You are on page 1of 20

PENGARUH BEBAN PAJAK TANGGUHAN DAN PERENCANAAN PAJAK

TERHADAP MANAJEMEN LABA (STUDI EMPIRIS PADA PERUSAHAAN


MANUFAKTUR DI BURSA EFEK INDONESIA)

Tyan Panca Ayu Prihatiningsih


NIM. 155020301111001
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya, Malang, Indonesia
e-mail: tyanpanca@gmail.com / telp: +6281 233 598 615

Dosen Pembimbing: Drs. Jimmy Andrianus, MM., Ak., CPA.

Abstract: The Influence of Deffered Tax Expense and Tax Planning on Earnings
Management (A Study on Manufacturing Companies in Indonesia Stock Exchange). This
research aims to test the influence of deffered tax expense and tax planning on earnings
management. The object of this research are manufacturing companies registered in Indonesia
Stock Exchange in 2015-2017 and the sample was selected by using purposive sampling
method. Moreover, the sample that was used in this research were 47 manufacturing
companies registered that were as follows: 1. Registered in Indonesia Stock Exchange in 2015-
2017; 2. Reporting and publishing financial reports in Rupiah unit that has been audited by
independent auditor per December 31; 3. Containing the data about deffered tax expense and;
4. Having a scaled earning change in the range of 0,06 and -0,09 – 0. Furthermore, the
descriptive statistics and logistic regression method were selected as the techniques to analyze
the data. The results of the research show that the deffered tax expense has no significant
influence on the probability of the company that establish the earnings management and also
the tax planning has no significant influence on earnings management.

Keywords: deferred tax expense, tax planning, earnings management.

Abstrak: Pengaruh Beban Pajak Tangguhan dan Perencanaan Pajak terhadap


Manajemen Laba (Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur Di Bursa Efek
Indonesia). Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh beban pajak tangguhan dan
perencanaan pajak terhadap manajemen laba. Objek penelitian ini adalah perusahaan-
perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama tahun 2015-2017.
Pemilihan sampel ditentukan berdasarkan metode purposive sampling. Sampel yang digunakan
dalam penelitian ini adalah 47 perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia
selama tahun 2015-2017, melaporkan dan mempublikasikan laporan keuangan dalam satuan
Rupiah, yang telah diaudit oleh auditor independen per 31 Desember, berisi data mengenai
kriteria variabel, dan mempunyai scaled earning change dalam range 0 – 0,06 dan -0,09 – 0.
Teknik analisis data yang digunakan yaitu statistik deskriptif dan metode regresi logistik.
Berdasarkan hasil analisis ditemukan bahwa beban pajak tangguhan tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap probabilitas perusahaan melakukan manajemen laba dan perencanaan
pajak tidak berpengaruh secara signifikan terhadap manajemen laba.

Kata Kunci: beban pajak tangguhan, perencanaan pajak, manajemen laba

1
I. PENDAHULUAN
Perusahaan-perusahaan di era globalisasi saat ini mengalami persaingan yang sangat
ketat agar dapat terus bertahan dalam pasar global, khususnya untuk perusahaan manufaktur di
Indonesia. Perusahaan manufaktur adalah perusahaan sektor industri yang mengolah bahan
baku menjadi bahan jadi. Grafik pertumbuhan jenis-jenis perusahaan (lapangan usaha) atas
dasar PDB harga konstan 2010 selama tahun 2015-2017 menunjukkan bahwa posisi
perusahaan manufaktur (industri pengolahan) mengalami pertumbuhan yang paling besar
selama tiga tahun berturut-turut dibandingkan oleh perusahaan lainnya. Hal ini berarti bahwa
perusahaan manufaktur memiliki peluang yang sangat besar dalam menggerakkan
perekonomian di Indonesia.
Besarnya tingkat pertumbuhan perusahaan manufaktur di Indonesia membuat
perusahaan manufaktur dituntut untuk memiliki berbagai keunggulan kompetitif agar mampu
bersaing dengan perusahaan lainnya. Tidak hanya dari kuantitas atau kualitas produk yang
ditawarkan dan penghasilan yang didapatkan, namun juga dari pengelolaan keuangan yang
baik. Berbagai kebijakan dalam pengelolaan keuangan harus dapat menjamin keberlangsungan
usaha perusahaan. Pengelolaan keuangan yang baik dapat ditunjukkan dengan besarnya laba
yang dicapai suatu perusahaan (Negara dan Saputra, 2017).
Pencapaian laba merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk mengukur
kinerja perusahaan. Informasi mengenai laba merupakan unsur penting yang digunakan oleh
para pengguna laporan keuangan baik pihak internal maupun eksternal dalam pengambilan
keputusan. Oleh karena itu, informasi laba haruslah menggambarkan keadaan ekonomi dan
keuangan perusahaan yang sebenarnya. Tetapi pada kenyataannya seringkali manajer
perusahaan melakukan perilaku menyimpang ketika menyajikan dan melaporkan informasi
laba dalam laporan keuangan untuk kepentingan mereka sendiri. Tindakan ini dikenal dengan
praktik manajemen laba. Manajemen laba merupakan upaya yang dilakukan pihak manajemen
untuk melakukan intervensi dalam penyusunan laporan keuangan dengan tujuan untuk
menguntungkan dirinya sendiri, yaitu pihak perusahaan yang terkait (Schipper, 1989).
Sebenarnya perusahaan manufaktur menghadapi suatu dorongan yang saling
bertentangan pada saat melakukan manajemen laba. Pada satu sisi manajemen perusahaan
ingin menampilkan kinerja keuangan yang baik dengan memaksimalkan laba yang dilaporkan
kepada para pemegang saham dan pengguna eksternal lainnya. Namun demikian, di sisi lain
manajemen perusahaan juga menginginkan untuk meminimalkan laba kena pajak yang
dilaporkan untuk keperluan pajak (Ettredge et al., 2008). Langkah yang kemudian diambil agar
keduanya dapat dicapai adalah dengan memanipulasi laba menjadi lebih tinggi untuk pelaporan
2
keuangan tapi tidak untuk pelaporan pajaknya. Hal ini juga menyebabkan adanya perusahaan
manufaktur di Indonesia yang melakukan manajemen laba dengan tujuan untuk menghindari
beban pajak yang tinggi.
Contoh fenomena adanya praktik manajemen laba pernah terjadi pada perusahaan PT.
Coca Cola Indonesia (CCI). PT CCI diduga mengakali pajak sehingga menimbulkan
kekurangan pembayaran pajak senilai Rp 49,24 miliar. Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
menemukan ada pembengkakan biaya yang besar pada tahun itu. Akibatnya, ada penurunan
penghasilan kena pajak. Menurut DJP, total penghasilan kena pajak PT CCI pada periode itu
adalah Rp 603,48 miliar. Sedangkan perhitungan PT CCI penghasilan kena pajak hanyalah Rp
492,59 miliar. Dengan selisih itu, DJP menghitung kekurangan pajak penghasilan (PPh) PT
CCI Rp 49,24 miliar (www.nasional.kontan.co.id).
Fenomena terbaru terkait dengan manajemen laba adalah kasus pada PT Inovisi
Infracom (INVS) pada tahun 2015. Dalam kasus ini Bursa Efek Indonesia (BEI) menemukan
indikasi salah saji dalam laporan keuangan INVS periode September 2014. BEI meminta INVS
untuk merevisi nilai aset tetap, laba bersih per saham, laporan segmen usaha, kategori
instrument keuangan, dan jumlah kewajiban dalam informasi segmen usaha. Selain itu, BEI
juga menyatakan manajemen INVS salah saji item pembayaran kas kepada karyawan dan
penerimaan (pembayaran) bersih utang pihak berelasi dalam laporan arus kas. INVS juga
mengakui laba bersih per saham berdasarkan laba periode berjalan. Praktik ini menjadikan laba
bersih per saham INVS tampak lebih besar. Padahal, seharusnya perseroan menggunakan laba
periode berjalan yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk (www.bareksa.com).
Konsep manajemen laba dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan teori
keagenan (agency theory) yaitu, teori yang menjelaskan bahwa praktik manajemen laba
dipengaruhi oleh konflik kepentingan antara principal dengan manajemen sebagai agent
(Negara dan Saputra, 2017). Pihak manajemen berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan,
sedangkan pemegang saham berkeinginan untuk meningkatkan kekayaannya. Selain itu, pihak
manajemen berkeinginan memperoleh kredit sebesar mungkin dengan bunga yang rendah,
sedangkan kreditor hanya ingin memberikan kredit sesuai dengan kemampuan perusahaan,
serta pihak manajemen berkeinginan membayar pajak sekecil mungkin, sedangkan pemerintah
ingin memungut pajak sebesar-besarnya (Aditama, 2014). Adanya keinginan pihak manajemen
untuk menekan dan membuat beban pajak menjadi sekecil mungkin, maka pihak manajemen
akan cenderung meminimalkan pembayaran pajak. Upaya untuk meminimalkan beban pajak
ini sering disebut dengan perencanaan pajak (tax planning) atau tax sheltering (Suandy, 2008).

