You are on page 1of 17

TARIKH TASYRI’

TASYRI’ PADA MASA AL-KHULAFAH AL-RASYIDIN

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Tarikh Tasyri’

Dosen Pengampuh :

Linda Wahyuni, M.H

Disusun Oleh :

RIYANTI 2323150037

DHAFA RIDHA ILAHI 2323150029

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI FATMAWATI SUKARNO BENGKULU

TAHUN 2024
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Tarikh Tasyri’
yang berjudul “ Tasyri’ pada masa al-khulafah al-rasyidin ” dengan baik dan tepat
waktu.

Makalah ini disusun untuk membantu mengembangkan kemampuan pemahaman


pembaca terhadap bagaimana kondisi tasyri’ pada masa al-khulafah al-rasyidin, apa saja
yang menjadi sumber tasyri’ pada masa al-khulafah al-rasyidin, dan apa sebab-sebab
timbulnya perbedaan pendapat dikalangan sahabat. Pemahaman tersebut dapat dipahami
melalui pendahuluan, pembahasan masalah, serta penarikkan garis kesimpulan dalam
makalah ini dan sebagai tugas Tarikh Tasyri’

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dosen mata kuliah Tarikh
Tasyri’ Ibu Linda wahyuni, M.H yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk menyusun makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Saran, kritik dan masukan
sangat penulis harapkan dari seluruh pihak dalam proses membangun mutu makalah ini.

Bengkulu, 11 Maret 2024

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................ii

DAFTAR ISI.............................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 4

1.1 Latar belakang...................................................................................................... 4


1.2 Rumusan Masalah................................................................................................ 5
1.3 Tujuan Penulisan.................................................................................................. 5

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................... 6

2.1 Kondisi Tasyri’ pada masa al-khulafah al-rayidin dan faktor penyebab
perkembangannya................................................................................................ 6
2.2 Sumber-sumber Tasyri’ pada masa al-khulafah al-rasyidin.................................10
2.3 Sebab-sebab timbulnya perbedaan pendapat dikalangan sahabat........................12
BAB III PENUTUP..................................................................................................16

3.1 Kesimpulan..........................................................................................................16

3.2 Saran.....................................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................17

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada masa dimana wafatnya rasul suatu kereta pemerintahan mulai di kendalikan
oleh sahabat-sahabatnya. Memang diakui atau tidak fakta sejarah mengatakan bahwa
rasul tidak pernah menunjuk seorang pun sebagai pengganti beliau dalam roda
kepemimpinan pemerintahan Islam. Akan tetapi, sumbang kepedulian sahabat pada
tatanan Islam yang memang sudah dibentuk sedemikian rupa oleh rasulullah, mereka
mulai berfikir bagaimana supaya agar tatanan Islam yang memang sudah dibentuk tidak
pudar dan tetap langgeng. Dari situ, sahabat mulai memilih salah satu sahabat dan Abu
Bakarlah yang pertama terpilih sebagai khalifah pertama disusul kemudian oleh Umar
Bin Khathab, Utsman Bin Affan, dan yang terakhir adalah Ali Bin Abi Tholib.
Sahabat adalah sebagai generasi Islam pertama, yang meneruskan ajaran dan misi
kerasulan, dimana ia dalam menentukan hukum Islam selalu berpegang pada fatwa rasul
yang telah ada. Akan tetapi dari satu sisi itu pula sahabat menemukan yang memang
dalam fatwa rasul tidak ada, mereka berupaya untuk berijtihad tetapi masih dalam
takaran syariat keislaman yang di sandarkan pada Al-Quran dan Al-Hadits.
Tasyri’ pada masa sahabat sudah dimulai oleh nuansa politik, dimana suatu
penetapan hukum juga sudah berbau politik. Dimana dulu ketika rasul masih hidup
semua permasalahan langsung di pertanyakan pada rasul. Dan mungkin pula ada banyak
perbedaan penentuan hukum melihat pada tatanan sosial politik kala itu.

