You are on page 1of 19

HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DI PAKISTAN

Makalah ini Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Sejarah Politik Islam
Modern Program Studi Hukum Tata Negara (HTN) Fakultas Syariah dan Hukum Islam
Semester 3

Oleh :

Kelompok 3

NIRMAWATI
742352022083
NASRUL
742352022069
JAZILA IMANA ARSYITA
742352022095

Dosen Pengampu
ABDUL AZIZ, Ph.D

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BONE
2023

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Swt., yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang
telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Hubungan Islam dan Negara di Pakistan”. Makalah ini dibuat dengan tujuan
untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sejarah Politik Islam Modern dan kami telah
mengusahakan semaksimal mungkin dan tentuya dibantu oleh berbagai pihak sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini.
Namun dengan semua itu, tidak menutup kemungkinan bahwa dalam makalah ini
terdapat kekurangan, baik dari segi penyusun bahasanya maupun dari segi lainnya yang
mungkin tidak kami sadari. Oleh karena itu, dengan lapang dada dan tangan terbuka selebar-
lebarnya bagi pembaca yang ingin memberikan saran atau kritikan kepada kami agar dapat
lebih baik lagi.
Dengan demikian, penyusun mengharapkan semoga dari makalah ini dapat diambil
hikmah dan manfaatnya sehingga dapat memberikan inspirasi terhadap pembacanya.

Watampone, 20 November 2023

Kelompok 3

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………...ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………..iii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………..1-2
A. Latar Belakang…………………………………………………………………… .. 1
B. Rumusan Masalah………………………………………………………………… .. 1
C. Tujuan Penulisan…………………………………………………………………. ... 2

BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………………3-12

A. Definisi Islam ........................................................................................................ 3

B. Definisi Negara................................................................................................................ 4

C. Hubungan Islam dan Negara di Pakistan..................................................................... 6

BAB III PENUTUP .......................................................................................................... 13-15


A. Kesimpulan ........................................................................................................... 13
B. Saran ...................................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 15

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Republik Islam Pakistan adalah bangsa muslim terbesar kedua di dunia, meskipun
mereka berasal dari lima kelompok etnis yang berbeda, yaitu: Punjabi, Sindhi, Pathan,
Baluch, dan Muhajir (Imigran berbahasa Urdu dan India Sebelum perpecahan).
Mayoritas orang Pakistan (97%) adalah orang Muslim. Minoritas nonmuslim termasuk
orang Kristen, Hindu dan Persi. Di antara muslim 10% sampai 15% adalah Syi’ah Itsna
Asy’ariyah (12 Imam). Minoritas sekte Syi’ah termasuk Isma’iliyah, kebanyakan terdapat
di Karachi, wilayah barat laut Gilgit, dan Bohoras, sedangkan markas spiritualnya
terletak di Bombay, India. Mayoritas besar kaum Muslim Sunnni. Pakistan menganut
Mazhab Hanafi meskipun minoritas kecil pengikut Mazhab Hambali. 1
Di dalam bukunya Jhon L. Esposito mengatakan: Pakistan adalah Republik Islam,
yang lahir sebagai dominan yang berpemerintahan terpisah dari India. Ideologi
nasionalnya adalah nasionalisme muslim, bukan sekuler. Untuk itu negara berupaya keras
untuk mengimplementasikan ajaran-ajaran yang bersumber pada Al-Qur’an dan As-
Sunnah dalam kehidupan modern pada berbagai aspek kehidupan.2
Islam memandang Negara sebagai usaha yang dilaksankan untuk mengubah serta
mewujudkan dasar-dasar ide pemikiran menjadi sesuatu yang setara dengan kekuatan
ruang waktu di dalam organisasi. Akan tetapi dalam hal ini Muhammad Iqbal
berpandangan berbeda dimana Iqbal memandang bahwa Negara Islam adalah negara
yang Masyarakatnya dapat keyakinannya dan agamanya sama, dengan tujuan untuk
menerapkan prinsip kebebasan, persaudaraan dan persamaan dalam kehidupan
bermasyarakat.
Zaman dahulu kala hingga saat ini, salah satu Negara yang dapat di jadikan
referensi sebagai gambaran Masyarakat Islam, yaitu Negara Pakistan yang sejak lahir
telah disebut sebagai Negara Islam. Dimana Negera Pakistan dari awal sebenarnya
merupakan bagia dari Negara India yang saat itu sedang menghadapi penjajahan dari
Negara Inggris. Pada saat Negara Inggris tidak lagi berkuasa dan Negara India menjadi

