You are on page 1of 27

MAKALAH

JENIS KEKERASAN MENURUT UU PKDRT


( PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA )
Dosen Pengampu : M. Aris Munandar, S.H.,M.H

DISUSUN OLEH :

1.Ririn Maulina Putri (B011191211)

2. Ayuni Tri Andita (B011191218)

3. Mayang Febrianti Syarief (B011191255)

4. Qothifah Firdaus (B011191256)

5. Nadila Nurul Ilmi (B011191263)

6. Dewa Agung Daeng Maraja (B011191269)

7. Andi Muhammad Farid (B011191274)

8. Alfridha (B011191275)

PRODI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahak Esa karena telah memberikan
kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini yang berjudul Jenis
kekerasan menurut UU PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga)
tepat waktu.

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Bapak M. Aris Munandar S.H.,
M.H. pada Delik-delik di Luar Kodifikasi (C) di Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin. Selain itu, para penulis juga berharap agar makalah ini dapat
menambah wawasan bagi pembaca Jenis kekerasan menurut UU PKDRT
(Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga).

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar - besarnya kepada Bapak


selaku Dosen Delik-delik di Luar Kodifikasi (C). Tugas yang telah diberikan ini
dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang ditekuni penulis.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan
makalah ini.

Makassar, 05 April 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ i

DAFTAR ISI.......................................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .......................................................................................................................... 3

C. Tujuan ............................................................................................................................................ 3

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 4

A. JENIS-JENIS KEKERASAN YANG DIATUR DALAM UU PKDRT ....................................... 4

1. Kekerasan Fisik ........................................................................................................................... 4

2. Kekerasan Psikis ......................................................................................................................... 6

3. Kekerasan Seksual ...................................................................................................................... 9

4. Penelantaran Rumah Tangga .................................................................................................... 14

B. Sanksi hukum kekerasan dalam UU PKDRT............................................................................... 17

BAB III PENUTUP ............................................................................................................................. 21

A. Kesimpulan .................................................................................................................................. 21

B. Saran ............................................................................................................................................. 22

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 23

ii
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang selanjutnya disebut KDRT sering
terjadi di berbagai negara termasuk Indonesia dan India. KDRT adalah tindak
pidana dengan kekerasan yang memungkinkan laki-laki maupun perempuan
sebagai pelaku atau korbannya. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat
terganggu, jika sikap, perilaku dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol. Pada
akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul
ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup
rumah tangga tersebut. Untuk mencegah, melindungi korban dan menindak
pelaku kekerasan dalam rumah tangga maka negara (state) wajib melaksanakan
pencegahan, perlindungan dan penindakan terhadap pelaku1. Dalam hal ini KDRT
bukan hanya diartikan sebagai Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dilakukan
oleh seorang suami kepada seorang istri melainkan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga yang juga memungkinkan untuk dilakukan oleh istri terhadap suami.

Menurut UU yang berlaku, tidak ada pengecualian siapa saja dalam


menentukan pelaku dan korban KDRT. Kasus KDRT biasanya menempatkan istri
maupun anak sebagai korban, namun tidak jarang pula suami yang notabenenya
merupakan pelaku kekerasan justru melaporkan istri ke pihak kepolisian karena
adanya kekerasan yang dialaminya dimana pelakunya adalah seorang istri. Suami
yang menjadi objek atau korban dalam KDRT juga mempunyai hak dan
perlindungan yang sama seperti halnya hak dan perlindungan yang diberikan
kepada istri sebagai korban KDRT. Hal ini mencerminkan adanya fungsi hukum
dalam setiap negara yang bertujuan untuk memberikan manfaat, kepastian dan
keadilan hukum bagi setiap warga negaranya.

UU PKDRT yang disahkan tahun 2004 merupakan hasil perjuangan


panjang kelompok perempuan di Indonesia. UU PKDRT berangkat dengan tujuan
untuk melindungi perempuan khususnya dari kekerasan dalam rumah tangga.

1
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga

1
Tujuan ini sebenarnya masih dapat kita lihat dalam Ketentuan Umum UU
PKDRT. Dalam penjelasan Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga disebutkan bahwa pembaharuan
hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau subordinasi, khususnya
perempuan, menjadi sangat diperlukan sehubungan dengan banyaknya kasus
kekerasan, khususnya dalam rumah tangga.2

Lahirnya UU PKDRT merupakan salah satu tonggak sejarah bagi upaya


perlindungan terhadap korban kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga
khususnya kaum perempuan dan anak sebagai kelompok yang rentan menjadi
korban kekerasan. Di samping itu undang-undang ini juga mengatur tentang
langkah-langkah antisipasi lahirnya kekerasan baru serta adanya kejelasan sanksi
yang tegas bagi pelaku kekerasan.3

Pembaharuan hukum diperlukan karena Undang-undang yang ada belum


memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum masyarakat.
Sehubungan dengan itu, didorong karena adanya suatu kebutuhan karena
maraknya tindak kekerasan oleh suami, terhadap anggota keluarganya, yang
terjadi dalam rumah tangga. Walaupun secara umum di dalam Kita Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP) telah diatur mengenai penganiayaan dan
kesusilaan serta penelantaran orang yang perlu di beri nafkah dan kehidupan.
Namun tidak sepenuhnya dapat menangani kasus-kasus yang terjadi dalam rumah
tangg. Oleh karena itu, dibutuhkan undang-undang khusus (Lex specialis) yang
dapat menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga serta melindungi korban.

