You are on page 1of 43

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Kuliah lapangan merupakan mata kuliah yang sangat fundamental dalam


pengembangan dasar–dasar ilmu geologi. Semua data yang diperlukan oleh seorang ahli
geologi terdapat di lapangan yang akan diteliti. Dengan pengambilan data yang baik dan
benar, maka kita dapat mengetahui apa yang terjadi sesungguhnya di tempat itu pada
beberapa juta tahun yang lalu. Dengan begitu kita dapat merekonstruksi apa yang
sebenarnya terjadi di masa lalu, sesuai dengan semboyan “the present is the key to the
past”.
Pengaplikasian ilmu gologi dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari yaitu dalam
pencarian sumber daya energi seperti minyak bumi dan batubara. Dengan mengetahui
disiplin-disiplin ilmu geologi seperti geomorfologi, stratigrafi, sedimentologi, petrologi,
paleontologi, geologi struktur dan geologi sejarah, kita dapat mengetahui potensi sumber
daya alam dari suatu daerah.
Pemetaan geologi merupakan salah satu bentuk penelitian dan menjadi suatu
langkah awal dalam usaha mengetahui kondisi geologi suatu daerah menuju pemanfaatan
segala sumber daya yang terkandung di dalam perut bumi daerah tersebut.
Pengumpulan data dan informasi geologi yang terdapat dalam suatu daerah
penelitian yang menggambarkan penyebaran batuan, struktur, kenampakan morfologi
bentang alam. Untuk tahap awal, pengumpulan data geologi dapat dilakukan pada skala
1:12.500. Skala tersebut dianggap cukup mewakili intensitas data dan kerapatan singkapan.
Namun untuk suatu kegiatan prospeksi yang memerlukan informasi lebih detail dapat
digunakan skala peta yang lebih kecil. Dari data hasil pemetaan akan dihasilkan peta
geologi yang akan memberikan informasi dan tatanan geologi suatu daerah.
1.2. Maksud dan Tujuan

Maksud dari penelitian ini adalah melakukan observasi lapangan dengan


mengumpulkan data geologi di lapangan yang meliputi kondisi geologi, geomorfologi,
persebaran batuan, kondisi stratigrafi, dan sejarah geologi serta pontesi geologi.

Tujuan dari kegiatan kuliah lapangan ini adalah untuk mengimplementasikan


pengetahuan geologi yang telah diperoleh dengan melakukan pengamatan langsung data
geologi di lapangan, dari data pengamatan dilapangan nantinya akan tertuang dalam
1
sebuah peta yang nantinya berguna untuk mengetahui kondisi dan proses geologi apa saja
yang pernah terjadi pada daerah yang dipetakan, serta mengetahui potensi geologi yang
bersifat positif dan negatif yang ada sehingga daerah yang dipetakan dapat dikembangkan
secara bijaksana ditinjau dari sudut pandang geologi.

1.3. Letak dan Kesampain Lokasi


Kabupaten Kulon Progo, salah satu kabupaten di Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY), terletak di bagian paling barat DIY. Secara geografis terletak antara
7°38'42" - 7°59'3" LS dan 110°1'37" - 110°16'26" BT. Kabupaten Kulon Progo dengan
luas wilayah 586,28 km2 secara administratif terdiri dari 12 kecamatan, 88 desa dan 930
dusun. Secara fisiografis Kulon Progo terdiri dari dataran pantai di bagian selatan, di
bagian tengah dan timur berupa topografi bergelombang sampai berbukit, dan di bagian
barat serta utara berupa perbukitan-pegunungan. Rangkaian perbukitan-pegunungan di
bagian barat dan utara Kulon Progo ini dikenal sebagai perbukitan Menoreh.
Secara geografis lokasi Kulon Progo terletak pada jalur tranportasi Jawa selatan.
Wilayah Kulon Progo terhubung dengan kota-kota di Jawa oleh jaringan transportasi darat,
termasuk jalur kereta api. Untuk pencapaian lokasi dari Jambi ke Yogyakarta melalui
transportasi udara (pesawat) lebih kurang 2 jam dilanjutkan jalur darat menggunakan bus
dari Yogyakarta ke Kulon Progo selama 1 jam.
Daerah penelitian termasuk ke dalam tiga wilayah desa : Pendoworejo, Kembang
dan Banjararum. Daerah penelitian termasuk dalam wilayah Kecamatan Kalibawang,
Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasinya berjarak
sekitar 29,2 km dari kota Yogyakarta ditempuh melalui jalan darat. Daerah tersebut dapat
diakses dengan menggunakan kendaraan bermotor dan berjalan kaki.

2
Gambar 1.1 Lokasi Daerah Pemetaan Desa Pendoworejo, Kembang dan Banjararum,
Kec. Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo.
1.4. Ruang Lingkup

Batasan ruang lingkup penelitian ini yaitu secara lokasi, materi, dan analisa. secara
administratif berada Desa Pendoworejo, Kembang dan Banjararum termasuk dalam
wilayah Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Secara koordinat UTM (Universal Tranvers Mercator) 410200 mT – 412600
mT dan 9143400 mU – 9145800 mU dengan skala 1 : 12.500.

Materi penelitian terdiri atas geologi daerah setempat yang meliputi geomorfologi,
stratigrafi, dan struktur geologi. Serta hasil dari peneliti – peneliti terdahulu yang telah
melakukan penelitian stratigrafi geologi regional, geologi struktur, serta hal – hal yang
berkaitan dengan penelitian nantinya di daerah telitian, adapun peneliti – peneliti
terdahulu, yaitu:

a. Bemmelen, R.W., 1949. Geology of Indonesia. vol. IA, Martinus Nijhoff, the
Hague. Dalam buku ini menerangkan fisiografi serta pembentukan pulau pulau di
Indonesia.
b. Rosidi, dkk, 1995. Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Jawa, P3G: Bandung. Dalam
peta ini menerangkan tentang kondisi geologi secara regional di Yogyakarta.
c. Budiadi E, 2008. Peranan Tektonik Dalam Mengontrol Geomorfologi Daerah
Pegunungan Kulon Progo, Disertasi Doktor Ilmu Geologi, UNPAD, Bandung,
Tidak dipublikasikan. Dalam disertasi ini menerangkan tektonik yang membentuk
pegunungan Serayu.
d. Harjanto, A., 2011. Vulkanostratigrafi di daerah Kulon Progo dan sekitarnya,
Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal MTG, Vol.4 No.2, UPN VETERAN
Yogyakarta. Dalam paper ini menerangkan fasies gunung api, karakteristik
piroklastik dan struktur pada daerah tersebut.
e. Hartono, G., dkk, 2016. Gunung Api Purba Mujil, Kulon Progo, Yogyakarta :
Suatu Bukti dan Pemikiran. Teknik Geologi STTNAS. Yogyakarta. Dalam Paper
ini menerangkan tentang keadaan sejarah geologi pada daerah tersebut.

1.5. Manfaat Penelitian

3
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
bagi daerah penelitian. Kontribusi penelitian ini secara umum adalah untuk mengetahui
kondisi geologi di daerah penelitian dan serta potensi geologinya.

