You are on page 1of 39

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Saat ini bidang Ilmu geologi mulai memiliki peranan sangat penting
dikalangan masyarakat, khususnya informasi mengenai kondisi geologi yang
berkembang di daerah tersebut. Dari perkembangan dan kemajuan ilmu ini akan
mendorong para ahli untuk melakukan penelitian secara regional. Oleh sebab itu
masih diperlukan suatu penelitian yang lebih detail guna melengkapi data geologi
yang telah ada mencakup kondisi geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi serta
aspek geologi teraplikasi lainnya.
Pemetaan adalah kegiatan pengambilan data geologi selengkap mungkin
yang terdapat dilapangan. Data yang diambil dilapangan meliputi data pengukuran
Strike/Dip , litologi, pengukuran plunge/trench dan pitch untuk struktur (sesar,
kekar, lipatan), stratigrafi dan pengamatan geomorfologi. Berdasarkan data
tersebut, maka dapat diplot didalam peta geologi dan peta geomorfologi, sehingga
dapat menentukan dan mendapatkan batas satuan batuan pada peta geologi dan
satuan morfologi pada peta geomorfologi.
Peta geologi adalah peta yang memberikan gambaran mengenai seluruh
penyebaran dan susunan dari lapisan-lapisan batuan dengan memakai warna atau
symbol, sedangkan tanda-tanda yang terlihat di dalamnya dapat memberikan
pencerminan dalam tiga dimensi mengenai susunan batuan di bawah permukaan.
Petageomorfologi adalah peta yang memberikan gambaran mengenai morfologi
saat ini sehingga dapat dijadikan sebagai sarana interpretasi awal yang mencakup
pola kelurusan, pola sungai dan zona longsoran dari suatu kawasan.

Proposal Praktek Kerja Lapangan Page 1


Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan yang utama pada kegiatan PKL ini adalah sebagai
syarat untuk menyelesaikan program studi strata satu (S1) di Teknik Geologi
Universitas Jenderal Soedirman.
Adapun maksud dari penelitian ini adalah pembuatan peta lintasan dengan
skala 1 : 25.000, peta geomorfologi dengan skala 1 : 25.000, peta geologi dengan
skala 1 : 25.000 dan pembuatan kolom stratigrafi dari data yang didapat atau
diambil dilapangan.
Tujuan penelitian secara umum adalah untuk menentukan dan mengetahui
daerah penelitian dengan merekontruksi sejarah pembentukan atau sejarah
geomorfologi, merekonstruksi sejarah tektonik dalam ruang dan waktu,
merekonstruksi sejarah geologi berdasarkan analisis mikropaleontologi.

3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian masuk ke dalam peta geologi regional lembar
Purwokerto-Purbalingga. Lokasi penelitian berada didaerah Tlahab lor dan
sekitarnya, Kecamatan Karangreja, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Pada
peta daerah penelitian ditandai dengan kotak berwarna hitam. Posisi geografis
daerah ini UTM WGS 84 X: 312830–315844 E dan Y: 9197440–9200412
N.Daerah penelitian memiliki luas ± 9 km2 (3 X 3 km) meliputi : Desa Cumbut,
Desa Panariban, Desa Tlahab lor kulon
Daerah penelitian dapat dicapai dengan alat transportasi darat ( Sepeda
Motor ). Waktu yang ditepuh dari kampus Purbalingga hingga daerah Kecamatan
Karangreja adalah ±40 menit dengan jarak tempuh ± 17.4 km

Proposal Praktek Kerja Lapangan Page 2


Gambar 1.1 Peta geologi regional daerah penelitian (diambil dari Peta Geologi Lembar
Purwokerto-Purbalingga, Jawa. Oleh M.Djuri, H.Samodra, T.C. Amin & S.Gafoer)

Proposal Praktek Kerja Lapangan Page 3


Gambar 1.2 Lokasi Kapling Daerah Penelitian berdasarkan Peta Jawa Tengah dan SRTM.

4. Batasan Masalah
Bahasan utama penelitian ini adalah menyangkut tentang pemetaan
geologi umum daerah penelitian. Dengan demikian penelitian ini diberi judul
“Pemetaan Geologi Daerah Tlahab lor Dan Sekitarnya Kecamatan Karangreja
Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah”.

5. Hasil yang Diharapkan


Dengan melakukan pemetaan geologi didaerah Tlahab Lor dan sekitarnya,
peneliti berharap dapat mengetahui lingkungan pengendapan serta umur dari
Formasi– Formasi yang terdapat di daerah penelitian, yang semuanya itu dapat
diketahui dengan analisis laboratorium (mikropaleontologi dan petrografi). Selain
itu, dari hasil-hasil analisis tersebut kita dapat menceritakan sejarah geologi
pembentukan daerah Tlahab Lor dan sekitarnya.

Proposal Praktek Kerja Lapangan Page 4


BAB II
GEOLOGI REGIONAL

1. Fisiografi Regional

Lokasi Penelitian

Gambar 2.1Fisiografi Jawa Tengah-Jawa Timur (Van Bemmelen, 1949)

Secara fisiografis Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Tengah


dengan enam satuan (Gambar 2.1 ), yaitu Satuan Gunungapi Kuarter, Dataran
Aluvial Jawa Utara, Antiklinorium Bogor-Serayu Utara-Kendeng, Depresi Jawa
Tengah, Pegunungan Serayu Selatan, Pegunungan Selatan.

 Dataran pantai Utara


Di Jawa Tengah, zona ini mempunyai lebar maksimum 40 km di Selatan
Brebes. Lembah Pemali ini memisahkan zona Bogor (Bogor Range) dari Jawa
Barat dengan Pegunungan Utara dari Jawa Tengah. Ke arah Timur dataran pantai
ini makin menyempit + 20 km di sebelah Selatan Purbalingga dan kemudian
menghilang seluruhnya di sebelah Timur Pekalongan. Dataran tinggi merupakan
dataran yang ditumbuhi gunungapi Kuarter yang sebagian menjorok ke laut.
Antara Weleri dan Kaliwungu, dataran ini muncul kembali, dibentuk oleh
hamparan endapan aluvial dari sungai Bodri yang mengalami pertumbuhan maju
ke arah Laut Jawa.
 Pegunungan Serayu Utara
Zona ini menempati bagian utara Jawa tengah dan membentuk rantai
penghubung antara zona Bogor di Jawa Barat dengan Pegunungan Kendeng di

Proposal Praktek Kerja Lapangan Page 5


Jawa Timur. Di bagian Barat dibatasi oleh Gunung Slamet (3429 m) dan bagian
Timur tertutup oleh hasil endapan vulkanik muda dari Gunung Regojembang
(2177 m), Komplek Dieng (Gunung Prahu, 2566 m) dan Gunung Ungaran (2050
m). Garis batas dengan zona Bogor adalah Prupuk-Bumiayu-Ajibarang.
 Zona Depresi Sentral
Zona ini menempati bagian tengah dari Jawa Tengah dan dikenal dengan
nama Lembah Serayu. Lembah ini memisahkan antara Pegunungan Serayu Utara
dengan Pegunungan Serayu Selatan. Penyebaran zona ini mulai dari Majenang,
Ajibarang, Purwokerto, Banjarnegara dan Wonosobo.
 Pegunungan Serayu Selatan
Zona ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian Barat dan Timur. Bagian
Barat merupakan akibat dari pengangkatan yang sekarang merupakan zona
depresi Bandung dari Jawa Barat atau sebagai struktur baru yang terdapat di Jawa
Tengah, sedangkan di bagian Timur merupakan Pegunungan Serayu Selatan yang
membentuk antiklin. Bagian Barat dengan bagian Timur dipisahkan oleh Lembah
Jatilawang, yang dimulai dekat Ajibarang. Antiklin ini menjadi sempit dan
dipotong oleh sungai Serayu yang melintang dengan arah Utara-Selatan. Sebelah
timur dari Banyumas, antiklin ini berkembang ke arah Timur, membentuk
antiklinorium yang mencapai lebar hingga 30 km.
 Dataran Pantai Jawa Tengah Selatan
Zona ini mempunyai lebar 10 – 25 km. Wilayah ini membentuk morfologi
yang sangat berbeda bila dibandingkan dengan pantai selatan dari Jawa Barat dan
Jawa Timur yang merupakan wilayah berbukit. Jalur dataran ini mirip dengan
zona Bandung dari Jawa Barat. Pada bagian tengah jalur ini terganggu oleh
adanya pegunungan Karang Bolong yang secara fisiografis dan strukturil sama
atau mirip dengan pegunungan Selatan dari Jawa Barat dan Jawa Timur.
Berdasarkan pembagian fisiografi diatas, daerah penelitian termasuk ke
dalam Zona Pegunungan Serayu Utara (Van Bemmelen, 1949) yang mana daerah
ini didominasi oleh bentukan morfologi perbukitan.

