You are on page 1of 20

MANAJEMEN PASANTREN

Disusun Oleh:
Nama : Raihan
Nim : 200209083
Unit : 07
Mata Kuliah : Studi Syariat Islam
Dosen Pengampu : Dr. Abdul Hadi, S.Pd.,I.M.A

JURUSAN PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
BANDA ACEH
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT, karena berkat limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga dapat tersusun makalah Manajemen Pendidikan ini dengan baik dan tepat
waktu, dalam makalah ini penulis membahas mengenai “MANAJEMEN PASANTREN ”
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini dari
segi penyusunan maupun dari segi materi nya. Oleh karena itu penulis mengundang pembaca untuk
memberikan saran serta kritik yang dapat membangun untuk terus semangat menyusun makalah
selanjutnya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat diharapkan untuk menyempurnakan makalah
selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita sekalian.

Pidie Jaya, 07 Januari 2022

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................................ii
BAB I. PENDAHULUAN............................................................................................................1
1.1. Latar Belakang..............................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah.........................................................................................................1
1.3. Tujuan...........................................................................................................................1
BAB II. PEMBAHASAN.................................................................................................. 2
2.1. Sejarah Pemberlakuan Syariat Islam di Aceh ..............................................................5
2.2. Lembaga Lembaga Pendukung Pelaksanaan Syariat Islam .........................................13
2.3. Problematika Pelaksanaan Syariat Islam.....................................................................15
BAB III. PENUTUP..........................................................................................................19
Kesimpulan..........................................................................................................................19
3.2. saran……………………………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................19
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Aceh merupakan salah satu daerah yang termasuk ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Yang mana hukum islam sudah berlaku sejak zaman kerajaan Aceh. Penerapan
syariat islam di aceh merupakan hal yang sangat amat penting di cermati. Dalam penerapan syari;at
islam di Aceh tentunya tidak semudah membalikkan telapak tangan dan tidak semudah yang
dibayangkan dan di cita-citakan masyarakat Aceh. Karena hal ini membutuhkan kepada penetilitian
yang mendalam terutama pada masalah sosialisasinya.
Syari’at islam sendiri di definisikan sebagai aturan/hukum yang diterapkan Allah melalui
al-Qur’an dan Sunnah sebagai pedoman hidup manusia untuk mencapai ridha Allah. Pelaksanaan
syari’at islam di Aceh bertujuan untuk meyempurnakan hidup kaum muslim, aman, tenteram,
sejahtera sosial-ekonomi serta hidup dalam aturan yang sesuai dengan kesadaran hukum dan ras
keadilan.
Dalam makalah ini kita akan membahas bagaimana pelaksanaan syari’at islam di Aceh,
yang kajiannya meliputi sosiologis yaitu dalam artian bidang sosial dan interaksi-interkasi sesama
masyarakat dalam melestarikan suatu hal yang berkenaan dengan cara menghidupkan syariat islam
itu sendiri. Begitu pula tentang pelaksanan syari’at islam dalam masyarakat serta pengawasan dan
perkembangannya.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana Sejarah Pemberlakuan Syariat Islam di Aceh
2. Apa Lembaga Lembaga Pendukung Pelaksanaan Syariat Islam
3. Bagaimana Problematika Pelaksanaan Syariat Islam

