Professional Documents
Culture Documents
Disusun Oleh:
Nama : Raihan
Nim : 200209083
Unit : 07
Mata Kuliah : Studi Syariat Islam
Dosen Pengampu : Dr. Abdul Hadi, S.Pd.,I.M.A
Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT, karena berkat limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga dapat tersusun makalah Manajemen Pendidikan ini dengan baik dan tepat
waktu, dalam makalah ini penulis membahas mengenai “MANAJEMEN PASANTREN ”
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini dari
segi penyusunan maupun dari segi materi nya. Oleh karena itu penulis mengundang pembaca untuk
memberikan saran serta kritik yang dapat membangun untuk terus semangat menyusun makalah
selanjutnya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat diharapkan untuk menyempurnakan makalah
selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita sekalian.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................................ii
BAB I. PENDAHULUAN............................................................................................................1
1.1. Latar Belakang..............................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah.........................................................................................................1
1.3. Tujuan...........................................................................................................................1
BAB II. PEMBAHASAN.................................................................................................. 2
2.1. Sejarah Pemberlakuan Syariat Islam di Aceh ..............................................................5
2.2. Lembaga Lembaga Pendukung Pelaksanaan Syariat Islam .........................................13
2.3. Problematika Pelaksanaan Syariat Islam.....................................................................15
BAB III. PENUTUP..........................................................................................................19
Kesimpulan..........................................................................................................................19
3.2. saran……………………………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................19
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Aceh merupakan salah satu daerah yang termasuk ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Yang mana hukum islam sudah berlaku sejak zaman kerajaan Aceh. Penerapan
syariat islam di aceh merupakan hal yang sangat amat penting di cermati. Dalam penerapan syari;at
islam di Aceh tentunya tidak semudah membalikkan telapak tangan dan tidak semudah yang
dibayangkan dan di cita-citakan masyarakat Aceh. Karena hal ini membutuhkan kepada penetilitian
yang mendalam terutama pada masalah sosialisasinya.
Syari’at islam sendiri di definisikan sebagai aturan/hukum yang diterapkan Allah melalui
al-Qur’an dan Sunnah sebagai pedoman hidup manusia untuk mencapai ridha Allah. Pelaksanaan
syari’at islam di Aceh bertujuan untuk meyempurnakan hidup kaum muslim, aman, tenteram,
sejahtera sosial-ekonomi serta hidup dalam aturan yang sesuai dengan kesadaran hukum dan ras
keadilan.
Dalam makalah ini kita akan membahas bagaimana pelaksanaan syari’at islam di Aceh,
yang kajiannya meliputi sosiologis yaitu dalam artian bidang sosial dan interaksi-interkasi sesama
masyarakat dalam melestarikan suatu hal yang berkenaan dengan cara menghidupkan syariat islam
itu sendiri. Begitu pula tentang pelaksanan syari’at islam dalam masyarakat serta pengawasan dan
perkembangannya.
1.3. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Sejarah Pemberlakuan Syariat Islam di Aceh
2. Untuk Mengetahui Lembaga Lembaga Pendukung Pelaksanaan Syariat Islam
3. Untuk Mengetahui Problematika Pelaksanaan Syariat Islam
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Sejarah Pemberlakuan Syariat Islam di Aceh
Dalam perspektif perubahan dan masyarakat paska-kolonial, maka munculnya tuntutan
pemberlakuan hukum syariah itu di satu sisi merupakan bagian dari tuntutan hak atas budaya sendiri
dalam kerangka dominasi budaya modern Barat. Aspirasi umat Islam di Indonesia untuk
menerapkan syariah Islam sebenarnya tidak pernah sirna dari waktu ke waktu. Bahkan selepas era
Soeharto yang represif, aspirasi umat itu makin bergelora.
Sebagai bukti misalnya, setelah berlaku UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah
beberapa bagian syariah Islam mulai diterapkan di beberapa daerah di Indonesia. Selain di provinsi
Aceh, sebagian elemen syariah diformalisasikan melalui peraturan daerah di beberapa provinsi
lain, seperti di Sumatera Barat, Banten, Jawa Barat (Kabupaten Tasikmalaya dan Cianjur),
Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Jawa Timur (Kabupaten Pamekasan) .
Sejarah Aceh dan Indonesia telah menempatkan masyarakat Serambi Mekkah ini pada
posisi yang khas, dan kekhasan tersebut lebih-lebih lagi dalam soal agama. Syari'at Islam bagi
masyarakat Aceh adalah bagian tidak terpisahkan dari adat dan budayanya. Hampir seluruh tatanan
kehidupan keseharian masyarakat diukur dengan standar ajaran Islam, dalam artian merujuk pada
keyakinan keagamaan, walaupun mungkin dengan pemahaman-pemahaman atau interpretasi yang
tidak selalu tepat dan relevan.