Proposal Praktek Kerja Lapangan Page 6


2. Stratigrafi Regional

Stratigrafi daerah ini tersusun oleh batuan yang berumur dari tersier
hingga kuarter atau susunan formasi dari tua ke muda , yang terdiri dari Formasi
pemali, Formasi Rambatan, Formasi Halang, Formasi Kumbang, Formasi Tapak,
Formasi Kalibiuk, Formasi Kaligagah, Formasi Ligung, Formasi Mengger,
Formasi Gintung, Formasi Linggopodo, Batuan Gunungapi Slamet tak-terurai.
(Gambar 2.2).

Lokasi Pengamatan

Gambar 2.2 Kolom Stratigrafi Regional daerah penelitian(diambil dari Peta Geologi Lembar
Majenang, Jawa oleh Kastowo dan N. Suwarna,1996)

Proposal Praktek Kerja Lapangan Page 7


 Formasi Pemali

Lokasi Tipe Formasi Pemali terletak di Sungai Cibabakan, dekat Kali


Pemali di daerah Bumiayu. Van Bemmelen (1949) mengkorelasikan formasi ini
dengan Formasi Merawu di Daerah Karangkobar.
Formasi Pemali tersusun atas napal-globigerina berwarna biru keabu-
abuan dan hijau keabu-abuan. Kadang terdapat sisipan batugamping pasiran
berwarna abu-abu kebiruan, batupasir tufaan dan lensa-lensa batupasir kasar.
Perlapisan umumnya kurang baik.
Kandungan foraminifera menunjukkan umur Miosen Tengah (menurut
Marshak,1957), sedangkan menurut Kastowo dan Sunaryo (1996) menyebutnya
umur dari formasi ini adalah Miosen Awal. Tebal formasi ini mencapai 900 meter.

 Formasi Rambatan

Nama Formasi Rambatan ini pertama kali ditemukan oleh Sumarso 1974,
op.cit. Kartanegara et al., 1978, Van Bemmelen menyebutnya Rambatan Belt,
sedangkan Ter Haar 1934, menamakan satuan ini sebagai Rambatan Serie. Lokasi
tipe satuan ini berada di Kali Rambatan dekat Cikeusal.
Formasi Rambatan bagian bawah tersusun atas batupasir gampingan dan
konglomerat berselang-seling dengan lapisan tipis napal dan serpih. Sedangkan
bagian atas tersusun atas batupasir gampingan berwarna abu-abu muda sampai
biru keabu-abuan. (menurut Kastowo dan Suwarna, 1996).
Mengenai umur dari formasi ini masih terdapat perbedaan antara para
peneliti terdahulu. Kandungan Foraminifera besar menunjukan umur Miosen
Tengah, sedangkan foraminifera plankton menunjukkan umur Miosen Akhir-
Pliosen Awal. Tebal dari Formasi Rambatan ini berbeda disetiap tempat dari 400-
900 m.

 Formasi Halang

Nama Formasi pertama kali ditemukan oleh Sumarso (1974, dalam


Kartanegara, 1978, sedangkan Ter Haar 1934 dalam Marks, 1957 menyebutnya
Halang Serie. Lokasi tipe dari formasi ini terletak di Sungai Cikabuyutan yang
melewati Geger Halang – Malahayu.

Proposal Praktek Kerja Lapangan Page 8


Formasi Halang merupakan jenis endapan sedimen turbiditik pada zona
Bathyal atas (menurut Kastowo dan Suwarna, 1996). Struktur sedimen yang
terlihat jelas, antara lain berupa perlapisan bersusun, convolute lamination, flute
cat, dan sebagainya. Litologinya tersusun atas batupasir tufaan, konglomerat,
napal dan batulempung yang berselang-seling dan beerlapis baik. Batupasir pada
umumnya bersifat wacke dengan fragmen batuan andesitic. Dibagian bawah dari
satuan terdapat breksi dengan susunan fragmen andesit. Di beberapa tempat
dibagian atas formasi terdapat batugamping terumbu (menurut Marks, 1957).
Di Bantarkawung, kandungan foraminifera menujukan umur Miosen Atas,
sedangkan di dekat Majenang, foraminifera menunjukkan umur Miosen Tengah
(menurut Maks,1957). Ketebalan formasi ini beragam dari 390-2600 m.

 Formasi Kumbang

Lokasi tipe dari formasi ini terletak pada hulu Sungai Babakan di dekat
Gunung Kumbang. Formasi ini merupakan hasil endapan yang khas dari produk
gunungapi Pliosen (menurut Marks, 1957). Tetapi menurut Van Bemmelen (1949)
menyebuttnya Miosen Akhir, sedangkan menurut Kastowo dan Suwarna (1996)
menyatakan bahwa umur dari formasi ini Miosen Tengah-Pliosen Awal.
Formasi Kumbang tersusun atas breksi gunungapi yang bersifat andesitis,
massif dan berlapis buruk dengan fragmen yang umumnya menyudut. Terdapat
juga aliran lava dan retas andesit, tufa, tufa pasiran dan batupasir tufaan yang
berlapis, konglomerat dan sisipan tipis magnetit. Sebagian breksi mengalami
propilitisasi.
Ketebalan maksimum dari formasi ini adalah 750 -2000 m dan menipis
kearah timur. Menurut Darman (1991) bahwa formasi ini di endapkan di bagian
atas dari kipas bawah laut (upper fan) dengan mekanisme turbiditik.

 Formasi Tapak

Lokasi tipe dari formasi ini terletak di Gunung Tapak, 12 km NNE dari
Bantarkawung. Formasi Tapak tersusun oleh batulempung gampingan secara
dominan, kadang-kadang napal tidak berlapis, atau batugamping dengan sisipan

Proposal Praktek Kerja Lapangan Page 9


batupasir. Sering dijumpai pecahan-pecahan cangkang moluska yang merupakan
ciri khas dari formasi ini (menurut Kartanegara, 1987).
Satuan ini juga tersusun oleh batupasir kasar kehijauan pada bagian bawah
yang berangsur-angsur berubah menjadi batupasir lebih menghalus kehijauan kea
rah atas dengan sisipan berupa napal berwarna kelabu sampai kekuningan
(menurut Kastowo dan Suwarna, 1996). Setempat dijumpai batugamping terumbu
(menurut Marks, 1957).

 Formasi Kalibiuk

Formasi Kalibiuk tersusun atas batulempung dan napal kebiruan dengan


kandungan fosil. Pada bagian tengah ditemukan sisipan lensa-lensa batupasir
kehijauan dengan kandungan moluska yang melimpah. Kelompok moluska
tersebut mengindikasikan tidal zone facies yang berumur Pliosen. Menurut Marks
(1957) menjelaskan bahwa umur dari formasi ini adalah bagian bawah Pliosen
Atas, atau bagian atas Pliosen Bawah.
Formasi ini memiliki ketebalan 2500m (Kastowo dan Suwarna, 1996).
Formasi Kalibiuk dapat dikoreasikan dengan Formasi Cijulang dibagian barat atau
dengan Bodas Series di bagian timur (menurut Marks, 1957).

 Formasi Kaliglagah

Formasi Kaliglagah tersusun atas batupasir kasar dengan sisipan


konglomerat, batulempung dan napal. Setempat ditemukan lapisan lignit dengan
ketebalan 0,6 – 1,0 m. batupasir pada umumnya menunjukan struktur sedimen
berupa silang siur dengan mengandung beberapa lapisan tipis batubara muda
(lignit). Pada formasi ini ditemukan fosil mamalia dan moluska air tawar yang
mengindikasikan bahwa umur dari formasi ini adalah Pliosen Akhir.
Pada bagian bawah tersusun atas batulempung hitam, napal kehijauan dan
batupasir bersusun andesit dan konglomerat. Pada umumnya batupasir
menunjukkan struktur sedimen berupa silang siur dengan beberapa lapisan
batubara muda (lignit). Tebal diperkirakan mencapai 350 meter (menurut
Kastowo dan Suwarna, 1996).