4
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana kondisi tasyri’ pada masa al-khulafah al-rasyidin, dan faktor-faktor
penyebab perkembangannya?
2. Apa saja yang menjadi sumber tasyri’ pada masa al-khulafah al-rasyidin?
3. Apakah sebab-sebab timbulnya perbedaan pendapat di kalangan sahabat?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan pembahasan makalah ini, yaitu berdasarkan rumusan masalah di atas :

1. Untuk mengetahui Bagaimana kondisi tasyri’ pada masa al-khulafah al-rasyidin,


dan faktor-faktor penyebab perkembangannya, apa saja yang menjadi sumber
tasyri’ pada masa al-khulafah al-rasyidin.
2. Untuk mengetahui apakah sebab-sebab timbulnya perbedaan pendapat di
kalangan sahabat.

5
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Kondisi Tasyri’ pada masa al-khulafah al-rayidin dan faktor penyebab
perkembangannya

Apabila tahap pertumbuhan dan perkembangan hokum Islam diamati sesudah


periode Nabi Muhammad saw dalam literatur hukum Islam, maka ditemukan beberapa
pendapat berdasarkan sudut pandang, di antaranya ada pendapat yang mengungkapkan
4 tahapan, yaitu:

a) Masa al-khulafah al-rasyidin ( 632-662 M ).


b) Masa pembinaan, pengembangan dan pembukuan ( abad ke 7- 10 M ).
c) Masa kelesuhan pemikiran ( abad ke 10- 19 M ).
d) Masa kebangkitan kembali ( abad ke 19 sampai sekarang ).

Masa al-khulafah al-rasyidin (632 M-662 M) ditandai dengan wafatnya Nabi


Muhammad saw, yaitu berhenti wahyu turun. Wahyu diturunkan oleh Alloh SWT
kepada Nabi Muhammad saw melalui Malaikat Jibril selama 22 tahun 2 bulan 22 hari,
baik wahyu yang turun di Mekah maupun di Madinah. Demikian juga hadis dan/atau
sunnah berakhir pula dengan meninggalnya Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu,
kedudukan Nabi Muhammad saw sebagai Nabi dan Rasul Alloh tidak dapat digantikan
oleh manusia lainnya termasuk sahabatnya. Namun, tugas beliau sebagai pemimpin
masyarakat Islam sekaligus sebagai kepala negara harus di lanjutkan oleh orang lain.
Pengganti Nabi Muhammad saw sebagai pemimpin masyarakat dan kepala negara
disebut khalifah. Pejabat kekhalifahan yang disebut al-khulafah al-rasyidin ini silih
berganti selama empat periode, yaitu Abu-bakar Ash-Shiddeq, Umar Bin Khattab,
Usman Bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib.

Periode kekuasaan pemerintahan Nabi Muhammad saw hanya meliputi


semenanjung Arabia, tetapi periode al-khulafah al-rasyidin meliputi wilayah arab dan
non-Arab, sehingga masalah yang muncul semakin kompleks sementara ketetapan

6
hukum yang rinci di dalam Al-Quran dan al-Hadits terbatas jumlahnya. Oleh karena itu,
al-khulafah al-rasyidin menghadapi banyak masalah yang tadinya tidak terdapat di
masyarakat Arab. Misalnya masalah pengairan, keuangan, kemiliteran, pajak, cara
penetapan hokum di pengadilan, dan lain-lain budayahukum di Damaskus, Mesir, Irak,
Iran, Maroko, Samarkan, Andalusia dan lain-lain. Pada masa inilah mulai muncul
interpretasi terhadap nash-nash Al-Quran yang diterima oleh Rasulullah saw, dan
terbukalah pintu istinbat terhadap masalah-masalah yang tidak ada didalam nash secara
jelas. Dalam masa ini pula Islam mulai berkembang pesat meluas sampai ke-Timur dan
ke-Barat, sahabat-sahabat besar dalam masa ini mencoba untuk menginterpretasikan
nash-nash hokum baik dalam Al-Quran maupun Al-hadits, yang kemudian menjadi
pegangan untuk menta’wil nash-nash yang belum jelas itu. Selain dari pada itu para
sahabat besar memberikan fatwa-fatwa dalam berbagai masalah dalam kejadian-
kejadian sosial maupun politik yang tidak ada kejelasan dalam nash mengenai hal itu,
yang kemudian itu menjadi dasar sebagai bahan untuk berijtihad.