4
BAB II
METODOLOGI PENELITIAN

2.1 Metodologi Penelitian

Gambar 2.1 Diagram alir metodologi penelitian

4
Seperti yang terlihat dalam gambar 2.1 di atas, penelitian ini dilaksanakan dalam 3
(tiga) tahapan, yaitu tahap studi pustaka, analisa, dan hasil penelitian. Tahap akuisisi
merupakan tahapan perolehan data yang meliputi data primer dan sekunder . Data primer
ini merupakan perolehan data di lapangan yang merupakan bagian dari pemetaan geologi
meliputi pengamatan DAS , pengamatan geomorfologi, pengukuran struktur geologi,
pengamatan singkapan, lintasan stratigrafi terukur. Sedangkan data sekunder adalah data
data yang didapat dari peneliti peneliti sebelumnya menunjang penelitian Baik tahapan
akuisisi data terdiri atas studi pustaka yang menyangkut studi geologi regional daerah
telitian, dasar teori dan berbagai hal mengenai kondisi geologi pada daerah telitian
berdasarkan peneliti terdahulu.

2.2 Studi Pustaka

Penelitian dilakukan dengan menggunakan data primer dan data sekunder.


Perolehan data tersebut terdiri atas :

2.2.1 Perolehan data primer :

a. Pengamatan geomorfologi
b. Pengukuran kedudukan struktur geologi
c. Pengamatan singkapan
d. Lintasan stratigrafi terukur

2.2.2 Perolehan data sekunder :

a. Fisiografi regional
b. Stratigrafi regional
c. Geologi struktur regional
d. Hasil penelitian sebelumnya yang menunjang penelitian ini.

2.3 Analisis

Dalam tahap analisa ini dilakukan analisa terhadap bentuklahan, analisa profil
singkapan, analisa penampang stratigrafi terukur, analisa struktur lipatan dan sesar, dan
petrologi. Berdasarkan analisa-analisa tersebut, maka diperoleh geologi daerah penelitian.
Dari studi pustaka regional dilakukan proyeksi antara geologi regional ke lokal dan ke
geologi daerah penelitian dan pemetaan geologi sehingga didapatkan data geologi lokal.

5
Tahapan analisa adalah sebagai berikut:

1. Analisa bentuklahan
Menurut Verstappen (1985) ada 4 (empat) aspek utama dalam analisa pemetaan
geomorfologi, tetapi yang ada di daerah penelitian yaitu:
 Morfologi: studi bentuklahan yang mempelajari relief secara umum dan
meliputi;
a. Morfografi adalah susunan dari objek alami yang ada di permukaan bumi,
bersifat pemerian atau deskriptif suatu bentuklahan, antara lain lembah,
bukit, perbuktan, dataran, pegunungan, teras sungai, beting pantai, kipas
aluvial, plato, dan lain-lain.
b. Morfometri adalah aspek kuantitatif dari suatu bentuklahan, antara lain
kelerengan, bentuk lereng, panjang lereng, ketinggian, beda tinggi, bentuk
lembah, dan pola pengaliran.
 Morfogenesa: asal–usul pembentukan dan perkembangan bentuklahan serta
proses-proses geomorfologi yang terjadi, dalam hal ini adalah struktur geologi,
litologi penyusun dan proses geomorfologi merupakan perhatian penuh.
Morfogenesa meliputi:
a. Morfostruktur pasif, bentuklahan yang diklasifikasikan berdasarkan tipe batuan
maupun struktur batuan yang ada kaitannya dengan denudasi misalnya mesa,
cuesta, hogback, dan kubah.
b. Morfostruktur aktif, berupa tenaga endogen seperti pengangkatan, perlipatan,
pensesaran. Dengan kata lain, bentuklahan yang berkaitan erat dengan hasil
gaya endogen yang dinamis termasuk gunungapi, tektonik, (lipatan dan sesar),
misal: gunungapi, punggungan, antiklin, dan gawir sesar.
c. Morfodinamik, berupa tenaga eksogen yang berhubungan dengan tenaga air, es,
gerakan massa, dan kegunungapian. Dengan kata lain, bentuklahan yang
berkaitan erat dengan hasil kerja eksogen (air, es, angin, dan gerakan tanah).
Misal: gumuk pasir, undak sungai, pematang pantai, lahan kritis.
2. Analisa Struktur
Analisa tentang keterdapatan struktur yang berkembang pada daearah penelitian
berupa pengukuran kekar, lipatan, dan sesar
3. Analisa profil singkapan

6
Profil singkapan dibuat dengan cara melakukan analisa dari lapisan pembawa
batubara kemudian mengolah data yang didapatkan ke dalam bentuk gambar dengan
menggunakan skala yaitu profil.
4. Penampang stratigrafi lintasan
Penampang stratigrafi lintasan didapatkan dengan memasukkan data lapangan
kedalam bentuk gambar dan menganalisanya sehingga mendapatkan tebal lapisan.

2.4 Hasil Penelitian

Tahap hasil penelitian merupakan proses menyimpulkan untuk membuat suatu


model baru dari analisa-analisa yang telah dilakukan sebelumnya. Dalam hasil penelitian
ini diperoleh output berupa:

1. Potensi geologi daerah telitian .


Potensi geologi pada suatu daerah bervariasi ada yang bernilai positif maupun
negatif.
2. Peta Lokasi Pengamatan
Peta yang menunujukkan lokasi lokasi pengamatan di daerah penelitian.
3. Peta Geomorfologi
Peta yang menunjukkan kondisi geomorfik dan aspek aspek geomorfologi di daerah
penelitian
4. Peta Geologi
Peta yang menunjukkan kondisi geologi pada daerah penelitian.

7
BAB III
GEOLOGI REGIONAL

3.1 Fisografi dan Geomorfologi Regional


Secara regional Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Pulau Jawa bagian
tengah menjadi lima unit, yaitu: (1) Dataran Pantai Selatan dengan Gunung Karangbolong,
(2) Pegunungan Serayu Selatan dan Gunung Progo Barat, (3) Zona Depresi Serayu, (4)
Pegunungan Serayu Utara, (5) Dataran Pantai Utara.

Gambar 3.1 Peta fisiografi Jawa Tengah (Van Bemmelen,1994)


Berdasarkan pengelompokkan yang telah dipaparkan dalam klasifikasi Van
Bemmelen (1949), daerah penelitian termasuk ke dalam unit Pegunungan Kulon Progo.
Pegunungan Kulon Progo merupakan tinggian yang dibatasi oleh high dan low Kebumen
di bagian barat serta rendahan Yogyakarta di bagian timur dan tinggian Kulon Progo
dicirikan dengan adanya kompleks gunung api purba yang berada di atas batuan berumur
Paleogen dan ditutupi oleh batuan karbonat berumur Neogen. Menurut R.W.van
Bemmelen (1949), Pegunungan Kulon Progo terletak pada zona Jawa Tengah bagian
selatan termasuk di dalamnya jalur pegunungan Serayu Selatan ujung paling timur yang
secara keseluruhan berbentuk kubah yang dinamakan Oblong Dome berbentuk empat
persegi panjang. Sumbu panjang kubah (±32 km) berarah Selatan Baratdaya – Utara
Timurlaut, sedangkan sumbu pendek (±20 km) berarah Baratlaut – Timur Tenggara.

