Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
2
Gambar 1.1 Lokasi Daerah Pemetaan Desa Pendoworejo, Kembang dan Banjararum,
Kec. Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo.
1.4. Ruang Lingkup
Batasan ruang lingkup penelitian ini yaitu secara lokasi, materi, dan analisa. secara
administratif berada Desa Pendoworejo, Kembang dan Banjararum termasuk dalam
wilayah Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Secara koordinat UTM (Universal Tranvers Mercator) 410200 mT – 412600
mT dan 9143400 mU – 9145800 mU dengan skala 1 : 12.500.
Materi penelitian terdiri atas geologi daerah setempat yang meliputi geomorfologi,
stratigrafi, dan struktur geologi. Serta hasil dari peneliti – peneliti terdahulu yang telah
melakukan penelitian stratigrafi geologi regional, geologi struktur, serta hal – hal yang
berkaitan dengan penelitian nantinya di daerah telitian, adapun peneliti – peneliti
terdahulu, yaitu:
a. Bemmelen, R.W., 1949. Geology of Indonesia. vol. IA, Martinus Nijhoff, the
Hague. Dalam buku ini menerangkan fisiografi serta pembentukan pulau pulau di
Indonesia.
b. Rosidi, dkk, 1995. Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Jawa, P3G: Bandung. Dalam
peta ini menerangkan tentang kondisi geologi secara regional di Yogyakarta.
c. Budiadi E, 2008. Peranan Tektonik Dalam Mengontrol Geomorfologi Daerah
Pegunungan Kulon Progo, Disertasi Doktor Ilmu Geologi, UNPAD, Bandung,
Tidak dipublikasikan. Dalam disertasi ini menerangkan tektonik yang membentuk
pegunungan Serayu.
d. Harjanto, A., 2011. Vulkanostratigrafi di daerah Kulon Progo dan sekitarnya,
Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal MTG, Vol.4 No.2, UPN VETERAN
Yogyakarta. Dalam paper ini menerangkan fasies gunung api, karakteristik
piroklastik dan struktur pada daerah tersebut.
e. Hartono, G., dkk, 2016. Gunung Api Purba Mujil, Kulon Progo, Yogyakarta :
Suatu Bukti dan Pemikiran. Teknik Geologi STTNAS. Yogyakarta. Dalam Paper
ini menerangkan tentang keadaan sejarah geologi pada daerah tersebut.
3
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
bagi daerah penelitian. Kontribusi penelitian ini secara umum adalah untuk mengetahui
kondisi geologi di daerah penelitian dan serta potensi geologinya.
4
BAB II
METODOLOGI PENELITIAN
4
Seperti yang terlihat dalam gambar 2.1 di atas, penelitian ini dilaksanakan dalam 3
(tiga) tahapan, yaitu tahap studi pustaka, analisa, dan hasil penelitian. Tahap akuisisi
merupakan tahapan perolehan data yang meliputi data primer dan sekunder . Data primer
ini merupakan perolehan data di lapangan yang merupakan bagian dari pemetaan geologi
meliputi pengamatan DAS , pengamatan geomorfologi, pengukuran struktur geologi,
pengamatan singkapan, lintasan stratigrafi terukur. Sedangkan data sekunder adalah data
data yang didapat dari peneliti peneliti sebelumnya menunjang penelitian Baik tahapan
akuisisi data terdiri atas studi pustaka yang menyangkut studi geologi regional daerah
telitian, dasar teori dan berbagai hal mengenai kondisi geologi pada daerah telitian
berdasarkan peneliti terdahulu.
a. Pengamatan geomorfologi
b. Pengukuran kedudukan struktur geologi
c. Pengamatan singkapan
d. Lintasan stratigrafi terukur
a. Fisiografi regional
b. Stratigrafi regional
c. Geologi struktur regional
d. Hasil penelitian sebelumnya yang menunjang penelitian ini.
2.3 Analisis
Dalam tahap analisa ini dilakukan analisa terhadap bentuklahan, analisa profil
singkapan, analisa penampang stratigrafi terukur, analisa struktur lipatan dan sesar, dan
petrologi. Berdasarkan analisa-analisa tersebut, maka diperoleh geologi daerah penelitian.