Proposal Praktek Kerja Lapangan Page 10


 Anggota Lempung Formasi Ligung
Batulempung tufan, batupasir tufan berlapis silangsiur dan konglomerat,
setempat sisa tumbuhan dan batubara muda yang menunjukkan bahwa anggita
yang diendapkan di lingkungan bukan laut, sebelumnya disebut anggota bawah
Formasi Ligung (Van Bemmelen, 1937).
 Formasi Ligung
Aglomerat andesit, breksi dan tuf kelabu di beberapa tempat. Sebelumnya
dinamakan Anggota Atas Formasi Ligung (Van Bemelen, 1937).
 Formasi Mengger

Lokasi tipe satuan ini berada di Gunung Mengger, 10 km arah NNW dari
Bumiayu, singkapan terbaik terdapat di Desa Cisaat. Formasi Mengger tersusun
atas tufa abu-abu muda dan batupasir tufaan dengan sisipan konglomerat dan
lapisan tipis magnetit. Pada formasi ini juga ditemukan fosil mamalia yang
termasuk kategori Upper Vertebrate Zone yang menunjukan umur Pliestosen
Awal. Ketebalan dari formasi ini diperkirakan mencapai 150m (menurut Marks,
1957).

 Formasi Gintung

Formasi Gintung tersusun atas perselingan konglomerat bersusun andesit


dan batupasir kelabu kehijauan, batulempung pasiran dan batulempung. Formasi
ini juga dicirikan dengan hadirnya konkresi batupasir karbonatan dan napal. Pada
bagian atas dijumpai perselingan tufa.
Sepanjang Kaligintung, tebal dari formasi ini mencapai 800 meter.
Formasi iini berada di atas Upper Vertebrate Zone (Formasi Mengger), sehingga
diperkirakan bahwa umur dari satuan ini Plistosen Awal-Akhir (menurut Marks,
1957).

 Formasi Linggopodo

Formasi Linggopodo ini merupakan produk gunungapi, tersusun atas


breksi tufa dan lahar yang berasal dari Gunung Slamet Tua dan Gunung Copet
(menurut Van Bemmelen, 1949). Formasi ini menindih secara tidak selaras
formasi yang berada dibawahnya, serta ditutupi oleh produk Gunung Slamet

Proposal Praktek Kerja Lapangan Page 11


Muda. Komposisi dari formasi ini secara umum dapat disetarakan dengan Formasi
Kumbang. Oleh karena itu, diperkirakan keduanya berasal dari produk gunungapi
yang sama atau setipe dengan waktu yang berbeda. Lokasi tipe dari satuan ini
berada di Gunung Linggopodo.

 Batuan Gunungapi Slamet Tak-Terurai


Breksi gunungapi, lava dan tuf, sebarannya membentuk dataran dan
perbukitan.

3. Struktur Geologi Regional


Proses tektonik yang terjadi di Pulau Jawa sangat dipengaruhi oleh
subduksi lempeng Indo-Australia ke bawah lempeng Mikro Sunda. Berdasarkan
berbagai macam data (data foto udara, penelitian lapangan, citra satelit, data
magnetik, data gaya berat, data seismik, dan data pemboran migas) dapat
disimpulkan bahwa pada dasarnya di pulau Jawa ada 3 (tiga) arah kelurusan
struktur dominan yaitu pola Meratus, pola Sunda, dan pola Jawa.
 Pola Meratus
Pola Meratus di bagian barat terekspresikan pada Sesar Cimandiri,
dibagian tengah terekspresikan dari pola penyebarab singkapan batuan pra-
Tersier di daerah Karang Sambung. Sedangkan di bagian timur
ditunjukkanvoleh sesar pembatas Cekungan Pati, “Florence” timur, “Central
Deep”. Cekungan Tuban dan juga tercermin dari pola konfigurasi Tinggian
Karimun Jawa, Tinggian Bawean dan Tinggian Masalembo. Pola Meratus
tampak lebih dominan terekspresikan di bagian timur dengan arah Timurlaut-
Baratdaya ( NE-SW ).Pola struktur dengan arah Meratus ini merupakan pola
dominan yang berkembang di Pulau Jawa (Pulunggono dan Martodjojo, 1994)
terbentuk pada 80 sampai 53 juta tahun yang lalu (Kapur Akhir-Eosen Awal)
 Pola Sunda
Pola Sunda berarah Utara-Selatan, di bagian barat tampak lebih dominan
sementara perkembangan ke arah timur tidak terekspresikan. Ekspresi yang
mencerminkan pola ini adalah pola sesar-sesar pembatas Cekungan Asri,
Cekungan Sunda dan Cekungan Arjuna. Pola Sunda pada Umumnya berupa

Proposal Praktek Kerja Lapangan Page 12


struktur regangan. Pola Sunda berarah utara-selatan (N-S) terbentuk 53
sampai 32 juta tahun yang lalu (Eosen Awal-Oligosen Awal).
 Pola Jawa
Pola Jawa di bagian barat pola ini diwakili oleh sesar-sesar naik seperti
sesar Beribis dan sear-sear dalam Cekungan Bogor. Di bagian tengah tampak
pola dari sesar-sesar yang terdapat pada zona Serayu Utara dan Serayu
Selatan. Di bagian Timur ditunjukkan oleh arah Sesar Pegunungan Kendeng
yang berupa sesar naik. Pola Jawa berarah barat-timur (E-W) terbentuk sejak
32 juta tahun yang lalu
Dari data stratigrafi dan tektonik diketahui bahwa pola Meratus
merupakan pola yang paling tua. Sesar-sesar yang termasuk dalam pola ini
berumur Kapur sampai Paleosen dan tersebar dalam jalur Tinggian Karimun Jawa
menerus melalui Karang Sambung hingga di daerah Cimandiri Jawa Barat. Sesar
ini teraktifkan kembali oleh aktivitas tektonik yang lebih muda. Pola Sunda lebih
muda dari pola Meratus. Data seismik menunjukkan Pola Sunda telah
mengaktifkan kembali sesar-sesar yang berpola Meratus pada Eosen Akhir hingga
Oligosen Akhir. Pola Jawa menunjukkan pola termuda dan mengaktifkan kembali
seluruh pola yang telah ada sebelumnya (Pulunggono, 1994). Data seismic
menunjukkan bahwa pola sesar naik dengan arah barat-timur masih aktif hingga
sekarang.

Gambar 2.3 Pola struktur geologi Pulau Jawa (Van Bemmelen, 1949 dalam
Pulunggonodan Martodjojo, 1994)

Proposal Praktek Kerja Lapangan Page 13


Gambar 2.4 Pola Struktur regional Pulau Jawa

2.1.Dasar Teori
Dasar Teori adalah dasar pemikiran dan hipotesis dalam menganalisis
laporan Praktik Kerja Lapangan.

2.1.1. Analisis Geomorfologi


Analisis geomorfologi mencakup beberapa analisis yaitu, analisis
morfografi, analisis morfometri, dan analisis morfogenetik.
1. Morfografi
Morfografi adalah gambaran bentuk permukaan bumi. Aspek
morfografi dilakukan dengan cara menganalisis peta topografi. Sedangkan
perubahan pola punggungan dan pola aliran bisa mengidentifikasikan
kegiatan tektonik. Sungai dapat dibagi berdasarkan tingkatan orde sungai
tersebut.

Proposal Praktek Kerja Lapangan Page 14


Gambar 2.3 Tipe pola pengaliran dasar (Howard, 1967 dalam Van Zuidam, R.A. 1985)

Gambar 2.4 Tipe pola pengaliran dasar (Howard, 1967 dalam Van Zuidam, R.A. 1985)

Tabel 2.1 Tipe pola pengaliran modifikasi (Howard, 1967 dalam Van Zuidam, R.A. 1985)
Pola
Pengaliran Karakteristik
Dasar
Perlapisan batuan sedimen relatif datar atau paket batuan
kristalin yang tidak seragam dan memiliki ketahanan terhadap
Dendritik pelapukan. Secara regional, daerah aliran memiliki kemiringan
landai, jenis pola pengaliran membentuk percabangan menyebar
seperti pohon rindang.
Pada umumnya menunjukkan daerah yang berlereng sedang
Paralel sampai agak curam dan dapat ditemukan pula pada daerah

Proposal Praktek Kerja Lapangan Page 15


bentuk lahan perbukitan yang memanjang. Sering terjadi pola
peralihan antara pola dendritik dengan parallel atau trellis.

