Professional Documents
Culture Documents
DISUSUN OLEH :
8. Alfridha (B011191275)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahak Esa karena telah memberikan
kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini yang berjudul Jenis
kekerasan menurut UU PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga)
tepat waktu.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Bapak M. Aris Munandar S.H.,
M.H. pada Delik-delik di Luar Kodifikasi (C) di Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin. Selain itu, para penulis juga berharap agar makalah ini dapat
menambah wawasan bagi pembaca Jenis kekerasan menurut UU PKDRT
(Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga).
Penulis
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.......................................................................................................................................... ii
C. Tujuan ............................................................................................................................................ 3
A. Kesimpulan .................................................................................................................................. 21
B. Saran ............................................................................................................................................. 22
ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang selanjutnya disebut KDRT sering
terjadi di berbagai negara termasuk Indonesia dan India. KDRT adalah tindak
pidana dengan kekerasan yang memungkinkan laki-laki maupun perempuan
sebagai pelaku atau korbannya. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat
terganggu, jika sikap, perilaku dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol. Pada
akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul
ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup
rumah tangga tersebut. Untuk mencegah, melindungi korban dan menindak
pelaku kekerasan dalam rumah tangga maka negara (state) wajib melaksanakan
pencegahan, perlindungan dan penindakan terhadap pelaku1. Dalam hal ini KDRT
bukan hanya diartikan sebagai Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dilakukan
oleh seorang suami kepada seorang istri melainkan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga yang juga memungkinkan untuk dilakukan oleh istri terhadap suami.
1
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga
1
Tujuan ini sebenarnya masih dapat kita lihat dalam Ketentuan Umum UU
PKDRT. Dalam penjelasan Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga disebutkan bahwa pembaharuan
hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau subordinasi, khususnya
perempuan, menjadi sangat diperlukan sehubungan dengan banyaknya kasus
kekerasan, khususnya dalam rumah tangga.2
2
Sudut Hukum, Latar Belakang Lahirnya UU No. 23 Tahun 2004,
https://suduthukum.com/2015/07/latar-belakang-lahirnya-uu-no-23-tahun.html (diakses pada 6
April 2022
3
Moerti Hadiarti Soeroso, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Yuridis-
Viktimologis, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010)
2
Kekerasan dalam Rumah Tangga memiliki konstribusi positif dalam penegakan
hukum kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia. Dengan adanya Undang-
undang ini polisi dapat melindungi korban sekaligus ada kepastian hukum bagi
korban dalam mencari keadilan. Jika kekerasan dalam rumah tangga tadinya
diposisikan sebagai kasus perdata yang menjadi urusan privat masing-masing
individu, tetapi sekarang telah menjadi kasus pidana sehingga menjadi urusan
publik.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja jenis kekerasan yang diatur dalam UU PKDRT ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui jenis kekerasan yang diatur dalam UU PKDRT
3
BAB II PEMBAHASAN
1. Kekerasan Fisik
Menurut Pasal 6 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam rumah tangga, kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf
a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat .
Misalnya; pemukulan, penganiayaan, menampar, menyundut dengan rokok, dan
lain sebagainya.
Menurut Mansoer Fakih, kekerasan fisik dapat diklasifikasikan dalam tiga
tingkatan, yaitu: 5
1. Kekerasan fisik berat, berupa penganiayaan berat seperti menendang, memukul,
menyundut, melakukan percobaan pembunuhan dan semua perbuatan lain yang
4
Ulfiana Khaira,dkk, Penelantaran Rumah Tangga Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam
Rumah Tangga Ditinjau Dari Uu Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga, Jurnal Ilmiah Mahasiswa Fakultas Hukum (JIM FH) Volume V, Nomor 1, Januari
2022, hlm 62
5
Purwoko Herudjati, Aneka Sifat Kekerasan Fisik, Simbolik dan Struktural, Indeks, Jakarta, 2008,
hlm. 26.
4
dapat mengakibatkan cidera berat, tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari,
pingsan, luka berat pada tubuh korban dan mati, hingga kehilangan salah satu
panca indera dan lain-lain.
2. Kekerasan fisik ringan, berupa menampar, menjambak, mendorong dan
perbuatan lainya yang mengakibatkan cidera ringan, rasa sakit, dan luka fisik
yang tidak masuk dalam kategori berat.
