Professional Documents
Culture Documents
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………………………………………….... i
DAFTAR ISI …………………………………………………………….. ii
BAB 1 PENDAHULUAN ……………………………………………….. 4
1.1 Latar Belakang ……………………………………………... 4-6
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………. 6
1.3 Tujuan Penulisan ……………………………………………... 6
BAB 2 PEMBAHASAN …………………………………………………. 7
2.1 Konsep dan Urgensi Harmoni Kewajiban dan Hak Negara dan
Warga Negara ……………...………………………………… 7
2.2 Alasan Adanya Harmoni Antara Kewajiban dan Hak Negara dan
Warga Negara ……………………………………………… 7-8
2.3 Sumber Historis, Sosiologis, Politik akan Harmoni Kewajiban
dan Hak Negara dan Warga Negara Indonesia …………….. 8-
13
2.4 Argumen Tentang Dinamika dan Tantangan Harmoni
Kewajiban dan Hak Negara dan Warga Negara
……………………… 14-17
2.5 Esensi dan Urgensi Harmoni Kewajiban dan Hak Negara dan
Warga Negara ……………………………………………. 14-20
BAB 3 PENUTUP ………………………………………………………..
21
3.1 Kesimpulan …………………………………………………...
21
3.2 Saran ………………………………………………………….
21
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………… 22
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hak dan kewajiban merupakan suatu hal yang terikat satu sama
lain, sehigga dalam praktik harus dijalankan dengan seimbang. Hak
merupakan segala sesuatu yang pantas dan mutlak untuk didapatkan
individu sebagai anggota warga Negara sejak masih berada dalam
kandungan, sedangkan kewajiban merupakan suatu keharusan atau
kewajiban bagi individu dalam melaksanakan peran sebagai anggota
warga Negara guna mendapat pengakuan akan hak yang sesuai dengan
pelaksanaan kewajiban tersebut. Jika hak dan kewajiban tidak berjalan
secara seimbang dalam praktik kehidupan, maka akan terjadi suatu
ketimbangan yang akan menimbulkan gejolak masyarakat dalam
pelaksanaan kehidupan individu baik dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, maupun bernegara.
Hak dan kewajiban warga negara merupakan wujud dari hubungan
yang terbentuk antara warga negara dan negara itu sendiri. Jadi sifat hak
dan kewajiban itu adalah bersifat timbal balik (resiprokalitas).
Maksudnya adalah, bahwa warga negara memiliki hak dan kewajiban
terhadap negara, sebaliknya pula negara memiliki hak dan kewajiban
terhadap warga negara. Masalah pokok antara negara dengan warga
negara adalah masalah hak dan kewajiban. Setiap warga negara
diberikan kebebasan oleh negara dalam hak dan kewajiban semua sama.
Berbicara hak dan kewajiban negara kembali ke warga negara tersebut.
Karena hubungan antara negra dengan wrga negara sangat kuat hal itu
bisa dilihat dari sila ke-4 pancasila bahwa kewajiban bangsa indonesia
berlandaskan pada kedaulatan rakyat.
Meningkatkan rasa kesadaran bersama akan tanggung jawab kita
terhadap hak dan kewajiban negara menjadi masalah utama. Warga
negara memiliki hak, karena ketidaksadaran maka hak tadi
disalahgunakan orang lain. Begitu juga dengan kewajiban seseorang
terhadap negara, namun karena ketidaksadaran warga negara akan tugas
dan kewajibannya maka hak yang semestinya menjadi hak milik orang
lain dilanggar dan diabaikan.
Untuk mencapai keseimbangan antara hak dan kewajiban, yaitu
dengan cara mengetahui posisi diri kita sendiri. Sebagai seorang warga
negara harus tahu hak dan kewajibannya. Hak dan kewajiban di
Indonesia ini tidak akan pernah seimbang. Apabila masyarakat tidak
bergerak untuk merubahnya. Karena para pejabat tidak akan pernah
merubahnya, walaupun rakyat banyak menderita karena hal ini. Mereka
lebih memikirkan bagaimana mendapatkan materi daripada memikirkan
rakyat, sampai saat ini masih banyak rakyat yang belum mendapatkan
haknya. Oleh karena itu, kita sebagai warga negara yang berdemokrasi
harus bangun dari mimpi kita yang buruk ini dan merubahnya untuk
mendapatkan hak-hak dan tak lupa melaksanakan kewajiban kita
sebagai rakyat Indonesia.