Batuan sedimen yang memiliki kemiringan perlapisan (dip) atau


terlipat, batuan vulkanik atau batuan metasedimen derajat
Trellis rendah dengan perbedaan pelapukan yang jelas. Jenis pola
pengaliran biasanya berhadapan pada sisi sepanjang aliran
subsekuen.
Kekar/ atau sesar yang memiliki sudut kemiringan, tidak
Rektangular memiliki perulangan lapisan batuan, dan sering memperlihatkan
pola pengaliran yang tidak menerus.
Daerah vulkanik, kerucut (kubah) intrusi dan sisa-sisa erosi.
Radial Pola pengaliran radial pada daerah vulkanik disebut sebagai
pola pengaliran multi radial.
Struktur kubah/ kerucut, cekungan, dan kemungkinan retas
Anular
(stocks).
Endapan berupa gumuk hasil longsoran dengan perbedaan
Multibasinal penggerusan atau perataan batuan dasar. Merupakan daerah
gerakan tanah, vulkanisme, pelarutan batugamping, dan lelehan
salju (permafrost).

2. Morfometri
Morfometri merupakan penilaian kuantitatif dari bentuk lahan
sebagai aspek pendukung dari morfografi dan morfogenetik sehinga
klasifikasi kualitatif akan semakin tegas dengan angka-angka yang jelas.
Variasi nilai kemiringan lereng yang diperoleh kemudian dikelompokkan
berdasarkan klasifikasi kemiringan lereng menurut Van Zuidam (1985).
Teknik perhitungan kemiringan lerengnya dapat dilakukan dengan
menggunakan teknik grid cell berukuran 2x2 cm pada peta topografi skala

Proposal Praktek Kerja Lapangan Page 16


1:25.000. Kemudian setiap kisi ditarik tegak lurus kontur dan dihitung
kemiringan lerengnya dengan menggunakan persamaan berikut:

Dimana,
n = jumlah kontur yang memotong diagonal jaring
Ci = interval kontur (meter)
D = diagonal grid, Skala 1 : 25.000
Tabel 2.2 Hubungan kelas lereng dengan sifat - sifat proses dan kondisi lahan disertai simbol
warna yang disarankan (Van Zuidam, 1985)
Simbol
Kelas
Proses, Karakteristik dan Kondisi lahan warna yang
Lereng
disarankan
00 - 20 Datar atau hampi datar, tidak ada erosi yang besar,
(0 - 2 %) dapat diolah dengan mudah dalam kondisi kering. Hijau tua

20 - 40 Lahan memiliki kemiringan lereng landai, bila


(2 - 7 %) terjadi longsor bergerak dengan kecepatan rendah,
pengikisan dan erosi akan meninggalkan bekas Hijau Muda
yang sangat dalam.
40 - 80 Lahan memiliki kemiringan lereng landai sampai
(7 - 15 curam, bila terjadi longsor bergerak dengan
%) kecepatan rendah, sangat rawan terhadap erosi. Kuning
Muda
80 - 160 Lahan memiliki kemiringan lereng agak curam,
(15 - 30 rawan terhadap bahaya longsor, erosi permukaan Kuning Tua
%) dan erosi alur.
160 - 350 Lahan memiliki kemiringan lereng yang curam,

Proposal Praktek Kerja Lapangan Page 17


(30 - 70 sering terjadi erosi dan gerakan tanah dengan
%) kecepatan yang perlahan - lahan. Daerah rawan Merah Muda
erosi dan longsor
350 - 550 Lahan memiliki kemiringan lereng yang terjal,
(70 - 140 sering ditemukan singkapan batuan, rawan terhadap Merah Tua
%) erosi.
> 550 Lahan memiliki kemiringan lereng yang terjal,
( > 140% singkapan batuan muncul di permukaan, rawan Ungu Tua
) tergadap longsor batuan.

Tabel 2.1 Pembagian kemiringan lereng berdasarkan klasifikasi USSSM dan USLE
Kemiringa Klasifikasi Klasifikasi
Kemiringa
n Keterangan USSSM* USLE*
n lereng (°)
lereng (%) (%) (%)
Datar –
<1 0–2 0–2 1-2
hampir datar
Sangat
1–3 3–7 2–6 2-7
landai
3–6 8 – 13 Landai 6 – 13 7 - 12
6–9 14 – 20 Agak curam 13 – 25 12 - 18
9 – 25 21 – 55 Curam 25 – 55 18 - 24
Sangat
25 – 26 56 – 140 > 55 > 24
curam
> 65 > 140 Terjal
*USSSM = United Stated Soil System Management
USLE = Universal Soil Loss Equation

Proposal Praktek Kerja Lapangan Page 18


3. Morfogenetik
Morfogenetik merupakan proses terbentuknya permukaan bumi.
Proses yang berkembang terhadap pembentukan permukaan bumi tersebut
yaitu proses eksogen dan proses endogen. Pada pembagian klasifikasi
bentuk muka bumi terdapat beberapa kriteria yaitu secara umum dibagi
berdasarkan satuan bentang alam yang dibentuk akibat proses-proses
endogen/struktur geologi (pegunungan lipatan, pegunungan
plateau/lapisan datar, pegunungan sesar, dan gunungapi) dan proses-proses
eksogen (pegunungan karst, dataran sungai dan danau, dataran pantai,
delta, dan laut, gurun, dan glasial), yang kemudian dibagi ke dalam satuan
bentuk muka bumi lebih detil yang dipengaruhi oleh proses-proses
eksogen. Dalam satuan pegunungan akibat proses endogen, termasuk di
dalamnya adalah lembah dan dataran yang bisa dibentuk baik oleh proses
endogen maupun oleh proses eksogen. Pembagian lembah dan bukit
adalah batas atau titik belok dari bentuk gelombang sinusoidal ideal.
Dalam geomorfologi, banyak peneliti mengacu pada Amerika yang
mengikuti prinsip-prinsip Davisian tentang siklus geomorfologi. Prinsip
ini kemudian dijabarkan oleh Lobeck (1939) dengan suatu klasifikasi
bentang alam dan bentuk muka bumi yang dikontrol oleh tiga parameter
utama, yaitu struktur (struktur geologi, proses geologi endogen yang
bersifat konstruksional/membangun), proses eksogen (proses yang bersifat
destruksional/merusak atau denudasional), dan tahapan (yang kadangkala
ditafsirkan sebagai “umur” tetapi sebenarnya adalah respon batuan
terhadap proses eksogen, semakin tinggi responnya, semakin dewasa
tahapannya).Selain kegiatan tektonik, proses kegiatan magma dan
gunungapi (vulkanik) sangat berperan merubah bentuk permukaan bumi,
sehingga membentuk perbukitan intrusi dan gunungapi.

