You are on page 1of 13

MAKALAH

SEJARAH PERTAMBANGAN DAN POLITIK HUKUM PERUBAHAN REGULASI


PERTAMBANGAN DARI MASA KE MASA

OLEH:

NAMA: RESTU CHAIRUNNISA

NIM: 22109064

KELAS: 4B

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KENDARI

2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang
limbah dan manfaatnya untuk masyarakat.

Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembautan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami meyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah
ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya untuk
masyarakat ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Kendari, 31 Mei 2023

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL....................................................................................................................1

KATA PENGANTAR......................................................................................................................2

DAFTAR ISI....................................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................4

A. Latar Belakang.............................................................................................................................4-5

B. Rumusan Masalah........................................................................................................................5

C. Tujuan..........................................................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................................6

A. Politik Hukum Pertambangan dalam UU No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara............................................................................................................................................6-7

B. Perubahan Regulasi Pertambangan dari masa ke masa...............................................................7-11

BAB III PENUTUP..........................................................................................................................12

A. Kesimpulan..................................................................................................................................12

B. Saran............................................................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................................13

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang kaya akan galian tambang. Mineral dan batubara yang
terkandung dalam wilayah hukum pertambangan di Indonesia merupakan kekayaan alam tak
terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting dalam
memenuhi hajat hidup orang banyak. Karena itu, pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara untuk
memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran
dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan. kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang
merupakan kegiatan usaha pertambangan di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah
mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan
ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara kelanjutan.

Sebagai negara yang berdasarkan hukum, pengelolaan sumber daya alam pertambangan harus
diawali dengan sebuah proses pengaturan. Proses pengaturan tersebut seharusnya berisi norma hukum
yang menunjukkan adanya komitmen dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan usaha pertambangan
yang berkelanjutan dengan wawasan lingkungan. Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945
menyebutkan bahwa: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Sehingga dapat dikatakan
Undang- Undang Dasar 1945 merupakan sumber hukum tertinggi dalam pengelolaan dan
pengusahaan terhadap sumber daya alam (SDA) di Indonesia.

Pada dasarnya sumber hukum dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: sumber hukum
materil dan sumber hukum formal. Sumber hukum materil ialah tempat darimana materi hukum itu
diambil. Sumber hukum materil ini merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum misalnya
hubungan sosial, kekuatan politik, situasi sosial ekonomi, tradisi ( pandangan keagamaan dan
kesusilaan), hasil penelitian ilmiah, dan perkembangan internasional, dan keadaan geografis. Sumber
hukum formil merupakan tempat memperoleh kekuatan hukum. Ini berkaitan dengan bentuk atau cara
yang menyebabkan peraturan hukum formal itu berlaku. Sumber hukum yang diakui umum formal
ialah undang- undang, perjanjian antar negara, yurisprudensi, dan kebiasaan.

Mineral dan batubara sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalam bumimerupakan
sumber daya alam yang tak terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien,
transparan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan serta berkeadilan agar memperoleh manfaat
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyatsecara berkelanjutan.Pengelolaan dan penguasaan sumber
daya alam telah dibangun melaluisemangat UUD 1945 Pasal 33 dengan tujuan utama adalah untuk
sebesar-besarnyakemakmuran bagi rakyat Indonesia. Amanat UUD 1945 ini merupakan landasan
pembentukan kebijakan pertambangan yakni Undang-Undang No 11 Tahun 1967tentang pokok
pertambangan mineral dan batubara yang kemudian diganti denganUndang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang PertambanganMineral dan Batubara


(selanjutnya disebut Minerba) dengan sistem Undang-Undangyang baru didalamnya, diharapkan
dapat membawa perbaikan dalam pengelolaansektor pertambangan di tanah air. Undang-Undang
Minerba ini juga diharapkan dapatmenyempurnakan kekurangan Undang-Undang No 11 Tahun 1967
tentang KetentuanPokok-Pokok Pertambangan, serta mampu mengembalikan fungsi dan
kewenangannegara terhadap penguasaan sumber daya alam yang dimiliki. Dengan demikian,amanat
konstitusi yang menyebutkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yangterkandung didalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat, benar-benar
dapat diwujudkan.