8
Bagian atas kubah merupakan suatu pedataran tinggi (895 m, dpl) yang terkenal dengan
nama plato Jonggrangan.

3.2. Geomorfologi Regional

Rangkaian Pegunungan Kulon Progo termasuk dalam zona selatan Jawa Tengah
dan secara keseluruhan merupakan Plateu (Pannekoek, 1939). Berdasarkan relief dan
genesanya, wilayah ini terbagi menjadi beberapa satuan geomorfologi, yaitu :

A. Satuan Pegunungan Kulon Progo

Satuan pegunungan Kulon Progo mempunyai ketinggian berkisar antara 100 – 1200
meter diatas permukaan laut dengan kemiringan lereng sebesar 150 – 160. Satuan
Pegunungan Kulon Progo penyebarannya memanjang dari utara ke selatandan menempati
bagian barat wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, meliputi kecamatan Kokap, Girimulyo
dan Samigaluh. Daerah pegunungan Kulon Progo ini sebagian besar digunakan sebagai
kebun campuran, permukiman, sawah dan tegalan.

B. Satuan Perbukitan Sentolo

Satuan perbukitan Sentolo ini mempunyai penyebaran yang sempit dan terpotong


oleh kali Progo yang memisahkan wilayah Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Bantul.
Ketinggiannya berkisar antara 50 – 150 meter diatas permukaan air laut dengan besar
kelerengan rata – rata 15o. Di wilayah ini, satuan perbukitan Sentolo meliputi daerah
Kecamatan Pengasih dan Sentolo.

C. Satuan Teras Progo

Satuan teras Progo terletak disebelah utara satuan perbukitan Sentolo dan disebelah
timur satuan Pegunungan Kulon Progo, meliputi kecamatan Nanggulan dan Kali Bawang,
terutama di wilayah tepi Kulon Progo

D. Satuan Dataran Alluvial

Satuan dataran alluvial penyebarannya memanjang dari barat ke timur, daerahnya


meliputi kecamatan Temon, Wates, Panjatan, Galur dan sebagian Lendah. Daerahnya

9
relatif landai sehingga sebagian besar diperuntukkan untuk pemukiman dan lahan
persawahan.

E. Satuan Dataran Pantai

a. Subsatuan Gumuk Pasir

Subsatuan gumuk pasir ini memiliki penyebaran di sepanjang pantai selatan


Yogyakarta, yaitu pantai Glagah dan Congot. Sungai yang bermuara di pantai selatan ini
adalah kali Serang dan kali Progoyang membawa material berukuran besar dari hulu.
Akibat dari proses pengangkutan dan pengikisan, batuan tersebut menjadi batuan
berukuran pasir. Akibat dari gelombang laut dan aktivitas angin, material tersebut
diendapkan di dataran pantai dan membentuk gumuk – gumuk pasir.

b.Subsatuan Dataran Alluvial Pantai

Subsatuan dataran alluvial pantai terletak di sebelah utara subsatuan gumuk pasir
yang tersusun oleh material berukuran pasir halus yang berasal dari subsatuan gumuk pasir
oleh kegiatan angin. Pada subsatuan ini tidak dijumpai gumuk - gumuk pasir sehingga
digunakan untuk persawahan dan pemukiman penduduk.

10
3.3 Stratigrafi Regional
Tabel 3.1. Kolom Stratigrafi Kulon Progo Menurut Peneliti Terdahulu (P3G)

Menurut Van Bemmelen ( 1949), Pegunungan Kulon ditafsirkan sebagai dome


(kubah) besar dengan bagian puncak datar dan sayapsayap curam, dikenal sebagai “Oblong
Dome”. Dome ini mempunyai arah utara timur laut – selatan barat daya, dan diameter
pendek 15-20 Km, dengan arah barat laut-timur tenggara. Inti dome terdiri dari 3 gunung
api Andesit tua yang pada sekarang ini telah tererosi cukup dalam, dan mengakibatkan
11
beberapa bagian bekas dapur magmanya telah tersingkap. Bagian tengah dari dome ini
adalah Gunung Gajah yang merupakan gunung api tertua yang menghasilkan kandungan
Andesit hiperstein augit basaltic. Gunung api Ijo adalah gunung api yang terbentuk
setelahnya yang berada dibagian selatan. Dari hasil aktivitasnya Gunung Ijo menghasilkan
Andesit piroksen basaltic, kemudian Andesit augit hornblende, kemudian pada tahap akhir
adalah intrusi Dasit di bagian intinya. Setelah aktivitas gunung Gajah berhenti dan
mengalami denudasi, gunung Menoreh terbentuk dibagian utara. Gunung Menoreh
merupakan gunung terakhir yang terbentuk di komplek pegunungan Kulon Progo. Hasil
dari aktivitas gunung Menoreh awalnya menghasilkan Andesit augit hornblen, kemudian
dihasilkan Dasit dan yang terakhir yaitu Andesit. Dome Kulon Progo memiliki bagian
puncak yang datar yang dikenal dengan “Jonggrangan Platoe”. Bagian puncak dome
tertutup oleh batugamping koral dan napal dengan kenampakan topografi kars. Topografi
kars ini dapat dijumpai di sekitar desa Jonggrangan, yang kemudian penamaan litologi
pada daerah ini dikenal dengan Formasi Jonggrangan. Sisi utara dari pegunungan Kulon
Progo telah teropotong oleh gawir-gawir sehingga pada bagian ini banyak yang telah
hancur dan tertimbun di bawah alluvial Magelang (Pannekoek (1939), vide (Van
Bammelen, 1949).

Berdasarkan stratigrafi regional rangkaian Pegunungan Kulon Progo, dimulai dari


yang paling tua sampai yang paling muda. Menurut Van Bemmelen adalah sebagai berikut.

3.3.1. Formasi Nanggulan

Formasi Nanggulan memiliki ketebalan kurang lebih 300 meter dan berumur Eosen
tengah sampai Oligosen akhir. Formasi ini tersebar pada Kecamatan Nanggulan yang
memiliki morfologi berupa perbukitan bergelombang rendah hingga menengah. Formasi
ini tersusun oleh batupasir yang bersisipan lignit, napal pasiran, batu lempung, sisipan
napal dan batugamping, batupasir dan tuff. Bagian bawah formasi ini tersusun oleh
endapan laut dangkal berupa batupasir, serpih, dan lignit pada perselingannya. Sedangkan
bagian atas dari formasi ini tersusun atas batuan napal, batupasir gampingan, dan tuff yang
menunjukkan wilayah endapan laut neritik. Formasi Nanggulan dibagi menjadi 3 bagian
menurut Marks 1957, hal.101) dan berdasarkan beberapa studi yang dilakukan oleh Martin
(1915), Douville (1912), Oppernorth & Gerth (1928)

12
Axinea Beds merupakan bagian yang paling bawah dari formasi Nanggulan. Dan
merupakan endapan laut dangkal dengan ketebalan 40 meter dan tersusun oleh batupasir
dengan interkalasi lignit lalu diatasnya terdiri dari batupasir dengan kandungan fosil
Pelecypoda.

Yogyakarta Beds (Djogjakartae Beds) merupakan formasi yang terbentuk di atas


Axinea Beds. Formasi ini banyak tersusun oleh napal pasiran berselingan dengan batupasir
dan batu lempung yang banyak mengandung Foraminifera besar dan Gastropoda , fosil
yang khas yaitu Nummulites djogjakartae. Formasi ini memiliki ketebalan 60 meter.

