You are on page 1of 19

MAKALAH

KEPATUHAN HUKUM SEBAGAI UNSUR PENDUKUNG

PENEGAKAN HUKUM

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dan dalam mata kuliah Akhlak Tasawuf

Disusun Oleh :

Kelompok

Zulkafri : 1119123

Waridatul Hasanah : 1119140

Dosen Pengampu:

IFNI YULFA, S.H.,M.H

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA (AKHWAL SYAKSIYAH)

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BUKITTINGGI

2022 M/ 1443 H
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kepada Allah SWT, Tuhan yang maha pengasih lagi
maha penyayang. Sholawat dan salam mudah-mudahan tetap tercurah pada junjungan
kita nabi Muhammad SAW. Manusia yang paling sempurna yang telah menjadi
petunjuk bagi manusia dan mengajak kita kepada jalan islam,begitu juga kepada
seluruh keluarga, sahabat dan para pengikutnya yang selalu mengajak kepada
kebaikan dan keselamatan. “Kepatuhan Hukum Sebagai Unsur Pendukung
Penegakan Hukum”

Kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Ifnie Yulfa, S.H.,M.H selaku dosen
mata kuliah Sosiologi Hukum yang telah memberikan tugas berupa makalah kepada
kami.

Dalam penyusunan tugas atau materi ini, kami menyadari sepenuhnya dalam
pembuatan dan penyusunan makalah kami tidak luput dari banyak kekurangan, oleh
sebab itu saran dan kritik yang sifatnya membangun dari pembaca sangat kami
harapkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi kami sendiri dan
umumnya bagi pembaca.

Bukittinggi, 22 Mei 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................i

DAFTAR ISI .....................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.............................................................................1
B. Rumusan Masalah.......................................................................2
C. Tujuan Penulisan.........................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Kepatuhan Terhadap Hukum.....................................3


B. Teori tentang Kepatuhan Masyakarat..........................................7
C. Contoh-contoh Relevan Masing-masing Teori...........................12
D. Kontribusi Kepatuhan Hukum Upaya Penegakan Hukum..........15

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan..................................................................................18
B. Saran............................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu indikator negara hukum adalah keberhasilan dalam penegakan


hukumnya. Dikatakan berhasil karena hukum yang telah diaturnya, sudah
seharusnya dan sudah waktunya, dijalankan dan ditaati oleh seluruh elemen
masyarakat. Ketiadaan dan kurang maksimalnya penegakan hukum dapat
berimplikasi terhadap kredibilitas para pembentuk aturannya, pelaksana aturan
dan masyarakat yang terkena aturan itu sendiri, sehingga seluruh elemen akan
terkena dampaknya. Untuk itulah, maka menjadi penting untuk diketahui apakah
penegakan hukum itu sesungguhnya.

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk dapat tegak atau
berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dan telah diatur sebagai
pedoman perilakunya dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum
dalam kehidupan manusia bermasyarakat dan bernegara. Untuk itulah, maka
ketentuan yang telah mengaturnya tidak akan berhenti dalam arti aturan yang
tidak bergerak atau mati, tetapi tetap akan tegak bediri dan berjalan ke depan
sebagaimana yang ditentukan oleh lembaga resmi dan diakui negara untuk
mengaturnya. Secara luas, proses dalam penegakan hukum itu melibatkan semua
subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa sajakah yang menjalankan
aturan normatif atau melakukan atau tidak melakukan sesuatu dengan
mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, maka hal itu berarti
telah menjalankan atau menegakkan aturan hukum.