Para sahabat juga dapat dikatakan sebagai musyari’ yaitu menerangkan hal dan
tidak ketinggalan memberikan fatwa dalam urusan-urusan yang tercantum secara
tersurat dalam nash. Jika ini semua di hadapkan pada kita, maka tidak sepatutnya kita
merasakan keheranan, sebab mereka dalam kesehariannya selalu bergaul dengan Nabi,
sehingga mereka menyaksikan dan mengetahui asbabun-nuzul serta asbabul-wurud
suatu hadits melebihi pengetahuan ulama-ulama’ sesudahnya. Bahkan al-khulafah al-
rasyidin bergabung dalam kelompok yang biasa diajak bermusyawarah oleh Rasulullah
saw. Karena itulah maka munculah kepercayaan umat yang perlu di simak, pada periode
ini fatwa-fatwa dan masail fiqhiyah masih dicampur dengan dalil-dalil dan kaidah-
kaidah istidlal. Memang hal seperti ini perlu di acungi jempol, tetapi bukan berarti al-
khulafah al-rasyidin memiliki wewenang mutlak untuk mengganti syariat yang telah
diajarkan oleh nabi. Penetapan-penetapan pada waktu itu sebagian besar hanya bersifat
melanjutkan apa yang pernah diperbuat oleh nabi, kecuali mengenai beberapa peristiwa
yang pada zaman nabi belum ada.

7
Sebelum mengetahui pengaruh fatwa terhadap perkembangan hukum, terlebih
dahulu kita perlu mengetahui persoalan-persoalan penting yang dihadapi oleh sahabat.
Berikut di antara persoalan penting yang di hadapi oleh sahabat:

a) Sahabat khawatir akan kehilangan Al-Quran karena banyaknya sahabat


yang hafal Al-Quran meninggal dunia dalam perang melawan orang-
orang murtad.
b) Sahabat mengkhawatirkan terjadinya ikhtilaf sahabat terhadap Al-Quran
akan seperti ikhtilaf Yahudi dan Nasrani yang terjadi sebelumnya.
c) Sahabat takut akan terjadi pembohongan terhadap Sunnah Rasulullah
Saw.
d) Sahabat khawatir umat Islam akan menyimpang dari hukum Islam.
e) Sahabat menghadapi perkembangan kehidupan yang memerlukan
ketentuan syariat, karena Islam adalah petunjuk bagi mereka tetapi belum
ditetapkan ketentuannya dalam Al-Quran dan Sunnah.

Pada masa ini perkembangan Islam semakin luas ke segala arah, sehingga
banyak ditemukan kasus-kasus baru yang memerlukan pemecahan atau penyelesaian.
Pada kesempatan inilah para sahabat utama tampil sebagai mufti ( konsultan ) dalam
masalah hukum dengan memberikan fatwa-fatwa kepada masyarakat, karena merekalah
yang banyak berinteraksi dengan Rasulullah Saw. Merekalah yang paling sering
mengikuti kegiatan Rasul serta paling sering menyaksikan sebab-sebab turunnya suatu
ayat ( asbabun-nuzul ) dan keluarnya hadits. Diantara mereka ada yang menjadi peserta
sidang dalam mesyawarah-musyawarah yang di selenggarakan Rasulullah Saw.
Diantara para sahabat yang bertindak sebagai mufti antara lain :

1. Di Madinah : Zaid bin Tsabit, Ubai bin Kaab, Abdulloh bin Umar dan Siti
Aisyah.
2. Di Makkah : Abdulloh bin Abbas.
3. Di Kuffah : Ali bin Abi Thalib dan Abdulloh bin Mas’ud.

8
4. Di Syam : Mu’adz bin Jabbal dan Ubadan bin Shamir.
5. Di mesir : Abdulloh bin Ammar.