UU PKDRT selain mengatur ikhwal pencegahan dan perlindungan serta


pemulihan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, juga mengatur secara
spesifik kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dengan unsur tindak pidana
yang berbeda dengan tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam KUHP. Jadi,
keberadaan Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan

2
Sudut Hukum, Latar Belakang Lahirnya UU No. 23 Tahun 2004,
https://suduthukum.com/2015/07/latar-belakang-lahirnya-uu-no-23-tahun.html (diakses pada 6
April 2022
3
Moerti Hadiarti Soeroso, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Yuridis-
Viktimologis, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010)

2
Kekerasan dalam Rumah Tangga memiliki konstribusi positif dalam penegakan
hukum kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia. Dengan adanya Undang-
undang ini polisi dapat melindungi korban sekaligus ada kepastian hukum bagi
korban dalam mencari keadilan. Jika kekerasan dalam rumah tangga tadinya
diposisikan sebagai kasus perdata yang menjadi urusan privat masing-masing
individu, tetapi sekarang telah menjadi kasus pidana sehingga menjadi urusan
publik.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja jenis kekerasan yang diatur dalam UU PKDRT ?

2. Bagaimana sanksi hukum kekerasan dalam UU PKDRT ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui jenis kekerasan yang diatur dalam UU PKDRT

2. Untuk mengetahui sanksi hukum kekerasan dalam UU PKDRT

3
BAB II PEMBAHASAN

A. Jenis-jenis Kekerasan yang diatu dalam UU PKDRT


Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan
berupa melakukan kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual atau
penelantaran rumah tangga yang dilakukan oleh, dalam dan terhadap orang dalam
lingkup rumah tangga.4 Hal ini dapat dijelaskan dalam ketentuan Pasal 5 Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga, dikatakan bahwa: ”Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam
rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara :
a. Kekerasan fisik
b. Kekerasan psikis
c. Kekerasan seksual atau
d. Penelantaran rumah tangga
Selanjutnya pada Pasal 5 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam rumah tangga, tindak kekerasan dalam rumah
tangga dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Kekerasan Fisik
Menurut Pasal 6 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam rumah tangga, kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf
a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat .
Misalnya; pemukulan, penganiayaan, menampar, menyundut dengan rokok, dan
lain sebagainya.
Menurut Mansoer Fakih, kekerasan fisik dapat diklasifikasikan dalam tiga
tingkatan, yaitu: 5
1. Kekerasan fisik berat, berupa penganiayaan berat seperti menendang, memukul,
menyundut, melakukan percobaan pembunuhan dan semua perbuatan lain yang

4
Ulfiana Khaira,dkk, Penelantaran Rumah Tangga Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam
Rumah Tangga Ditinjau Dari Uu Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga, Jurnal Ilmiah Mahasiswa Fakultas Hukum (JIM FH) Volume V, Nomor 1, Januari
2022, hlm 62
5
Purwoko Herudjati, Aneka Sifat Kekerasan Fisik, Simbolik dan Struktural, Indeks, Jakarta, 2008,
hlm. 26.

4
dapat mengakibatkan cidera berat, tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari,
pingsan, luka berat pada tubuh korban dan mati, hingga kehilangan salah satu
panca indera dan lain-lain.
2. Kekerasan fisik ringan, berupa menampar, menjambak, mendorong dan
perbuatan lainya yang mengakibatkan cidera ringan, rasa sakit, dan luka fisik
yang tidak masuk dalam kategori berat.
3. Melakukan repetisi, kekerasan fisik ringan dapat dikategorikan ke dalam jenis
kekerasan berat.
Kekerasan fisik dapat disederhanakan seperti :
a. Pembunuhan
Kasus pembunuhan terhadap istri (kadang digunakan dengan istikah femicide)
paling sering dilakukan oleh suami atau mantan suami. Statistik yang
memperlihatkan presentase pembunuhan terhadap peremupuan oleh pasangan
dekat sangat banyak.
1) Suami terhadap istri atau sebaliknya;
2) Ayah terhadap anak atau sebaliknya;
3) Ibu terhadap anak atau sebaliknya (termasuk pembunuhan bayi oleh ibu);
4) Adik terhadap kakak, kemenakan, ipar, atau sebaliknya;
5) Anggota keluarga terhadap pembantu;
6) Bentuk campuran selain disebut diatas.
b. Penganiyaan:
1) Suami terhadap istri atau sebaliknya;
2) Ayah terhadap anak atau sebaliknya
3) Ibu terhadap anak atau sebaliknya (termasuk pembunuhan bayi oleh ibu);
4) Adik terhadap kakak, kemenakan, ipar, atau sebaliknya;
5) Anggota keluarga terhadap pembantu;
6) Bentuk campuran selain disebut diatas.
Perbuatan kekerasan fisik diatas dapat menimbulkan luka, menghasilkan luka
memar, luka tusuk, luka akibat senjata tajam, dan luka goresan sampai dengan
luka-luka yang dapat menimbulkan kematian. Kekerasan tersebut memberikan
makna bahwa dalam kekerasan fisik yang terjadi juga menimbulkan dampak lebih
lanjut pada aspek psikologi. Orang yang menjadi korban kekerasan fisik dapat

