You are on page 1of 21

Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473

Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 6, No. 2, Desember 2021, 185-205

MINIMUM AGE OF MARRIAGE IN INDONESIA


PERSPECTIVE OF ISLAMIC LAW, POSITIVE LAW AND MEDICAL VIEWS

BATAS MINIMAL USIA PERNIKAHAN DI INDONESIA


(PRESPEKTIF HUKUM ISLAM, HUKUM POSITIF DAN PANDANGAN MEDIS)

Defanti Putri Utami


Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
E-mail: defantiputri02@gmail.com

Finza Khasif Ghifarani


Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
E-mail: ghifarani.29@gmail.com

Rizki Pangestu
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
E-mail: rizki5pangestu@gmail.com

ABSTRACT
The social phenomenon of early childhood marriage is very common in various regions of
Indonesia. One of the factors of early childhood marriage is the economic factor, education,
even the very fatal is the social factor. Early childhood marriage must be prevented from an
early age because it will have an impact on the mental and physical health of these minors. One
of the preventions is to provide regulations regarding the minimum age for marriage for both
men and women. This article is a literature study using analytical descriptive methods and
normative juridical approaches. Writing this article aims to describe and then analyze the
minimum age for marriage in the perspective of Islamic law, positive law and medical views.
Basically, in the Qur'an and Hadith, nothing specifically explains the minimum age for marriage.
But there are explained the characteristics of someone who has been allowed to marry. The
minimum age for marriage according to Article 29 of the Civil Code is 18 years for a boy and 15
years for a girl. In Law. No. 16 of 2019 amendments to Law no. 1 of 1974 concerning Marriage,
Article 7 paragraph 1 states that a man and a woman may marry when they reach the age of
19. From a medical point of view, the ideal minimum age for marriage is 20 years for women
and 25 years for men. Because at the age below the above, the reproductive organs of a
married couple are immature.
Keywords: Marriage, Children, Minors.

ABSTRAK
Fenomena sosial pernikahan anak usia dini sangat banyak ditemukan di berbagai daerah
Indonesia. Salah satu faktor pernikahan anak usia dini adalah faktor ekonomi, pendidikan,
bahkan yang sangat fatal adalah faktor sosial. Pernikahan anak usia dini harus dicegah sedari
dini karena akan berdampak pada kesehatan mental dan fisik anak-anak di bawah umur
tersebut. Salah satu pencegahannya adalah memberikan peraturan tentang batas minimal usia
menikah baik untuk laki-laki maupun untuk perempuan. Artikel ini merupakan studi putaka
dengan menggunakan metode deskriptif analitik dan pendekatan yuridis normatif. Penulisan
artikel ini bertujuan untuk mendeskripksikan lalu menganalisis batasan minimal usia menikah
dalam prespektif hukum Islam, hukum positif maupun pandangan secara medis. Pada dasarnya
dalam Al-quran dan Hadits tidak ada yang menjelaskan secara spesifik mengenai batas minimal

185
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 6, No. 2, Desember 2021, 185-205

usia menikah. Namun di sana dijelaskan ciri-ciri seseorang yang sudah dibolehkan untuk
menikah. Batas minimal usia pernikahan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal
29 adalah 18 tahun untuk jejaka dan 15 tahun untuk seorang gadis. Dalam UU. No. 16 tahun
2019 perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 7 ayat 1 adalah bahwa
pria dan wanita boleh melaksanakan pernikahan ketika sudah mencapai umur 19 tahun.
Berdasarkan pandangan medis, usia minimal ideal perkawinan adalah 20 tahun bagi perempuan
dan laki- laki 25 tahun. Karena pada usia dibawah tersebut diatas organ-organ reproduksi
pasangan suami istri belum matang.
Kata Kunci: Perkawinan, Anak, Bawah Umur.

PENDAHULUAN
Pada dasarnya sebuah perkawinan dilakukan oleh orang yang telah mapan dalam
hidupnya atau telah dewasa dan tanpa harus menilai bangsa, suku, agama, profesi,
orang kaya atau miskin dan tinggal di kota atau desa. Tetapi sering dijumpai
masyarakat yang telah memiliki kemampuan secara mental dan fisiknya mencari
pasangan hidup berdasarkan keinginannya. Perkawinan yang dilakukan tidak ditujukan
untuk melakukannya dalam jangka waktu tertentu atau sementara melainkan
dilakukan sepanjang hidup seseorang. Namun sebagain masyarakat belum memahami
apa tujuan dan hakikat dari sebuah perkawinan yang utuh yakni mendapatkan
kebahagiaan dan keharmonisan hidup dalam membangun dan menjalankan kehidupan
berkeluarga.
Perkawinan memerlukan persiapan diri yang matang baik secara biologis maupun
psikologis serta sosial. Untuk usia minimal seseorang diperbolehkan untuk menikah
memiliki batasan tertentu yaitu laki-laki dan perempuan seharusnya telah lulus SLTA
atau berusia 19 tahun. Perkawinan yang dilakukan ketika berusia dini dapat
menyebabkan resiko khusunya untuk perempuan seperti reproduksi yang kurang baik
dan hamil terlalu muda. Selain itu juga terdapat resiko secara psikologis yaitu tidak
bisa menjalankan fungsi refroduksi secara maksimal.1
Angka pernikahan dini di banyak negara terus meningkat dari tahun ke tahun
dan selalu berhubungan dengan berbagai upaya perlindungan hukum terhadap anak.
UNICEF (United Nations Children’s Fun) menegaskan bahwa Indonesia merupakan
negara dengan jumlah presentase pernikahan di usia dini yang tinggi di dunia. Hal ini
dibuktikan dengan data UNICEF yang mengatakan bahwa “Pada tahun 2018, sekitar
11% atau 1 dari 9 perempuan berumur 20-24 menikah sebelum berusia 18 tahun.

1
Udi Wahyudi, “Tingkat Kedewasaan Antara Laki-Laki dan Perempuan Relevansinya Dengan
Batas Usia Perkawinan (Studi Komparasi Hukum Islam Dengan Pandangan Medis)”, Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (2015), 2.

186
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 6, No. 2, Desember 2021, 185-205

Pada tahun 2018, sekitar 1% atau 1 dari 100 laki-laki berumur 20-24 menikah sebelum
berusia 18 tahun. Diperkirakan ada 1.220.900 anak perempuan yang menikah sebelum
berumur 18 tahun”.2
Pernikahan dini merupakan fenomena sosial yang banyak terjadi di Indonesia.
Hal ini disebabkan ketidakmampuan para remaja dalam mengontrol dorongan
seksualnya terhadap lawan jenis sehingga mereka berhubungan seksual di luar ikatan
yang sah yaitu pernikahan sehingga menimbulkan resiko bagi kedua remaja tersebut
yaitu harus dinikahkan. Di lain hal, persepsi masyarakat terhadap anak perempuan
yang telah memasuki usia 16 tahun dinilai cukup untuk melakukan pernikahan.
Sehingga ketika anak perempuan telah melebihi usia 16 tahun menjadikan para orang
tuanya merasa resah sebab persepsi masyarakat yang mengatakan kalau seorang
gadis yang berusia di atas 16 tahun dan belum menikah merupakan gadis yang tidak
laku. Dengan sebab itu para orang tua akan mencarikan pasangan bagi anak gadisnya
untuk segera menikah karena takut atau khawatir anaknya menjadi perawan tua.
Berdasarkan ajaran Islam, seseorang yang akan melaksanakan pernikahan tidak
dibatasi umurnya secara tegas dan jelas terkait usia. Maka dari itu, disini penulis ingin
membahas sedikit masalah terkait batasan usia minimal menikah baik bagi laki-laki
atau perempuan menurut hukum Islam, hukum positif maupun menurut pandangan
medis.