1.3. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Sejarah Pemberlakuan Syariat Islam di Aceh
2. Untuk Mengetahui Lembaga Lembaga Pendukung Pelaksanaan Syariat Islam
3. Untuk Mengetahui Problematika Pelaksanaan Syariat Islam
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Sejarah Pemberlakuan Syariat Islam di Aceh
Dalam perspektif perubahan dan masyarakat paska-kolonial, maka munculnya tuntutan
pemberlakuan hukum syariah itu di satu sisi merupakan bagian dari tuntutan hak atas budaya sendiri
dalam kerangka dominasi budaya modern Barat. Aspirasi umat Islam di Indonesia untuk
menerapkan syariah Islam sebenarnya tidak pernah sirna dari waktu ke waktu. Bahkan selepas era
Soeharto yang represif, aspirasi umat itu makin bergelora.
Sebagai bukti misalnya, setelah berlaku UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah
beberapa bagian syariah Islam mulai diterapkan di beberapa daerah di Indonesia. Selain di provinsi
Aceh, sebagian elemen syariah diformalisasikan melalui peraturan daerah di beberapa provinsi
lain, seperti di Sumatera Barat, Banten, Jawa Barat (Kabupaten Tasikmalaya dan Cianjur),
Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Jawa Timur (Kabupaten Pamekasan) .
Sejarah Aceh dan Indonesia telah menempatkan masyarakat Serambi Mekkah ini pada
posisi yang khas, dan kekhasan tersebut lebih-lebih lagi dalam soal agama. Syari'at Islam bagi
masyarakat Aceh adalah bagian tidak terpisahkan dari adat dan budayanya. Hampir seluruh tatanan
kehidupan keseharian masyarakat diukur dengan standar ajaran Islam, dalam artian merujuk pada
keyakinan keagamaan, walaupun mungkin dengan pemahaman-pemahaman atau interpretasi yang
tidak selalu tepat dan relevan.
Di sinilah letak muatan psikologis petingnya penerapan "syari'at Islam" bagi masyarakat
Muslim. Dan ini juga yang menjadi bagian dari alasan mengapa penerapan syari'at Islam di Aceh
akan sangat menentukan masa depan Aceh. Dalam Islam, syariah (“cara” atau “jalan”) sering
diartikan sebagai seperangkat standar yang mengatur semua aspek kehidupan, dari kepatuhan
agama, perbankan, hingga tingkah laku sosial yang selayaknya, yang pada intinya bersumber dari
Quran, kitab utama agama Islam, dan Hadist, kumpulan peribahasa dan penjelasan tentang sunah,
atau teladan dan aturan normatif, dari Nabi Muhammad. Tetapi, tidak ada penafsiran tunggal atas
Syariah di antara umat Muslim di seluruh dunia: terdapat berbagai perbedaan dalam penafsiran
para ahli Islam tentang teladan kenabian yang mana yang asli dan keabsahan atau kelayakan
menerapkan ayat-ayat tertentu secara harafiah di era modern ini. Pada awal tahun 1999, Pemerintah
Indonesia dan Aceh.
mengadopsi pendekatan penerapan syariah yang menekankan pada tanggung jawab negara
untuk menjamin bahwa semua orang memenuhi kewajiban agamanya yang berasal dari Islam.
Reformasi membuka jalan bagi masyarakat Aceh untuk kembali menuntut pemberlakuan syariat
Islam, sesuai dengan keistimewaan Aceh. Pemerintah Pusat merespon berbagai tuntutan itu dengan
mengundangkan Undang-undang No. 44 tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan
Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Pelaksanaan syariat Islam memperoleh dasar hukum pasca reformasi tahun 1998. Tepatnya
tahun 2001, melalui UU No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi
Daerah Istimewa Aceh tanggal 4 Oktober 1999 dan UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan
tanggal 9 Agustus 2001.7 Serta UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (selanjutnya
disingkat dengan UUPA) diundangkan pada tanggal 1 Agustus 2006. Hal ini mengisyaratkan
bahwa dalam konteks politik hukum, berkaitan dengan pembuatan dan pelaksanaan hukum ke arah
hukum yang baru pasca lahirnya undang-undang dimaksud, belum banyak dapat dihasilkan.
Dari sudut sosio–budaya, masyarakat Aceh pada dasarnya menampilkan adat dan Islam
sebagai unsur yang dominan dalam mengendalikan gerak masyarakat. Agama Islam telah
membentuk identitas masyarakat Aceh sejak masa awal penyebarannya keluar jazirah Arab. Nilai-
nilai hukum dan norma adat yang telah menyatu dengan Islam merupakan pandagan hidup (Way of
Life) bagi masyarakat Aceh. B.J Bollan, seorang antropolog Belanda mengatakan, “Being and
Aceh si equivalent to being a Muslim” (menjadi orang Aceh telah identik dengan orang Muslim).
Pengaruh hukum Islam terhadap hukum adat telah meliputi semua bidang hukum, sehingga dapat
dikatakan bahwa hukum Islam dan hukum adat telah melebur menjadi satu hukum.
Adagium yang masih dipegang masyarakat Aceh, “adat bak po teummeurehum, hukum bak
Syah Kuala, qanun bak Putro Pahang, resumu bak Laksamana”. Hal ini sesungguhnya mengandung
makna pembagian kekuasaan dalam kesultanan Aceh Darussalam, kekuasaan politik dan adat ada
ditangan sultan (Po Teummeurehum), kekuasaan pelaksanaan hukum berada ditangan ulama (Syiah
Kuala), kekuasaan pembuat undangundang ada ditangan Putro Pahang, dan peraturan protokoler
(Reusam) berada ditangan laksamana (panglima perang di Aceh).
Menurut Arskal Salim ada beberapa alasan masyarakat Aceh yang menjadikan Islam
sebagai identitasnya. Pertama, sejarah mencatat bahwa perkembangan Islam di Indonesia diawali
dari Aceh, hal ini sesuai dengan apa yang terdapat dalam catatan Marco Polo yang melewati Perlak
(Aceh Timur saat ini) dan menggambarkan Bahwa kota tersebut (Peurlak) adalah kota muslim pada
tahun 1292. Kedua, kerajaan Islam pertama di Indonesia didirikan di Aceh, hal ini dibuktikan
dengan penemuan batu nisan Raja Samudra Sultan Malik as Salih yang tercatat pada tahun 1927.
Menurut Ricklefs penemuan ini menunjukkan bahwa kerajaan Islam pertama di Indonesia
berada di Aceh.Ketigaadalah sejarah penerapan syariat Islam di Aceh yang memiliki sejarah yang
sangat panjang, proses sejarah inilah yang menjadi motivasi bagi masyarakat Aceh untuk
menjadikan Islam sebagai identitasnya. Untuk melihat bagaimana sebenarnya budaya orang Aceh,
dapat dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhi kebudayaan itu sendiri.
Dalam kenyataannya budaya Aceh telah beratusratus tahun dipengaruhi oleh ajaran agama
Islam, pengaruh ini telah masuk semua dalam sendi kehidupan masyarakat Aceh, mulai dari siasat
peperangan, kesenangan, pergaulan masyarakat, pendidikan dan pengajaran sampai kepada
kehidupan sosial–masyarakat lainnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, kebudayaan
masyarakat Aceh sangat identik dengan Islam, walaupun sekarang dunia telah memasuki abad ilmu
pengetahuan dan demokrasi, tetapi masyarakat Aceh tetap mengakui ajaran agama Islam sebagai
bagian dari kehidupannya. Berikut Fase-Fase Sejarah Pemberlakuan Syariat Islam di Aceh :

