You are on page 1of 14

SEKOLAH TINGGI HUKUM MILITER

STHM XXVIII

TUGAS SOSIOLOGI
“SUMPAH POCONG DI KEHIDUPAN MASYARAKAT INDONESIA”

Di Susun Oleh:
Fajar Kurniansyah Prayudho
Mahasiswa STHM 28 Nosis 2404

SEKOLAH TINGGI HUKUM MILITER


STHM 28
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kepada Allah S.W.T. yang telah memberikan
banyak nikmat, taufik dan hidayahnya sehingga dapat menyelesaikan Makalah yang
berjudul “Sumpah Pocong di Kehidupan Masyarakat Indonesia” dengan baik tanpa
ada halangan yang berarti. Makalah ini telah saya selesaikan dengan maksimal
berkat kerjas sama dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu saya
sampaikan banyak terimakasih kepada segenap pihak yang telah berkontribusi
secara maksimal dalam penyelesaian Makalah ini.

Selain itu, penulis sebagai manusia biasa menyadari sepenuhnya bahwa


masih banyak kekurangan dalam penulisan Makalah ini, baik dari segi tata bahasa,
susunan kalimat maupun isi. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati,
kami selaku penyusun menerima segala kritik dan saran yang membangun dari
pembaca.

Demikian yang bisa saya sampaikan, semoga Makalah ini dapat menambah
ilmu pengetahuan dan memberikan manfaat nyata untuk masyarakat luas.

Jakarta, 2022
Penulis,

Fajar Kurniansyah Prayudho


Mahasiswa STHM 28 Nosis 2404

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................... 1
DAFTAR ISI.................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 3
1.1 Latar Belakang.......................................................................................... 3
1.2 Rumusan Masalah Penulisan.................................................................... 5
1.3 Tujuan Penulisan....................................................................................... 5
1.4 Manfaat Penulisan..................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................ 6
2.1 Pengertian Sumpah Pocong...................................................................... 6
2.2 Sumpah Pocong Dalam Hukum Indonesia................................................ 7
2.3 Sumpah Pocong Dalam Pandangan Islam................................................ 8
BAB III PEMBAHASAN.................................................................................. 10
3.1 Penerapan Sumpah Pocong...................................................................... 10
3.2 Hasil Yang Dicapai.................................................................................... 11
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN............................................................. 12
4.1 Kesimpulan............................................................................................... 12
4.2 Saran......................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 13

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Konflik merupakan kondisi yang lazim dihadapi manusia dalam interaksi
sosial. Berbagai konflik yang terjadi akan menjadi destruktif jika para pihak hanya
berupaya memenangkan objek konflik dan menghancurkan lawan. Akan tetapi, jika
konflik mengarah kepada terwujudnya konsensus, toleransi dan harmoni maka
konflik akan bersifat konstruktif.
Ada beberapa sebab terjadinya konflik seperti perbedaan tujuan, komunikasi
yang tidak lancar, perlakuan yang tidak manusiawi, sumber daya yang terbatas,
pelanggaran hukum, dan ambiguitas wewenang. Ada banyak cara penyelesaian
konflik di masyarakat, salah satunya yaitu melalui lembaga peradilan. Proses
penyelesaian konflik di lembaga ini bersifat formal dan teknis. Waktu yang
dibutuhkan untuk penyelesaian perkara relatif lebih lama dan membutuhkan biaya
yang cukup banyak. Hasilnya pun dianggap tidak memuaskan para pihak karena
menggunakan paradigma zero sum game atau the winner takes all.
Salah satu pengadilan yang memiliki beban perkara cukup banyak di
Indonesia adalah pengadilan agama. Berbagai perkara yang menjadi kewenangan
pengadilan agama berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama yaitu perkara perkawinan, waris, hibah, wasiat, wakaf,zakat, infak, shadaqah
dan sengketa ekonomi syariah. Sebagian besar perkara yang diterima oleh
pengadilan agama/mahkamah syariah adalah sengketa perkawinan seperti cerai
gugat dan cerai talak. Penyelesaian perkara di pengadilan agama dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan hukum acara.
Menurut Sudikno Mertokusumo, hukum acara adalah peraturan hukum yang
mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan
perantara hakim. Hukum acara mengatur tentang tata cara menuntut hak,
memeriksa, memutus dan melaksanakan putusan hakim.