Proposal Praktek Kerja Lapangan Page 19


Gambar 2.5 Pembagian lembah dan bukit dan Penamaan bentuk muka bumi (Budi
Brahmantyo dan Bandono, 2006)

Tabel 2.4 Warna yang disarankan didasarkan pada morfogenesanya (Van Zuidam, 1985)

Morfogenesa Simbol warna yang disarankan


Struktural Ungu
Volkanik Merah
Denudasional Coklat
Laut Hijau
Fluvial Biru Tua
Glacial Biru Muda
Aeolian Kuning
Karst Orange

Proposal Praktek Kerja Lapangan Page 20


2.1.2. Analisis Mikropaleontologi
Menurut Murray (2006) foraminifera memberikan data umur
relatif batuan sedimen laut. Ada beberapa alasan bahwa fosil foraminifera
adalah mikrofosil yang sangat berharga khususnya untuk menentukan
umur relatif lapisan-lapisan batuan sedimen laut. Data penelitian
menunjukkan foraminifera ada di bumi sejak jaman Kambrium, lebih
dari 500 juta tahun yang lalu. Foraminifera mengalami perkembangan
secara terus-menerus, dengan demikian spesies yang berbeda diketemukan
pada waktu (umur) yang berbeda-beda. Foraminifera mempunyai
populasi yang melimpah dan penyebaran horizontal yang luas, sehingga
diketemukan di semua lingkungan laut.
Analisis biostratigrafi dilakukan untuk mengetahui umur
dan lingkungan pengendapan batupasir dan batulempung daerah
penelitian. Penentuan umur relatif batuan sedimen daerah penelitian
dilakukan dengan menggunakan zona selang, dimana kehadiran organisme
penunjuk digunakan sebagai batas kisaran umur relatif sebagaimana yang
tercantum dalam Sandi Stratigrafi Indonesia (1996, Pasal 38):
1. Zona Selang ialah selang stratigrafi antara pemunculan awal/akhir dari
dua takson penciri.
2. Kegunaan Zona Selang pada umumnya ialah untuk korelasi tubuh
satuan batuan.
3. Batas atas atau bawah suatu Zona Selang ditentukan oleh pemunculan
awal atau akhir dari takson – takson penciri.
Nama Zona Selang diambil dari nama-nama takson penciri
yang merupakan batas atas dan bawah zona tersebut. Kemudian untuk
menentukan lingkungan pengendapan menggunakan zonasi Bandy
(1967), sedangkan untuk menentukan umur menggunakan zonasi Blow
(1969).

2.1.3. Analisis Stratigrafi


Di lapangan, dilakukan analisis stratigrafi secara
megaskopis. Pembagian satuan batuan didasarkan pada satuan

Proposal Praktek Kerja Lapangan Page 21


litostratigrafi tidak resmi, yaitu penamaan satuan batuan didasarkan pada
ciri fisik batuan yang dapat diamati dilapangan, meliputi jenis batuan,
keseragaman gejala litologi dan posisi stratigrafinya (Sandi Stratigrafi
Indonesia, pasal 15).
Sedangkan penentuan batas penyebaran satuannya harus
memenuhi persyaratan Sandi Stratigrafi Indonesia 1996 : pasal 17, yaitu :
1. Batas satuan litostratigrafi adalah sentuhan antara dua satuan yang
berlainan ciri litologinya yang dijadikan dasar pembeda kedua satuan
tersebut.
2. Batas satuan ditempatkan pada bidang yang nyata perubahan litologinya
atau dalam hal perubahan tersebut tidak nyata, batasnya merupakan
bidang yang diperkirakan kedudukannya.
3. Satuan-satuan yang berangsur berubah atau menjemari peralihannya
dapat dipisahkan sebagai satuan tersendiri apabila memenuhi persyaratan
sandi.
4. Penyebaran suatu satuan litostratigrafi semata-mata ditentukan oleh
kelanjutan ciri ciri litologi yang menjadi ciri penentunya.
5. Dari segi praktis, penyebaran suatu satuan litostratigrafi dibatasi oleh
batasan cekungan pengendapan atau aspek geologi lain.
6. Batas-batas daerah hukum (geografi) tidak boleh dipergunakan sebagai
alasan berakhirnya penyebaran lateral suatu satuan. Berdasarkan pasal
tersebut, kontak antar satuan batuan atau sentuh stratigrafi dapat bersifat
tajam ataupun berangsur. Ada tiga macam sentuh stratigrafi, yaitu :
a. Selaras, yaitu sedimentasi berlangsung menerus tanpa gangguan
dari satuan stratigrafi yang berada di bawah lapisan tersebut.
b. Tidak selaras, yaitu siklus sedimentasi tidak menerus, disebabkan
oleh pengangkatan.
c. Diasterm, yaitu siklus sedimentasi tidak menerus, disebabkan oleh
erosi atau tidak adanya pengendapan. Penamaan satuan
litostratigrafi didasarkan atas jenis litologi yang paling dominan
dalam satuan tersebut. Pengamatan terhadap litologi di lapangan
dilakukan secara megaskopis yang meliputi warna batuan baik

Proposal Praktek Kerja Lapangan Page 22


warna segar maupun warna lapuknya, ukuran butir, bentuk butir,
kemas, pemilahan, kekerasan, mineral tambahan, struktur
sedimen, kandungan fosil dan lain-lain.

2.1.4. Analisis Petrografi


Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis secara megaskopis
terhadap sayatan batuan sebagai penyusun utama dan sisipan suatu satuan
batuan, yang pada akhirnya dapat ditentukan nama batuan berdasarkan
klasifikasi batuan sedimen klastik (Pettijohn, 1973).
Pettijohn, 1973 mengklasifikasi batupasir berdasarkan presentase
tiga komponen bentuk segitiga yang digabungkan dengan presentase
jumlah kandungan matriksnya. Ketiga komponen tersebut adalah Kuarsa
(Q), Feldspar (F), Lithic Fragmen (L).
Tahap pertama dalam pemakaian klasifikasi ini adalah menentukan
presentase relatif dari kandungan kuarsa, feldspar, dan lithic fragmen
dengan bantuan mikroskop. Gambaran tiga dimensi dari diagram
klasifikasi adalah untuk menunjukan prosentase kandungan matriknya.
Tahap kedua adalah mengukur prosentase kandungan matriks,
apabila kandungan matriks berjumlah 0 - 15 %, maka jenis batuannya
dinamakan arenite, sedangkan bila kandungan matriksnya berada diantara
15% - 75%, maka jenis batuan ini dinamakan wacke, dan apabila
kandungan matriksnya lebih dari 75% dinamakan mudstone.

Gambar 2.6 Klasifikasi batupasir batulempung (Pettijohn 1973)

Proposal Praktek Kerja Lapangan Page 23


Kemudian untuk penentuan batuan beku, penyusun menggunakan
klasifikasi Steckeisen (1976) yang membagi dua kelompok besar batuan
yaitu batuan plutonik dan vulkanik.Hal tersebut dapat teridentifikasi
berdasarkan kenampakan batuan secara makroskopis.kemudian dalam
konsep ini ditekankan perbandingan kandungan mineral pada batuan yang
dapat teridentifikasi menggunakan analisis petrografi. Perbandingan
utama yang dipakai adalah perbandingan komponen kuarsa, feldspar,
plagioklas, dan feldspartoid (foid). Perbandingan tersebut digambarkan
pada gambar Klasifikasi Steckeinsen (1976) untuk penamaan batuan
vulkanik.

Gambar 2.7 Klasifikasi Steckeinsen (1976) untuk penamaan batuan vulkanik

Proposal Praktek Kerja Lapangan Page 24


2.1.5. Analisis Struktur Geologi
Perlu dilakukan interpretasi topografi untuk melihat indikasi
struktur geologi yang meliputi interpretasi Citra Landsat, kerapatan garis
kontur, kelurusan sungai, kelurusan punggungan, pola pengaliran
sungai dan sebagainya. Semua indikasi yang telah ditemukan
direkonstruksikan bersamaan dengan rekonstruksi pola jurus batuan
yang akan menghasilkan jenis, arah dan pola struktur geologi yang
berkembang di daerah tersebut yang kemudian dituangkan dalam Peta
Pola Jurus. Untuk umurnya ditarik berdasarkan kesebandingan regional
atau berdasarkan umur satuan litologi yang dilaluinya.
Untuk mengamati adanya struktur perlipatan di lapangan yaitu
dengan melihat perubahan berangsur pada kemiringan (dip) lapisan
batuan, perulangan urutan variasi litologi, pembalikan dengan
menentukan top dan bottomnya yang tidak sesuai dengan arah kemiringan
lapisan.