1
Ajid Thohir, Studi Kawasan Dunia Islam, Perspektif Etno-Linguistik dan Geo Politik, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2012), h.212
2
Jhon L. Esposito, Demokrasi di Negara-negara Muslim, (Bandung: Mizan, 1999), h.162

1
2

Negara yang Merdeka dan Berdaulat Karena system yang digunakan adalah system
pemerintahan yang diatur sesuai dengan konstitusi yang telah digunakan di Negara India.
Namun seiring dengan Perkembangannya terjadi konflik yang bersifat kepentingan
sendiri dan juga adanya perbedaan etnis serta agama atau Keyakinan, yang menyebabkan
konflik internal yang berkempanjangan antar masyarakat yang beragama Islam dengna
Hindu-Budha, yang menimbulkan pertumpahan darah yang sulit untuk dihindari oleh
keduanya. Permasalahan atas dasar kepentingan dan juga perbedaan ini telah menjadi
embrio munculnya ide pemikiran untuk lahirnya Negara Pakistan yang berdaulat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Definisi Islam ?
2. Apa Definisi Negara ?
3. Bagaimana Hubungan Islam dan Negara di Pakistan ?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Definisi Islam
2. Untuk Mengetahui Definisi Negara
3. Untuk Mengetahui Hubungan Isalam dan Negara di Pakistan

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Islam
Islam berasal dari kata aslama – yuslimu- Islaman yang berarti menyerah, tunduk,
dan damai. Dalam pengertian bahasa Islam mengandung makna yang umum bukan hanya
nama dari suatu agama. Ketundukan, ketaatan, dan kepatuhan merupakan makna Islam.
Hal tersebut menandakan bahwa sesuatu yang tunduk dan patuh terhadap kehendak Allah
adalah Islam.
Islam dalam arti terminology adalah agama yang ajaran-ajarannya diberikan Allah
kepada manusia melalui para utusan-Nya (Rasul-rasul). Dengan demikian Islam adalah
agama Allah yang dibawa oleh para Nabi pada setiap zamannya yang berakhir dengan
kenabian Muhammad SAW. 3 Penamaan agama Islam bagi para nabi didasarkan kepada
firman Allah, yakni:
“Katakanlah (hai orang-orang mu’min): Kami beriman kepada Allah dan kepada
apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail,
Ishak, Yakub, serta anak cucunya dan kepada apa yang telah diturunkan kepada
Musa, Isa serta para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan
seorangpun diantara mereka dan kami hanya tunduk dan patuhkepada-Nya”.
(QS: 12: 136)
Ajaran Islam yang dibawa oleh para nabi terdahulu hanya berlaku bagi kaumnya
saja tidak berlaku bagi umat manusia secara keseluruhan disebabkan cara penyebarannya
masih sangat terbatas. Sedangkan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW
merupakan ajaran Islam yang paling lengkap dan berlaku secara universal bagi semua
manusia sepanjang hayatnya. Sesuai dengan misi utama nabi Muhammad SAW adalah
untuk menyempurnakan ajaran Islam sebelumnya. Salah satu keistimewaan ajaran Islam
yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW adalah terletak pada keuniversalan sasarannya
dan keintegrasian isinya. Suatu perbedaan yang sangat mencolok antara agama Islam
dengan agama lain di dunia adalah bahwa agama Islam tidak pernah mengaitkan nama
agama dengan pembawanya, seperti Ibrahimisme, Musaisme, Isaisme, atau

