You are on page 1of 11

Potensi Diuretik Rambut Jagung (Zea mays L.

)
Diuretic Potency of Corn Silk (Zea mays L.)

Ruqiah Ganda Putri Panjaitan1, Rahmat Saputra2, Ekowati Handharyani3


1
Program Studi Pendidikan Biologi, FKIP-Universitas Tanjungpura, Pontianak
2
Program Studi Pendidikan Kimia, FKIP-Universitas Tanjungpura, Pontianak
3
Bagian Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB
e-mail: ruqiah_gpp@yahoo.com

Abstract
Zea mays L. (Gramineae) is being used as one of the medicinal plant. However, related
studies on the potentials of this corn silk have not widely been conducted. This
research has been conducted to study the acute toxicity and the diuretic potential of
corn silk. In the studies on acute toxicity in male mice (24-28 g) by using Weil
method, there was no mortality could be observed. The diuretic potential of corn silk
has been tested by using the Cummings method, and using Sprague Dewley male rats
(220-270 g). The administration of 1,4; 2,8 and 5,6 ml/100 g body weight (BW)
decoction of corn silk and treated orally. In this study, distilled water (2 ml/100 g
BW) was used as placebo and chlortalidone (0,315 mg/100 g BW). Evaluation the
volume of urine were performed after 24 hours after treatment. The results indicated
that the volume of urine in rats treated with decoction of corn silk 5,6 ml/100 g BW
were increased (7,80 ml) compare to placebo (6,37 ml) and chlortalidone (5,90 ml).
However, slight change in urine Na+- K+ concentration has been observed in rats
receiving decoction of corn silk. The value of Na+ in urine showed an increase point
(0,16 mEq/ml ) while the K+ was significantly decreased (0,06 mEq/ml ). The pH level
in urine revealed no significantly decrease. From this research it could be concluded
that decoction of corn silk has diuretic potential. The mechanism of action, however,
remains be proven.
Key words: Zea mays, corn silk, diuretic activity, acute toxicity
PENDAHULUAN

Mundurnya perekonomian menimbulkan dampak yang tidak sederhana bagi

masyarakat luas. Berbagai kebutuhan masyarakat mengalami kenaikan harga, untuk

mengatasinya banyak hal yang perlu diperbaiki. Salah satu kebutuhan masyarakat

adalah obat. Harga obat yang melambung di pasaran mengakibatkan keresahan, untuk

mengatasinya dapat dilakukan dengan kembali ke obat-obat tradisional. Obat

tradisional umumnya berasal dari berbagai jenis tanaman yang tumbuh di sekeliling

kita. Sebenarnya pemanfaatan tanaman sebagai obat sudah sejak lama, hanya saja

masyarakat kurang menyadari bahwa obat-obat sintetik yang dimanfaatkan selama ini

memiliki bahan dasar yang juga berasal dari tanaman. Tanaman mengandung bahan

aktif yang beragam dengan kegunaan berbeda-beda dan setiap bagian tanaman

memiliki khasiat tertentu.

Jagung tergolong tanaman jenis rumput-rumputan. Daun tanaman ini

berpelepah dan panjangnya bisa mencapai 1 meter. Buahnya terbungkus kelobot dan

di ujungnya terdapat semacam rambut. Jagung merupakan tanaman ketiga yang paling

banyak ditanam di seluruh dunia. Biasanya masyarakat memanfaatkan buahnya

sebagai pengganti beras serta sebagai sayur. Jagung juga dapat diolah menjadi pakan

ternak, produk pangan, farmasi, dan industri manufaktur. Jagung baik sebagai

makanan karena mengandung karbohidrat serta bebas kolesterol, bebas lemak, dan

rendah kalori (http://www.pikiran_rakyat.com /letak/0403/08/obat.htm.9 Agustus

2005). Rambut dan tongkol muda tanaman ini mengandung kalium cukup tinggi

sehingga dapat dimanfaatkan sebagai diuretik dan penghancur batu ginjal (Intisari,

1999; http://www.pikiran_rakyat.com /letak/0403/08/obat.htm.9 Agustus 2005).