1. Kekar
Kekar didefinisikan sebagai suatu rekahan pada kerak bumi
yang belum atau sedikit sekali mengalami pergeseran sepanjang bidangnya,
akibat tekanan yang lebih lanjut. Kekar memecahkan batuan dengan
rekahan yang relative halus dengan panjang yang bervariasi mulai dari
beberapa sentimeter sampai ratusan meter. Secara genetik, kekar dapat
dibedakan menjadi dua jenis (Hobs, 1976, dalam Haryanto, 2003) yaitu :
a. Kekar gerus (shear joint), adalah rekahan yang bidang-bidangnya
terbentuk karena adanya kecenderungan untuk sal ing bergeser (shearing)
searah bidang rekahan.
b. Kekar tarik (Extensional joint), adalah rekahan yang bidang-bidangnya
terbentuk kadanya kecenderungan untuk saling menarik (meregang) atau
bergeser tegak lurus terhadap bidang rekahannya. Kekar tarikan dapat
dibedakan sebagai :
- Tension Fracture, yaitu kekar tarik yang bidang rekahnya
searah dengan tegasan. Kekar jenis inilah yang biasanya

Proposal Praktek Kerja Lapangan Page 25


terisi oleh cairan hidrothermal yang kemudian berubah
menjadi vein.
- Release Fracture, yaitu kekar tarik yang terbentuk akibat
hilangnya atau pengurangan tekanan, orientasinya
tegaklurus terhadap gaya utama. Struktur ini biasa disebut
dengan “stylolite”. Kekar merupakan salah satu struktur
yang sulit untuk diamati, sebab kekar dapat terbentuk
pada setiap waktu kejadian geologi, misalnya sebelum
terjadinya suatu lipatan. Kesulitan lainnya adalah tidak
adanya atau relatif kecil pergeseran dari kekar, sehingga
tidak dapat ditentukan kelompok mana yang terbentuk
sebelum atau sesudahnya. Walaupun demikian, di dalam
analisis, kekar dapat dipakai untuk membantu menentukan
pola tegasan, dengan anggapan bahwa kekar-kekar
tersebut pada keseluruhan daerah terbentuk sebelum atau
pada saat pembentukan sesar.
Analisa kekar digunakan dalam penentuan jenis sesar, hal ini
dapat diterapkan dengan menggunakan pemodelan Anderson dengan
patokan sebagai berikut :
a. a1 berada pada titik tengah perpotongan 2 bidang Conjugate Shear yang
mempunyai sudut sempit.
b. a2 berada pada titik perpotongan antara 2 bidang Conjugate Shear
c. a3 berada pada titik tengah perpotongan 2 bidang Conjugate Shear yang
mempunyai sudut tumpul.
d. a 1 I a 2 I a 3 .
e. Orientasi tensional joint searah dengan orientasi a1.
f. Orientasi stylolites I dengan orientasi a1 atau searah dengan orientasi
a3
g. Bidang shear dan tensional akan membentuk sudut sempit.
h. Bidang shear dengan release joint akan membentuk sudut tumpul.

2. Sesar

Proposal Praktek Kerja Lapangan Page 26


Untuk mengamati keberadaan arah dan jenis sesar di lapangan
dapat diperkirakan dengan melihat indikasi yang ada seperti adanya
dragfold (lipatan seret), offset litologi, kekar-kekar, cermin sesar,
slicken side, breksiasi, zona-zona hancuran, kelurusan mata air panas
dan air terjun. Klasifikasi sesar telah banyak dikemukakan
oleh para ahli terdahulu, mengingat struktur sesar adalah rekahan
kekar di dalam bumi yang ditimbulkan karena pergeseran sehingga untuk
membuat analisis strukturnya diusahakan untuk dapat mengetahui arah dan
besarnya pergeseran tersebut. Indikasi sesar di lapangan tidak mudah
untuk ditemukan untuk itu pengolahan data kekar untuk
mengetahui tegasan utamanya dapat dilasifikasikan menjadi tiga
jenis berdasarkan orientasi tegasan utama (Anderson, 1951 dalam Sitter,
1956) dan dinyatakan dalam a1 (tegasan terbesar), a2 (tegasan menengah),
dan a3. (tegasan terkecil) yang saling tegak lurus satu sama lain secara
triaksial. Sesar tersebut secara dinamik diklasifikasikan menjadi:
a. Sesar normal, dimana a1 vertikal dan a2 serta a3 horizontal.
Besarnya sudut kemiringan (dip) bidang sesar mendekati 60º.
b. Sesar mendatar, dimana a2 vertikal dan a1 serta a3 horizontal.
c. Sesar naik, dimana a3 vertikal dan a1 dan a2 horizontal. Kemiringan
bidang sesar mendekati 30º . Dalam hal ini, bidang sesar vertikal dan
bergerak secara horizontal.

Gambar 2.8 Klasifikasi lipatan menurut Fleuty (1964)

Proposal Praktek Kerja Lapangan Page 27


3. Lipatan
Lipatan merupakan hasil dari deformasi atau perubahan bentuk
dan atau volume dari suatu batuan yang ditunjukan sebagai suatu
lengkungan atau himpunan lengkungan pada unsur garis atau bidang-
bidang dalam batuan. Unsur garis atau bidang yang dimaksud adalah
bidang perlapisan. Berdasarkan bentuknya, maka lipatan dibagi atas :
a. Antiklin yaitu lipatan dimana bagian cembungnya mengarah ke atas.
Dalam hal ini semakin tua batuannya semakin dalam letaknya. Jika
batuannya telah mengalami pembalikan maka lipatan itu dinamakan
Synantiklin.
b. Sinklin yaitu lipatan dimana bagian cekungannya mengarah keatas.
Dimana semakin muda batuannya semakin dalam letaknya. Jika
batuannya telah mengalami pembalikan maka lipatan itu dinamakan
Antisinklin.

Gambar 2.9 Hubungan antara pola tegasan dengan jenis sesar yang terbentuk(Anderson, 1951
dalam Sitter, 1956)

Proposal Praktek Kerja Lapangan Page 28


4. Teori Harding
Dalam merekonstruksi stuktur geologi dapat menggunakan
pemodelan stuktur. Pemodelan struktur yang dipakai oleh penulis yaitu
model Harding ( Strain Stress Ellipsoid Model ). Strain stress ellipsoid
model adalah sebuah model analisa struktur yang dikemukakan oleh
Harding pada tahun 1972. Model analisa struktur ini digunakan untuk
menentukan arah gaya kompresi pembentuk struktur, baik kekar maupun
sesar. Melalui model strain stress ellipsoid ini dapat diperkirakan pula
pada arah mana dapat terjadi normal fault dan thrust fault serta arah sumbu
lipatan. Arah dari normal fault akan sejajar dengan gaya kompresi
utamanya, dan sebaliknya thrust fault akan berarah tegak lurus degan gaya
kompresi utamanya. Model ini dapat diterapkan pada batuan yang
heterogen.

Gambar 2.10 Model “Simple Shear” menurut Harding (1973)

Dari model strain ellipse yang lebih dikenal dengan Model


Harding memberikan gambaran adanya sesar geser mendatar (wrenching
fault) yang mempunyai orientasi atau strike searah dengan sumbu XX’.
Sesar geser mendatar dekstral akan menghasilkan gaya kompresi
maksimum yang dapat disebut dengan conjugate force (BB’). Kompresi

Proposal Praktek Kerja Lapangan Page 29


ini akan menghasilkan retakan yang dapat berkembang menjadi sesar,
yaitu CC’ yang membentuk sudut 10 hingga 30 dan DD’ yang
membentuk sudut 70 hingga 90 terhadap strike sesar. Kedua retakan
tersebut , CC’ dan DD’, mempunyai sudut perpotongan antara 60 hingga
70. Garis AA’ merupakan sumbu panjang dari elips yang juga merupakan
arah dari gaya ekstesi (kompresi minimum).
Selain itu, analisis struktur dari data lapangan juga didukung dari
teori klasifikasi sesar menurut Rickard (1972 dalam Haryanto, 2003)
yang memperlihatkan cara penentuan nama bagi sesar translasi,
didasarkan pada pitch dan netslip terhadap bidang sesar. Seperti contoh
x pitch = 600, kemiringan bidang sesar = 600 kemudian masukkan ke
diagram b, dengan memperhatikan arah slickenside pada bidang sesar,
nama sesar dapat ditentukan.

Proposal Praktek Kerja Lapangan Page 30


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

1. Tahap Persiapan
Dalam tahap persiapan yang dilakukan adalah dengan pembuatan proposal
dan melengkapi persyaratan-persyaratan yang diperlukan. Tahapan ini mulai
dikerjakan pada bulan …

2. Tahap Studi Pendahuluan


Dalam tahap studi pendahuluan ini bertujuan untuk mempelajari geologi
regional (Jawa Tengah) secara umum dan khususnya geologi daerah penelitian
diambil dari laporan-laporan berupa paper-paper, studi referensi, dan data
sekunder lainnya untuk mendapatkan gambaran umum tentang daerah penelitian
mengenai lokasi dan penyebaran batuan, hubungan stratigrafi antar satuan batuan
yang ada, serta stuktur geologi yang ada.