Discocyclina Beds terendapkan di atas Yogyakarta Beds dengan ketebalan 200


meter dan tersusun atas napal, batugamping, dan batupasir serta serpih sebagai
perselingannya, dan arkose yang berjumlah semakin banyak ke bagian atas formasi ini.
Pada formasi ini dapat dijumpai Discocyclina omphalus sebagai fosil pencirinya.

3.3.2. Formasi Andesit Tua (Old Andestie Formation or OAF)

Formasi ini berumur Oligosen akhir hingga Miosen awal yang diketahui dari fosil
plankton yang terdapat pada bagian bawah formasi ini. OAF tersusun atas breksi andesit,
tuff, tuff lapili, aglomerat, dan sisipan aliran lava andesit. Formasi Andesit Tua ini
memiliki ketebalan mencapai 500 meter dan mempunyai kedudukan yang tidak selaras di
atas formasi Nanggulan. Batuan penyusun formasi ini berasal dari kegiatan vulaknisme di
daerah tersebut, yaitu dari beberapa gunung api tua di daerah Pegunungan Kulon Progo
yang oleh Van Bemmelen (1949) disebut sebagai Gunung Api Andesit Tua. Gunung api
yang dimaksud adalah Gunung Gajah, di bagian tengah pegunungan, Gunung Ijo di bagian
selatan, serta Gunung Menoreh di bagian utara Pegunungan Kulon Progo.

3.3.3. Formasi Jonggrangan

Litologi dari Formasi Jonggrangan ini tersingkap baik di sekitar desa Jonggrangan,
suatu desa yang ketinggiannya di atas 700 meter dari muka air laut dan disebut sebagai
Plato Jonggrangan. Formasi ini berumur Miosen awal hingga Miosen tengah dengan
ketebalan 250 meter dan diendapkan pada laut dangkal. Bagian bawah dari formasi ini
terdiri dari Konglomerat yang ditumpangi oleh Batunapal tufan dan Batupasir gampingan
dengan sisipan Lignit. Batuan ini semakin ke atas berubah menjadi Batugamping koral

13
(Wartono rahardjo, dkk, 1977). Formasi Jonggrangan ini terletak secara tidak selaras di
atas Formasi Andesit Tua. Ketebalan dari Formasi Jonggrangan ini mencapai sekitar 250
meter (Van Bemmelen, 1949, hal.598), (vide van Bemmelen, 1949, hal.598) menyebutkan
bahwa Formasi Jonggrangan dan Formasi Sentolo keduanya merupakan Formasi Kulon
Progo (“Westopo Beds”).

3.3.4. Formasi Sentolo

Formasi ini terletak di bagian tenggara pegunungan Kulon Progo dengan morfologi
perbukitan bergelombang rendah hingga tinggi. Bagian bawah formasi ini tersusun atas
konglomerat yang ditumpangi batupasir gampingan, napal tufan dan sisipan tuf kaca.
Semakin ke atas berubah menjadi Batugamping berlapis dengan fasies Neritik.
Batugamping koral dijumpai secara lokal, menunjukkan umur yang sama dengan formasi
Jonggrangan, tetapi di beberapa tempat umur Formasi Sentolo adalah lebih muda (Harsono
Pringgoprawiro, 1968, hal.9).

Berdasarkan penelitian fosil Foraminifera yang dilakukan Darwin Kadar (1975)


dijumpai beberapa spesies yang khas, seperti : Globigerina Insueta Cushman & Stainforth,
dijumpai pada bagian bawah dari Formasi Sentolo. Fosil-fosil tersebut menurut Darwin
Kadar (1975, vide Wartono Rahardjo, dkk, 1977) mewakili zona N8 (Blow, 1969) atau
berumur Miosen bawah. Menurut Harsono Pringgoprawiro (1968) umur Formasi Sentolo
ini berdasarkan penelitian terhadap fosil Foraminifera Plantonik, adalah berkisar antara
Miosen Awal sampai Pliosen (zona N7 hingga N21). Formasi Sentolo ini mempunyai
ketebalan sekitar 950 meter ( Wartono Rahardjo, dkk, 1977).

3.3.5. Alluvium (Endapan Alluvial)

Alluvium terdiri atas endapan-endapan kerakal, pasir, lanau, dan lempung


sepanjang sungai yang besar dan dataran pantai. Alluvium sungai berdampingan dengan
alluvium rombakan bahan vulkanik gunung api.

3.4. Struktur Geologi Regional


Seperti yang sudah dibahas pada geomorfologi regional, Pegunungan Kulon Progo
oleh Van Bemmelen (1949, hlm. 596) dilukiskan sebagai kubah besar memanjang ke arah
barat daya – timur laut sepanjang 32 km, dan melebar ke arah tenggara – barat laut selebar

14
15 – 20 km. Pada kaki-kaki pegunungan di sekelilingkubah tersebut banyak dijumpai
sesar-sesar yang membentuk pola radial.

Gambar 3.2. Skema blok diagram dome Pegunungan Kulon Progo yang digambarkan Van
Bemmelen (1949).
Pada kaki selatan Gunung Menoreh dijumpai adanya sinklinal dan sebuah sesar
dengan arah barat – timur yang memisahkan Gunung Menoreh dengan Gunung Ijo serta
pada sekitar zona sesar.

15
BAB IV
GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
4.1. Geomorfologi Daerah Penelitian
Dari hasil pengamatan di lapangan dan hasil analisa studio, maka di dapatkan hasil
secara umum geomorfologi daerah telitian berupa daerah bentuk asal struktural, denudasi,
dan fluvial.

Dalam pengklasifikasian geomorfologi, penulis mengacu pada sistem klasifikasi


geomorfologi yang dikemukakan oleh Verstappen (1985) yang didasarkan pada aspek
morfologi (kelerengan dan variasi beda tinggi, morfogenesa, morfostruktur dan
morfodinamik). Hasil klasifikasi bentuk lahan daerah penelitian disajikan pada tabel 4.1.

Tabel 4.1 Karakteristik bentuklahan daerah penelitian menggunakan klasifikasi Verstappen


(1985) oleh penulis

Sumber : Hasil pengamatan 2016 berdasarkan klasifikasi Versteppen (1985)

16
Dari hasil analisa peta topografi dan pengamatan langsung yang dilakukan di
lapangan. Geomorfologi daerah penelitian dapat dibagi menjadi tiga satuan geomorfik
dengan lima subsatuan geomorfik, yang terdiri dari: Satuan geomorfik asal struktural
dengan subsatuan perbukitan homoklin (S1), Satuan geomorfik asal struktural dengan
subsatuan lereng perbukitan (S2), Satuan geomorfik asal denudasi dengan subsatuan bukit
terisolir (D2), Satuan geomorfik asal denudasi dengan subsatuan dataran (D1) dan Satuan
geomorfik asal fluvial dengan subsatuan Tubuh sungai (F1).

4.1.1. Satuan Geomorfik Bentukan Asal Struktural

Terbentuk karena adanya proses endogen yang disebut proses tektonik. Proses ini
meliputi pengangkatan, perlipatan, pensesaran, dan kadang disertai oleh intrusi magma
sehingga terbentuk struktur geologi tertentu atau bentuk lahan yang terbentuk karena
kontrol struktur geologi pada daerah tersebut.