1
B. Rumusan Masalah
Agar tidak terjadinya kesalahpahaman dalam memahami konsep Sosiologi
Hukum, maka adapun sub bab yang akan di bahas antara lain, sebagai
berikut :
1. Apa itu pengertian Kepatuhan Terhadap Hukum?
2. Apa Teori tentang Kepatuhan Masyakarat?
3. Apa pengertian kontoh-contoh Relevan Masing-masing Teori?
4. Apa pengertian Kontribusi Kepatuhan Hukum Upaya Penegakan Hukum?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian Kepatuhan Terhadap Hukum.
2. Untuk mengetahui Teori tentang Kepatuhan Masyakarat.
3. Untuk mengetahui kontoh-contoh Relevan Masing-masing Teori.
4. Untuk mengetahui Kontribusi Kepatuhan Hukum Upaya Penegakan
Hukum.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kepatuhan Terhadap Hukum

Hukum merupakan salah satu instrumen untuk mengatur tingkah laku masyarakat
dalam mengatur pergaulan hidup. Secara sosiologis hukum mengandung berbagai
unsur antara lain rencanarencana tindakan atau perilaku, kondisi dan situasi tertentu.
Definisi hukum umumnya telah banyak dikemukakan oleh para ahli dengan
pendapatnya masing-masing, seperti menurut Abdul Manan: “Hukum adalah suatu
rangkaian peraturan yang menguasai tingkah laku dan perbuatan tertentu dari
manusia dalam hidup bermasyarakat. Hukum itu sendiri mempunyai ciri yang tetap
yakni hukum merupakan suatu organ peraturan-peraturan abstrak, hukum untuk
mengatur kepentingan-kepentingan manusia, siapa saja yang melanggar hukum akan
dikenakan sanksi sesuai dengan apa yang telah ditentukan”1

Hukum adalah segala peraturan yang di dalamnya berisi peraturan-peraturan


yang wajib ditaati oleh semua orang dan terdapat sanksi yang tegas di dalamnya bagi
yang melanggar. Ketaatan adalah sikap patuh pada aturan yang berlaku. Bukan di
sebabkan oleh adanya sanksi yang tegas atau hadirnya aparat negara, misalnya polisi.
Kepatuhan adalah sikap yang muncul dari dorongan tanggung jawab sebagai warga
negara yang baik. Kepatuhan hukum adalah kesadaran kemanfaatan hukum yang
melahirkan bentuk "kesetiaan" masyarakat terhadap nilai-nilai hukum yang
diberlakukan dalam hidup bersama yang diwujudkan dalam bentuk prilaku yang
senyatanya patuh terhadap nilai-nilai hukum itu sendiri yang dapat dilihat dan
dirasakan oleh sesama anggota masyarakat2
1
Manan Abdul, Aspek-aspek Pengubah Hukum(Kencana: Jakarta, 2006), 2
2
Maronie S, Kesadaran Kepatuhan Hukum, https://www.zriefmaronie.blospot. com. Diakses pada
tanggal 15 Oktober 2019
3
Kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam
diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada.
Sebenarnya yang ditekankan adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum dan bukan suatu
penilaian hukum terhadap kejadian-kejadian yang konkrit dalam masyarakat yang
bersangkutan Kesadaran hukum dan hukum itu mempunyai kaitan yang erat sekali
demi untuk meningkatkan kesadaran hukum yang positif, baik dari warga masyarakat
secara keseluruhan, maupun dari kalangan penegak hukum. Sebagaimana diketahui
bahwa kesadaran hukum ada dua macam :

a. Kesadaran hukum positif, identik dengan kepatuhan hukum.

b. Kesadaran hukum negatif, identik dengan ketidapatuhan hukum.

Jadi, istilah “kesadaran hukum” digunakan oleh para ilmuwan sosial untuk
mengacu ke cara-cara di mana orang-orang memaknakan hukum dan institusi-
institusi hukum, yaitu, pemahaman-pemahaman yang memberikan makna kepada
pengalaman dan tindakan orang-orang.