3
Setiap perusahaan di Indonesia dalam menyusun laporan keuangan harus berdasarkan
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) agar dapat menghasilkan laporan keuangan
yang kredibel dan informatif. Setiap perusahaan juga harus menyusun laporan keuangan laba
rugi berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku (laporan laba fiskal) untuk melaporkan
pajak penghasilannya. Adanya perbedaan antara PSAK dan peraturan perpajakan akan
menghasilan dua jenis penghasilan, dalam laporan keuangan berdasarkan PSAK akan
menghasilkan laba sebelum pajak (laba akuntansi), sedangkan dalam laporan keuangan
berdasarkan peraturan perpajakan akan menghasilan penghasilan kena pajak (laba fiskal).
Phillips et al. (2003) menyatakan bahwa manajemen berupaya untuk mengelola
kenaikan laba akuntansi tanpa meningkatkan penghasilan kena pajak (laba fiskal). Pelaksanaan
kebijakan manajemen untuk mengelola kenaikan laba akuntansi akan menghasilkan perbedaan
temporer antara akuntansi dan pajak. Perbedaan temporer antara laba akuntansi dan laba fiskal
menimbulkan beban pajak tangguhan (Yulianti, 2005). Pengakuan pajak tangguhan dapat
mengakibatkan bertambah dan berkurangnya laba bersih karena adanya pengakuan beban
pajak tangguhan atau manfaat pajak tangguhan, sehingga kemungkinan pembayaran pajak pada
periode mendatang menjadi lebih besar atau lebih kecil. Hal ini menjadi celah bagi manajemen
memanipulasi jumlah dari laba bersihnya sehingga bisa memperkecil jumlah pajak yang harus
dibayar.
Faktor-faktor yang mempengaruhi manajemen laba adalah beban pajak tangguhan dan
perencanaan pajak. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menguji pengaruh beban pajak
tangguhan dan perencanaan pajak terhadap manajemen laba. Penelitian yang dilakukan oleh
Phillips et al. (2003) menemukan bahwa beban pajak tangguhan secara signifikan dapat
mendeteksi manajemen laba. Penelitian Yulianti (2005) dan Sumomba (2012) juga
membuktikan bahwa beban pajak tangguhan mampu mendeteksi praktik manajemen laba yang
dilakukan oleh manajemen. Namun, terdapat perbedaan dalam penelitian Hamzah (2009) san
Fitriany (2016) yang membuktikan bahwa beban pajak tangguhan tidak berpengaruh signifikan
terhadap manajemen laba. Adapun penelitian mengenai pengaruh perencanaan pajak (tax
planning) terhadap manajemen laba telah diteliti oleh Ulfah (PSNP 4) yang membuktikan
bahwa perencanaan pajak memiliki pengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Penelitian
ini juga didukung oleh Sumomba (2012) dan Fitriany (2016) yang membuktikan bahwa
perencanaan pajak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Peneliti lainnya adalah
Aditama dan Purwaningsih (2014) serta Wardani dan Santi (2018) yang membuktikan bahwa
perencanaan pajak tidak berpengaruh secara signifikan terhadap manajemen laba.

4
Terkait dengan latar belakang dan penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa
peneliti sebelumnya yang memiliki hasil penelitian bervariasi, maka peneliti mencoba untuk
melakukan penelitian lanjutan yang bersifat pengulangan (replikatif). Penelitian ini bertujuan
untuk menguji apakah beban pajak tangguhan dan perencanaan pajak dapat digunakan sebagai
pendeteksi manajemen laba seperti yang dilakukan oleh para peneliti-peneliti sebelumnya
tetapi dengan memanfaatkan data-data terbaru dan teraktual. Oleh karena itu, peneliti
melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Beban Pajak Tangguhan dan Perencanaan
Pajak terhadap Manajemen Laba (Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur di Bursa
Efek Indonesia)”.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka rumusan masalah
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah beban pajak tangguhan berpengaruh terhadap manajemen laba?
2. Apakah perencanaan pajak berpengaruh terhadap manajemen laba?

