Professional Documents
Culture Documents
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 6, No. 2, Desember 2021, 185-205
Rizki Pangestu
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
E-mail: rizki5pangestu@gmail.com
ABSTRACT
The social phenomenon of early childhood marriage is very common in various regions of
Indonesia. One of the factors of early childhood marriage is the economic factor, education,
even the very fatal is the social factor. Early childhood marriage must be prevented from an
early age because it will have an impact on the mental and physical health of these minors. One
of the preventions is to provide regulations regarding the minimum age for marriage for both
men and women. This article is a literature study using analytical descriptive methods and
normative juridical approaches. Writing this article aims to describe and then analyze the
minimum age for marriage in the perspective of Islamic law, positive law and medical views.
Basically, in the Qur'an and Hadith, nothing specifically explains the minimum age for marriage.
But there are explained the characteristics of someone who has been allowed to marry. The
minimum age for marriage according to Article 29 of the Civil Code is 18 years for a boy and 15
years for a girl. In Law. No. 16 of 2019 amendments to Law no. 1 of 1974 concerning Marriage,
Article 7 paragraph 1 states that a man and a woman may marry when they reach the age of
19. From a medical point of view, the ideal minimum age for marriage is 20 years for women
and 25 years for men. Because at the age below the above, the reproductive organs of a
married couple are immature.
Keywords: Marriage, Children, Minors.
ABSTRAK
Fenomena sosial pernikahan anak usia dini sangat banyak ditemukan di berbagai daerah
Indonesia. Salah satu faktor pernikahan anak usia dini adalah faktor ekonomi, pendidikan,
bahkan yang sangat fatal adalah faktor sosial. Pernikahan anak usia dini harus dicegah sedari
dini karena akan berdampak pada kesehatan mental dan fisik anak-anak di bawah umur
tersebut. Salah satu pencegahannya adalah memberikan peraturan tentang batas minimal usia
menikah baik untuk laki-laki maupun untuk perempuan. Artikel ini merupakan studi putaka
dengan menggunakan metode deskriptif analitik dan pendekatan yuridis normatif. Penulisan
artikel ini bertujuan untuk mendeskripksikan lalu menganalisis batasan minimal usia menikah
dalam prespektif hukum Islam, hukum positif maupun pandangan secara medis. Pada dasarnya
dalam Al-quran dan Hadits tidak ada yang menjelaskan secara spesifik mengenai batas minimal
185
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 6, No. 2, Desember 2021, 185-205
usia menikah. Namun di sana dijelaskan ciri-ciri seseorang yang sudah dibolehkan untuk
menikah. Batas minimal usia pernikahan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal
29 adalah 18 tahun untuk jejaka dan 15 tahun untuk seorang gadis. Dalam UU. No. 16 tahun
2019 perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 7 ayat 1 adalah bahwa
pria dan wanita boleh melaksanakan pernikahan ketika sudah mencapai umur 19 tahun.
Berdasarkan pandangan medis, usia minimal ideal perkawinan adalah 20 tahun bagi perempuan
dan laki- laki 25 tahun. Karena pada usia dibawah tersebut diatas organ-organ reproduksi
pasangan suami istri belum matang.
Kata Kunci: Perkawinan, Anak, Bawah Umur.
PENDAHULUAN
Pada dasarnya sebuah perkawinan dilakukan oleh orang yang telah mapan dalam
hidupnya atau telah dewasa dan tanpa harus menilai bangsa, suku, agama, profesi,
orang kaya atau miskin dan tinggal di kota atau desa. Tetapi sering dijumpai
masyarakat yang telah memiliki kemampuan secara mental dan fisiknya mencari
pasangan hidup berdasarkan keinginannya. Perkawinan yang dilakukan tidak ditujukan
untuk melakukannya dalam jangka waktu tertentu atau sementara melainkan
dilakukan sepanjang hidup seseorang. Namun sebagain masyarakat belum memahami
apa tujuan dan hakikat dari sebuah perkawinan yang utuh yakni mendapatkan
kebahagiaan dan keharmonisan hidup dalam membangun dan menjalankan kehidupan
berkeluarga.
Perkawinan memerlukan persiapan diri yang matang baik secara biologis maupun
psikologis serta sosial. Untuk usia minimal seseorang diperbolehkan untuk menikah
memiliki batasan tertentu yaitu laki-laki dan perempuan seharusnya telah lulus SLTA
atau berusia 19 tahun. Perkawinan yang dilakukan ketika berusia dini dapat
menyebabkan resiko khusunya untuk perempuan seperti reproduksi yang kurang baik
dan hamil terlalu muda. Selain itu juga terdapat resiko secara psikologis yaitu tidak
bisa menjalankan fungsi refroduksi secara maksimal.1
Angka pernikahan dini di banyak negara terus meningkat dari tahun ke tahun
dan selalu berhubungan dengan berbagai upaya perlindungan hukum terhadap anak.