Dari studi pustaka regional dilakukan proyeksi antara geologi regional ke lokal dan ke
geologi daerah penelitian dan pemetaan geologi sehingga didapatkan data geologi lokal.
5
Tahapan analisa adalah sebagai berikut:
1. Analisa bentuklahan
Menurut Verstappen (1985) ada 4 (empat) aspek utama dalam analisa pemetaan
geomorfologi, tetapi yang ada di daerah penelitian yaitu:
Morfologi: studi bentuklahan yang mempelajari relief secara umum dan
meliputi;
a. Morfografi adalah susunan dari objek alami yang ada di permukaan bumi,
bersifat pemerian atau deskriptif suatu bentuklahan, antara lain lembah,
bukit, perbuktan, dataran, pegunungan, teras sungai, beting pantai, kipas
aluvial, plato, dan lain-lain.
b. Morfometri adalah aspek kuantitatif dari suatu bentuklahan, antara lain
kelerengan, bentuk lereng, panjang lereng, ketinggian, beda tinggi, bentuk
lembah, dan pola pengaliran.
Morfogenesa: asal–usul pembentukan dan perkembangan bentuklahan serta
proses-proses geomorfologi yang terjadi, dalam hal ini adalah struktur geologi,
litologi penyusun dan proses geomorfologi merupakan perhatian penuh.
Morfogenesa meliputi:
a. Morfostruktur pasif, bentuklahan yang diklasifikasikan berdasarkan tipe batuan
maupun struktur batuan yang ada kaitannya dengan denudasi misalnya mesa,
cuesta, hogback, dan kubah.
b. Morfostruktur aktif, berupa tenaga endogen seperti pengangkatan, perlipatan,
pensesaran. Dengan kata lain, bentuklahan yang berkaitan erat dengan hasil
gaya endogen yang dinamis termasuk gunungapi, tektonik, (lipatan dan sesar),
misal: gunungapi, punggungan, antiklin, dan gawir sesar.
c. Morfodinamik, berupa tenaga eksogen yang berhubungan dengan tenaga air, es,
gerakan massa, dan kegunungapian. Dengan kata lain, bentuklahan yang
berkaitan erat dengan hasil kerja eksogen (air, es, angin, dan gerakan tanah).
Misal: gumuk pasir, undak sungai, pematang pantai, lahan kritis.
2. Analisa Struktur
Analisa tentang keterdapatan struktur yang berkembang pada daearah penelitian
berupa pengukuran kekar, lipatan, dan sesar
3. Analisa profil singkapan
6
Profil singkapan dibuat dengan cara melakukan analisa dari lapisan pembawa
batubara kemudian mengolah data yang didapatkan ke dalam bentuk gambar dengan
menggunakan skala yaitu profil.
4. Penampang stratigrafi lintasan
Penampang stratigrafi lintasan didapatkan dengan memasukkan data lapangan
kedalam bentuk gambar dan menganalisanya sehingga mendapatkan tebal lapisan.
7
BAB III
GEOLOGI REGIONAL
8
Bagian atas kubah merupakan suatu pedataran tinggi (895 m, dpl) yang terkenal dengan
nama plato Jonggrangan.
Rangkaian Pegunungan Kulon Progo termasuk dalam zona selatan Jawa Tengah
dan secara keseluruhan merupakan Plateu (Pannekoek, 1939). Berdasarkan relief dan
genesanya, wilayah ini terbagi menjadi beberapa satuan geomorfologi, yaitu :
Satuan pegunungan Kulon Progo mempunyai ketinggian berkisar antara 100 – 1200
meter diatas permukaan laut dengan kemiringan lereng sebesar 150 – 160. Satuan
Pegunungan Kulon Progo penyebarannya memanjang dari utara ke selatandan menempati
bagian barat wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, meliputi kecamatan Kokap, Girimulyo
dan Samigaluh. Daerah pegunungan Kulon Progo ini sebagian besar digunakan sebagai
kebun campuran, permukiman, sawah dan tegalan.