Jika dibandingkan dengan Undang-Undang No 11 tahun 1967, UU Minerba memang telah


memuat beberapa perbaikan yang cukup mendasar. Yang paling pentingdi antaranya adalah
ditiadakannya sistem kontrak karya bagi pengusahaan pertambangan ke depan yang digantikan
dengan sistem izin usaha pertambangan (IUP). UU Minerba juga telah mengakomodasi kepentingan
daerah, dengan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk dapat menjalankan fungsi
perencanaan, pemberian IUP, pembatasan luas wilayah dan jangka waktu izin usaha pertambangan.
Pengaturan yang ada di dalam Undang-Undang No.4 Tahun 2009 menghapus beberapa sistem
didalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 seperti Kuasa Pertambangan, Pengusahaan
Pertambangan Batubara (PKP2PB) yang terdapat didalamsubtansi Undang-Undang ini beserta
peraturan pelaksanaannya. Sehingga munculnya peraturan baru ini memaksa para pengusaha tambang
batubara di Indonesia menyesuaikan diri terhadap peraturan yang baru ini.

Pemanfaatan sumberdaya alam harus dilakukan secara optimal untuk mewujudkan pemenuhan
kebutuhan manusia yang merupakan tujuan dari pembangunan. Pemanfaatan batubara sebagai sebuah
sumberdaya alam dilakukan dengan kegiatan pertambangan yang seharusnya dilaksanakan
berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan. Kegiatan pertambangan yang dilakukan harus
memperhatikan aspek lingkungan dan sosial. Kegiatan pertambangan batubara yang dilaksanakan
tentu menimbulkan dampak baik terhadap lingkungan fisik maupun terhadap masyarakat di sekitar
lokasi penambangan.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana politik hukum pertambangan dalam UU No 4 tahun 2009 tentang


Pertambangan Mineral dan Batubara?

2. Bagaimana perubahan regulasi pertambangan dari masa ke masa?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui politik hukum pertambangan dalam UU No 4 tahun 2009 tentang


Pertambangan Mineral dan Batubara.

2. Untuk Mengetahui perubahan regulasi pertambangan dari masa ke masa.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Politik Hukum Pertambangan dalam UU No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral


dan Batubara

Secara normatif politik hukum pengelolaan sumber daya alam di Indonesia sudah
ditentukan dalam Pasal 33 ayat (2) “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara” dan ayat (3) “Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dandigunakan untuk
sebesar- besar kemakmuran rakyat” Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Pasal 33 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun1945 merupakan politik hukum
atau kebijakan hukum yang menentukan arah pembangunan hukum di bidang pengelolaan
sumber daya alam dan demokrasi di bidang pengelolaan sumber daya alam dan demokrasi
ekonomi di masa datang.Sehingga pemanfaatan sumber daya alam sangat dipengaruhi oleh
hubungan antara pemerintah dengan pemerintah daerah yang hubungannya itu dipengaruhi
oleh politikhukum pemerintah yang berkuasa. Berbagai kebijakan pengelolaan sumber daya
alammenjadi permasalahan hukum yang menarik karena untuk diteliti. Setiap rezim
pemerintah yang berkuasa mempunyai penitik beratan yang berbeda dalam meletakkan basis
pertumbuhan ekonomi Negara. Pada masa pemerintahan orde baru, pemerintah lebih menitik
beratkan pada sektor ekonomi sebagai basis pertumbuhan ekonomi negara.

Politik hukum pengelolaan pertambangan mineral dan batubara di Indonesia adalah


memberikan perlindungan ekonomi bagi masyarakat dan negara, meskipun menimbulkan
kerugian bagi masyarakat secara sosial. Dalam pendekatan analysis economic of law situasi
ini disebut sebagai pareto-optimality karena ketika negaramelakukan perbaikan kebijakan
pengelolaan pertambangan mineral dan batubara yang bertujuan menguntungan masyarakat
dan negara, di lain pihak menimbulkan kerugian bagi masyarakat sehingga solusinya adalah
negara juga harus bisa mengatasi kerugian- kerugian yang terjadi dengan melakukan
pemaknaan dan rekonstruksi politik hukum pertambangan mineral dan batubara.