Diuretik adalah zat yang dapat meningkatkan volume serta mempercepat

keluarnya urin. Sebagian diuretik bekerja menurunkan kecepatan reabsorbsi cairan di

tubulus (Hnatyszyn et al., 1999). Secara umum ada dua golongan diuretik, diuretik

osmotik dan diuretik penghambat mekanisme transport elektrolit di dalam tubuli ginjal

(Ganong, 1995). Peran diuretik dalam pengobatan berbagai penyakit sangat luas,

antara lain dalam pengobatan batu ginjal, hipertensi, payah jantung kronik kongestif,

udem paru akut, sindrom nefrotik, payah ginjal akut, penyakit hati kronik, udem otak,

hiperkalsemia, diabetes insipidus, open angle glaucoma dan acute angle closure

glaucoma (Sunaryo, 1995).

Mekanisme kerja diuretik beragam, tergantung dari golongan diuretik itu

sendiri. Air, etanol, dan antagonis reseptor vasopressin bekerja menghambat sekresi

antidiuretik hormon, beberapa zat seperti xantin, kafein dan teofilin bekerja

mengurangi resorbsi Na+ pada tubulus dan meningkatkan filtrasi glomerulus.

Furosemid, bumetanid, dan asam etakrinat bekerja menghambat perpindahan Na+-K+-

2 Cl- pada loop of henle asendens tebal di bagian medula (Ganong, 1995). Selain dari

obat-obat sintetik, daya diuretik juga terkandung dalam buah dan sayur. Beragam

tanaman yang secara tradisional maupun yang telah diuji di laboratorium berkhasiat

melancarkan buang air kecil antara lain jagung, alang-alang, kelapa hijau, kumis

kucing, ngokilo, dan meniran (Intisari, 1999).

Pemanfaatan rambut jagung sebagai diuretik hanya berdasarkan pengalaman

empiris. Untuk itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut guna mengetahui daya

diuretik rambut jagung sekaligus diketahui dosis yang tepat dalam pemanfaatannya.

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat diperoleh minuman kesehatan (healthy
drink) yang berkhasiat diuretik, sekaligus menambah informasi dalam memanfaatkan

rambut jagung sebagai obat, sehingga di dalam penggunaannya tidak hanya

mengandalkan pengalaman empiris saja.

BAHAN DAN METODE

1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Toksikologi Fakultas Kedokteran

Hewan IPB.

2. Desain Penelitian

2.1. Pengambilan dan Penyiapan Rebusan Rambut Jagung

Rambut jagung dari pasar tradisional dikumpulkan dan dibawa ke

laboratorium, selanjutnya dibersihkan. Rambut jagung kemudian direbus dengan air

sampai volume air tinggal setengah dari volume awal (Intisari, 1999). Penyiapan

sediaan mengacu pada pemberian secara tradisional (50 g rambut jagung direbus

dengan 1 liter air sampai volume air menjadi setengah volume awal). Sediaan ini

dianggap sebagai sediaan dengan konsentrasi 100%.

2.2. Penetapan Median Letal Dosis (LD50)

Pengujian dilakukan dengan menggunakan metode Weil (1952), dengan hewan

coba mencit putih jantan umur 2 – 3 bulan dengan berat badan 24–28 g. Hewan coba

dibagi menjadi 4 kelompok, tiap kelompok terdiri dari 5 ekor:

1. Kelompok konsentrasi sediaan uji 1%

2. Kelompok konsentrasi sediaan uji 10%

3. Kelompok konsentrasi sediaan uji 100%

4. Kelompok konsentrasi sediaan uji 1000%


Selama 24 jam setelah diberi sediaan, dihitung jumlah hewan coba yang mati.

Pengujian dihentikan jika jumlah hewan yang mati sesuai dengan tabel Biometrik.

Nilai LD50 dapat dihitung dengan persamaan Log M = Log D + d (f +1).

2.3. Pengujian Daya Diuretik

Untuk percobaan diuretik digunakan 25 ekor tikus jantan, umur 2-3 bulan,

dengan bobot badan 220-270 g. Sebelum dilakukan percobaan hewan diamati

kesehatannya selama lebih kurang tujuh hari dengan cara menimbang bobot badan

setiap hari pada waktu yang bersamaan. Selanjutnya dibagi menjadi 5 kelompok , tiap

kelompok terdiri dari 5 ekor. Metode yang dipakai adalah metode Cummings et al.