5
juga mengalami penderitaan psikologis yang cukup parah seperti stress hingga
kemudian memilih bunuh diri.6 Selain itu, tindak pidana kekerasan fisik dalam
lingkup rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia atas hak untuk
hidup dan melakukan aktivitas untuk memperoleh penghasilan dan peningkatan
kesejahteraan dan kualitas hidup bagi setiap orang. Tindakan kekerasan
merupakan wujud penindasan dan pelanggaran hak asasi yang dilakukan
seseorang kepada orang lain, kelompok tertentu kepada kelompok lain, orang
dewasa, anak-anak, majikan kepada pembantunya dan laki-laki kepada
perempuan. Tindakan ini mencerminkan pihak yang kuat cenderung superior dan
menempatkan pihak yang lemah sebagai korbannya.7

2. Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis adalah suatu tindakan penyiksaan secara verbal, seperti
menghina, berkata kasar dan kotor yang mengakibatkan menurunnya rasa percaya
diri, meningkatkan rasa takut, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan tidak
berdaya. Kekerasan psikis ini, apabila sering terjadi maka dapat mengakibatkan
istri semakin tergantung pada suami, meskipun suaminya telah membuatnya
menderita. Di sisi lain, kekerasan psikis juga dapat memicu dendam di hati istri.
Bentuk kekerasan psikis ini dibagi menjadi dua bentuk, yaitu berat dan ringan.
Adapun bentuk Kekerasan Psikis Berat, berupa tindakan pengendalian,
manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam
bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang
merendahkan atau menghina; penguntitan; kekerasan dan atau ancaman kekerasan
fisik, seksual dan ekonomis; yang masing-masingnya bisa mengakibatkan
penderitaan psikis berat. Penderitaan psikis berat dimaksud bisa berupa salah satu
atau beberapa hal berikut, yakni gangguan tidur atau gangguan makan atau
ketergantungan obat atau disfungsi seksual yang salah satu atau kesemuanya berat
dan atau menahun, gangguan stres pasca trauma, gangguan fungsi tubuh berat
(seperti tiba-tiba lumpuh atau buta tanpa indikasi medis), depresi berat atau

6
Amora Elmina Martha, Hukum KDRT Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Aswaja Pressindi,
Yogyakarta, 2015, hlm 8
7
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual
Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan, Cetakan Kedua, PT. Refika Aditama, Bandung, 2011, hlm.
54

6
destruksi diri, gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas
seperti skizofrenia dan atau bentuk psikotik lainnya, Bunuh diri.

Sedangkan kekerasan psikis ringan, berupa tindakan pengendalian,


manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam
bentuk pelarangan, pemaksaan, dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang
merendahkan atau menghina; penguntitan; ancaman kekerasan fisik, seksual dan
ekonomis; yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis ringan.
Penderitaan psikis ringan dimaksud bisa berupa salah satu atau beberapa hal di
bawah ini, Ketakutan dan perasaan terteror, rasa tidak berdaya, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, gangguan tidur atau
gangguan makan atau disfungsi seksual, gangguan fungsi tubuh ringan (misalnya,
sakit kepala, gangguan pencernaan tanpa indikasi medis), Fobia atau depresi
temporer.8

Tindak Kekerasan Psikis menurut Undang-Undang

Di antara empat bentuk kekerasan yang disebutkan oleh undangundang nomor 23


tahun 2004 tentang P KDRT adalah kekerasan psikis (pasal 5 huruf b).9 Kemudian
dijelaskan pada pasal 7 bahwa kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau
penderitaan psikis berat pada seseorang. Adapun hak-hak korban, kewajiban
pemerintah dan masyarakat, perlindungan korban, dan pemulihan korban tindak
kekerasan psikis dalam undang-undang ini dijelaskan secara sama dengan bentuk
kekerasan lainnya. Hanya saja pada ketentuan pidana, hukuman maksimal berbeda
satu dengan lainnya. Di Pasal 50 undang-undang ini, termasuk pada kasus
kekerasan psikis, disebutkan tentang wewenang hakim untuk dapat menjatuhkan
pidana tambahan berupa pembatasan gerak pelaku yang bertujuan menjauhkan
pelaku dari korban, baik dari sisi jarak dan waktu atau hak-hak tertentu dari

8
Ollij A. Kereh dan Friend H. Anis. “Aspek Hukum Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2004”. Jurnal Lex Et Societatis, Vol. V No. 9 November 2017, hal.
108
9
Naskah Undang-undang no 23 Tahun 2004 tentang PKDRT

7
pelaku. Kemudian penetapan pelaku untuk mengikuti program konseling di bawah
pengawasan lembaga tertentu.

Kekerasan psikis memang sulit untuk dilihat, bahkan bisa jadi korban tidak
menyadari bahwa dirinya mengalami kekerasan psikis. Secara umum, disebut
sebagai kekerasan psikis apabila:

1. Ada pernyataan yang dilakukan dengan umpatan, amarah, penghinaan,


pelabelan negatif, atau sikap dan gaya tubuh yang merendahkan.
2. Tindakan tersebut menekan, mencemooh, menghina, merendahkan,
membatasi, atau mengontrol korban agar memenuhi tuntutan pelaku.
3. Tindakan tersebut menimbulkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,
hilangnya kemampuan untuk bertindak, dan rasa tidak berdaya.