B. Teori Tentang Kepatuhan Masyarakat Terhadap Hukum

Menurut Soerjono, hakikat kepatuhan hukum memiliki 3 (tiga) faktor yang


menyebabkan warga masyarakat mematuhi hukum, antara lain 3

a. Compliance
“An overt acceptance induced by expectation of rewards and an
attempt to avoid possible punishment – not by any conviction in the
desirability of the enforced nile. Power of the influencing agent is based
on „means-control” and, as a consequence, the influenced person
conforms only under surveillance”. “Penerimaan yang terang-terangan
disebabkan oleh ekspektasi penghargaan dan upaya untuk menghindari

3
Soekanto Soerjono, Kesadaran Hukum Dan Kepatuhan Hukum (Jakarta: CV. Rajawali,1982), 152
4
kemungkinan hukuman - bukan oleh keyakinan apa pun terhadap
keinginan nilai yang dipaksakan. Kekuatan agen yang mempengaruhi
didasarkan pada "cara-kontrol" dan sebagai konsekuensinya, orang yang
terpengaruh hanya sesuai di bawah pengawasan”. Suatu kepatuhan yang
didasarkan pada harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk
menghindari diri dari hukuman atau sanksi yang mungkin dikenakan
apabila seseorang melanggar ketentuan hukum. Kepatuhan ini sama
sekali tidak didasarkan pada suatu keyakinan pada tujuan kaidah hukum
yang bersangkutan, dan lebih didasarkan pada pengendalian dari
pemegang kekuasaan. Sebagai akibatnya, kepatuhan hukum akan ada
apabila ada pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan kaidah-kaidah
hukum tersebut.
b. Identification
“An acceptance of a rule not because of its intrinsic value and appeal
but because of a person’s desire to maintain membership in a group or
relationship with the agent. The source of power is the attractiveness of
the relation which the persons enjoy with the group or agent, and his
conformity with the rule will be dependent upon the salience of these
relationships” “Penerimaan aturan bukan karena nilai intrinsik dan daya
tariknya tetapi karena keinginan seseorang untuk mempertahankan
keanggotaan dalam suatu kelompok atau hubungan dengan agen. Sumber
kekuatan adalah daya tarik dari hubungan yang orang nikmati dengan
kelompok atau agen, dan kesesuaiannya dengan aturan akan tergantung
pada arti-penting hubungan ini ” Terjadi bila kepatuhan terhadap kaidah
hukum ada bukan karena nilai intrinsiknya, akan tetapi agar keanggotaan
kelompok tetap terjaga serta ada hubungan baik dengan mereka yang
diberi wewenang untuk menerapkan kaidah hukum tersebut. Daya tarik
untuk patuh adalah keuntungan yang diperoleh dari hubungan-hubungan

5
tersebut, dengan demikian kepatuhan tergantung pada baik buruk
interaksi. 4
c. Internalization
“The acceptance by an individual of a rule or behavior because he finds
its content intrinsically rewarding the content is congruent with a person‟s
values either because his values changed and adapted to the inevitable”.
“Penerimaan oleh individu atas suatu aturan atau perilaku karena dia
menemukan kontennya secara intrinsik memberi penghargaan konten
tersebut sesuai dengan nilainilai seseorang baik karena nilai-nilainya
berubah dan disesuaikan dengan yang tak terhindarkan”. Pada tahap ini
seseorang mematuhi kaidah hukum karena secara intrinsik kepatuhan tadi
mempunyai imbalan. Isi kaidah tersebut adalah sesuai dengan nilai-nilainya
dari pribadi yang bersangkutan, atau karena Ia mengubah nilainilai semula
dianutnya. Hasil dari proses tersebut adalah suatu konformitas yang
didasarkan pada motivasi secara intrinsik. Titik sentral dari kekuatan proses
ini adalah kepercayaan orang tadi terhadap tujuan dari kaidah-kaidah yang
bersangkutan, terlepas dari pengaruh atau nilai-nilainya terhadap kelompok
atau pemegang kekuasaan maupun pengawasannya. Tahap ini merupakan
derajat kepatuhan tertinggi, dimana ketaatan itu timbul karena hukum yang
berlaku sesuai dengan nilai-nilai yang diemmut.
Dengan mengetahui ketiga jenis ketaatan ini maka kita dapat
mengidentifikasi seberapa efektifnya suatu peraturan perundang-undangan.
Semakin banyak warga masyarakat yang menaati suatu undang-undang
hanya dengan ketaatan yang bersifat compliance atau identification, berarti
kualitas keefektifan aturan undang-undang itu masih rendah, sebaliknya
semakin banyak warga masyarakat yang menaati suatu aturan
perundangundangan dengan ketaatan yang bersifat internalization, maka
semakin tinggi kualitas keefektifan aturan atau undang-undang itu.
4
Ibid, hlm 45
6
Terdapat dua perspektif dasar kepatuhan pada hukum, yaitu instrumental
dan normatif. 5