METODE PENELITIAN
Mengacu pada bagian metodologis dari kajian ini, masuk dalam wilayah kajian
hukum normatif. Penulis melakukan penelitian ini berdasarkan data dari bahan pustaka
untuk menemukan terkait ketentuan hukum, prinsip-prinsip guna memecahkan
permasalahan yang digali yakni terkait batas usia menikah.3 Penulis menggunakan
jenis data penelitian yang diambil secara kualitatif4 dengan berupa dokumen yang
bersifat kata atau kalimat yang berkaitan dengan objek kajian ini. Adapun sumber data
dibedakan menjadi dua yakni bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang
disusun secara sistematis. Bahan hukum primer adalah yang terdiri dari peraturan

2
Badan Pusat Statistik; Kementrian PPN/Bappenas; PUSKAPA; Unicef, Perkawinan Anak
Indonesia (2020), www.unicef.org
3
Peter Mahmud Marzuki, “Penelitian Hukum” (Jakarta: Kencana, 2011)
4
Sugiyono, “Metode Penelitian, Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D” (Bandung: Alfabeta, 2016),
224.

187
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 6, No. 2, Desember 2021, 185-205

perundang-undangan yang terkait dengan objek penelitian yaitu, Kitab Undang-


Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah
Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan serta Peraturan Perundang-undangan lainnya yang terkait dengan
objek kajian ini. Sedangkan bahan hukum sekunder terdiri dari tulisan karya-karya
ilmiah dan buku-buku tentang hukum baik berupa makalah, jurnal, disertasi, tesis, dan
lainnya yang berkaitan. Sedangkan jenis penelitian ini adalah library research (studi
kepustakaan).

PEMBAHASAN
Kodrat manusia di muka bumi sebagai mahluk sosial mempunyai
kecenderungan untuk hidup bersama-sama dengan menjalin hubungan sosial.5
Sehingga dapat dijabarkan secara ekspisit bahwa untuk menciptakan hubungan social
itu diawali dengan sebuah hubungan dalam keluarga yakni perkawinan. Artinya
keluarga terbentuk atas adanya seorang laki-laki dan perempuan yang hidup secara
bersama-sama yang telah memenuhi hukum dan berbagai persyaratan dari sebuah
perkawinan.6
Adapun hukum untuk melakukan sebuah perkawinan sejatinya telah diatur
dalam berbagai hukum positif ataupun hukum agama.7 Dewasa ini yang menjadi
landasan dalam hukum pernikahan di Indonesia ialah UU No. 11974 mengenai
pernikahan, PP No. 9/1975 mengenai pemberlaksanaan UU No. 1/1974. PP No.
10/1983 mengenai izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS dan Buku 1 KUHPer bab
IV-XI. Dasar hukum dari masing-masing penulis uraikan di atas memiliki kriteria
muatan hukum perkawinan. Salah satunya ialah mengenai batasa usia perkawinan.
Pasca diundangkannya UU No. 16/2019 mengenai Perubahan UU No. 1/1974
mengenai Perkawinan, yang mengatur adanya perubahan batas usia perkawinan bagi
perempuan dan laki-laki adalah 19 tahun, jika kurang dari umur yang ditetapkan
tersebut maka diwajibkan untuk mengajukan penangguhan pernikahan di pengadilan.

5
B. Rini Heryanti, “Impelementasi Perubahan Kebijakan Batas Usia Perkawinan,” Jurnal Ius
Constituendum, Vol. 6, No. 2, (April 2021), 122.
6
Akhmad Shodikin, “Pandangan Hukum Islam Dan Hukum Nasional Tentang Batas Usia
Perkawinan”, Jurnal Mahkamah Vol. 9, No. 1, (2015), 115.
7
A. Asrori, “Batas Usia Perkawinan Menurut Fukaha dan Penerapannya Dalam Undang-Undang
Perkawinan di Dunia Islam,” Jurnal Al-‘Adalah, Vol. XII, No. 4, (2015), 17.

188
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 6, No. 2, Desember 2021, 185-205

Adanya perubahan ini merupakan pemberlaksanaan dari keputusan MK RI No 22/PUU-


XV/2017 penting untuk dilakukan pembaharuan terhadap Pasal 7 UU No. 1/1974
mengenai Perkawinan. Konsideran Undang-undang ini adalah dalam rangka negara
memberi jaminan hak bagi masyarakat dalam membangun keluarga dengan cara yang
sah, memberikan hak untuk hidup dan melanjutkan keturunan serta memiliki hak
untuk memperoleh keamanan jika ada diskriminasi dan kekerasan seperti yang
tercantum dalam UUD RI Tahun 1945.
Selain itu yang melatar belakagi perubahan umur bagi perempuan dengan usia
16 tahun dan laki-laki 19 tahun telah ditetapkan dalam perundang-undangan
sebelumnya ialah pernikahan yang dilakukan dengan usia masih muda atau anak-anak
bisa memunculkan dampak yang butuk untuk perkembangan dan pertumbuhan anak
dan bisa menjadikan hak dasar anak tidak terpenuhi terkait hak untuk mendapatkan
perlindungan dari diskriminasi dan kekerasan, hak sosial, pendidikan dan kesehatan.
Sehingga artikel ini mencoba menjelaskan tiga pandangan dengan persepsinya masing-
masing. Tiga pandangan tersebut adalah:

BATAS MINIMAL USIA PERNIKAHAN MENURUT HUKUM ISLAM


Didalam Al-quran dan Hadits, penjelasan spesifik terkait dengan batas usia
dalam menikah, pada dasarnya tidak ada. Fiqih-fiqih klasik menjelaskan bahwa
batasan usia perkawinan ditentukan dengan istilah baligh, yaitu tanda-tanda yang
bersifat jasmani. Kebalighan seseorang menentukan kebolehan melaksanakan
perkawinan karena dianggap sudah dewasa.
Didalam Al-Qur’an, ada 23 ayat yang membahas tentang pernikahan. Namun
tidak ada penjelasan yang secara spesifik menunjukkan batasan usia nikah. Akan
tetapi apabila diteliti lebih lanjut, ada ayat yang terkait dengan kelayakan seseorang
dalam melaksanakan perkawinan, yang terdapat dalam ayat-ayat berikut, yaitu surat
an-Nur [24]: 32:
ۗ‫ه‬ ْ ‫ٱّلل مِن َف‬
‫ضلِ ِۦ‬ ُ ‫م‬ ُ ‫وا ُف َق َرآ َء ُي ْغن ِِه‬
۟ ُ‫م ۚ إِن ي َُكون‬
ْ ‫م وَإِ َمآئ ُِك‬
ْ ‫عبَاد ُِك‬ ْ ‫حينَ م‬
ِ ‫ِن‬ َٰ ‫م و‬
ِ ِ‫َٱلصل‬ ُ ‫ٱلَ َٰيَمَى م‬
ْ ‫ِنك‬ َٰ ْ ‫وا‬ ُ ِ‫وَأَنك‬
۟ ‫ح‬
ٌ ‫ع َعلِي‬
‫م‬ ٌ ‫س‬ِ ‫َٱّلل َٰ َو‬
ُ ‫و‬
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-
orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-
hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan
mereka dengan karunia-Nya, dan Allah Maha Luas (Pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui”. (Qs. an-Nûr [24]: 32).

