You are on page 1of 14

HUMAN BEING DALAM DISKURSUS EKSISTENSIALISME BARAT DAN ISLAM:

KOMPARASI PEMIKIRAN JEAN-PAUL SARTRE, GABRIEL MARcEL, MULLA SADRA


DAN MUHAMMAD IQBAL

Abdul Najib*, Safaat Ariful Hudda**


akunnenajib@gmail.com*, safaat.aat@gmail.com**

Abstract
Human nature is a material object of the many developing sciences. This article will focuses on the discussion
of human being in terms of existentialism which will be compared between western philosophy and Islamic
philosophy. As a limitation, this paper will only discuss Jean-Paul Sartre and Gabriel Marcel from the west
tradition and Mulla Sadra and Muhammad Iqbal from the Islamic tradition. This selection is based on the
closeness of their thoughts so that comparisons can be made that are anthropocentric because other philosophers,
especially in Islamic tradition, prioritized theological views. This paper finds out that the west and Islam tought
tradition, human philosophy has different perspectives and thus has very different ideas. Western philosophy
tends to depart from the view of humans as humans themselves or in other words their existence as humans.
Meanwhile, Islamic philosophy talks more about human being starting from the view of their relationship with
God, although in its development there was a shift towards anthropocentrism. However, the thoughts of the
four figures above intersect on the aspect of human being in relation to others. The results of the discussion in
this paper shows that it is understood that the western version of philosophical thinking about the relationship
between humans and other people emphasizes the rationality and emotional aspects rather than the spiritual-
prophetic aspects as found in Islamic existentialism.

Keywords: Human Being, West-Islam, Rational-Emotional, Spiritual-Profetic

Abstrak
Hakikat manusia merupakan sebuah obyek material dari sekian banyak ilmu pengetahuan yang berkembang.
Artikel ini kemudian akan memfokuskan diri pada pembahasan manusia dalam tilikan eksistensialisme yang
akan dikomparasikan antara filsafat barat dan filsafat Islam. Sebagai pembatasan, tulisan ini hanya akan
mebahas Jean-Paul Sartre dan Gabriel Marcel dari kubu barat dan Mulla Sadra dan Muhammad Iqbal dari kubu
Islam. Pemilihan ini didasarkan pada kedekatan pemikiran mereka sehingga bisa dilakukan perbandingan yaitu
bersifat anthroposentris sebab filosof lain, utamanya Islam, lebih mengedepankan tinjauan theologis. Tulisan
ini menemukan bahwa jika dikomparasikan antara barat dan Islam, filsafat manusia memiliki perspektif
yang berbeda dan dengan demikian memiliki hasil pemikiran yang sangat berlainan. Filsafat barat cenderung
bertolak dari pandangan manusia sebagai manusia itu sendiri atau dengan kata lain keberadaannya sebagai
manusia. Sementara filsafat Islam lebih banyak berbicara mengenai manusia yang dimulai dari tilikan relasinya
dengan Allah walaupun pada perkembangannya memang ada pergeseran ke arah anthroposentrisme. Namun
demikian, pemikiran keempat tokoh tersebut beririsan pada aspek human being dalam kaitannya dengan
orang lain. Hasil pembahasan dalam tulisan ini kemudian menunjukkan bahwa dipahami bahwa pemikiran
filosofis mengenai hubungan antara manusia dan orang lain versi barat lebih menekankan aspek rasionalitas
dan emosional alih-alih spiritual-profetik sebagaimana ditemukan dalam eksistensialisme Islam.

Kata Kunci: Manusia, Barat-Islam, Rasional-Emosional, Spiritual-Profetik


Pendahuluan memiliki suatu obyek yang tegas. Filsafat,
Pembahasan Filsafat memang tak sesuai pengertiannya bersifat universal,
kritis, konseptual dan radikal. Pun demikian,
* STAI Al-Anwar Sarang Rembang
** IKA UIN Sunan Ampel Surabaya perkembangan filsafat dari masa ke masa