4.1.1.1. Subsatuan Geomorfik Bentuklahan Perbukitan Homoklin (S1)

Subsatuan geomorfik bentuklahan perbukitan homoklin mempunyai luas hampir 15


% dari lokasi pelitian yang ada, dengan bentuk memanjang dari selatan ke utara yang
terletak di baratlaut kapling. Umumnya relief di lapangan terjal, berupa perbukitan dengan
elevasi mencapai 425m.

Foto 4.1. Kenampakan morfologi di lapangan yaitu subsatuan geomorfik bentuklahan


perbukitan homoklin (S1) dan lereng perbukitan (S2), Kamera menghadap N250°E.(Foto
oleh Immanuel)

17
Perbukitan ini memiliki elevasi dari 250m – 425m dengan pola kontur pada peta
menunjukkan arah kelurusan yang sama. Begitu juga data yang didapatkan di lapangan.
Pada foto terlihat kenampakan searah pada punggungan bukit. Relief yang relatif curam
dengan pola memanjang dengan batuannya berupa breksi. Hal ini menunjukkan tebing –
tebing pada perbukitan ini rawan sekali terjadi longsoran yang bersifat setempat – setempat
saja.

4.1.1.2. Subsatuan Geomorfik Bentuklahan Lereng Perbukitan (S2)

Subsatuan geomorfik bentuklahan lereng perbukitan menempati sekitar 30% dari


luas lokasi penelitian. Disebut bentuklahan lereng perbukitan karena pada peta topografi
tidak terdapat kontur yang rapat, dan terlihat bentukan yang berangsur melandai. Lereng
perbukitan ini mengikuti pola perbukitan homoklin, yaitu memanjang dari selatan ke utara
pada kapling barat. Bentukan lembah membentuk pola V, memperlihatkan resistensi
batuan pada sedang - kuat. Pada lereng perbukitan terjadi proses pengikisan dengan jangka
waktu yang sudah berlangsung lama. Lereng perbukitan dibelah oleh tubuh sungai dengan
stadia muda.

Foto 4.1. Kenampakan morfologi di lapangan yaitu subsatuan geomorfik bentuklahan


perbukitan homoklin (S1) dan lereng perbukitan (S2), Kamera menghadap N250°E.(Foto
oleh Immanuel)

18
4.1.2. Satuan Geomorfik Bentukan Asal Denudasional

4.1.2.1. Subsatuan Geomorfik Bentuklahan Dataran (D1)

Satuam geomorfik bentuklahan dataran mempunyai luas hampir 45 % dari lokasi


penelitian yang ada pada kapling timur peta. Umumnya relief di lapangan datar hingga
bergelombang lemah , karena berupa dataran elevasi di daerah telitian mencapai 175m.

DATARAN

Foto 4.2. Kenampakan morfologi di lapangan yaitu subsatuan geomorfik bentuklahan


Dataran (D1), Kamera menghadap N250°E. (Foto oleh Immanuel)
Dataran ini memiliki elevasi dari 112,5m – 175m. Pola kontur pada peta
menunjukkan arah yang sama dengan interval yang jarang sehingga daerah yang landai.
Topografi landau memiliki litologi berupa material lepas yang berukuran kerakal –
bongkah, membentuk lembah pola U yang memperlihatkan resistensi batuan pada sungai
lemah. Pada dataran ini terjadi proses pengikisan dengan jangka waktu yang sudah
berlangsung lama. Lembah ini dibelah oleh tubuh sungai dengan stadia dewasa - tua.

19
1.1.2.2. Subsatuan Geomorfik Bentuklahan Bukit Terisolir (D2)

Subsatuan geomorfik bentuklahan bukit terisolir mempunyai luas hampir 8 % dari


lokasi penelitian yang ada, dengan bentuk membundar yang berada di daerah Gunung
Mujil. Umumnya relief di lapangan terjal dengan elevasi mencapai 250m.

Foto 4.3. Kenampakan morfologi di lapangan yaitu subsatuan geomorfik bentuklahan bukit
terisolir (D2), Kamera menghadap N230°E (Foto oleh Immanuel)
Bukit ini memiliki elevasi dari 200m – 237,5m. Pola kontur pada peta
menunjukkan arah ke segala arah dengan relief yang relatif curam. Hasil pengamatan
menunjukkan litologi berupa breksi andesit yang berukuran butir kerakal – bongkah
dengan tingkat pelapukan yang tinggi, sehingga memperkuat rawan sekali terjadi
longsoran yang bersifat setempat – setempat saja.

4.1.3. Satuan Geomorfik Bentukan Asal Fluvial

4.1.3.1. Subsatuan Geomorfik Bentuklahan Tubuh Sungai (F1)

Tubuh sungai menempati sekitar 2% dari lokasi penelitian. Bentuklahan ini


membelah lereng perbukitan dengan bentukannya mengikuti kelokan – kelokan pada
dinding lereng. Pada tubuh sungai banyak terdapat luapan material lepas, serta lumpur

20
yang terbawa pada saat hujan datang. Pola bentukan sungai juga berbentuk U ini
menandakan, kalau sungai ini termasuk dalam klasifikasi stadia dewasa.

Foto 4.4. Kenampakan morfologi di lapangan yaitu subsatuan geomorfik bentuklahan


tubuh sungai (F1). Kamera menghadap N230°E (Foto oleh Immanuel)
4.1.4. Pola Pengaliran

Pola pengontrol pembentukan pola aliran sungai di suatu daerah berkaitan erat
dengan resistensi batuan, struktur geologi dan stadia geomorfologinya. Oleh karena itu
bedasarkan faktor – faktor tersebut, pola pengaliran daerah penelitian klasifikasi pola dasar
dan pola ubahan dari A.D.Howard (1967). Pola dasar (basic patern) daerah penelitian
bedasarkan klasifikasi A.D.Howard (1967).

21
Gambar 4.1 Pola aliran sungai radial (Howard, 1967) serta peta pola pengaliran daerah
penelitian.
Pola aliran radial menempati bagian utara peta sedangkan bagian selatan tidak

ditemukan adanya cabang sungai yang membentuk pola. Pola ini tercermin dari bentuk

aliran seolah memancar dari satu titik pusat pada peta daerah penelitian. Berdasarkan hasil

pengamatan dilapangan daerah berada Gunung Kembang serta ditemukan singkapan

batuan berupa breksi andesit. Breksi dengan fragmen batuan beku berupa andesit

menunjukkan resistensi batuan sedang – kuat. Bentukan yang di akibatkan oleh erosi

secara vertikal akibat resistensi batuan yang sedang – kuat menyebabkan bentuk lembah V

yang menunjukkan stadia muda.

4.2. Stratigrafi Daerah Penelitian

Penentuan satuan batuan di daerah penelitian ini berdasarkan kesatuan ciri litologi
yang dominan baik secara horisontal maupun vertikal. Secara stratigrafi regional kesatuan
ciri litologi di daerah penelitian dapat disebandingkan dengan Formasi Nanggulan dan
Formasi Andesit Tua (Rosidi, dkk, 1995). Cara ini mengacu pada penamaan tidak resmi
menurut Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia (1996). Daerah penelitian terdiri atas 5 (lima)
satuan batuan, yaitu dari tua ke muda adalah: Satuan Batupasir Nanggulan, Satuan
Batulempung Nanggulan, Satuan Andesit Kalisonggo, Satuan Breksi Andesit Tua,
Endapan Koluvium.