189
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 6, No. 2, Desember 2021, 185-205

Dalam Tafsir Ibnu Katsir mepaparkan bahwa ayat ini merupakan sebuah
perintah buat menikah sebagaimana komentar sebagian dari ulama mengharuskan
nikah untuk mereka yang sanggup. Al-Maraghy menafsirkan sebagaimana yang dilansir
oleh Mustofa, kalimat washalihin, para laki-laki ataupun perempuan yang sanggup
untuk menikah serta melaksanakan hak- hak suami istri, semacam berbadan sehat,
memiliki harta serta lain- lain. Quraish Shihab menafsirkan ayat tersebut washalihin,
ialah seseorang yang sanggup secara mental serta spiritual untuk membina rumah
tangga, bukan dalam arti yang taat beragama, sebab fungsi pernikahan membutuhkan
persiapan bukan hanya materi, namun juga persiapan mental maupun spiritual, baik
untuk calon suami maupun calon istri.8
Firman Allah Swt. Qs. An-Nur [24]: 59:
ْ ‫ٱّلل لَ ُك‬
‫م‬ ُ ‫ن‬ َ ِ‫م ۚ َك َٰ َذل‬
ُ ‫ك ُيب َِي‬ َ ‫ٱستَـْٔ َذ‬
ِ ‫ن ٱل ِذينَ مِن َق ْبل‬
ْ ‫ِه‬ ْ ‫وا َكمَا‬ َ ُ‫حل‬
ْ ‫م َف ْلي‬
۟ ُ‫َستَـْٔ ِذن‬ ُ ‫م ْٱل‬ ُ ‫لم‬
ُ ‫ِنك‬ ْ َ‫ٱل‬
ُ ‫ط َٰ َف‬ ْ ‫غ‬
َ َ‫وَإِ َذا بَل‬
ٌ ‫حكِي‬
‫م‬ ٌ ‫َٱّلل َعلِي‬
َ ‫م‬ ِ ِ‫ءَا َٰيَت‬
ُ ‫هۦ ۗ و‬
“Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, Maka hendaklah mereka
meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah
Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
(Q.s. al-Nur [24]: 59).
Firman Allah Swt. Qs. An-Nisa [4]: 6:
‫م ۖ و َََل‬ْ ‫م أَ ْم َٰ َولَ ُه‬ْ ‫ش ًدا َفٱ ْد َف ُعو ۟ٓا إِلَ ْي ِه‬ ْ ‫س ُتم ِم ْن ُه‬
ْ ‫م ُر‬ ْ َ‫ح َفإِ ْن ءَان‬ َ ‫كا‬ ۟ ‫ى إِ َذا بَلَ ُغ‬
َ ِ‫وا ٱلن‬ ٓ َٰ ‫َى حَت‬ ْ ۟ ُ‫وَٱ ْبتَل‬
َٰ ‫وا ٱليَ َٰ َتم‬
‫ف ۚ َفإِ َذا‬ِ ‫م ْع ُرو‬ ْ ِ‫ل ب‬
َ ‫ٱل‬ ْ ‫ان َفقِيرًا َف ْلي َْأ ُك‬ َ ‫ِف ۖ َومَن َك‬ ْ ‫ان َغنِيًّا َف ْلي‬
ْ ‫َس َت ْعف‬ َ ‫وا ۚ َومَن َك‬ ۟ ‫َافا َوبِدَارًا أَن ي َْكبَ ُر‬ ً ‫سر‬ ْ ِ‫هآ إ‬ َ ‫تَ ْأ ُكلُو‬
‫حسِيبًا‬ ِ ِ‫َى ب‬
َ ‫ٱّلل‬ َٰ ‫م ۚ َو َكف‬ْ ‫وا َعلَ ْي ِه‬۟ ‫ش ِه ُد‬ ْ َ‫م َفأ‬ ْ ‫م أَ ْم َٰ َولَ ُه‬
ْ ‫م إِلَ ْي ِه‬ْ ‫َد َف ْع ُت‬
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin, kemudian
jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka
serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu makan harta anak
yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesagesa
(membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu)
mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan
barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.
Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu
adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai
Pengawas (atas persaksian)”. (Qs. an-Nisa [4]: 6)
Berdasarkan Tafsîr Ayat al-Ahkâm seorang anak dianggap telah baligh jika ia
merupakan anak laki-laki bisa diketahui ketika ia telah mimpi basah dan keluar mani.
Sementara perempuan dikatakan telah baligh pada saat ia telah haidh. Menurut Tafsir
Al-Misbah di dalam menafsirkan kata rushd memiliki arti kelurusan jalan. Sehingga jika

8
Dedi Supriyadi dan Mustofa, “Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam” (Bandung:
Pustaka Al-Fikriis, 2009), 22.

190
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 6, No. 2, Desember 2021, 185-205

disematkan kata rush kepada manusia berarti seseorang yang telah sempurna baik
jiwa dan akalnya sehingga ia bisa berbuat dengan sebaik mungkin.
Al-Maraghy memberikan penafsiran terkait istilah dewasa “rusydan” yakni
seorang menguasai cara mentasarufkan harta secara baik, sedangkan makna baligh al-
nikah yaitu ketika usia sudah siap untuk melakukan pernikahan. Ini maksudnya, al-
Maraghi menjelaskan bahwa ketika seseorang belum memasuki usia dewasa maka ia
tidak harus untuk diberikan beban yang dapat mempersulit mereka seperti pernikahan
dini. Rashid Ridha menjelaskan baligh an0nikah memiliki arti yaitu umum yang pantas
bagi seseorang untuk melakukan pernikahan seperti telah mimpi basah, siap menikah
baik secara biologis maupun mental. Orang yang telah menikah akan dibebani ileh
hukum agama semacam bermuamalah, ibadah dan juga hudud, oleh sebab itu rushdan
merupakan kesiapan seseorang untuk bertasaruf dan memberikan pengaruh yang baik
bagi dirinya dan orang lain serta bisa mentasarufkan hartannya dengan baik meskipun
kurang pemahamannya dalam hal agama.9
Secara historis, batasan perkawinan dicontohkan oleh pernikahan Nabi Saw.,
dengan Aisyah yang berusia 9 tahun dan 15 tahun. Batasan usia 9 tahun sebagaimana
hadis yang diriwayatkan Imam Muslim berbunyi:
ُ ‫ت سِتِ َوبَنَى بِهَا بِ ْن‬
‫ت‬ ُ ‫ي بِ ْن‬ ِ ‫م َو‬
َ ‫ه‬ َ ‫َسل‬ ِ ‫هللا صَلى هللاُ َعلَ ْي‬
َ ‫هو‬ ِ ‫ل‬ ُ ‫َس ْو‬
ُ ‫جهَا ر‬
َ ‫ تَزَو‬:‫ت‬ ْ َ‫ِش َة َقال‬
َ ‫ن َعائ‬ ْ ‫َع‬
)‫ش َر َة (رواه مسلم‬ َ ‫ت ثَم‬
ْ ‫َان َع‬ ُ ‫ي بِ ْن‬
َ ‫ه‬ ِ ‫َات َو َع ْنهَا َو‬ ْ ‫ت‬
َ ‫ِسعِ َوم‬
“Rasulullah menikah dengan dia (Aisyah) dalam usia enam tahun, dan beliau
memboyongnya ketika ia berusia 9 tahun, dan beliau wafat pada usia delapan belas
tahun”. (H.r. Muslim).
Sedangkan batasan 15 tahun sebagaimana riwayat Ibnu Umar:
ْ َ‫س َن ًة َفل‬
ْ ‫م ي‬
‫َج ِزبِى‬ َ ‫ش َر َة‬ َ َ‫ن اَ ْرب‬
ْ ‫ع َع‬ ُ ‫ح ٍد وَاَنَا ا ْب‬
َ َ‫م ا‬
َ ‫م يَ ْو‬
َ ‫َسل‬َ ‫ه و‬ ِ ‫ى صَلى هللاُ َعلَ ْي‬ ِ ‫ن الن‬ ِ ‫ت َع‬ ُ ‫ض‬ ْ ‫َع َر‬
.‫س َن ًة َفأَجَا َزنِى‬
َ ‫ش َر َة‬ ْ ‫ح ْن َدقِ وَاَنَا ا ْبنَ َع‬
َ ‫م ال‬ ِ ‫ت َعلَ ْي‬
َ ‫ه يَ ْو‬ ْ ‫ض‬
َ ‫َو َع َر‬
“Saya telah mengajukan kepada Rasulullah Saw., untuk ikut perang Uhud yang
waktu itu saya berusia 14 tahun, beliau tidak mengijinkan aku. Dan aku mengajukan
kembali kepada beliau ketika perang Khandaq, waktu itu umurku 15 tahun, dan beliau
membolehkan aku (untuk mengikuti perang).”
Hadis tersebut menerangkan tentang pernikahan antara Rasul dengan Aisyah
Ra yang masih berusia 6 tahun dan hidup bersama Rasul ketika usianya telah
mencapai 9tahun. Berdasarkan pandangan para ulama salaf bahwa hadis tersebut
dipahami secara tekstual yaitu melakukan akad dengan anak yang usianya 6 tahun