UNICEF (United Nations Children’s Fun) menegaskan bahwa Indonesia merupakan
negara dengan jumlah presentase pernikahan di usia dini yang tinggi di dunia. Hal ini
dibuktikan dengan data UNICEF yang mengatakan bahwa “Pada tahun 2018, sekitar
11% atau 1 dari 9 perempuan berumur 20-24 menikah sebelum berusia 18 tahun.
1
Udi Wahyudi, “Tingkat Kedewasaan Antara Laki-Laki dan Perempuan Relevansinya Dengan
Batas Usia Perkawinan (Studi Komparasi Hukum Islam Dengan Pandangan Medis)”, Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (2015), 2.
186
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 6, No. 2, Desember 2021, 185-205
Pada tahun 2018, sekitar 1% atau 1 dari 100 laki-laki berumur 20-24 menikah sebelum
berusia 18 tahun. Diperkirakan ada 1.220.900 anak perempuan yang menikah sebelum
berumur 18 tahun”.2
Pernikahan dini merupakan fenomena sosial yang banyak terjadi di Indonesia.
Hal ini disebabkan ketidakmampuan para remaja dalam mengontrol dorongan
seksualnya terhadap lawan jenis sehingga mereka berhubungan seksual di luar ikatan
yang sah yaitu pernikahan sehingga menimbulkan resiko bagi kedua remaja tersebut
yaitu harus dinikahkan. Di lain hal, persepsi masyarakat terhadap anak perempuan
yang telah memasuki usia 16 tahun dinilai cukup untuk melakukan pernikahan.
Sehingga ketika anak perempuan telah melebihi usia 16 tahun menjadikan para orang
tuanya merasa resah sebab persepsi masyarakat yang mengatakan kalau seorang
gadis yang berusia di atas 16 tahun dan belum menikah merupakan gadis yang tidak
laku. Dengan sebab itu para orang tua akan mencarikan pasangan bagi anak gadisnya
untuk segera menikah karena takut atau khawatir anaknya menjadi perawan tua.
Berdasarkan ajaran Islam, seseorang yang akan melaksanakan pernikahan tidak
dibatasi umurnya secara tegas dan jelas terkait usia. Maka dari itu, disini penulis ingin
membahas sedikit masalah terkait batasan usia minimal menikah baik bagi laki-laki
atau perempuan menurut hukum Islam, hukum positif maupun menurut pandangan
medis.
METODE PENELITIAN
Mengacu pada bagian metodologis dari kajian ini, masuk dalam wilayah kajian
hukum normatif. Penulis melakukan penelitian ini berdasarkan data dari bahan pustaka
untuk menemukan terkait ketentuan hukum, prinsip-prinsip guna memecahkan
permasalahan yang digali yakni terkait batas usia menikah.3 Penulis menggunakan
jenis data penelitian yang diambil secara kualitatif4 dengan berupa dokumen yang
bersifat kata atau kalimat yang berkaitan dengan objek kajian ini. Adapun sumber data
dibedakan menjadi dua yakni bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang
disusun secara sistematis. Bahan hukum primer adalah yang terdiri dari peraturan
2
Badan Pusat Statistik; Kementrian PPN/Bappenas; PUSKAPA; Unicef, Perkawinan Anak
Indonesia (2020), www.unicef.org
3
Peter Mahmud Marzuki, “Penelitian Hukum” (Jakarta: Kencana, 2011)
4
Sugiyono, “Metode Penelitian, Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D” (Bandung: Alfabeta, 2016),
224.
187
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 6, No. 2, Desember 2021, 185-205
PEMBAHASAN
Kodrat manusia di muka bumi sebagai mahluk sosial mempunyai
kecenderungan untuk hidup bersama-sama dengan menjalin hubungan sosial.5
Sehingga dapat dijabarkan secara ekspisit bahwa untuk menciptakan hubungan social
itu diawali dengan sebuah hubungan dalam keluarga yakni perkawinan. Artinya
keluarga terbentuk atas adanya seorang laki-laki dan perempuan yang hidup secara
bersama-sama yang telah memenuhi hukum dan berbagai persyaratan dari sebuah
perkawinan.6
Adapun hukum untuk melakukan sebuah perkawinan sejatinya telah diatur
dalam berbagai hukum positif ataupun hukum agama.7 Dewasa ini yang menjadi
landasan dalam hukum pernikahan di Indonesia ialah UU No. 11974 mengenai
pernikahan, PP No. 9/1975 mengenai pemberlaksanaan UU No. 1/1974. PP No.