(1960) cit. Turner (1965). Tikus yang dipuasakan sepanjang malam ditimbang bobot

badannya, diikuti langsung pemberian sediaan uji dosis tunggal secara oral dengan

menggunakan sonde lambung. Kemudian tikus dimasukkan kedalam kandang

metabolik secara terpisah dan dilakukan penampungan urin selama 24 jam terhitung

setelah pemberian sediaan uji. Dosis yang dipakai mengacu pada harga letal dosis

yang diperoleh pada percobaan sebelumnya dan dikonversikan sesuai takaran untuk

tikus (Laurence dan Bacharah, 1964). Pembagian kelompok percobaan:

1. Tanpa perlakuan.

2. Sediaan uji sebanyak Y ml/100 g BB.

3. 2 Y ml/100 g BB.

4. 4 Y ml/100 g B.

5. Klortalidon 0,315 mg/100 g BB dalam 2 ml akuades (Panjaitan, 2000).


Parameter yang diukur adalah volume urin, kadar natrium dan kalium dalam

urin yang diukur dengan menggunakan spektrofotometer, serta pengukuran pH urin

dengan menggunakan kertas pH.

3. Analisis Data

Percobaan diuretik dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap.

Hasil pengukuran volume urin, pH urin, kadar natrium dan kalium dalam urin

dianalisis dengan ANOVA (Steel dan Torrie, 1995), dan dilanjutkan dengan uji

Duncan Multiple Range Test (DNMRT) pada taraf 5% jika berbeda nyata.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari percobaan terhadap uji toksisitas, ternyata rebusan rambut jagung tidak

bersifat toksik. Dari pengujian dengan menggunakan konsentrasi bertingkat 1%, 10%,

100% dan 1000% diperoleh hasil bahwa sampai dengan konsentrasi 100% tidak

menyebabkan kematian pada mencit dengan dosis 2 ml/100 g bobot badan setara

dengan 2,8 ml/200 g bobot badan tikus atau 155,16 ml/70 kg bobot badan manusia,

untuk satu kali pemberian.

Konsentrasi yang mengakibatkan kematian, pada konsentrasi 1000% persentase

hewan uji mati sebanyak 66,7%. Dosis yang mengakibatkan kematian untuk

konsentrasi 100% (sediaan empiris) sebesar 4 ml/20 bobot badan mencit setara dengan

28 ml/200 g bobot badan tikus maupun 1551,6 ml/70 kg bobot badan manusia untuk

satu kali pemberian. Adapun jumlah yang dianjurkan dalam penggunaan empiris

sebanyak 500 ml per hari untuk 2 kali konsumsi. Namun untuk mengetahui berapa
nilai tepat yang mengakibatkan kematian 50 % masih memerlukan pengujian lebih

lanjut.

Hasil yang diperoleh dari pengukuran parameter pengujian daya diuretik rebusan

rambut jagung terangkum dalam Tabel 1.

Tabel 1. Pengujian rebusan rambut jagung sebagai diuretik yang diberikan oral
pada tikus. Dosis pemberian 1,4 ml/100 g BB; 2,8 ml/100 g BB; 5,6
ml/100 g BB; placebo 1,4 ml/100 g BB dan Klortalidon 0,315 mg/100
g BB sebagai Kontrol Positif. Urin dikoleksi selama 24 jam. Nilai
rata-rata  SD (n=5).

Kelompok
Rebusan rambut jagung Kontrol
Parameter positif
Placebo
1,4 2,8 5,6
ml/kg BB ml/kg BB ml/kg BB (Klortalidon)
Volume
6,37a2,85 3,67a0,64 6,80a2,62 7,80a1,22 5,90a2,36
urin (ml)
Na+ urin
0,14a0,03 0,11a0,02 0,08a0,01 0,16a0,16 0,15a0,07
(mEq/ml)
K+ urin
0,11a0,02 0,11ab0,02 0,08ab0,01 0,06b0,01 0,07b0,05
(mEq/ml)
pH urin 8,00a0,00 8,30a0,58 7,00a0,58 7,33a0,58 7,67a0,58
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata pada taraf 5% dengan uji DMRT

Dalam percobaan pengujian daya diuretik digunakan rebusan rambut jagung

konsentrasi 100% dengan dosis bertingkat. Dosis yang digunakan dalam pengujian ini

mengacu pada hasil pengujian toksisitas yaitu 1,4 ml/100 g bobot badan tikus. Dosis

1,4 ml/100 g BB adalah dosis uji terendah yang diberikan untuk rebusan rambut

jagung, diikuti dengan 2,8 ml/100 g BB dan 5,6 ml/100 g BB. Sebagai pembanding

positif digunakan klortalidon dengan dosis 0,315 mg/100 g BB yang dilarutkan dalam
akuades 1,4 ml/100 g BB, selanjutnya placebo (pemberian akuades) dengan dosis 1,4

ml/100 g BB sebagai pembanding negatif.