Walaupun aspek kewajiban asasi manusia jumlahnya lebih sedikit
jika dibandingkan dengan aspek hak asasi manusia sebagaimana
tertuang dalam undang-undang dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945. Namun secara filosofis tetap menunjukkan adanya pandangan
bangsa Indonesia bahwa hak asasi tidak dapat berjalan tanpa dibarengi
kewajiban asasi. Dalam hal ini, Indonesia menganut paham harmoni
antara kewajiban dan hak maupun sebaliknya.
Hak dan kewajiban antara warga negara dan negara Indonesia
mengalami dinamika, terbukti adanya perubahan-perubahan isi pasal-
pasal yang terdapat dalam undang-undang dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 yang melaui proses amandemen undang-undang
dan juga perubahan undang-undang yang menyertainya. Semua hal itu
dilakukan untuk menyesuaikan hak dan kewajiban warga negara dan
negara Indonesia sesuai jamannya. Jika tidak dilakukannya hal tersebut,
akan terjadi ketidakpuasan antara warga negara dengan negaranya
karena tidak mendapatkannya apa yang warganya inginkan di
jamannya.
Hak dan Kewajiban Warga Negara dalam batas-batas tertentu telah
dipahami orang, akan tetapi karena setiap orang melakukan akitivitas
yang beraneka ragam dalam kehidupan kenegaraan, maka apa yang
menjadi hak dan kewajibannya seringkali terlupakan. Hak dan
kewajiban warga negara dan hak asasi manusia dewasa ini menjadi
amat penting untuk dikaji lebih mendalam mengingat negara kita
sedang menumbuhkan kehidupan demokrasi. Berikut akan diulas
harmoni kewajiban dan hak negara dan negara dalam demokrasi
berdasarkan sistem yang berlaku di negara Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dan urgensi harmoni Kewajiban dan Hak Warga
Negara?
2. Apa alasan diperlukan harmoni Kewajiban dan Hak Warga Negara?
3. Apa saja sumber historis, sosiologis, dan politik kewajiban hak
Negara serta warga Negara?
4. Bagaimana argument tentang dinamika dan tantangan mengenai
kewajiban hak Negara dan warga Negara?
5. Apa esensi urgensi harmoni kewajiban dan hak warga Negara?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Memamhami konsep dan urgensi harmoni Kewajiban dan Hak
Warga Negara.
2. Mengetahui alasan diperlukannya harmoni Kewajiban dan Hak
Warga Negara.
3. Mengetahui sumber historis, sosiologis, dan politik kewajiban hak
Negara serta warga Negara.
4. Mengetahui argumen tentang dinamika dan tantangan mengenai
kewajiban hak Negara dan warga Negara.
5. Memahami esensi urgensi harmoni kewajiban dan hak warga
Negara.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Konsep dan Urgensi Harmoni Kewajiban dan Hak Negara dan
Warga Negara
Hak adalah kuasa untuk menerima atau melakukan suatu yang
semestinya diterima atau dilakukan oleh pihak tertentu dan tidak dapat
oleh pihak lain mana pun juga yang pada prinsipnya dapat dituntut
secara paksa olehnya. Wajib adalah beban untuk memberikan sesuatu
yang semestinya dibiarkan atau diberikan oleh pihak tertentu tidak
dapat oleh pihak lain mana pun yang pada prinsipnya dapat dituntut
secara paksa oleh yang berkepentingan. Hak dan kewajiban merupakan
sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Menurut “teori korelasi” yang
dianut oleh pengikut utilitarianisme, ada hubungan timbal balik antara
hak dan kewajiban. Menurut mereka, setiap kewajiban seseorang
berkaitan dengan hak orang lain, dan begitu pula sebaliknya. Mereka
berpendapat bahwa kita baru dapat berbicara tentang hak dalam arti
sesungguhnya, jika ada korelasi itu, hak yang tidak ada kewajiban yang
sesuai dengannya tidak pantas disebut hak.