Pada mulanya para mufti berdomisili di Madinah, dengan berkembangnya syiar


Islam, maka mereka berpencar ke daerah-daerah maupun ke kota-kota. Para sahabat,
khususnya periode ini, memainkan peranan yang sangat penting dalam membela dan
mempertahankan agama. Mereka tidak sekedar melestarikan “tradisi hidup” Nabi, tetapi
juga melebarkan sayap dakwah Islam hingga ke negeri Persia, Irak, Syam dan Mesir. Ini
untuk pertama kalinya fiqih di hadapkan dengan persoalan baru, penyelesaian atas
masalah moral, etika, kultural dan kemanusiaan dalam suatu masyarakat yang
pluralistik.

Agaknya inilah faktor yang terpenting yang mempengaruhi perkembangan fiqih


pada periode ini. Daerah-daerah yang di buka dan “diislamkan” saat itu memiliki
perbedaan masalah kultural, tradisi, situasi dan kondisi yang menghadang para Fuqaha,
sahabat untuk memberikan “hukum” pada persoalan-persoalan baru yang muncul
belakangan.

Para al-khulafah al-rasyidin dengan tingkat pemahaman yang tinggi terhadap Al-
Quran dan Sunnah, menyikapi persoalan-persoalan yang dating dengan langsung
merujuk kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Adakalanya mereka menemukan nash dalam
Al-Quran dan Hadits secara tersurat, tetapi juga tidak jarang mereka menemukan dalam
dua sumber syariat Islam tersebut. Kondisi yang demikian ini yang mendorong mereka
secara paksa untuk berjuang menggali kaidah-kaidah dasar dan tujuan moral dari
berbagai tema-tema dalam Al-Quran dan Hadits untuk di aplikasikan terhadap
persoalan-persoalan baru.

Konsekuensi lain dari perluasan wilayah Islam adalah bercampurnya orang-


orang Arab dengan yang lainnya. Sebagian dari mereka banyak yang memeluk Islam,
tetapi sebagian tetap pada agama dan kepercayaan masing-masing. Dari sinimuncul
suatu tuntutan untuk menetapkan hukum baru yang mengatur hubungan orang-orang

9
Islam dengan orang-orang non-muslim. Para Fuqaha untuk kesekian kalinya berusaha
merumuskan bagaimana Islam mengatur pluralitas hidup seperti ini, termasuk disini
adalah persoalan baru yang belum pernah terjadi pada era kenabian disamping belum
ada sumber hukum yang secara jelas-jelas merinci hukum masalah ini.

2.2 Sumber-sumber Tasyri’ pada masa al-khulafah al-rasyidin

Sumber atau dalil hukum Islam yang digunakan pada zaman sahabat adalah Al-
Quran, Sunnah, dan Ijtihad (ra’yu). Ijtihad yang dilakukan ketika itu berbentuk
kolektif, disamping individual. Dalam melakukan ijtihad kolektif, para sahabat
berkumpul dan memusyawarahkan hukum suatu kasus. Hasil musyawarah sahabat
disebut Ijmak. Al-Quran pada masa ini sudah dibukukan, yaitu pada masa Utsman bin
Affan setelah dipertimbangkan akan kemaslahatannya yang lebih besar. Adapun smber
hukum Islam yang kedua adalah Hadits, yang ketika itu belum dibukukan, sebab
dikhawatirkan akan bercampur dengan Al-Quran. Meski demikian upaya untuk
pemeliharaan tetap dilakukan, sehingga kebenaran riwayatnya dijamin. Abu Bakar
misalnya, beliau tidak mau menerima hadits dari seseorang kecuali mendapat
pengakuan dan pengetahuan dari orang lain yang terpercaya. Umar bin Khattab
menuntut adanya bukti-bukti bahwa hadits tersebut datang dari Rasulullah, demikian
juga Ali bin Abi Thalib, beliau senantiasa menyumpah perawinya. Kemudian sumber
hukum yang ketiga adalah ijtihad.