Satuan teras Progo terletak disebelah utara satuan perbukitan Sentolo dan disebelah
timur satuan Pegunungan Kulon Progo, meliputi kecamatan Nanggulan dan Kali Bawang,
terutama di wilayah tepi Kulon Progo
D. Satuan Dataran Alluvial
9
relatif landai sehingga sebagian besar diperuntukkan untuk pemukiman dan lahan
persawahan.
Subsatuan dataran alluvial pantai terletak di sebelah utara subsatuan gumuk pasir
yang tersusun oleh material berukuran pasir halus yang berasal dari subsatuan gumuk pasir
oleh kegiatan angin. Pada subsatuan ini tidak dijumpai gumuk - gumuk pasir sehingga
digunakan untuk persawahan dan pemukiman penduduk.
10
3.3 Stratigrafi Regional
Tabel 3.1. Kolom Stratigrafi Kulon Progo Menurut Peneliti Terdahulu (P3G)
Formasi Nanggulan memiliki ketebalan kurang lebih 300 meter dan berumur Eosen
tengah sampai Oligosen akhir. Formasi ini tersebar pada Kecamatan Nanggulan yang
memiliki morfologi berupa perbukitan bergelombang rendah hingga menengah. Formasi
ini tersusun oleh batupasir yang bersisipan lignit, napal pasiran, batu lempung, sisipan
napal dan batugamping, batupasir dan tuff. Bagian bawah formasi ini tersusun oleh
endapan laut dangkal berupa batupasir, serpih, dan lignit pada perselingannya. Sedangkan
bagian atas dari formasi ini tersusun atas batuan napal, batupasir gampingan, dan tuff yang
menunjukkan wilayah endapan laut neritik. Formasi Nanggulan dibagi menjadi 3 bagian
menurut Marks 1957, hal.101) dan berdasarkan beberapa studi yang dilakukan oleh Martin
(1915), Douville (1912), Oppernorth & Gerth (1928)
12
Axinea Beds merupakan bagian yang paling bawah dari formasi Nanggulan. Dan
merupakan endapan laut dangkal dengan ketebalan 40 meter dan tersusun oleh batupasir
dengan interkalasi lignit lalu diatasnya terdiri dari batupasir dengan kandungan fosil
Pelecypoda.
Formasi ini berumur Oligosen akhir hingga Miosen awal yang diketahui dari fosil
plankton yang terdapat pada bagian bawah formasi ini. OAF tersusun atas breksi andesit,
tuff, tuff lapili, aglomerat, dan sisipan aliran lava andesit. Formasi Andesit Tua ini
memiliki ketebalan mencapai 500 meter dan mempunyai kedudukan yang tidak selaras di
atas formasi Nanggulan. Batuan penyusun formasi ini berasal dari kegiatan vulaknisme di
daerah tersebut, yaitu dari beberapa gunung api tua di daerah Pegunungan Kulon Progo
yang oleh Van Bemmelen (1949) disebut sebagai Gunung Api Andesit Tua. Gunung api
yang dimaksud adalah Gunung Gajah, di bagian tengah pegunungan, Gunung Ijo di bagian
selatan, serta Gunung Menoreh di bagian utara Pegunungan Kulon Progo.
Litologi dari Formasi Jonggrangan ini tersingkap baik di sekitar desa Jonggrangan,
suatu desa yang ketinggiannya di atas 700 meter dari muka air laut dan disebut sebagai
Plato Jonggrangan. Formasi ini berumur Miosen awal hingga Miosen tengah dengan
ketebalan 250 meter dan diendapkan pada laut dangkal. Bagian bawah dari formasi ini
terdiri dari Konglomerat yang ditumpangi oleh Batunapal tufan dan Batupasir gampingan
dengan sisipan Lignit. Batuan ini semakin ke atas berubah menjadi Batugamping koral
13
(Wartono rahardjo, dkk, 1977). Formasi Jonggrangan ini terletak secara tidak selaras di
atas Formasi Andesit Tua. Ketebalan dari Formasi Jonggrangan ini mencapai sekitar 250
meter (Van Bemmelen, 1949, hal.598), (vide van Bemmelen, 1949, hal.598) menyebutkan
bahwa Formasi Jonggrangan dan Formasi Sentolo keduanya merupakan Formasi Kulon
Progo (“Westopo Beds”).