Hak dan kewajiban warga negara dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia diatur dalam undang-undang dasar Negara Republik
Indonesia yang dimulai dari pasal 27 sampai pasal 34, yang isi pasal
tersebut terdapat hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia.
Pengaturan akan hak dan kewajiban tersebut bersifat garis besar yang
penjabarannya dituangkan dalam suatu undang-undang.
2.2 Alasan Adanya Harmoni Antara Kewajiban dan Hak Negara dan
Warga Negara
Hak dan kewajiban warga negara dan hak asasi manusia dewasa ini
menjadi amat penting untuk di kaji mendalam mengingat negara kita
sedang menumbuhkan kehidupan demokrasi. Betapa tidak, di satu
pihak implementasi hak dan kewajiban menjadi salah satu indikator
keberhasilan tumbuhnya kehidupan demokrasi. Di lain pihak hanya
dalam suatu negara yang menjalankan sistem pemerintah demokrasi,
hak asasi manusia maupun hak dan kewajiban warga negara dapat
terjamin. Pengaturan hak asasi manusia maupun hak dan kewajiban
warga negara secara lebih operasional kedalam berbagai peraturan
perundang-undang sangat bermanfaat. Pengaturan demikian itu akan
menjadi acuan bagi penyelenggaraan negara agar terhindar dari
tindakan sewenangwenang ketika mengoptimalkan tugas kenegaraan.
Sedangkan bagi masyarakat atau warga negara hal itu merupakan
pegangangan atau pedoman dalam mengaktualisasikan hak-haknya
dengan penuh rasa tanggung jawab (Handayani, 2015: 2-3).
Hak dan Kewajiban merupakan sesuatu yang tidak dapat
dipisahkan, akan tetapi terjadi pertentangan karena hak dan kewajiban
tidak seimbang. Bahwa setiap warga Negara memiliki hak dan
kewajiban untuk mendapatkan penghidupan yang layak, tetapi pada
kenyataannya banyak warga Negara yang belum merasakan
kesejahteraan dalam menjalani kehidupannya. Semua itu terjadi karena
pemerintah dan para pejabat tinggi lebih banyak mendahulukan hak dari
pada kewajiban. Padahal menjadi seorang pejabat itu tidak cukup hanya
memiliki pangkat akan tetapi mereka berkewajiban untuk memikirkan
diri sendiri. Jika keadaannya seperti ini, maka tidak ada keseimbangan
antara hak dan kewajiban. Jika keseimbangan itu tidak ada akan terjadi
kesenjangan social yang berkepanjangan.
Untuk mencapai keseimbangan antara hak dan kewajiban, dengan
cara mengetahui posisi diri kita sendiri. Sebagai seorang warga Negara
harus tau hak dan kewajibannya. Seprti yang sudah tercantum dalam
hukum dan aturan-aturan yang berlaku. Jika hak dan kewajiban
seimbang dan terpenuhi, maka kehidupan masyarakat akan aman
sejahtera. Hak dan kewajiban di Indonesia ini tidak akan pernah
seimbang, apabila masyarakat tidak bergerak untuk merubahnya. Oleh
karena itu, diperlukannya harmoni kewajiban dan hak Negara dan
warga Negara agar terciptanya kehidupan bernegara yang harmonis dan
berkesinambungan antara kepentingan rakyat dalam pemenuhan hak
dan kewajibannya oleh negara.
2.3 Sumber Historis, Sosiologis, Politik akan Harmoni Kewajiban dan
Hak Negara dan Warga Negara Indonesia
2.3.1. Historis
Secara Historis, perjuangan menegakkan HAM untuk pertama
kalinya terjadi di dunia Barat (Eropa) oleh seorang filsuf dari
Inggris pada abad ke-17 yang Bernama John Locke. Beliau
pertama kali merumuskan adanya hak alamiah (natural rights)
yang melekat pada setiap diri manusia, yaitu hak atas hidup, hak
kebebasan, dan hak milik.
