Professional Documents
Culture Documents
FIKIH KONTEMPORER
“Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam II”
Disusun Oleh :
2017-2018
1
KATA PENGANTAR
Makalah ini tentunya jauh dari kata sempurna tapi penulis tentunya bertujuan
untuk menjelaskan atau memaparkan point-point di makalah ini, sesuai dengan
pengetahuan yang kami peroleh, baik dari buku maupun sumber-sumber yang
lain. Semoga semuanya memberikan manfaat bagi kita. Bila ada kesalahan tulisan
atau kata-kata di dalam makalah ini, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
BAB II ..................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 3
PENUTUP ............................................................................................................. 18
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.3 Tujuan
1
3. Untuk mengetahui pemikiran islam tentang fiqh kontemporer.
4. Untuk mengetahui ruang lingkup kajian fiqh kontemporer.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
terpenting, maka perlu ditegaskan di sini aspek mana yang mengalami perubahan
dalam kaitannya dengan hokum islam tersebut. Karena agama dalam
pengertiannnya sebagai wahyu Tuhan tidak akan berubah, tetapi tentang
pemikiran manusia tentang ajarannya, terutama dalam hubungan dengan
penerapannya di dalam dan di tengah-tengah masyarakat yang selalu berubah.
4
Manapaak-tilasi apa yang telah dilakukan ulama salaf. Dalam hal yang berkaitan
dengan hukum kemasyarakatan, kita perlu bebas madzhab.
Pandangan Prof. Said Rramadan tentang hal serupa. Semua pendapat yang
harus di timbang dengan kriteria Al-Qur’an dan As- sunnah. Dan semua manusia
sesudah Rasulullah SAW dapat berbuat keliru. Dalam segala hal dimana tidak ada
teks yang mengikat, maka pertimbangan masalah sajalah yang mengikat. dan
bahwa aturan demi maslahah dapat berubah bersama perubahan keadaan di masa,
terdahulu: “Di mana ada maslahah disanalah letak jalan Allah”. Perbedaan antara
syari’ah (Sebagaimana tercantum dalam Al-Qura’an dan As-sunnah) yang
mengikat abadi dengan dalil- dalil yang diterangkan oleh para fuqoha’ seharusnya
memeberikan pengaruh yang sangat sehat terhadap umat islam pada zaman ini.
Prof. Dr. Haru Nasution membagi ciri pemikiran islam ke dalam tiga
zaman, yakni zaman klasik ( abad VII-XII ) zaman ini disebut juga oleh beliau
sebagai zaman rasional, zaman pertengahan ( tradisional ) abad XIII-XVIII dan
zaman modern (kontemporer) abad XIX- . Berdasarkan kriteria di atas, fiqih
klasik yang di maksud adalah pola pemahaman fiqih abad VII-XII, sedangka fiqih
kontemporer, adalah pola pemahaman fiqih abad XIX dan seterusnya. Yang
menjadi fokus kajian disini adalah; adakah relevansinya antara pola pemahaman
fiqih kontemporer dengan fiqih klasik, lalu di mana letak relevansi pemahaman
antara kedua zaman tersebut?
5
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, metode berpikir ulama klasik terkait
langsung dengan al-qur’an dan hadist, sehingga banyak melahirkan ijtihad yang
kualitatif, hal ini banyak di contohkan oleh para sahabat nabi terutama Umar bin
Khattab. Metode berpikir itu pulalah yang di tiru oleh imam-imam mazhab fiqih
seperti imam Malik, Abu hanafiah, Syafi’i, dan ibnu hambal. Juga oleh para
mutakallimin seperti: Washil bin ‘Atha’, Abu al-huzail, Al-jubba’i, Al-asy’ari, Al-
maturidi, dan Al-ghozali.
a) Aspek hukum keluarga, seperti: pembagian harta waris, akad via telepon,
perwakafan, nikah hamil, KB, dll.
b) Aspek ekonomi, seperti: Sistem bungan dalam bank, zakat mal dalam
perpajakan, kredit dan arisan, zakat profesi, asuransi, dll.
6
c) Aspek pidana, seperti: Hukum potong tangan, hukum pidana islam dalam
sistem nasional,dll.
7
Ruang lingkup kajian fiqih kontemporer tidak terlepas dari aspek material
dan formalnya hukum islam, serta mana yang permanen dalam hukum islam dan
mana yang bersifat relatif (berubah) atau ghoiruttasyri’. Kajian tentang aspek
moralitas dan formalitas hukum inilah yang menjadi ajang kajian fiqih
kontemporer ini.