II. TELAAH PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS


Manajemen Laba
Schipper (1989) mendefinisikan manajemen laba sebagai suatu intervensi manajemen
dengan sengaja dalam proses penentuan laba untuk memperoleh beberapa keuntungan pribadi.
Maksud dari intervensi di sini adalah upaya yang dilakukan oleh manajer untuk mempengaruhi
informasi-informasi dalam laporan keuangan dengan tujuan untuk mengelabui stakeholders
yang ingin mengetahui kinerja dan kondisi perusahaan.
Beberapa motivasi yang mendorong manajer untuk melakukan manajemen laba (Scott,
2003), yaitu: (1) motivasi bonus (bonus purpose); (2) motivasi kontraktual lainnya (other
contractual motivation); (3) motivasi politik (political motivation); (4) motivasi pajak (taxation
motivation); (5) pergantian CEO (Chief Executif Officier); (6) Initial Public Offering (IPO); (7)
pemberian informasi kepada investor (communicate information to investors)
Pemilihan metode akuntansi dalam rangka melakukan manajemen laba harus dilakukan
dengan penuh kecermatan oleh manajer agar tidak diketahui oleh pemakai laporan keuangan.
Scott (2003) mengemukakan bahwa ada empat jenis manajemen laba, yaitu: Taking a Bath,
Income Increasing, Income Maximization, dan Income Smoothing.
Salah satu pendekatan dalam menentukan perilaku manajemen laba adalah dengan
pendekatan distribusi laba. Pendekatan distribusi laba mengidentifikasi batas pelaporan laba
5
(earnings threshold) dan menemukan bahwa perusahaan yang berada di bawah earnings
threshold akan berusaha untuk melewati batas tersebut dengan melakukan manajemen laba
(Yulianti, 2005). Phillips et al. (2003) menggunakan model distribusi laba sebagai pengukur
manajemen laba. Holland dan Ramsay (2003) menyebutkan terdapat dua macam earnings
threshold, yaitu:
1) Titik pelaporan laba nol; yang menunjukkan usaha manajemen laba untuk menghindari
pelaporan kerugian.
2) Titik perubahan laba nol; yang menunjukkan usaha manajemen laba untuk menghindari
penurunan laba.
Yulianti (2005) membuktikan terjadinya kink dalam distribusi laba perusahaan yang
disebabkan oleh terlalu sedikitnya perusahaan-perusahaan yang melaporkan kerugian dalam
jumlah kecil (small loss firms) dan terlalu banyak perusahaan-perusahaan yang melaporkan
keuntungan dalam jumlah kecil (small profit firms). Berdasarkan temuan tersebut, Yulianti
(2005) menyatakan bahwa small profit firms adalah perusahaan-perusahaan yang memiliki Net
Income/Market Value Equity pada range 0-0,06 dan small loss firms adalah perusahaan-
perusahaan yang memiliki Net Income/Market Value Equity pada range -0,09-0.

Beban Pajak Tangguhan


Pajak tangguhan pada prinsipnya merupakan dampak dari pajak penghasilan (PPh) di
masa yang akan datang yang timbul akibat perbedaaan temporer (waktu) antara laba akuntansi
dan laba fiskal menurut perpajakan, serta kerugian fiskal yang masih dapat dikompensasikan
di masa datang (tax losscarry forward) yang perlu disajikan dalam laporan keuangan suatu
periode tertentu. Dampak adanya pajak penghasilan di masa yang akan datang perlu diakui,
dihitung, disajikan dan diungkapkan dalam laporan keuangan, baik laporan posisi keuangan
maupun laporan laba komprehensif (Rini dan Asrori, 2014). Bila dampak pajak di masa datang
tersebut tidak tersaji dalam laporan posisi keuangan dan laporan laba komprehensif, akibatnya
bisa saja laporan keuangan menyesatkan pembacanya.
PPh yang dihitung berbasis pada penghasilan kena pajak (PKP) yang sesungguhnya
dibayar kepada pemerintah disebut sebagai PPh terutang, sedangkan PPh yang dihitung
berbasis laba (penghasilan) sebelum pajak disebut dengan beban PPh. Sebagian perbedaan
yang terjadi akibat perbedaan antara PPh terutang dengan beban pajak yang dimaksud,
sepanjang menyangkut perbedaan temporer, hendaknya dilakukan pencatatan dan tercermin
dalam laporan keuangan komersial dalam akun pajak tangguhan (Zain, 2007). Yulianti (2005)
menjelaskan bahwa beban pajak tangguhan timbul akibat perbedaan temporer antara laba
6
akuntansi (laba dalam laporan keuangan menurut SAK untuk kepentingan pihak eksternal)
dengan laba fiskal (laba menurut aturan perpajakan Indonesia yang digunakan sebagai dasar
penghitungan pajak).
Suandy (2008) mengungkapkan bahwa apabila pada masa mendatang akan terjadi
pembayaran yang lebih besar, maka berdasarkan SAK harus diakui sebagai suatu kewajiban.
Kenaikan kewajiban pajak tangguhan konsisten dengan perusahaan yang mengakui pendapatan
lebih awal atau menunda biaya untuk tujuan pelaporan keuangan komersial pada periode
tersebut dibanding tujuan pelaporan pajak. Tindakan perusahaan mengakui pendapatan lebih
awal dan menunda biaya mengindikasikan bahwa manajemen melakukan manajemen laba
pada laporan keuangan komersial. Semakin tingginya praktik manajemen laba, maka semakin
tinggi kewajiban pajak tangguhan yang diakui oleh perusahaan sebagai beban pajak tangguhan
(Phillips, et.al, 2003). Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Watt dan
Zimmerman (1986) bahwa alasan penghematan atau penundaan pajak (pajak tangguhan)
melalui kecenderungan perusahaan untuk mengurangi laba yang dilaporkan merupakan salah
satu dari tiga hipotesis sehubungan dengan teori akuntansi positif, yaitu political cost
hypothesis, sehingga beban pajak tangguhan dapat mempengaruhi manajemen laba sebagai
motivasi penghematan pajak.
Hasil penelitian Yulianti (2005) membuktikan bahwa beban pajak tangguhan memiliki
pengaruh signifikan terhadap probabilitas perusahaan melakukan manajemen laba untuk
menghindari kerugian. Sumomba (2012) membuktikan bahwa beban pajak tangguhan mampu
mendeteksi praktik manajemen laba yang dilakukan oleh manajemen, namun tidak akan
merespon ketika terjadi penurunan tarif pajak. Terdapat perbedaan hasil yang ditemukan oleh
Hamzah (2009) bahwa beban pajak tangguhan tidak berpengaruh atau tidak signifikan dalam
mendeteksi manajemen laba pada saat menghindari pelaporan kerugian. Selain itu, Fitriany
(2016) juga membuktikan bahwa beban pajak tangguhan tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap manajemen laba. Berdasarkan teori dan hasil penelitian terdahulu, maka hipotesis
yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
H1: Beban pajak tangguhan berpengaruh terhadap manajemen laba

Perencanaan Pajak
Perencanaan pajak (tax planning) adalah proses mengorganisasi usaha wajib pajak atau
sekelompok wajib pajak sedemikian rupa sehingga utang pajak, baik PPh maupun beban pajak
yang lainnya berada pada posisi yang seminimal mungkin (Suandy, 2008). Hal ini harus