Hasil percobaan menunjukkan rata-rata volume urin untuk placebo, rebusan

rambut jagung dosis 1,4 ml/100 g BB; 2,8 ml/100 g BB; 5,6 ml/100 g BB serta

klortalidon masing-masing 6,37 ml; 3,67 ml; 6,80 ml; 7,80 dan 5,90 ml. Dari hasil ini

terlihat bahwa volume urin paling rendah adalah dengan pemberian rebusan 1,4

ml/100 g BB. Diasumsikan bahwa dengan dosis ini belum menimbulkan efek diuretik.

Hasil yang diperoleh dari dosis uji terendah malah lebih kecil dibanding placebo,

karena itu dapat pula diasumsikan bahwa volume urin yang diperoleh tidak

dipengaruhi oleh jumlah air yang masuk. Efek diuretik mulai tampak pada dosis 2,8

ml/100 g BB, malahan jumlah urin yang dihasilkannya lebih tinggi dibanding dengan

pemberian klortalidon. Adapun pemberian rebusan sebanyak 5,6 ml/100 g BB

memberikan efek diuretik tertinggi. Dosis uji 5,6 ml/100 g BB sedikit lebih tinggi dari

dosis pengobatan yang lazim dipergunakan di masyarakat. Secara empiris rebusan

rambut jagung yang diminum masyarakat sebagai obat adalah 500 ml per hari, setara

dengan 5,25 ml/100 g BB tikus. Dengan demikian sediaan rebusan rambut jagung

yang digunakan oleh masyarakat terbukti menimbulkan efek meningkatkan volume

urin. Rata-rata pH urin berturut-turut dari placebo; rebusan rambut jagung dosis 1,4

ml/100 g BB; 2,8 ml/100 g BB; 5,6 ml/100 g BB serta klortalidon adalah 8,00; 8,30;

7,00; 7,33 dan 7,67. Dari hasil ini kembali terlihat bahwa pH urin dengan pemberian

1,4 ml/100 g BB mendekati pH placebo, walau hasilnya sedikit lebih tinggi. Dengan

pemberian klortalidon pH urin yang diperoleh mendekati pH urin dari perlakuan 5,6

ml/100 g BB. pH urin yang terendah dihasilkan dengan pemberian 2,8 ml/100 g BB.
Walaupun demikian semua perlakuan menunjukkan hasil bahwa pH urin

keseluruhannya cenderung basa. Kadar natrium dan kalium dalam urin erat kaitannya

dengan keseimbangan cairan tubuh, sehingga dalam menguji aktivitas diuretik suatu

zat selain mengukur volume dan pH urin yang dihasilkan juga perlu mengukur kadar

kedua elektrolit ini. Dalam percobaan ini kadar natrium dalam urin yang dihasilkan

dengan perlakuan pemberian rebusan rambut jagung 1,4 ml/100 g BB, 2,8 ml/100 g

BB dan 5,6 ml/100 g BB berturut-turut 0,11 mEq/ml; 0,08 mEq/ml dan 0,16 mEq/ml,

sedangkan placebo dan klortalidon masing-masing 0,14 mEq/ml dan 0,15 mEq/ml.

Kadar kalium dalam urin yang dihasilkan dari pemberian rebusan rambut jagung 1,4

ml/100 g BB; 2,8 ml/100 g BB; 5,6 ml/100 g BB; placebo dan klortalido berturut-turut

0,11 mEq/ml; 0,08 mEq/ml; 0,06 mEq/ml; 0,11 mEq/ml dan 0,07 mEq/ml.

Secara keseluruhan terlihat bahwa pola diuretik yang dihasilkan dengan

pemberian rebusan rambut jagung 1,4 ml.100 g BB dan 2,8 ml/100 g BB adalah sama,

dimana peningkatan natrium diimbangi dengan peningkatan kalium urin. Placebo

dalam hal ini air mempunyai pola yang sama dengan dosis 1,4 dam 2,8 ml/100 g BB.