a. Perspektif instrumental berarti individu dengan kepentingan pribadi dan


tanggapan terhadap perubahan yang berhubungan dengan perilaku.

b. Perspektif normatif berhubungan dengan moral dan berlawanan dengan


kepentingan pribadi. Seseorang lebih cenderung patuh pada hukum yang
dianggap sesuai dan konsisten dengan norma-norma mereka. Komitmen
normatif melalui moralitas personal (normative commitment through morality)
berarti patuh pada hukum karena hukum dianggap suatu keharusan, sedangkan
komitmen normatif melalui legitimasi (normative commitment through
legitimacy)

Berarti patuh pada peraturan karena otoritas penyusun hukum yang


memiliki hak untuk mendikte perilaku. Teori kepatuhan hukum telah diteliti
pada ilmu-ilmu social khususnya di bidang psikologis dan sosiologi yang lebih
menekankan pada pentingnya proses sosialisasi dalam mempengaruhi perilaku
kepatuhan seorang individu.6

C. Kontoh-kontoh Relevan Masing-masing Teori

a. Compliance, bentuk kepatuhan hukum masyarakat yang disebabkan karena


adanya sanksi bagi pelanggar aturan tersebut, sehingga tujuan dari kepatuhan hanya
untuk terhindar dari sanksi hukum yang ada, seperti apabila polisi sebagai penegak
hukum melakukan operasi yang bertujuan memeriksa kelengkapan berkendara para
pelanggar akan memilih jalan lain agar terhindar dari operasi tersebut.

b. Identification, bentuk kepatuhan hukum di masyarakat yang di sebabkan karena


untuk mempertahankan hubungan yang menyenangkan dengan orang atau kelompok

5
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum(Jakarta:UI Press, 1986), 10
6
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum Dan Kepatuhan Hukum (Jakarta: CV. Rajawali,1982), 152
7
lain, seperti seorang anak di bawah yang memiliki keinginan berkendara tetapi di
karenakan salah satu dari kedua orang tua anak tersebut adalah penegak hukum maka
anak di bawah umur tersebut lebih memilih tidak menggunakan kendaraan bermotor.

c. Internalization, bentuk kepatuhan hukum masyarakat di karenakan masyarakat


mengetahui tujuan dan fungsi dari kaidah hukum tersebut, sehingga menyebabkan
masyarakat patuh kepada peraturan tersebut, seperti orang tua anak di bawah umur
yang melarang anaknya menggunakan kendaraan bermotor di karenakan anak usia di
bawah umur biasanya masih kurang mampu mengontrol emosi, kematangan berfikir
kurang, kesadaran akan tanggung jawab rendah dan di tambah lagi kurngnya
pemahaman akan pentingnya keselamatan. Dengan mengetahui ketiga jenis ketaatan
ini maka kita dapat mengidentifikasi seberapa efektivnya suatu peraturan perundang-
undangan. Semakin banyak warga masyarakat yang menaati suatu undang-undang
hanya dengan ketaatan yang bersifat compliance atau identification, berarti kualitas
keefektivan aturan undang-undang itu masih rendah, sebaliknya semakin banyak
warga masyarakat yang menaati suatu aturan perundang-undangan dengan ketaatan
yang bersifat internalization, maka semakin tinggi kualitas keefektivan aturan atau
undang-undang itu. 7