10/1983 mengenai izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS dan Buku 1 KUHPer bab
IV-XI. Dasar hukum dari masing-masing penulis uraikan di atas memiliki kriteria
muatan hukum perkawinan. Salah satunya ialah mengenai batasa usia perkawinan.
Pasca diundangkannya UU No. 16/2019 mengenai Perubahan UU No. 1/1974
mengenai Perkawinan, yang mengatur adanya perubahan batas usia perkawinan bagi
perempuan dan laki-laki adalah 19 tahun, jika kurang dari umur yang ditetapkan
tersebut maka diwajibkan untuk mengajukan penangguhan pernikahan di pengadilan.
5
B. Rini Heryanti, “Impelementasi Perubahan Kebijakan Batas Usia Perkawinan,” Jurnal Ius
Constituendum, Vol. 6, No. 2, (April 2021), 122.
6
Akhmad Shodikin, “Pandangan Hukum Islam Dan Hukum Nasional Tentang Batas Usia
Perkawinan”, Jurnal Mahkamah Vol. 9, No. 1, (2015), 115.
7
A. Asrori, “Batas Usia Perkawinan Menurut Fukaha dan Penerapannya Dalam Undang-Undang
Perkawinan di Dunia Islam,” Jurnal Al-‘Adalah, Vol. XII, No. 4, (2015), 17.
188
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 6, No. 2, Desember 2021, 185-205
189
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 6, No. 2, Desember 2021, 185-205
Dalam Tafsir Ibnu Katsir mepaparkan bahwa ayat ini merupakan sebuah
perintah buat menikah sebagaimana komentar sebagian dari ulama mengharuskan
nikah untuk mereka yang sanggup. Al-Maraghy menafsirkan sebagaimana yang dilansir
oleh Mustofa, kalimat washalihin, para laki-laki ataupun perempuan yang sanggup
untuk menikah serta melaksanakan hak- hak suami istri, semacam berbadan sehat,
memiliki harta serta lain- lain. Quraish Shihab menafsirkan ayat tersebut washalihin,
ialah seseorang yang sanggup secara mental serta spiritual untuk membina rumah
tangga, bukan dalam arti yang taat beragama, sebab fungsi pernikahan membutuhkan
persiapan bukan hanya materi, namun juga persiapan mental maupun spiritual, baik
untuk calon suami maupun calon istri.8
Firman Allah Swt. Qs. An-Nur [24]: 59:
ْ ٱّلل لَ ُك
م ُ ن َ ِم ۚ َك َٰ َذل
ُ ك ُيب َِي َ ٱستَـْٔ َذ
ِ ن ٱل ِذينَ مِن َق ْبل
ْ ِه ْ وا َكمَا َ ُحل
ْ م َف ْلي
۟ َُستَـْٔ ِذن ُ م ْٱل ُ لم
ُ ِنك ْ َٱل
ُ ط َٰ َف ْ غ
َ َوَإِ َذا بَل
ٌ حكِي
م ٌ َٱّلل َعلِي
َ م ِ ِءَا َٰيَت
ُ هۦ ۗ و
“Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, Maka hendaklah mereka
meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah
Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
(Q.s. al-Nur [24]: 59).
Firman Allah Swt. Qs. An-Nisa [4]: 6:
م ۖ و َََلْ م أَ ْم َٰ َولَ ُهْ ش ًدا َفٱ ْد َف ُعو ۟ٓا إِلَ ْي ِه ْ س ُتم ِم ْن ُه
ْ م ُر ْ َح َفإِ ْن ءَان َ كا ۟ ى إِ َذا بَلَ ُغ
َ ِوا ٱلن ٓ َٰ َى حَت ْ ۟ ُوَٱ ْبتَل
َٰ وا ٱليَ َٰ َتم
ف ۚ َفإِ َذاِ م ْع ُرو ْ ِل ب
َ ٱل ْ ان َفقِيرًا َف ْلي َْأ ُك َ ِف ۖ َومَن َك ْ ان َغنِيًّا َف ْلي
ْ َس َت ْعف َ وا ۚ َومَن َك ۟ َافا َوبِدَارًا أَن ي َْكبَ ُر ً سر ْ ِهآ إ َ تَ ْأ ُكلُو
حسِيبًا ِ َِى ب
َ ٱّلل َٰ م ۚ َو َكفْ وا َعلَ ْي ِه۟ ش ِه ُد ْ َم َفأ ْ م أَ ْم َٰ َولَ ُه
ْ م إِلَ ْي ِهْ َد َف ْع ُت
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin, kemudian
jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka
serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu makan harta anak
yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesagesa
(membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu)
mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan
barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.
Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu
adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai
Pengawas (atas persaksian)”. (Qs. an-Nisa [4]: 6)
Berdasarkan Tafsîr Ayat al-Ahkâm seorang anak dianggap telah baligh jika ia
merupakan anak laki-laki bisa diketahui ketika ia telah mimpi basah dan keluar mani.
Sementara perempuan dikatakan telah baligh pada saat ia telah haidh. Menurut Tafsir
Al-Misbah di dalam menafsirkan kata rushd memiliki arti kelurusan jalan. Sehingga jika
8
Dedi Supriyadi dan Mustofa, “Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam” (Bandung:
Pustaka Al-Fikriis, 2009), 22.
190
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 6, No. 2, Desember 2021, 185-205
disematkan kata rush kepada manusia berarti seseorang yang telah sempurna baik
jiwa dan akalnya sehingga ia bisa berbuat dengan sebaik mungkin.
Al-Maraghy memberikan penafsiran terkait istilah dewasa “rusydan” yakni
seorang menguasai cara mentasarufkan harta secara baik, sedangkan makna baligh al-
nikah yaitu ketika usia sudah siap untuk melakukan pernikahan. Ini maksudnya, al-
Maraghi menjelaskan bahwa ketika seseorang belum memasuki usia dewasa maka ia
tidak harus untuk diberikan beban yang dapat mempersulit mereka seperti pernikahan
dini. Rashid Ridha menjelaskan baligh an0nikah memiliki arti yaitu umum yang pantas
bagi seseorang untuk melakukan pernikahan seperti telah mimpi basah, siap menikah
baik secara biologis maupun mental. Orang yang telah menikah akan dibebani ileh
hukum agama semacam bermuamalah, ibadah dan juga hudud, oleh sebab itu rushdan
merupakan kesiapan seseorang untuk bertasaruf dan memberikan pengaruh yang baik
bagi dirinya dan orang lain serta bisa mentasarufkan hartannya dengan baik meskipun
kurang pemahamannya dalam hal agama.9
Secara historis, batasan perkawinan dicontohkan oleh pernikahan Nabi Saw.,
dengan Aisyah yang berusia 9 tahun dan 15 tahun. Batasan usia 9 tahun sebagaimana
hadis yang diriwayatkan Imam Muslim berbunyi:
ُ ت سِتِ َوبَنَى بِهَا بِ ْن
ت ُ ي بِ ْن ِ م َو
َ ه َ َسل ِ هللا صَلى هللاُ َعلَ ْي
َ هو ِ ل ُ َس ْو
ُ جهَا ر
َ تَزَو:ت ْ َِش َة َقال
َ ن َعائ ْ َع
)ش َر َة (رواه مسلم َ ت ثَم
ْ َان َع ُ ي بِ ْن
َ ه ِ َات َو َع ْنهَا َو ْ ت
َ ِسعِ َوم
“Rasulullah menikah dengan dia (Aisyah) dalam usia enam tahun, dan beliau
memboyongnya ketika ia berusia 9 tahun, dan beliau wafat pada usia delapan belas
tahun”. (H.r. Muslim).
Sedangkan batasan 15 tahun sebagaimana riwayat Ibnu Umar:
ْ َس َن ًة َفل
ْ م ي
َج ِزبِى َ ش َر َة َ َن اَ ْرب
ْ ع َع ُ ح ٍد وَاَنَا ا ْب
َ َم ا
َ م يَ ْو
َ َسلَ ه و ِ ى صَلى هللاُ َعلَ ْي ِ ن الن ِ ت َع ُ ض ْ َع َر
.س َن ًة َفأَجَا َزنِى
َ ش َر َة ْ ح ْن َدقِ وَاَنَا ا ْبنَ َع
َ م ال ِ ت َعلَ ْي
َ ه يَ ْو ْ ض
َ َو َع َر
“Saya telah mengajukan kepada Rasulullah Saw., untuk ikut perang Uhud yang
waktu itu saya berusia 14 tahun, beliau tidak mengijinkan aku. Dan aku mengajukan
kembali kepada beliau ketika perang Khandaq, waktu itu umurku 15 tahun, dan beliau
membolehkan aku (untuk mengikuti perang).”
Hadis tersebut menerangkan tentang pernikahan antara Rasul dengan Aisyah
Ra yang masih berusia 6 tahun dan hidup bersama Rasul ketika usianya telah
mencapai 9tahun. Berdasarkan pandangan para ulama salaf bahwa hadis tersebut
dipahami secara tekstual yaitu melakukan akad dengan anak yang usianya 6 tahun
9
Dedi Supriyadi dan Mustofa, “Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam” (Bandung:
Pustaka Al-Fikriis, 2009), 23.