3. Melakukan repetisi, kekerasan fisik ringan dapat dikategorikan ke dalam jenis
kekerasan berat.
Kekerasan fisik dapat disederhanakan seperti :
a. Pembunuhan
Kasus pembunuhan terhadap istri (kadang digunakan dengan istikah femicide)
paling sering dilakukan oleh suami atau mantan suami. Statistik yang
memperlihatkan presentase pembunuhan terhadap peremupuan oleh pasangan
dekat sangat banyak.
1) Suami terhadap istri atau sebaliknya;
2) Ayah terhadap anak atau sebaliknya;
3) Ibu terhadap anak atau sebaliknya (termasuk pembunuhan bayi oleh ibu);
4) Adik terhadap kakak, kemenakan, ipar, atau sebaliknya;
5) Anggota keluarga terhadap pembantu;
6) Bentuk campuran selain disebut diatas.
b. Penganiyaan:
1) Suami terhadap istri atau sebaliknya;
2) Ayah terhadap anak atau sebaliknya
3) Ibu terhadap anak atau sebaliknya (termasuk pembunuhan bayi oleh ibu);
4) Adik terhadap kakak, kemenakan, ipar, atau sebaliknya;
5) Anggota keluarga terhadap pembantu;
6) Bentuk campuran selain disebut diatas.
Perbuatan kekerasan fisik diatas dapat menimbulkan luka, menghasilkan luka
memar, luka tusuk, luka akibat senjata tajam, dan luka goresan sampai dengan
luka-luka yang dapat menimbulkan kematian. Kekerasan tersebut memberikan
makna bahwa dalam kekerasan fisik yang terjadi juga menimbulkan dampak lebih
lanjut pada aspek psikologi. Orang yang menjadi korban kekerasan fisik dapat
5
juga mengalami penderitaan psikologis yang cukup parah seperti stress hingga
kemudian memilih bunuh diri.6 Selain itu, tindak pidana kekerasan fisik dalam
lingkup rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia atas hak untuk
hidup dan melakukan aktivitas untuk memperoleh penghasilan dan peningkatan
kesejahteraan dan kualitas hidup bagi setiap orang. Tindakan kekerasan
merupakan wujud penindasan dan pelanggaran hak asasi yang dilakukan
seseorang kepada orang lain, kelompok tertentu kepada kelompok lain, orang
dewasa, anak-anak, majikan kepada pembantunya dan laki-laki kepada
perempuan. Tindakan ini mencerminkan pihak yang kuat cenderung superior dan
menempatkan pihak yang lemah sebagai korbannya.7
2. Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis adalah suatu tindakan penyiksaan secara verbal, seperti
menghina, berkata kasar dan kotor yang mengakibatkan menurunnya rasa percaya
diri, meningkatkan rasa takut, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan tidak
berdaya. Kekerasan psikis ini, apabila sering terjadi maka dapat mengakibatkan
istri semakin tergantung pada suami, meskipun suaminya telah membuatnya
menderita. Di sisi lain, kekerasan psikis juga dapat memicu dendam di hati istri.
Bentuk kekerasan psikis ini dibagi menjadi dua bentuk, yaitu berat dan ringan.
Adapun bentuk Kekerasan Psikis Berat, berupa tindakan pengendalian,
manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam
bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang
merendahkan atau menghina; penguntitan; kekerasan dan atau ancaman kekerasan
fisik, seksual dan ekonomis; yang masing-masingnya bisa mengakibatkan
penderitaan psikis berat. Penderitaan psikis berat dimaksud bisa berupa salah satu
atau beberapa hal berikut, yakni gangguan tidur atau gangguan makan atau
ketergantungan obat atau disfungsi seksual yang salah satu atau kesemuanya berat
dan atau menahun, gangguan stres pasca trauma, gangguan fungsi tubuh berat
(seperti tiba-tiba lumpuh atau buta tanpa indikasi medis), depresi berat atau
6
Amora Elmina Martha, Hukum KDRT Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Aswaja Pressindi,
Yogyakarta, 2015, hlm 8
7
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual
Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan, Cetakan Kedua, PT. Refika Aditama, Bandung, 2011, hlm.
54
6
destruksi diri, gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas
seperti skizofrenia dan atau bentuk psikotik lainnya, Bunuh diri.
