek:

a) Aspek hukum keluarga, seperti: pembagian harta waris, akad via telepon,
perwakafan, nikah hamil, KB, dll.

b) Aspek ekonomi, seperti: Sistem bungan dalam bank, zakat mal dalam
perpajakan, kredit dan arisan, zakat profesi, asuransi, dll.

6
c) Aspek pidana, seperti: Hukum potong tangan, hukum pidana islam dalam
sistem nasional,dll.

d) Aspek kewanitaan, seperti: busana muslimah (jilbab), wanita karir,


kepemimpinan wanita, dll.

e) Aspek medis, seperti: pencakokan bagian organ tubuh, pembedaha mayat,


kontasepsi mantap, rekayasa genetika, pemilihan jenis kelamin, ramalan genetika,
konseling genetika, perubahan genetika, revolusi biologik, cloning, percobaan
dengan tubuh manusia, penyeberang jenis kelamin dari pria ke waniat atau
sebaliknya, kornea mata, bayi tabung, bank susu, bank darah, bank sperma,
vasektomi dan tubektomi dalam aneka variasinya, transfusi darah, insemniasi
sperma manusia dengan hewan, dll.

f) Aspek teknologi, seperti: penyembelihan hewan secara mekanis, seruan azan


atau basmalah dengan kaset, makmum kepada radio atau televisi, memberi salam
dengan bel, penggunaan hisab dengan meninggalkan rakyat, dll.

g) Aspek politik (kenegaraan) yakni tentang perdebatan sekitar istilah ‘negara


islam’ proses pemilhan pemimpin, loyalitas kepada penguasa, dsb.

h) Aspek yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah, seperti,; tabungan haji,


tayamum dengan selain tanah (debu), ibadah qurban dengan uang, menahan haid
karena demi ibadah haji, dan lain-lain.

Itulah hal-hal yang sering jadi bahan kajian di tengah-tengah masyarakat


muslim di tengah-tengah masyarakat muslim dewasa ini.

Mengenai wilayah kajian yang berkenaan dengan al-qur’an dan hadits


yang erat hubungannya dengan fiqih kontemporer, antara lain adalah masalah
metodelogi pemahaman hukum islam, yang perlu dilakukan pengakajian
mendalam lagi, persoalan histories dan sosiologis ayat-ayat al-qur’an maupu
hadist nabi, kajian tentang maqoosiduttasrii’ (tujuan hukum) dan hubungannya
dengan formalitas hukum,keterbukaan kembali pintu ijtihad, soal kemaslahatan
umum, adat istiadat masyarakat yang berlaku, tentang teori nasakh dan teori I’llat
hukum, tentang ijma’, dll.

7
Ruang lingkup kajian fiqih kontemporer tidak terlepas dari aspek material
dan formalnya hukum islam, serta mana yang permanen dalam hukum islam dan
mana yang bersifat relatif (berubah) atau ghoiruttasyri’. Kajian tentang aspek
moralitas dan formalitas hukum inilah yang menjadi ajang kajian fiqih
kontemporer ini.

Untuk meretas kebekuan fiqih dalam berinteraksi dengan dinamika


kontemporer, A. Qadri Azizi menawarkan sebelas langkah, sebagai berikut:

1) Mendahulukan sumber primer (Alqur’an dan sunnah) dalam menentukan


rujukan dan kitab induk imam madzhab dalam bermadzhab ketika berhadapan
dengan masalah hukum kontemporer.

2) Berani mengkaji pemikiran ulama atau keputusan hukum organisasi


kemasyarakatan Islam dengan pendekatan critical study dan history of ideas dan
tidak hanya terbatas pada tataran doctrinal dan dogmatis.

3) Karya ulama klasik diposisikan sebagai knowledge baik produk deduktif


maupun empirik.

4) Mempunyai sikap terbuka dengan dunia luar, baik dalam kontek iptek maupun
budaya dan gagasan pemikiran serta tidak tergesa-gesa menjastifikasi sesuatu
yang baru dengan landasan emosional.

5) Responsif terhadap permasalah yang muncul karena masyarakat ingin


mendapatkan jawaban cepat dari pakar fiqih.