Para sahabat dalam berpendapat tidak selalu sama, artinya pendapat mereka
kadang-kadang berbeda. Misalnya, Ali dan Ibnu Abbas berbeda pendapat dengan Umar
bin Khattab dalam masalah ‘iddah. Dalam surat Al-Baqarah ayat 234 disebutkan bahwa
wanita yang ditinggal mati oleh suaminya ‘iddahnya 4 bulan 10 hari, kemudian dalam
surat At-Thalaq ayat 4 dijelaskan bahwa wanita yang hamil ‘iddahnya sampai dia
melahirkan. Lalu persoalannya, bagaimana kalau ada wanita hamil dan ditinggal mati
oleh suaminya. Menurut Ali dan Ibnu Abbas ‘iddahnya diambil yang lebih panjang
diantara dua masalah tersebut ( 4 bulan 10 hari dan sampai melahirkan), sementara
menurut Umar, ‘iddahnya sampai melahirkan.

10
Kita ketahui secara pasti bahwa kasus-kasus yang telah ditetapkan hukumnya
oleh para sahabat sangat banyak jumlahnya. Kasus-kasus bermunculan, pembahasan
terus dilakukan, namun tidak satu masalahpun yang tertinggal tanpa diberikan ketetapan
hukumnya. Untuk menyelesaikan persoalan-persoalan baru, para sahabat kembali
kepada Al-Quran dan Sunnah Nabi. Para sahabat banyak yang hafal Al-Quran, kendati
pernah timbul keresahan ketika banyak yang gugur menghadapi peperangan, karenanya
kembali kepada Al-Quran itu mudah.Hadits memang diriwayatkan dan dihafalkan,
tetapi nasib hadits tidak sebagus Al-Quran karena perhatian mereka lebih terpusat pada
Al-Quran, disamping dihafal Al-Quran juga ditulis sebagai antisipasi hilangnya Al-
Quran karena banyaknya orang-orang Islam yang hafal Al-Quran gugur dalam
pertempuran. Dan dengan tujuan penulisan ini pula ditemukannya keseragaman Al-
Quran dalam bacaan dan penulisan. Mushaf yang diusahakan oleh Khalifah Utsman
(624-630 M) itu disebut Mushaf Utsmani. Sedangkan penulis hadits secara tertib
berjarak lebih dari satu abad dari penulisan Al-Quran. Namun demikian sumber hhukum
Islam di masa ini adalah Al-Quran dan Al-Sunnah. Berdasarkan kedua sumber itulah
para Sahabat dan Khalifah berijtihad dengan menggunakan akal pikiran.

Alasan para sahabat kembali kepada Al-Quran dan Al-Sunnah ialah karena
banyaknya ayat-ayat Al-Quran yang memeritahkan taat kepada Alloh dan Rasul,
mengembalikan sesuatu yang dipertentangkan kepada Alloh dan Rasul, serta berserah
kepada apa yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul.

Alasan para sahabat melakukan ijtihad, ialah karena mereka melihat Rasululloh
melakukan ijtihad bila wahyu Ilahi tidak turun. Suatu ketika Rasul mengutus Mu’adz
ibn Jabal ke Yaman. Rasul bertanya kepada Mu’adz, “Dengan apa Engkau menghukumi
sesuatu?” Jawab Mu’adz, “Saya menghukumi dengan Kitab Allah.” Rasul bertanya,
”Jika tidak kamu jumpai (dalam Kitab Allah)?” Jawab Mu’adz, “Saya menghukumi
dengan Sunnah Rasulullah.” Rasul bertanya, “Jika tidak kamu jumpai(dalam Sunnah
Rasulullah)?” Jawab Mu’adz, “Saya berijtihad dengan pendapatku.” Kemudian Rasul
membenarkannya seraya memuji Allah atas limpahan Taufik-Nya.