3.Tahap Persiapan Perlengkapan Penelitian


Untuk mendukung kegiatan penelitian maka dibutuhkan beberapa alat
pendukung penelitian yang diantaranya adalah :
 Buku catatan lapangan
 Peta dasar (basemap).
 Kompas geologi dilengkapi dengan clinometer dan horizontal
levelling.
 Palu geologi jenis chisel point (untuk batuan sedimen) dan pick point
(untuk batuan beku dan metamorf).
 GPS (Global Position System).
 Lensa pembesaran (Loup) dengan pembesaran 30 kali.
 Meteran dengan panjang 50 meter.
 Komparator
 Larutan HCL dengan kadar ± 10 %.
 Papan jalan ( Clip Board ).
 Kamera digital.

Proposal Praktek Kerja Lapangan Page 31


 Alat tulis, seperti pensil (2B), penghapus, pensil warna, mistar
segitiga, busur derajat, peruncing pensil, spidol marker, spidol atau
stabilo dan lain-lain.
 Kantong contoh batuan dan kertas label, untuk ukuran kantong
contoh batuan berukuran 13 x 9 x 3 cm.
 Tas lapangan, sepatu lapangan, dan pakaian lapangan.

3.1.1. 4. Tahap Penelitian Lapangan


Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
orientasi lapangan. Metode orientasi lapangan dilakukan dengan menarik
garis-garis terarah dari titik pengamatan terhadap suatu objek yang jelas
dan dapat diketahui di peta atau dengan mengamati serta mencocokan
bentang alam di sekitar titik pengamatan, misalnya garis ketinggian,
sungai, jembatan, dan gunung. Metode ini sesuai dengan daerah terbuka
dengan ciri bentang alam yang sudah dikenali dan lokasi pengamatan yang
relatif berjauhan.

3.1.2. Tahap Pengambilan Data


Tahap ini bertujuan memperoleh data lapangan selengkapnya
sesuai dengan materi penelitian untuk dianalisis. Pada tahap ini dilakukan
beberapa pekerjaan yang meliputi:
1. Identifikasi Singkapan, deskripsi litologi dilakukan dengan
menentukan jenis litologi pada singkapan yang dijumpai. Identifikasi
singkapan meliputi :
a. Pengukuran dimensi singkapan, foto, dan sketsa.
b. Deskripsi litologi, jurus dan kemiringan lapisan (strike-dip),
ketebalan lapisan, dan unsur-unsur struktur geologi.
c. Pengambilan sampel, sampel batuan diambil untuk diteliti lebih
lanjut di laboratorium. Dari sampel tersebut dapat dianalisis
kandungan fosilnya sehingga membantu dalam
menginterpretasikan umur dan lingkungan pengendapannya.

Proposal Praktek Kerja Lapangan Page 32


2. Identifikasi geomorfologi merupakan suatu pengamatan lokal dalam
daerah penelitian, dimana peneliti melakukan pengamatan secara luas
tentang kondisi geomorfologi daerah penelitian di lapangan dan
studio. Tahapan dalam identifikasi geomorfologi mencakup
pengamatan bentuk lahan daerah penelitian, penghitungan persen
lereng dan pengambilan foto.
Evaluasi data pemetaan geologi, dilakukan setelah melakukan
semua pekerjaan lapangan. Tahapannya mencakup pembuatan database
hasil penelitian dilapangan, pengaturan sampel, pengaturan foto, dan lain
sebagainya. Untuk selanjutnya jika pada tahap ini ditemukan beberapa
kekurangan data penelitian, maka akan dilengkapi dengan melakukan
kunjungan ke daerah yang memiliki kekurangan data tersebut.

3.1.3. Tahap Analisis Data


Dalam analisis data ini digunakan beberapa analisa diantaranya
adalah analisis data dari lapangan meliputi :
1. Analisis Kelurusan SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission)
Foto udara dan citra satelit memiliki unsur interpretasi utama yang
serupa, tetapi citra satelit memiliki kelebihan yaitu memiliki unsur
warna yang tidak dimiliki oleh foto udara. Selain unsur warna, citra
satelit digital dapat kita manipulasi dengan menggunakan perangkat
lunak sehingga tampilannya dapat kita sesuaikan dengan keinginan
kita sehingga membantu dalam proses interpretasi.Tetapi untuk
pemetaan geologi pada daerah penelitian hanya digunakan data pola
kelurusan untuk membantu penarikan struktur geologi, baik kelurusan
punggungan ataupun sungai.
2. Analisis Geomorfologi
Analisis geomorfologi mencakup beberapa analisis yaitu, analisis
morfografi, analisis morfometri, dan analisis morfogenetik.
a. Morfografi
Aspek morfografi dilakukan dengan cara menganalisis peta
topografi. Sedangkan perubahan pola punggungan dan pola aliran

Proposal Praktek Kerja Lapangan Page 33


bisa mengidentifikasikan kegiatan tektonik. Sungai dapat dibagi
berdasarkan tingkatan orde sungai tersebut.
b. Morfometri
Morfometri merupakan penilaian kuantitatif dari bentuk lahan
sebagai aspek pendukung dari morfografi dan morfogenetik
sehinga klasifikasi kualitatif akan semakin tegas dengan angka-
angka yang jelas. Teknik perhitungan kemiringan lerengnya dapat
dilakukan dengan menggunakan teknik grid cell berukuran 2x2 cm
pada peta topografi skala 1:25.000.
c. Morfogenetik
Dalam satuan pegunungan akibat proses endogen, termasuk di
dalamnya adalah lembah dan dataran yang bisa dibentuk baik oleh
proses endogen maupun oleh proses eksogen. Pembagian lembah
dan bukit adalah batas atau titik belok dari bentuk gelombang
sinusoidal ideal.
3. Analisis Fosil
Contoh batuan (sampel), yang diperoleh dari lapangan selanjutnya
dianalisiskan di laboratorium Universitas Gadjah Mada dan kemudian
di cek kembali yang meliputi analisis fosil, analisis ini dilakukan
setelah penelitian lapangan. Analisis bertujuan untuk penentuan umur
relatif batuan dan sebagai indikator dalam interpretasi lingkungan
pengendapan. Langkah-langkah analisis fosil biasanya dilakukan
sebagai berikut :
a. Menimbang sampel batuan lalu menumbuknya.
b. Sampel dicampur dengan larutan H₂O₂ 30 % sampai tidak
bereaksi.
c. Masukan dalam saringan dan pisahkan untuk tiap butiran (60 mm,
80 mm dan 120 mm) lalu masukan dalam mangkuk alumunium.
d. Masukan sample ke dalam oven bertemperatur 100ºC-120ºC
sampai kering, lalu masukan dalam kantong sampel.
e. Sample siap untuk dianalisis dibawah mikroskop, pisahkan tiap
fosil dalam preparat/plate lalu beri nama sesuai literatur.

Proposal Praktek Kerja Lapangan Page 34


4. Analisis umur batuan dan lingkungan pengendapan
Analisis ini mengacu pada struktur sedimen pada batuan dan
kandungan fosil yang ditemukan melalui analisis mikropaleontologi.
Dalam kaitan dengan analisis tersebut, penyusun mengacu pada
konsep zonasi biostratigrafi yang mengacu pada standar Sandi
Stratigrafi Indonesia dengan acuan biozonasi oleh Blow (1969).
Sedangkan untuk lingkungan pengendapan, penyusun mengacu pada
Bandy (1957).
5. Analisis stratigrafi
Analisis ini memiliki acuan pengamatan litologi dan lingkungan
pengendapan, dengan mempertimbangkan kedudukan dan hubungan
antar strata batuan pada lingkup daerah penelitian. Analisis tersebut
bersama dengan analisis lingkungan pengendapan akan disesuiakan
dengan referensi dari penelitian terdahulu.
6. Analisis petrografi
Tahap pertama dalam pemakaian klasifikasi ini adalah menentukan
presentase relatif dari kandungan kuarsa, feldspar, dan lithic fragmen
dengan bantuan mikroskop. Gambaran tiga dimensi dari diagram
klasifikasi adalah untuk menunjukan prosentase kandungan
matriknya.
Tahap kedua adalah mengukur prosentase kandungan matriks,
apabila kandungan matriks berjumlah 0 - 15 %, maka jenis batuannya
dinamakan arenite, sedangkan bila kandungan matriksnya berada
diantara 15% - 75%, maka jenis batuan ini dinamakan wacke, dan
apabila kandungan matriksnya lebih dari 75% dinamakan mudstone.
7. Analisis Sejarah Geologi
Analisis sejarah geologi bertujuan untuk menguraikan suatu
seri kejadian geologi yang disusun secara berurutan berdasarkan
kejadiannya, dimulai dari yang pertama terbentuk hingga yang
terakhir ataupun yang sekarang tengah terjadi.