D. Kontribusi Penegakan Hukum Sebagai Upaya Penegakan Hukum

Penegakan hukum pada hakekatnya mengandung supremasi nilai substansial,


yaitu keadilan. Namun, semenjak hukum modern digunakan, pengadilan bukan lagi
tempat untuk mencari keadilan (searching of justice). Pengadilan tidak lebih hanya
menjadi lembaga yang berkutat pada aturan main dan prosedur. Hukum kemudian
tidak lagi dapat menyediakan keadilan sebagai trade mark-nya selama ini. Keadilan
telah mati secara dramatis di lembaga-lembaga peradilan di bawah rezim hukum
modern. Tidak hanya itu, hukum kemudian dipahami semata sebagai produk dari
negara dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Lembaga peradilan yang

7
Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press, Jakarta. Hal -10
8
semula sebagai house of justice harus berubah menjadi tempat untuk menerapkan
peraturan perundang-undangan dan prosedur. Indonesia, setelah beberapa kali
pergantian presiden justru penegakan hukumnya semakin terpuruk. Sehingga suka
atau tidak, keterpurukan hukum akan membawa dampak negatif terhadap kehidupan
lain, terutama di bidang perekonomian bangsa. 8

Karena hal ini merupakan jantung kehidupan suatu bangsa dalam melakukan
aktifitasnya. Semaksimal apapun yang dilakukan dalam bidang ekonomi oleh para
pakar ekonomi kita, tetapi sepanjang bangsa ini belum mampu solusi dan jalan keluar
dari keterpurukan hukumnya, hanya merupakan angan-angan belaka. Hal yang sangat
disayangkan, sistem hukum Indonesia mengalami keterpurukan yang luar biasa.
Karena setelah sepuluh tahun, masyarakat mandambakan adanya supremasi hukum
dan keadilan dapat ditegakkan dengan baik, tetapi hal itu hanya merupakan sebuah
wacana yang tak kunjung datang bahkan keterpurukan hukum di Indonesia semakin
semrawut. Indonesia adalah salah salah satu negara yang paling korup di dunia, tetapi
dalam realitasnya belum banyak koruptornya. Oleh karena dalam pandangan legistik-
normatif, seseorang barulah dianggap dapat dianggap sebagai seorang koruptor kalau
sudah ada keputusan dari pengadilan yang berkekuatan tetap yang dinyatakan terbukti
bersalah. Kemudian dalam realitasnya juga “para koruptor” ramai-ramai di SP3-kan,
dituntut bebas, divonis bebas atau dikabulkan permohonan PK-nya oleh MA.
Kaitannya dengan komponen sistem hukum, maka dapat dikemukakan salah satu
kendala yang bersumber dari hukum substansi (undang-undang) yakni pemberantasan
korupsi menjadi menjadi efek belum tegasnya undang-undang pemberantasan korupsi
dalam memberlakukan “asas pembuktian terbalik” yang menurut Ahmad Ali14
adalah merupakan salah satu syarat utama agar pemberantasan korupsi menjadi
efektif.

8
Ibid, hlm 65
9
Termasuk dengan peraturan tentang “kerahasiaan bank” agar tidak diberlakukan
selama proses hukum masih berlangsung. Karena hal itu menjadi perisai dan senjata
yang ampuh bagi para koruptor. Negara Indonesia adalah sebuah negara yang dapat
dikatakan aneh di dunia, karena ia termasuk diantara beberapa negara terkorup di
dunia, tetapi justru mereka yang paling banyak menggunakan uang negara atau rakyat
untuk kepentingan pribadinya (koruptor) sangat sedikit jumlahnya yang sempat
dijebloskan ke penjara dan bahkan mereka yang sementara diproses kasus korupsinya
adalah mereka yang hanya para koruptor yang berada di level kelas teri (penggunaan
uang negara hanya miliaran rupiah) sementara yang triliunan tidak dapat diungkap
dan diproses dengam atura hukum yang ada. Salah satu sebab sulitnya kasus korupsi
sulit diberantas di Indonesia adalah karena berbagai putusan hakim yang menangani
dan mengadili berbagai kasus korupsi adalah jauh dari rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakatnya. Fenomena law enforcement kita seperti itu adalah karena kita
terpenjara oleh paradigm legalistic, formalistic, dan procedural semata. Citra
pengadilan dan hakim kita di mata rakyat sudah sangat buruk. Suapmenyuap masih
tetap jalan dengan model dan cara yang bervariasi di lingkungan peradilan (sebagai
institusi hukum), apalagi jajaran birokrasi pemerintahan baik pusat maupun daerah.
Buktinya sekarang banyak pejabat daerah baik di lingkungan eksekutif maupun di
lingkungan legislatif yang terkena kasus korupsi. Efektif atau tidaknya suatu
ketentuan hukum, tidak hanya tergantung pada substansi hukumnya, tetapi juga
ditentukan oleh unsur struktur dan kultur hukum. 9