Human Being dalam Diskursus Eksistensialisme, Safaat A. Hudda, Abdul Najib 91


memiliki kecenderungannya masing-masing; Barangkali inilah yang ingin coba dijawab
mulai dari hakikat alam semesta, metafisika, oleh para ulama muslim dengan mencoba
ilmu pengetahuan etika, estetika dan lain mencari hakikat kemanusiaan. Manusia
sebagainya. Arus perkembangan filsafat pada dengan segala keistimewaannya tak cukup
pasca modernisme kini cenderung ke arah diselidiki dengan mempelajari hubungan
humanisme.1 Pembahasan mengenai manusia Khaliq-makhluq. Ia sama sekali berbeda; tak
dan nilai yang melingkupinya merupakan akan pernah sama dengan sang Khaliq dan tak
tema-tema yang dibahas secara intens dalam ada makhluq manapun yang menyamainya.
filsafat post-modern. Manusia bukanlah Tuhan yang memiliki sifat
Manusia, sebagai pusat pembahasan filsafat Maha Sempurna dan tak patut disembah
memiliki dimensi yang kompleks sehingga bagaimanapun hebatnya. Akan tetapi ia
memerlukan pembahasan yang juga kompleks. memiliki otoritas akan hidupnya yang tak
Tema pertama dan utama adalah mengenai dimiliki makhluk lain. Manusia tak sekedar
eksistensi manusia itu sendiri. Manusia, tidak hayawan an-nathiq sebagaimana definisi ulama
seperti semua entitas lain di alam semesta tradisional. Dan pada suatu fase, ia bahkan
memiliki akal dan insting sehingga dinamis lebih nista dari binatang yang paling nista.
dan tak jarang misterius. Keberadaan manusia Begitu banyak pertanyaan yang muncul
yang unik ini melahirkan tanda tanya besar di jika membicarakan manusia. Maka semakin
alam pikiran filosof. Pertanyaan ini kemudian misteriuslah manusia.
melahirkan suatu aliran filsafat yang berusaha Artikel ini kemudian akan membahas
merumuskan eksistensi manusia bernama komparasi pemikiran filsafat manusia atau
eksistensialisme. yang lazim disebut eksistensialisme antara
Manusia sebagaimana diakui oleh agama pemikiran barat dan Islam. Kedua kutub ini
manapun, memiliki derajat yang tertinggi kemudian dipandang menarik untuk diulas
dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain sebab memiliki tradisi pemikiran yang cukup
di muka bumi. Tak terkecuali Islam, Allah matang dibandingkan tradisi filosofis lainnya.
SWT. secara tegas menyebut manusia sebagai Sebagai pembatasan, tradisi barat akan
wakilNYA (khalifah) di muka bumi. Manusia diwakili oleh Gabriel Marcel (1889-1973) dan
memiliki penghargaan yang lebih tinggi Jean Paul Sartre (1905-1980). Pemilihan dua
sehingga memiliki kemampuan untuk memilih. tokoh ini didasarkan pada pembagian besar
Titah Allah ini sempat “dipertanyakan” eksistensialisme barat yaitu theis dan atheis.2
oleh malaikat karena manusia juga memiliki
potensi untuk berbuat kerusakan sebagaimana 2
Tipologi theis-atheis merupakan manivestasi dari
kaum sebelumnya. Akan tetapi Allah lah dzat pemikiran para eksistensialis tentang kemerdekaan dan
determinisme eksternal. Mereka yang digolongkan dalam
yang Maha Mengetahui. Demikianlah Allah eksistensialisme theistik antara lain Kierkegaard, Karl
Jasper, Gabriel Marcel dan Martin Buber. Sementara para
menjawab secara diplomatis kekhawatiran
eksistensialis yang atheis antara lain Martin Heidegger, Jean-
malaikat. Pernyataan yang sangat misterius. Paul Sartre, Frederiech Nietzsche, Albert Camus dan masih
banyak lagi. Penggolongan ini hanya merupakan bagian dari
sistematika pembahasan sebab pengakuan terhadap Tuhan
bukan merupakan inti dari pembahasan eksistensialisme.
1
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 Lihat: Jack Reynolds, Understanding Existentialism (Chesham:
(Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm. vii. Acumen, 2006), hlm. 2.