3
Rusydi Sulaiman, Pengantar Metodologi Studi Sejarah Peradaban Islam, Cetakan1, Rajawali Press,
Jakarta, 2014. h. 242

3
4

Muhammadanisme. Berbeda dengan agama lain yang mengaitkan ajarannya dengan para
pembawanya, seperti agama Yahudi diambil dari nama pembawanya Yahuda (putra
sulung nabi Ya’kub), dan agama Kristen yang diambil dari pembawanya Yesus Kristus,
ataudikenal juga dengan nama Nasrani yang diambil dari nama kota Nazaret tempat
lahirnya nabi Isa AS, dan lain sebagainya. Penamaan suatu agama apabila dikaitkan
dengan nama pembawanya, secara ilmiah menunjukkan ada indikasi kuat bahwa ajaran
yang disampaikan pembawanya itu merupakan hasil renungan dan pemikiran sang
pembawa tersebut. Daninilah salah satu ciri agama budaya, yakni agama yang diciptakan
dari hasil pemikiran manusia. Sementara agama Islam bukanlah gagasan atau pemikiran
para nabi sebagai orang-orang yang dipilih Allah, melainkan suatu ajaran yang
diturunkan Allah bagi manusia melalui para utusan-Nya. Oleh karena itu ajaran yang
mereka sampaikan kepada umatnya tidak pernah dinisbatkan kepada dirinya sebagai
utusan Allah. Hal ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang diturunkan Allah
dan tidak dikaitkan atau diintervensi oleh pembawanya. Nabi adalah penerima dan
pembawa berita atau perantara antara Allah dengan manusia pada umumnya yang
dilakukan melalui wahyu. Islam ditujukan kepada seluruh manusia tanpa membedakan
ras dan kebangsaan. Agama Islam menjadi dasar dari berbagai persoalan manusia dengan
rujukan utama yang jadi sumber pokoknya Al-Quran. Di dalam Islam seluruh aspek
kebutuhan manusia baik yang bersifat keduniaan atau ketuhanan, fisik ataupun spiritual,
individual maupun social, rasional maupun emosional mendapatkan perhatian.4
B. Definisi Negara
Istilah negara berasal dari terjemahan bahasa asing adalah sebagai berikut (a)
Staat bahasa Belanda artinya negara; (b) State bahasa Inggris artinya negara; (c) E'tat
bahasa Prancis artinya negara. Dari pengertian ini maka istilah staat (state, etat) dari
bahasa latin: status atau statum artinya menaruh dalam keadaan berdiri, membuat berdiri,
menempatkan. 5
Berdasarkan pendapat Prof Mr. M. Nasroen tersebut, elemen-elemen negara atau
unsur-unsur negara berdasarkan Pasal 1 Montevideo (Pan American) convention on right
and Duties Of States of 1993 dapat ditentukan sebagai berikut yaitu (1) adanya rakyat

4
Rohidin, Pendidikan Agama Islam Sebuah Pengantar, Yogyakarta : FH UII Press, 2020, h.56-57
5
Soetomo, Ilmu Negara, Surabaya: Usaha Nasional, 1993, h.20

4
5

atau penduduk, (2) wilayah tertentu atau daerah tertentu, (3) Pemerintahan yang berdaulat
dan diakui oleh rakyatnya.
Disatu sisi, konsep negara atau state sebagaimana digunakan Weber dapat
diartikan sebagai sebentuk entitas yang abstrak berupa institusi yang memiliki aparat
tersendiri, memiliki otoritas membuat aturan secara terpusat pada suatu wilayah tertentu,
memiliki perbedaan hierarkis di antara individu dalam hal akses kepada kekuasaan dan
sumber-sumber yang dikukuhkan melalui pemaksaan yang terlembagakan baik dalam
bentuk perpajakan maupun militer, serta biasanya diikuti dengan melemahnya struktur
kesukuan.6
Sedangkan menurut M. Tahir Azharı beliau mendefinisikan negara sebagai suatu
kehidupan berkelompok manusia yang mendirikannya bukan saja atas dasar perjanjian
bermasyarakat (contract social), tetapi juga atas dasar fungsi manusia sebagai khalifah
Allah di bumi yang mengemban kekuasaan sebagai amanah-Nya.7
Menurut LJ Van Apeldorn8 pengertian negara menunjuk pada berbagai gejala
yang sebagian termasuk pada kenyataan, dan sebagian lagi menunjukkan gejala-gejala
hukum. Lebih lanjut dikemukakan bahwa negara mempunyai berbagai arti, yaitu:
a. Perkataan negara dipakai dalam arti penguasa, jadi untuk menyatakan orang atau
orang-orang yang memiliki kekuasaan tertinggi atas persekutuan rakyat yang
bertempat tinggal dalam suatu daerah.
b. Perkataan negara juga dapat diartikan sebagai suatu per sekutuan rakyat, yakni untuk
menyatakan suatu bangsa yang hidup dalam suatu daerah, di bawah kekuasaan
tertinggi, menurut kaidah-kaidah hukum yang sama.
c. Negara ialah suatu wilayah tertentu. Dalam hal ini, perkataan negara dipakai untuk
menyatakan sesuatu daerah, di mana diam sesuatu bangsa di bawah kekuasaan yang
tertinggi
d. Negara diartikan sebagai kas negara atau fiskus, yang maksudnya ialah harta yang
dipegang oleh penguasa guna umum.
Miriam Budiarjo mengartikan negara sebagai organisasi kekuasaan atau integrasi

6
Abdul Aziz, Chiefdom Madinah (Salah Paham Negara Islam), Jakrta: Pustaka Alvabet, 2011, h.21
7
M. Tahir Azhari, Negara Hukum, Jakarta: Kencana, 2004, h.17
8
L.J Van Apeldorn dalam B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara Indonesia, Yogyakarta:
Universitas Atma Jaya, 2009, h.10.