Oleh karena itu dibutuhkan hakim-hakim non karier, sehingga mereka yang
terlibat di dalamnya adalah para pakar hukum yang diakui kejujurannya dan
komitmennya untuk memberantas korupsi serta berbagai kasus lainnya dan juga tidak
mengabaikan ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman yang memerintahkan hakim-hakim untuk menggali
9
A. Mukthie Fadjar, Keprihatinan Memudarnya Penegakan Hukum dan Kewibawaan Hukum di
Indonesia (Suatu Refleksi Kritis Provokatif), Buletin Forum Doktor Alumni Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya, Edisi Ke-2, Juli 2011, hlm. 5.
10
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat, sehingga hakim tidak
hanya sekedar sebagai penegak hukum, tetapi juga sebagai penegak keadilan. Para
hakim kita harus berwawasan luas, memiliki kedalaman ilmu hukum, mempunyai
kedekatan pada rasa keadilan rakyat banyak dan tidak berkiblat kepada kepentingan
politik atau golongan tertentu. Keterpuruan hukum adalah sudah sangat mengerikan
bagi mereka yang peduli dengan krisis yang kita alami bersama selama ini. Kendala
utama untuk membebaskan bangsa ini dari keterpurukan hukum justru terletak pada
pemikiran hukum yang masih legistik-positivistik. Sehingga dari pemahaman dan
dari seperti itulah yang dijadikan sebagai modal untuk menyelesaikan solusi terhadap
kondisi hukum kita, hanyalah merupakan ilmu hukum positif yang sangat sempit dan
tentunya sangat sulit untuk mengeluarkan Indonesia dari keterpurukan tersebut.
Fenomena dari kasus tersebut di atas, memperlihatkan pada kita bahwa di Indonesia
menganut paham positivis sempit daripada rasa keadilan. Prinsip-prinsip persamaan
hukum dalam tataran praktis telah dinafikan.

Sehingga dengan demikian, hal tersebut merupakan potret buramnya penegakan


hukum yang sering mencoreng muka Indonesia di kancah internasional. Untuk itu
para ahli filsafat enligthtenment menyadari bahwa di dalam ketidak peduliannya
kepada substansi hukum, teori formal membuka secara luas kemungkinan
ketidakadilan “menyamar” sebagai keadilan. Para ahli filsafat enligthtenment
menyatakan pentingnya substansi hukum melalui argumen sebagai berikut: Pertama,
bahwa hukum tidak boleh hanya merupakan alat bantu untuk mencapai rasionalitas,
tetapi hukum itu harus rasional. Hukum yang rasional adalah hukum yang benar-
benar mampu mewujudkan kehadirannya. Kedua, untuk menjamin agar karya hukum
yang rasional dapat mewujudkan tujuannya, maka harus didukung oleh tindakan yang
efisien dari perangkat pelaksanaan hukum. Ketiga, pentingnya memasukkan substansi
ke dalam bentuk-bentuk hukum berkaitan dengan pengaruh struktur sosial
masyarakat, dimana hukum harus mewujukan tujuan-tujuannya. Dengan kondisi
bangsa yang carut marut seperti sekarang ini, maka menurut Satjipto Rahardjo
11
Indonesia membutuhkan suatu tipe penegakan hukum progresif, Ada beberapa
dimensi penegakan hukum progresif, antara lain; pertama, dimensi dan faktor
manusia sebagai pelaku dalam penegakan hukum progresif. Idealnya mereka adalah
generasi baru profesional hukum (hakim, jaksa, advokat, dan lainlain) yang memiliki
visi dari filsafat yang mendasari penegakan hukum progresif, kepentingan dan
kebutuhan bangsa lebih diperhatikan daripada “bermain-main” dengan pasal, doktrin,
dan prosedur. Kedua, kebutuhan akan teorisasi Indonesia. Berfikir secara progresif,
menurut Satjipto Raharjo15 berarti harus berani keluar dari mainstream pemikiran
absolutisme hukum, kemudian menempatkan hukum dalam posisi yang relatif.