Di sinilah letak muatan psikologis petingnya penerapan "syari'at Islam" bagi masyarakat
Muslim. Dan ini juga yang menjadi bagian dari alasan mengapa penerapan syari'at Islam di Aceh
akan sangat menentukan masa depan Aceh. Dalam Islam, syariah (“cara” atau “jalan”) sering
diartikan sebagai seperangkat standar yang mengatur semua aspek kehidupan, dari kepatuhan
agama, perbankan, hingga tingkah laku sosial yang selayaknya, yang pada intinya bersumber dari
Quran, kitab utama agama Islam, dan Hadist, kumpulan peribahasa dan penjelasan tentang sunah,
atau teladan dan aturan normatif, dari Nabi Muhammad. Tetapi, tidak ada penafsiran tunggal atas
Syariah di antara umat Muslim di seluruh dunia: terdapat berbagai perbedaan dalam penafsiran
para ahli Islam tentang teladan kenabian yang mana yang asli dan keabsahan atau kelayakan
menerapkan ayat-ayat tertentu secara harafiah di era modern ini. Pada awal tahun 1999, Pemerintah
Indonesia dan Aceh.
mengadopsi pendekatan penerapan syariah yang menekankan pada tanggung jawab negara
untuk menjamin bahwa semua orang memenuhi kewajiban agamanya yang berasal dari Islam.
Reformasi membuka jalan bagi masyarakat Aceh untuk kembali menuntut pemberlakuan syariat
Islam, sesuai dengan keistimewaan Aceh. Pemerintah Pusat merespon berbagai tuntutan itu dengan
mengundangkan Undang-undang No. 44 tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan
Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Pelaksanaan syariat Islam memperoleh dasar hukum pasca reformasi tahun 1998. Tepatnya
tahun 2001, melalui UU No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi
Daerah Istimewa Aceh tanggal 4 Oktober 1999 dan UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan
tanggal 9 Agustus 2001.7 Serta UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (selanjutnya
disingkat dengan UUPA) diundangkan pada tanggal 1 Agustus 2006. Hal ini mengisyaratkan
bahwa dalam konteks politik hukum, berkaitan dengan pembuatan dan pelaksanaan hukum ke arah
hukum yang baru pasca lahirnya undang-undang dimaksud, belum banyak dapat dihasilkan.
Dari sudut sosio–budaya, masyarakat Aceh pada dasarnya menampilkan adat dan Islam
sebagai unsur yang dominan dalam mengendalikan gerak masyarakat. Agama Islam telah
membentuk identitas masyarakat Aceh sejak masa awal penyebarannya keluar jazirah Arab. Nilai-
nilai hukum dan norma adat yang telah menyatu dengan Islam merupakan pandagan hidup (Way of
Life) bagi masyarakat Aceh. B.J Bollan, seorang antropolog Belanda mengatakan, “Being and
Aceh si equivalent to being a Muslim” (menjadi orang Aceh telah identik dengan orang Muslim).
Pengaruh hukum Islam terhadap hukum adat telah meliputi semua bidang hukum, sehingga dapat
dikatakan bahwa hukum Islam dan hukum adat telah melebur menjadi satu hukum.
Adagium yang masih dipegang masyarakat Aceh, “adat bak po teummeurehum, hukum bak
Syah Kuala, qanun bak Putro Pahang, resumu bak Laksamana”. Hal ini sesungguhnya mengandung
makna pembagian kekuasaan dalam kesultanan Aceh Darussalam, kekuasaan politik dan adat ada
ditangan sultan (Po Teummeurehum), kekuasaan pelaksanaan hukum berada ditangan ulama (Syiah
Kuala), kekuasaan pembuat undangundang ada ditangan Putro Pahang, dan peraturan protokoler
(Reusam) berada ditangan laksamana (panglima perang di Aceh).
Menurut Arskal Salim ada beberapa alasan masyarakat Aceh yang menjadikan Islam
sebagai identitasnya. Pertama, sejarah mencatat bahwa perkembangan Islam di Indonesia diawali
dari Aceh, hal ini sesuai dengan apa yang terdapat dalam catatan Marco Polo yang melewati Perlak
(Aceh Timur saat ini) dan menggambarkan Bahwa kota tersebut (Peurlak) adalah kota muslim pada
tahun 1292. Kedua, kerajaan Islam pertama di Indonesia didirikan di Aceh, hal ini dibuktikan
dengan penemuan batu nisan Raja Samudra Sultan Malik as Salih yang tercatat pada tahun 1927.