5
6

dari kekuasaan politik, ia adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik. Negara adalah
agency (alat) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-
hubungan manusia dalam masyarakat.9
Soepomo menjelaskan negara adalah susunan masyarakat yang integral, segala
golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan
merupakan persatuan masyarakat yang organis. Yang terpenting dalam negara yang
berdasar aliran pikiran integral ialah penghidupan bangsa seluruhnya. Negara tidak
memihak kepada sesuatu golongan yang paling kuat, atau yang paling besar, tidak
menganggap kepentingan seseorang sebagai pusat, akan tetapi menjamin keselamatan
hidup bangsa seluruhnya sebagai persatuan yang tidak dapat dipisahkan. 10
C. Hubungan Islam dan Negara di Pakistan
Republik Islam Pakistan adalah suatu Negara yang berpenduduk mayoritas
pemeluk agama Islam. 11 Bermacam-macam agama dan budaya telah masuk ke negeri ini,
namun pengaruh islamlah yang paling mengakar. Agama dan pandangan hidup Islam
telah memberi negeri ini suatu identitas khusus. 12
Akibat identitas tersebut, Pakistan yang secara historis merupakan suatu kesatuan
wilayah dengan India, namun karana adanya perbedaan agama yang merupakan bagian
integral dari dua agama dan budaya besar yakni antara Hindu dan Islam, menyebabkan
anak benua Asia itu pecah menjadi dua Negara yaitu Pakistan dan India. Sejarah
mencatat, meskipun awalnya Muhammad Ali Jinnah dengnan Liga Muslimnya berusaha
bekerjasama dengan Pandit Jawaharlal Nehru dan Mahatma Ghandi besertapartai
Kongressnya, akan tetapi pada tahun 1940-an Ali Jinnah dan kawan- kawan kian curiga
terhadap kelompok Hindu yang cenderung dominan. Jinnah pun akhirnya menyerukan
adanya dua bangsa India, Muslim dan Hindu, yang mempunyai tatanan sosial yang
berbeda yang merupakan dua peradaban yang sebagian besar ide-idenya bertentangan

9
L.J Van Apeldorn dalam B. Hestu…,h.12
10
Soepomo sebagaimana dikemukakan oleh Yamin dalam Adnan Buyung Nasution, Aspirasi
Pemerintahan Konstitusional di Indonesia (studio Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959) Cet-2, Jakarta:
Gramedia, 2001, h.89
11
John L. Esposito. The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic World, (New York: Oxford University,
Volume 3, 1995), h. 286
12
Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto; Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, (Jakarta: Pustaka
cidesindo, 1996), h. 1

6
7

dan tidak mungkin disatukan.13 Pada tanggal 14 Agustus 1947, anak benua India terpaksa
pecah menjadi dua bagian yaitu Pakistan dengan mayoritas penduduknya Muslim dan
India yang mayoritas Hindu.14
Berbeda dari sebagian besar Negara di dunia yang pembentukannya didasarkan
pada wilayah, ras, bahasa, dan latar belakang etnik, maka berdirinya Negara Pakistan
lebih didasarkan pada masyarakat kegamaan umum untuk menjadi sebuah bangsa
Muslim. 15
Namun, karena adanya berbagai problem, dimana masalah identitas nasional
dikalahkan oleh isu-isu dasar keselamatan nasional, menyebabkan bangsa Pakistan pada
tahun-tahun permulaan kemerdekaannya tidak mencurahkan perhatian pada realisasi
identitas Islam, melainkan lebih banyak terfokus pada masalah politis yang menjamin
kelangsungan hidup bernegara. Kondisi ini terjadi terutama disebabkan oleh empat
faktor,16 antara lain;
pertama, terlalu cepat meninggalnya arsitek pendiri dan pemersatu Pakistan,
Muhammad Ali Jinnah pada 11 September 1948,17 kedua, terbunuhnya Perdana Menteri
pertama Liaquat Ali Khan, tanggal 30 Oktober 1951, ketiga, tidak terdapatnya konsensus
yang jelas antara golongan konservatif dengan golongan modernis sekuler mengenai isu
positif ideologi Negara. Golongan konservatif menginginkan suatu hubungan antara
agama dan Negara dengan diberikan pedoman syariah yaitu hukum islam terpadu yang
mengatur seluruh aspek kehidupan. Sedangkan golongan modernis sekuler menginginkan
Negara bangsa yang didasarkan pada perundang-undangan Barat; keempat; para
pemimpin Pakistan tidak memenuhi persyaratan pendidikan yang memadai dalam
orientasinya terhadap suatu Negara Islam modern. Pada satu sisi, para pemimpin politik
yang berpendidikan dan berorientasi Barat kurang pemahamannya terhadap Islam
terutama dalam mendefenisikan suatu Negara. Sementara pada sisi lain, pemimpin agama
yang berlatar belakang pendidikan agama kurang memberikan respon terhadap tantangan