1. Pada Masa Awal Kemerdekaan (sampai dengan tahun 1959)


Upaya pelaksanaan syariat Islam di Aceh, dapat dikatakan bahwa pemimpin Aceh sejak
awal kemerdekaan sudah meminta izin kepada Pemerintah Pusat untuk melaksanakan syariat Islam
di Aceh. Pada tahun 1947, Presiden Soekarno mengunjungi Aceh untuk memperoleh dukungan
masyarakat dalam memperjuangkan pengakuan indepedensi Indonesia, pada pertemuan ini dihadiri
oleh beberapa komponen di Aceh, salah satunya adalah Gabungan Saudagar Indonesia Daerah
Aceh (Gasida).
Pada akhirnya Gasida menyanggupi permintaan Presiden Soekarno dan kemudian
membentuk panitia pengumpulan dana dan T.M Ali Panglima Polem ditunjuk sebagai ketuanya.
Pada akhirnya dana yang dibutuhkan terkumpul dan digunakan untuk pembelian dua pesawat
Dakota yang kemudian diberi nama Seulawah I dan Seulawah II. Setelah berhasil menghimpun
sejumlah dana untuk perjuangan Republik Indonesia, Daud Beureu’eh (1899-1987) memohon
kepada Presiden Soekarno meminta agar diizinkan pemberlakuan syariat Islam di Aceh, hal ini
dilakukan karena Aceh merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Presiden
Soekarno setuju, akan tetapi tidak bersedia menandatangani surat persetujuan yang disodorkan oleh
Beureu’eh kepadanya.
Dua tahun setelah kunjungan Soekarno ke Aceh yang bertepatan dengan tanggal 17
Desember 1949 Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) mengumumkan pembentukan
Provinsi Aceh dan Daud Beureu’eh sebagai gubernurnya. Tetapi belum genap setahun
Pemerintahan Aceh berjalan, kebijakan Pemerintah Pusat kembali berubah pada tahun 1950
Provinsi Aceh dilebur dan disatukan kedalam Provinsi Sumatera Utara dan dijadikan keresidenan
Aceh. Bagi para pejuang Aceh, dengan dijadikannya Aceh sebagai keresidenan, para pejuang
tersebut merasa kecewa dan menimbulkan kemarahan kepada Pemerintah Republik Indonesia dan
juga syariat Islam yang dijanjikan tidak pernah direalisasikan oleh pusat (Jakarta).
Masyarakat Aceh bergejolak dan menurut dikembalikannya provinsi Aceh. Pada tanggal 21
September 1953 terjadilah pemberontakan pertama DI/TII di Aceh pasca kemerdekaan Indonesia
yang dipimpin langsung oleh Daud Beureu’eh, pemberontakan ini merupakan bentuk kekecewaan
masyarakat Aceh terhadap pemerintah Pusat di Jakarta. Pemberontakan ini sebenarnya dimulai dari
Kongres Alim Ulam se Indonesia yang dilangsungkan di Istana Maimun al-Rasyid di Medan.
Kongres ini dihadiri kurang lebih 540 ulama dari seluruh Indonesia. Terbentuknya kongres ini
merupakan bentuk kegelisahan para ulama melihat kurang terakomodasinya peran Ummat Islam
dalam mempertahankan kemerdekaan pasca lepas dari penjajahan Belanda. Kekecewaan rakyat
Aceh ini ditangkap secara cerdas oleh Imam NII S.M Karto Suwiryo di Jawa Barat dan segera
mengirim Abdul Fatah Wira Nanggapati alias Mustafa sebagai utusan ke Aceh guna untuk
mendekati para pemimpin Aceh pada awal tahun 1952, melalui Abdul Fatah, Karto Suwiro
mengirimkan beberapa tulisan dan maklumat NII tentang Darul Islam dan mengajak para
pemimpin Aceh untuk bergabung. Maklumat Karto Suwiryo ini mendapat respon yang positif dari
pemimpin Aceh, pada tanggal 23 September 1955 diadakan kongres di Batee Kureng yang dihadiri
oleh 87 tokoh yang menghasilkan program Batee Kureng yang menyatakan bahwa Aceh
memisahkan diri dari Indonesia dan bergabung dengan DI/TII di bawah pimpinan Kartosuwiryo di
Jawa Barat untuk memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) dan sebagai wali negaranya
diangkatlah Teungku Muhammad Daud Beureu’eh.
Pemerintah pusat langsung menanggapi pemberontakan ini dengan mengeluarkan
undangundang Nomor 24 Tahun 1956 tentang pembentukan Provinsi Swatantra Aceh – Daerah
Swatantra Tingkat I Aceh. Pada tahun 1958 atau dua tahun setelah keluarnya UU No. 24 Tahun
1956 keluarlah Ikrar Lam teh yang pada intinya kedua belah pihak sepakat menghentikan kontak
senjata dan mengusahakan jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah Aceh. Daud Beureu’eh
mengajukan syarat pengajuan unsur-unsur syariat Islam bagi masyarakat Aceh untuk mengakhiri
pemberontakan DI/TII di bawah kepemimpinannya, maka sejak saat itu dihasilkan maklumat
konsepsi pelaksanaan unsur-unsur syariat Islam bagi daerah Istimewa Aceh. Sehingga konflik yang
berlangsung dari tahun 1953 dapat diakhir pada tahun 1959 dengan jalan damai, Daud Breu’eh
beserta kaum ulama dan pengikutnyapun turun gunung dan kembali ke pangkuan ibu pertiwi secara
tulus. 2. Pada Masa Kemerdek.