Dalam hal ini, hukum harus diletakkan dalam keseluruhan persoalan


kemanusian. Bekerja berdasarkan pola pikir yang determinan hukum memang perlu.
Namun itu bukanlah suatu yang mutlak dilakukan manakala para ahli hukum
berhadapan dengan suatu masalah yang jika menggunakan logika hukum modern
akan menciderai posisi kemanusiaan dan kebenaran. Bekerja berdasarkan pola pikir
hukum yang progresif (paradigma hukum progresif), barang tentu berbeda dengan
paradigma hukum positivistis-praktis yang selama ini diajarkan di perguruan tinggi.
Paradigma hukum progresif melihat faktor utama dalam hukum adalah manusia itu
sendiri. Sebaliknya paradigma hukum positivistis meyakini kebenaran hukum di atas
manusia. Manusia boleh dimarjinalkan asal hukum tetap tegak. Sebaliknya paradigma
hukum progresif berpikir bahwa justru hukum bolehlah dimarjinalkan untuk
mendukung eksistensialitas kemanusian, kebenaran dan keadilan. Peristiwa lain yang
ada dapat kita lihat kalahnya supremasi hukum dengan kekuasaan, sebagaimana
dikatakan Mukthie Fadjar: “Penegakan Hukum dan Hegemoni Kekuasaan” atas dasar
pertimbangan untuk penyamaan persepsi teoritis bahwa antara keinginan untuk
menegakkan. Mukthie Fadjar, Keprihatinan Memudarnya Penegakan Hukum dan
Kewibawaan Hukum di Indonesia (Suatu Refleksi Kritis Provokatif), supremasi
hukum dan dominannya supremasi kekuasaan sering terjadi ketegangan dan tarik
menarik yang berkecenderungan kalahnya supremasi hukum. Lebih-lebih pada
12
masyarakat yang sedang dalam proses transisi menuju demokrasi yang kemudian
memunculkan gagasan-gagasan tentang keadilan transisional (transitional justice).

Masih dalam penegakan hukum, Mukthie Fadjar menambahkan kondisi hukum


dan penegakan hukum kita memang sudah dalam keadaan gawat darurat yang sudah
harus masuk ICCU seperti kondisi pada menjelang reformasi 1998 sebagaimana hasil
studi diagnosis Bappenas – Bank Dunia 1996 dengan ungkapan bahwa kondisi
hukum Indonesia “desperate but not hopeless”, namun tidak mampu merawatnya,
bahkan lebih memperparahnya. Beberapa indicator Kontribusi yang masih belum
memadai dapat dikemukakan antara lain:10

a. Hasil reformasi konstitusi dampak atau belum mampu untuk melahirkan suatu
sistem ketatanegaraan yang demokratis, mengedepankan supremasi hukum,
menghormati HAM, dan berkeadilan sosial.

b. Pembentukan hukum, baik melalui proses legislasi maupun melalui yurisprudensi


belum mampu menghasilkan hukum yang berparadima Indonesia.

c. Institusi-institusi penegak hukum, seperti lembaga peradilan, kejaksaan, kepolisian,


dan organisasi advokat kehilangan kredibilitasnya. Bahkan institusiinstitusi baru yang
tadinya sangat diandalkan seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan
Mahkamah Konstitusi (MK) mulai dilanda penyakit degeneratif.

d. Masyarakat penggapai keadilan mulai frustasi, sehingga lebih suka


mengembangkan budaya kekerasan dan main hakim sendiri.

e. Manajemen penegakan hukum kacau balau karena arogansi sektoral yang


melahirkan konflik kelembagaan.