191
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 6, No. 2, Desember 2021, 185-205
diperbolehkan, sebab pada usia tersebut anak telah dianggap dewasa, namun
pasangan si perempuan tersebut belum dapat digauli atau disetubuhi oleh suaminya.
Sedangkan bagi para ulama yang memahaminya secara kontekstual bahwa riwayat
tersebut dianggap sebagai sebuah kisah atau kabar dan bukannya menjadi sebuah
doktrin yang wajib untuk ditiru atau tidak sebab bisa saja perkembangan anak pada
zaman nabi atau khususnya di tempat nabi tinggal berbeda dengan perkembangan
anak di daerah lain terutama anak perempuan.
Pandangan terhadap istilah baligh tergantung kepada kondisi budaya sosial
masyarakat.10 Dengan sebab itu, pemamahan terhadap usia dewasa seorang anak
berbeda. Menurut empat mazhab utama dalam Islam menjelaskan hasl tersebut
dengan pandangan yang berbeda-beda, di antaranya: Pertama, pandangannya
mazhab Syafi,i mengataan bahwa anak perempuan dianggap telah dewasa dan layak
untuk menikah ketika berusia 9 tahun dan untuk laki-laki ketika berusia 15 tahun ke
atas. Kedua, mazhab Hambali mengatakan usia anak perempuan diperbolehkan untuk
menikah ketika ia telah mengalami haidh dan laki-laki ketika ia telah berusia 15 tahun
atau telah mimpi.11 Ketiga, mazhab Abu Hanifah mengatakan ukuran balighnya anak
perempuan ialah ketika ia telah haidh dan bagi anak laki-laki ketika ia telah mimpi.
Sementara untuk standar umur ialah apabila perempuan telah berusia 17 tahun dan
laki-laki 19 tahun.12 Keempat, pandangannya Imam maliki bahwa untuk standarisasi
balighnya seorang anak ialah ketika anak telah pernah keluar mani, tumbuh rambut-
rambut selain dari dari rambul kepala. Sementara untuk standar usia beliau
menetapkan bagi anak perempuan dan laki-laki setelah mereka berusia 18 tahun.13
Sementara menurut mazhab ja’fariyah mengatakan bahwa usia baligh seorang anak
ialah bagi anak perempuan yaitu perempuan yaitu 9 tahun dan anak laki-laki 15 tahun.
Terkait dengan beberapa pandangan ulama di atas, yang paling dekat dengan hukum
yang ditetapkan di Indonesia adalah pandangannya Imam Hanafi.14 Berdasarkan
10
Nuramanah Amelia, “Konsep Baligh dalam Al-Quran dan Implikasinya Pada Penentuan Usia
Nikah Menurut UU Perkawinan,” Vol. 8, No. 1, (Juni 2021), 77.
11
Achmad Asrori, “Batas Usia Perkawinan Menurut Fukaha dan Penerapannya Dalam Undang-
Undang Perkawinan di Dunia Islam”, Al-‘Adalah, Vol. XII No. 4 (Desember 2015), 810.
12
Nur Fadhilah dan Khairiyati Rahman, “Rekonstruksi Batas Usia Perkawinan Anak Dalam
Hukum Nasional Indonesia”, de Jure Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 4 No. 1 (Juli 2012), 52.
13
Achmad Asrori, “Batas Usia Perkawinan Menurut Fukaha dan Penerapannya Dalam Undang-
Undang Perkawinan di Dunia Islam”, Al-‘Adalah, Vol. XII No. 4 (Desember 2015), 810.
14
Nur Fadhilah dan Khairiyati Rahman, “Rekonstruksi Batas Usia Perkawinan Anak Dalam
Hukum Nasional Indonesia”, de Jure Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 4 No. 1 (Juli 2012), 52.
192
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 6, No. 2, Desember 2021, 185-205
penjelasan di atas bahwa dapat dikatakan hukum Islam tidak menyebutkan secara
eksplisit tentang pembatasan minimal usia pernikahan. Hukum Islam hanya
menyebutkan ciri-ciri orang sudah boleh melakukan pernikahan melalui ciri-ciri fisik
maupun mental.
15
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 8.
16
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
193
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 6, No. 2, Desember 2021, 185-205
17
Achmad Asrori, “Batas Usia Perkawinan Menurut Fukaha dan Penerapannya Dalam Undang-
Undang Perkawinan di Dunia Islam”, Al-‘Adalah, Vol. XII No. 4 (Desember 2015), 822.
18
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
194
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 6, No. 2, Desember 2021, 185-205
19
Fitria Olivia, “Batasan Umur Dalam Perkawinan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974”, Lex Jurnalica, Vol. 12 No. 3 (Desember 2015), 208.
20
Kompilasi Hukum Islam Pasal 15.