Tabel 4.2 Stratigrafi Daerah Telitian Menurut Penulis

22
4.2.1. Satuan Batupasir Nanggulan

4.2.1.1. Penamaan Satuan

Penulisan menamakan satuan litostratigrafi ini sebagai satuan batupasir Nanggulan,


berdasarkan ciri litologi dan penyebarannya.

4.2.1.2. Litologi

Satuan batupasir Nanggulang dicirikan oleh batulempung bernodul, diatasnya


batupasir kuarsa dengan ukuran butir kasar sampai sangat halus, berstruktur perlapisan ,
sedangkan di bagian teratasnya dicirikan batupasir karbonatan dengan ukuran butir sedang
– halus dan struktur perlapisan.

Batuan yang tersingkap di satuan batupasir Nanggulan:

Batulempung: berwarna abu – abu, ukuran lempung, terilah baik, kemas tertutup dengan
komposisi fragmen berupa nodul kalsit matrik lempung dan semen silika. Struktur
perlapisan

23
Foto 4.5. Singkapan batulempung dengan fragmen nodul pada LP 20 N222°E (Foto oleh
Immanuel)
Batupasir kuarsa : berwarna abu – abu sampai kekuningan, ukuran butir pasir kasar – pasir
sangat halus, agak menyudut, terpilah baik, kemas terbuka dengan komposisi : fragmen
mineral berupa dominan kuarsa, matrik lempung, semen silika. Struktur sedimen
perlapisan, dan graded bedding.

Foto 4.6. Singkapan batupasir kuarsa pada LP 6, Kamera menghadap N230°E (Foto oleh
Immanuel)

24
Batupasir karbonatan : berwarna coklat sampai kekuningan, ukuran butir pasir sedang –
pasir sangat halus, agak menyudut, terpilah baik, kemas terbuka dengan komposisi :
fragmen mineral, matrik mineral halus , semen karbonatan. Struktur sedimen laminasi dan
perlapisan

Foto 4.7. Singkapan batupasir karbonatan pada LP 32. Kamera menghadap N230°E (Foto
oleh Immanuel)

4.2.1.3. Penyebaran dan morfologi

Satuan batupasir Nanggulan dari Formasi Nanggulan merupakan satuan batuan


tertua yang tersingkap di daerah penelitian, tersebar dari Barat Daya sampai Timur Laut.
Sebaran secara horizontal menempati kurang lebih 15% dari daerah penelitian. Satuan
batupasir Nanggulan memiliki tebal 100 meter berdasarkan peneliti terdahulu.

Singkapan satuan ini dapat ditemukan didekat alur alur liar serta lembah sungai dan
jalan setapak. Satuan batupasir Nanggulan ini menempati bentuklahan perbukitan terkikis.

4.2.1.4. Umur

Singkapan batuan umumnya berupa material pasir, melihat dari komposisi mineral
serta materialnya, satuan batupasir Nanggulan ini merupakan ciri – ciri endapan laut
dangkal. Tetapi secara geologi regional, satuan batupasir Nanggulan ini berada di Formasi
Nanggulan yang berumur berumur Eosen tengah sampai Oligosen akhir, yang

25
terendapakan di paling bawah. Maka dari itu peneliti mengacu kepada peneliti
sebelumnya,bahwa satuan batupasir Nanggulan berumur Eosen tengah sampai Oligosen
awal.

4.2.1.5. Lingkungan Pengendapan

Satuan batupasir Nanggulan termasuk ke dalam formasi Nanggulan menunjukan


umur Eosen. Satuan batupasir Nanggulan ini memiliki struktur sedimen cross bedding,
cross laminasi, perlapisan, graded bedding, dan laminasi. Keterdapatan cangkang fosil
moluska dan brachiopoda pada batupasir serta semenya nya yang ada yang mengandung
karbonatan dan silika. Dari hal tersebut menandakan satuan batupasir Nanggulan berada
pada daerah laut dangkal.

4.2.1.6. Kontak / Hubungan Stratigrafi

Satuan batupasir Nanggulan memiliki hubungan yang selaras dengan satuan batuan
di atas dengan kontak yang tegas.

Foto 4.8. Kontak antara satuan batupasir Nanggulan (bawah) dengan batulempung
Nanggulan (atas) pada LP 9 Kamera menghadap N308°E (Foto oleh Immanuel)

26
4.2.2. Satuan Batulempung Nanggulan

4.2.2.1. Penamaan Satuan

Penulisan menamakan satuan litostratigrafi ini sebagai satuan batulempung


Nanggulan, berdasarkan ciri litologi dan penyebarannya.

4.2.2.2. Litologi

Satuan batulempung Nanggulang dicirikan oleh batulempung karbonan dengan


roof and floor batulempung berstruktur perlapisan , sedangkan di bagian teratasnya
dicirikan batulempung karbonatan struktur perlapisan.

Batuan yang tersingkap di satuan batupasir Nanggulan:

Batulempung: berwarna abu – abu, ukuran lempung, terilah baik, kemas tertutup dengan
komposisi fragmen berupa nodul kalsit matrik lempung dan semen silika. Struktur
perlapisan

Foto 4.9. Singkapan batulempung pada LP 8 Kamera menghadap N290°E (Foto oleh
Immanuel)

27
Batulempung karbonan : berwarna hitam, ukuran butir lempung, terpilah baik, kemas
tertutup dengan komposisi berupa lempung, semen karbonan. Struktur sedimen perlapisan.

Foto 4.10. Singkapan batulempung karbonan ditengah dengan roof and floor batulempung
pada LP 12. Kamera menghadap N276°E (Foto oleh Immanuel)
Batulempung karbonatan : berwarna abu-abu keputihan, ukuran butir lempung, terpilah
baik, kemas tertutup dengan komposisi : fragmen fosil cangkang brachiopoda dan moluska
, matrik lempung , semen karbonatan. Struktur sedimen perlapisan

28
Foto 4.11. Singkapan batulempung karbonatan pada LP 13 Kamera menghadap N280°E
(Foto oleh Immanuel)

4.2.2.3. Penyebaran dan morfologi

Satuan batulempung Nanggulan dari Formasi Nanggulan merupakan satuan batuan


tertua yang tersingkap di daerah penelitian, tersebar dari Barat Daya sampai Timur Laut.
Sebaran secara horizontal menempati kurang lebih 7% dari daerah penelitian. Satuan
batulempung Nanggulan memiliki tebal 200 meter berdasarkan peneliti terdahulu.

Singkapan satuan ini dapat ditemukan didekat alur alur liar serta lembah sungai dan
jalan setapak. Satuan batulempung Nanggulan ini menempati bentuklahan perbukitan
terkikis.