7
dilakukan sepanjang masih berada di dalam peraturan perpajakan yang berlaku, sehingga
kegiatan perencanaan pajak (tax planning) bersifat legal.
Perencanaan pajak merupakan tindakan struktural yang terkait dengan kondisi
konsekuensi potensi pajaknya, yang tekanannya kepada pengendalian setiap transaksi yang ada
konsekuensi pajaknya, tujuannya adalah bagaimana pengendalian tersebut dapat
mengefisiensikan jumlah pajaknya yang akan ditransfer ke pemerintah, melalui apa yang
disebut penghindaran pajak (tax avoidance) yang merupakan perbuatan legal yang masih dalam
ruang lingkup peraturan perundang-undangan pajak dan bukan penyelundupan pajak (Zain,
2007).
Pengaruh perencanaan pajak terhadap manajemen laba dapat dijelaskan secara
konseptual dengan teori keagenan dan teori akuntansi positif. Dalam teori keagenan antara
pemerintah (Direktorat Jenderal Pajak) sebagai principal dengan manajemen perusahaan
sebagai agent memiliki kepentingan yang berbeda terkait pembayaran pajak. Adanya
perbedaan kepentingan tersebut menyebabkan adanya konflik kepentingan antara perusahaan
dan pemerintah, sehingga memotivasi perusahaan meminimalkan beban pajak yang harus
dibayarkan kepada pemerintah. Teori akuntansi positif yang dapat menjelaskan praktik
manajemen laba adalah hipotesis ketiga yaitu The Political Cost Hypothesis. Scott (2003)
menjelaskan bahwa perusahaan yang berhadapan dengan biaya politik, cenderung melakukan
rekayasa penurunan laba dengan tujuan meminimalkan biaya politik yang mereka tanggung.
Biaya politik adalah biaya yang harus ditanggung oleh perusahaan terkait dengan regulasi
pemerintah, yang salah satunya beban pajak.
Penelitian yang membahas mengenai pengaruh perencanaan pajak terhadap manajemen
laba dilakukan oleh Sumomba (2012) yang membuktikan bahwa perencanaan pajak yang
diukur menggunakan tingkat retensi pajak mampu mendeteksi praktik manajemen laba. Hal ini
juga sejalan dengan Ulfah (PSNP 4) dan Fitriany (2016) yang membuktikan bahwa
perencanaan pajak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Peneliti lainnya adalah
Aditama dan Purwaningsih (2014) yang membuktikan bahwa perencanaan pajak ternyata tidak
berpengaruh terhadap manajemen laba pada perusahaan non manufaktur yang terdaftar di BEI.
Penelitian Wardani dan Santi (2018) juga membuktikan bahwa perencanaan pajak tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap manajemen laba pada perusahaan sub sektor makanan
dan minuman yang terdaftar di BEI. Berdasarkan teori dan hasil penelitian terdahulu, maka
hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
H2: Perencanaan pajak berpengaruh terhadap manajemen laba

8
Bagan Rerangka Teoritis
Berikut bagan rerangka teoritis dari penelitian ini.

Beban Pajak Tangguhan


(Deferred Tax Expense) Manajemen Laba
(X1) (Earnings Management)
(Y)
Perencanaan Pajak
(Tax Planning) (X2)

III. METODE PENELITIAN


Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan-perusahaan manufaktur yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia (BEI) periode tahun 2015-2017. Pengambilan sampel menggunakan
metode purposive sampling dengan kriteria sebagai berikut:
1. Perusahaan manufaktur yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2015-2017.
2. Perusahaan yang melaporkan laporan keuangan yang telah diaudit dan berakhir pada 31
Desember dan mempublikasikan laporan keuangannya secara lengkap dari tahun 2015-
2017.
3. Perusahaan yang tidak mengalami delisting atau penghapusan pencatatan saham di Bursa
Efek Indonesia (BEI) dari tahun 2015-2017.
4. Perusahaan yang mempunyai kelengkapan data (memenuhi kriteria variabel penelitian)
dari tahun 2015-2017.
5. Perusahaan yang tidak melakukan akuisisi, merger, restrukturisasi, dan perubahan
kelompok usaha dari tahun 2015-2017.
6. Perusahaan yang melaporkan laporan keuangan dalam satuan mata uang Rupiah (IDR) dari
tahun 2015-2017.
7. Perusahaan yang memiliki nilai Scaled Earninng Change dalam range 0 – 0,06 dan -0,09
– 0.

Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel


Manajemen Laba
Probabilitas perusahaan dalam melakukan manajemen laba untuk menghindari
penurunan laba dan pelaporan kerugian diperoleh dari pendistribusian manajemen laba
berdasarkan scaled earning change (Phillips et al. 2003; Yulianti 2005).

9
Variabel manajemen laba diukur dengan skala nominal yaitu menggunakan variabel
dummy, yaitu variabel yang bersifat kategorikal atau dikotomi (Ghozali, 2011), dimana
manajemen laba akan diberi nilai 1 (satu) jika perusahaan termasuk ke dalam kelompok Small
Profit Firm (diindikasikan melakukan manajemen laba untuk menghindari penurunan laba) dan
0 (nol) jika perusahaan termasuk ke dalam kelompok Small Loss Firm (diindikasikan
melakukan manajemen laba untuk menghindari kerugian).
Perusahaan yang berada pada range 0 – 0,06 dikategorikan sebagai Small Profit Firm,
sedangkan perusahaan yang berada pada range -0,09 – 0 dikategorikan sebagai Smalll Loss
Firm. Pengukuran variabel ini mengacu pada penelitian Phillips et al. 2003 serta Yulianti
(2005) dalam Widiastuti (2011) dan Kiswanto (2009). Berikut adalah formula untuk
mendapatkan skala pengukuran variabel probabilitas perusahaan untuk melakukan manajemen
laba:
𝑁𝑒𝑡 𝐼𝑛𝑐𝑜𝑚𝑒 i t − 𝑁𝑒𝑡 𝐼𝑛𝑐𝑜𝑚𝑒 i (t − 1)
𝑆𝑐𝑎𝑙𝑒𝑑 𝐸𝑎𝑟𝑛𝑖𝑛𝑔 𝐶ℎ𝑎𝑛𝑔𝑒 i t =
𝑀𝑎𝑟𝑘𝑒𝑡 𝑉𝑎𝑙𝑢𝑒 𝑜𝑓 𝐸𝑞𝑢𝑖𝑡𝑦 i (t − 1)

Beban Pajak Tangguhan


Beban pajak tangguhan adalah beban beban yang timbul akibat perbedaan temporer
antara laba akuntansi dan laba fiskal (Yulianti, 2005). Beban pajak tangguhan ini timbul dari
proses koreksi fiskal, dimana terjadi koreksi negatif, yaitu nilai penghasilan berdasarkan
akuntansi lebih tinggi dari nilai penghasilan berdasarkan pajak, serta nilai biaya berdasarkan
akuntansi lebih kecil dari nilai biaya berdasarkan pajak. Berikut adalah formula beban pajak
tangguhan (deferred tax expenses – DTE) (Phillips et al, 2003):
𝐷𝑒𝑓𝑒𝑟𝑟𝑒𝑑 𝑇𝑎𝑥 𝐸𝑥𝑝𝑒𝑛𝑠𝑒𝑠 i t
DTE =
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡 i (t − 1)