8
Ollij A. Kereh dan Friend H. Anis. “Aspek Hukum Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2004”. Jurnal Lex Et Societatis, Vol. V No. 9 November 2017, hal.
108
9
Naskah Undang-undang no 23 Tahun 2004 tentang PKDRT
7
pelaku. Kemudian penetapan pelaku untuk mengikuti program konseling di bawah
pengawasan lembaga tertentu.
Kekerasan psikis memang sulit untuk dilihat, bahkan bisa jadi korban tidak
menyadari bahwa dirinya mengalami kekerasan psikis. Secara umum, disebut
sebagai kekerasan psikis apabila:
Sejauh mana korban mengalami kekerasan psikis dapat dibuktikan melalui visum
et repertum, yaitu keterangan mengenai kondisi psikis seseorang yang disertai
kemungkinan sebab-sebabnya. Visum et repertum yang dikeluarkan oleh pihak-
pihak seperti psikolog yang kompeten dan institusi atau lembaga yang berwenang
mengeluarkannya.10
10
Nurudin Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta:
Kencana, 2004), hal 29.
8
Ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk
bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat dapat tampil
dalam perilaku-perilaku berikut ini:
1. Kehilangan minat untuk merawat diri yang tampil dalam perilaku menolak
atau enggan makan, minum, makan tidak teratur, malas mandi atau
berdandan, tampil berantakan seperti rambut kusut, pakaian awut-awutan;
2. Kehilangan minat untuk berinteraksi dengan orang lain, yang tampil dalam
perilaku mengurung diri di kamar, tidak mau berhubungan dengan orang lain,
cenderung diam, dan enggan bercakap-cakap
3. Padahal sebelumnya hal-hal ini dilakukannya secara rutin;
4. Ketidakmampuan melihat kelebihan diri, tidak yakin dengan kemampuan diri,
dan kecenderungan membandingkan diri dengan orang lain yang dianggapnya
lebih baik. Contohnya menganggap diri tidak memiliki kelebihan meski fakta
yang ada menunjukkan hal sebaliknya, atau sering bertanya apakah yang ia
lakukan sudah benar atau belum;
5. Kehilangan keberanian untuk melakukan tindakan yang ditunjukkan dengan
tidak berani mengungkapkan pendapat atau tidak berani mengingatkan pelaku
jika bertindak salah;
6. Menyakiti diri sendiri atau melakukan percobaan bunuh diri
7. Perilaku agresif, seperti menjadi kasar atau mudah marah terhadap
anak/pekerja rumah tangga/staf atau rekan kerja, membalas kekasaran pelaku
seperti mengucapkan kata-kata kasar, banyak mengeluhkan kekecewaan
terhadap pelaku.11
3. Kekerasan Seksual
Salah satu bentuk kekerasan dalam rumah tangga ialah kekerasan seksual
yang dimana dibahas dalam undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga adalah persoalan kekerasan seksual di dalam rumah tangga (Marrital rafe).
Pasal 5 dan 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
11
Ester Lianawati, Dampak Psikis Kekerasan dalam Rumah Tangga,
https://esterlianawati.fr/2011/06/25/dampak-psikis-kekerasan-dalam-rumah-tangga/ (diakses pada
6 April 2022, 11:55).
9
Kekerasan Dalam Rumah Tangga mengatur terkait kekerasan seksual khususnya
dalam perkawinan(Marrital rape).
Salah satu unsur kekerasan seksual dalam rumah tangga adalah memaksa orang
yang menetap dalam rumah tangga untuk berhubungan seksual. Oleh karena itu
dengan merujuk kepada ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-UndangPenghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, orang yang menetap di dalam rumah tangga
yang dalam hal ini disebut keluarga meliputi:
10
persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah
tangga; dan/atau
3. Orang yang bekerja membantu rumah tangga menetap dalam rumah
tangga tersebut
12
Ester Lanawati, Tiada Keadilan Tanpa Kepedulian: KDRT Perspektif Psikologi Feminis,
Paradigma Indonesia, Yogyakarta, 2009, hal. 1.
11
hukum yang khusus mengenyampingkan aturan yang umum” atau dikenal dengan
asas “Lex specialis derogate lex generalis”.