6) Menawarkan pola penafsiran aktif dan proaktif, yaitu pola jawaban masalah
hukum yang mampu memberi inspirasi dan guidance untuk kehidupan yang
sedang dijalani umat Islam.

7) Ahkam al-khamsah (wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah) agar dijadikan
sebagai ajaran etika dan tata nilai di tengah kehidupan masyarakat.

8) Menjadikan ilmu fiqih sebagai ilmu hukum secara umum, yaitu kajian fiqih
dilakukan menggunakan pendekatan ilmu hukum sehingga pakar hukum umum
dapat memahami substansi fiqih dengan baik dan benar.

8
9) Kajian fiqih harus menyeimbangkan pendekatan deduktif dan induktif. Proses
deduktif adalah bagaimana memahami Alqur’an dan sunnah dengan segala
metodenya termasuk qiyas dan proses induktif adalah bagaimana memberikan
peran akal dalam porsi yang benar untuk mewujudkan hasanah di dunia dan
akhirat bagi umat Islam.

10)Menjadikan maslahah ‘ammah sebagai landasan penting dalam membangn


fiqih.

11)Menjadikan Alqur’an dan sunnah sebagai barometer dan kontrol terhadap hal-
hal ijtihadi, terutama ketika proses ijtihad itu menggunakan pendekatan induktif
dan bukan deduktif.

2.5 Landasan Hukum Fiqih Kontemporer

Sumber hukum utama dalam fikih kontemporer adalah al-Qur’an, al-


Sunnah, ijma’ dan qiyas. Pada sub bab pembahasan ini hanya memberikan
gambaran tentang landasan hukum utama dalam fikih kontemporer. Tetapi, yang
perlu dijadikan catatan adalah bahwa seluruh landasan dalil hukum mengacu pada
wahyu Allah Ta’ala yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Bahkan ijma’ pun adalah hasil
pemahaman final para mujtahid ummat Islam suatu zaman terhadap seluruh nash-
nash yang ada akan suatu hukum tertentu.

Allah Ta’ala berfirman:

ْ ‫اب تِ ْبيَا ًنا ِلك ُِل ش َْيءٍ َو ُهدًى َو َرحْ َمةً َوبُش َْرى ِل ْل ُم‬
َ‫س ِل ِمين‬ َ َ ‫علَ ْيكَ ا ْل ِكت‬
َ ‫َونَ َّز ْل َنا‬

“Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu dan
petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah
diri( ”.QS. An-Nahl: 89)

Sumber hukum ketiga setelah al-Qur’an dan al-Sunnah adalah ijma’.


Secara bahasa, ijma berkamna ‫االتفاق‬yaitu kesepakatan dan juga
bermakna ‫ العزم‬yaitu keinginan kuat.

Di antara, landasan dalil yang menunjukan bahwa ijma’ adalah hujjah adalah
firman Allah Ta’ala dalam al-Qur’an surat al-Nisa ayat 115:

9
ْ ُ‫سبِي ِل ا ْل ُمؤْ ِمنِينَ نُ َو ِل ِه َما ت َ َولَّى َون‬
‫ص ِل ِه َج َهنَّ َم‬ َ ‫سو َل ِم ْن بَ ْع ِد َما ت َ َبيَّنَ لَهُ ا ْل ُهدَى َويَتَّبِ ْع‬
َ ‫غ ْي َر‬ ُ ‫الر‬
َّ ‫ق‬ ِ ِ‫َو َم ْن يُشَاق‬
ً ‫سا َءتْ َم ِص‬
‫يرا‬ َ ‫َو‬

"Dan barangsiapa yang menentang rosul sesudah jelas kebenaran baginya serta
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa
ter-hadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali(”.QS. An Nisa’
[4]: 115)

Sisi pendalilan dari ayat ini adalah: bahwasannya Allah Ta’ala mengancam
penyelisihan dari jalan orang-orang beriman, maka jalan orang-orang yang
beriman adalah yang wajib untuk diikuti dan selainnya adalah batil yang wajib
ditinggalkan. Apa-apa yang disepakati oleh mereka adalah mutlak jalan mereka
dan itulah sebuah kebenaran mutlak maka wajib untuk diikuti dan tidak ada
makna ijma’ melainkan seperti ini yang dimaksudkan.[2]