3
Keabsahan dalil di persidangan diputuskan berdasarkan berbagai alat bukti
yang dihadirkan para pihak dan kaidah-kaidah pembuktian yang berlaku. Berbagai
alat bukti dapat digunakan para pihak untuk menguatkan argumentasinya seperti
bukti- bukti tertulis, saksi-saksi, persangkaan, pengakuan para pihak, maupun
sumpah.
Menurut Abdul Manan, jika para pihak tidak memiliki alat bukti yang dapat
memperkuat gugatan atau jawaban atas gugatan maka para pihak dapat meminta
salah satu pihak untuk bersumpah di hadapan majelis hakim. Sumpah ini dalam
konteks hukum acara perdata disebut sebagai sumpah pemutus. Meskipun
demikian, pelaksanaannya harus sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan
dalam undang-undang.
Sumpah pemutus memiliki kekuatan pembuktian sempurna, mengikat dan
menentukan. Hal ini menunjukkan bahwa satu alat bukti berupa sumpah pemutus
atau sumpah decissoir telah dianggap cukup meyakinkan hakim sebelum
memberikan putusan. Sehingga tidak membutuhkan alat bukti lain dan tidak dapat
dibantah. Konsekuensinya, hakim wajib memutus sesuai dengan isi sumpah
tersebut. Jika dikemudian hari sumpah pemutus ini adalah sumpah palsu, sumpah
ini tidak dapat digugurkan. Pihak yang merasa dirugikan atas sumpah palsu tersebut
dapat melaporkan kepada kepolisian agar lawan yang mengucap sumpah tersebut
dapat dipidana dengan dakwaan mengucap sumpah palsu. Sumpah pemutus dapat
dilaksanakan di luar pengadilan, tentunya dilaksanakan dengan pertimbangan yang
sah. Salah satu bentuk sumpah pemutus yang dilaksanakan di luar persidangan
adalah sumpah pocong.
Sumpah pocong pernah menjadi alat bukti di Pengadilan Agama Lumajang
dalam perkara cerai talak nomor 1252/Pdt.G/1996/PA.Lmj. Pihak pemohon (suami)
menolak dalil-dalil yang disampaikan pihak termohon (istri) terkait dengan adanya
pernikahan yang tidak tercatat di Kantor Urusan Agama dan harta bersama yang
diminta untuk dibagi secara rata. Termohon melalui kuasa hukumnya meminta agar
pemohon melakukan sumpah pocong karena tidak ada bukti lain yang dapat
mendukung, karena dianggap bersifat litis decissoir.

4
Majelis hakim mengabulkan permintaan termohon melalui putusan sela yang
dibacakan pada tanggal 20 Januari 1997. Prosesi sumpah tidak dilaksanakan di
Pengadilan Agama Lumajang, melainkan di Masjid Agung Lumajang. Pelaksanaan
sumpah pocong tidak berbeda dengan praktik di masyarakat.Hanya saja dihadiri
majelis hakim yang pada waktu itu turut mengikuti prosesi sumpah pocong tersebut.

1.2 Rumusan Masalah Penulisan


Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. Bagaimana Kepercayaan Masyarakat Akan Sumpah Pocong?
2. Apa Sumpah Pocong Sah dimata Hukum yang berlaku di Indonesia?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun yang menjadi tujuan dari Penulisan adalah:
1. Untuk mengetahui apa itu Sumpah Pocong
2. Untuk mengetahui legalitas Sumpah Pocong di Indonesia

1.4 Manfaat Penulisan


Penulisan ini diharapkan dapat menambah pemahaman, masukan serta
perbandingan untuk penulisan selanjutnya dalam bidang kajian dengan objek
masalah yang sama.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Sumpah Pocong