Oleh karena itu dapat ditarik gambaran bahwa dalam konsep pengaturan
kekerasan seksual tersebut khususnya dalam hal ini yaitu kekerasan seksual di
dalam rumah tangga, KUHP menjadi konsep pengaturan umum, sedangkan
sebaliknya undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga yaitu
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 menjadi konsep hukum khusus yang
mengatur persoalan tersebut secara khusus.
13
Herkutanto, Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Sistem Hukum Pidana, dalam buku
Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, PT. Alumni, Bandung, 2000.
12
Selain langsung menjadi pelaku kekerasan seksual tersebut, semua bagian dalam
rumah tangga tersebut juga dapat dikenakan kekerasan seksual secara hukum
dikarenakan perbuatan memaksa seseorang di dalam rumah tangga untuk
melakukan hubungan seksual dengan orang di luar lingkup keluarga atau bahkan
masih termasuk di dalam keluarga itu sendiri.14
14
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual, Refika
Aditama, Bandung, 2011, hal. 62
13
hal ini dapat disimpulkan bahwa dalam konsep Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004 tersebut perbuatan pemaksaan hubungan seksual walaupun tidak diikuti oleh
kekerasan maupun ancaman kekerasan terhadap pelaku dapat
dipertanggungjawabkan..
14
Menurut Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
memang diakui adanya dua otoritas terkait pengakuan perkawinan, yaitu hukum
negara dan hukum agama (Pasal 2). Di dalam undang-undang itu disebutkan juga,
bahwa pada prinsipnya berlakunya asas monogami (Pasal 3 ayat (1)), tetapi
terdapat beberapa perkecualian (Pasal 3 ayat (2), Pasal 4, dan Pasal 5). Dalam
penjelasan umumnya, dirangkumkan syarat-syarat berikut ini: (1) dikehendaki
oleh yang bersangkutan; (2) diizinkan oleh hukum agama pihak yang
bersangkutan; (3) diputuskan oleh pengadilan (Penjelasan Umum angka 4 huruf
c). Dengan kata lain, negara tidak melarang praktek poligami, sepanjang itu
dilakukan sesuai dengan ketentuan agama para pihak, serta harus memenuhi
beberapa syarat sesuai ketentuan dalam UU Perkawinan. Menurut Kelsen hukum
adalah suatu tata yang bersifat memaksa.15
“Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak
Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang “menelantarkan
orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam pasal 9
ayat (1); Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud pasal 9 ayat (2) . Jadi
konkretnya penelantaran rumah tangga yang dimaksud disini adalah penelantaran
yang dilakukan misalnya oleh orang tua terhadap anak. namun penelantaran yang
dimaksudkan oleh pasal ersebut tidak hanya sebatas keluarga inti, berdasarkan
pasal 2 di atas, juga dapat disebut melakukan penelantaran bila menelantarkan
keluarga lain yang tinggal bersamanya dan menggantungkan kehidupannya
kepada kepala rumah tangga.16
15
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, (Bandung: Nusamedia &
Nuansa, 2006), hlm. 34
16
L Tanya, Bernard, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Yogyakarta:
Genta, 1983), hlm. 2
15
kerabat ataupun suami. Kekerasan jika dikaitkan dengan kejahatan, maka
kekerasan sering merupakan pelengkap dari kejahatan itu sendiri. Bahkan, ia telah
membentuk ciri tersendiri dalam khasanah tentang studi kejahatan. semakin
menggejala dan frekuensi kejahatan yang diikuti dengan kekerasan dalam
masyarakat, maka semakin tebal keyakinan masyarakat akan penting dan
seriusnya kejahatan semacam ini dan khususnya kejahatan dalam rumah tangga
dalam bentuk penelantaran dalam rumah tangga.
17
Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
16
dan memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang hukum yang berlaku
apabila ada tindak pidana KDRT khususnya tindakan penelantaran dalam rumah
tangga”. Apabila ada pelaporan dari masyarakat atau korban tindak pidana
penelantaran dalam rumah tangga kami siap siaga untuk segera memberikan
perlindungan kepada korban dan segera memproses sesuai dengan ketentuan yang
berlaku”. Bagi pelaku tindak pidana penelantaran dalam rumah tangga yang telah
menjalani persidangan yang sesuai ndengan ketentuan yang berlaku akan
dijatuhkan sanksi sesuai dengan kesalahan yang dilakukan. Upaya
penenggulangan kejahatan penelantaran dalam rumah tangga yaitu melalui
pendekatan non penal, mengingat faktor korelatif terjadinya kejahatan
penelantaran dalam rumah tangga dengan persoalan kehidupan sosial dan budaya.