13
John L. Esposito, John O. Voll, Islam dan democracy, (New York: OxfordUniversity, 1996), h. 103.
Lihat juga: Uzma Maroof, Two Nation Theory The Myth, The Reality,http://www.StoryofPakistan.com/Contribute
asp?Artid=Co31&Pg = 7
14
P. M. Holt, Ann k. Lambton, Bernard Lewis, The Cambridge History of Islam,(Cambridge: Cambridge
University Press, 1996), h, 110.
15
Richard S. The Making of Pakistan, (London: Faber and faber, 1949), h. 13
16
Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto; ….h.2
17
Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, (Bandung: Mizan, 1992), h. 225

7
8

pembaharuan dan modernitas.


Dengan demikian, kesulitan utama yang dihadapi Pakistan adalah dalam
menerima tanggung jawab yang bukan sekedar meniru atau mengikuti suatu cita-cita
Islam masa lalu atau realitas sekuler dewasa ini, melainkan suatu perombakan dasar baru,
suatu penyusunan kerangka dasar bagi sebuah Negara dan msayarakat modern yang
memasukkan dan mendapatkan sentiment-sentimen, cita-cita dan nilai-nilai Islam yang
didasarkan pada dukungan rakyat bagi kemerdekaan Pakistan. Dengan kata lain, karena
Islam bukan ideologi, tetapi harus dipakai sebagai sumber untuk membentuk ideology
bagi umat Islam, maka mereka harus mampu menyelaraskan antara ajaran Islam dengan
tantangan masyarakat modern.
Dalam usaha mewujudkan sebuah Negara dan masyarakat modern yang
memasukkan spirit dan nilai-nilai Islam ini, sejak awal berdirinya tahun 1947 sampai
sekarang, setidaknya sudah ada tiga corak pemikiran keislaman yang mempengaruhi
perkembangan politik Pakistan yakni : 18
Pertama, modernisme Islam yang digagas Ayyub Khan. Namun karena Ayyub
Khan dianggap mengabaikan peran ulama dalam memasukkan orang-orang awam yang
kurang mengetahui Islam dalam pembuatan undang-undang Islam, serta dianggap hendak
merombak ajaran Islam, menyebabkan pemerintahannya tidak mampu bertahan dari
kecaman oposisi.
kedua, sosialisme Islam yang diperkenalkan oleh Zulfikar Ali Bhutto. Namun
karena ia dianggap hanya menggunakan Islam sebagai ekploitasi politik dan karena sikap
dan perilakunya yang dipandang oleh para ulama jauh dari ajaran Islam, akhirnya
membawanya kepada kegagalan dan bahkan menyeretnya ke tiang gantungan.
Ketiga, Nizamul Islam (Islamisasi) yang digalakkan oleh Ziaul Haq seorang
muslim fundamentalis yang sejak awal berkuasa bahkan sejak menjadi kepala staf
angkatan darat sudah memberi perhatian khusus terhadap kebijakan Islam dengan
melibatkan para ulama. Langkah yang diambil oleh Ziaulhaq ini ternyata berhasil
memperkokoh posisinya. Hal ini disebabkan karena partai oposisi selalu menggunakan
isu-isu keislamana sebagai senjata dalam menjatuhkan penguasa. Bahkan posisi Ziaulhaq

