Professional Documents
Culture Documents
)
Diuretic Potency of Corn Silk (Zea mays L.)
Abstract
Zea mays L. (Gramineae) is being used as one of the medicinal plant. However, related
studies on the potentials of this corn silk have not widely been conducted. This
research has been conducted to study the acute toxicity and the diuretic potential of
corn silk. In the studies on acute toxicity in male mice (24-28 g) by using Weil
method, there was no mortality could be observed. The diuretic potential of corn silk
has been tested by using the Cummings method, and using Sprague Dewley male rats
(220-270 g). The administration of 1,4; 2,8 and 5,6 ml/100 g body weight (BW)
decoction of corn silk and treated orally. In this study, distilled water (2 ml/100 g
BW) was used as placebo and chlortalidone (0,315 mg/100 g BW). Evaluation the
volume of urine were performed after 24 hours after treatment. The results indicated
that the volume of urine in rats treated with decoction of corn silk 5,6 ml/100 g BW
were increased (7,80 ml) compare to placebo (6,37 ml) and chlortalidone (5,90 ml).
However, slight change in urine Na+- K+ concentration has been observed in rats
receiving decoction of corn silk. The value of Na+ in urine showed an increase point
(0,16 mEq/ml ) while the K+ was significantly decreased (0,06 mEq/ml ). The pH level
in urine revealed no significantly decrease. From this research it could be concluded
that decoction of corn silk has diuretic potential. The mechanism of action, however,
remains be proven.
Key words: Zea mays, corn silk, diuretic activity, acute toxicity
PENDAHULUAN
mengatasinya banyak hal yang perlu diperbaiki. Salah satu kebutuhan masyarakat
adalah obat. Harga obat yang melambung di pasaran mengakibatkan keresahan, untuk
tradisional umumnya berasal dari berbagai jenis tanaman yang tumbuh di sekeliling
kita. Sebenarnya pemanfaatan tanaman sebagai obat sudah sejak lama, hanya saja
masyarakat kurang menyadari bahwa obat-obat sintetik yang dimanfaatkan selama ini
memiliki bahan dasar yang juga berasal dari tanaman. Tanaman mengandung bahan
aktif yang beragam dengan kegunaan berbeda-beda dan setiap bagian tanaman
berpelepah dan panjangnya bisa mencapai 1 meter. Buahnya terbungkus kelobot dan
di ujungnya terdapat semacam rambut. Jagung merupakan tanaman ketiga yang paling
sebagai pengganti beras serta sebagai sayur. Jagung juga dapat diolah menjadi pakan
ternak, produk pangan, farmasi, dan industri manufaktur. Jagung baik sebagai
makanan karena mengandung karbohidrat serta bebas kolesterol, bebas lemak, dan
2005). Rambut dan tongkol muda tanaman ini mengandung kalium cukup tinggi
sehingga dapat dimanfaatkan sebagai diuretik dan penghancur batu ginjal (Intisari,
tubulus (Hnatyszyn et al., 1999). Secara umum ada dua golongan diuretik, diuretik
osmotik dan diuretik penghambat mekanisme transport elektrolit di dalam tubuli ginjal
(Ganong, 1995). Peran diuretik dalam pengobatan berbagai penyakit sangat luas,
antara lain dalam pengobatan batu ginjal, hipertensi, payah jantung kronik kongestif,
udem paru akut, sindrom nefrotik, payah ginjal akut, penyakit hati kronik, udem otak,
hiperkalsemia, diabetes insipidus, open angle glaucoma dan acute angle closure
sendiri. Air, etanol, dan antagonis reseptor vasopressin bekerja menghambat sekresi
antidiuretik hormon, beberapa zat seperti xantin, kafein dan teofilin bekerja
2 Cl- pada loop of henle asendens tebal di bagian medula (Ganong, 1995). Selain dari
obat-obat sintetik, daya diuretik juga terkandung dalam buah dan sayur. Beragam
tanaman yang secara tradisional maupun yang telah diuji di laboratorium berkhasiat
melancarkan buang air kecil antara lain jagung, alang-alang, kelapa hijau, kumis
empiris. Untuk itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut guna mengetahui daya
diuretik rambut jagung sekaligus diketahui dosis yang tepat dalam pemanfaatannya.