Sehingga diasumsikan bahwa pola rebusan pada kedua dosis uji ini mirip dengan

diuretik air. Namun karena kadar kalium dalam sediaan cukup tinggi, maka untuk

dosis 1,4 dan 2,8 l/100 g BB kadar kalium urin terlihat sama dengan kadar natrium

urin. Dari literatur disebutkan bahwa rambut dan tongkol muda jagung mengandung

kalium yang cukup tinggi (Intisari, 1999). Secara fisiologis kadar kalium yang terlalu

tinggi dalam urin dapat terjadi karena tingginya asupan kalium ke dalam tubuh,

sehingga tubuh akan mengeluarkan kalium untuk mencapai nilai normal dalam tubuh

(Suherman, 1995). Adapun pemberian rebusan rambut jagung sebanyak 5,6 ml/100 g
BB memiliki daya diuretik yang mirip dengan klortalidon, tetapi ada keuntungan lain

yang diperoleh yakni kadar natrium urinnya tidak diimbangi dengan kalium

sebagaimana yang diperlihatkan klortalidon. Dengan demikian diasumsikan bahwa

pemberian dosis 5,6 ml/100 g BB malah bisa menekan pengeluaran kalium walaupun

dari literatur telah disebutkan bahwa kadar kalium rambut jagung cukup tinggi. Secara

keseluruhan, diduga bahwa pola diuretik dari rebusan rambut jagung 5,6 ml/100 g BB

adalah diuretik hemat kalium. Menurut Ganong (1995) kadar kalium dalam tubuh

lebih rendah dibanding kadar natrium. Perubahan konsentrasi natrium dan kalium

dalam cairan ekstrasel dapat mempengaruhi potensial serat miokardium dikarenakan

aktivitas listrik jantung bergantung pada distribusi ion-ion tersebut melintasi membran

sel otot. Dosis 5,6 ml/kg BB diduga lebih aman jika digunakan lebih lanjut terkait

dengan manfaatnya sebagai diuretik, sebaliknya tidak dipilih dosis 1,4 dan 2,8 mg/100

g BB karena dikhawatirkan dapat mengakibatkan semakin rendahnya kadar kalium

didalam tubuh (hipokalemia) yang akhirnya dapat menimbulkan efek yang berbahaya

pada jantung.

KESIMPULAN

Dari percobaan yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa rebusan rambut

jagung dinilai aman dan tidak toksik serta terbukti memiliki daya diuretik.

DAFTAR PUSTAKA

Ganong WF.1995. Fisiologi Kedokteran. M.Djauhari Widjajakusumah (ed).


Terjemahan dari Review of Medical Physiology. 17th edition. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta. Hlm 682-712
Hnatyszyn O, J Mino, S Gorzalczany, J Opezzo, G Ferraro, J Coussio dan C
Acevedo. Diuretic activity of an aqueous extract of Phyllanthus sellowianus.
Phytomedicine. 6(3):177-179

http://wwwpku /mweb.ukm.my /~ahmad /tugasan /S3_99/monaniza.html 9 Agustus


2005

http://www.pikiran_rakyat.com /letak/0403/08/obat.htm.9 Agustus 2005

Intisari. 1999. Tanaman Obat Keluarga I. Gramedia Jakarta. Hlm 37-38

Laurence DR dan AL Bacharah. 1964. Evaluation of Drug Activities.


Pharmacometrics. Vol. I. Academic Press London and New York. Hlm 161

Panjaitan RGP. 2000. Potensi Sari Buah Belimbing Manis (Averrhoa carambola L.)
Sebagai Antihipertensi dan Diuretik.tesis. Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Steel Robert GD dan JH Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu
Pendekatan Biometrik. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hlm 228-229

Suherman SK. 1995. Adrenokortikotropin, Adrenokortikosteroid, Analog-Sintetik dan


Antagonisnya. Di dalam: Farmakologi dan Terapi. Ed. IV (dengan perbaikan).
Sulistia G Ganiswarna. (ed). Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. Hlm 482-500

Sunaryo. 1995. Diuretik dan Anti diuretik. Di dalam: Farmakologi dan Terapi. Ed. IV
(dengan perbaikan). Sulistia G Ganiswarna. (ed). Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Hlm 380-399

Turner Robert A. 1965. Screening Methods in Pharmacology, Vol. II. Academic Press
London and New York. Hlm 251-254

Weil CS. 1952. Tables for convenient calculation of median-effective dose (LD50 or
ED50) and instructions in their use. Biometrics 8:249-263

You might also like