21
Salinan Putusan MK No. 22/PUU-XV/2017.
22
Undang-Undang Republik Indonesia No. 16 Tahun 2019 Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
195
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 6, No. 2, Desember 2021, 185-205
Sunendi, “Sanksi Pidana Bagi Praktek Perkawinan di Bawah Umur”, Skripsi Fakultas Syariah
23
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (2009), 88.
196
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 6, No. 2, Desember 2021, 185-205
24
Yuni Harlina, “Tinjauan Usia Perkawinan Menurut Hukum Islam (Studi Uu No. 16 Tahun 2019
Perubahan Atas Uu No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,” Jurnal Hukum Islam, Vol. 20, No.
2 (Desember 2020), 236.
25
Wasman dan Wardah Nuroniyah, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia (Yogyakarta: Teras,
2011), 48.
26
Wajik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982), 3.
27
B. Rini Heryanti, “Impelementasi Perubahan Kebijakan Batas Usia Perkawinan,” Jurnal Ius
Constituendum, Vol. 6, No. 2, (April 2021), 138.
28
Yuni Harlina, “Tinjauan Usia Perkawinan Menurut Hukum Islam (Studi Uu No. 16 Tahun 2019
Perubahan Atas Uu No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,” Jurnal Hukum Islam, 228.
197
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 6, No. 2, Desember 2021, 185-205
29
Retno Dwi Puspitasari, “Gambaran Pengetahuan Ibu Remaja Putri tentang Dampak
Pernikahan Usia Muda Pada Kesehatan Reproduksi di Desa Tegaldowo Kecamatan Gunem
Kabupaten Rembang”, Artikel Program Studi Diploma III Kebidanan Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Ngudi Waluyo Ungaran (2014), 2.
30
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2019, 97.
198
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 6, No. 2, Desember 2021, 185-205
tahun ke atas dapat diminamlisir dengan cara ibu menggunakan kontrasepsi sehingga
kemungkinan untuk meninggal sebesar 33% dapat dihindari.31
Sarwito Wirawan Sarwono mengatakan bahwa usia yang tepat untuk
melakukan pernikahan bagi laki-laki ialah 25 tahun dan 20 tahun bagi perempuan.
Sarwito berpandangan karena menilai dari kematangan secara kesehatan dan
kemampuan bersosial dengan masyarakat. menurut hawari bahwa usia ideal untuk
menikah bagi laki-laki ialah antara 25-30 tahun dan perempuan antara 20-25 tahun.
Alasan tersebut dikarenakan pada usia ini seseorang telah mencapai usia akil baligh
baik laki-laki atau perempuan. Selain itu, kedewasaan dan kematangan dalam berpikir
telah terasah dengan baik berdasarkan pengalaman baik pendidikan, sosial, kerja dan
lainnya.32 Sehingga menurut perspektif media bahwa usia ideal untuk melakukan
pernikahan ualan 25 tahun ke atas bagi laki-laki dan 20 tahun ke atas bagi perempuan.
31
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2019, 111.
32
Udi Wahyudi, “Tingkat Kedewasaan Antara Laki-Laki Dan Perempuan Relevansinya Dengan
Batas Usia Perkawinan (Studi Komparasi Hukum Islam Dengan Pandangan Medis)”, Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta(2015), 57.
33
Rina Yulianti, “Dampak yang Ditimbulkan Akibat Perkawinan Usia Dini” Jurnal Pamator, Vol. 3
No. 1 (April 2010), 3.
34
Supri Yadin Hasibuan dkk, “Pembaharuan Hukum Perkawinan Tentang Batas Minimal Usia
Pernikahan dan Konsekuensinya”, Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 1 No. 2 (September 2019),
85.
199
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 6, No. 2, Desember 2021, 185-205
35
Supri Yadin Hasibuan dkk, “Pembaharuan Hukum Perkawinan Tentang Batas Minimal Usia
Pernikahan dan Konsekuensinya”, Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 1 No. 2 (September 2019),
85.
36
Lina Dina Maudina, “Dampak Pernikahan Dini Bagi Perempuan”, Jurnal Harkat: Media
Komunikasi Gender, 15 (2) tahun 2019, 93.
37
Djamilah dan Reni Kartikawati, “Dampak Perkawinan Anak di Indonesia”, Jurnal Studi
Pemuda, Vol. 3 No. 1 (Mei 2014), 14.
200
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 6, No. 2, Desember 2021, 185-205
perempuan akan menjadi pribadi yang murung dan tidak berani bertemu orang lain
khususnya laki-laki karena trauma yang dialami. Pasangan perempuan terkadang
belum siap untuk menjadi ibu, istri, hamil dan pisah dari orang tuanya sehingga
menjadi penyebab bagi terjadinya ketidak harmonisan dalam hubungan rumah
tangga.38
4. Dampak ekonomi
Pernikahan muda dapat mengakibatkan munculnya siklus kemiskinan baru.