4) Mempunyai sikap terbuka dengan dunia luar, baik dalam kontek iptek maupun
budaya dan gagasan pemikiran serta tidak tergesa-gesa menjastifikasi sesuatu
yang baru dengan landasan emosional.
6) Menawarkan pola penafsiran aktif dan proaktif, yaitu pola jawaban masalah
hukum yang mampu memberi inspirasi dan guidance untuk kehidupan yang
sedang dijalani umat Islam.
7) Ahkam al-khamsah (wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah) agar dijadikan
sebagai ajaran etika dan tata nilai di tengah kehidupan masyarakat.
8) Menjadikan ilmu fiqih sebagai ilmu hukum secara umum, yaitu kajian fiqih
dilakukan menggunakan pendekatan ilmu hukum sehingga pakar hukum umum
dapat memahami substansi fiqih dengan baik dan benar.
8
9) Kajian fiqih harus menyeimbangkan pendekatan deduktif dan induktif. Proses
deduktif adalah bagaimana memahami Alqur’an dan sunnah dengan segala
metodenya termasuk qiyas dan proses induktif adalah bagaimana memberikan
peran akal dalam porsi yang benar untuk mewujudkan hasanah di dunia dan
akhirat bagi umat Islam.
11)Menjadikan Alqur’an dan sunnah sebagai barometer dan kontrol terhadap hal-
hal ijtihadi, terutama ketika proses ijtihad itu menggunakan pendekatan induktif
dan bukan deduktif.
ْ اب تِ ْبيَا ًنا ِلك ُِل ش َْيءٍ َو ُهدًى َو َرحْ َمةً َوبُش َْرى ِل ْل ُم
َس ِل ِمين َ َ علَ ْيكَ ا ْل ِكت
َ َونَ َّز ْل َنا
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu dan
petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah
diri( ”.QS. An-Nahl: 89)
Di antara, landasan dalil yang menunjukan bahwa ijma’ adalah hujjah adalah
firman Allah Ta’ala dalam al-Qur’an surat al-Nisa ayat 115:
9
ْ ُسبِي ِل ا ْل ُمؤْ ِمنِينَ نُ َو ِل ِه َما ت َ َولَّى َون
ص ِل ِه َج َهنَّ َم َ سو َل ِم ْن بَ ْع ِد َما ت َ َبيَّنَ لَهُ ا ْل ُهدَى َويَتَّبِ ْع
َ غ ْي َر ُ الر
َّ ق ِ َِو َم ْن يُشَاق
ً سا َءتْ َم ِص
يرا َ َو
"Dan barangsiapa yang menentang rosul sesudah jelas kebenaran baginya serta
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa
ter-hadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali(”.QS. An Nisa’
[4]: 115)
Sisi pendalilan dari ayat ini adalah: bahwasannya Allah Ta’ala mengancam
penyelisihan dari jalan orang-orang beriman, maka jalan orang-orang yang
beriman adalah yang wajib untuk diikuti dan selainnya adalah batil yang wajib
ditinggalkan. Apa-apa yang disepakati oleh mereka adalah mutlak jalan mereka
dan itulah sebuah kebenaran mutlak maka wajib untuk diikuti dan tidak ada
makna ijma’ melainkan seperti ini yang dimaksudkan.[2]
Ayat di atas banyak dijadikan para ulama, khususnya ahli uhsul sebagai landasan
dalil bahwa ijma’ salah satu sumber hukum. Ibnu Qudamah berkata, “Dan ini
menunjukkan wajibnya mengikuti jalan-jalan orang beriman dan diharamkan
menyelisihi mereka.”[3] Maka, jika mujtahid ummat Islam telah berijma’ akan
suatu hukum tertentu, tidak boleh ada seorang pun yang menyelisihi ijma’ tersebut
karena ijma' adalah hujjah qhat’i menurut pendapat jumhur ulama.
Adapun terkait dengan sumber hukum lainnya selain al-Qur’an, al-Sunnah dan
Ijma bisa dibaca kajiannya di kitab-kitab ushul al-Fiqh yang secara khusus
menjelaskan tentang sumber hukum dalam Islam, baik sumber hukum yang
disepakati maupun yang diperselisihkan oleh para ulama.