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat diperoleh minuman kesehatan (healthy
drink) yang berkhasiat diuretik, sekaligus menambah informasi dalam memanfaatkan
Hewan IPB.
2. Desain Penelitian
sampai volume air tinggal setengah dari volume awal (Intisari, 1999). Penyiapan
sediaan mengacu pada pemberian secara tradisional (50 g rambut jagung direbus
dengan 1 liter air sampai volume air menjadi setengah volume awal). Sediaan ini
coba mencit putih jantan umur 2 – 3 bulan dengan berat badan 24–28 g. Hewan coba
Pengujian dihentikan jika jumlah hewan yang mati sesuai dengan tabel Biometrik.
Untuk percobaan diuretik digunakan 25 ekor tikus jantan, umur 2-3 bulan,
kesehatannya selama lebih kurang tujuh hari dengan cara menimbang bobot badan
setiap hari pada waktu yang bersamaan. Selanjutnya dibagi menjadi 5 kelompok , tiap
kelompok terdiri dari 5 ekor. Metode yang dipakai adalah metode Cummings et al.
(1960) cit. Turner (1965). Tikus yang dipuasakan sepanjang malam ditimbang bobot
badannya, diikuti langsung pemberian sediaan uji dosis tunggal secara oral dengan
metabolik secara terpisah dan dilakukan penampungan urin selama 24 jam terhitung
setelah pemberian sediaan uji. Dosis yang dipakai mengacu pada harga letal dosis
yang diperoleh pada percobaan sebelumnya dan dikonversikan sesuai takaran untuk
1. Tanpa perlakuan.
3. 2 Y ml/100 g BB.
4. 4 Y ml/100 g B.
3. Analisis Data
Hasil pengukuran volume urin, pH urin, kadar natrium dan kalium dalam urin
dianalisis dengan ANOVA (Steel dan Torrie, 1995), dan dilanjutkan dengan uji
Duncan Multiple Range Test (DNMRT) pada taraf 5% jika berbeda nyata.
Dari percobaan terhadap uji toksisitas, ternyata rebusan rambut jagung tidak
bersifat toksik. Dari pengujian dengan menggunakan konsentrasi bertingkat 1%, 10%,
100% dan 1000% diperoleh hasil bahwa sampai dengan konsentrasi 100% tidak
menyebabkan kematian pada mencit dengan dosis 2 ml/100 g bobot badan setara
dengan 2,8 ml/200 g bobot badan tikus atau 155,16 ml/70 kg bobot badan manusia,
hewan uji mati sebanyak 66,7%. Dosis yang mengakibatkan kematian untuk
konsentrasi 100% (sediaan empiris) sebesar 4 ml/20 bobot badan mencit setara dengan
28 ml/200 g bobot badan tikus maupun 1551,6 ml/70 kg bobot badan manusia untuk
satu kali pemberian. Adapun jumlah yang dianjurkan dalam penggunaan empiris
sebanyak 500 ml per hari untuk 2 kali konsumsi. Namun untuk mengetahui berapa
nilai tepat yang mengakibatkan kematian 50 % masih memerlukan pengujian lebih
lanjut.
Hasil yang diperoleh dari pengukuran parameter pengujian daya diuretik rebusan
Tabel 1. Pengujian rebusan rambut jagung sebagai diuretik yang diberikan oral
pada tikus. Dosis pemberian 1,4 ml/100 g BB; 2,8 ml/100 g BB; 5,6
ml/100 g BB; placebo 1,4 ml/100 g BB dan Klortalidon 0,315 mg/100
g BB sebagai Kontrol Positif. Urin dikoleksi selama 24 jam. Nilai
rata-rata SD (n=5).