Formasi ini terletak di bagian tenggara pegunungan Kulon Progo dengan morfologi
perbukitan bergelombang rendah hingga tinggi. Bagian bawah formasi ini tersusun atas
konglomerat yang ditumpangi batupasir gampingan, napal tufan dan sisipan tuf kaca.
Semakin ke atas berubah menjadi Batugamping berlapis dengan fasies Neritik.
Batugamping koral dijumpai secara lokal, menunjukkan umur yang sama dengan formasi
Jonggrangan, tetapi di beberapa tempat umur Formasi Sentolo adalah lebih muda (Harsono
Pringgoprawiro, 1968, hal.9).
14
15 – 20 km. Pada kaki-kaki pegunungan di sekelilingkubah tersebut banyak dijumpai
sesar-sesar yang membentuk pola radial.
Gambar 3.2. Skema blok diagram dome Pegunungan Kulon Progo yang digambarkan Van
Bemmelen (1949).
Pada kaki selatan Gunung Menoreh dijumpai adanya sinklinal dan sebuah sesar
dengan arah barat – timur yang memisahkan Gunung Menoreh dengan Gunung Ijo serta
pada sekitar zona sesar.
15
BAB IV
GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
4.1. Geomorfologi Daerah Penelitian
Dari hasil pengamatan di lapangan dan hasil analisa studio, maka di dapatkan hasil
secara umum geomorfologi daerah telitian berupa daerah bentuk asal struktural, denudasi,
dan fluvial.
16
Dari hasil analisa peta topografi dan pengamatan langsung yang dilakukan di
lapangan. Geomorfologi daerah penelitian dapat dibagi menjadi tiga satuan geomorfik
dengan lima subsatuan geomorfik, yang terdiri dari: Satuan geomorfik asal struktural
dengan subsatuan perbukitan homoklin (S1), Satuan geomorfik asal struktural dengan
subsatuan lereng perbukitan (S2), Satuan geomorfik asal denudasi dengan subsatuan bukit
terisolir (D2), Satuan geomorfik asal denudasi dengan subsatuan dataran (D1) dan Satuan
geomorfik asal fluvial dengan subsatuan Tubuh sungai (F1).
Terbentuk karena adanya proses endogen yang disebut proses tektonik. Proses ini
meliputi pengangkatan, perlipatan, pensesaran, dan kadang disertai oleh intrusi magma
sehingga terbentuk struktur geologi tertentu atau bentuk lahan yang terbentuk karena
kontrol struktur geologi pada daerah tersebut.
17
Perbukitan ini memiliki elevasi dari 250m – 425m dengan pola kontur pada peta
menunjukkan arah kelurusan yang sama. Begitu juga data yang didapatkan di lapangan.
Pada foto terlihat kenampakan searah pada punggungan bukit. Relief yang relatif curam
dengan pola memanjang dengan batuannya berupa breksi. Hal ini menunjukkan tebing –
tebing pada perbukitan ini rawan sekali terjadi longsoran yang bersifat setempat – setempat
saja.
18
4.1.2. Satuan Geomorfik Bentukan Asal Denudasional
DATARAN
19
1.1.2.2. Subsatuan Geomorfik Bentuklahan Bukit Terisolir (D2)
Foto 4.3. Kenampakan morfologi di lapangan yaitu subsatuan geomorfik bentuklahan bukit
terisolir (D2), Kamera menghadap N230°E (Foto oleh Immanuel)
Bukit ini memiliki elevasi dari 200m – 237,5m. Pola kontur pada peta
menunjukkan arah ke segala arah dengan relief yang relatif curam. Hasil pengamatan
menunjukkan litologi berupa breksi andesit yang berukuran butir kerakal – bongkah
dengan tingkat pelapukan yang tinggi, sehingga memperkuat rawan sekali terjadi
longsoran yang bersifat setempat – setempat saja.