Perencanaan Pajak
Perencanaan pajak adalah upaya untuk meminimalkan beban pajak atau pembayaran
pajak yang menjadi kewajiban perusahaan. Perencanaan pajak diukur dengan menggunakan
rumus tax retention rate (tingkat retensi pajak), yang menganalisis suatu ukuran dari efektivitas
manajemen pajak pada laporan keuangan tahun berjalan (Wild et al., 2004). Ukuran efektivitas
manajemen pajak yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ukuran efektivitas perencanaan
pajak. Rumus tax retention rate (tingkat retensi pajak) adalah (Wild et al., 2004):
𝑁𝑒𝑡 𝐼𝑛𝑐𝑜𝑚𝑒 i t
TRR =
𝑃𝑟𝑒𝑡𝑎𝑥 𝐼𝑛𝑐𝑜𝑚𝑒 (EBIT) i t

10
Metode Analisis Data dan Pengujian Hipotesis
Metode statistik yang digunakan untuk menganalisis data dan menguji hipotesis yaitu
dengan menggunakan statistik deskriptif dan regresi logistik dengan menggunakan bantuan
perangkat lunak Microsoft Excel 2013 dan SPSS versi 23.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Hasil Sampel Penelitian
Berikut hasil analisis sampel dengan menggunakan purposive sampling.
Tabel 4.1 Hasil Seleksi Sampel Penelitian
Keterangan Jumlah
Perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI pada tahun 2015-2017 144
Perusahaan yang tidak melaporkan laporan keuangan yang diaudit dan tidak
(10)
mempublikasikan laporan keuangannya secara lengkap
Perusahaan yang delisting (6)
Perusahaan yang tidak mempunyai kelengkapan data yang diperlukan dalam
(2)
penelitian
Perusahaan yang melakukan akuisisi, merger, restrukturisasi, dan perubahan
(6)
kelompok usaha
Perusahaan yang tidak melaporkan laporan keuangan dalam satuan mata uang
(27)
Rupiah (IDR)
Perusahaan yang tidak memiliki nilai Scaled Earning Change dalam range 0 –
(46)
0,06 dan -0,09 – 0
Total Perusahaan yang Dijadikan Sampel 47
Sumber: Bursa Efek Indonesia

Statistik deskriptif
Berikut merupakan hasil statistik deskriptif variabel-variabel dalam penelitian.
Tabel 4.2 Hasil Statistik Deskriptif

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation


DTE 141 -0.02115 0.01829 -0.0014372 0.00490432
TRR 141 -0.56250 6.54976 0.7991497 0.59551644
EM 141 -0.07460 0.05914 -0.0027272 0.02557685
Valid N (listwise) 141

Sumber: Data diolah, 2018


Tabel 4.2 menggambarkan statistik deskriptif yang meliputi nilai minimum, nilai
maksimum, mean (rata-rata), dan standar deviasi. Nilai beban pajak tangguhan (deferred tax
expense – DTE) terbesar ada pada PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN) pada tahun
2016 sebesar 0,01829 apabila dibandingkan dengan total aset tahun sebelumnya. Sebaliknya,
nilai beban pajak tangguhan (deferred tax expense – DTE) PT Indocement Tunggal Prakasa
Tbk (INTP) sebesar -0.02115 merupakan nilai beban pajak tangguhan terkecil dalam observasi.

11
Rata-rata beban pajak tangguhan (deferred tax expense – DTE) perusahaan manufaktur dalam
observasi sebesar -0.0014372 berarti lebih banyak perusahaan yang memiliki manfaat pajak
tangguhan dibandingkan beban pajak tangguhan. Hal ini berarti beban pajak tangguhan tidak
banyak digunkaan oleh perusahaan manufaktur di tahun 2015-2017 untuk melakukan praktik
manajemen laba. Nilai standar deviasi untuk variabel ini sebesar 0,49% yang menunjukkan
variabilitas data observasi kecil.
Berdasarkan hasil statistik deskriptif variabel perencanaan pajak (tax retention rate –
TRR) pada Tabel 4.2, nilai perencanaan pajak (tax retention rate – TRR) terbesar dimiliki oleh
PT Indo Acitama Tbk (SRSN) pada tahun 2016 yaitu sebesar 6.54976. Sebaliknya, nilai
perencanaan pajak (tax retention rate – TRR) PT Siwani Makmur Tbk (SIMA) tahun 2017
yaitu -0.56250 merupakan nilai terkecil dalam observasi. Rata-rata perencanaan pajak (tax
retention rate – TRR) perusahaan manufaktur dalam observasi sebesar 0.7991497. Besarnya
nilai rata-rata perencanaan pajak tersebut menunjukkan bahwa rata-rata laba bersih selama
tahun 2015-2017 lebih tinggi 79,91% dibandingkan dengan rata-rata laba sebelum pajak tahun
2015-2017. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata perusahaan manufaktur di tahun 2015-2017
telah melakukan perencanaan pajak secara efektif. Nilai standar deviasi untuk variabel ini
sebesar 59,55% yang menunjukkan variabilitas data observasi untuk variabel perencanaan
pajak lebih besar dibandingkan variabel beban pajak tangguhan.
Hasil statistik deskriptif variabel manajemen laba (earning management – EM)
menunjukkan nilai terbesar pada PT Indal Aluminium Industry Tbk (INAI) yaitu 0.05914 pada
tahun 2015, sedangkan nilai manajemen laba (earning management – EM) yaitu -0.07460 yang
dimiliki PT Sepatu Bata Tbk (BATA) pada tahun 2016 merupakan nilai terkecil dalam
observasi ini. Besarnya nilai rata-rata (mean) manajemen laba (earning management – EM)
yang negatif yaitu -0.0027272, menunjukkan bahwa rata-rata perusahaan manufaktur pada
tahun 2015-2017 melakukan praktik manajemen laba dengan tujuan untuk menghindari
pelaporan kerugian. Nilai standar deviasi untuk variabel manajemen laba (earning management
– EM) sebesar 2,55% yang menunjukkan ukuran dispersi interval data observasi, penyebaran
atau distribusi variabilitas sebesar 2,55% dalam data.

12
Uji Hosmer and Lemeshow’s Goodness of Fit Test
Berikut merupakan hasil uji Hosmer and Lemeshow’s Goodness of fit test.
Tabel 4.3 Hasil Uji Hosmer and Lemeshow Test
Step Chi-square Df Sig.
1 11.400 8 0.180
Sumber: Data diolah, 2018
Tabel 4.6 menunjukkan nilai statistik dari Hosmer and Lemeshow’s goodness of fit test
sebesar 11,400 dengan probabilitas signifikansi 0,180. Karena nilai signifikansi dari Hosmer
and Lemeshow’s goodness of fit test lebih besar dari 0,05, maka model dapat diterima karena
cocok dengan data observasinya atau dapat dikatakan bahwa model mampu memprediksi nilai
observasinya.