Sejauh mana korban mengalami kekerasan psikis dapat dibuktikan melalui visum
et repertum, yaitu keterangan mengenai kondisi psikis seseorang yang disertai
kemungkinan sebab-sebabnya. Visum et repertum yang dikeluarkan oleh pihak-
pihak seperti psikolog yang kompeten dan institusi atau lembaga yang berwenang
mengeluarkannya.10

Disebut KDRT psikis bila ada hubungan sebab-akibat antara perbuatan


suami dengan akibat yang ditimbulkannya atau dirasakan oleh korban. Dengan
kata lain, dapat disebut KDRT psikis bila rangkaian perbuatan pelaku tersebut
mengakibatkan korban ketakutan, hilang rasa percaya diri, hilang kemampuan
untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan atau penderitaan psikis berat pada
seseorang. Tidak mesti semua akibat ini terpenuhi melainkan cukup salah satu
saja. Istri yang dicemooh terus menerus oleh suami dengan panggilan "gemuk",
“goblok”, "bungkuk", "pelacur", atau panggilan lain yang bernilai merendahkan
harga diri seseorang bisa tergolong KDRT, jika perbuatan tersebut sampai
mengakibatkan kondisi psikis istri tertekan, atau hilangnya rasa percaya diri.
Termasuk juga suami yang gemar main ancam, penghinaan dan semacamnya
sehingga istri tertekan secara batin dapat terkategori sebagai KDRT psikis.

10
Nurudin Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta:
Kencana, 2004), hal 29.

8
Ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk
bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat dapat tampil
dalam perilaku-perilaku berikut ini:

1. Kehilangan minat untuk merawat diri yang tampil dalam perilaku menolak
atau enggan makan, minum, makan tidak teratur, malas mandi atau
berdandan, tampil berantakan seperti rambut kusut, pakaian awut-awutan;
2. Kehilangan minat untuk berinteraksi dengan orang lain, yang tampil dalam
perilaku mengurung diri di kamar, tidak mau berhubungan dengan orang lain,
cenderung diam, dan enggan bercakap-cakap
3. Padahal sebelumnya hal-hal ini dilakukannya secara rutin;
4. Ketidakmampuan melihat kelebihan diri, tidak yakin dengan kemampuan diri,
dan kecenderungan membandingkan diri dengan orang lain yang dianggapnya
lebih baik. Contohnya menganggap diri tidak memiliki kelebihan meski fakta
yang ada menunjukkan hal sebaliknya, atau sering bertanya apakah yang ia
lakukan sudah benar atau belum;
5. Kehilangan keberanian untuk melakukan tindakan yang ditunjukkan dengan
tidak berani mengungkapkan pendapat atau tidak berani mengingatkan pelaku
jika bertindak salah;
6. Menyakiti diri sendiri atau melakukan percobaan bunuh diri
7. Perilaku agresif, seperti menjadi kasar atau mudah marah terhadap
anak/pekerja rumah tangga/staf atau rekan kerja, membalas kekasaran pelaku
seperti mengucapkan kata-kata kasar, banyak mengeluhkan kekecewaan
terhadap pelaku.11

3. Kekerasan Seksual
Salah satu bentuk kekerasan dalam rumah tangga ialah kekerasan seksual
yang dimana dibahas dalam undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga adalah persoalan kekerasan seksual di dalam rumah tangga (Marrital rafe).
Pasal 5 dan 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

11
Ester Lianawati, Dampak Psikis Kekerasan dalam Rumah Tangga,
https://esterlianawati.fr/2011/06/25/dampak-psikis-kekerasan-dalam-rumah-tangga/ (diakses pada
6 April 2022, 11:55).

9
Kekerasan Dalam Rumah Tangga mengatur terkait kekerasan seksual khususnya
dalam perkawinan(Marrital rape).

Pengaturan tentang kekerasan dalam rumah tangga khususnya kekerasan seksual


dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga diatur pada Pasal 8 undang-undang tersebut. Menurut
ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga mengatur bahwa: Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 huruf c meliputi:

1. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang


menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.
2. Pemaksaan hubungan seksual terhadap dalah seorang dalam lingkup
rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau
tujuan tertentu.

Berdasarkan penjelasan pasal tersebut kekerasan seksual yang dimaksud dalam


UU tersebut adalah setiap pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan
seksual secara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual
dengan orang lain untuk tujuan komersil dan/atau tujuan tertentu.

Merujuk kepada ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan


Dalam Rumah Tangga, kekerasan seksual meliputi:

a. Pemaksaan seksual terhadap orang yang menetap dalam rumah tangga

Salah satu unsur kekerasan seksual dalam rumah tangga adalah memaksa orang
yang menetap dalam rumah tangga untuk berhubungan seksual. Oleh karena itu
dengan merujuk kepada ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-UndangPenghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, orang yang menetap di dalam rumah tangga
yang dalam hal ini disebut keluarga meliputi:

1. Suami, isteri, anak;


2. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang
sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan,

10
persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah
tangga; dan/atau
3. Orang yang bekerja membantu rumah tangga menetap dalam rumah
tangga tersebut

Pada dasarnya lingkup Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang


Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sangat luas, tidak hanya
melindungi isteri dan anak, tetapi anggota keluarga lain, bahkan pekerja rumah
tangga (pembantu).