20
yang terbawa pada saat hujan datang. Pola bentukan sungai juga berbentuk U ini
menandakan, kalau sungai ini termasuk dalam klasifikasi stadia dewasa.
Pola pengontrol pembentukan pola aliran sungai di suatu daerah berkaitan erat
dengan resistensi batuan, struktur geologi dan stadia geomorfologinya. Oleh karena itu
bedasarkan faktor – faktor tersebut, pola pengaliran daerah penelitian klasifikasi pola dasar
dan pola ubahan dari A.D.Howard (1967). Pola dasar (basic patern) daerah penelitian
bedasarkan klasifikasi A.D.Howard (1967).
21
Gambar 4.1 Pola aliran sungai radial (Howard, 1967) serta peta pola pengaliran daerah
penelitian.
Pola aliran radial menempati bagian utara peta sedangkan bagian selatan tidak
ditemukan adanya cabang sungai yang membentuk pola. Pola ini tercermin dari bentuk
aliran seolah memancar dari satu titik pusat pada peta daerah penelitian. Berdasarkan hasil
batuan berupa breksi andesit. Breksi dengan fragmen batuan beku berupa andesit
menunjukkan resistensi batuan sedang – kuat. Bentukan yang di akibatkan oleh erosi
secara vertikal akibat resistensi batuan yang sedang – kuat menyebabkan bentuk lembah V
Penentuan satuan batuan di daerah penelitian ini berdasarkan kesatuan ciri litologi
yang dominan baik secara horisontal maupun vertikal. Secara stratigrafi regional kesatuan
ciri litologi di daerah penelitian dapat disebandingkan dengan Formasi Nanggulan dan
Formasi Andesit Tua (Rosidi, dkk, 1995). Cara ini mengacu pada penamaan tidak resmi
menurut Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia (1996). Daerah penelitian terdiri atas 5 (lima)
satuan batuan, yaitu dari tua ke muda adalah: Satuan Batupasir Nanggulan, Satuan
Batulempung Nanggulan, Satuan Andesit Kalisonggo, Satuan Breksi Andesit Tua,
Endapan Koluvium.
22
4.2.1. Satuan Batupasir Nanggulan
4.2.1.2. Litologi
Batulempung: berwarna abu – abu, ukuran lempung, terilah baik, kemas tertutup dengan
komposisi fragmen berupa nodul kalsit matrik lempung dan semen silika. Struktur
perlapisan
23
Foto 4.5. Singkapan batulempung dengan fragmen nodul pada LP 20 N222°E (Foto oleh
Immanuel)
Batupasir kuarsa : berwarna abu – abu sampai kekuningan, ukuran butir pasir kasar – pasir
sangat halus, agak menyudut, terpilah baik, kemas terbuka dengan komposisi : fragmen
mineral berupa dominan kuarsa, matrik lempung, semen silika. Struktur sedimen
perlapisan, dan graded bedding.
Foto 4.6. Singkapan batupasir kuarsa pada LP 6, Kamera menghadap N230°E (Foto oleh
Immanuel)
24
Batupasir karbonatan : berwarna coklat sampai kekuningan, ukuran butir pasir sedang –
pasir sangat halus, agak menyudut, terpilah baik, kemas terbuka dengan komposisi :
fragmen mineral, matrik mineral halus , semen karbonatan. Struktur sedimen laminasi dan
perlapisan
Foto 4.7. Singkapan batupasir karbonatan pada LP 32. Kamera menghadap N230°E (Foto
oleh Immanuel)
Singkapan satuan ini dapat ditemukan didekat alur alur liar serta lembah sungai dan
jalan setapak. Satuan batupasir Nanggulan ini menempati bentuklahan perbukitan terkikis.