4.2.2.4. Umur

Singkapan batuan umumnya berupa material lempung, melihat dari komposisi serta
materialnya, satuan batulempung Nanggulan ini merupakan ciri – ciri endapan laut neritik.
Tetapi secara geologi regional, satuan batulempung Nanggulan ini berada di Formasi
Nanggulan yang berumur berumur Eosen tengah sampai Oligosen akhir, yang
terendapakan di atas satuan batulempung Nanggulan. Maka dari itu peneliti mengacu
kepada peneliti sebelumnya,bahwa satuan batulempung Nanggulan berumur Oligosen awal
- Oligosen akhir.

4.2.2.5. Lingkungan Pengendapan

Satuan batulempung Nanggulan termasuk ke dalam formasi Nanggulan. Satuan


batulempung Nanggulan ini memiliki struktur sedimen perlapisan. Keterdapatan cangkang
fosil moluska dan brachiopoda serta semenya nya dominan yang mengandung karbonatan.
Dari hal tersebut menandakan satuan batupasir Nanggulan berada pada daerah laut neritik.

4.2.2.6. Kontak / Hubungan Stratigrafi

Satuan batulempung Nanggulan memiliki hubungan yang tidak selaras dengan


satuan Breksi Andesit Tua akibat adanya perbedaan fase tektonik.

29
Foto 4.12. Kontak Satuan batulempung Nanggulan dengan satua breksi Andesit Tua pada
LP 48. Kamera menghadap N278°E (Foto oleh Immanuel)

4.2.3. Satuan Andesit Kalisonggo

4.2.3.1. Penamaan Satuan

Penulisan menamakan satuan litostratigrafi ini sebagai satuan Andesit Kalisonggo,


berdasarkan ciri litologi dan penyebarannya.

4.2.3.2. Litologi

Satuan Andesit Kalisonggo yang terdiri oleh litologi batu andesit. Satuan ini
memiliki tekstur afanitik dengan struktur columnar joint, versikuler, dan aliran. Memiliki
komposisi mineral dominan plagioklas, hornblend, dan piroksen.

4.2.3.3. Penyebaran dan morfologi

30
Satuan Andesit Kalisonggo dari Formasi Kalisonggo merupakan satuan batuan
yang tersingkap di daerah penelitian, tersebar di bagian Timur Laut dan selatan pada G.
Mujil . Sebaran secara horizontal menempati kurang lebih 2% dari daerah penelitian.

Singkapan satuan ini dapat ditemukan didekat alur alur liar ,lembah sungai, di
bawah jembatan. Satuan andseit Kalisonggo ini menempati bentuklahan perbukitan terkikis
dan Dataran alluvial.

4.2.3.4. Tafsiran Pembentuknya

Satuan Andesit Kalisonggo berdasarkan struktur tubuh singkapan memiliki bentuk


columnar joint pada tebing kiri dan kanannya dan massif ada bagian dalamnya sedangkan
di tengah tengah memiki lubang lubang versikuler. Pendinginan berlangsung lebih cepat di
bagian kiri dan kanan sungai sehingga panas memusat ke bagian tengah tubuh batuannya.
Lubang versikuler ini mengarah Timur Laut. Genesa berupa dike yang menembus formasi
Nanggulan.

4.2.3.5. Kontak / Hubungan Stratigrafi

Satuan andesit Kalisonggo memiliki hubungan selaras dengan seluruh satuan


batuan yang berada di formasi Nanggulan.

31
Foto 4.13 Intrusi andesit yang menembus formasi Nanggulan pada LP 45. Kamera
menghadap Kamera menghadap N257°E (Foto oleh Immanuel)

4.2.4. Satuan Breksi Andesit Tua

4.2.4.1. Penamaan Satuan

Penulisan menamakan satuan litostratigrafi ini sebagai satuan breksi Andesit Tua,
berdasarkan ciri litologi dan penyebarannya.

4.2.4.1. Litologi

Ciri litologi satuan breksi andesit tua yang dominan adalah breksi andesit. Litologi
penyusunnya terdiri dari breksi andesit dengan genesa monomik dan breksi andesit dengan
genesa polimik. Berdasarkan penampang stratigrafi terukur, bagian bawah satuan breksi
andesit tua dicirikan oleh breksi andesit bergenesa polimik dengan fragmen andesit
dominan, btpasir,btlapili matrik lapilli dan mineral serta semen karbonatan, , sedangkan di
bagian atas dicirikan breksi andesit bergenesa monomik dengan fragmen andesit matrik
lapilli serta semen non karbonatan.

32
4.2.4.3. Penyebaran dan morfologi

Satuan breksi andesit tua dari Formasi Andesit Tua merupakan satuan batuan yang
tersingkap di daerah penelitian, tersebar G. Mujil, G. Kembang, dan bagian Barat Daya .
Sebaran secara horizontal menempati kurang lebih 33% dari daerah penelitian. Tebal
satuan breksi Andesit Tua berdasarkan peneliti terdahulu memiliki tebal 500 m.

Singkapan satuan ini dapat ditemukan didekat alur alur liar ,lembah sungai, lereng
bukit. Satuan breksi andesit tua ini menempati bentuklahan perbukitan terkikis,
pegunungan terkikis dan bukit terisolir.

4.2.2.4. Umur

Singkapan batuan umumnya berupa material gunung api, melihat dari komposisi
andesit sebagai fragmen serta material gunung api, satuan breksi Andesit Tua ini
merupakan ciri – ciri endapan gunung api. Tetapi secara geologi regional, satuan breksi
Andesit Tua ini berada di atas Formasi Nanggulan yang berumur berumur Eosen tengah
sampai Oligosen akhir, yang terendapakan pada formasi Andesit Tua berumur Oligosen
akhir – Miosen awal. Maka dari itu peneliti mengacu kepada peneliti sebelumnya,bahwa
satuan breksi Andesit Tua berumur Oligosen akhir – Miosen awal.

4.2.2.5. Lingkungan Pengendapan

Satuan breksi Andesit Tua termasuk ke dalam formasi Andesit Tua. Satuan breksi
Andesit Tua ini terdiri dari material gunung api dengan ukuran bongkah – kerikil fragmen
berupa andesit dan juga ditemukan lapilli pada matriknya. Hal ini menunjukan bahwa
material gunun api mendominasi sehingga satuan ini terendapkan pada lingkungan gunung
api.

4.2.2.6. Kontak / Hubungan Stratigrafi

Satuan breksi Andesit Tua memiliki hubungan tidak selaras akibat perbedaan umur
yang jauh dan dijumpai bidang erosi dengan endapan Koluvium.

33
Foto 4.14. Singkapan satuan breksi andesit tua dengan endapan koluvium yang berada
diatasnya pada LP 16. Kamera menghadap Kamera menghadap N198°E (Foto oleh
Immanuel)

4.2.5. Endapan Koluvium

4.2.5.1. Penamaan

Penulis menamakan endapan koluvium bedasarkan kenampakan di lapangan yang


berupa akumulasi material – material lepasan erosi dan transportasi batuan yang belum
mengalami kompaksi dan litifikasi yang masih dekat dengan batuan induknya.

4.2.4.1. Litologi

Endapan koluvium

terdiri dari beragam jenis batuan. Mulai dari material pasir, lempung sampai dominan
berukuran kerakal dan bongkah. Terdiri dari batuan beku dan batuan sedimen.