18
Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern…,h.9

8
9

semakin kokoh karena didukung oleh militer yang mayoritas seide dengan kebijakan
Ziaulhaq, serta didukung pula kemajuan ekonomi dan meningkatkan prestise Pakistan di
Negara-negara Muslim khususnya dan dunia internasional pada umumnya.
Dari sini, jelas bahwa apapun perkembangan yang terjadi dan siapapun yang
berkuasa di Pakistan, baik rezim militer maupun sipil, Islam tetap menjadi faktor yang
tidak terhindarkan bagi perpolitikan Negara Pakistan.19
Dalam konteks Pakistan sebagai negara Islam, menurut Benazir prinsip demokrasi
sebenarnya telah menjadi impian bapak bangsa Quaid-e-Azam Ali Jinnah, namun hal itu
baru dapat dilaksanakan dibawah konstitusi Pakistan dan disahkan secara aklamasi oleh
Parlemen Pakistan pada tahun 1973, hak pemerintahan muslim yang demokratis diakui
dalam konstitusi ini.
Benazir yakin, meski sejak awal Pakistan bernama negara Islam, namun semangat
yang hendak di wujudkan oleh para bapak bangsa adalah semangat demokratis di dunia
Islam Pembukaan konstitusi 1973 diatas, menurut Benazir secara gamblang
memperlihatkan hal itu, Namun, hubungan yang saat ini buruk di internal Muslim
Pakistan khususnya, dan sebagian besar dunia Barat dengan dunia Islam pada umumnya,
membutuhkan terminologi baru untuk merealisasikan visi ini.
Realitas politik Pakistan memang tidak pernah menunjukkan posisi yang jelas
terhadap konsep relasi Islam dan negara yang dianut negara tersebut. Ekstremisme dan
perseteruan politik etnis terus menggiring Pakistan pada perebutan kekuasaan.
Strategi untuk melakukan rekonsiliasi di dunia Islam dengan gagasan modern mi,
Benazir juga menyebut sejumlah cendekiawan muslim laur yang juga turut
menyumbangkan gagasan rekonsiliasi, diantaranya, KH Abdurrahman Wahid,
Nurcholish Madjid (1946-2005), Muhammad Khalid Mas'ud (Pakistan), Muhammad
Arkoun (Aljazair), Wahiduddin Khan (India).
Karena itu, Benazir tidak hanya bicara tentang Islam dengan kacamata yang kritis,
tetapi juga menuntut dunia Barat menghapuskan stigma negatif tentang Islanı sekaligus
mengagendakan upaya menghentikan gelombang radikalisme Islam serta menemukan
kembali nilai-nilai toleransi dan keadilan yang ada dalam Islam. Ada dua hal sebenarnya,

19
Seling S. Harrison, Paul h. Kreisberg & Dennis Kux, India and Pakistan, (Washington DC: Woodrow
Wilson Center Press and Cambridge University Press, 2001), h. 49

9
10

yang dituntut Benazir harus dilakukan Barat untuk mengupayakan rekonsiliasi ini.
Pertama, Barat harus melihat kedalam tradisi Islam dan menetukan sejauh mana persepsi
muslim tentang Barat bisa dibenarkan, atau paling tidak bisa dipahami Kedua, barat harus
membuka diri dalam mempertimbangkan langkah-langkah apa yang bisa dilakukan
Untuk menjembatani perbedaan mendalam antara masyarakat dan kebudayaan.
Kebangkitan Islam yang diharapkan Benazir, adalah kebangkitan Islam harus
dijalankan bersama kebangkitan agama-agama lain, yakni kemaslahatan bersama
kebaikan bersama, dan keadilan yang menjadi dambaan setiap makhluk. Benazir
mengakui antara Islam dan negara dalam praktiknya memang tidak dapat dipisahkan.
namun antara keduanya harus dilakukan pembedaan dalam dimensi dan cara
pendekatannya. Karena meskipun memberikan predikat keagamaan terhadap institusi
negara, namun tidak mungkin mengawasi dan mengurusi motivasi atau sikap batin warga
negaranya
Kesimpulan yang dibuat oleh Benazir didasarkan kepada argumen argumen
sebagai berikut. Pertama, Islam memandang persoalan hidup sebenarnya hanya pada
level ajaran etisnya saja, yang berakar doktrin bahwa segala perbuatan manusia harus
semata hanya demi ridla-Nya. Inilah dasar paham bahwa Islam tidak memisahkan antara
kegiatan "profan" dan kegiatan "sakral", namun jelas tetap membedakan antara keduanya,
terutama dalam cara pendekatannya.
Kedua, bidang politik, seperti juga banyak bidang yang lain, sesungguhnya
dipandang Islam hanya secara garis besar, dan rasanya memang tidak perlu, memberi
ketentuan terperinci. Hal ini mengingat pentingnya dibiarkan adanya ruang gerak
secukupnya dalam sistem paham kaum Muslim untuk mengakomodasikan tuntutan-
tuntutan khusus ruang dan waktu.
Ketiga, perincian praktis bidang politik itu, terwujud oleh perkembangan sejarah,
dan tumbuh sebagai hasil kegiatan intelektual kemanusiaan. Merupakan tanggungjawab
Para pemikir Muslim untuk memberi kejelasan mana hal-hal yang parametris dan mana
pula yang merupakan variabel historis.
Keempat, politik bukanlah bagian dari syari'ah yang sempit, tapi berdiri
berdampingan dengannya, la lebih mendekati filsafat, dengan dinamika wataknya sendiri.
Kelima, Islam bukanlah dan tidak bisa disebut sebagai sebuah ideologi atau teori,