4.2.1.4. Umur
Singkapan batuan umumnya berupa material pasir, melihat dari komposisi mineral
serta materialnya, satuan batupasir Nanggulan ini merupakan ciri – ciri endapan laut
dangkal. Tetapi secara geologi regional, satuan batupasir Nanggulan ini berada di Formasi
Nanggulan yang berumur berumur Eosen tengah sampai Oligosen akhir, yang
25
terendapakan di paling bawah. Maka dari itu peneliti mengacu kepada peneliti
sebelumnya,bahwa satuan batupasir Nanggulan berumur Eosen tengah sampai Oligosen
awal.
Satuan batupasir Nanggulan memiliki hubungan yang selaras dengan satuan batuan
di atas dengan kontak yang tegas.
Foto 4.8. Kontak antara satuan batupasir Nanggulan (bawah) dengan batulempung
Nanggulan (atas) pada LP 9 Kamera menghadap N308°E (Foto oleh Immanuel)
26
4.2.2. Satuan Batulempung Nanggulan
4.2.2.2. Litologi
Batulempung: berwarna abu – abu, ukuran lempung, terilah baik, kemas tertutup dengan
komposisi fragmen berupa nodul kalsit matrik lempung dan semen silika. Struktur
perlapisan
Foto 4.9. Singkapan batulempung pada LP 8 Kamera menghadap N290°E (Foto oleh
Immanuel)
27
Batulempung karbonan : berwarna hitam, ukuran butir lempung, terpilah baik, kemas
tertutup dengan komposisi berupa lempung, semen karbonan. Struktur sedimen perlapisan.
Foto 4.10. Singkapan batulempung karbonan ditengah dengan roof and floor batulempung
pada LP 12. Kamera menghadap N276°E (Foto oleh Immanuel)
Batulempung karbonatan : berwarna abu-abu keputihan, ukuran butir lempung, terpilah
baik, kemas tertutup dengan komposisi : fragmen fosil cangkang brachiopoda dan moluska
, matrik lempung , semen karbonatan. Struktur sedimen perlapisan
28
Foto 4.11. Singkapan batulempung karbonatan pada LP 13 Kamera menghadap N280°E
(Foto oleh Immanuel)
Singkapan satuan ini dapat ditemukan didekat alur alur liar serta lembah sungai dan
jalan setapak. Satuan batulempung Nanggulan ini menempati bentuklahan perbukitan
terkikis.
4.2.2.4. Umur
Singkapan batuan umumnya berupa material lempung, melihat dari komposisi serta
materialnya, satuan batulempung Nanggulan ini merupakan ciri – ciri endapan laut neritik.
Tetapi secara geologi regional, satuan batulempung Nanggulan ini berada di Formasi
Nanggulan yang berumur berumur Eosen tengah sampai Oligosen akhir, yang
terendapakan di atas satuan batulempung Nanggulan. Maka dari itu peneliti mengacu
kepada peneliti sebelumnya,bahwa satuan batulempung Nanggulan berumur Oligosen awal
- Oligosen akhir.
29
Foto 4.12. Kontak Satuan batulempung Nanggulan dengan satua breksi Andesit Tua pada
LP 48. Kamera menghadap N278°E (Foto oleh Immanuel)
4.2.3.2. Litologi
Satuan Andesit Kalisonggo yang terdiri oleh litologi batu andesit. Satuan ini
memiliki tekstur afanitik dengan struktur columnar joint, versikuler, dan aliran. Memiliki
komposisi mineral dominan plagioklas, hornblend, dan piroksen.
30
Satuan Andesit Kalisonggo dari Formasi Kalisonggo merupakan satuan batuan
yang tersingkap di daerah penelitian, tersebar di bagian Timur Laut dan selatan pada G.
Mujil . Sebaran secara horizontal menempati kurang lebih 2% dari daerah penelitian.
Singkapan satuan ini dapat ditemukan didekat alur alur liar ,lembah sungai, di
bawah jembatan. Satuan andseit Kalisonggo ini menempati bentuklahan perbukitan terkikis
dan Dataran alluvial.
31
Foto 4.13 Intrusi andesit yang menembus formasi Nanggulan pada LP 45. Kamera
menghadap Kamera menghadap N257°E (Foto oleh Immanuel)
Penulisan menamakan satuan litostratigrafi ini sebagai satuan breksi Andesit Tua,
berdasarkan ciri litologi dan penyebarannya.