11
2.3 Sebab-sebab timbulnya perbedaan pendapat dikalangan sahabat

Setelah Nabi Saw wafat, timbul dua pandangan yang berbeda tentang
otoritas kepemimpinan umat Islam. Hal ini berhubungan langsung dengan otoritas
penetapan hukum Kelompok pertama memandang bahwa otoritas untuk menetapkan
hukum-hukum Tuhan dan menjelaskan makna Al-Quran setelah Nabi Muhammad wafat
dipegang oleh Ahlul Bait. Hanya mereka menurut nash dari Nabi Muhammad Saw yang
harus dirujuk dalam menyelesaikan masalah-masalah dan menetapkan hukum-hukum
Allah. Kelompok ini kelak dikenal sebagai kelompok Syi’ah. Sedangkan menurut
kelompok yang kedua, sebelum meninggal, Nabi Muhammad tidak menentukan dan
tidak menunjuk penggantinya yang dapat menafsirkan dan menetapkan perintah Allah.
Al-Quran dan Al-Sunnah adalah sumber hukum untuk menarik hukum-hukum
berkenaan dengan masalah-masalah yang timbul. Mereka ini kelak dikenal sebagai
kelompok Ahlu Sunnah atau Sunni.

Selain itu, sebab ikhtilaf pada zaman sahabat dapat dibedakan menjadi tiga ;
yang pertama, perbedaan pendapat yang disebabkan oleh sifat Al-Quran ; Kedua,
perbedaan yang disebabkan oleh Al-Sunnah. Dan yang ketiga, perbedaan pendapat
dalam menggunakan ra’yu ( intervensi akal ).

Sebab-sebab perbedaan yang disebabkan oleh sifat-sifat Al-Quran diantaranya


sebagai berikut :

a. Dalam Al-Quran terdapat kata atau lafadz yang bermakna ganda


(isytirak). Umpamanya firman Allah dalam surat Al-Baqarah [2] ayat
228 : “yang di ceraikan oleh suaminya hendaklah menunggu tiga kali
quru’.” Kata quru’ mengandung dua arti ; al-haidl dan al-thuhr.
b. Hukum yang ditentukan Al-Quran masing-masing “berdiri sendiri” tanpa
mengantisipasi kemungkinan bergabungnya dua sebab dalam satu kasus.
Misalnya, dalam Al-Quran terdapat ketentuan bahwa waktu tunggu
(‘iddah) bagi wanita yang dicerai karena suaminya meninggal dunia
adalah 4 bulan 10 hari, dan waktu tunggu bagi wanita yang dicerai dalam

12
keadaan hamil (‘iddah hamil) adalah hingga melahirkan. Dua ayat
tersebut tidak mengantisipasi kemungkinan terjadinya seorang wanita
yang hamil ditinggal wafat suaminya. Ali Ibn Abi Thalib dan Ibnu
Abbasy berpendapat bahwa ‘iddah yang berlaku bagi wanita yang
ditinggal wafat oleh suaminya dalam keadaan hamil adalah ‘iddah yang
terpanjang antara dua ‘iddah tersebut. Sedangkan Abdullah Ibn Mas’ud
berpendapat, bahwa yang berlaku adalah ‘iddah hamil, sebab ayat
tentang ‘iddah hamil diturunkan setelah ayat ‘iddah wafat, yang berlaku
konsep Naskh.

Adapun sebab perbedaan pendapat yang berhubungan dengan Sunnah adalah


sebagai berikut :

a. Tidak semua sahabat memiliki penguasaan yang sama terhadap Sunnah. Di


antara mereka ada yang penguasaannya cukup luas, ada pula yang sedikit. Hal
itu terjadi karena perbedaan mereka dalam menyertai Nabi ada yang intensif ada
yang tidak, ada yang lebih awal masuk Islam ada yang terakhir.
b. Kadang-kadang riwayat sampai kepada seorang sahabat tetapi belum atau tidak
sampai kepada sahabat yang lain, sehingga diantara mereka ada yang
mengamalkan ra’yu karena ketidaktahuan mereka terhadap Sunnah.
Umpamanya Abu Hurairah r.a berpendapat bahwa orang yang masih junub pada
waktu subuh, tidak dihitung berpuasa ramadhan, “man ashbaha junuban fala
shouma lahu”. Kemudian pendapat ini di dengar oleh Aisyah yang berpendapat
sebaliknya, Aisyah menjadikan peristiwa dengan Nabi Saw sebagai alas an.
Maka Abu Hurairah menarik kembali pendapatnya.
c. Sahabat berbeda pendapat dalam menta’wilkan Sunnah. Umpamanya, Thowaf
sebagian besar sahabat berpendapat bahwa bersegera dalam Thowaf adalah
Sunnah, sedangkan Ibnu Abbas berpendapat bahwa bersegera dalam Thowaf
tidak Sunnah.