Sumber daya mineral dalam hal ini pertambangan memiliki sifat tersendiri,yaitu lokasi
penyebaran dan ukurannya terbatas terdapat di dalam bumi mulai dari permukaan tanah
sampai kedalaman tertentu, hanya dapat ditambang sekali karenatidak dapat terbaharukan,
waktu pemanfaatannya terbatas, resiko investasi sangattinggi, padat modal dan teknologi,
persiapan sebelum penambangan lama, karena letak potensi sumber daya mineral pada
umumnya didaerah pedalaman maka pembukaan suatu tambang menjadi pemicu
pembanguan dan pengembangan daerah tertinggal dan memberikan dampak ganda yang
positif dalam berbagai sector Pertambangan yaitu suatu kegiatan yang dilakukan dengan
penggalian ke dalamtanah (bumi) untuk mendapatkan sesuatu yang berupa hasil tambang
(GatotSupramono, 2012:6). Ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Minerba
menjelaskan bahwa: “Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam
rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi
penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan
pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang. ” Pengertian tersebut
dalam arti luas karena meliputi berbagai kegiatan pertambangan yang ruang lingkupnya dapat
dilakukan sebelum penambangan, proses penambangan, dan sesudah proses penambangan.
Ada dua hal yang diatur dalam UU Minerba, yaitu bahan tambang mineral dan batubara.
Salim HS menyatakan Hukum Pertambangan merupakan salah satu bidang kajian hukum
yang mengalami perkembangan yang pesat. hal ini dibuktikan dengan ditetapkannya berbagai
peraturan perundang- undangan yang mengatur tentang pertambangan. Negara sebagai
pemegang hak pengelola berdasar pada Pasal 33 ayat (2) dan(3) UUD 1945 harus berpihak
kepada kepentingan bangsa. Ideologi keberpihakannegara kepada kepentingan bangsa
ditegaskan lebih lanjut dalam Pasal 2 Undang-Undang Minerba yang menyatakan bahwa
Pertambangan mineral dan/atau batubara dikelola berasaskan manfaat, keadilan, dan
keseimbangan; keberpihakan kepeda kepentingan bangsa; partisipatif, transparansi, dan
akuntabilitas; berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Meskipun asas keberpihakan
negara kepada kepentingan bangsa sudah tertulisdi dalam Undang-Undang Minerba, akan
tetapi dalam penjelasan undang-undang tersebut tidak menjelaskan makna dan hakekat dari
asas keberpihakan kepada kepentingan bangsa. Sehingga makna dan hakekat dari asas
keberpihakan negara kepada kepentingan bangsa tidak jelas. Kelemahan dari Undang-
Undang Mineba adalah belum mempunyai undang-undang payung sebagai pengawas yang
memperjelas keberpihakan negara kepada kepentingan bangsa. Tujuan dari Undang- Undang
Minerba adalah memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi
nasional dan pembangunan nasional secara berkelanjutan.

Perkembangan politik hukum pertambangan tahun demi tahun pasca disahkan Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, Kegiatan pertambangan
batubara diduga memberikan dampak positif dan negatif terhadapekonomi, lingkungan dan
sosial bagi masyarakat sekitar. Secara sosial, masyarakatmemiliki persepsi yang positif
terhadap kehadiran perusahaan pertambangan batubara walaupun demikian, kegiatan
pertambangan meningkatkan potensi konflik antar masyarakat terkait dengan hak penguasaan
lahan dan lowongan pekerjaan.

B. Perubahan Regulasi Pertambangan dari masa ke masa

Dalam perkembangan dunia pertambangan tentunya tidak lepas dari prubahan- perubahan
terhadap regulasi yang mengaturnya.Adapun regulasi Pertambangan dari masa ke masa yaitu:

1. Regulasi Pertambangan: VOC dan Hindia Belanda

Bertolak dari pertambangan sederhana, era tambang baru dan modern di Indonesia dimulai
pada tahun 1602. Tepatnya saat Belanda datang dan tergabung dalam kelompok dagang Verenigde
Oostindische Compagnie (VOC).

Pada 1 Januari 1800, VOC dibubarkan dan kekuasaan diambil alih sepenuhnya oleh
Pemerintahan Hindia Belanda. Sepeninggal VOC hingga jatuh ke tangan Inggris pada 1811, peraturan
pertambangan tidak mengalami banyak perubahan. Namun, selepas kekuasaan kembali didapat
Belanda pada 1816, Pemerintah Hindia belanda mulai melakukan beberapa perubahan.

Di masa ini, pemerintah mulai melibatkan pihak swasta dalam urusan perekonomian, termasuk
halnya tambang. Untuk mempermudah keterlibatan swasta, Pada 1850, Pemerintah Hindia Belanda
membentuk komisi khusus yang bertugas mempelajari dan menyusun aturan pertambangan. Aturan
pertambangan pertama tersebut bernama Mijn Reglement.