4.2.4.1. Litologi
Ciri litologi satuan breksi andesit tua yang dominan adalah breksi andesit. Litologi
penyusunnya terdiri dari breksi andesit dengan genesa monomik dan breksi andesit dengan
genesa polimik. Berdasarkan penampang stratigrafi terukur, bagian bawah satuan breksi
andesit tua dicirikan oleh breksi andesit bergenesa polimik dengan fragmen andesit
dominan, btpasir,btlapili matrik lapilli dan mineral serta semen karbonatan, , sedangkan di
bagian atas dicirikan breksi andesit bergenesa monomik dengan fragmen andesit matrik
lapilli serta semen non karbonatan.
32
4.2.4.3. Penyebaran dan morfologi
Satuan breksi andesit tua dari Formasi Andesit Tua merupakan satuan batuan yang
tersingkap di daerah penelitian, tersebar G. Mujil, G. Kembang, dan bagian Barat Daya .
Sebaran secara horizontal menempati kurang lebih 33% dari daerah penelitian. Tebal
satuan breksi Andesit Tua berdasarkan peneliti terdahulu memiliki tebal 500 m.
Singkapan satuan ini dapat ditemukan didekat alur alur liar ,lembah sungai, lereng
bukit. Satuan breksi andesit tua ini menempati bentuklahan perbukitan terkikis,
pegunungan terkikis dan bukit terisolir.
4.2.2.4. Umur
Singkapan batuan umumnya berupa material gunung api, melihat dari komposisi
andesit sebagai fragmen serta material gunung api, satuan breksi Andesit Tua ini
merupakan ciri – ciri endapan gunung api. Tetapi secara geologi regional, satuan breksi
Andesit Tua ini berada di atas Formasi Nanggulan yang berumur berumur Eosen tengah
sampai Oligosen akhir, yang terendapakan pada formasi Andesit Tua berumur Oligosen
akhir – Miosen awal. Maka dari itu peneliti mengacu kepada peneliti sebelumnya,bahwa
satuan breksi Andesit Tua berumur Oligosen akhir – Miosen awal.
Satuan breksi Andesit Tua termasuk ke dalam formasi Andesit Tua. Satuan breksi
Andesit Tua ini terdiri dari material gunung api dengan ukuran bongkah – kerikil fragmen
berupa andesit dan juga ditemukan lapilli pada matriknya. Hal ini menunjukan bahwa
material gunun api mendominasi sehingga satuan ini terendapkan pada lingkungan gunung
api.
Satuan breksi Andesit Tua memiliki hubungan tidak selaras akibat perbedaan umur
yang jauh dan dijumpai bidang erosi dengan endapan Koluvium.
33
Foto 4.14. Singkapan satuan breksi andesit tua dengan endapan koluvium yang berada
diatasnya pada LP 16. Kamera menghadap Kamera menghadap N198°E (Foto oleh
Immanuel)
4.2.5.1. Penamaan
4.2.4.1. Litologi
Endapan koluvium
terdiri dari beragam jenis batuan. Mulai dari material pasir, lempung sampai dominan
berukuran kerakal dan bongkah. Terdiri dari batuan beku dan batuan sedimen.
34
Endapan ini dapat ditemukan didekat alur alur liar ,lembah sungai, jalan
perkampungan. Endapan ini menempati bentuklahan Dataran Alluvial.
4.2.2.4. Umur
Berdasarkan karakter fisiknya endapan ini terlihat dari belum kompaknya material
dan belum terlitifikasi. Selain itu terdapatnya batuan yang berukuran kerakal, dimana
batuan tersebut beragam jenisnya, mulai dari batuan sedimen, sampai batuan beku. Secara
geologi regional, endapan berada di atas formasi Andesit Tua. Maka dari itu peneliti
mengacu kepada peneliti sebelumnya,bahwa endapan koluvium berumur Plistosen hingga
holosen.
Proses sedimentasi endapan koluvium ini masih berlangsung hingga saat ini,
dimana terendapkan pada tubuh sungai dan lereng perbukitan.