10
Achmad Ali, 2002, Keterpurukan Hukum Di Indonesia (Penyebab dan Solusinya), Ghalia Indonesia,
Jakarta, hlm. 36.
13
f. Lembaga-lembaga pendidikan tinggi hukum yang menjadi pemasok utama sumber
daya manusia (SDM) penegak hukum memang produktif dari sudut kuantitas, tetapi
belum dari segi kualitas dan integritas.

g. Pengaruh kekuatan dan kekuasaan politik masih sangat kental dalam penegakan
hukum, sehingga sering membuat mandul hukum dan penegakannya. Dalam sejarah
perkembangan penegakkan hukum di Indonesia mengalami pasang surut yang
kecenderungannya justru mengalami kemerosotan sehingga berakibat memudarnya
kewibawaan hukum. Akibatnya kejahatan berkembang progresif dan adaptif terhadap
moda penegakkan hukum tersebut baik yang terjadi di dalam keluarga, masyarakat,
dan pemerintahan atau yang dilakukan oleh warga masyarakat bahkan oleh aparat
maupun birokrat, sehingga mengancam ketentraman masyarakat dan semakin
menenggelamkan wajah penegakan hukum maupun kewibawaan hukum. Dengan
demikian, untuk mengurai kondisi tersebut, semestinya tidak boleh hanya
penjahatnya yang disalahkan tetapi juga karena lingkungan sosial, kondisi dinamika
sosial, dan budaya masyarakat serta birokrasi pemerintahan.11

BAB III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

11
Ibid, hlm 55
14
Hukum merupakan salah satu instrumen untuk mengatur tingkah laku masyarakat
dalam mengatur pergaulan hidup. Secara sosiologis hukum mengandung berbagai
unsur antara lain rencanarencana tindakan atau perilaku, kondisi dan situasi tertentu.
Definisi hukum umumnya telah banyak dikemukakan oleh para ahli dengan
pendapatnya masing-masing, seperti menurut Abdul Manan: “Hukum adalah suatu
rangkaian peraturan yang menguasai tingkah laku dan perbuatan tertentu dari
manusia dalam hidup bermasyarakat. Hukum itu sendiri mempunyai ciri yang tetap
yakni hukum merupakan suatu organ peraturan-peraturan abstrak, hukum untuk
mengatur kepentingan-kepentingan manusia, siapa saja yang melanggar hukum akan
dikenakan sanksi sesuai dengan apa yang telah ditentukan

B. Saran

Pemakalah menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini jauh dari


sempurna, maka pemakalah meminta kritikan dan saran yang membagun kepada
setiap pembaca. Agar nantinya pemakalah dapat memperbaikinya di kemudian
hari.

DAFTAR PUSTAKA

15
A. Mukthie Fadjar, 2011. Keprihatinan Memudarnya Penegakan Hukum dan
Kewibawaan Hukum di Indonesia (Suatu Refleksi Kritis Provokatif), Buletin Forum
Doktor Alumni Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Edisi Ke-2, Juli)

Abdul Manan, 2006, Aspek-aspek Pengubah Hukum(Kencana: Jakarta)

Achmad Ali, 2002, Keterpurukan Hukum Di Indonesia (Penyebab dan


Solusinya), Ghalia Indonesia, Jakarta)

MaronieS,2019.Kesadaran Kepatuhan Hukum. Diakses pada tanggal 15


Oktober )

Soerjono Soekanto, 1982. Kesadaran Hukum Dan Kepatuhan Hukum


(Jakarta: CV. Rajawali)

Soerjono Soekanto, 1986. Pengantar Penelitian Hukum(Jakarta:UI Press),

16

You might also like