Sumpah pocong adalah sumpah yang dilakukan oleh seseorang dalam


keadaan terbalut kain kafan seperti layaknya orang yang telah meninggal dunia
(pocong). Tetapi juga, sumpah pocong boleh juga dilakukan hanya dengan posisi
duduk dan dikerudungi kain kafan. Sumpah pocong dilakukan dihadapan orang
ramai dengan maksud dan tujuan untuk meyakinkan orang lain bahwa pelaku
sumpah pocong tidak bersalah dan tidak seperti yang didakwa orang terhadapnya.
Dengan sumpah pocong, jika pelaku terbukti bersalah dipercayai akan dihukum atau
dilaknat oleh Tuhan sesuai dengan perbuatannya bahkan boleh sampai meninggal
atau kepada tujuh keturunannya secara umum.
Sumpah pocong dilakukan oleh pemeluk agama Islam karena dalam agama
Islam kain kafan (kain pocong) dikenal, dan lazim dilakukan di masjid sebagai tempat
ibadah ummat Islam. Para pemuka agama (ustadz) akan memimpin dan menjadi
saksi dalam upacara sumpah pocong yang dilakukan masyarakat, dari perspektif
ajaran agama Islam tersebut sumpah pocong bukanlah ajaran syariat Islam. Sumpah
pocong hanyalah tradisi masyarakat yang memasukkan ajaran agama ke dalam
norma adat. Sekalipun dalam sumpah pocong ada kain kafan, ada masjid, ada ustaz,
ada kyai, bahkan ada ulama sekalipun, sebagai simbol-simbol Islam, sumpah pocong
tetap tidak diajarkan dalam Islam. Kerana dalam ajaran Islam, untuk mengucapkan
sumpah dan meyakinkan kebenaran sumpahnya, seorang muslim cukup bersumpah
atas nama Allah misalnya kalimat "Demi Allah, saya tidak melakuan perkara
tersebut". Sehingga apabila seorang muslim bersumpah bukan atas nama selain
Allah maka dikategorikan kufur atau syirik sebagaimana sabda Rasululah SAW,
“Barang siapa bersumpah dengan selain Allah maka ia telah kufur atau syirik.” (HR
Tirmidzi dari Umar ibnu Khattab).

6
Sumpah pocong dilakukan oleh masyarakat Islam ketika terjadi konflik antara
orang lain. Pada saat masyarakat mengalami situasi konflik yang sukar dibuktikan
secara undang-undang, misalnya didakwah sebagai penyebab sakitnya orang lain,
didakwa mencuri, atau didakwa melakukan perselingkuhan dengan orang lain, maka
sumpah pocong merupakan alternatif yang boleh ditawarkan untuk membuktikan
bahwa dakwaan tersebut tidak benar.
Kepercayaan masyarakat kepada ritual sumpah pocong tersebut
mengakibatkan aktifitas ini memiliki nilai yang sakral atau suci, karena menggunakan
ayat-ayat suci al-Quran sebagai bacaan-bacaan yang dilantunkan dalam ritual ini,
padahal secara syariat, aktifitas ini tidak ada dalam tuntunan Islam. Namun
keberadaan sumpah pocong boleh berkesan untuk meyakinkan bahwa
pengakuannya adalah benar dan boleh diterima semua pihak yang terlibat sehingga
boleh menyelesaikan pertikaian/konflik antara masyarakat ataupun individu. Dengan
demikian, sumpah pocong masih membawa pengaruh budaya lokal yang
menggunakan norma adat sebagai pemutus suatu perkara.
Namun tidak dapat dipastikan akan sejarah bermulanya sumpah pocong
dipraktikan oleh pemeluk agama Islam di Indonesia. Informasi yang beredar
mengatakan wilayah Pendalungan di Jember sebagai wilayah yang pertama kali
melakukan praktik sumpah pocong. Bahkan metode tradisional ini terbukti menekan
amuk masalah antara tuduhan sepihak yang sulit dibuktikan.
Walaupun dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia sumpah boleh
menjadi alat bukti sebagaimana diatur dalam pasal 177 jo pasal 155 dan 156 HIR.
Pasal 164 HIR menyatakan sumpah merupakan alat bukti terakhir selain alat-alat
bukti lain seperti saksi, pengakuan, persangkaan, dan tulisan.