Ayat di atas banyak dijadikan para ulama, khususnya ahli uhsul sebagai landasan
dalil bahwa ijma’ salah satu sumber hukum. Ibnu Qudamah berkata, “Dan ini
menunjukkan wajibnya mengikuti jalan-jalan orang beriman dan diharamkan
menyelisihi mereka.”[3] Maka, jika mujtahid ummat Islam telah berijma’ akan
suatu hukum tertentu, tidak boleh ada seorang pun yang menyelisihi ijma’ tersebut
karena ijma' adalah hujjah qhat’i menurut pendapat jumhur ulama.

Adapun terkait dengan sumber hukum lainnya selain al-Qur’an, al-Sunnah dan
Ijma bisa dibaca kajiannya di kitab-kitab ushul al-Fiqh yang secara khusus
menjelaskan tentang sumber hukum dalam Islam, baik sumber hukum yang
disepakati maupun yang diperselisihkan oleh para ulama.

Di sisi yang lain, bisa jadi dalam fikih kontemporer terjadi perbedaan
pendapat tentang status hukumnya di kalangan para ulama. Haja saja, yang harus
menjadi pertimbangan utama oleh setiap muslim adalah pertimbangan kekuatan
dalil dan cara berdalil.

Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang merupakan wadah musyawarah para


ulama, dan cendekiawan muslim serta menjadi pengayom bagi seluruh muslim
Indonesia adalah lembaga paling kompeten bagi pemecahan dan penjawaban

10
setiap masalah social keagamaan yang senantiasa timbul dan dihadapi masyarakat
serta telah mendapat kepercayaan penuh, baik dari masyarakat mupun dari
pemerintah.

Sejalan dengan hal tersebut, makalah ini disusun untuk memahami bagaimana
MUI memutuskan beberapa permasalahan hukum Islam, dan metode apa yang
digunakan MUI dalam memutuskan bebarapa permasalahan tersebut, serta
bagaimana istimbat tersebut jika disandingkan dengan konteks keIndonesian.

2.5.1 Metode Ijtihad

Berikut ini metode-metode ijtihad pengambilan hukum Islam:

a. Ijtihad

Secara etimologi, Ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang berarti al-
mayaqat (kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat (kesanggupan dan
kemampuan). Adapun definisi ijtihad secara terminologi adalah pengerahan segala
kesanggupan seorang faqih (pakar fiqih Islam) untuk memperoleh pengetahuan
tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’ (agama).

b. Ijma’

Secara etimologi, kata ijma’ merupaka masdar (kata benda verbal) dari kata
“ajma’a” yang artinya memutuskan dan menyepakati sesuatu, Ia juga bisa berarti
kesepakatan bulat atau konsensus, sedangkan secara terminologi Ijma’ adalah
kesepakatan (konsensus) seluruh mujtaid pada suatu masa tertentu sesudah
wafatnya Rasulullah SAW atas hukum syara’ pada suatu peristiwa

c. Qiyas

Qiyas menurut bahasa berarti menyamakan atau mengukur sesuatu dengan yang
lain, sedangkan secara istilah qiyas adalah suatu proses penyingkapan kesamaan
hukum suatu kasus yang tidak disebutkan dalam suatu nash, dengan suatu hukum
yang disebutkan dalam nash karena adanya kesamaan dalam illatnya.

d. Al-Istihsan

11
Istihsan menurut bahasa ialah menganggap baik sesuatu, sedangkan menurut
ulama Ushul (Ushuliyin) ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada
suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara', menuju
(menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu
dalil syara' yang mengharuskan untuk meninggalkannya.

e. Al-Maslahah al-Mursalah

Menurut bahasa adalah mencari kemaslahatan (yang mutlak) sedangkan menurut


ahli istilah Al-Maslahah al-Mursalah adalah suatu kemashlahatan yang tidak
mempunyai dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. Jika terdapat suatu kejadian
yang tidak ada ketentuan syari’at dan tidak ada illat yang keluar dari syara’ yang
menentukan kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu
yang sesuai dengan hukum syara’, yakni suatu ketentuan yang berdasarkan
pemeliharaan kemadorotan atau untuk menyatakan suatu manfaat, maka Al-
Maslahah al-Mursalah adalah kemashlahatan; yakni memelihara dari kemadaratan
dan menjaga kemanfaatan.

f. Istishhab

Istishhab secara harfiyah adalah mengakui adanya hubungan perkawinan.