4.2.4.3. Penyebaran dan morfologi

Endapan Koluvium tersingkap di daerah penelitian tersebar di bagian Tenggara.


Sebaran secara horizontal menempati kurang lebih 30% dari daerah penelitian.

34
Endapan ini dapat ditemukan didekat alur alur liar ,lembah sungai, jalan
perkampungan. Endapan ini menempati bentuklahan Dataran Alluvial.

4.2.2.4. Umur

Berdasarkan karakter fisiknya endapan ini terlihat dari belum kompaknya material
dan belum terlitifikasi. Selain itu terdapatnya batuan yang berukuran kerakal, dimana
batuan tersebut beragam jenisnya, mulai dari batuan sedimen, sampai batuan beku. Secara
geologi regional, endapan berada di atas formasi Andesit Tua. Maka dari itu peneliti
mengacu kepada peneliti sebelumnya,bahwa endapan koluvium berumur Plistosen hingga
holosen.

4.2.2.5. Lingkungan Pengendapan

Proses sedimentasi endapan koluvium ini masih berlangsung hingga saat ini,
dimana terendapkan pada tubuh sungai dan lereng perbukitan.

4.2.2.6. Kontak / Hubungan Stratigrafi

Endapan koluvium terendapkan di atas bidang erosi serta tidak selaras akibat
memiliki umur yang berjarak jauh dengan Formasi Andesit Tua.

35
Foto 4.15. Endapan Koluvium pada LP 44. Kamera menghadap Kamera menghadap
N190°E (Foto oleh Immanuel)

36
4.3. Sejarah Geologi Daerah Penelitian

Sejarah geologi daerah penelitian berawal dari diendapkannya satuan batupasir


Nanggulan dengan struktur cross bedding, cross laminasi, perlapisan, dan laminasi. Satuan
batupasir Nanggulan diendapkan di lingkungan laut dangkal pada Kala Eosen – Oligosen
akhir. Di atasnya diendapkan satuan batulempung Nanggulan secara selaras. Batulempung
berstruktur laminasi, perlapisan dan juga terdapat batulempung karbonan. Lapisan
batulempung karbonan setempat setempat dengan roof dan floor oleh batulempung.
Lapisan sisipan batulempung karbonan yang setempat setempat merupakan hasil dari
sungai terayam .Satuan batulempung Nanggulan diendapkan di lingkungan laut neritik
pada Kala Eosen – Oligosen akhir.

Aktivitas subduksi meningkat menyebabkan aktivitas vulkanisme dan membentuk


Gunung api purba. Dari hasil kenampakan litologi dan struktur sedimen yang ada pada
daerah penelitian termasuk kedalam tipe gunung api subaquaeos yaitu gunung api yang
bagian proximal hingga medial. Gunung api ini bersifat membangun dirinya dengan
mengeluarkan material material vulkanik dan batuan beku, Pada kala Oligosen Gunung api
ini explosive hasilnya membentuk Formasi Andesit Tua. Terendapkan diatas formasi
Nanggulan secara tidak seleras satuan breksi Andesit Tua. Serta terbentuk juga intrusi dari
aktivitas subduksi yang menembus formasi Nanggulan. Intrusi dangkal berupa batu andesit
dengan struktur Columnar joint diluar dan versikuler – masif pada dalamnya. Material
lepas terendapkan di atas satuan breksi andesit tua yang terdiri dari bongkah hingga
kerikil. Terendapkan pada zaman Kuarter hingga recent.

37
BAB V
POTENSI GEOLOGI
5.1. Potensi Positif

Foto 5.1. Singkapan Breksi Andesit. Kamera menghadap N250°E (Foto oleh Immanuel)

Breksi dan bongkah andesit serta batu andesit yang terdapat pada daerah telitian
dapat dimanfaatkan dengan baik oleh penduduk sekitar. Karena keterdapatnya sangat
mudah. Batu batu tersebut dimanfaatkan sebagai pondasi bangunan dan jembatan Karena
memiliki resistensi batuan yang kuat. Serta banyak nya endapan pada butuh sungai
memiliki potensi bahan galian C.

38
5.2. Potensi Negatif

Foto 5.2. Pergeseran selokan akibat gerakan massa hingga berpontensi longsor. Kamera
menghadap N350°E (Foto oleh Dihta)

Potensi negatif pada daerah telitian berupa potensi gerakan tanah hingga longsor.
hal ini disebabkan oleh basement Formasi Nanggulan berupa batulempung yang gampang
mengembang.

39
BAB VI
KESIMPULAN
1. Pada analisa interpretasi peta topografi dalam pembagian bentuklahan berdasarkan
aspek-aspek geomorfologi, dibagi menjadi lima bentuklahan yaitu Satuan geomorfik
asal struktural dengan subsatuan perbukitan homoklin (S1), Satuan geomorfik asal
struktural dengan subsatuan lereng perbukitan (S2), Satuan geomorfik asal denudasi
dengan subsatuan bukit terisolir (D2), Satuan geomorfik asal denudasi dengan
subsatuan dataran (D1) dan Satuan geomorfik asal fluvial dengan subsatuan Tubuh
sungai (F1). Analisa interpretasi ini dapat mendukung pengamatan di lapangan, seperti
aspek stratigrafi yang ada di daerah penelitian. Bentuklahan perbukitan homoklin
merupakan kelurusan yang serah. Secara morfostruktur pasif bentuklahan yang ada di
daerah penelitian tersusun oleh breksi andesit, batuan sedimen klastik batupasir –
batulempung menunjukkan stratigrafi di daerah penelitian
2. Stratigrafi daerah penelitian dibagi berdasarkan ciri dominan secara vertikal dan
horizontal yang mengacu dan mendukung stratigrafi regional daerah penelitian.
Litologi dominan di daerah penelitian dari tua ke muda terdiri dari satuan batupasir
Nanggulan, satuan batulempung Nanggulan, satuan andesit Kalisonggo, breksi Andesit
Tua dan endapan koluvium. Ciri dominan tersebut dapat disebandingkan dengan
Formasi Nanggulan yang tersusun oleh batupasir dan batulempung, Formasi
Kalisonggo berupa batu andesit ,dan breksi andesit disebandingkan dengan Formasi
Andesit Tua.
3. Daerah penelitian memiliki potensi positif berupa bahan bangunan serta potensi bahan
galian C dan potensi negatif berupa daerah rawan longsor.

40
DAFTAR PUSTAKA
Bemmelen, R.W., 1949. Geology of Indonesia. vol. IA, Martinus Nijhoff, the Hague,

Budiadi E, 2008. Peranan Tektonik Dalam Mengontrol Geomorfologi Daerah


Pegunungan Kulon Progo, Disertasi Doktor Ilmu Geologi, UNPAD, Bandung, Tidak
dipublikasikan

Harjanto, A., 2011. Vulkanostratigrafi di daerah Kulon Progo dan sekitarnya, Daerah
Istimewa Yogyakarta. Jurnal MTG, Vol.4 No.2, UPN VETERAN Yogyakarta.

Rosidi, dkk, Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Jawa, P3G: Bandung.

Hartono, G., dkk, 2016. Gunung Api Purba Mujil, Kulon Progo, Yogyakarta : Suatu
Bukti dan Pemikiran. Teknik Geologi STTNAS. Yogyakarta.

41
42

You might also like