2.2 Sumpah Pocong Dalam Hukum Indonesia

Menurut pasal 177 HIR ini ternyata dengan jelas, bahwa sumpah itu baik
decisoir maupun suppletoir merupakan bukti yang mutlak, artinya setelah pihak yang
bersangkutan mengangkat sumpah, maka hakim harus menetapkan keterangan
untuk apa pihak itu telah bersumpah sebagai telah cukup terbukti, meskipun
7
barangkali ia sendiri tidak yakin tentang kebenaran keterangan itu. Atas dasar ini
sangat dimungkinkan mekanisme ini digunakan dalam sistem peradilan yang dikenal
sebagai sumpah mimbar. Sumpah ini bisa menjadi alat bukti sebagaimana diatur
dalam pasal 177 jo. Pasal 155 dan 156 HIR dan Pasal 1932 dan 1941 Burgerlijk
Wetbook (BW).
Sumpah pocong sendiri sebenarnya tidak dikenal atau tidak ada dalam
Burgerlijk Wetbook (BW) dan peradilan perdata itu sendiri. Sumpah yang diakui
dalam peradilan perdata sendiri yaitu seperti yang sudah dijelaskan yaitu sumpah
decisoir dan suppletoir. Jika menyangkut suatu perjanjian timbal-balik, perjanjian
timbal balik adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua
belah pihak, misalnya jual beli, sewa-menyewa, pemborongan. Sumpah pemutus
dapat dikembalikan (pasal 156 ayat 2 HIR). Artinya, pihak yang diminta untuk
bersumpah dapat meminta agar pihak lawannya juga bersumpah. Sumpah ini harus
bersifat Litis Decissoir, yaitu benar-benar mengenai suatu hal yang menjadi pokok
perselisihan. Sumpah ini bisa digunakan sebagai alat bukti dalam hukum acara
perdata dengan syarat diucapkan di depan hakim dalam proses pemeriksaan
perkara, dan tidak ada bukti lain yang dapat diajukan para pihak alias pembuktian
dalam keadaan buntu.