“Pencegahan terjadinya kejahatan sebagai pola penanggulangan kejahatan
kekerasan pada dasarnya adalah upaya untuk memelihara
18
keamanan dan ketertiban umum.
Pasal 44
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup
rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak
Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan
matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
18
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hlm. 138
17
belas) tahun atau denda paling banyak Rp45.000.000,00 (empat puluh lima
juta rupiah).
(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit
atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian
atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) bulan atau denda paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta
rupiah).
Pasal 45
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup
rumah tangga sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 huruf b dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit
atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian
atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) bulan atau denda paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Pasal 46
Pasal 47
Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya
melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua
belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah).
18
Pasal 48
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 denda
paling banyak Rp. 300.000.000,00.
Pasal 49
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang: a.
Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1); b. Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal
9 ayat (2)
Pasal 50
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat menjatuhkan
pidana tambahan berupa:
Pasal 51
Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4)
merupakan delik aduan
Pasal 52
Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2)
merupakan delik aduan.
Pasal 53
19
Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang
dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan.19
19
UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
20
Maya Janna. “Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tanga
Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasaan
Dalam Rumah Tangga”. Jurnal Ilmiah. Vol. 05. No. 02 September 2017, hal 48-52
20
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Terdapat empat macam kekerasan yang diatur di dalam UU PKDRT yaitu
kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah
tangga. Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh
sakit, atau luka berat . Misalnya; pemukulan, penganiayaan, menampar,
menyundut dengan rokok, dan lain sebagainya. Kekerasan psikis adalah suatu
tindakan penyiksaan secara verbal, seperti menghina, berkata kasar dan kotor
yang mengakibatkan menurunnya rasa percaya diri, meningkatkan rasa takut,
hilangnya kemampuan untuk bertindak dan tidak berdaya. Kekerasan seksual
adalah setiap pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual secara
tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang
lain untuk tujuan komersil dan/atau tujuan tertentu. Dan terakhir, yaitu
penelantaran rumah tangga yang biasanya dilakukan oleh suami yang
meninggalkan anak dan isterinya tampa memberikan nafkah kehidupan bagi
seluruh keluarga yang menjadi tanggungannya.
21
ringan, dibandingkan dengan hukuman yang berlaku dalam UU No. 23 Tahun
2004.
B. Saran
Dengan disusunnya makalah ini penulis mengharapkan pembaca dapat
mengetahui dan memahami materi mengenai Jenis Kekerasan menurut UU
PKDRT serta dapat memberikan kritik dan sarannya agar makalah ini dapat
menjadi lebih baik. Demikian saran yang dapat penulis sampaikan semoga dapat
membawa manfaat bagi semua pembaca.
22
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-undangan:
Buku:
Amora Elmina Martha. 2015. Hukum KDRT Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Yogyakarta: Aswaja Pressindi.
Bernard L Tanya. 1983. Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi. Yogyakarta: Genta.
Hans Kelsen. 2006. Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif.
Bandung: Nusamedia & Nuansa.
Nurudin Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. 2004. Hukum Perdata Islam di
Indonesia. Jakarta: Kencana.
23
Purwoko Herudjati. 2008. Aneka Sifat Kekerasan Fisik, Simbolik dan Struktural.
Jakarta: Indeks.
Jurnal:
Maya Janna. 2017. Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Kekerasan Dalam
Rumah Tanga Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasaan Dalam Rumah Tangga. Jurnal Ilmiah,
Vol. 05. No. 02.
Ollij A. Kereh dan Friend H. Anis. 2017. Aspek Hukum Kekerasan Dalam Rumah
Tangga Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2004. Jurnal Lex Et Societatis,
Vol. V No. 9.
Ulfiana Khaira, dkk. 2022. Penelantaran Rumah Tangga Oleh Suami Sebagai
Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Ditinjau Dari Uu Nomor 23
Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Fakultas Hukum (JIM FH), Vol. V No. 1.
Internet:
Sudut Hukum, Latar Belakang Lahirnya UU No. 23 Tahun 2004 diakses melalui
https://suduthukum.com/2015/07/latar-belakang-lahirnya-uu-no-23-
tahun.html pada tanggal 6 April 2022
24