2. Pada Masa Kemerdekaan (1959-1998)


Bagi rakyat dan elite Aceh, pemberlakuan syariat Islam dengan status Aceh sebagai daerah
istimewa merupakan hal yang wajar mengingat sejarah dan besarnya jasa masyarakat Aceh
terhadap pembentukan Negara Kesatuan Indonesia dan Kemerdekaan NKRI pada tahun 1945. Pada
bulan Mei Tahun 1959 Pemerintah Pusat mengutus Mr. Hardi untuk membawa misi perdamaian
untuk Aceh. Komisi Hardi selanjutnya melakukan pertemuan dengan Deleglasi Dewan Revolusi
Darul Islam (DDRDI) yang dipimpin oleh Ayah Gani Usman. Hasil penting dari perundingan ini
adalah bahwa Pemerintah Pusat akan memberikan status istimewa untuk Aceh dan kemudian
mengejawantahkannya dalam Keputusan Perdana Menteri RI No. 1/Missi/1959.
Keputusan ini memberikan status istimewa kepada Aceh dalam artian dapat melaksanakan
otonomi daerah yang seluas-luasnya terutama dalam bidang agama, pendidikan dan adat istiadat.
Status ini kemudian dikukuhkan dengan Undang-undang No. 18 tahun 1965. Atas nama Komandan
Militer Aceh, Letnan Kolonel T. Hamzah dan Gubernur Daerah Istimewa Aceh, A. Hajmu
membuat pernyataan bersama sebagai berikut:
1. Seluruh aparat NBA/NII (militer/polisi) diterima kedalam pasukan yang bernama
pasukan Tgk. Cik Di Tiro sebagai bagian dari Komando Daerah Militer Aceh/Iskandar Muda sesuai
dengan pernyataan misi Pemerintah Pusat di Kuta Raja, 26 Mei 1959.
2. Pemerintah akan membantu sekuat tenaga dalam batas-batas kemampuan negara untuk
pembangunan semesta di Aceh, terutama dalam bidang-bidang yang langsung menyentuh
kepentingan rakyat, jasmani dan rohani, langkah pertama untuk merealisir maksud pemerintah
tersebut, Misi Pemerintah Pusat telah membawa otoritas sejumlah 88,4 Juta Rupiah Tetapi
keputusan Pemerintah Pusat tesebut tidak berhasil memuaskan kelompok radikal dan republikan
dalam DI/ TII. Breue’eh memandang bahwa sebutan istimewa bagi Aceh itu belum memiliki
subtansi dan bentuk kongkret apapun. Oleh karena itu ia kembali masuk kedalam hutan bersama
pengikutnya dan melakukan perang gerilya. Perang saudara antara DI/TII dan TNI kembali
bergolak di Aceh. Pada tanggal 18-22 Desember 1962 diadakan suatu acara akbar di Blangpadang,
yaitu Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh(MKRA).
Hasil dari musyawarah ini adalah dicetuskannya ikrar Balangpadang yang ditanda tangani
oleh 700 orang terkemuka yang yang hadir, mereka berjanji akan memelihara dan membina
kerukunan serta memancarkan persatuan dan persahabatan. MKRA ini merupakan suatu
rekonsiliasi rakyat Aceh yang melahirkan ikrar Blangpadang, meskipun akomodasi yang diberikan
oleh Pemerintah Pusat (Pemberian status istimewa bagi Aceh) sebenarnya tidaklah tepat, tetapi ini
harus diterima dengan lapang hati. Pemberontakan Darul Islam di Aceh pada akhirnya dapat
diselesaikan dengan kompromi politik dengan pemerintah Pusat.
Bila diamati pemberontakan ini sebenarnya dimulai dari Kongres Alim Ulama se–Indonesia
yang berlangsung di Medan pada bulan April 195348 dan Teungku Muhammad Daud Beureu’eh
sebagai ketua umumnya, dengan satu keputusan “memperjuangkan dalam pemilihan umum yang
akan datang supaya Negara Republik Indonesia menjadi Negara Islam Indonesia”. Dan
pemberontakan itupun pada akhirnya di akhiri dalam sebuah kongres Musyawarah Kerukunan
Rakyat Aceh (MKRA). Ini berarti akhir yang sesungguhnya dari menegakkan negara Islam di
Aceh, walaupun tertunda, tapi telah mendapat akomodasi politik yang besar, sebuah pengakuan
terhadap jati diri bangsa Aceh dan merupakan peneguhan sikap dan keinginan untuk menerapkan
syariat Islam.
Dalam perjalanannya penerapan syariat Islam di Aceh tidak sesuai dengan yang
diharapkan, misalnya pada tahun 1979dikeluarkannya Undang-undang Nomor 5 tentang
Pemerintahan Desa. Dengan adanya UU ini struktur gampong dan mukim serta segala
perangkatnya tidak berlaku lagi, perangkat pemerintahan lokal ini digantikan dengan struktur baru
yang bersifat nasional. Dengan begitu struktur lokal yang menjadi basis kehidupan masyarakat di
desa menjadi kurang berperan. Pada tahun 1976 benih-benih komflik mulai muncul lagi, hal ini
ditandai dengan keputusan Hasan Tiro yang memproklamirkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di
Pidie pada awal tahun 1977, dengan alasan bahwaIndonesia adalah sebagai “neokolonial”yang
menjajah Aceh dan bergabungnya Aceh ke Indonesia pasca kemerdekaan merupakan suatu
kecelakaan sejarah yang perlu segera dikoreksi.
Memisahkan Aceh dari Indonesia merupakan tujuan GAM. Dengan alasan itupulalah Hasan
Tiro mmenjadi incaran aparat keamanan Indonesia (TNI-POLRI), usaha TNI/POLRI ini berhasil
membatasi kegiatan dan pengaruh GAM di Aceh pada saat itu, tapi gagalmenangkap Hasan
Tiro.Hasan Tiro kemudian meninggalkan Aceh dan menetap di Swedia, dan membentuk
pemerintahannya selama dipengasingan tersebut. Periode ini adalah periode yang berlarut-larut dan
berlangsung lama. Periode ini sendiri dibagi kepada tiga generasi, generasi pertama atau generasi
penggerak awal dipelopori oleh orang-orang yang merasa tidak puas terhadap pengelolaan ladang
minyak Arun yang dianggap tidak adil atau dengan alasan ekonomi, generasi dipimpin oleh Hasan
Tiro.
Kelompok ini juga didukung oleh sisa-sisa kelompok Darul Islam yang juga kecewa
terhadap implementasi kesepakatan damai otonomi terbatas di Aceh. Gerakan ini mendapat respon
yang keras dari pemerintah, sehingga pada awal tahun 80an gerakan ini dapat dikatan bisa diredam,
sebagian dari anggotanya ada yang tertangkap, terbunuh dan melarikan diri keluar negeri. Generasi
kedua GAM muncul pada akhir tahun 90an. Menurut beberapa sumber, Hasan Tiro yang telah
menetap di Swedia berhasil menjalin kerja sama dengan Libya untuk memberikan pelatihan militer
kepada beberapa orang Aceh, banyak dari mereka yang dilatih pada akhir tahun 90an telah pulang
ke Aceh dan melakukan aksi seporadis terhadap kantorkantor pemerintahan dan juga pihak
keamanan. Pada tahun 1989 Presiden Soeharto menggelar operasi Jaring Merah yang menjadikan
Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) sampai pada tahun 1998. Selama operasi militer,
diindikasikan telah terjadi pelanggaran HAM yang berat di Aceh yang mengakibatkan penderitaan
rakyat semakin bertambah.
Generasi ketiga GAM mucul setelah pencabutan satus Aceh dari Daerah Operasi Militer
(DOM) dibawah pemerintahan B.J Habibie. Setelah pencabutan DOM banyak anggota GAM yang
semasa DOM di Aceh, melarikan diri keluar negeri pulang kembali ke Aceh dan menunggangi
gerakan reformasi yang berkembang luas. Pelanggaran HAM yang terjadi semasa DOM telah
menimbulkan kebencian yang masif terhadap Pemerintahan Pusat di Jakarta yang diusung oleh
GAM sebagai titik tolak untuk meningkatkan identitas ke–Acehan (ethnonasionalisme). Isu ini
berhasil diartikkulasikan dengan isu-isu yang berkembang dimasyarakat seperti, ideologi,
kemiskinan, kesenjangan, ketidakadilan serta isu pemisahan Aceh dari NKRI.