9
Dedi Supriyadi dan Mustofa, “Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam” (Bandung:
Pustaka Al-Fikriis, 2009), 23.

191
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 6, No. 2, Desember 2021, 185-205

diperbolehkan, sebab pada usia tersebut anak telah dianggap dewasa, namun
pasangan si perempuan tersebut belum dapat digauli atau disetubuhi oleh suaminya.
Sedangkan bagi para ulama yang memahaminya secara kontekstual bahwa riwayat
tersebut dianggap sebagai sebuah kisah atau kabar dan bukannya menjadi sebuah
doktrin yang wajib untuk ditiru atau tidak sebab bisa saja perkembangan anak pada
zaman nabi atau khususnya di tempat nabi tinggal berbeda dengan perkembangan
anak di daerah lain terutama anak perempuan.
Pandangan terhadap istilah baligh tergantung kepada kondisi budaya sosial
masyarakat.10 Dengan sebab itu, pemamahan terhadap usia dewasa seorang anak
berbeda. Menurut empat mazhab utama dalam Islam menjelaskan hasl tersebut
dengan pandangan yang berbeda-beda, di antaranya: Pertama, pandangannya
mazhab Syafi,i mengataan bahwa anak perempuan dianggap telah dewasa dan layak
untuk menikah ketika berusia 9 tahun dan untuk laki-laki ketika berusia 15 tahun ke
atas. Kedua, mazhab Hambali mengatakan usia anak perempuan diperbolehkan untuk
menikah ketika ia telah mengalami haidh dan laki-laki ketika ia telah berusia 15 tahun
atau telah mimpi.11 Ketiga, mazhab Abu Hanifah mengatakan ukuran balighnya anak
perempuan ialah ketika ia telah haidh dan bagi anak laki-laki ketika ia telah mimpi.
Sementara untuk standar umur ialah apabila perempuan telah berusia 17 tahun dan
laki-laki 19 tahun.12 Keempat, pandangannya Imam maliki bahwa untuk standarisasi
balighnya seorang anak ialah ketika anak telah pernah keluar mani, tumbuh rambut-
rambut selain dari dari rambul kepala. Sementara untuk standar usia beliau
menetapkan bagi anak perempuan dan laki-laki setelah mereka berusia 18 tahun.13
Sementara menurut mazhab ja’fariyah mengatakan bahwa usia baligh seorang anak
ialah bagi anak perempuan yaitu perempuan yaitu 9 tahun dan anak laki-laki 15 tahun.
Terkait dengan beberapa pandangan ulama di atas, yang paling dekat dengan hukum
yang ditetapkan di Indonesia adalah pandangannya Imam Hanafi.14 Berdasarkan

10
Nuramanah Amelia, “Konsep Baligh dalam Al-Quran dan Implikasinya Pada Penentuan Usia
Nikah Menurut UU Perkawinan,” Vol. 8, No. 1, (Juni 2021), 77.
11
Achmad Asrori, “Batas Usia Perkawinan Menurut Fukaha dan Penerapannya Dalam Undang-
Undang Perkawinan di Dunia Islam”, Al-‘Adalah, Vol. XII No. 4 (Desember 2015), 810.
12
Nur Fadhilah dan Khairiyati Rahman, “Rekonstruksi Batas Usia Perkawinan Anak Dalam
Hukum Nasional Indonesia”, de Jure Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 4 No. 1 (Juli 2012), 52.
13
Achmad Asrori, “Batas Usia Perkawinan Menurut Fukaha dan Penerapannya Dalam Undang-
Undang Perkawinan di Dunia Islam”, Al-‘Adalah, Vol. XII No. 4 (Desember 2015), 810.
14
Nur Fadhilah dan Khairiyati Rahman, “Rekonstruksi Batas Usia Perkawinan Anak Dalam
Hukum Nasional Indonesia”, de Jure Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 4 No. 1 (Juli 2012), 52.

192
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 6, No. 2, Desember 2021, 185-205

penjelasan di atas bahwa dapat dikatakan hukum Islam tidak menyebutkan secara
eksplisit tentang pembatasan minimal usia pernikahan. Hukum Islam hanya
menyebutkan ciri-ciri orang sudah boleh melakukan pernikahan melalui ciri-ciri fisik
maupun mental.

BATAS MINIMAL USIA PERNIKAHAN MENURUT HUKUM POSITIF


Berbeda halnya dengan hukum positif Undang-Undang Perkawinan berbeda
dalam menentukan usia menikah bagi seseorang jika dibandingkan dengan hukum
Islam. Peraturan mengenai perkawinan secara umum telah termaktub dalam aturan
hukum yang berlaku di Indonesia. Salah satu bentuk peraturan yang dituangkan
pemerintah yaitu mengatur tentang batas usia seseorang untuk boleh menikah, hal ini
termasuk ke dalam syarat perkawinan Maka dari itu, Indonesia menetapkan beberapa
aturan terkait batas usia pernikahan yang salah satunya termaktub dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata pasal 29 yaitu sebagai berikut:
“Seorang jejaka yang belum mencapai umur genap 18 tahun, seperti pun
seorang gadis yang belum mencapai umur genap 15 tahun tidak di perbolehkan
mengikat dirinya dalam perkawinan”.15
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum
(rechts vacuum) serta sambil menunggu adanya kodifikasi baru sebagai pengganti KUH
Perdata.
Kemudian standar usia pernikahan ini diatur dalam UU No. 1 tahun 1974 pasal
7 yaitu:
(1) Pernikahan bagi anak diperbolehkan ketika anak perempuan telah berusia 16
tahun dan laki-laki 19 tahun.
(2) Apabila terdapat penyimpangan dalam pasal ini ayat 1 maka bisa dilakukan
permintaan penangguhan pengadilan atau pihak lain yang dipilih oleh
wali/keluarga dari laki-laki dan perempuan.
(3) Ketentuan terkait kondisi daru kedua orang atau salah seorang diatur dalam
pasal 6 ayat (3) dan (4) UU ini, yang berkaitan dengan penangguhan ayat
(2) tanpa harus mengurangi maksud dari pasal 6 ayat (6).16
Sebenarnya pembatasan untuk usia perkawinan di Indonessia tidak bersifat
tetap. Di sisi lain dijelaskan dalam ayat 2 pasal 6 bahwa pernikahan yang dilakukan

15
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 8.
16
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