Perkembangan selanjutnya ditandai adanya tiga peristiwa
penting di dunia Barat, yaitu:
1. Magna Charta (1215)
Piagam perjanjian antara Raja John dari Inggris
dengan para bangsawan. Isinya adalah pemberian jaminan
beberapa hak oleh raja kepada para bangsawan beserta
keturunannya, seperti hak untuk tidak dipenjarakan tanpa
adanya pemeriksaan pengadilan. Jaminan itu diberikan
sebagai balasan atas bantuan biaya pemerintahan yang telah
diberikan oleh para bangsawan. Sejak saat itu, jaminan hak
tersebut berkembang dan menjadi bagian dari sistem
konstitusional Inggris.
2. Revolusi Amerika (1276)
Perang kemerdekaan rakyat Amerika Serikat melawan
penjajahan Inggris disebut Revolusi Amerika. Declaration of
Independence (Deklarasi Kemerdekaan) Amerika Serikat
menjadi negara merdeka tanggal 4 Juli 1776 merupakan hasil
dari revolusi ini.
3. Revolusi Prancis (1789)
Revolusi Prancis adalah bentuk perlawanan rakyat
Prancis kepada rajanya sendiri (Louis XVI) yang telah
bertindak sewenang-wenang dan absolut. Declaration des
droits de I’homme et du citoyen (Pernyataan Hak-Hak
Manusia dan Warga Negara) dihasilkan oleh Revolusi
Prancis. Pernyataan ini memuat tiga hal: hak atas kebebasan
(liberty), kesamaan (egality), dan persaudaraan (fraternite).
Dalam perkembangannya, pemahaman mengenai
HAM makin luas. Sejak permulaan abad ke-20, konsep hak
asasi berkembang menjadi empat macam kebebasan (The
Four Freedoms). Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh
Presiden Amerika Serikat, Franklin D. Rooselvelt. Hak asasi
manusia kini sudah diakui seluruh dunia dan bersifat
universal, meliputi berbagai bidang kehidupan manusia dan
tidak lagi menjadi milik negara Barat. Sekarang ini, hak asasi
manusia telah menjadi isu kontemporer di dunia. PBB pada
tanggal 10 Desember 1948 mencanangkan Universal
Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia).
Pada tahun 1997, Interaction Council mencanangkan
suatu naskah, berjudul Universal Declaration of Human
Responsibilities (Deklarasi Tanggung Jawab Manusia).
Naskah ini dirumuskan oleh sejumlah tokoh dunia seperti
Helmut Schmidt, Malcom Fraser, Jimmy Carter, Lee Kuan
Yew, Kiichi Miyazawa, Kenneth Kaunda, dan Hassan Hanafi
yang bekerja selama sepuluh tahun sejak bulan Maret 1987.
Prinsip dasar deklarasi ini adalah tercapainya kebebasan
sebanyak mungkin, tetapi pada saat yang sama berkembang
rasa tanggung jawab penuh yang akan memungkinkan
kebebasan itu tumbuh.
2.3.2. Sosiologis
Suatu kenyataan yang memprihatinkan bahwa setelah
tumbangnya struktur kekuasaan “otokrasi” yang dimainkan
Rezim Orde Baru ternyata bukan demokrasi yang kita peroleh
melainkan oligarki di mana kekuasaan terpusat pada sekelompok
kecil elit, sementara sebagian besar rakyat (demos) tetap jauh dari
sumber-sumber kekuasaan (wewenang, uang, hukum, informasi,
pendidikan, dan sebagainya).