Dalam realitanya, secara umum kekerasan seksual tersebut menimpa kaum


perempuan. Hal ini bisa terlihat dari pemberitaan baik media massa cetak maupun
elektronik. Sebagaimana yang dikemukakan Nursyahbani Kantjasungkana bahwa:
“Masalah perkosaan tidak dapat lagi dipandang sebagai masalah antar individu
belaka, tetapi merupakan problem sosial yang terkait dengan masalah hak asasi
manusia, khususnya yang berkaitan dengan perlindungan terhadap segala bentuk
penyiksaan, kekerasan, kekejaman, dan pengabaian umat manusia”.

Berkaitan dengan pemaksaan hubungan seksual dalam hubungan keluarga,


kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami terhadap istri
khususnya merupakan suatu teror bagi kaum perempuan yang bahkan paling
banyak terjadi di berbagai negara.Bahkan, dalam konteks ini hampir sekitar 20-67
persen perempuan baik perempuan di negara berkembang maupun negara maju
mengalami persoalan kekerasan dalam rumah tangga.12

Berkaitan dengan pengaturan tentang tindak pidana kekerasan dalam rumah


tangga khususnya kekerasan seksual dalam sistem hukum pidana di Indonesia.
Keberadaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yaitu Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 menjadi suatu bagian aturan yang tidak dapat dipisahkan, dimana
dalam konsep hukum pidana dikenal sebagai aturan khusus dan aturan umum.
Dalam konsepnya, dalam hal penggunaan hukumnya dikenal dengan asas: “aturan

12
Ester Lanawati, Tiada Keadilan Tanpa Kepedulian: KDRT Perspektif Psikologi Feminis,
Paradigma Indonesia, Yogyakarta, 2009, hal. 1.

11
hukum yang khusus mengenyampingkan aturan yang umum” atau dikenal dengan
asas “Lex specialis derogate lex generalis”.

Oleh karena itu dapat ditarik gambaran bahwa dalam konsep pengaturan
kekerasan seksual tersebut khususnya dalam hal ini yaitu kekerasan seksual di
dalam rumah tangga, KUHP menjadi konsep pengaturan umum, sedangkan
sebaliknya undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga yaitu
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 menjadi konsep hukum khusus yang
mengatur persoalan tersebut secara khusus.

Pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan


Dalam Rumah Tangga terlihat memiliki dimensi pengaturan yang relatif lebih luas
dibanding dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dimana dalam hal ini
undang-undang tersebut juga menyatakan bahwa kekerasan seksual dalam
hubungan perkawinan yakni terhadap suami atau isteri juga termasuk sebagai
tindak pidana kekerasan seksual, sementara Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) memandang kekerasan seksual sebagai suatu bentuk pemaksaan
hubungan seksual terhadap wanita diluar perkawinan.13

Hal ini dikarenakan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang


Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga memang memandang bahwa
segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga termasuklah di dalamnya kekerasan
seksual di dalam rumah tangga merupakan suatu bentuk kekerasan. Maka dalam
hal ini menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sekalipun suami dan isteri
tersebut terikat dalam suatu tali perkawinan, sepanjang di dalamnya terjadi
pemaksaan hubungan seksual maka pihak yang merasa mejadi korban kekerasan
seksual tersebut dalam hal ini dapat melaporkan pelaku kekerasan seksual dalam
rumah tangga tersebut.

b. Memaksa orang dalam rumah tangga untuk melakukan hubungan seksual


dengan orang lain.

13
Herkutanto, Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Sistem Hukum Pidana, dalam buku
Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, PT. Alumni, Bandung, 2000.

12
Selain langsung menjadi pelaku kekerasan seksual tersebut, semua bagian dalam
rumah tangga tersebut juga dapat dikenakan kekerasan seksual secara hukum
dikarenakan perbuatan memaksa seseorang di dalam rumah tangga untuk
melakukan hubungan seksual dengan orang di luar lingkup keluarga atau bahkan
masih termasuk di dalam keluarga itu sendiri.14

Mengacu kepada bentuk perbuatan yang sebagaimana dirumuskan pada Pasal 8


huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga ini nampak dari segi perbuatannya tidak tegas mengenai
pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersil dan/atau tujuan tertentu.
Sehingga Pasal 8 huruf b tersebut dirasakan sebagai pasal keranjang sampah.

Pengaturan mengenai kekerasan seksual menurut ketentuan UndangUndang


Nomor 23 Tahun 2004 juga termasuk pemaksaan terhadap orang dalam rumah
tangga, dengan kata lain termasuk terhadap orang yang terkait dengan tali
perkawinan dalam hal ini yaitu suami maupun isteri. Sehingga dapat ditarik suatu
pemahaman bahwa dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang menjadi korban tidaklah
mutlak perempuan, karena dalam pengaturannya ad peluang bagi pria yang
mengalami kekerasan seksual untuk dapat menuntut secara hukum. Sehingga
korban kekerasan seksual menurut ketentuan undang-undang penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga tersebut selain pihak di dalam keluarga lainnya
juga termasuklah suami maupun isteri.Sehingga merujuk kepada ketentuan
undang-undang tersebut suami tidak dapat memaksa isteri untuk berhubungan
seksual dengannya ataupun sebaliknya isteri tidak dapat memaksa suami untuk
berhubungan seksual dengannya.