92 Jurnal Pemikiran dan Kebudayaan Islam Vol. 30 No. 2 Juli 2021 | 91-104
Sementara itu, tradisi eksistensialisme otentisitas manusia sebagai respon dari aksi
Islam dalam artikel ini akan menampilkan dan nilai individu.6
sosok Sadr al-Din al-Syirazi atau yang lebih Adalah Soren Abye Kierkegaard yang
dikenal dengan Mulla Sadra (1571-1640 M.) dan disebut sebagai bapak eksistensialisme
Muhammad Iqbal (1289–1356 M. /1873–1938 karena dianggap memperkenalkan aliran
H.). Pemilihan kedua tokoh ini didasarkan filsafat ini untuk pertama kalinya. Meskipun
pada perkembangan filsafat Islam itu sendiri. demikian, terma eksistensialisme sendiri
Generasi awal filosof Islam, meskipun banyak baru muncul secara eksplisit ketika Jean-Paul
mencurahkan perhatian pada manusia, lebih Sartre menyebut filsafatnya dengan nama
banyak berkutat pada argumen theologis. “eksistensialisme”. Namun ada kerancuan
Argumen yang dianggap lebih bisa “bersaing” dalam menggolongkan para pemikir dalam
dengan tradisi pemikiran barat diambil dari aliran ini karena beberapa filosof, semisal
Sadra yang dianggap menjadi titik balik Gabriel Marcel, menolak disebut sebagai
pengamatan eksistensi manusia (atau alam eksistensialis dan disamakan filsafatnya
pada umumnya) karena mulai mengamati dengan pemikiran Sartre. Ada pula para filosof
realitas, bukan hanya doktrin agama atau intuisi yang memberi nama buah pikirnya mengenai
belaka.3 Sementara Iqbal dianggap mewakili keberadaan manusia dengan nama yang hampir
sebab ia merupakan tokoh kontemporer yang identik dengan eksistensialisme semisal Karl
dengan tegas membawa alur filsafat Islam Jasper dengan exitenzphilosophie dan Martin
kepada corak anthroposentris.4 Heidegger dengan Existenzialphilosphie.7
Eksistensialisme sendiri merupakan
Filsafat Eksistensialisme
tanggapan atau bisa dibilang perlawanan
Secara etimologis eksistensialisme terhadap aliran yang berkembang sebelumnya
memiliki akar kata eksistensi (Latin existential), yaitu idealisme dan materialisme.8 Idealisme,
dari kata exsistere ‘menjadi ada’ yang terdiri terutama idealisme metafisis Hegelian,
dari suku kata ex berarti ‘keluar’ dan sistere mengatakan bahwa segala sesuatu termasuk
yang berarti ‘mengambil tempat’. Secara manusia hanyalah suatu representasi akal
umum eksistensi dapat diartikan sebagai budi. Segala apa yang ada tidak bersifat fisik
berdiri sendiri sebagaimana adanya sembari dan tidak memiliki materi. Dengan demikian,
keluar dari dirinya; dengan kata lain, cara keragu-raguan adalah niscaya untuk melihat
berada manusia.5 Eksistensialisme berusaha segala apa yang ada.9 Sementara materialisme
untuk membuat abstraksi universal apa itu 6
Charles Taliaferro dan Elsa J. Marty (ed.), A Dictionary
manusia dengan titik tolak pencarian atas of Philosophy of Religion (New York: Continuum, 2010), hlm. 84.
7
Frederick Copleston, Contemporary Philosophy: Study of
Logical Positivism and Existentialism (New York: Continuum,
1972), hlm. 125.
8
Robert G. Olson, An Introduction to Existentialism (New
3
Faiz, “Eksistensialisme Mulla Sadra”, dalam Teosofi: York: Dover Publications, 1962), hlm. 18. Dalam literatur
Jurnal Tasawwuf dan Pemikiran Islam. Vol. 3, No. 2, Desember lain, disebutkan bahwasanya eksistensialisme muncul
2013, hlm. 456. sebagai perlawanan hanya pada rasionalisme yang ketika
4
Suhermanto Ja’far, “Citra Manusia dari Filsafat Psikologi itu menghegemoni falsafat barat. Lihat: Robert C. Solomon,
ke Filsafat Antropologi”, dalam Kanz Philosophia, Vol. 1, No. 2, Existentialism (New York: Oxfoerd University Press, 2005), hlm.
Agustus 2011, hlm. 243. xii.
5
Jeffrey H. Hacker (ed.), Grolier Encyclopedia of Knowledge 9
Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika (Jakarta:
(Connecticut: Grolier Incorporated, 1995), hlm. 172-173. Prenada Media, 2005), hlm. 98.