Dengan adanya aturan pertambangan ini, pemerintah berwenang untuk memberikan hak atau
konsesi penambangan untuk pihak swasta (warga negara Belanda). Namun, pemberlakukan Mijn
Reglement kala itu hanya diterapkan secara terbatas untuk daerah di luar Pulau Jawa. Pasalnya,
Belanda menghindari adanya kemungkinan konflik tumpang tindih antara hak pertambangan dan
sistem cultuurstelsel (tanam paksa) yang telah lebih dulu diberlakukan di Pulau Jawa.

Pemberian konsesi mulai dirasa memberikan lebih banyak keuntungan kepada pihak swasta.
Oleh sebab itu, Pemerintah Hindia Belanda yang hanya menerima 20% hasil keuntungan bersih mulai
melakukan perubahan dengan membentuk Nederlandsche Indische Ardalie Maatschappij (NIAM)
pada 1930-an. NIAM ini merupakan perusahaan patungan antara Pemerintah dengan perusahaan
minyak asal Belanda, BPM atau Bataafsche Petroleum Maatschappij, dengan pembagian keuntungan
50-50.

Kemudian, pada 1899, Belanda pun menerbitkan Indische Mijnwet Stb. 1899 No.214 yang
mengatur secara khusus masalah perizinan publik di bidang pertambangan. Termasuk halnya
penggolongan bahan galian dan perizinan yang bersifat konsesi.

Ditetapkannya aturan pertambangan tersebut menegaskan bahwa akses eksplorasi tambang


hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda semata. Adapun pemberian konsesi kepada
swasta dapat dilakukan untuk jangka waktu yang lama, hingga 75 tahun.

Bentuk konsesi ini pun diterangkan secara tegas dalam ketentuan Pasal 35 Indische Mijnwet
Stb. 1899 No.214 yang menerangkan bahwa manajemen pengusahaan dan pemilik hasil produksi
bahan galian atau mineral sepenuhnya berada di tangan pihak pemegang konsesi pertambangan, dan
negara (Pemerintah Kolonial) hanya menerima bersih iuran pertambangan sebesar 0,25 Gulden per
hektar setiap tahunnya serta (pembagian hasil) 46% dari hasil kotor.

Selepas Indische Mijnwet Stb. 1899 No.214, Belanda menetapkan sejumlah peraturan lain
terkait pertambangan, beberapa di antaranya Mijn Ordonnantie 1907 yang mengatur tentang
pengawasa kelesamatan kerja dan Mijn Ordonnantie 1930 yang mencabut peraturan sebelumnya
(Mijn Ordonnantie 1907) dan menghapus ketentuan pengawasan kerja.

Melihat hasil tambang yang begitu menjanjikan di tangan swasta, Indische Mijnwet Stb. 1899
pun mulai dianggap mengganjal kegiatan pertambangan saat itu. Untuk menghilangkan hambatan
tersebut, amandemen pun dilakukan, yakni pada tahun 1910 dan 1918.

Amandemen pertama di 1910 menghasilkan ketetapan bahwa hanya warga negara Belanda,
penduduk Hindia Belanda, atau perusahaan yang didirikan berdasarkan hukum Belanda atau Hindia
Belanda saja yang berhak diberikan konsesi. Kemudian, pada perubahan selanjutnya di 1918, Indische
Mijnwet memungkinkan kepentingan asing non-Belanda untuk mendapatkan hak konsesi dengan
jangka waktu hanya selama 40 tahun.2

Salah satu pasal mengalami perubahan pada amandemen pertama dan kedua adalah Ketentuan
Pasal 5 Indische Mijnwet. Pada amandemen pertama, ditambahkan Pasal 5a yang mengatur ketentuan
sebagai berikut.

Pemerintah berwenang untuk melakukan penyelidikan dan eksploitasi selama hal itu tidak
bertentangan dengan hak-hak yang telah diberikan kepada penyelidik atau pemegang hak konsesi.
Untuk hal tersebut pemerintah dapat melakukan sendiri penyelidikan dan eksploitasi atau
mengadakan perjanjian dengan perorangan atau perusahaan yang memenuhi persyaratan sebagaimana
tercantum pada Pasal 4 undang-undang ini dan sesuai dengan perjanjian itu mereka wajib
melaksanakan eksploitasi, ataupun penyelidikan dan eksploitasi yang dimaksud. Perjanjian demikian
itu tidak akan dilaksanakan kecuali telah disahkan dengan undang-undang. Dengan dilakukannya
penambahan Pasal 5a Indische Mijnwet pada amandemen pertama, Pemerintah Hindia berwenang
untuk menerbitkan suatu kontrak khusus terkait pengelolaan tambang oleh pihak swasta. Kontrak
yang diterbitkan ini dikenal dengan sebutan “kontrak 5a” atau 5a contract.