Di sisi yang lain, bisa jadi dalam fikih kontemporer terjadi perbedaan
pendapat tentang status hukumnya di kalangan para ulama. Haja saja, yang harus
menjadi pertimbangan utama oleh setiap muslim adalah pertimbangan kekuatan
dalil dan cara berdalil.
10
setiap masalah social keagamaan yang senantiasa timbul dan dihadapi masyarakat
serta telah mendapat kepercayaan penuh, baik dari masyarakat mupun dari
pemerintah.
Sejalan dengan hal tersebut, makalah ini disusun untuk memahami bagaimana
MUI memutuskan beberapa permasalahan hukum Islam, dan metode apa yang
digunakan MUI dalam memutuskan bebarapa permasalahan tersebut, serta
bagaimana istimbat tersebut jika disandingkan dengan konteks keIndonesian.
a. Ijtihad
Secara etimologi, Ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang berarti al-
mayaqat (kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat (kesanggupan dan
kemampuan). Adapun definisi ijtihad secara terminologi adalah pengerahan segala
kesanggupan seorang faqih (pakar fiqih Islam) untuk memperoleh pengetahuan
tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’ (agama).
b. Ijma’
Secara etimologi, kata ijma’ merupaka masdar (kata benda verbal) dari kata
“ajma’a” yang artinya memutuskan dan menyepakati sesuatu, Ia juga bisa berarti
kesepakatan bulat atau konsensus, sedangkan secara terminologi Ijma’ adalah
kesepakatan (konsensus) seluruh mujtaid pada suatu masa tertentu sesudah
wafatnya Rasulullah SAW atas hukum syara’ pada suatu peristiwa
c. Qiyas
Qiyas menurut bahasa berarti menyamakan atau mengukur sesuatu dengan yang
lain, sedangkan secara istilah qiyas adalah suatu proses penyingkapan kesamaan
hukum suatu kasus yang tidak disebutkan dalam suatu nash, dengan suatu hukum
yang disebutkan dalam nash karena adanya kesamaan dalam illatnya.
d. Al-Istihsan
11
Istihsan menurut bahasa ialah menganggap baik sesuatu, sedangkan menurut
ulama Ushul (Ushuliyin) ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada
suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara', menuju
(menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu
dalil syara' yang mengharuskan untuk meninggalkannya.
e. Al-Maslahah al-Mursalah
f. Istishhab
g. Al-‘Urf
Arti Al-‘Urf secara harfiyah adalah keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan
yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau
meninggalkannya. Dikalangan masyarakat Al-‘Urf sering disebut dengan adat.
h. Dzari’ah
12
Pengertian Dzari’ah ditinjau dari segi bahasa adalah “jalan menuju sesuatu”.
Sebagian ulama mengkhususkan pengertian Dzari’ah dengan sesuatu yang
membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemadharatan. Akan
tetapi pengertian tersebut ditentang oleh para ulama ushul lainnya, diantarany Ibn
Qayyim Aj-Jauziyah yang mengatakan bahwa Dzari’ah itu tidak hanya
menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan. Dengan
demikian, lebih tepat kalau Dzari’ah dibagi menjadi dua, yaitu sadd adz-dzari’ah
(yang dilarang), dan fath adz-dzari’ah (yang dianjurkan).
13
2.6 Contoh fiqih kontemporer
Kata “munakahat” yang terdapat dalam bahasa Arab yang berasal dari
akar kata na-ka-ha, yang dalam bahasa Indonesia kawin atau perkawinan. Kata
kawin adalah terjemahan dari kata nikah dalam bahasa Indonesia. Kata menikahi
berarti mengawini, dan menikahkan sama dengan mengawinkan yang berarti
menjadikan bersuami. Dengan demikian istilah pernikahan mempunyai arti yang
sama dengan perkawinan.
A. Hukum Melihat Situs Porno agar dapat melayani suami/istri lebih baik
Menonton film porno tentu saja dilarang karena berarti melihat aurat orang
lain. Oleh sebab itu, ia termasuk dalam kategori perbuatan dosa (zina mata).
Apalagi jika melihat aurat yang sifatnya mughalladzah (kemaluan).
“Seorang lelaki tidak boleh melihat kemaluan laki-laki dan seorang wanita tidak
boleh melihat kemaluan wanita.” (HR Muslim).
“Allah Swt. melaknat orang yang melihat aurat orang lain dan orang yang
memperlihatkan auratnya.”