193
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 6, No. 2, Desember 2021, 185-205

oleh sepasang pengantin namun umurnya di bawah 21 tahun diharuskan untuk


dizinkan oleh kedua orang tuanya. Pasal 7 ayat 1 juga meneybutkan bahwa umur
minimal untuk melangsungkan pernikahan adalah 19 tahun untuk laki-laki dan 16
tahun untuk perempuan. Perbedaan dari kedua pasal tersebut ialah bagi yang berusia
di bawah 21 tahun harus emperoleh izin dari orang tuanya sementara untuk di bawah
19 tahun memerlukan izin dari pengadilan.17 Berikut merupakan isi dari pasal 6 terkait
dengan batas usia nikah 21 tahun:
Pasal 6
(1) Pernikahan dilakukan sesuai persetujuan dari kedua pasangan pernikahan.
(2) Apabila pasangan pernikahan berumur di bawah 21 tahun maka harus
mendapatkan izin dari kedua orang tua pasangan.
(3) Apabila kondisi orang tua tidak ada, wafat atau tidak bisa menyampaikan
maksudnya, maka perizinan terkait ayat 2 bisa ditentukan oleh orang tua
yang belum meninggal atau orang tua yang dapat menyampaikan
maksudnya.
(4) Apabila kondisi orang tua tidak ada, wafat atau tidak bisa menyampaikan
maksudnya, maka dapat diwakilkan oleh orang yang merawat mereka
seperti keluarga.
(5) Namun apabila orang yang dimaksud dalam ayat 2, 3 dan 4 tidak ada maka
perizinan akan diberikan oleh pihak pengadilan.
(6) Ketentuan yang tercantum dalam ayat 1-5 diberlakukan sesuai aturan dalam
masing-masing agama dari pasangan yang menikah.18
Menurut UU No. 1/1974 terkait pernikahan menjelaskan bahwa pembatasan
usia pasangan pernikahan bagi perempuan 16 tahun dan pria 19 didasarkan pada
tingkat kematangan jiwa, rohani dan jasmani. Hal ini dilakukan sebab ketika kedua
pasangan telah mencapai usia tersebut dianggap telah memahami tanggung jawab
sebagai pasangan di dalam keluarga dan bagaimana cara menjadikan keluarga yang
harmonis berdasarkan tujuan perundang-undangan perkawinan. Perkawinan dilakukan
tidak hanya sebatas untuk menjalin hubungan secara lahir saja namun juga

17
Achmad Asrori, “Batas Usia Perkawinan Menurut Fukaha dan Penerapannya Dalam Undang-
Undang Perkawinan di Dunia Islam”, Al-‘Adalah, Vol. XII No. 4 (Desember 2015), 822.
18
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

194
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 6, No. 2, Desember 2021, 185-205

menyangkut tentang bagaimana menjadikan keluarga yang bahagia dan sejatera,


memiliki keturunan yang baik serta bisa bergaul dengan masyarakat.
Ketentuan dalam UU No, 1/1974 ayat 1 pasal 7 terkait batasan usia pernikahan
jika dikaitkan dengan apa yang ada pada KUHPer pasal 29 di mana pembatasan usia
tersebut dilakukan berdasarkan pertimbangan secara fungsi biologis bagi
kesejahteraan pasangan. Hal itu dinilai kedua pasangan telah cukup matang untuk
membangun sebuah rumah tangga yang sesuai tujuan undang-undang perkawinan.19
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan bahwa batas usia perkawinan
pada ayat 1 dan 2 pasal 15, di antaranya:
(1) Pernikahan yang dilakukan dengan batasan usia 16 tahun bagi perempuan
dan 19 tahun bagi laki-laki dipertimbangkan berdasarkan dampaknya yaitu
untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga.
(2) Apabila pasangan yang akan menikah berusia di bawah 21 tahun maka
harus mendapatkan izin seperti yang disebutkan dalam pasal 6 ayat (2), (3),
(4) dan (5) UU No. 1 tahun 1974.20
Namun pada 14 Oktober 2019 Presiden Joko Widodo melakukan pengesahan
ulang terhadap UU RI No. 16/2019 Perubahan atas UU No. 1/1974 mengenai
Perkawinan dan mulai diberlakukan seletah ditetapkan oleh Plt. Menkumham Tjahjo
Kumolo tanggal 15 Oktober 2019 di Jakarta. Sesuai dengan keputusan MK No. 22/PUU-
XV/2017 mengatakan bahwa ketetapan dalam Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa “16
(enam belas) tahun” UU Perkawinan menyalahi prinsip “Segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum”, sehingga berseberangan dengan Pasal 27
ayat (1) UUD 1945; ketentuan a quo tidak sesuai dengan ketentuan hukum dan
diskriminasi dalam hal yang menyangkut hak kesehatan, hak pendidikan dan
eksploitasi anak.21 Hasil dari pengesahan UU tanggal 14 Oktober 2019 yaitu UU No.
16/2019 Perubahan UU No. 1/1974 terkait Perkawinan.22
Pembatasan udia pernikahan dilakukan sebaga dipertimbangkan uberdasarkan
kemaslahan bagi keluarga secara khusus dan masyarakat secara umum. Seperti yang

19
Fitria Olivia, “Batasan Umur Dalam Perkawinan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974”, Lex Jurnalica, Vol. 12 No. 3 (Desember 2015), 208.
20
Kompilasi Hukum Islam Pasal 15.
21
Salinan Putusan MK No. 22/PUU-XV/2017.
22
Undang-Undang Republik Indonesia No. 16 Tahun 2019 Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

195
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 6, No. 2, Desember 2021, 185-205

ditekankan pada UU Perkawinan yaitu meleihara kesehatan keluarga seutuhnya.


Seperti yang ada pada pasal 7 ayat (1).
“Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun.”
Selanjutnya UU Perlindungan Anak yang merupakan pengembangan instrumen
dari HAM tidak menjelaskan dengan langsung bahwa untuk usia pernikahan dibatasi
umurnya, namun hanya menyebutkan tentang definisi anak seperti pada pasal 1 ayat 1
UU Perlindungan Anak yaitu anak ialah individu dengan usia di bawah 18 tahun
begitupun dengan yang masih dikandung oleh ibunya. Tetapi jika dipahami lebih jauk
bahwa UU Perlindungan Anak memberi penetapan jika batas usia anak untuk
melakukan perikahan ialah 18 tahun ke atas.
Terkait dengan hak anak bahwa telah jelas disebutkan dalam ayat 1 pasal 26
UU Perlindungan Anak pada point C yaitu orang tua memiliki kewajiban untuk
memelihara anaknya untuk menikah pada usia masih anak. Ketika anak menikah pada
usia masih sangat muda atau di bawah 18 tahun menjadikan anak terampas hak
asasinya seperti yang disebutkan dalam UU perlindungan anak bahwa anak miliki hak
untuk memperoleh pendidikan, kesehatan, bermain, tumbuh dan berkembang.
Sementara dengan menikah di bawah umur menjadikan mereka terpaksa untuk
menjadi orang dewasa dan harus memikul beban sebagaimana orang dewasa yang
telah menikah.23
Di dalam UU perkawinan bahwa batasan umur untuk seseorang yang ingin
menikah ialah 19 tahun baik bagi perempuan dan laki-laki. Sementara di dalam UU
Perlindungan Anak menyebutkan batasan umur pernikahan ialah anak yang usianya di
bawah 18 tahun. Sehingga batasan yang ditetapkan dalam UU Perlindungan anak
untuk usia yang diperbolehkan untuk menikah ialah 18 tahun ke atas.
Berikutnya di dalam melangsungkan perkawinan bahwa dijelaskan dalam UU
Perkawinan terkait dengan adanya dispensasi pengadilan. Sementara UU lainnya
seperti UU Perlindungan Anak mempertegas bahwa anak merupakan tanggungan
orang tua dan wajib menjaga anaknya untuk tidak menikah hingga anak berusia
dewasa. Sehingga adanya peraturan yang timpang tindih yang mengakibatkan satu
konsep hukum tidak berjalan beriringan untuk memecahkan masalah khususnya terkait

Sunendi, “Sanksi Pidana Bagi Praktek Perkawinan di Bawah Umur”, Skripsi Fakultas Syariah
23

dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (2009), 88.