Menurut Ricklefs penemuan ini menunjukkan bahwa kerajaan Islam pertama di Indonesia
berada di Aceh.Ketigaadalah sejarah penerapan syariat Islam di Aceh yang memiliki sejarah yang
sangat panjang, proses sejarah inilah yang menjadi motivasi bagi masyarakat Aceh untuk
menjadikan Islam sebagai identitasnya. Untuk melihat bagaimana sebenarnya budaya orang Aceh,
dapat dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhi kebudayaan itu sendiri.
Dalam kenyataannya budaya Aceh telah beratusratus tahun dipengaruhi oleh ajaran agama
Islam, pengaruh ini telah masuk semua dalam sendi kehidupan masyarakat Aceh, mulai dari siasat
peperangan, kesenangan, pergaulan masyarakat, pendidikan dan pengajaran sampai kepada
kehidupan sosial–masyarakat lainnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, kebudayaan
masyarakat Aceh sangat identik dengan Islam, walaupun sekarang dunia telah memasuki abad ilmu
pengetahuan dan demokrasi, tetapi masyarakat Aceh tetap mengakui ajaran agama Islam sebagai
bagian dari kehidupannya. Berikut Fase-Fase Sejarah Pemberlakuan Syariat Islam di Aceh :
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24A UUD NRI 1945, yaitu Mahkamah
Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundangundangan di bawah
undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Di
bidang justisial Mahkamah Syar’iyah mempunyai tugas untuk menerima, memeriksa, dan
menyelesaikan perkara antar orang Islam di bidang al-ahwa alsyakhshiyah (hukum keluarga),
muamalah (perdata) dan jinayah (pidana) Pasal 49 Qanun No 10 Tahun 2002 tentang Peradilan
Syariat Islam.
Perkara bidang al-ahwa alsyakhshiyah meliputi masalah perkawinan, kewarisan dan wasiat.
Bidang muamalah antaranya meliputi masalah jual beli, utang-piutang, qiradh (permodalan), bagi
hasil, pinjam meminjam, perkongsian, wakilah, penyitaan, gadai, sewa menyewa, perburuhan.
Untuk perkara jinayah termasuk perbuatan yang dapat diancam dengan jenis hukuman hudud,
qishas, dan ta’zir
Di bidang jinayah kita telah mempunyai tiga qanun jinayah yaitu:
1. Qanun No 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan sejenisnya.
2. Qanun No 13 Tahun 2003 tentang Maisir (perjudian).
3. Qanun No 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (mesum).
3.1. Kesimpulan
Syariat Islam sudah berlaku di Nanggroe Aceh Darussalam pada masa awal kemerdekaan. Fase-
fase sejarah pemberlakuan syariat Islam di Aceh terbagi menjadi tiga fase yaitu:
1). Pada masa awal kemerdekaan sampai dengan tahun 1959.
2). Pada masa kemerdekaan (959-1998).
3). Pada masa reformasi 1999 sampai dengan sekarang. Lembaga-lembaga pendukung
pelaksanaan syariat islam yaitu:
1). Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU).
2). Dinas Syariat Islam.
3). Mahkamah Sariyyah (MS).
4). Wilayatul Hismah (WH).
5). Baitul Mal.
6). Dinas Pendidikan Dayah. Problematika syariat islam adalah berbagai persoalan-
persoalan sulit yang dihadapi dalam proses pemberdayaan, baik yang datang dari faktor intern atau
ekstern. Problematika terbagi menjadi dua yaitu:
1). Problematika Internal.
2). Problematika Eksternal (bidang ibadah), menyediakan fasilitas atau peluang kepada
orang muslim tanpa uzur syar’i untuk tidak berpuasa(bidang agama), makan minum di tempat
umum di siang hari di bulan puasa (bidang ibadah), dan tidak berbusana islami (bidang ibadah).
Mahkamah Syar’iyyah dipercayakan pula untuk mengadili perkara-perkara tindak pidana dalam
pengelolaan zakat, tindak pidana yang dimaksud meliputi, tidak membayar zakat setelah jatuh
tempo, surat palsu atau memalsukan surat Baitul Mal, serta menyeleweng pengelolaan zakat.
3.2. Saran
Kami sebagai penulis, menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kesalahan dan sangat jauh
dari kesempurnaan.Tentunya, penulis akan terus memperbaiki makalah dengan mengacu pada
sumber yang dapat dipertanggungjawabkan nantinya.Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran tentang pembahasan makalah diatas.