Pada amandemen kedua di tahun 1918, terjadi perubahan ketentuan Pasal 5a ayat (3) Indische
Mijnwet. Perubahan tersebut menerangkan bahwa perjanjian atau kontrak eksploitasi tersebut tidak
perlu disahkan dengan undang-undang.

Berdasarkan catatan, menjelang jatuhnya Pemerintah Hindia Belanda pada 1938, terdapat 471
konsesi dan izin pertambangan yang masih berlaku dengan perincian:

 268 konsesi pertambangan untuk mineral dan bahan galian yang tercantum dalam Indische
Mijnwet;
 3 perusahaan pertambangan milik Belanda;
 2 usaha pertambangan patungan antara pemerintah dengan swasta;
 2 usaha pertambangan yang dilakukan swasta untuk pemerintah berdasarkan perjanjian
khusus;
 14 kontrak 5a untuk tahap eksplorasi pertambangan dan 30 kontrak 5a untuk tahap
eksploitasi; dan
 142 izin pertambangan untuk mineral dan bahan galian yang tidak tercantum dalam Indische
Mijnwet.

2. Regulasi Pertambangan: Masa Pemerintahan Jepang

Seiring dengan masuknya Jepang dan adanya peralihan kependudukan pada Maret 1942,
kegiatan pertambangan tidak mendapatkan perhatian khusus. Di bawah Pemerintahan Jepang,
kegiatan pertambangan berada di tangan Komando Militer Jepang dan disesuaikan dengan situasi
perang saat itu. Beberapa lahan pertambagan digarap demi keperluan perang, antara lain minyak
bumi, batubara, timah, bauksit, dan nikel.

Selama tiga tahun menjajah, Jepang berhasil mengembangkan potensi pertambangan dengan
membuka beberapa lahan pertambangan baru. Beberapa di antaranya, batubara kokas di Kalimantan
Selatan, tambang tembaga di Jawa Tengah, biji besi di Lampung, dan lain sebagainya.

3. Regulasi Pertambangan: Masa Kemerdekaan

Di awal kemerdekaan, pengawasan atas usaha pertambangan masih dikuasai oleh perusahaan
Belanda dan asing. Sehubungan dengan ini, lahirlah mosi yang disuarakan oleh Teuku Mr. Moh.
Hassan untuk segera mengambil langkah langkah membenahi pengaturan dan pengawasan tambang di
Indonesia.

Lebih lengkapnya, mosi tersebut menyerukan dua tuntutan. Membentuk suatu Komisi Negara
Urusan Pertambangan dalam jangka satu bulan dengan tugas; menyelidiki masalah pengelolaan
tambang minyak, timah, batubara, tambang emas/perak, dan bahan mineral lainnya di Indonesia;
mempersiapkan rencana undang-undang pertambangan Indonesia yang sesuai dengan keadaan dewasa
ini; mencari pokok-pokok pikiran bagi pemerintah untuk menyelesaikan/mengatur pengolahan
minyak di Sumatera khususnya dan sumber-sumber minyak di tempat lain; mencari pokok-pokok
pikiran bagi pemerintah mengenai status pertambangan di Indonesia; mencari pokok-pokok pikiran
bagi pemerintah mengenai penetapan pajak dan penetapan harga minyak; dan Membuat usul-usul lain
mengenai pertambangan sebagai sumber penghasilan negara. Menunda segala pemberian izin,
konsesi, eksplorasi maupun memperpanjang izin-izin yang sudah habis waktunya, selama menunggu
hasil pekerjaan Panitia Negara Urusan Pertambangan.