Kemudian menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang


Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagaimana diatur pada Pasal 8
undang-undang tersebut tidak disebutkan bahwa pemaksaan hubungan seksual
harus diikuti oleh suatu bentuk kekerasan atau ancaman kekerasan. Maka dalam

14
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual, Refika
Aditama, Bandung, 2011, hal. 62

13
hal ini dapat disimpulkan bahwa dalam konsep Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004 tersebut perbuatan pemaksaan hubungan seksual walaupun tidak diikuti oleh
kekerasan maupun ancaman kekerasan terhadap pelaku dapat
dipertanggungjawabkan..

4. Penelantaran Rumah Tangga


Perceraian sangat identik dengan penelantaran, namun tidak berarti
keluarga yang masih utuh tidak bisa melakukan penelantaran, banyak kasus di
masyarakat terjadi penelantaran dalam keluarga yang utuh akibat orang tua, suami
atau isteri tidak bertanggung jawab atas keluarganya. Penelantaran juga dapat
terjadi bila orang tua tidak bertanggung jawab kepada keluarga karena menjadi
pemabok, penjudi dan mempunyai wanita lain atau selingkuhan, sehingga anak,
isteri atau suami ditelantarkan, Sebagai orang tua suami berkewajiban menafkahi
keluarga. Dan isteri berkewajiban menjaga dan mendidik anak-anaknya.
Menelantarkan rumah tangga termasuk tindakan yang tidak baik dan tercela,
dalam pandangan masyarakat umum orang menelantarkan keluarga dinilai telah
melakukan tindakan tidak terpuji dan secara sosial akan mendapatkan sanksi
berupa cap tercela pada pelaku penelantaran. Dalam hukum positif, penelantaran
dalam rumah angga dapat digolongkan sebagai tindakan kekerasan dalam rumah
tangga (domestic violence) dan merupakan strafbaar feit dengan pengertian
perbuatan yang dilarang oleh peraturan hukum pidana dan tentu saja dikenakan
sanksi, Penelantaran dalam rumah tangga biasanya dilakukan oleh suami yang
meninggalkan anak dan isterinya tampa memberikan nafkah kehidupan bagi
seluruh keluarga yang menjadi tanggungannya. Undang-undang No 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga “Setiap orang
dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut
hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib
memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
Berdasarkan Pasal 49 huruf a Undang- undang PKDRT (Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga), setiap orang yang melakukan penelantaran rumah tangga
dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).

14
Menurut Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
memang diakui adanya dua otoritas terkait pengakuan perkawinan, yaitu hukum
negara dan hukum agama (Pasal 2). Di dalam undang-undang itu disebutkan juga,
bahwa pada prinsipnya berlakunya asas monogami (Pasal 3 ayat (1)), tetapi
terdapat beberapa perkecualian (Pasal 3 ayat (2), Pasal 4, dan Pasal 5). Dalam
penjelasan umumnya, dirangkumkan syarat-syarat berikut ini: (1) dikehendaki
oleh yang bersangkutan; (2) diizinkan oleh hukum agama pihak yang
bersangkutan; (3) diputuskan oleh pengadilan (Penjelasan Umum angka 4 huruf
c). Dengan kata lain, negara tidak melarang praktek poligami, sepanjang itu
dilakukan sesuai dengan ketentuan agama para pihak, serta harus memenuhi
beberapa syarat sesuai ketentuan dalam UU Perkawinan. Menurut Kelsen hukum
adalah suatu tata yang bersifat memaksa.15

Penelantaran rumah tangga diatur dalam undang- undang, pasal 49 UU


PKDRT. Pasal tersebut menyebutkan bahwa:

“Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak
Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang “menelantarkan
orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam pasal 9
ayat (1); Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud pasal 9 ayat (2) . Jadi
konkretnya penelantaran rumah tangga yang dimaksud disini adalah penelantaran
yang dilakukan misalnya oleh orang tua terhadap anak. namun penelantaran yang
dimaksudkan oleh pasal ersebut tidak hanya sebatas keluarga inti, berdasarkan
pasal 2 di atas, juga dapat disebut melakukan penelantaran bila menelantarkan
keluarga lain yang tinggal bersamanya dan menggantungkan kehidupannya
kepada kepala rumah tangga.16

Upaya Agar Tidak Terjadi Penelantaran Dalam Rumah Tangga

Dalam konteks rumah tangga, bentuk-bentuk kekerasan memang


seringkali terjadi, baik yang menimpa istri, anak-anak, pembantu rumah tangga,

15
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, (Bandung: Nusamedia &
Nuansa, 2006), hlm. 34
16
L Tanya, Bernard, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Yogyakarta:
Genta, 1983), hlm. 2

15
kerabat ataupun suami. Kekerasan jika dikaitkan dengan kejahatan, maka
kekerasan sering merupakan pelengkap dari kejahatan itu sendiri. Bahkan, ia telah
membentuk ciri tersendiri dalam khasanah tentang studi kejahatan. semakin
menggejala dan frekuensi kejahatan yang diikuti dengan kekerasan dalam
masyarakat, maka semakin tebal keyakinan masyarakat akan penting dan
seriusnya kejahatan semacam ini dan khususnya kejahatan dalam rumah tangga
dalam bentuk penelantaran dalam rumah tangga.