Apabila si suami belum memiliki pekerjaan atau pun belum bisa bekerja menyebabkan
pernikahan mereka tetap ditanggung oleh keluarganya terutama keluarga suami.
Akibatnya orang tua suami memiliki tanggungan hidup lebih karena harus mengurus
keluarga baru anaknya selain dari mengurus keluarga sendiri. Keadaan yang seperti ini
bisa menjadikan kemiskinan akan terus berlanjut untuk generasi berikutnya.39
5. Dampak sosial
Dilihat dari segi sosialnya, pernikahan dini dapat mengakibatkan perasaan
malu, takut, dan minder oleh tetangga dilingkungan rumahnya karena biasanya
perkawinan anak ini terjadi sebab hamil diluar nikah yang menyebabkan ia segan
untuk bersosialisasi dengan warga sekitar. Masyarakat akan bersikap sinis, tidak
bersahabat bahkan sampai mencemooh dan mengusirnya sebab melakukan perbuatan
yang menyalahi noram masyarakat.40
Pernikahan dini juga sering mengakibatkan perselingkuhan dan perceraian. Hal
ini disebabkan kondisi mental mereka yang belum terkontrol dengan baik dan mudah
terbawa emosi ketika ada permasalahan dalam rumah tangga meskipun permasalahan
tersebut merupakan hal yang sepele. Permasalahan dalam rumah tangga pasangan
nikah muda bsnysk menimbukan kekerasan baik kekerasan seksual atau pun
kekerasan dalam rumah tangga dan yang menjadi korbannya biasanya pasangan
perempuan.41
6. Dampak perilaku seksual menyimpang
38
Djamilah dan Reni Kartikawati, “Dampak Perkawinan Anak di Indonesia”, Jurnal Studi
Pemuda, Vol. 3 No. 1 (Mei 2014), 14.
39
Djamilah dan Reni Kartikawati, “Dampak Perkawinan Anak di Indonesia”, Jurnal Studi
Pemuda, Vol. 3 No. 1 (Mei 2014), 13.
40
Lina Dina Maudina, “Dampak Pernikahan Dini Bagi Perempuan”, Jurnal Harkat: Media
Komunikasi Gender, 15 (2) tahun 2019, 94.
41
Djamilah dan Reni Kartikawati, “Dampak Perkawinan Anak di Indonesia”, Jurnal Studi
Pemuda, Vol. 3 No. 1 (Mei 2014), 13.
201
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 6, No. 2, Desember 2021, 185-205
Dampak dari penyimpangan seksual pada pernikahan dini juga bisa berupa
muncul kekekarasan seksual terhadap anak-anak yang sering disebut dengan pedofilia.
Perilaku semacam ini merupakan pelanggaran berat dan sangat dikecam oleh
pemerintah maupun masyarakat. Selain itu perbuatan pedofilia juga bisa terjadi
pasangan pernikahan seperti orang yang telah dewasa atau tua dan menikahi seorang
anak yang masih sangat muda atau belum cukup umur sehingga berkesan kepada
pasangan yang masih belum cukup umur bisa saja dinikahkan sebatas untuk
berhubungan seksual tetapi dibungkus dalam suatu pernikahan yang seakan-akan
legal. Perilaku ini merupakan perbuatan yang menyalahi hak asasi anak seperti yang
tercantum dalam UU No. 23/2002 terkait Perlindungan Anak dan diancam penjara
paling lama 15 tahun dan denda paling banyak 300 juta. Ketika tidak dilakukan
penindakan terhadap perilaku penyalahgunaan pernikahan untuk sebatas pemuas
nafsu seksual secara illegal dapat berdampak buruk bagi anak-anak dan generasi
berikutnya sehingga perlu untuk ditindak secara tegas dan diberikan sanksi baik sanksi
pidana atau sanksi sosial.
KESIMPULAN
1. Batas minimal usia pernikahan menurut hukum Islam
• Al-Quran
Rusydan dan baligh an-nikah: rusydan yaitu apabila seorang menguasai dengan
baik cara mentasarufkan harta, sedangkan yang disebut baligh al-nikah yaitu
ketika sampai mimpi basah, pada usia ini seseorang sudah dapat melahirkan anak
serta memberikan keturunan sehingga tergerak hatinya untuk menikah.
• Sunnah
Batas minimal usia menikah adalah merujuk pada hadits nabi yang menikahi
Aisyah pada usia 6 tahun dan menggauli pada umur 9 tahun. Namun hadits ini
cuma sebatas berita bukan larangan ataupun anjuran.