Uji Kelayakan Keseluruhan Model


Berikut merupakan hasil pengujian kelayakan keseluruhan model.
Tabel 4.4 Perbandingan antara -2LogL Awal dan -2LogL Akhir
-2LogL awal (block number = 0) 191.011
-2LogL akhir (block number = 1) 188.581
Sumber: Data diolah, 2018
Berdasarkan hasil pengujian yang terdapat pada Tabel 4.4, diketahui nilai -2LogL pada
awal (block number = 0) sebesar 191,011, dimana model hanya memasukkan konstanta.
Kemudian pada Tabel 4.4 juga diketahui nilai -2LogL pada akhir (block number = 1) sebesar
188,581, dimana model sudah memasukkan kedua variabel independen, yaitu beban pajak
tangguhan dan perencanaan pajak. Adanya pengurangan nilai antara -2LogL awal sebesar
191,011 dan -2LogL akhir sebesar 188,581 menunjukkan bahwa model yang dihipotesiskan fit
dengan data.

Uji Koefisien Determinasi (Nagelkerke’s R2)


Berikut merupakan hasil pengujian koefisien determinasi.
Tabel 4.5 Koefisien Determinasi
Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square
1 188.581a 0.017 0.023
Sumber: Data diolah, 2018
Berdasarkan Tabel 4.5 dapat diketahui nilai Nagelkerke’s R2 adalah sebesar 0,023 yang
menunjukkan bahwa kedua variabel independen, yaitu beban pajak tangguhan dan perencanaan
pajak hanya dapat menjelaskan variasi variabel dependen sebesar 2,3%. Sisanya sebesar 97,7%
dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak diujikan dalam penelitian ini.

13
Uji Multikolinearitas
Berikut hasil pengujian multikolinearitas.
Tabel 4.6 Correlation Matrix
Constant DTE TRR
Step 1 Constant 1.000 0.048 -0.866
DTE 0.048 1.000 0.113
TRR -0.866 0.113 1.000
Sumber: Data diolah, 2018
Berdasarkan Tabel 4.6 dapat diketahui bahwa dari hasil pengujian correlation matrix,
dalam persilangan antara variabel independen yaitu beban pajak tangguhan (deferred tax
expense – DTE) dan perencanaan pajak (tax retention rate – TRR), menunjukkan nilai
koefisien korelasi hanya sebesar 0,113 yang berarti nilainya dibawah 0,8, maka dapat
disimpulkan tidak terdapat gejala multikolinearitas yang serius antar variabel.

Uji Tabel Klasfikasi


Berikut merupakan hasil uji tabel klasifikasi.
Tabel 4.7 Hasil Tabel Klasfikasi
Observasi Prediksi
EM Presentase
Small Loss Small Profit Benar
Firm Firm
EM Small Loss Firm 4 54 6.9
Small Profit Firm 2 81 97.6
Presentase Keseluruhan 60.3
Sumber: Data diolah, 2018
Tabel 4.7 menunjukkan kekuatan model regresi untuk memprediksi kemungkinan
perusahaan melakukan manajemen laba (earning management – EM) adalah sebesar 97,6%.
Hal ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan model regresi terdapat 81 observasi yang
diprediksi akan melakukan manajemen laba (earning management – EM) dari total 83
observasi perusahaan yang melakukan manajemen laba (earning management – EM).
Sementara itu, kekuatan model regresi untuk memprediksi kemungkinan perusahaan tidak
melakukan manajemen laba (earning management – EM) adalah sebesar 6,9%. Hal ini berarti
bahwa dengan menggunakan model regresi terdapat 4 observasi yang diprediksi tidak
melakukan manajemen laba (earning management – EM) dari total 58 observasi perusahaan
yang tidak melakukan manajemen laba (earning management – EM). Total persentase
keseluruhan kekuatan model regresi adalah 60,3%.

14
Hasil Uji Regresi Logistik
Berikut hasil pengujian regresi logistik.
Tabel 4.8 Hasil Uji Regresi Logistik

B S.E. Wald Df Sig. Exp(B)


Step DTE 25.461 37.156 0.470 1 0.493 114196711787.626
1a TRR -0.430 0.411 1.090 1 0.296 0.651
Constant 0.735 0.361 4.157 1 0.041 2.086
Sumber: Data diolah, 2018
Persamaan model regresi logistik yang dihasilkan adalah sebagai berikut:
𝑬𝑴
𝑳𝒏 = 𝟎, 𝟕𝟑𝟓 + 𝟐𝟓, 𝟒𝟔𝟏 𝑫𝑻𝑬𝒊 − 𝟎, 𝟒𝟑𝟎 𝑻𝑹𝑹𝒊𝒕 + 𝜺
𝟏 − 𝑬𝑴
Rumus tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Nilai konstanta sebesar 0,735, artinya jika beban pajak tangguhan (deferred tax expense –
DTE) dan perencanaan pajak (tax retention rate – TRR) bernilai konstan atau 0, maka
kecenderungan perusahaan melakukan manajemen laba (earning management – EM)
sebesar 0,735.
2) Nilai koefisien regresi variabel beban pajak tangguhan (deferred tax expense – DTE)
menunjukkan nilai positif sebesar 25,461 yang berarti bahwa setiap terjadi peningkatan
terhadap beban pajak tangguhan maka akan berdampak pada peningkatan kecenderungan
perusahaan melakukan manajemen laba (earning management – EM).
3) Nilai koefisien regresi variabel perencanaan pajak (tax retention rate – TRR) menunjukkan
nilai negatif sebesar -0,430 yang berarti bahwa setiap terjadi peningkatan terhadap
perencanaan pajak maka akan berdampak pada penurunan kecenderungan perusahaan
melakukan manajemen laba (earning management – EM).

Pembahasan
Hubungan Beban Pajak Tangguhan terhadap Manajemen Laba
Hubungan beban pajak tangguhan terhadap manajemen laba disebabkan karena alasan
penghematan atau penundaan pajak yang dilakukan perusahaan dengan mengurangi laba yang
dilaporkan. The political cost hypothesis dalam teori akuntansi positif mendukung bahwa
beban pajak tangguhan dapat mempengaruhi manajemen laba sebagai motivasi penghematan
pajak dengan tujuan mengurangi biaya politik (beban pajak). Perpajakan dapat menjadi
motivasi bagi manajer untuk melakukan manajemen laba. Dari hasil uji regresi logistik yang
ditunjukkan pada Tabel 4.8 diketahui koefisien regresi untuk variabel beban pajak tangguhan
(deferred tax expense – DTE) adalah 25,461 dengan nilai signifikansi 0,493. Nilai signifikansi