196
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 6, No. 2, Desember 2021, 185-205

perkawinan di bawah umur. Maka sejatinya diperlukan peran Pengadilan Agama di


dalam menngawasi pentingnya memelihara anak hingga mencapai usia menikah yang
tepat dan melakukan pertimbangan terhadap konsekuensi jika terjadi pernikahan di
bawah umur, jika dengan melakukan pernikahan di bawah umur dapat mencegah
terjadinya kemafsadatan yang lebih besar dibandingkan dengan kemaslahatan maka
anak boleh dinikahkan setelah diberikan dispensasi perizinan oleh Pengadilan Agama.
Seperti yang disebutkan dalam salah satu kaidah Ushul Fiqh bahwa “menolak
kerusakan (mafsadah) lebih utama dari pada menarik (mengambil) kemaslahatan”.24
Namun ketentuan usia 19 tahun yang telah diatur untuk menikah bagi kedua
calon mempelai tidak lagi dianggap sebagai usia anak, karena usia 19 tahun telah
dianggap dewasa dan bisa untuk menjalankan tugas serta kewajibannya dengan baik
maka keluarga dapat mempertimbangkan anaknya untuk menikah atau tidak, hal ini
tertuang dalam peraturan di mana ketika anak telah berusia 21 tahun dapat
melangsungkan pernikahan jika telah mendapatkan izin orang tuanya.25
Pengaturan terkait hukum pernikahan khususnya mengenai batas usia menikah
yang telah diatur oleh undang-undang haruslah dipatuhi dan tetap berlaku sama
terhadap semua warga negara.26 Sehingga jelas dapat dikatakan bahwa berdasarkan
ketentuan UU perkawinan di Indonesia, seseorang dinyatakan boleh menikah apabila
berusia minimal 19 tahun. Artinya, usia tersebut mengindikasikan akumulasi dari
beberapa faktor kesiapan yang harus diamati seperti kesiapan mental, sosial, ekonomi
dan fisik seseorang, dari beberapa faktor kesiapan ini sejatinya berpijak agar
perkawinan tidak dipandang sebagai suatu kebutuhan biologis semata.27 Artinya
banyak factor seperti telah dewasa dalam hal emosi, ekonomi, sosial, kesehatan, fisik,
biologis dan mampu untuk bertanggung jawab. Hal ini menjadi pertimbangan yang
sangat penting di dalam membangun sebuah keluarga sehingga menjadi keluarga yang
bahagia dan harmonis.28

24
Yuni Harlina, “Tinjauan Usia Perkawinan Menurut Hukum Islam (Studi Uu No. 16 Tahun 2019
Perubahan Atas Uu No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,” Jurnal Hukum Islam, Vol. 20, No.
2 (Desember 2020), 236.
25
Wasman dan Wardah Nuroniyah, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia (Yogyakarta: Teras,
2011), 48.
26
Wajik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982), 3.
27
B. Rini Heryanti, “Impelementasi Perubahan Kebijakan Batas Usia Perkawinan,” Jurnal Ius
Constituendum, Vol. 6, No. 2, (April 2021), 138.
28
Yuni Harlina, “Tinjauan Usia Perkawinan Menurut Hukum Islam (Studi Uu No. 16 Tahun 2019
Perubahan Atas Uu No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,” Jurnal Hukum Islam, 228.

197
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 6, No. 2, Desember 2021, 185-205

BATAS MINIMAL USIA PERNIKAHAN MENURUT PANDANGAN MEDIS


Nikah muda termasuk faktir yang menyebabkan perceraian paling tinggi.
Sehingga jika diamati bahwa syarat mutlah untuk memiliki keluarga yang harmonis dan
terhindar dari perceraian adalah kedewasaan. Selain itu juga dikarenakan pengalaman
baik psikologis dan sosial yang kurang sehingga kebertanggung jawaban terhadap
orang lain rendah dapat menjadi persoalan di dalam membangun rumah tangga.
Sebuah pusat penelitian kesehatan dunia yaitu World Health Organization
(WHO) melakukan penelitian bahwa sekitar 16 juta setiap tahunnya peremppuan
melahirkan anak di usia mereka yang berkisar antara 15-19 tahun dari mencapai 11 %
dari jumlah keseluruhan kelahiran anak di dunia. Sementara Indonesia masuk pada
spesifikasi remaja yang melahirkan di bawah umur di antara negara-negara
berkembang yang jumlah keseluruhannya mencapai 95 %. Selain itu tingkat kematian
ibu di Indonesia termasuk tinggi sehingga kementerian kesehatan terus mengupayakan
penurunan angka kematian ibu.29
Penyebab tingkat kematian ibu tinggi di Indonesia dikarenakan faktor medis
dan non medis. Untuk faktor non medis sendiri berkaitan dengan tingkat kesehatan
dan pendidikan ibu ketika ia menikah terutama pernikahan di bawah umur. Apabila istri
atau seorang ibu sedang hamil maka memeroulkan adanya persiapan dan dukungan
dari suami dan yang lainnya seperti persiapan materi, biaya, mental, fisik dan lainnya.
Pernikahan dini rentang dengan kematian ketika melahirkan sebab kandungannya
belum siap atau pemeliharaan janin yang tidak sehat sebab keterbatasan pengetahuan
dan yang lainnya. Dilihat dari hasil peneltian SDKI tahun 2018 bahwa angka kematian
ibu mengalami penurunan dari 390 menjadi 305 per 100.000 kelahiran hidup pada
periode 1991-2005. Meskipun terdapat penurunan namun pencapaian MDGs tidak bisa
diraih sebab masih jauh dar ketentuan yang ditetapkan.30
Di antara penyebab banyaknya angka kematian ibu ialah karena adanya resiko
4 Terlalu yaitu, terlalu tua usianya yakni 35 tahun ke atas, terlalu muda yakni 21 tahun
ke bawah, terlalu banyak anak dan terlalu dekat jarak kelahiran anak yaitu di bawah
tiga tahun. Namun terkait dengan kematian ibu untuk usia di bawah 21 tahun dan 35

29
Retno Dwi Puspitasari, “Gambaran Pengetahuan Ibu Remaja Putri tentang Dampak
Pernikahan Usia Muda Pada Kesehatan Reproduksi di Desa Tegaldowo Kecamatan Gunem
Kabupaten Rembang”, Artikel Program Studi Diploma III Kebidanan Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Ngudi Waluyo Ungaran (2014), 2.
30
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2019, 97.

198
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 6, No. 2, Desember 2021, 185-205

tahun ke atas dapat diminamlisir dengan cara ibu menggunakan kontrasepsi sehingga
kemungkinan untuk meninggal sebesar 33% dapat dihindari.31
Sarwito Wirawan Sarwono mengatakan bahwa usia yang tepat untuk
melakukan pernikahan bagi laki-laki ialah 25 tahun dan 20 tahun bagi perempuan.
Sarwito berpandangan karena menilai dari kematangan secara kesehatan dan
kemampuan bersosial dengan masyarakat. menurut hawari bahwa usia ideal untuk
menikah bagi laki-laki ialah antara 25-30 tahun dan perempuan antara 20-25 tahun.
Alasan tersebut dikarenakan pada usia ini seseorang telah mencapai usia akil baligh
baik laki-laki atau perempuan. Selain itu, kedewasaan dan kematangan dalam berpikir
telah terasah dengan baik berdasarkan pengalaman baik pendidikan, sosial, kerja dan
lainnya.32 Sehingga menurut perspektif media bahwa usia ideal untuk melakukan
pernikahan ualan 25 tahun ke atas bagi laki-laki dan 20 tahun ke atas bagi perempuan.