Penelantaran yang dimaksud di sini adalah penelantaran menurut pasal 9


ayat (1) UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga yang berbunyi :

“setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,


padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharan kepada
orang tersebut”.

Berdasarkan bunyi pasal tersebut jelas, bahwa yang dimaksud dengan


penelantaran adalah setiap bentuk pelalaian kewajiban dan tanggung jawab
seseorang dalam rumah tangga yang menurut hukum seseorang itu telah
ditetapkan sebagai pemegang tanggung jawab terhadap kehidupan orang yang
berada dalam lingkungan keluarganya. Jadi konkretnya penelantaran rumah
tangga yang dimaksud disini adalah penelantaran yang dilakukan misalnya oleh
orang tua terhadap anak. namun penelantaran yang dimaksudkan oleh pasal
tersebut tidak hanya sebatas keluarga inti, berdasarkan pasal 2 di atas, juga dapat
disebut melakukan penelantaran bila menelantarkan keluarga lain yang tinggal
bersamanya dan menggantungkan kehidupannya kepada kepala rumah tangga.17

Penelantaran dalam rumah tangga banyak terjadi yang seolah-olah hampir


tidak Nampak enegakanhukuman bagi pelaku penelantaran dalam rumah tangga.
Upaya agar tidak terjadi tindak pidana penelantaran dalam rumah tangga
diantaranya “memberikan pemahaman, pembinaan dan penyuluhan kepada
masyarakat hak dan kewajiban suami isteri sebagaimana islam telah mengajarkan,

17
Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

16
dan memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang hukum yang berlaku
apabila ada tindak pidana KDRT khususnya tindakan penelantaran dalam rumah
tangga”. Apabila ada pelaporan dari masyarakat atau korban tindak pidana
penelantaran dalam rumah tangga kami siap siaga untuk segera memberikan
perlindungan kepada korban dan segera memproses sesuai dengan ketentuan yang
berlaku”. Bagi pelaku tindak pidana penelantaran dalam rumah tangga yang telah
menjalani persidangan yang sesuai ndengan ketentuan yang berlaku akan
dijatuhkan sanksi sesuai dengan kesalahan yang dilakukan. Upaya
penenggulangan kejahatan penelantaran dalam rumah tangga yaitu melalui
pendekatan non penal, mengingat faktor korelatif terjadinya kejahatan
penelantaran dalam rumah tangga dengan persoalan kehidupan sosial dan budaya.
“Pencegahan terjadinya kejahatan sebagai pola penanggulangan kejahatan
kekerasan pada dasarnya adalah upaya untuk memelihara
18
keamanan dan ketertiban umum.

B. Bagaimana sanksi hukum kekerasan dalam UU PKDRT


Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, terlihat ada beberapa Pasal
yang dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah
tangga. Pasal-pasal tersebut disesuaikan dengan tindak pidana yang dilakukan.
Pasal- pasal tersebut antara lain sebagai berikut:

Pasal 44

(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup
rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak
Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan
matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
18
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hlm. 138

17
belas) tahun atau denda paling banyak Rp45.000.000,00 (empat puluh lima
juta rupiah).
(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit
atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian
atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) bulan atau denda paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta
rupiah).

Pasal 45

(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup
rumah tangga sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 huruf b dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit
atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian
atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) bulan atau denda paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).

Pasal 46

Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud


pada Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas)
tahun atau denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Pasal 47

Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya
melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua
belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah).

18
Pasal 48

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 denda
paling banyak Rp. 300.000.000,00.

Pasal 49

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang: a.
Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1); b. Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal
9 ayat (2)

Pasal 50

Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat menjatuhkan
pidana tambahan berupa:

a. Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku


dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak
tertentu dari pelaku;
b. Penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan
lembaga tertentu.

Pasal 51

Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4)
merupakan delik aduan

Pasal 52

Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2)
merupakan delik aduan.

Pasal 53

19
Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang
dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan.19

Berdasarkan pasal yang terdapat di atas dapat dilihat bahwa walaupun


tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku terdapat juga dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana, namun aturan hukum pidana sebagaimana yang
disebutkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dapat dikesampingkan
dengan memberlakukan aturan khusus yang terdapat dalam UU No 23 Tahun
2004. Pemberlakuan UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga dalam kasus kekerasan rumah tangga yang terjadi
dikarenakan asas Perundang-undangan Indonesia, menyatakan bahwa apabila
sudah ada ketentuan khusus, maka ketentuan umum dapat dikesampingkan dalam
menerapkan dasar hukum untuk melakukan penuntutan.