Sedangkan menurut ulama’ Ushul adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan
sebelumnya sampai terdapat dalil-dalil yang menunjukkan perubahan keaadan,
atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal
menurut keadaannya sampai terdapat dalil yang menunjukkan perubahan.
Berdasarkan kaidah:

‫األصل في األشياء اإلباحة‬

Artinya: “Pangkal sesuatu itu adalah kebolehan”.

g. Al-‘Urf

Arti Al-‘Urf secara harfiyah adalah keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan
yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau
meninggalkannya. Dikalangan masyarakat Al-‘Urf sering disebut dengan adat.

h. Dzari’ah

12
Pengertian Dzari’ah ditinjau dari segi bahasa adalah “jalan menuju sesuatu”.
Sebagian ulama mengkhususkan pengertian Dzari’ah dengan sesuatu yang
membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemadharatan. Akan
tetapi pengertian tersebut ditentang oleh para ulama ushul lainnya, diantarany Ibn
Qayyim Aj-Jauziyah yang mengatakan bahwa Dzari’ah itu tidak hanya
menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan. Dengan
demikian, lebih tepat kalau Dzari’ah dibagi menjadi dua, yaitu sadd adz-dzari’ah
(yang dilarang), dan fath adz-dzari’ah (yang dianjurkan).

13
2.6 Contoh fiqih kontemporer

2.6.1 Fiqih Kontemporer Munakahat

Kata “munakahat” yang terdapat dalam bahasa Arab yang berasal dari
akar kata na-ka-ha, yang dalam bahasa Indonesia kawin atau perkawinan. Kata
kawin adalah terjemahan dari kata nikah dalam bahasa Indonesia. Kata menikahi
berarti mengawini, dan menikahkan sama dengan mengawinkan yang berarti
menjadikan bersuami. Dengan demikian istilah pernikahan mempunyai arti yang
sama dengan perkawinan.

A. Hukum Melihat Situs Porno agar dapat melayani suami/istri lebih baik

Keinginan Anda untuk memberikan pelayanan yang baik dan memuaskan


kepada suaminya merupakan sebuah niat yang baik. Namun, niat yang baik dan
mulia tersebut tidak boleh dilakukan dengan cara-cara yang bertentangan dengan
syariat

Menonton film porno tentu saja dilarang karena berarti melihat aurat orang
lain. Oleh sebab itu, ia termasuk dalam kategori perbuatan dosa (zina mata).
Apalagi jika melihat aurat yang sifatnya mughalladzah (kemaluan).

Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda,

“Seorang lelaki tidak boleh melihat kemaluan laki-laki dan seorang wanita tidak
boleh melihat kemaluan wanita.” (HR Muslim).

“Allah Swt. melaknat orang yang melihat aurat orang lain dan orang yang
memperlihatkan auratnya.”

Masih banyak cara lain yang bisa dilakukan untuk bisa memberikan
pelayanan kepada suami. Kebutuhan biologis hanyalah salah satu sarana saja.
Dalam hal ini seorang wanita memang perlu memperhatikan kepuasan suaminya;
namun bukan dengan segala cara. Sentuhan kasih sayang, ungkapan yang halus
dan baik, menjaga kehormatan diri dan keluarga, melaksanakan ibadah secara

14
baik, dan banyak berdoa kepada Allah merupakan sejumlah cara lain yang sangat
efektif agar keluarga tetap harmonis penuh cinta kasih.

2.6.2 Hukum Memakan Kopi Luwak

Dalam pandangan para ulama dari kalangan Madzhab Syafi‘i, apabila ada
binatang yang memakan biji kemudian biji itu keluar dari perutnya dalam keadaan
utuh, maka dalam konteks ini perlu dilihat.
Apabila kekerasan biji tersebut masih tetap terjaga sehingga sekiranya
ditanam bisa tumbuh, maka status hukum biji tersebut adalah suci akan tetapi
wajib dicuci bagian luarnya karena bersentuhan dengan najis.