Human Being dalam Diskursus Eksistensialisme, Safaat A. Hudda, Abdul Najib 93


melihat manusia pada prinsipnya hanya sebagai Penekanan terhadap pentingnya
benda, sama dengan benda-benda lain seperti eksistensi pribadi membawakan penekanan
binatang, tumbuhan, atau bahkan benda mati terhadap pentingnya kemerdekaan dan
seperti meja, kursi dan lain sebagainya.10 rasa tanggung-jawab. Kemerdekaan dan
Hal ini kemudian ditentang oleh tanggng jawab bukannya sesuatu yang harus
eksistensialisme. Bahwa manusia memiliki dibuktikan atau dibicarakan, tetapi harus
cara berada dari eksistensinya. Manusia adalah dialami karena setiap manusia mengalami
sebuah keberadaan yang kompleks. Ia memiliki rasa takut akan kematian, cemas, bosan dan
materi sekaligus akal budi. Kendati manusia lain sebagainya. Dan untuk mengahadapinya,
memiliki materi yang pada akhirnya menjadi manusia diharuskan untuk memilih dengan
sama dengan tanah, manusia tidak dapat kemerdekaannya dan bertanggung jawab
diperlakukan seperti halnya tanah material. atasnya. Determinisme faktor eksternal adalah
Manusia memiliki cara berada eksistensial hal yang absurd karena ini berarti penolakan
yaitu melalui kebebasan berpikirnya. Manusia terhadap kemerdekaan dan dengan begitu,
adalah subjek yang memiliki akal budi. eksistensinya.13 Kemerdekaan, tanggung jawab
Sejalan dengan akal budi tersebut, manusia dan penolakan atas determinisme eksternal
memiliki kesadaran akan dirinya dan memiliki akan melaksanakan tuntutan watak inti dari
kemampuan untuk memetik makna dari setiap manusia serta mengeksresikan jiwanya yang
hal yang ada di sekitarnya.11 riil dan otentik.14
Dari sini, yang perlu ditekankan adalah Eksistensialisme memberi tekanan kepada
bahwa manusia memiliki tataran ontologis inti kehidupan manusia dan pengalamannya,
yang berbeda dengan segala yang ada di yakni terhadap kesadarannya yang langsung
alam ini karena manusia bebas melakukan dan subyektif. Eksistensialis berkata: Tak ada
apa yang ingin dia lakukan. Manusia adalah pengetahuan yang terpisah dari subyek yang
aktor, bukan penonton (spectator). Dan dengan mengetahui. Inti kehidupan manusia dengan
pilihannya inilah manusia bisa menemukan keadaan hati, kekhawatiran dan keputusan-
siapa sejatinya dirinya. Para eksistensialis, keputusannya menjadi pusat perhatian.
dengan segala perbedaannya, sepakat dalam Eksistensialisme menentang segala bentuk
hal ini: “eksistensi mendahului esensi”. Dengan obyektivitas dan impersonalitas dalam bidang-
kebebasan yang dimilikinya, manusia memiliki bidang yang mengenai manusia. Pendekatan
wewenang penuh dalam menentukan akan yang bersifat obyektif semata-mata hanya
jadi apa dia. Tidak seperti pohon misalnya, akan menghadapi prinsip-prinsip universal
yang akan selalu menjadi pohon, manusia yang menyedot seseorang dalam kesatuan
bisa berubah menjadi sesuatu apa yang dia atau sistem yang menyeluruh. Sementara
inginkan.12 eksistensialis menekankan kepada aspek yang
kongkrit dan intim dari pengalaman manusia,

10
Undang Ahmad Kamaludin, Filsafat Manusia: Sebuah 13
Béatrice Han-Pile, “Affectivity”, dalam Hubert L. Dreyfus
Perbandingan antara Islam dan Barat (Bandung: Pustaka Setia, dan Mark A. Wrathall (ed.), A Companion to Phenomenology and
2012), hlm. 50. Existentialism (Oxford: Blackwell, 2006), hlm. 247.
11
Olson, An Introduction to Existentialism., hlm. 18. 14
Jacob Golomb, In Search of Authenticity: From Kierkegaard
12
Copleston, Contemporary Philosophy., hlm. 127. to Camus (London: Routledge, 2005), hlm. 12.