3. Masa Reformasi (1999 Sampai Dengan Sekarang)


Konflik vertikal antara Pemerintahan Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah
berlangsung cukup lama, berbagai cara sebenarnya telah ditempuh oleh Pemerintah Pusat di
Jakarta untuk mengeluarkan Aceh dari konflik yang berkepanjagan, namun sampai pada akhir
Pemerintahan Orde Baru, kondisi Aceh belum menunjukkan adanya tandatanda kedamaian, Aceh
masih tetap dilanda konflik yang tak berkesudahan.
Setelah rezim Orde Baru jatuh dan tampuk pimpinan kekuasaan jatuh kepada B.J Habibie
(Mei 1998 – Oktober 1999) jalan damai di Aceh memasuki babak baru. Hal ini merupakan sebuah
penalaran dari para elite politik Pemerintah Pusat di jakarta dan elite politik daerah di Aceh guna
untuk mengakhiri konflik yang berkepanjangan, pelanggaran HAM dan eksploitasi ekonomi yang
seolah tiada henti. Pada tanggal 7 Agustus 1998 pencabutan satus Darurat Militer terhadap Aceh
resmi dilakukan, hal ini ditandai dengan penarikan aparat militer dan kepolisian dan permohonan
maaf dari kepala angkatan bersejata Republik Indonesia Jendral Wiranto atas pelanggaran HAMdi
Aceh selama sembilan tahun pelaksanaan Daerah Operasi Militer – DOM (1989-1998). Pasca
reformasi 1998 kemudian dilanjutkan dengan amandemen Undang-undang
Dasar (UUD) 1945, hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah
mengalami perubahan pola yang signifikan, dimana sebelumnya menganut pola sentralistik, tetapi
setelah reformasi berubah menjadi pola desentralistik. Inilah yang membuat harapan Aceh untuk
menerpakan syariat Islam kembali terbuka, hal ini terbukti dengan dikeluarkannya Undangundang
No. 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, yang
dimana UU ini mengakomodasi kepentingan Aceh dalam bidang Agama, adat istiadat dan
penempatan peran ulama pada tataran yang sangat terhormat dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Sebagai upaya awal penerapan syariat Islam secara kaffah dan bentuk
respon terhadap lahirnya UU diatas, Aceh menerbitkan Perda Nomor 5 Tahun 2000 tentang
Pelaksanaan syariat Islam. Perda ini memiliki basis konstitusional sekalipun tidak jelas, boleh
dikatakan bahwa perda ini mendahului undang-undang yang memberikan hak Otonomi Khusus
bagi Pemerintahan Daerah Istimewa Aceh untuk menerapkan syariat Islam di bumi Serambi
Mekkah yang baru di undangkan dua tahun kemudian (UU No. 18 Tahun 2001) setelah di
undangkannya UU No. 44 Tahun 1999.
Titik tolak perdamaian Aceh yang ditempuh oleh pemerintah adalah dengan penunjukan
Henri Dunant Centre (HDC) sebagai pihak ketiga guna untuk mencari jalan penyelesaian Aceh
secara tepat, damai dan demokratis. Pada tanggal 12 Mei 2000 dicetuskan “Kesepakatan Bersama
tentang Jeda Kemanusiaan di Aceh” yang epektif dilaksanakan sejak Juni – September 2000 dan
kemudian diperpanjang hingga Januari 2001. Pada akhir Januari 2001 HDC membawa kedua belah
pihak ke Genewa guna untuk membuat kesepakan yang mengedepankan masa depan politik, yakni
adanya pemilihan yang bebas dan adil bagi Aceh dan sebuah komisi independen yang diterima
kedua belah pihak. Selanjutnya proses perdamaian Aceh terus berlanjut dengan dilakukannya
perjanjian Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) tanggal 9 Desember 2002, yang masih
ditengahi oleh pihak HDC di Jenewa. Perdamaian ini dirancang untuk menghentikan kekerasan dan
membentuk kerangka perdamaian yang kekal yang mengedepankan 4 agenda yang utama(1)
Agenda bidang militer, (2) Bantuan Kemanusiaan, (3) Rekonstruksi dan (4) Reformasi Sipil.
Pihak yang diberi mandat untuk memantau keadaan keamanan dan meneliti setiap
pelanggara adalah Komite Keamanan Bersama (Joint Security Committee/ JSC). Komite ini
dipimpin secara tripartite, yang terdiri dari seorang perwira senior dari militer Thailand yaitu
Mayor JendralTanongsuk Tivinum; Brigadir Jendral Safzen Noerdin dari pihak TNI; dan Sofyan
Ibrahim Tiba dari GAM. Pada masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid upaya damai terus
dilakukan, pendekatan dengan jalur dialog ditempuh dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di
Genewa Swis. Pada 11 April 2001 Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Intruksi Presiden
No. 4 Tahun 2001 tentang perlakuan khusus terhadap situasi di Aceh. Agama tidak disebutkan
sebagai suatu masalah dalam Impres ini, hal ini dimungkinkan karena GAM tidak menjadikan
Islam sebagai basis idiologi dalam melakukan aksinya dan negara Islam bukanlah bagian dari
platform formalnya. Pada akhirnya perjanjian penghentian permusuhan (Cessation of Hostilities
Agreement) mengalami kegagalan yaitu dengan tidak diterimanya kesepakatan yang ditawarkan
oleh pemerintah, khususnya mengenai integritas NKRI. Selanjutnya pada saat pemerintahan
Megawati Soekarno Putri, dikeluarkan Keputusan Presiden (Kepres) No. 28 tahun 2003 tanggal 9
Mei 2003 yang memberikan status baru untuk Aceh yakni Darurat Militer.
Pemerintah melakukan Operasi Terpadu yang bersifat menegakkan kembali kedaulatan
NKRI dan kemudian diperpanjang melalui Kepres No. 97 tahun 2003 untuk periode 18 November
2003 sampai 19 Mei 2004. Selanjutnya pada tahun 2004 perubahan status Aceh dari Darurat
Militer berubah menjadi Darurat Sipil melaui Kepres No. 43 tahun 2004. Perubahan status ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa perkembangan situasi keaman di Aceh semakin kondusif.
Dalam perjalananya Perda No. 5 Tahun 2000 ini tidak berjalan dengan efektif,85 sehingga
terjadilah revisi terhadap UU No. 44 Tahun 1999 menjadi UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus dan sekaligus mengubah nama Provinsi Daerah Istimewa Aceh menjadi Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam.86 Didalam UU Otomi Khusus bagi Aceh yang ditanda tangani oleh Presiden
Megawati Soekarno Putri ini terdapat beberapa instrumen yang menjadi dasar pelaksanaan syariat
Islam di Aceh diantaranya adalah Mahkamah Syar’iyah dan Qanun Pemerintahan Aceh.
Peluang ini berusaha untuk diaktualisasikan masyarakat Aceh melalui Pemerintah Daerah dan
Perwakilan Rakyat di DPRD. Pemerintah Daerah melalui Gubernur Aceh telah mendeklarasikan
pemebrlakuan syariat Islam di Aceh secara kaffah pada tanggal 1 Muharram 1423 H dan
pembentukan Dinas Syariat Islam (DSI) ditingkat provinsi yang kemudian diikuti oleh kabupaten –
kota di provinsi Aceh berikutnya. DPRD Aceh kemudian mengeluarkan qanun sebagai landasan
hukum pelaksanaanya. Mahkamah Agung juga ikut mengambil peran satu tahun berselang, yaitu
pada tanggal 1 Muharram 1424 H, Mahkamah Agung membentuk Mahkamah Syar’iyah di Aceh
sebagai pengganti Pengadilan.