Kelompok
Rebusan rambut jagung Kontrol
Parameter positif
Placebo
1,4 2,8 5,6
ml/kg BB ml/kg BB ml/kg BB (Klortalidon)
Volume
6,37a2,85 3,67a0,64 6,80a2,62 7,80a1,22 5,90a2,36
urin (ml)
Na+ urin
0,14a0,03 0,11a0,02 0,08a0,01 0,16a0,16 0,15a0,07
(mEq/ml)
K+ urin
0,11a0,02 0,11ab0,02 0,08ab0,01 0,06b0,01 0,07b0,05
(mEq/ml)
pH urin 8,00a0,00 8,30a0,58 7,00a0,58 7,33a0,58 7,67a0,58
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata pada taraf 5% dengan uji DMRT
konsentrasi 100% dengan dosis bertingkat. Dosis yang digunakan dalam pengujian ini
mengacu pada hasil pengujian toksisitas yaitu 1,4 ml/100 g bobot badan tikus. Dosis
1,4 ml/100 g BB adalah dosis uji terendah yang diberikan untuk rebusan rambut
jagung, diikuti dengan 2,8 ml/100 g BB dan 5,6 ml/100 g BB. Sebagai pembanding
positif digunakan klortalidon dengan dosis 0,315 mg/100 g BB yang dilarutkan dalam
akuades 1,4 ml/100 g BB, selanjutnya placebo (pemberian akuades) dengan dosis 1,4
rambut jagung dosis 1,4 ml/100 g BB; 2,8 ml/100 g BB; 5,6 ml/100 g BB serta
klortalidon masing-masing 6,37 ml; 3,67 ml; 6,80 ml; 7,80 dan 5,90 ml. Dari hasil ini
terlihat bahwa volume urin paling rendah adalah dengan pemberian rebusan 1,4
ml/100 g BB. Diasumsikan bahwa dengan dosis ini belum menimbulkan efek diuretik.
Hasil yang diperoleh dari dosis uji terendah malah lebih kecil dibanding placebo,
karena itu dapat pula diasumsikan bahwa volume urin yang diperoleh tidak
dipengaruhi oleh jumlah air yang masuk. Efek diuretik mulai tampak pada dosis 2,8
ml/100 g BB, malahan jumlah urin yang dihasilkannya lebih tinggi dibanding dengan
memberikan efek diuretik tertinggi. Dosis uji 5,6 ml/100 g BB sedikit lebih tinggi dari
rambut jagung yang diminum masyarakat sebagai obat adalah 500 ml per hari, setara
dengan 5,25 ml/100 g BB tikus. Dengan demikian sediaan rebusan rambut jagung
urin. Rata-rata pH urin berturut-turut dari placebo; rebusan rambut jagung dosis 1,4
ml/100 g BB; 2,8 ml/100 g BB; 5,6 ml/100 g BB serta klortalidon adalah 8,00; 8,30;
7,00; 7,33 dan 7,67. Dari hasil ini kembali terlihat bahwa pH urin dengan pemberian
1,4 ml/100 g BB mendekati pH placebo, walau hasilnya sedikit lebih tinggi. Dengan
pemberian klortalidon pH urin yang diperoleh mendekati pH urin dari perlakuan 5,6
ml/100 g BB. pH urin yang terendah dihasilkan dengan pemberian 2,8 ml/100 g BB.
Walaupun demikian semua perlakuan menunjukkan hasil bahwa pH urin
keseluruhannya cenderung basa. Kadar natrium dan kalium dalam urin erat kaitannya
dengan keseimbangan cairan tubuh, sehingga dalam menguji aktivitas diuretik suatu
zat selain mengukur volume dan pH urin yang dihasilkan juga perlu mengukur kadar
kedua elektrolit ini. Dalam percobaan ini kadar natrium dalam urin yang dihasilkan
dengan perlakuan pemberian rebusan rambut jagung 1,4 ml/100 g BB, 2,8 ml/100 g
BB dan 5,6 ml/100 g BB berturut-turut 0,11 mEq/ml; 0,08 mEq/ml dan 0,16 mEq/ml,
sedangkan placebo dan klortalidon masing-masing 0,14 mEq/ml dan 0,15 mEq/ml.