Proposal Praktek Kerja Lapangan Page 35


3.1.4. Tahap Pembuatan Peta
Peta dibuat berdasarkan data pengamatan geologi permukaan
beserta analisisnya. Peta tersebut terdiri dari beberapa peta yang
merupakan modifikasi terhadap peta dasar. Peta yang dibuat diantarannya
:
1. Peta Lintasan Geologi memuat informasi tentang lokasi pengamatan
serta jalur pengamatan yang berguna dalam penentuan satuan litologi
pada peta geologi. Stasiun pengamatan dan jalur pengamatan
mencirikan litologi yang ditemui di lapangan. Lokasi pengukuran
struktur geologi serta pengambilan sampel fosil juga dicantumkan
dalam peta tersebut. Peta ini merupakan peta yang disusun selama
proses pengamatan lapangan berlangsung.
2. Peta Geomorfologi menggambarkan pembagian satuan geomorfologi
daerah penelitian. Pembagian satuan tersebut berdasarkan hasil analisis
terhadap data geomorfologi yang dapat dilihat dari citra SRTM, pola
pengaliran sungai, persen lereng, yang teramati di lapangan serta
analisis terhadap pola kontur pada peta dasar.
3. Peta Geologi menggambarkan pembagian satuan litologi daerah
penelitian beserta struktur geologi yang bekerja pada daerah penelitian.
Pembagian satuan litologi mencirikan karakteristik fisik batuan, pola
sebaran, dominasi batuan, umur satuan batuan serta batas antar satuan
batuan. Struktur geologi yang tergambar pada peta geologi merupakan
hasil analisis terhadap data pengukuran struktur geologi di lapangan.
4. Peta Potensi Sumberdaya Geologi dan Bencana Geologi, memuat
informasi mengenai keberadaan sumberdaya geologi yang memiliki
nilai ekonomis dan prospektif untuk dimanfaatkan serta beberapa area
yang berpotensi terkena dampak atau menimbulkan suatu bencana
geologi, seperti banjir, gerakan tanah, dan lain sebagainya. Kedua hal
tersebut merupakan cerminan dari kondisi geologi daerah penelitian.

Proposal Praktek Kerja Lapangan Page 36


3.1.5. Tahap Penyusunan Laporan
Penyusunan laporan dilakukan sebagai tahapan akhir dalam
rangkaian kegiatan praktek kerja lapangan. Laporan tersebut disusun
dengan format baku, mencakup keseluruhan dari kegiatan praktek kerja
lapangan yang dijalankan, mulai dari latar belakang hingga keseluruhan
hasil kegiatan. Setelah selesai tersusun laporan akan diseminarkan secara
formal. Seminar ini masih merupakan tahap proses penyusunan laporan.
Setelah melalui pembahasan dalam seminar, laporan final akan kembali
disusun dengan beberapa revisi dan koreksi yang diajukan pada saat
seminar. Secara garis besar, keseluruhan tahapan penelitan disusun pada
diagram alir penelitian.

7. Diagram Alir Metode Penelitian

MULAI

TAHAP PERSIAPAN

Studi Literatur Survei Awal Penyusunan Proposal


Praktek Kerja Lapangan

TAHAP PENGAMBILAN
DATA LAPANGAN

Observasi Pengambilan Sampel


Observasi Observasi Struktur Batuan dan Sampel Measuring Section
Geomorfologi Litologi (MS)
Geologi Fosil

TAHAP ANALISIS

Analisis Petrografi Analisis Analisis Struktur


Mikropaleontologi Geologi

Proposal Praktek Kerja Lapangan Page 37


TAHAP PENGOLAHAN DATA

Pembuatan Peta Pembuatan Peta Pembuatan Peta Pembuatan Kolom


Lintasan dan Peta Potensi
Geomorfologi Geologi dan Stratigrafi Daerah dan Bencana
Observasi Penampang Penelitian

TAHAP PENYUSUNAN LAPORAN

SEMINAR

Gambar 3.1 Diagram Alir Metode Penelitian

BAB IV
RENCANA KEGIATAN
1. Jadwal Kegiatan Penelitian

RENCANA KEGIATAN PKL2016


SEPTEMBER OKTOBER NOVEMBER DESEMBER
WAKTU
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
KEGIATAN
Studi Literatur &
Pengumpulan Data
Sekunder
Observasi &
Perizinan Daerah
Penelitian
Penentuan
Basecamp
Orientasi Lapangan
Pemetaan &
Pengambilan Data
Pengolahan Data
Lapangan &
Pekerjaan Studio
Peta
Kegiatan Analisis
Laboratorium
Konsultasi &
Bimbingan
Seminar
Penyusunan Laporan
Revisi Laporan &
Penjilidan

Tabel 4.1 Rencana Kegiatan Praktek Kerja Lapangan.

Proposal Praktek Kerja Lapangan Page 38


Contents
BAB I.................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang .................................................................................................. 1
2.1. Dasar Teori ...................................................................................................... 14
2.1.1. Analisis Geomorfologi .............................................................................. 14
Gambar 2.3 Tipe pola pengaliran dasar (Howard, 1967 dalam Van Zuidam, R.A. 1985) . 15
Gambar 2.4 Tipe pola pengaliran dasar (Howard, 1967 dalam Van Zuidam, R.A. 1985) . 15
Tabel 2.1 Tipe pola pengaliran modifikasi (Howard, 1967 dalam Van Zuidam, R.A. 1985)
.......................................................................................................................................... 15
Tabel 2.2 Hubungan kelas lereng dengan sifat - sifat proses dan kondisi lahan disertai
simbol warna yang disarankan (Van Zuidam, 1985) ........................................................ 17
Tabel 2.1 Pembagian kemiringan lereng berdasarkan klasifikasi USSSM dan USLE......... 18
Gambar 2.5 Pembagian lembah dan bukit dan Penamaan bentuk muka bumi (Budi
Brahmantyo dan Bandono, 2006) ..................................................................................... 20
Tabel 2.4 Warna yang disarankan didasarkan pada morfogenesanya (Van Zuidam, 1985)
.......................................................................................................................................... 20
2.1.2. Analisis Mikropaleontologi ...................................................................... 21
2.1.3. Analisis Stratigrafi .................................................................................... 21
2.1.4. Analisis Petrografi .................................................................................... 23
Gambar 2.6 Klasifikasi batupasir batulempung (Pettijohn 1973)..................................... 23
Gambar 2.7 Klasifikasi Steckeinsen (1976) untuk penamaan batuan vulkanik ................ 24
2.1.5. Analisis Struktur Geologi .......................................................................... 25
Gambar 2.8 Klasifikasi lipatan menurut Fleuty (1964) ..................................................... 27
Gambar 2.9 Hubungan antara pola tegasan dengan jenis sesar yang
terbentuk(Anderson, 1951 dalam Sitter, 1956) ............................................................... 28
Gambar 2.10 Model “Simple Shear” menurut Harding (1973) ........................................ 29
3.1.1. 4. Tahap Penelitian Lapangan .................................................................. 32
3.1.2. Tahap Pengambilan Data ......................................................................... 32
3.1.3. Tahap Analisis Data .................................................................................. 33
3.1.4. Tahap Pembuatan Peta ............................................................................ 36
3.1.5. Tahap Penyusunan Laporan ..................................................................... 37

Proposal Praktek Kerja Lapangan Page 39

You might also like