A. Lembaga-Lembaga Penegak Syariat Islam di Aceh


1). Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU)
Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja
MPU NAD merupakan penjabaran keistimewaan daerah Aceh di bidang Peran Ulama dalam
Penetapan Kebijakan Daerah. Lembaga MPU ini sebagai pengganti lembaga Majlis Ulama
Indonesia Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang telah ada sebelumnya. Menurut PERDA tersebut,
lembaga MPU ini merupakan suatu badan yang independen dan bukan unsur pelaksana Pemerinta
Daerah dan DPRD. MPU merupakan mitra sejajar Pemerintah Daerah dan DPRD.
Sesuai dengan fungsinya, maka MPU bertugas memberi masukan, pertimbangan,
bimbingan dan nasehat serta saran-saran dalam menentukan kebijakan Daerah dari aspek Syariat
Islam, baik kepada Pemerintah Daerah, maupun kepada masyarakat di daerah. Berkaitan dengan
tata hubungan MPU dengan lembaga pemerintahan, telah lahir pula Qanun Nomor 9 Tahun 2003
tentang Hubungan Tata Kerja Majlis Permusyawaratan Ulama dengan Eksekutif, Legislatif dan
Instansi Lainnya. Dalam Qanun tersebut secara konkrit ditegaskan tentang kewenangan Majlis
Permusyawaratan Ulama ( MPU ) yakni : memberikan pertimbangan, saran/fatwa baik diminta
maupun tidak diminta kepada Badan Eksekutif, Legislatif, Kepolisian Daerah NAD, Kejaksaan,
KODAM dan lain-lain badan/Lembaga Pemerintah.

2). Dinas Syariat Islam


Pembentukan Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah untuk
meningkatkan kelancaran pelaksanaan tugas operasional Pemerintah Daerah di bidang Pelaksanaan
Syariat Islam sebagai tindak lanjut pelaksanaan Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999. Dinas
Syariat Islam adalah unsur pelaksanaan Syariat Islam di lingkungan Pemerintah Daerah yang
berada di bawah Gubernur dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah.
Tugas Dinas Syariat Islam adalah melaksanakan tugas umum dan khusus Pemerintah Daerah dan
pembangunan serta bertanggung jawab di bidang Pelaksanaan Syariat Islam. Untuk melaksanakan
tugas tersebut di atas, Dinas Syariat Islam menjalankan lima fungsi, yakni :
1. Perencanaan dan penyiapan qanun yan berhubungan dengan Syariat Islam.
2. Penyiapan dan pembinaan sumber daya manusia yang berhubungan dengan
pelaksanaan syariat Islam.
3. Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan kelancaran dan ketertiban
pelaksanaan peribadatan dan penataan sarananya serta penyemarakan syiar Islam.
4. Bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Syariat Islam.
5. Bimbingan dan penyuluhan Syariat Islam.
Di antara program-program yang telah dilaksanakan Dinas Syariat Islam adalah :
pengiriman da’i ( pendakwah ) ke daerah perbatasan dan terpencil, pembinaan Wilayatul Hisbah
( WH ) sebagai pengawas syariat, bantuan sarana peribadatan dan sarana peradilan ( Mahkamah
Syar’iyah ). Khusus untuk lembaga Wilayatul Hisbah sejak tahun 2008 tidak lagi di bawah
pembinaan Dinas Syari’at Islam, tetapi telah bernaung di bawah suatu Satuan Kerja Perangkat
Daerah ( SKPD ) tersendiri yakni Badan Satuan Polisi pamong Praja dan Wilayatul Hisbah.
Di samping Dinas Syari’at Islam di tingkat Provinsi selaku perangkat Pemerintah Daerah
yang berada di bawah Gubernur, maka di tingkat Kabupaten/Kota juga dibentuk lembaga yang
sama yang merupakan perangkat pemerintahan Kabupaten/Kota yang berada di bawah
Bupati/Walikota. Namun sampai saat ini lembaga pengemban tugas di bidang pelaksanaan syari’at
Islam ini belum seragam baik namanya maupun stuktur Organisasinya antara satu daerah
Kabupaten/Kota dengan Kabupaten/Kota lainnya yang ada di Aceh.