15
lebih besar dari 0,05 sehingga H1 ditolak. Kesimpulannya adalah beban pajak tangguhan tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap manajemen laba.
Beban pajak tangguhan dalam penelitian ini tidak dapat mendeteksi manajemen laba
karena kemampuan beban pajak tangguhan yang hanya dapat mencerminkan efek pajak yang
ditimbulkan oleh perbedaan temporer antara akuntansi dan pajak, sehingga apabila perusahaan
diindikasikan melakukan manajemen laba yang memunculkan perbedaan permanen, beban
pajak tangguhan tidak dapat mendeteksi praktik manajemen laba tersebut. Selain itu, bila
perusahaan ingin menurunkan labanya dengan alasan penghematan atau penundaan pajak
(political cost hypothesis) pengaruhnya terhadap beban pajak tangguhan kecil, sehingga bila
ingin mendeteksi manajemen laba dalam perusahaan melalui beban pajak tangguhan tidak
efektif karena beban pajak tangguhan tidak dapat menggambarkan bahwa perusahaan tersebut
melakukan manajemen laba. Hal ini juga dibuktikan bahwa lebih banyak perusahaan
manufaktur di tahun 2015-2017 yang memiliki manfaat pajak tangguhan (aset pajak
tangguhan) dibandingkan dengan beban pajak tangguhan (liabilitas pajak tangguhan). Artinya
selama tahun 2015-2017 terdapat pemulihan aset pajak tangguhan yang besar sehingga
mengurangi pembayaran pajak masa depan.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Hamzah (2009) dan
Fitriany (2016) yang menyatakan bahwa beban pajak tangguhan tidak memiliki pengaruh yang
signifikan dalam mendeteksi manajemen laba. Penelitian ini tidak mendukung penelitian dari
Sumomba (2012) yang membuktikan bahwa beban pajak tangguhan mampu mendeteksi
praktik manajemen laba yang dilakukan oleh manajemen.

Hubungan Perencanaan Pajak terhadap Manajemen Laba


Hubungan perencanaan pajak terhadap manajemen laba dapat dijelaskan dengan teori
keagenan dan teori akuntansi positif. Dalam teori keagenan perencanaan pajak muncul karena
adanya perbedaan kepentingan antara perusahaan dan pemerintah. Perbedaan kepentingan ini
terletak pada perusahaan yang berusaha membayar pajak seminimal mungkin, sementara
pemerintah mengandalkan pembayaran pajak dari perusahaan untuk mendanai pengeluaran
negara. Hal ini juga dijelaskan dengan teori akuntansi positif yaitu the political cost hypothesis.
Perusahaan yang berhadapan dengan biaya politik (beban pajak) cenderung melakukan
rekayasa penurunan laba dengan tujuan untuk meminimalkan biaya politik yang mereka
tanggung. Hasil uji regresi logistik yang ditunjukkan pada Tabel 4.8 diketahui koefisien regresi
untuk variabel perencanaan pajak (tax retention rate – TRR) adalah -0,430 dengan nilai
signifikansi 0,296. Nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 sehingga H2 ditolak. Kesimpulannya
16
adalah perencanaan pajak tidak berpengaruh secara signifikan terhadap manajemen laba. Hal
ini berarti semakin besar perencanaan pajak maka semakin kecil praktik manajemen laba yang
dilakukan perusahaan.
Philips et al. (2003) menyatakan bahwa para manajer melakukan manajemen laba
dengan pendekatan distribusi laba dikarenakan manajer sadar bahwa pihak eksternal seperti
para investor, bank, dan pemasok menggunakan batas pelaporan laba dalam menilai kinerja
manajer. Ditolaknya H2 dalam penelitian ini jelas terlihat karena tujuan perusahaan manufaktur
di tahun 2015-2017 melakukan manajemen laba ialah untuk menghindari pelaporan kerugian
sehingga perusahaan akan cenderung melaporkan laba yang lebih tinggi, sedangkan tujuan dari
perencanaan pajak adalah untuk memperkecil laba perusahaan agar pajak yang dibayarkan juga
akan kecil. Selain itu, di dalam perusahaan manufaktur terdapat beberapa divisi atau
departemen dengan masing-masing manajemen. Hal ini akan membuat kecenderungan
manajemen untuk mementingkan kepentingannya masing-masing dalam hal untuk
memperoleh bonus atau kompensasi apabila menunjukkan kinerja yang baik, sehingga
manajemen laba yang dilakukan cenderung terjadi karena self interest manajemen bukan
karena perencanaan pajak (Wardani dan Santi, 2018). Menurut peneliti, tidak berpengaruhnya
perencanaan pajak terhadap manajemen laba karena tujuan manajemen laba perusahaan
manufaktur tahun 2015-2017 adalah untuk menghindari pelaporan kerugian, hal ini cenderung
didasari oleh adanya kepentingan untuk mengindari pelanggaran perjanjian utang (kredit).
Berdasarkan teori akuntansi positif yaitu the debt to equity hypothesis (debt covenant
hypothesis), manajemen akan meningkatkan laba untuk menghindar atau setidaknya menunda
pelanggaran perjanjian utang.
Hasil penelitian ini mendukung penelitian Aditama dan Purwaningsih (2014) yang
menunjukkan bahwa perencanaan pajak tidak berpengaruh terhadap manajemen laba pada
perusahaan-perusahaan non manufaktur di BEI selama tahun 2009-2012 dan mendukung
penelitian Wardani dan Santi (2018) yang menunjukkan bahwa perencanaan pajak tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap manajemen laba pada perusahaan sub sektor makanan
dan minuman di BEI selama tahun 2012-2016. Penelitian ini tidak mendukung penelitian dari
Sumomba (2012), Ulfah (PSNP 4), dan Fitriany (2016) yang membuktikan bahwa perencanaan
pajak berpengaruh terhadap manajemen laba.

17
V. KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian kuantitatif deskriptif yang menggunakan 47 perusahaan
manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2015 – 2017 dengan menggunakan
alat analisis regresi logistik, ditemukan bahwa kedua pengukur manajemen laba yaitu beban
pajak tangguhan dan perencanan pajak tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
kecenderungan perusahaan manufaktur dalam melakukan praktik manajemen laba.
Koefisien determinasi yang menggunakan R2 memperlihatkan pengaruh positif. Nilai
R2 dalam penelitian ini hanya sebesar 0,023 atau sama dengan 2,3% yang berarti bahwa variasi
perubahan variabel dependen (manajemen laba) yang dijelaskan oleh variabel independen
beban pajak tangguhan dan perencanaan pajak hanya sebesar 2,3%, sedangkan sisanya 97,7%
dijelaskan oleh variabel-variabel lain di luar model penelitian. Artinya, masih banyak faktor-
faktor lain yang menentukan adanya praktik manajemen laba pada perusahaan.

Keterbatasan Penelitian
Adapun keterbatasan yang menjadi kelemahan dan kekurangan penelitian ini adalah
pada variabel yang digunakan untuk memprediksi manajemen laba yang dilakukan oleh
perusahaan hanya sebatas beban pajak tangguhan dan perencanaan pajak, yang hanya dapat
ditentukan menggunakan laporan keuangan. Kemampuan variabel beban pajak tangguhan dan
perencanaan pajak dalam menjelaskan variasi variabel manajemen laba sangat terbatas, yaitu
hanya sebesar 2,3% (dilihat dari nilai Nagelkerke’s R Square).