10
11

seperti banyak dikatakan para pemikir Muslim apologetik. Sebab sebagai agama atau ol-
din, Islam ini adalah suatu pengajaran yang bersifat Ilahi (wahyu), yang harus diterima
dan dipertahankan
Keenam, Posisi sebenarnya Islam di bidang politik, menurut Benazir, berada pada
sekitar pertengahan antara dua pendapat ekstrim yang berlawanan: Ali Abdul al-Raziq di
satu pihak, dan Sayyid Quthib dan Maududi di pihak lain. Ketuju, dalam bidang politik,
umat Islam dibenarkan mencontoh siapa dan dari mana saja, biar pun bukan Muslim,
asalkan tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar Islam
Benazir melalui gagasannya mengupayakan rekonsiliast Islam dan Barat ditengah
ekstremisme global, la berupaya membalikkan semua miskonsepsi dan stigma negatif
tentang Islam dalam pandangan Barat, la tidak hanya memberikan pemahaman tentang
politik dan bagaimana memperjuangkan tegaknya demokrasi di negara dengan mayoritas
muslim, tetapi juga tentang memberikan pemahaman yang benar tentang maraknya
ektremisme dan terorisme yang mengatasnamakan Islam. Dalam konteks Indonesia,
pemikiran politik Benazir ini semakin menemukan relevansinya ketika dihadapkan pada
perkembangan geo-politik Indonesia beberapa tahun terakhir yang marak dengan
terorisme. Terlebih, dunia Internasional telah memberikan stigma terhadap Indonesia
sebagai sarang teroris
Selain itu, tumbuh suburnya gerakan keagamaan yang beraliran radikal paska
reformasi 1998 di Indonesia juga telah membawa perubahan iklim geo-politik Indonesia.
Terlebih, sebagian besar gerakan keagamaan itu mewacanakan tegakknya negara Islam
(khilafah Islamiyah) di Indonesia. Jika kita telisik lebih jauh, varian gerakan keagamaan
yang mulai merebak di Indonesia ini sebagian besar berasal dari Asia Selatan, khusunya
Pakistan. Sebut saja misalnya, Jamaah Islamiyah, Al-Qaeda, Mujahidin, dan beberapa
gerakan radikal lainnya.
Iklim politik Indonesia yang sebelum reformasi hanya diwarnai oleh kelompok
keagamaan NU, Muhammadiyah dan Persis, dengan tumbuhnya gerakan keagamaan itu,
kini telah berubah menjadi beragam varian. Namun, yang patut disayangkan adalah, juga
berkembangnya gerakan ekstremisme dan terorisme yang mengatasnamakan Islam dan
cenderung menggunakan cara-cara kekerasan dalam mengaktualisasikan visinya. Dalam
konteks ini, gagasan Benazir tentang rekonsiliasi dan demokrasi, yang mengetengahkan

11
12

toleransi dan kemajemukan menemukan momentumnya. Hal ini juga memibki muara
yang sama terhadap gagasan dan upaya-upaya rekonsiliasi yang dilakukan tokoh-tokoh
Islam moderat Indonesia, seperti Said Aqil Siraj, Abdurrahman Wahid, Munawir
Sjadzali, Amin Rais, Syafi'i Ma'arif, Din Syamsuddin. dan beberapa tokoh moderat lain,
meskipun memiliki varian, lokus dan tempus yang berbeda.
Pemikiran Benazir ini selaras dengan paradigma Islam yang melihat bahwa Islam
tidak meletakkan suatu pola baku tentang konsep negara atau sistem praktik kenegaraan
yang harus diselenggarakan oleh umatnya, ataupun istilah-istilah teknis politik lainnya,
kecuali nilai-nilai dan prinsip-prinsip etis tentang demokrasi, keadilan, egalitarianisme,
persaudaraan, persaudaraan, dan kebebasan yang justru bersifat universal, yang akhirnya
sepanjang suatu negara tetap berpegang dan menyelenggarakan prinsip-prinsip universal
itu, maka baik sistem maupun mekanisme yang dijalankan adalah benar menurut Islam. 20

20
Lukman Santoso, Islam dan Negara Hukum di Pakistan (Telaah Atas Pemikiran Benazir Bhutto) Vol.
II, No. 2, 2012, h.94-99