13
Adapun perbedaan pendapat di kalangan sahabat yang disebabkan oleh penggunaan
ra’yu, diantaranya perbedaan pendapat antara Umar dan ali tentang perempuan yang
menikah dalam waktu tunggunya. Umar berpendapat, perempuan yang menikah dalam
waktu tunggu, apabila belum dukhul harus dipisah, ia harus menyelesaikan waktu
tunggunya, apabila sudah dukhul, pasangan itu harus dipisahkan dan menyelesaikan dua
waktu tunggu, waktu tunggu dari suami yang pertama dan waktu tunggu dari suami
berikutnya. Sedangkan menurut Ali perempuan itu harus diwajibkan menyelesaikan
waktu tunggu yang pertama. Ali berpegang pada keumuman ayat, sedangkan Umar
berpegangan pada tujuan hukum, yakni agar orang tidak melakukan pelanggaran.
Menurut para ahli, timbulnya perbedaan pendapat dikalangan sahabat disebabkan
adanya beberapa factor, setidaknya kita perlu mengatakan lima persoalan mendasar
yang menyebabkan beberapa ikhtilaf pada periode ini.

 Pertama, perbedaan dalam memahami nash Al-Quran dan Hadits. Perbedaan


seperti ini biasanya disebabkan karena tidak jelasnya batasan pengertian
nash dan perbedaan persepsi di kalangan sahabat seperti persoalan quru’.
Adanya ayat-ayat ahkam yang musytarak, atau belum pasti pengertiannya
(dzanni). Dalam Surat Al-Baqarah : 228 memiliki dua pengertian. Zaid bin
Tsabit, quru’ berarti suci, sementara Umar bin Khattab memahaminya
sebagai Haidh.
 Kedua, munculnya dua persoalan yang merujuk pada dua nash saling
berlawanan kesepakatan akhir dari para sahabat bahwa masalah seperti ini
harus melewati tiga tahapan, caranya mencari titik temu antara dua nash
tersebut, baru kemudian mencari dalil-dalil yang menguatkan salah satu dari
nash ( at-Tarjih ), dan jika kedua cara tersebut tidak memungkinkan maka
diterapkan teori nash.
 Ketiga, sebagian fuqaha dari kalangan sahabat mengatakan bahwa suatu
peristiwa berdasarkan pengetahuan dari Sunnah, sementara yang lain belum
mendapatkannya atau menganggapnya tidak memenuhi syarat untuk disebut
sebagai Hadits Shahih. Pada masa ini terjadi seleksi yang sangat ketat

14
terhadap periwayatan Hadits. Beberapa Hadits yang dijadikan sebagai
sumber hukum oleh sebagian Fuqaha ditolak oleh Fuqaha lain sebab
berbagai alas an. Selektifnya penerimaan periwayatan Hadits ini diatur pihak
dan kecenderungan untuk mengamalkan Hadits di lain pihak, terutama
dikalangan Ulama Madinah.
 Keempat, perbedaan kaidah dan metode ijtihad dari para sahabat. Dari
perbedaan penggunaan kaidah dan metode ini muncul beberapa perbedaan
pendapat dalam suatu persoalan yang sama dan ini sangat memperkaya
perbendaharaan Fiqh Islam.
 Kelima, ini mungkin yang terpenting, kebebasan dan kesungguhan para
sahabat periode Khulafaurrasyidin dalam melakukan ijtihad terhadap
berbagai masalah yang mereka hadapi. Kebebasan dan kesungguhan inilah
yang menjadi sumber konseptualisasi dan redinamisasi syariat periode ini.
 Keenam, perbedaan mereka dalam menerima Hadits dari Rasulullah.
Sebagian sahabat ada yang menerima Hadits dengan jelas dan cukup banyak,
sementara yang lain hanya menerima sebagian saja. Hal ini disebabkan
karena kondisi tempat tinggal mereka . Bagi yang dekat dengan Rasulullah
praktis saja mereka banyak menerima Hadits, demikian sebaliknya.