2.3 Sumpah Pocong Dalam Pandangan Islam


Sumpah yang dalam Islam disebut dengan al Yamin atau al Hilfu atau
al Qasam, memang dikenal dan ada landasannya baik dalam al Quran maupun hadis
Nabi. Adapun sumpah pocong sebenarnya hanya tradisi lokal Indonesia, khususnya
yang berkaitan dengan tatacara sumpahnya. Sedangkan dari isi sumpahnya bisa
saja tidak bertentangan dengan ketentuan syari’at Islam.
Berkaitan dengan sumpah sebagai cara untuk menyelesaikan perselisihan,
Islam membolehkan menyelesaikan perselisihan dengan sumpah yang dilakukan di
luar pengadilan. Mengenai sumpah pocong sendiri, dilihat dari caranya sumpah ini
adalah sebagai tradisi orang Indonesia, dalam Islam tidak dikenal model sumpah
semacam ini. Sekalipun isi sumpah pocong itu mungkin tidak bertentangan dengan
isi sumpah pada umumnya, seperti menggunakan kata-kata Demi Allah, dan
8
materinya sesuatu yang sesuatu yang disepakati bersama, yang adakalanya kedua
belah sama-sama siap menerima kutukan Allah apabila yang ia katakan itu bohong
atau tidak sesuai dengan yang sebenarnya, akan tetapi dilihat dari tata cara
sumpahnya, yaitu orang yang bersumpah pocong itu dibungkus dengan kain kafan
seakan-akan ia telah meninggal dunia (mungkin juga dimandikan dahulu), maka
perlu dipertanyakan lebih lanjut kebolehannya.
Sebenarnya kalau hanya sekedar mengenakan kain kafan bagi yang
melakukan sumpah, tidaklah dilarang, akan tetapi dengan mengenakan kain kafan
itu ada makna filosofisnya atau makna kejiwaannya terutama di kalangan orang
Jawa, yaitu orang takut akan kuwalat. Sehingga yang ditakuti bukan isi sumpahnya,
melainkan makna dari alat untuk bersumpah. Apabila ia diterima, berarti ada
pengikisan iman, karena orang bukan takut kepada Allah tetapi takut kepada orang
lain. Dalam ajaran Islam hal demikian tidak diperbolehkan supaya orang tidak jatuh
kepada perbuatan syirik. Oleh karena terkandung makna demikian, maka Majelis
Tarjih berpendapat sumpah pocong itu tidak boleh dilakukan.
Di dalam Islam sumpah demikian dikenal dengan istilah mubahalah, yaitu
sumpah yang berat, karena sama-sama siap menerima kutukan Allah. Sumpah
demikian dilakukan untuk mempertahankan keyakinan masing-masing pihak yang
bersengketa setelah dicari cara pemecahan perselisihan dan tidak ada yang mau
mengalah, karena menganggap sama-sama berada di pihak yang benar, lalu
bersumpah biarlah Allah swt menurunkan kutuk laknat-Nya kepada siapa yang
bertahan pada pendiriannya yang salah.
Sekalipun Islam membolehkan melakukan mubahalah, sumpah yang berat,
akan tetapi mengingat isinya itu begitu menyeramkan, terutama bagi orang yang
beriman, yang tidak seorang pun mau menerima kutukan Allah, Majelis Tarjih
mengusulkan agar dalam meyelesaikan kasus sebaiknya menghindari cara
penyelesaian dengan menggunakan sumpah seperti di atas. Carilah penyelesaian
dengan cara lain, asal sama-sama berkepala dingin insya Alah dapat diselesaikan.
Demikian juga jangan sampai karena gengsi lalu tidak mau mengakui kesalahan
bahkan siap bersumpah. Tindakan demikian adalah tindakan yang dikecam oleh
hadis di atas.
9
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Penerapan Sumpah Pocong


Sumpah Pocong juga menjadi salah satu alat bukti yang digunakan di
Pengadilan Agama Lumajang dalam perkara cerai talak
nomor:1252/Pdt.G/1996/PA.Lmj. Kasus ini bermula dari pertengkaran pemohon dan
termohon pada bulan Juni 1996. Termohon kemudian diminta pulang ke rumah orang
tuanya di Kabupaten Lumajang dengan alasan untuk menenangkan diri. Namun,
pemohon tidak kunjung menemui termohon untuk menyelesaikan persoalan, tetapi
justru mengajukan permohonan cerai di Pengadilan Agama Lumajang. Dalam proses
persidangan, termohon menyatakan bahwa perkawinan antara pemohon dan
termohon telah terjadi pada tanggal 19 Mei 1995 dan tidak dicatat di Kantor Urusan
Agama. Selama menikah pemohon dan termohon memiliki sejumlah harta bersama
dan menuntuk agar harta tersebut dibagi. Gugatan rekonvensi termohon dibantah
oleh pemohon, yang menyatakan bahwa perkawinan antara pemohon dan termohon
baru terjadi pada tanggal 29 Mei 1996 dan dicatatkan di Kantor Urusan Agama.
Berdasarkan hal ini, harta bersama yang didalilkan termohon tidak ada. Pihak
pemohon meragukan alat bukti yang disampaikan oleh termohon dalam kasus harta
bersama. Bahkan menuduh bahwa alat bukti tersebut sengaja dibuat-buat untuk
mendukung argumentasinya.
Pihak termohon pada akhirnya mengajukan permohonan agar pihak pemohon
mengucapkan sumpah pemutus. Majelis hakim dalam putusan sela mengabulkan
permohonan termohon terkait sumpah pemutus. Uniknya pelaksanaan sumpah tidak
dilakukan di Pengadilan Agama, melainkan di Masjid Agung Lumajang dengan
menggunakan model sumpah pocong. Sumpah pocong merupakan produk budaya
masyarakat yang tidak terdapat dalam ketentuan hukum acara di peradilan agama.
Meskipun demikian, bahwa diakuinya sumpah pocong sebagai alat bukti oleh majelis
hakim Pengadilan Agama Lumajang bukan berdasarkan model formalnya,
melainkan substansi sumpah yang diucapkan para pihak dan sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan hukum acara peradilan agama. Berdasarkan
10
persoalan diatas, penulisan ini bertujuan mendeskripsikan pandangan hakim
Pengadilan Agama Lumajang tentang legalitas dan kekuatan pembuktian dari
sumpah pocong dalam kasus cerai talak nomor: 1252/Pdt.G/1996/PA.Lmj.