ُ ‫ص ََلبَتُهُ بَاقِيَةً بَ َحي‬


‫ْث لَ ْو‬ ْ ‫ص ِحي ًحا فَا ِْن كَان‬
َ ‫َت‬ ْ َ‫ت ْالبَ ِهي َمةُ َحبًّا َوخ ََر َج ِم ْن ب‬
َ ‫ط ِن َها‬ ْ َ ‫قَا َل أ‬
ِ َ‫ص َحابُنَا َر ِح َم ُه ُم هللاِ إِذَا ا َ َكل‬
َ ‫طاه َِرة ٌ لَ ِك ْن يَ ِجبُ َغ ْس ُل‬
َ ‫ظاه ِِر ِه ِل ُم ََلقَاةِ النَّ َجا‬
‫س ِة‬ َ ُ‫ع نَبَتَ َفعَ ْينُه‬
َ ‫ُز ِر‬

Artinya, “Para sahabat kami rahimahumullah (para ulama dari kalangan


Madzhab Syafi‘i) berpendapat bahwa apabila seekor binatang memakan biji
kemudian biji tersebut keluar dari perutnya dalam keadaan masih utuh. Dalam
konteks ini apabila kekerasannya masih tetap di mana sekiranya ditanam akan
tumbuh, maka biji tersebut adalah suci, akan tetapi harus dicuci permukaan atau
bagian luarnya karena bersentuhan dengan najis,” (Lihat Muhayiddin Syarf An-
Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Jeddah, Maktabah Al-Irsyad, juz II,
halaman 591).
Jika pandangan yang dikemukakan Imam Nawawi ini kita tarik dalam
konteks pertanyaan di atas, maka pandangan ini mengandaikan, bahwa biji kopi
yang dimakan luwak kemudian keluar lagi melalui duburnya, dan sepanjang
kekerasannya masih tetap dan bisa ditanam kembali, maka masuk kategori barang
suci yang terkena najis (mutanajjis) di mana bagian luarnya terkena najis sehingga
bisa disucikan dengan cara dicucinya, sedang bagian dalamnya tidak najis.
Argumentasi rasional yang dibangun untuk meneguhkan pandangan ini
adalah bahwa meskipun biji adalah makanan bagi binatang, namun biji tersebut
tidak mengalami kerusakan. Hal ini sama dengan binatang yang menelan biji
kemudian bijinya keluar. Bagian dalam biji tersebut adalah suci, sedang kulitnya
adalah najis dan bisa suci dengan dicuci.

15
Berbeda kasusnya binatang menelan biji kemudian bijinya keluar namun
kekerasannya telah hilang sehingga sekiranya ditanam tidak akan tumbuh, maka
dalam konteks ini biji tersebut statusnya adalah najis.

ْ ‫طاه ٌِر َو َي‬


‫ط ُه ُر‬ َ ‫اطنِ َها‬ ْ ‫ار َك َما لَ ِو ا ْبتَلَ َع ن ََواة ً َوخ ََر َج‬
ِ َ‫ت فَا َِّن ب‬ َ ‫ص‬َ َ‫سا ِد ف‬َ َ‫ار ِغذَا ًءا لَ َها فَ َما تَغَي ََّر ِإلَى ْالف‬
َ ‫ص‬َ ‫ِِلَنَّهُ َوا ِْن‬
ْ ‫ع لَ ْم يَ ْنب‬
ٌ ‫ُت فَ ُه َو ن َِج‬
‫س‬ َ ‫ْث لَ ْو ُز ِر‬
ُ ‫ت ِب َحي‬ْ َ‫ص ََلبَتُهُ قَدْ زَ ال‬َ ‫َت‬ ْ ‫قَ ْش ُرهَا ِب ْالغَ ْس ِل َوا ِْن كَان‬

Artinya, “Sebab, kendatipun biji tersebut adalah makanan binatang namun tidak
menjadi rusak. Karenanya menjadi seperti binatang yang menelan biji kemudian
biji keluar (dari duburnya, penerjemah), maka bagian dalam biji tersebut adalah
suci dan kulitnya menjadi suci dengan dicuci. Berbeda jika kekerasan biji tersebut
telah hilang, di mana sekiranya ditanam tidak akan tumbuh, maka biji tersebut
adalah najis,” (Lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul
Muhadzdzab, juz II, halaman 591).