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Definisi Islam
Islam berasal dari kata aslama – yuslimu- Islaman yang berarti menyerah, tunduk,
dan damai. Dalam pengertian bahasa Islam mengandung makna yang umum bukan
hanya nama dari suatu agama. Ketundukan, ketaatan, dan kepatuhan merupakan
makna Islam. Hal tersebut menandakan bahwa sesuatu yang tunduk dan patuh
terhadap kehendak Allah adalah Islam. Islam dalam arti terminology adalah agama
yang ajaran-ajarannya diberikan Allah kepada manusia melalui para utusan-Nya
(Rasul-rasul). Dengan demikian Islam adalah agama Allah yang dibawa oleh para
Nabi pada setiap zamannya yang berakhir dengan kenabian Muhammad SAW
2. Definisi Negara
Istilah negara berasal dari terjemahan bahasa asing adalah sebagai berikut (a) Staat
bahasa Belanda artinya negara; (b) State bahasa Inggris artinya negara; (c) E'tat
bahasa Prancis artinya negara. Dari pengertian ini maka istilah staat (state, etat) dari
bahasa latin: status atau statum artinya menaruh dalam keadaan berdiri, membuat
berdiri, menempatkan
Negara adalah suatu organisasi kekuasaan yang mempunyai wilayah tertentu, rakyat
yang diperintah oleh penguasa, pemerintahan yang berdaulat dan diakui oleh Negara
lain.
3. Hubungan Islam dan Negara di Pakistan
Republik Islam Pakistan adalah suatu Negara yang berpenduduk mayoritas pemeluk
agama Islam. 21 Bermacam-macam agama dan budaya telah masuk ke negeri ini,
namun pengaruh islamlah yang paling mengakar. Agama dan pandangan hidup Islam
telah memberi negeri ini suatu identitas khusus. Adapun Pemikiran Benazir selaras
dengan paradigma Islam yang melihat bahwa Islam tidak meletakkan suatu pola baku
tentang konsep negara atau sistem praktik kenegaraan yang harus diselenggarakan
oleh umatnya, ataupun istilah-istilah teknis politik lainnya, kecuali nilai-nilai dan

21
John L. Esposito. The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic World, (New York: Oxford University,
Volume 3, 1995), h. 286

13
prinsip-prinsip etis tentang demokrasi, keadilan, egalitarianisme, persaudaraan,
persaudaraan, dan kebebasan yang justru bersifat universal, yang akhirnya sepanjang
suatu negara tetap berpegang dan menyelenggarakan prinsip-prinsip universal itu,
maka baik sistem maupun mekanisme yang dijalankan adalah benar menurut Islam.
B. Saran
Kami menyadari bahwa dalam penulisan dalam makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari dosen mata kuliah dan pembaca, serta pihak lain demi kesempurnaan
dalam penyusunan makalah yang kami buat

14
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mukti. Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan. Bandung: Mizan, 1992.

Azhari, M. Tahir. Negara Hukum, Jakarta: Kencana, 2004.

Apeldorn L.J Van dalam B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara Indonesia. Yogyakarta:
Universitas Atma Jaya, 2009.

Aziz, Abdul. Chiefdom Madinah (Salah Paham Negara Islam). Jakrta: Pustaka Alvabet, 2011.

Esposito, John L. The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic World. New York: Oxford
University, Volume 3, 1995.

Esposito, Jhon L. Demokrasi di Negara-negara Muslim. Bandung: Mizan, 1999

John L. Esposito, John O. Voll, Islam dan democracy. New York: OxfordUniversity, 1996. Lihat
juga: Uzma Maroof, Two Nation Theory The Myth, The
Reality,http://www.StoryofPakistan.com/Contribute asp?Artid=Co31&Pg = 7

Holt, P. M. Ann k. Lambton, Bernard Lewis, The Cambridge History of Islam. Cambridge:
Cambridge University Press, 1996.

Harrison, Seling S. Paul h. Kreisberg & Dennis Kux, India and Pakistan. Washington DC:
Woodrow Wilson Center Press and Cambridge University Press, 2001

Mashad, Dhuroruddin Benazir Bhutto; Profil Politisi Wanita di Dunia Islam. Jakarta: Pustaka
cidesindo, 1996.

Soetomo. Ilmu Negara, Surabaya: Usaha Nasional, 1993.

Sepomo sebagaimana dikemukakan oleh Yamin dalam Adnan Buyung Nasution, Aspirasi
Pemerintahan Konstitusional di Indonesia (studio Sosio-Legal atas Konstituante 1956-
1959) Cet-2. Jakarta: Gramedia, 2001.

Santoso, Lukman Islam dan Negara Hukum di Pakistan (Telaah Atas Pemikiran Benazir Bhutto)
Vol. II, No. 2, 2012.

Sulaiman, Rusydi. Pengantar Metodologi Studi Sejarah Peradaban Islam. Cetakan1, Rajawali
Press, Jakarta, 2014.

Richard S. The Making of Pakistan. London: Faber and faber, 1949.

Rohidin. Pendidikan Agama Islam Sebuah Pengantar. Yogyakarta : FH UII Press, 2020.

Thohir, Ajid. Studi Kawasan Dunia Islam. Perspektif Etno-Linguistik dan Geo Politik. Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2012.

15
16

You might also like