Saran untuk Penelitian Berikutnya


Berdasarkan keterbatasan dan kekurangan dalam penelitian ini, maka saran untuk
penelitian berikutnya diharapkan dapat menambah variabel independen lain terkait manajemen
laba seperti aset pajak tangguhan dan beban pajak kini. Selain itu, juga dapat menambahkan
variabel kontrol seperti profitabilitas, likuiditas, pertumbuhan perusahaan, corporate
governance, atau ukuran perusahaan dengan harapan nilai Nagelkerke’s R Square dapat
meningkat, sehingga mencerminkan kemampuan variabel independen dalam menjelaskan
variasi variabel dependen menjadi semakin baik. Apabila nilai Nagelkerke’s R Square pada
model yang memasukkan variabel kontrol lebih besar daripada nilai Nagelkerke’s R Square
yang tidak memasukkan variabel kontrol, maka variabel kontrol yang digunakan sudah benar.

18
DAFTAR PUSTAKA
Aditama, Ferry dan Anna Purwaningsih. 2014. Pengaruh Perencanaan Pajak terhadap
Manajemen Laba Pada Perusahaan Non Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek
Indonesia. MODUS Vol. 26 No. 1. Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Arfani, Astri Nur Kusumawati dan Noer Sasongko. 2005. Analisis Perbedaan Pengaturan
Laba (Earnings Management) Pada Kondisi Laba dan Rugi Pada Perusahaan
Manufaktur di Indonesia. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Vol. 4 No. 1.
Bareksa. 2015. BEI: Laporan Keuangan Inovisi Salah Saji, Suspen Saham Belum Akan Dibuka.
www.bareksa.com (Diakses pada tanggal 23 April 2019).
Castro, L., dan Scartascini, C. 2015. Tax Compliance and Enforcement in the Pampas Evidence
from a Field Experiment. Journal of Economic Behavior & Organization, 116, 65-82.
Ettredge, Michael L., et al. 2008. Is Earnings Fraud Associated with High Deffered Tax and/or
Book Minus Tax Levels?. Auditing: Journal of Practice and Theory Vol. 27 (1) Hal 1-
33.
Fitriany, L C. 2016. Pengaruh Aset Pajak Tangguhan, Beban Pajak Tangguhan, dan
Perencanaan Pajak terhadap Manajemen Laba (Studi Empiris Pada Perusahaan
Manufaktur yang Terdaftar di BEI Tahun 2011-2013). JOM Fekom Vol. 3 No. 1.
Universitas Riau.
Ghozali, Imam. 2011. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program IBM SPSS 19.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Hairu, Ningsih. 2009. Hubungan antara Manajemen Laba, Good Corporate Governance, dan
Struktur Pengendalian Intern terhadap Perencanaan Audit. Skripsi. Jakarta: Fakultas
Ekonomi UTIRA-IBEK.
Hamzah, Ardi. 2009. Deteksi Earnings Management Melalui Beban Pajak Tangguhan, Akrual,
dan Arus Kas Operasi: Studi Pada Perusahaan Real Estate dan Property yang
Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2006-2008. Departemen Akuntansi
Universitas Trunojoyo.
Holland, D. and Ramsay, A. 2003. Do Australian Companies Manage Earnings to Meet Simple
Earnings Benchmarks?. Accounting and Finance Vol. 43: pp.41-62.
Huda, M. K., dan Hernoko, A. Y. 2017. Tax Amnesties in Indonesia and Other Countries:
Opportunities and Challenges. Asian Social Science Vol. 13 No. 7.
Jensen, Michael C., and William H. Meckling. 1976. Theory of The Firm: Managerial
Behavior, Agency Costs, and Ownership Structure. The Journal of Financial
Economics.
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Perekonomian Indonesia dan APBN 2017.
www.kemenkeu.go.id (Diakses pada tanggal 07 Desember 2018).
Lumbantoruan, Sophar. 1996. Akuntansi Pajak. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Nasional Kontan. 2014. Coca Cola Diduga Akali Setoran Pajak. www.nasional.kontan.co.id
(Diakses pada tanggal 23 April 2019).

19
Negara, A.A Gede Raka Plasa dan I.D.G. Dharma Suputra. 2017. Pengaruh Perencanaan
Pajak dan Beban Pajak Tangguhan terhadap Manajemen Laba. E-Jurnal Akuntansi
Universitas Udayana Vol 20 No 3.
Phillips, John, Pincus, Morton and Rego, Sonja Olhof. 2003. Earnings Management: New
Evidence Based on Defferred Tax Expense. The Accounting Review Vol. 27 pp. 491-
521.
Pohan, Chairil Anwar. 2013. Manajemen Perpajakan Strategi Perencanaan Pajak dan Bisnis.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
PSAK No. 46 Pajak Penghasilan. 2010. Exposure Draft Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan. Ikatan Akuntan Indonesia.
Rini, F. A., dan Asrori. 2014. Pengaruh Pajak Tangguhan dan Tax to Book Ratio terhadap
Rating Sukuk. Accounting Analysis Journal Vol. 3 No. 2 Hal: 211-219.
Schipper, Katherine. 1989. Comentary Katherine on Earnings Management. Accounting
Horizon.
Scott, William R. 2003. Financial Accounting Theory - Third Edition. New Jersey: Prentice
Hall International, Inc.
Suandy, Early. 2008. Perencanaan Pajak (Edisi Keempat). Jakarta: Salemba Empat.
Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D).
CV. Alfabeta: Bandung.
Sulistyanto, H. Sri. 2008. Manajemen Laba, Teori, dan Model Empiris. Jakarta: Grasindo.
Sumomba, Christina R dan YB. Sigit Hutomo. 2012. Pengaruh Beban Pajak Tangguhan dan
Perencanaan Pajak terhadap Manajemen Laba. Kinerja Journal of Business and
Economics Vol 16 No 2.
Ujiyanto, Muh Arief. 2004. Asimetri Informasi dan Manajemen Laba: Suatu Tinjauan dalam
Hubungan Keagenan. Simposium Nasional Akuntansi X, Makassar.
Ulfah, Yana. Pengaruh Beban Pajak Tangguhan dan Perencanaan Pajak terhadap Praktik
Manajemen Laba. Universitas Mulawarman Samarinda. Prosiding Simposium
Nasional Perpajakan 4.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan.
Wardani, D. K. dan D. K. Santi. 2018. Pengaruh Tax Planning, Ukuran Perusahaan,
Corporate Social Responsibility (CSR) terhadap Manajemen Laba. Jurnal Akuntansi
Vol. 6. Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa.
Watts, Ross L. and Jerold L. Zimmerman. 1986. Positive Accounting Theory. USA: Prentice-
Hall.
Wild, John J., K. R. Subramanyam and Robert F. Hasley. 2004. Financial Statement Analysis,
8th ed. Boston: Mc.Graw-Hill.
Yulianti. 2005. Kemampuan Beban Pajak Tangguhan dalam Mendeteksi Manajemen Laba.
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Vol. 2, No. 1: pp. 107-129.
Zain, Mohammad. 2007. Manajemen Perpajakan. Jakarta: Salemba Empat, Edisi Ketiga.

20

You might also like