3). Mahkamah Syari,ah (MS)


Pemerintah Pusat melalui Menteri Agama pada tanggal 4 Maret 2003 bertepatan dengan
tahun baru 1424 H, telah meresmikan Mahkamah Syar'iyah (MS) Provinsi dan Kabupaten/Kota se-
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Mahkamah Syar’iyah itu sendiri merupakan
pengganti Pengadilan Agama dengan telah mengalami perluasan dalam hal kewenangannya. UU
No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam (selanjutnya UU PNAD) membawa perkembangan baru di Aceh
dalam sistem peradilan. Pasal 25 – Pasal 26 UU PNAD mengatur mengenai Mahkamah
Syar’iyah NAD yang merupakan peradilan syari’at Islam sebagai bagian dari sistem peradilan
nasional. Mahkamah Syari’ah adalah lembaga peradilan yang bebas dari pengaruh pihak manapun
dalam wilayah PNAD yang berlaku untuk pemeluk agama Islam. Kewenangan Mahkamah
Syar’iyah selanjutnya diatur lebih lanjut dengan Qanun PNAD.
Qanun PNAD adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan dari wewenang yang diberikan
oleh UU No. 18 tahun 2001 untuk mengatur daerah dan Mahkamah Agung berwenang melakukan
uji materiil terhadap Qanun. Mahkamah Syari’ah tersebut terdiri dari:
1. Makamah Syari’ah Kabupaten/Sagoe dan Kota/Banda sebagai pengadilan tingkat pertama.
2. Mahkamah Syari’ah Provinsi sebagai pengadilan tingkat banding yang berada di ibukota
Provinsi, yaitu di Banda Aceh. Sementara untuk tingkat kasasi tetap dilakukan di Mahkamah
Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24A UUD NRI 1945, yaitu Mahkamah
Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundangundangan di bawah
undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Di
bidang justisial Mahkamah Syar’iyah mempunyai tugas untuk menerima, memeriksa, dan
menyelesaikan perkara antar orang Islam di bidang al-ahwa alsyakhshiyah (hukum keluarga),
muamalah (perdata) dan jinayah (pidana) Pasal 49 Qanun No 10 Tahun 2002 tentang Peradilan
Syariat Islam.
Perkara bidang al-ahwa alsyakhshiyah meliputi masalah perkawinan, kewarisan dan wasiat.
Bidang muamalah antaranya meliputi masalah jual beli, utang-piutang, qiradh (permodalan), bagi
hasil, pinjam meminjam, perkongsian, wakilah, penyitaan, gadai, sewa menyewa, perburuhan.
Untuk perkara jinayah termasuk perbuatan yang dapat diancam dengan jenis hukuman hudud,
qishas, dan ta’zir
Di bidang jinayah kita telah mempunyai tiga qanun jinayah yaitu:
1. Qanun No 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan sejenisnya.
2. Qanun No 13 Tahun 2003 tentang Maisir (perjudian).
3. Qanun No 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (mesum).

4. Wilayatul Hisbah (WH)


Wilayatul Hisbah (yang selanjutnya Disebut merupakan perangkat
yang memiliki tugas dan kewajiban untuk mengawal dan mengontrol pelaksanaan syariat Islam di
Aceh. Keberadaannya diatur dengan qanun serta keputusan gubernur yang telah memberikan
wewenang penuh kepada aparatur penegak syariat ini melaksanakan seluruh proses pengawalan
secara penuh dan tanpa ragu ragu. Gubernur, Bupati/Walikota dan Camat di aceh, , sebagaimana
entitas administratif lainnya di Indonesia, dapat membentuk Satpol PP untuk menegakkan
peraturan terkait dengan“ketertiban publik dan ketentraman masyarakat.” UU No. 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh (UU PA) secara khusus memberi wewenang kepada Pemerintah
Daerah.
Aceh untuk membentuk unit WH yang bertanggung jawab menerapkan hukum Syariah
sebagai bagian dari Satpol PP. Petugas-petugas Satpol PP lainnya sesekali mengadakan patroli dan
operasi bersama dengan rekan-rekannya di WH. Semua petugas WH memiliki wewenang untuk
“menegur dan menasihati, memperingatkan, dan memberikan bimbingan moral” kepada orang-
orang yang mereka curigai melanggar hukum Syariah di Aceh, memberitahu pihak berwenang
yang sesuai tentang kemungkinan adanya pelanggaran hukum Syariah, dan memfasilitasi
penyelesaian pelanggaran Syariah melalui tata cara atau hukum adat.
Petugas WH yang telah diangkat sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) memiliki
wewenang tambahan, yaitu menangkap dan menahan orangorang yang dituduh melakukan
pelanggaran Syariah tertentu, hingga 24 jam dan mengadakan penyelidikan seperti layaknya polisi
atas dugaan pelanggaran Syariah, termasuk mendapatkan testimoni dari saksi mata dan
memerintahkan pemeriksaan medis. Keputusan Gubernur No. 1 Tahun 2004 Tentang Pembentukan
Organisasi dan Tata Kerja Wilayatul Hisbah, yang secara resmi membentuk WH, mengatur peran
WH sebagai sumber panduan dan nasihat spiritual bagi masyarakat Aceh. Qanun Nomor 12 Tahun
2003 yang mengatur tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya, memberikan wewenang kepada
WH untuk memberi peringatan dan pembinaan terlebih dahulu kepada pelaku sebelum
menyerahkan laporannya kepada penyidik. Perda ini tidak memberikan wewenang kepada petugas
WH untuk menangkap tersangka, melainkan menyerahkan mereka kepada Kepolisian Daerah
(Polda) atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) jika perilaku mereka tidak berubah.
5. Baitul Mal Baitul
Mal berarti rumah untuk mengumpulkan atau menyimpan harta. Baitul Mal dapat juga
diartikan secara fisik sebagai tempat (al-makan) untuk menyimpan dan mengelola segala macam
harta yang menjadi pendapatan negara. Baitul Maal wa Tamwil (BMT) terdiri dari dua kata baitul
maal dan baitul tamwil. Baitul maal lebih mengarah pada usaha-usaha pengumpulan dan
penyaluran dana yang non profit, seperti zakat, infaq dan shadaqah. Sedangkan baitul tamwil
sebagai usaha pengumpulan dan penyaluran dana komersia.