Sumber terjadinya berbagai gejolak dalam masyarakat kita
saat ini adalah akibat munculnya kebencian sosial budaya
terselubung (sociocultural animosity). Gejala ini muncul dan
semakin menjadi-jadi pasca runtuhnya rezim Orde Baru. Ketika
rezim Orde Baru berhasil dilengserkan, pola konflik di Indonesia
ternyata bukan hanya terjadi antara pendukung fanatik Orde Baru
dengan pendukung Reformasi, tetapi justru meluas menjadi
konflik antarsuku, antarumat beragama, kelas sosial, kampung,
dan 10 sebagainya. Sifatnya pun bukan vertikal antara kelas atas
dengan kelas bawah tetapi justru lebih sering horizontal,
antarsesama rakyat kecil, 128 sehingga konflik yang terjadi bukan
konflik yang korektif tetapi destruktif (bukan fungsional tetapi
disfungsional), sehingga kita menjadi sebuah bangsa yang
menghancurkan dirinya sendiri (self-destroying nation). Ciri lain
dari konflik yang terjadi di Indonesia adalah bukan hanya yang
bersifat terbuka (manifest conflict) tetapi yang lebih berbahaya
lagi adalah konflik yang tersembunyi (latent conflict) antara
berbagai golongan. Socio-cultural animosity adalah suatu
kebencian sosial budaya yang bersumber dari perbedaan ciri
budaya dan perbedaan nasib yang diberikan oleh sejarah masa
lalu, sehingga terkandung unsur keinginan balas dendam. Konflik
terselubung ini bersifat laten karena terdapat mekanisme
sosialisasi kebencian yang berlangsung di hampir seluruh pranata
sosial di masyarakat (mulai dari keluarga, sekolah, kampung,
tempat ibadah, media massa, organisasi massa, organisasi politik,
dan sebagainya).
2.3.3. Politik
Sumber politik yang mendasari dinamika kewajiban dan hak
negara dan warga negara Indonesia adalah proses dan hasil
perubahan UUD NRI 1945 yang terjadi pada era reformasi. Pada
awal era reformasi (pertengahan 1998), muncul berbagai tuntutan
reformasi di masyarakat, yaitu:
1) Mengamandemen UUD NRI 1945
2) Penghapusan doktrin Dwi Fungsi Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ABRI)
3) Menegakkan supremasi hukum, penghormatan hak asasi
manusia (HAM), serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN)
4) Melakukan desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat
dan daerah
5) Otonomi daerah
6) Mewujudkan kebebasan pers
7) Mewujudkan kehidupan demokrasi
Adanya tuntutan tersebut didasarkan pada pandangan bahwa
UUD NRI 1945 belum cukup memuat landasan bagi kehidupan
yang demokratis, pemberdayaan rakyat, dan penghormatan HAM.
Di samping itu, dalam tubuh UUD NRI 1945 terdapat pasal-pasal
yang menimbulkan penafsiran beragam, atau lebih dari satu tafsir
(multitafsir) dan membuka peluang bagi penyelenggaraan negara
yang otoriter, sentralistik, tertutup, berpotensi tumbuhnya praktik
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Penyelenggaraan negara
yang demikian itulah yang menyebabkan timbulnya kemerosotan
kehidupan nasional. Salah satu bukti tentang hal itu adalah
terjadinya krisis dalam berbagai bidang kehidupan (krisis
multidimensional).
Tuntutan perubahan UUD NRI 1945 merupakan suatu
terobosan yang sangat besar. Dikatakan terobosan yang sangat
besar karena pada era sebelumnya tidak dikehendaki adanya
perubahan tersebut. Sikap politik 130 pemerintah yang diperkuat
oleh MPR berkehendak untuk tidak mengubah UUD NRI 1945.
Apabila muncul juga kehendak mengubah UUD NRI 1945,
terlebih dahulu harus dilakukan referendum (meminta pendapat
rakyat) dengan persyaratan yang sangat ketat. Karena
persyaratannya yang sangat ketat itulah maka kecil kemungkinan
untuk berhasil melakukan perubahan UUD NRI 1945. Dalam
perkembangannya, tuntutan perubahan UUD NRI 1945 menjadi
kebutuhan bersama bangsa Indonesia.
Berdasarkan hal itu MPR hasil Pemilu 1999, sesuai dengan
kewenangannya yang diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 37 UUD
NRI 1945 melakukan perubahan secara bertahap dan sistematis
dalam empat kali perubahan, yaitu:
1) Perubahan Pertama, pada Sidang Umum MPR 1999
2) Perubahan Kedua, pada Sidang Tahunan MPR 2000
3) Perubahan Ketiga, pada Sidang Tahunan MPR 2001
4) Perubahan Keempat, pada Sidang Tahunan MPR 2002.
Dari empat kali perubahan tesebut dihasilkan berbagai aturan
dasar yang baru, termasuk ihwal hak dan kewajiban asasi manusia
yang diatur dalam pasal 28 A sampai dengan 28 J.