DAMPAK PERNIKAHAN BAWAH UMUR


Sebelum menguraikan dampak pernikahan, perlu kiranya menjelaskan sebab-
sebab utama dari perkawinan usia muda. Mengutip Rina Yulianti bahwa sebab
seseorang menikah di usia muda adalah:33
a. Tidak adanya pengertian mengenai akibat buruk perkawinan terlalu muda,
baik bagi kedua mempelai dan keturunannya kelak.
b. Keinginan untuk segera mendapatkan anggota baru di dalam keluarga
c. Sifat kolot sebagian orang yang tidak mau menyimpang dari kebiasaan adat
setempat.
d. Adanya ketidaktahuan seseorang terkait aturan baru yang mengehendaki
usia menikah dibatas 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan.
Bedasarkan pada sebab-sebab di atas maka terdapat berbagai dampak
pernikahan dibawah umur dapat dikemukakan sebagai berikut:34

31
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2019, 111.
32
Udi Wahyudi, “Tingkat Kedewasaan Antara Laki-Laki Dan Perempuan Relevansinya Dengan
Batas Usia Perkawinan (Studi Komparasi Hukum Islam Dengan Pandangan Medis)”, Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta(2015), 57.
33
Rina Yulianti, “Dampak yang Ditimbulkan Akibat Perkawinan Usia Dini” Jurnal Pamator, Vol. 3
No. 1 (April 2010), 3.
34
Supri Yadin Hasibuan dkk, “Pembaharuan Hukum Perkawinan Tentang Batas Minimal Usia
Pernikahan dan Konsekuensinya”, Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 1 No. 2 (September 2019),
85.

199
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 6, No. 2, Desember 2021, 185-205

1. Dampak terhadap hukum


Adanya pelanggaran hukum terhadap 2 Undang-Undang di negara kita yaitu
Undang-Undang No. 16 tahun 2019 perubahan atas Undang-Undang No. 1 tahun 1974
pasal 7 ayat (1) tentang Perkawinan dan Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak Pasal 26 Pasal 1 poin C.
2. Dampak biologis
Perkembangan reproduksi seseorang ketika masih berusia anak-anak sedang
menuju ke arah kematangan, dengan sebab itu kesiapannya untuk berhubungan
seksual dengan lawan jenis belum optimal atau belum saatnya apalagi hingga terjadi
kehamilan. Apabila hal tersebut tetap dilakukan maka akan mengakibatkan trauma
terutama pasangan perempuan. Pasangan perempuan yang belum cukup usia nikah
sering kali akan mengalami perobekan dalam alat kelaminnya bahkan sampai
menyebabkan infeksi pada organ reproduksi sehingga dapat membahayakan jiwanya.35
Menikah di usia muda cenderung akan mengalami masalah kesehatan seperti
terlahirnya bayi prematur yang menyebabkan kematian pada bayi, mempunyai darah
tinggi yang menyebabkan susah hamil, terjadinya perubahan pada berat badan akibat
pemakaian pil KB.36 Pernikahan yang dilakukan dalam usia muda memiliki resiko
ketidaksiapan untuk melahirkan dan membesarkan anak. Sehingga tidak sedikit
pasangan perempuan yang melakukan aborsi. Selain itu, pernikahan dini sering terjadi
kekerasan terhadap pasangan yang disebabkan kehamilan yang tidak diinginkan.37
3. Dampak psikologis
Pasangan nikah muda sering kali belum memiliki kesiapan mental yang kuat
untuk membangun sebuah keluarga baru. Sehingga di dalam menyelesaikan persoalan
rumah tangga sering dilakukan dengan jalan kekerasan terhadap pasangan karena
karakternya masih seperti anak-anak. Dampak psikologi yang diakibatkan oleh
kekerasan di dalam rumah tangga dapat menyebabkan trauma hingga kematian dan
pasangan yang sering mengalami hal tersebut adalah pasangan perempuan. Si

35
Supri Yadin Hasibuan dkk, “Pembaharuan Hukum Perkawinan Tentang Batas Minimal Usia
Pernikahan dan Konsekuensinya”, Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 1 No. 2 (September 2019),
85.
36
Lina Dina Maudina, “Dampak Pernikahan Dini Bagi Perempuan”, Jurnal Harkat: Media
Komunikasi Gender, 15 (2) tahun 2019, 93.
37
Djamilah dan Reni Kartikawati, “Dampak Perkawinan Anak di Indonesia”, Jurnal Studi
Pemuda, Vol. 3 No. 1 (Mei 2014), 14.

200
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 6, No. 2, Desember 2021, 185-205

perempuan akan menjadi pribadi yang murung dan tidak berani bertemu orang lain
khususnya laki-laki karena trauma yang dialami. Pasangan perempuan terkadang
belum siap untuk menjadi ibu, istri, hamil dan pisah dari orang tuanya sehingga
menjadi penyebab bagi terjadinya ketidak harmonisan dalam hubungan rumah
tangga.38
4. Dampak ekonomi
Pernikahan muda dapat mengakibatkan munculnya siklus kemiskinan baru.
Apabila si suami belum memiliki pekerjaan atau pun belum bisa bekerja menyebabkan
pernikahan mereka tetap ditanggung oleh keluarganya terutama keluarga suami.
Akibatnya orang tua suami memiliki tanggungan hidup lebih karena harus mengurus
keluarga baru anaknya selain dari mengurus keluarga sendiri. Keadaan yang seperti ini
bisa menjadikan kemiskinan akan terus berlanjut untuk generasi berikutnya.39
5. Dampak sosial
Dilihat dari segi sosialnya, pernikahan dini dapat mengakibatkan perasaan
malu, takut, dan minder oleh tetangga dilingkungan rumahnya karena biasanya
perkawinan anak ini terjadi sebab hamil diluar nikah yang menyebabkan ia segan
untuk bersosialisasi dengan warga sekitar. Masyarakat akan bersikap sinis, tidak
bersahabat bahkan sampai mencemooh dan mengusirnya sebab melakukan perbuatan
yang menyalahi noram masyarakat.40
Pernikahan dini juga sering mengakibatkan perselingkuhan dan perceraian. Hal
ini disebabkan kondisi mental mereka yang belum terkontrol dengan baik dan mudah
terbawa emosi ketika ada permasalahan dalam rumah tangga meskipun permasalahan
tersebut merupakan hal yang sepele. Permasalahan dalam rumah tangga pasangan
nikah muda bsnysk menimbukan kekerasan baik kekerasan seksual atau pun
kekerasan dalam rumah tangga dan yang menjadi korbannya biasanya pasangan
perempuan.41
6. Dampak perilaku seksual menyimpang

38
Djamilah dan Reni Kartikawati, “Dampak Perkawinan Anak di Indonesia”, Jurnal Studi
Pemuda, Vol. 3 No. 1 (Mei 2014), 14.
39
Djamilah dan Reni Kartikawati, “Dampak Perkawinan Anak di Indonesia”, Jurnal Studi
Pemuda, Vol. 3 No. 1 (Mei 2014), 13.
40
Lina Dina Maudina, “Dampak Pernikahan Dini Bagi Perempuan”, Jurnal Harkat: Media
Komunikasi Gender, 15 (2) tahun 2019, 94.
41
Djamilah dan Reni Kartikawati, “Dampak Perkawinan Anak di Indonesia”, Jurnal Studi
Pemuda, Vol. 3 No. 1 (Mei 2014), 13.