2.7 Hikmah Mempelajari Fiqih Kontemporer

1. Menjadi pondasi dalam berijtihad


Para Ulama emutuskan hukum syara’ atau perkara-perkara yang tidak ada dalilnya
dalam Al-quran dan Al-hadist. Tentunya dalam berijtihad tidak boleh dilakukan
secara sembarangan. Sebab nantinya hasil ijtihad ini akan digunakan oleh
masyarakat sebagai landasan hukum. Dengan demikian, pembentukan hukum
islam bisa lebih mendekati kebenaran.

2. Menerapkan kaidah islam secara benar

Pada dasarnya, hukum ilmu fiqih bersumber pada Al-quran, hadist, ijma’ dan
qiyas. Seseorang yang sanggup mempelajari hal tersebut secara terperinci
tentunya ia akan memiliki pengetahuan luas terhadap dalil-dalil islam. Dengan
demikian, ia pun dapat menerapakan kaidah islam secara benar.

3. Meningkatkan keimanan

Mempelajari ilmu fiqh kontemporer tidak hanya mengembangkan ilmu


pengetahuan saja, tapi juga bisa meningkatkan keimanan. Semakin kita
mendalami konsep Al-quran dan Al-hadist maka iman tentu akan semakin kuat.

16
4. Memperkuat ketaqwaan

Selain meningkatkan iman, mempelajari ushul fiqih juga memperkuat takwa. Kita
semakin mengetahui tentang dalil-dalil yang benar dan salah, mendalami tentang
hukum Allah Ta’ala. Dengan demikian, akan muncul rasa takut bila durhaka
kepada Allah. Hal ini bisa membuat ketaqwaan semakin meningkat.

5. Meluruskan penyimpangan-penyimpangan di masyarakat

Selanjutnya, dengan mempelajari fiqh kontemporer bisa membantu mengatasi


penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di masyarakat pada masa kini.

17
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Latar belakang munculnya isu Fiqh kontemporer yaitu akibat adanya arus
modernisasi yang meliputi hampir sebagian besar Negara- Negara yang dihuni
oleh mayoritas umat islam. Modernisasi tersebut melahirkan berbagai macam
bentuk perubahan baik secara struktural maupun kultural.
Dapatlah kita kemukakan bahwa persoalan fiqih kontemporer di masa akan
datang lebih komplit lagi dibanding yang kita hadapi hari ini. Hal tersebut
disebabkan arus perkembangan zaman yang berdampak kepada semakin
terungkapnya berbagai persoalan umat manusia, baik hubungan antara sesama
maupun dengan kehidupan alam sekitarnya.Kompleksitas masalah tersebut
tentunya akan membutuhkan pemecahan masalah berdasarkan nilai-nilai agama.
Disinilah letak betapa pentingnya rumusan ideal moral maupun formal dari fiqih
kontemporer tersebut, yang tidak lain bertujuan untuk menjaga keutuhan nilai
ketuhanan, kemanusiaan dan kealaman, terutama yang menyangkut dengan aspek
lahiriyah kehidupan manusia di dunia ini.
Teks Al-Qur’an tentunya tidak mengalai perubahan, tetapi pemahaman dan
penerapannya dapat disesuaikan dengan konteks perkembangan zaman. Karena
perubanhan sosial merupakan suatu proses kemasyarakatan yang berjalan secara
terus menerus, maka perubahan penerapan dan pemahaman ajaran islam juga
harus bersifat kontinu sepanjang zaman. Dengan demikian islam akan tetap
relevan dan aktual, serta mampu menjawab tantangan modernitas.

3.2 Saran

Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya


penulis akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas
dengan sumber - sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di pertanggung
jawabkan.

18
DAFTAR PUSTAKA

19

You might also like