Endapan koluvium terendapkan di atas bidang erosi serta tidak selaras akibat
memiliki umur yang berjarak jauh dengan Formasi Andesit Tua.
35
Foto 4.15. Endapan Koluvium pada LP 44. Kamera menghadap Kamera menghadap
N190°E (Foto oleh Immanuel)
36
4.3. Sejarah Geologi Daerah Penelitian
37
BAB V
POTENSI GEOLOGI
5.1. Potensi Positif
Foto 5.1. Singkapan Breksi Andesit. Kamera menghadap N250°E (Foto oleh Immanuel)
Breksi dan bongkah andesit serta batu andesit yang terdapat pada daerah telitian
dapat dimanfaatkan dengan baik oleh penduduk sekitar. Karena keterdapatnya sangat
mudah. Batu batu tersebut dimanfaatkan sebagai pondasi bangunan dan jembatan Karena
memiliki resistensi batuan yang kuat. Serta banyak nya endapan pada butuh sungai
memiliki potensi bahan galian C.
38
5.2. Potensi Negatif
Foto 5.2. Pergeseran selokan akibat gerakan massa hingga berpontensi longsor. Kamera
menghadap N350°E (Foto oleh Dihta)
Potensi negatif pada daerah telitian berupa potensi gerakan tanah hingga longsor.
hal ini disebabkan oleh basement Formasi Nanggulan berupa batulempung yang gampang
mengembang.
39
BAB VI
KESIMPULAN
1. Pada analisa interpretasi peta topografi dalam pembagian bentuklahan berdasarkan
aspek-aspek geomorfologi, dibagi menjadi lima bentuklahan yaitu Satuan geomorfik
asal struktural dengan subsatuan perbukitan homoklin (S1), Satuan geomorfik asal
struktural dengan subsatuan lereng perbukitan (S2), Satuan geomorfik asal denudasi
dengan subsatuan bukit terisolir (D2), Satuan geomorfik asal denudasi dengan
subsatuan dataran (D1) dan Satuan geomorfik asal fluvial dengan subsatuan Tubuh
sungai (F1). Analisa interpretasi ini dapat mendukung pengamatan di lapangan, seperti
aspek stratigrafi yang ada di daerah penelitian. Bentuklahan perbukitan homoklin
merupakan kelurusan yang serah. Secara morfostruktur pasif bentuklahan yang ada di
daerah penelitian tersusun oleh breksi andesit, batuan sedimen klastik batupasir –
batulempung menunjukkan stratigrafi di daerah penelitian
2. Stratigrafi daerah penelitian dibagi berdasarkan ciri dominan secara vertikal dan
horizontal yang mengacu dan mendukung stratigrafi regional daerah penelitian.
Litologi dominan di daerah penelitian dari tua ke muda terdiri dari satuan batupasir
Nanggulan, satuan batulempung Nanggulan, satuan andesit Kalisonggo, breksi Andesit
Tua dan endapan koluvium. Ciri dominan tersebut dapat disebandingkan dengan
Formasi Nanggulan yang tersusun oleh batupasir dan batulempung, Formasi
Kalisonggo berupa batu andesit ,dan breksi andesit disebandingkan dengan Formasi
Andesit Tua.
3. Daerah penelitian memiliki potensi positif berupa bahan bangunan serta potensi bahan
galian C dan potensi negatif berupa daerah rawan longsor.
40
DAFTAR PUSTAKA
Bemmelen, R.W., 1949. Geology of Indonesia. vol. IA, Martinus Nijhoff, the Hague,
Harjanto, A., 2011. Vulkanostratigrafi di daerah Kulon Progo dan sekitarnya, Daerah
Istimewa Yogyakarta. Jurnal MTG, Vol.4 No.2, UPN VETERAN Yogyakarta.
Hartono, G., dkk, 2016. Gunung Api Purba Mujil, Kulon Progo, Yogyakarta : Suatu
Bukti dan Pemikiran. Teknik Geologi STTNAS. Yogyakarta.
41
42