• Ulama Fiqih
202
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 6, No. 2, Desember 2021, 185-205
Laki-laki Perempuan
Ulama Syafi’i 15 th 9 th
Ulama Maliki 18 th 18 th
Madzhab Ja’fari 15 th 9 th
2. Batas minimal usia pernikahan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal
29 bahwa jejaka yang belum mencapai umur 18 tahun dan gadis yang belum
mencapai umur 15 tahun tidak di perbolehkan mengikat dirinya dalam perkawinan.
Lalu diatur dalam UU. No. 16 tahun 2019 perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan pasal 7 ayat 1 adalah bahwa pria dan wanita boleh
melaksanakan pernikahan ketika sudah mencapai umur 19 tahun.
3. Berdasarkan pandangan medis, usia minimal ideal perkawinan adalah 20 tahun bagi
perempuan dan laki- laki 25 tahun. Karena pada usia dibawah tersebut diatas
organ-organ reproduksi pasangan suami istri belum matang. Sehingga akan terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan seperti terjadi kanker serviks, pendarahan ketika
melahirkan sehingga menyebabkan si ibu menderita anemia atau bahkan sampai
terjadi kematian ketika melahirkan.
4. Dampak pernikahan bawah umur adalah dampak terhadap hukum, dampak biologis
atau kesehatan, dampak psikologis, dampak ekonomi, dampak sosial, dan dampak
perilaku seksual menyimpang. Ini semua berdampak terhadap pasangan suami istri.
DAFTAR PUSTAKA
Amelia, Nuramanah, “Konsep Baligh dalam Al-Quran dan Implikasinya Pada Penentuan
Usia Nikah Menurut UU Perkawinan,” Vol. 8, No. 1 Juni 2021, pp. 77-86.
Asrori, Achmad, “Batas Usia Perkawinan Menurut Fukaha dan Penerapannya Dalam
Undang-Undang Perkawinan di Dunia Islam”, Al-‘Adalah. Vol. XII, No. 4
Desember 2015, pp. 807–826.
Badan Pusat Statistik; Kementrian PPN/Bappenas; PUSKAPA; Unicef, Perkawinan Anak
Indonesia (2020), www.unicef.org.
203
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 6, No. 2, Desember 2021, 185-205
Harlina, Yuni, “Tinjauan Usia Perkawinan Menurut Hukum Islam (Studi Uu No. 16
Tahun 2019 Perubahan Atas Uu No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,” Jurnal
Hukum Islam, Vol. 20, No. 2 Desember 2020, pp. 219-238.
Heryanti, B. Rini, “Impelementasi Perubahan Kebijakan Batas Usia Perkawinan,” Jurnal
Ius Constituendum, Vol. 6, No. 2 April 2021, pp. 120-143.
Kartikawati, Reni dan Djamilah, “Dampak Perkawinan Anak di Indonesia”. Jurnal Studi
Pemuda, Vol. 3, No. 1 Mei 2014.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2019.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 29.
Kompilasi Hukum Islam.
Maudina, Lina Dina, “Dampak Pernikahan Dini Bagi Perempuan”, Jurnal Harkat: Media
Komunikasi Gender, 15, (2) tahun 2019.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2011.
Nuroniyah, Wasman dan Wardah, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Yogyakarta:
Teras, 2011.
Olivia, Fitria, “Batasan Umur Dalam Perkawinan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974”, Lex Jurnalica. Vol. 12, No. 3 Desember 2015.
Puspitasari, Retno Dwi, “Gambaran Pengetahuan Ibu Remaja Putri tentang Dampak
Pernikahan Usia Muda Pada Kesehatan Reproduksi di Desa Tegaldowo
Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang”, (Artikel: Program Studi Diploma III
Kebidanan, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Ngudi Waluyo Ungaran, 2014).
Rahman, Khairiyati dan Nur Fadhilah, “Rekonstruksi Batas Usia Perkawinan Anak
Dalam Hukum Nasional Indonesia”, de Jure Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 4,
No. 1 Juli 2012.
Saleh, Wajik, “Hukum Perkawinan Indonesia”, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982.
Shodikin, Akhmad, “Pandangan Hukum Islam Dan Hukum Nasional Tentang Batas Usia
Perkawinan”, Jurnal Mahkamah. Vol. 9, No. 1 tahun 2015.
Sugiyono, “Metode Penelitian, Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D”, Bandung: Alfabeta,
2016.
Sunendi, “Sanksi Pidana Bagi Praktek Perkawinan di Bawah Umur”, Skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.
Supriyadi, Dedi dan Mustofa, “Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam”,
Bandung: Pustaka Al-Fikriis, 2009.
204
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 6, No. 2, Desember 2021, 185-205
205