201
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 6, No. 2, Desember 2021, 185-205

Dampak dari penyimpangan seksual pada pernikahan dini juga bisa berupa
muncul kekekarasan seksual terhadap anak-anak yang sering disebut dengan pedofilia.
Perilaku semacam ini merupakan pelanggaran berat dan sangat dikecam oleh
pemerintah maupun masyarakat. Selain itu perbuatan pedofilia juga bisa terjadi
pasangan pernikahan seperti orang yang telah dewasa atau tua dan menikahi seorang
anak yang masih sangat muda atau belum cukup umur sehingga berkesan kepada
pasangan yang masih belum cukup umur bisa saja dinikahkan sebatas untuk
berhubungan seksual tetapi dibungkus dalam suatu pernikahan yang seakan-akan
legal. Perilaku ini merupakan perbuatan yang menyalahi hak asasi anak seperti yang
tercantum dalam UU No. 23/2002 terkait Perlindungan Anak dan diancam penjara
paling lama 15 tahun dan denda paling banyak 300 juta. Ketika tidak dilakukan
penindakan terhadap perilaku penyalahgunaan pernikahan untuk sebatas pemuas
nafsu seksual secara illegal dapat berdampak buruk bagi anak-anak dan generasi
berikutnya sehingga perlu untuk ditindak secara tegas dan diberikan sanksi baik sanksi
pidana atau sanksi sosial.

KESIMPULAN
1. Batas minimal usia pernikahan menurut hukum Islam
• Al-Quran

Washalihin:laki-laki maupun perempuan yang sanggup menikah serta


melaksanakan hak-hak suami istri atau seseorang yang sanggup secara mental
serta spiritual untuk membina rumah tangga.

Rusydan dan baligh an-nikah: rusydan yaitu apabila seorang menguasai dengan
baik cara mentasarufkan harta, sedangkan yang disebut baligh al-nikah yaitu
ketika sampai mimpi basah, pada usia ini seseorang sudah dapat melahirkan anak
serta memberikan keturunan sehingga tergerak hatinya untuk menikah.

• Sunnah

Batas minimal usia menikah adalah merujuk pada hadits nabi yang menikahi
Aisyah pada usia 6 tahun dan menggauli pada umur 9 tahun. Namun hadits ini
cuma sebatas berita bukan larangan ataupun anjuran.

• Ulama Fiqih

202
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 6, No. 2, Desember 2021, 185-205

Laki-laki Perempuan

Ulama Syafi’i 15 th 9 th

Ulama Hanbali Ihtilam/15 th Haid

Ulama Hanafi Ihtilam/ 19 th Haid/17 th

Ulama Maliki 18 th 18 th

Madzhab Ja’fari 15 th 9 th

2. Batas minimal usia pernikahan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal
29 bahwa jejaka yang belum mencapai umur 18 tahun dan gadis yang belum
mencapai umur 15 tahun tidak di perbolehkan mengikat dirinya dalam perkawinan.
Lalu diatur dalam UU. No. 16 tahun 2019 perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan pasal 7 ayat 1 adalah bahwa pria dan wanita boleh
melaksanakan pernikahan ketika sudah mencapai umur 19 tahun.
3. Berdasarkan pandangan medis, usia minimal ideal perkawinan adalah 20 tahun bagi
perempuan dan laki- laki 25 tahun. Karena pada usia dibawah tersebut diatas
organ-organ reproduksi pasangan suami istri belum matang. Sehingga akan terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan seperti terjadi kanker serviks, pendarahan ketika
melahirkan sehingga menyebabkan si ibu menderita anemia atau bahkan sampai
terjadi kematian ketika melahirkan.
4. Dampak pernikahan bawah umur adalah dampak terhadap hukum, dampak biologis
atau kesehatan, dampak psikologis, dampak ekonomi, dampak sosial, dan dampak
perilaku seksual menyimpang. Ini semua berdampak terhadap pasangan suami istri.

DAFTAR PUSTAKA
Amelia, Nuramanah, “Konsep Baligh dalam Al-Quran dan Implikasinya Pada Penentuan
Usia Nikah Menurut UU Perkawinan,” Vol. 8, No. 1 Juni 2021, pp. 77-86.
Asrori, Achmad, “Batas Usia Perkawinan Menurut Fukaha dan Penerapannya Dalam
Undang-Undang Perkawinan di Dunia Islam”, Al-‘Adalah. Vol. XII, No. 4
Desember 2015, pp. 807–826.
Badan Pusat Statistik; Kementrian PPN/Bappenas; PUSKAPA; Unicef, Perkawinan Anak
Indonesia (2020), www.unicef.org.

203
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 6, No. 2, Desember 2021, 185-205

Harlina, Yuni, “Tinjauan Usia Perkawinan Menurut Hukum Islam (Studi Uu No. 16
Tahun 2019 Perubahan Atas Uu No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,” Jurnal
Hukum Islam, Vol. 20, No. 2 Desember 2020, pp. 219-238.
Heryanti, B. Rini, “Impelementasi Perubahan Kebijakan Batas Usia Perkawinan,” Jurnal
Ius Constituendum, Vol. 6, No. 2 April 2021, pp. 120-143.
Kartikawati, Reni dan Djamilah, “Dampak Perkawinan Anak di Indonesia”. Jurnal Studi
Pemuda, Vol. 3, No. 1 Mei 2014.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2019.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 29.
Kompilasi Hukum Islam.
Maudina, Lina Dina, “Dampak Pernikahan Dini Bagi Perempuan”, Jurnal Harkat: Media
Komunikasi Gender, 15, (2) tahun 2019.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2011.
Nuroniyah, Wasman dan Wardah, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Yogyakarta:
Teras, 2011.
Olivia, Fitria, “Batasan Umur Dalam Perkawinan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974”, Lex Jurnalica. Vol. 12, No. 3 Desember 2015.
Puspitasari, Retno Dwi, “Gambaran Pengetahuan Ibu Remaja Putri tentang Dampak
Pernikahan Usia Muda Pada Kesehatan Reproduksi di Desa Tegaldowo
Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang”, (Artikel: Program Studi Diploma III
Kebidanan, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Ngudi Waluyo Ungaran, 2014).
Rahman, Khairiyati dan Nur Fadhilah, “Rekonstruksi Batas Usia Perkawinan Anak
Dalam Hukum Nasional Indonesia”, de Jure Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 4,
No. 1 Juli 2012.
Saleh, Wajik, “Hukum Perkawinan Indonesia”, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982.
Shodikin, Akhmad, “Pandangan Hukum Islam Dan Hukum Nasional Tentang Batas Usia
Perkawinan”, Jurnal Mahkamah. Vol. 9, No. 1 tahun 2015.
Sugiyono, “Metode Penelitian, Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D”, Bandung: Alfabeta,
2016.
Sunendi, “Sanksi Pidana Bagi Praktek Perkawinan di Bawah Umur”, Skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.
Supriyadi, Dedi dan Mustofa, “Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam”,
Bandung: Pustaka Al-Fikriis, 2009.

204
Al-‘Adalah: e-ISSN: 2503-1473
Jurnal Syariah dan Hukum Islam Vol. 6, No. 2, Desember 2021, 185-205

Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.


Undang-Undang Republik Indonesia No. 16 Tahun 2019 Perubahan atas Undang-
Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Wahyudi, Udi, “Tingkat Kedewasaan Antara Laki-Laki Dan Perempuan Relevansinya
Dengan Batas Usia Perkawinan (Studi Komparasi Hukum Islam Dengan
Pandangan Medis”, Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Jakarta (2015).
Yadin Supri, Hasibuan, dkk, “Pembaharuan Hukum Perkawinan Tentang Batas Minimal
Usia Pernikahan dan Konsekuensinya”, Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 1, No. 2
September 2019.
Yulianti, Rina, “Dampak yang Ditimbulkan Akibat Perkawinan Usia Dini” Jurnal
Pamator, Vol. 3 No. 1, April 2010, pp. 1-5.

205

You might also like