Masih banyak cara lain yang bisa dilakukan untuk bisa memberikan
pelayanan kepada suami. Kebutuhan biologis hanyalah salah satu sarana saja.
Dalam hal ini seorang wanita memang perlu memperhatikan kepuasan suaminya;
namun bukan dengan segala cara. Sentuhan kasih sayang, ungkapan yang halus
dan baik, menjaga kehormatan diri dan keluarga, melaksanakan ibadah secara
14
baik, dan banyak berdoa kepada Allah merupakan sejumlah cara lain yang sangat
efektif agar keluarga tetap harmonis penuh cinta kasih.
Dalam pandangan para ulama dari kalangan Madzhab Syafi‘i, apabila ada
binatang yang memakan biji kemudian biji itu keluar dari perutnya dalam keadaan
utuh, maka dalam konteks ini perlu dilihat.
Apabila kekerasan biji tersebut masih tetap terjaga sehingga sekiranya
ditanam bisa tumbuh, maka status hukum biji tersebut adalah suci akan tetapi
wajib dicuci bagian luarnya karena bersentuhan dengan najis.
15
Berbeda kasusnya binatang menelan biji kemudian bijinya keluar namun
kekerasannya telah hilang sehingga sekiranya ditanam tidak akan tumbuh, maka
dalam konteks ini biji tersebut statusnya adalah najis.
Artinya, “Sebab, kendatipun biji tersebut adalah makanan binatang namun tidak
menjadi rusak. Karenanya menjadi seperti binatang yang menelan biji kemudian
biji keluar (dari duburnya, penerjemah), maka bagian dalam biji tersebut adalah
suci dan kulitnya menjadi suci dengan dicuci. Berbeda jika kekerasan biji tersebut
telah hilang, di mana sekiranya ditanam tidak akan tumbuh, maka biji tersebut
adalah najis,” (Lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul
Muhadzdzab, juz II, halaman 591).
Pada dasarnya, hukum ilmu fiqih bersumber pada Al-quran, hadist, ijma’ dan
qiyas. Seseorang yang sanggup mempelajari hal tersebut secara terperinci
tentunya ia akan memiliki pengetahuan luas terhadap dalil-dalil islam. Dengan
demikian, ia pun dapat menerapakan kaidah islam secara benar.
3. Meningkatkan keimanan
16
4. Memperkuat ketaqwaan
Selain meningkatkan iman, mempelajari ushul fiqih juga memperkuat takwa. Kita
semakin mengetahui tentang dalil-dalil yang benar dan salah, mendalami tentang
hukum Allah Ta’ala. Dengan demikian, akan muncul rasa takut bila durhaka
kepada Allah. Hal ini bisa membuat ketaqwaan semakin meningkat.
17
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Latar belakang munculnya isu Fiqh kontemporer yaitu akibat adanya arus
modernisasi yang meliputi hampir sebagian besar Negara- Negara yang dihuni
oleh mayoritas umat islam. Modernisasi tersebut melahirkan berbagai macam
bentuk perubahan baik secara struktural maupun kultural.
Dapatlah kita kemukakan bahwa persoalan fiqih kontemporer di masa akan
datang lebih komplit lagi dibanding yang kita hadapi hari ini. Hal tersebut
disebabkan arus perkembangan zaman yang berdampak kepada semakin
terungkapnya berbagai persoalan umat manusia, baik hubungan antara sesama
maupun dengan kehidupan alam sekitarnya.Kompleksitas masalah tersebut
tentunya akan membutuhkan pemecahan masalah berdasarkan nilai-nilai agama.
Disinilah letak betapa pentingnya rumusan ideal moral maupun formal dari fiqih
kontemporer tersebut, yang tidak lain bertujuan untuk menjaga keutuhan nilai
ketuhanan, kemanusiaan dan kealaman, terutama yang menyangkut dengan aspek
lahiriyah kehidupan manusia di dunia ini.
Teks Al-Qur’an tentunya tidak mengalai perubahan, tetapi pemahaman dan
penerapannya dapat disesuaikan dengan konteks perkembangan zaman. Karena
perubanhan sosial merupakan suatu proses kemasyarakatan yang berjalan secara
terus menerus, maka perubahan penerapan dan pemahaman ajaran islam juga
harus bersifat kontinu sepanjang zaman. Dengan demikian islam akan tetap
relevan dan aktual, serta mampu menjawab tantangan modernitas.
3.2 Saran
18
DAFTAR PUSTAKA
19