C Problematika Pelaksanaan Syariat Islam


1. Pengertian Problematika
Istilah problema/problematika berasal dari bahasa Inggris yaitu "problematic" yang artinya
persoalan atau masalah. Sedangkan dalam kamus bahasa Indonesia, problema berarti hal yang
belum dapat dipecahkan; yang menimbulkan permasalahan. Adapun masalah itu sendiri adalah
suatu kendala atau persoalan yang harus dipecahkan dengan kata lain masalah merupakan
kesenjangan antara kenyataan dengan suatu yang diharapkan dengan baik, agar tercapai hasil yang
maksimal.
Syukir mengemukakan problematika adalah suatu kesenjangan yang mana antara harapan
dan kenyataan yang diharapkan dapat menyelesaikan atau dapat diperlukan. Menurut penulis
problematika adalah berbagai persoalan-persoalan sulit yang dihadapi dalam proses pemberdayaan,
baik yang datang dari faktor intern atau ekstern.
Pembagian Problematika Dari hasil identifikasi problem tersebut, problem internal dan problem
eksternal, dengan penjabaran sebagai berikut:
1). Problematika Internal
a. Perpecahan di kalangan umat Islam Dijadikannya negara Muslim menjadi banyak dan kecil-
kecil menjadikan umat Islam selalu dalam keadaan berpecah belah. Sehingga negara Muslim lebih
banyak disibukkan dengan perebutan batas negara dan munculnya paham sukuisme sekterian dan
nasionalisme sempit. Diungkapkan Fathi Yakan Sampai saat ini semua peranan bangsa Arab dan
Islam hanya berada di pinggiran. Hampir tidak diperhitungkan dalam menghadapi percaturan
tatanan Dunia Baru. Perpecahan bangsa Arab dan Islam, tidak adanya proyek Arab atau Islam yang
berskala internasional, menjadikan semua proyek Arab dan Islam hanya bersifat lokal dan
sectarian.
b. Pluralitas Gerakan Dakwah dan Fanatisme Mazhab Sebenarnya banyaknya gerakan Islam di
dunia yang bisa menjadi suatu sinergi dakwah jika saja semua elemen itu memiki visi bersama dan
melakukan gerakan dengan landasan kebersamaan, profesionalisme dan spesifikasi gerakan.
Namun karena tidak ada misi bersama, yang terjadi saat ini adalah masing-masing gerakan bekerja
nafsi-nafs iyang kadang-kadang overleap sehingga tidak optimal. Bahkan banyak yang
bertentangan secara diametral sehingga justru malah menghasilkan resultan yang lebih kecil karena
saling melemahkan.
2). Problematika Eksternal Syariat Islam
a. Invasi Pemikiran Yang dimaksud dengan invasi pemikiran (Ghazwul Fikri) adalah usaha
suatu bangsa untuk menguasai pemikiran bangsa lain (kaum yang diinvasi), lalu menjadikan
mereka (kaum yang diinvasai) sebagai pengikut setia terhadap setiap pemikiran, idealisme way of
life, metode pendidikan, kebudayaan, bahasa, etika, serta norma-norma kehidupan yang ditawarkan
kaum penginvasi.Invasi pemikiran jelas-jelas bermaksud merusak tatanan masyarakat Islam,
mengganti norma dan budaya Islam dengan Barat dan menjauhkan umat Islam dengan diennya
sendiri.
Garis besar langkah kerja meraka adalah; (1). Merusak Islam dari segi aqidah, ibadah, norma
dan akhlak. (2). Memecah dan memilah kaum Muslimin di muka bumi dengan sukuisme dan
nasionalisme sempit. (3). Menjelek-jelekkan gambaran Islam. (4). Memperdayakan bangsa Muslim
dengan menggambarkan bahwa segala kemajuan kebudayaan dan peradaban dicapai dengan
memisahkan bahkan menghancurkan Islam dari masyarakat. b. Sekurelisme Pemisahan dengan
sangat dikotomis antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu non agama memang merupakan bagian
dari upaya untuk menghilangkan peran agama dalam masyarakat dan memunculkan keraguan akan
kebenaran agama. Sekulerisme menjadi sesuatu yang dianggap baik oleh Barat karena secara
historis ia terlahir dari perlawanan atas kejumudan pemikiran gereja diabad pertengahan.
Pemahaman seperti ini masih banyak berada dalam kepala umat Islam. Sekulerisme berdampak
cukup serius kepada umat Islam, selain hilangnya kepahaman akan syumuliataul Islam juga
menjadikan agama hanya sebatas ritualritual semata.
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Syariat Islam sudah berlaku di Nanggroe Aceh Darussalam pada masa awal kemerdekaan. Fase-
fase sejarah pemberlakuan syariat Islam di Aceh terbagi menjadi tiga fase yaitu:
1). Pada masa awal kemerdekaan sampai dengan tahun 1959.
2). Pada masa kemerdekaan (959-1998).
3). Pada masa reformasi 1999 sampai dengan sekarang. Lembaga-lembaga pendukung
pelaksanaan syariat islam yaitu:
1). Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU).
2). Dinas Syariat Islam.
3). Mahkamah Sariyyah (MS).
4). Wilayatul Hismah (WH).
5). Baitul Mal.
6). Dinas Pendidikan Dayah. Problematika syariat islam adalah berbagai persoalan-
persoalan sulit yang dihadapi dalam proses pemberdayaan, baik yang datang dari faktor intern atau
ekstern. Problematika terbagi menjadi dua yaitu:
1). Problematika Internal.
2). Problematika Eksternal (bidang ibadah), menyediakan fasilitas atau peluang kepada
orang muslim tanpa uzur syar’i untuk tidak berpuasa(bidang agama), makan minum di tempat
umum di siang hari di bulan puasa (bidang ibadah), dan tidak berbusana islami (bidang ibadah).
Mahkamah Syar’iyyah dipercayakan pula untuk mengadili perkara-perkara tindak pidana dalam
pengelolaan zakat, tindak pidana yang dimaksud meliputi, tidak membayar zakat setelah jatuh
tempo, surat palsu atau memalsukan surat Baitul Mal, serta menyeleweng pengelolaan zakat.

3.2. Saran
Kami sebagai penulis, menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kesalahan dan sangat jauh
dari kesempurnaan.Tentunya, penulis akan terus memperbaiki makalah dengan mengacu pada
sumber yang dapat dipertanggungjawabkan nantinya.Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran tentang pembahasan makalah diatas.

You might also like