Menanggapi mosi tersebut, pemerintah membentuk Panitia Negara yang kemudian berhasil
menyiapkan naskah rancangan undang-undang pertambangan di awal 1952. Akan tetapi, seiring
dengan pergantian kabinet, RUU pertambangan tersebut tidak kunjung disampaikan ke DPRS.
Meskipun demikian, pada 1959 pemerintah berhasil menerbitkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1959 tentang Pembatalan Hak-Hak Pertambangan dan peraturan pelaksananya dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 25 Tahun 1959. Dengan diberlakukannya UU 10/1959 tersebut, semua hak
pertambangan yang terbit sebelum 1949 yang belum juga dikerjakan dan diusahakan kembali, atau
masih dalam taraf permulaan dan tidak menunjukkan keseriusan, dibatalkan semuanya.

Kemudian, lahan atau daerah akibat dibatalkan hak pertambangan tersebut menjadi bebas.
Sambil menunggu undang-undang pertambangan baru, daerah bebas ini dapat dimohonkan hak
pertambangan yang baru dengan ketentuan hak tersebut hanya dapat diberikan kepada perusahaan
negara dan atau daerah swatantra. Adapun keputusan penerbitan hak pertambangan merupakan
wewenang Menteri Perindustrian.

Pada 1960, pemerintah kembali menggarap regulasi pertambangan dengan menerbitkan


Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1960 tentang Pertambangan dan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1960 tentang Pertambangan
Minyak dan Gas Bumi.

Dengan berlakunya Perpu 37/1960, Indische Mijnwet Stb. 1899 No.214 yang dibuat Belanda
dinyatakan tidak berlaku. Kemudian, hadirnya Perpu 44/1960, memungkinkan pemerintah dalam
menarik modal asing untuk mengembangkan bidang eksplorasi dan eksploitasi pertambangan dengan
pola production sharing contract. Pola bagi hasil ini lebih lanjut diatur dalam Peraturan Presiden
Nomor 20 Tahun 1963 tentang Pemberian Fasilitas bagi Proyek-Proyek yang Dibiayai dengan Kredit
Luar Negeri atas Dasar “Production Sharing”.

Perubahan besar juga terjadi pada 1966-an. Perubahan tersebut dimulai sejak ditetapkannya
Ketetapan MPRS No. XXIII MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi
Keuangan dan Pembangunan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi Keuangan dan Pembangunan.

Berdasarkan Ketetapan MPRS tersebut, disusunlah RUU tentang Penanaman Modal Asing
yang kemudian diundang-undangkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing. Lebih lanjut, untuk menyesuaikan kebijaksanaan perekonomian baru dalam
pertambangan, pemerintah memutuskan untuk melakukan perubahan terhadap peraturan
pertambangan 1960 dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pertambangan atau UUPP 1967.

3. Regulasi Pertambangan: Masa Kini

Selepas UUPP 1967, pemerintah terus melakukan perubahan dalam hal peraturan
pertambangan. Perubahan tersebut diwujudkan dengan dicabutnya UUPP 1967, diganti dengan
Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pada tahun 2020,
UU 4/2009 ini mengalami perubahan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara;
serta dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Penting untuk diketahui bahwa UU 4/2009 dan perubahannya mengatur sejumlah ketentuan,
mulai dari ketentuan umum, asas dan tujuan pertambangan, penguasaan mineral dan batubara,
kewenangan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, wilayah pertambangan, usaha
pertambangan, izin usaha pertambangan, izin usaha pertambangan rakyat, izin usaha pertambangan
khusus, persyaratan perizinan usaha pertambangan khusus, data pertambangan, hak dan kewajiban,
penghentian sementara kegiatan izin usaha pertambangan dan izin usaha, berakhirnya izin usaha
pertambangan dan izin usaha pertambangan, usaha jasa pertambangan, pendapatan negara dan daerah,
penggunaan tanah untuk kegiatan usaha pertambangan, pembinaan pengawasan dan perlindungan
masyarakat, penyidikan, hingga penelitian dan pengembangan serta pendidikan dan pelatihan.

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

https://rcs.hukumonline.com/insights/perkembangan-regulasi-pertambangan
https://www.academia.edu/41116520/POLITIK_HUKUM_PERTAMBANGAN

https://www.researchgate.net/publication/
308946419_Politik_Hukum_Pengelolaan_Pertambangan_Mineral_dan_Batubara_dengan_Pe
ndekatan_Economic_Analysis_of_Law

http://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?
article=786124&val=12919&title=Politik%20Hukum%20Pengelolaan%20Pertambangan
%20Mineral%20dan%20Batubara%20dengan%20%20Pendekatan%20Economic
%20Analysis%20of%20Law

You might also like