3.2 Hasil Yang Di Dapat

Keberadaan Sumpah Pocong yang berfungsi efektif sebagai salah satu


bentuk pengurusan konflik dalam sebuah resolusi konflik dimasyarakat Jember dan
Pendalungankerana terdapat beberapa perkara:
a. Adanya penerimaan dari masyarakat ataupun pihak-pihak yang
berkonflik terhadapsemua elemen dalam pelaksanaan Sumpah Pocong, iaitu:
1) Kyai sebagai tokoh utama yang memiliki kedudukan terhormat di
masyarakat.
2) Simbol-simbol Islam berupa ayat-ayat al-Quran, kafan, masjid dan
lain sebagainyayang diterima keberadaannya sesuai dengan keimanan
yang diyakini oleh masyarakat
3) Anggapan bahwa bersumpah dengan benar dan dilakukan
dihadapan orang ramaimerupakan salah satu pembuktian dari tindakan
kesatria yang merupakan tuntutan budaya nilai-nilai budaya Jawa
b. Sumpah Pocong merupakan produk budaya setempat, sehingga
mendapatkan penerimaansecara budaya.
c. Adanya kepercayaan dari hasil pelaksanaan Sumpah Pocong karena
dalam pandangan masyarakathasilnya telah memenuhi harapan dan
keyakinan agama mahupun budaya. Sehingga memudahkan usaha
penyelesaian konflik.

11
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan contoh kasus diatas terkait dengan Sumpah Pocong dalam


Kehidupan Masyarakat Indonesia bahwa Sumpah Pocong dapat dijadikan sebagai
Alat alat bukti sebagaimana diatur dalam pasal 177 jo pasal 155 dan 156 HIR. Pasal
164 HIR menyatakan sumpah merupakan alat bukti terakhir selain alat-alat bukti lain
seperti saksi, pengakuan, persangkaan, dan tulisan.

Atas dasar ini sangat dimungkinkan mekanisme ini digunakan dalam sistem
peradilan yang dikenal sebagai sumpah mimbar. Sumpah ini bisa menjadi alat bukti
sebagaimana diatur dalam pasal 177 jo. Pasal 155 dan 156 HIR dan Pasal 1932 dan
1941 Burgerlijk Wetbook (BW).

4.2 Saran
Dalam kasus yang telah dibahas ada baiknya jika sebuah perkara tidak lah
melibatkan seperti Sumpah Pocong, dikarenakan dalam islam termasuk sebagai
mubahalah, yaitu sumpah yang berat, karena sama-sama siap menerima kutukan
Allah. Baiknya selesaikan sebuah perkara dengan hukum yang sudah tertulis dan
teratur sebagaimana layaknya hukum.

12
DAFTAR PUSTAKA

Academia. (“Sumpah Pocong” Bentuk Resolusi Konflik Yang Efektif)


Academia. (Legalitas Sumpah Pocong Sebagai Alat Bukti di Pengadilan Agama)
Wikipedia. (Pengertian Sumpah Pocong)
pasal 177 jo. Pasal 155 dan 156 HIR dan Pasal 1932 dan 1941 Burgerlijk Wetbook
(BW).

13

You might also like