Kadar kalium dalam urin yang dihasilkan dari pemberian rebusan rambut jagung 1,4
ml/100 g BB; 2,8 ml/100 g BB; 5,6 ml/100 g BB; placebo dan klortalido berturut-turut
0,11 mEq/ml; 0,08 mEq/ml; 0,06 mEq/ml; 0,11 mEq/ml dan 0,07 mEq/ml.
pemberian rebusan rambut jagung 1,4 ml.100 g BB dan 2,8 ml/100 g BB adalah sama,
dalam hal ini air mempunyai pola yang sama dengan dosis 1,4 dam 2,8 ml/100 g BB.
Sehingga diasumsikan bahwa pola rebusan pada kedua dosis uji ini mirip dengan
diuretik air. Namun karena kadar kalium dalam sediaan cukup tinggi, maka untuk
dosis 1,4 dan 2,8 l/100 g BB kadar kalium urin terlihat sama dengan kadar natrium
urin. Dari literatur disebutkan bahwa rambut dan tongkol muda jagung mengandung
kalium yang cukup tinggi (Intisari, 1999). Secara fisiologis kadar kalium yang terlalu
tinggi dalam urin dapat terjadi karena tingginya asupan kalium ke dalam tubuh,
sehingga tubuh akan mengeluarkan kalium untuk mencapai nilai normal dalam tubuh
(Suherman, 1995). Adapun pemberian rebusan rambut jagung sebanyak 5,6 ml/100 g
BB memiliki daya diuretik yang mirip dengan klortalidon, tetapi ada keuntungan lain
yang diperoleh yakni kadar natrium urinnya tidak diimbangi dengan kalium
pemberian dosis 5,6 ml/100 g BB malah bisa menekan pengeluaran kalium walaupun
dari literatur telah disebutkan bahwa kadar kalium rambut jagung cukup tinggi. Secara
keseluruhan, diduga bahwa pola diuretik dari rebusan rambut jagung 5,6 ml/100 g BB
adalah diuretik hemat kalium. Menurut Ganong (1995) kadar kalium dalam tubuh
lebih rendah dibanding kadar natrium. Perubahan konsentrasi natrium dan kalium
aktivitas listrik jantung bergantung pada distribusi ion-ion tersebut melintasi membran
sel otot. Dosis 5,6 ml/kg BB diduga lebih aman jika digunakan lebih lanjut terkait
dengan manfaatnya sebagai diuretik, sebaliknya tidak dipilih dosis 1,4 dan 2,8 mg/100
didalam tubuh (hipokalemia) yang akhirnya dapat menimbulkan efek yang berbahaya
pada jantung.
KESIMPULAN
Dari percobaan yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa rebusan rambut
jagung dinilai aman dan tidak toksik serta terbukti memiliki daya diuretik.
DAFTAR PUSTAKA
Panjaitan RGP. 2000. Potensi Sari Buah Belimbing Manis (Averrhoa carambola L.)
Sebagai Antihipertensi dan Diuretik.tesis. Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Steel Robert GD dan JH Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu
Pendekatan Biometrik. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hlm 228-229
Sunaryo. 1995. Diuretik dan Anti diuretik. Di dalam: Farmakologi dan Terapi. Ed. IV
(dengan perbaikan). Sulistia G Ganiswarna. (ed). Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Hlm 380-399
Turner Robert A. 1965. Screening Methods in Pharmacology, Vol. II. Academic Press
London and New York. Hlm 251-254
Weil CS. 1952. Tables for convenient calculation of median-effective dose (LD50 or
ED50) and instructions in their use. Biometrics 8:249-263