15
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Al-khulafah al-rasyidin adalah pewaris kepemimpinan Islam setelah wafatnya


Rasulullah Saw. Setelah Rasul Saw wafat para sahabat berkedudukan sebagai
musyar’i dalam istinbat suatu hukum yang tentunya dengan jalan musyawarah
seperti yang dilakukan Rasul dan mereka bertindak sebagai musyawirin Rasul Saw.
Adapun sumber atau dalil hukum Islam yang digunakan pada zaman sahabat adalah
Al-Quran, Sunnah dan Ijtihad ( ra’yu ). Ijtihad yang dilakukan ketika itu berbentuk
kolektif, para sahabat berkumpul dan memusyawarahkan hukum suatu kasus, hasil
musyawarah sahabat disebut Ijma’. Walaupun para sahabat melakukan musyawarah
tetapi diantara mereka tetap terjadi khilafiah dalam istinbat hukum. Faktor yang
mempengaruhi adalah sifat Al-Quran, dan Sunnah serta perbedaan ra’yu. Disamping
sosiokultur yang jelas sangat mempengaruhi.

Perkembangan tasyri’ pada masa al-khulafah-alrasyidin sangat hidup dan


semarak. Beberapa ikhtilaf mulai muncul meskipun lebih kecil disbanding masa-
masa berikutnya. Para sahabat Khulafaurrasyidin tidak menyikapi hukum-hukum
Islam secara ideal yang lepas dari konteks sosial, tetapi dimensi sosial itu telah
menyadarkan mereka untuk mencari jawaban-jawaban yang tepat dan ideal terhadap
berbagai problematika yang bermunculan.

3.2 Saran

Semoga dengan makalah yang kami buat ini dapat membantu kita mengetahui
serta memahami materi Tasyri’ pada masa al-khulafah al-rasyidin. Demikian yang
dapat kami tulis dalam makala mungkin banyak kesalahan atau kekeliruan dalam
penulisan makala ini,kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari semuanya agar kami selaku pemakala bisa memperbaiki lagi
kedepannya menjadi lebih baik dan semoga makala ini bisa bermanfaat bagi kita semua.

16
Daftar Pustaka

Zainuddin Ali, Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika Ofset, 2006), 68


M. Hasbi Ash Shidiqi, Pengantar Kebudayaan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1967),56
http://www.scribd.com/doc/24408760/Tasyri-Pada -Masa-Khulafaurrasyidi1, di akses
pada tanggal 25 Desember 09
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung : Remaja Rosda
Karya, 2000), 37
http://www.scribd.com/doc/24408760/Tasyri-Pada -Masa-Khulafaurrasyidi1, di akses
pada tanggal 25 Desember 09
Sirry Mun’im, Sejarah Fiqih Islam, (Surabaya : Risalah Gusti, 1995), 33
http://www.scribd.com/doc/24408760/Tasyri-Pada -Masa-Khulafaurrasyidi1, di akses
pada tanggal 25 Desember 09
Jaih Mubarok, Sejarah dan perkembangan Hukum Islam, 41
http://www.scribd.com/doc/24408760/Tasyri-Pada -Masa-Khulafaurrasyidi1, di akses
pada tanggal 25 Desember 09
Abuddin Nata, MA, Masail Al-Fiqhiyah, ( Jakarta : Prenada Media Group, 2003), 65
Nazar Bakry, Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996), 23
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Hukum Islam, Sebuah Ikhtisar dan Dokumentasinya,
(Darul-Kutub, Mesir : Marja, 2005), 34
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Hukum Islam, Sebuah Ikhtisar dan Dokumentasinya,
(Darul-Kutub, Mesir : Marja, 2005), 32
Ibid, 33
http://www.scribd.com/doc/15169629/Tarikh-Tasyri-Makalah-Mui, di akses tanggal 30
Desember 2009
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1990), 155
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, , (Bandung : Remaja Rosda
Karya, 2000),41

17

You might also like