Berkaitan dengan alasan penggunaan UU No 23 tahun 2004 di samping


alasan diatas, juga disebabkan karena sanksi hukum terhadap kasus kekerasan,
lebih tinggi dalam UU No 23 Tahun 2004, dibandingkan dengan yang diatur
dalam KUHP. Kelemahan menggunakan pasal KUHP dalam kasus tindak pidana
kekerasan (KDRT) adalah bahwa KUHP tuntutan hukumnya terlalu ringan,
dibandingkan dengan hukuman yang berlaku dalam UU No. 23 Tahun 2004.
Dengan begitu diharapkan Pasal-pasal yang mengatur tentang kekerasan dalam
rumah tangga dapat memberikan efek jera bagi si pelaku dan tidak mengulangi
perbuatannya setelah bebas dari tuntutan hukuman. 20

19
UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
20
Maya Janna. “Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tanga
Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasaan
Dalam Rumah Tangga”. Jurnal Ilmiah. Vol. 05. No. 02 September 2017, hal 48-52

20
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
Terdapat empat macam kekerasan yang diatur di dalam UU PKDRT yaitu
kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah
tangga. Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh
sakit, atau luka berat . Misalnya; pemukulan, penganiayaan, menampar,
menyundut dengan rokok, dan lain sebagainya. Kekerasan psikis adalah suatu
tindakan penyiksaan secara verbal, seperti menghina, berkata kasar dan kotor
yang mengakibatkan menurunnya rasa percaya diri, meningkatkan rasa takut,
hilangnya kemampuan untuk bertindak dan tidak berdaya. Kekerasan seksual
adalah setiap pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual secara
tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang
lain untuk tujuan komersil dan/atau tujuan tertentu. Dan terakhir, yaitu
penelantaran rumah tangga yang biasanya dilakukan oleh suami yang
meninggalkan anak dan isterinya tampa memberikan nafkah kehidupan bagi
seluruh keluarga yang menjadi tanggungannya.

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, terdapat beberapa Pasal yang


mengatur mengenai sanksi terhadap pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah
tangga. Walaupun tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku terdapat juga dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, namun aturan hukum pidana sebagaimana
yang disebutkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dapat
dikesampingkan dengan memberlakukan aturan khusus yang terdapat dalam UU
No 23 Tahun 2004. Pemberlakuan UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam kasus kekerasan rumah tangga yang
terjadi dikarenakan asas Perundang-undangan Indonesia, menyatakan bahwa
apabila sudah ada ketentuan khusus, maka ketentuan umum dapat
dikesampingkan hal ini disebabkan karena sanksi hukum terhadap kasus
kekerasan, lebih tinggi dalam UU No 23 Tahun 2004, dibandingkan dengan yang
diatur dalam KUHP. Kelemahan menggunakan pasal KUHP dalam kasus tindak
pidana kekerasan (KDRT) adalah bahwa KUHP tuntutan hukumnya terlalu

21
ringan, dibandingkan dengan hukuman yang berlaku dalam UU No. 23 Tahun
2004.

B. Saran
Dengan disusunnya makalah ini penulis mengharapkan pembaca dapat
mengetahui dan memahami materi mengenai Jenis Kekerasan menurut UU
PKDRT serta dapat memberikan kritik dan sarannya agar makalah ini dapat
menjadi lebih baik. Demikian saran yang dapat penulis sampaikan semoga dapat
membawa manfaat bagi semua pembaca.

22
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-undangan:

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam


Rumah Tangga

Buku:

Abdul Wahid dan Muhammad Irfan. 2011. Perlindungan Terhadap Korban


Kekerasan Seksual Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan, Cetakan Kedua.
Bandung: PT. Refika Aditama.

Abdul Wahid dan Muhammad Irfan. 2011. Perlindungan Terhadap Korban


Kekerasan Seksual. Bandung: Refika Aditama.

Amora Elmina Martha. 2015. Hukum KDRT Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Yogyakarta: Aswaja Pressindi.

Bernard L Tanya. 1983. Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi. Yogyakarta: Genta.

Ester Lanawati. 2009. Tiada Keadilan Tanpa Kepedulian: KDRT Perspektif


Psikologi Feminis. Yogyakarta: Paradigma Indonesia.

Hans Kelsen. 2006. Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif.
Bandung: Nusamedia & Nuansa.

Herkutanto. 2000. Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Sistem Hukum Pidana,


dalam buku Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita. Bandung: PT.
Alumni.

Mahmud Mulyadi. 2008. Criminal Policy. Medan: Pustaka Bangsa Press.

Moerti Hadiarti Soeroso. 2010. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam


Perspektif Yuridis-Viktimologis. Jakarta: Sinar Grafika.

Nurudin Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. 2004. Hukum Perdata Islam di
Indonesia. Jakarta: Kencana.

23
Purwoko Herudjati. 2008. Aneka Sifat Kekerasan Fisik, Simbolik dan Struktural.
Jakarta: Indeks.

Jurnal:

Maya Janna. 2017. Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Kekerasan Dalam
Rumah Tanga Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasaan Dalam Rumah Tangga. Jurnal Ilmiah,
Vol. 05. No. 02.

Ollij A. Kereh dan Friend H. Anis. 2017. Aspek Hukum Kekerasan Dalam Rumah
Tangga Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2004. Jurnal Lex Et Societatis,
Vol. V No. 9.

Ulfiana Khaira, dkk. 2022. Penelantaran Rumah Tangga Oleh Suami Sebagai
Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Ditinjau Dari Uu Nomor 23
Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Fakultas Hukum (JIM FH), Vol. V No. 1.

Internet:

Ester Lianawati, Dampak Psikis Kekerasan dalam Rumah Tangga, diakses


melalui https://esterlianawati.fr/2011/06/25/dampak-psikis-kekerasan-
dalam-rumah-tangga/ pada tanggal 6 April 2022

Sudut Hukum, Latar Belakang Lahirnya UU No. 23 Tahun 2004 diakses melalui
https://suduthukum.com/2015/07/latar-belakang-lahirnya-uu-no-23-
tahun.html pada tanggal 6 April 2022

24

You might also like