94 Jurnal Pemikiran dan Kebudayaan Islam Vol. 30 No. 2 Juli 2021 | 91-104
atau sesuatu yang istimewa, personal dan menciptakan manusia, alam semesta beserta
otentik.15 isinya. Konsekuensi teori emanasi yang menjadi
Kontras dengan eksistensialisme barat, kontrofersial adalah ke-qadim-an alam karena
pembahasan mengenai hakikat apapun yang merujuk pada teori emanasi, alam bukan
dilakukan oleh pemikir dan filosof Islam selalu tercipta dari ketiadaan yang menjadikannya
tak pernah lepas dari argumen yang bersifat hadith, tetapi merupakan pancaran dari dzat
theologis. Orientasinya selalu pada Allah dan Allah itu sendiri.18
bukan pada manusia itu sendiri. Maka tak heran Pasca serangan al-Ghazali pada filsafat,
jika penyelidikan hakikat manusia dikaitkan maka diskursus filsafat praktis mulai
dengan hubungannya dengan sang Khaliq. ditinggalkan. Fisafat secara massif hanya
Pembahasan Islam tradisional akan manusia bisa dilihat dari praktik tasawwuf yang
agaknya terwakili oleh dua aliran kalam sintesanya dengan fiilsafat melahirkan bentuk
yang saling kontradiksi yaitu Qadariyyah dan baru tasawwuf yaitu tasawwuf falsafi.19 Pada
Jabariyyah. Qadariyyah menyatakan bahwa umumnya, manusia yang paling ideal dalam
Allah memiliki wewenang atas manusia hanya perspektif sufi adalah yang menempati maqam
pada proses penciptaan dan hari pembalasan. tertinggi.20 Dari sini bisa dilihat adanya
Di dunia, manusia memiliki kebebasan perbedaan yang mendasar antara pemikiran
berkehendak dan berbuat. Sebaliknya, aliran barat dan Islam. Dalam menyelidiki manusia,
Jabariyyah berpendapat bahwa manusia barat lebih cenderung pada keotentikan
tidak memiliki otoritas apapun. Allah tidak individu yang kongkret. Sementara dalam
hanya menciptakan manusia, tetapi juga tradisi Islam cenderung pada perumusan
perbuatannya.16 Pertentangan ini kemudian bagaimana manusia yang ideal sehingga
berhasil disintesakan oleh dua pionir teolog pantas baginya menyandang gelar insan
Sunni yaitu Imam Abu Hasan al-Asy’ari (260- kamil. Akan tetapi, dalam perjalanannya
324 H./ 873-935 M.) dan Imam Abu Mansur al- kecenderungan Islam berubah dari teologis
Maturidi (247-333 H./ 853-944 M.).17 menjadi antroposentris yang sedikit banyak
Pada masa sekitar abad ke-2 Hijriyyah mengeliminir argumen teologis sebagaimana
ketika pemikiran filosofis Yunani menjamur akan kami paparkan dalam bagian selanjutnya.
di kalangan cendekiawan muslim, muncullah
berbagai konsep baru mengenai manusia dan
hubungannya dengan Allah. Salah satunya
18
Madjid Fakhry, Islamic Philosophy, Theology and Mysticism
yang fenomenal adalah konsep emanasi Ibn (Boston: One World, 2000), hlm. 43-44.
19
Bahkan Seyyed Hosein Nasr secara tegas menyatakan
Sina (980-1037 M.). Bagi Ibn Sina, Tuhan
bahwa pelaku tasawwauf falsafi yang pertama adalah al-Farabi
adalah ‘Aql, ‘Aqil dan Ma’qul (Akal, Substansi yang selama ini lebih dikenal sebagai filosof muslim. Lihat:
Seyyed Hosein Nasr, “Introduction to The Mystical Tradition”,
yang berpikir dan substansi yang dipikirkan). dalam Oliver Leaman dan Seyyed Hosein Nasr (ed.), History Of
Islamic Philosophy (New York: Routledge, 2001), hlm. 665.
Dari peristiwa memikirkan inilah, Allah 20
Para sufi sendiri tak pernah sependapat mengenai
15
Thomas Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction maqam tertinggi dalam jalan mistik. Al-Ghazali misalnya
(New York: Oxford University Press, 2006), hlm. 27. menempatkan ma’rifat sebagai maqam tertinggi, sementara
16
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Analisa, Rabi’ah al-Adawiyyah mahabbah, Ibn Arabi wahdat al-wujud,
Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 6-7. al-hallaj dengan hulul dan lain sebagainya. Lihat misalnya:
17
Peter S. Groff, IslamicPhilosophy A-Z (Edinburgh: M. Sholihin dan Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf (Bandung: CV
Edinburgh University Press, 2007), hlm. 203. Pustaka Setia, 2008), hlm. 78.

Human Being dalam Diskursus Eksistensialisme, Safaat A. Hudda, Abdul Najib 95


Human Being dalam Eksistensialisme Barat adalah kesadaran untuk diri. Kesadaran untuk
Sartre barangkali adalah filosof diri bisa dicapai ketika manusia menginsafi
eksistensialisme yang paling populer diantara cara kita mengarahkan diri (mengindera dan
para eksistensialis yang lain. Ia adalah mempergunakan) obyek. Dengan kata lain,
orang yang secara tegas memberi nama kesadaran kita memiliki bentuk.24
pemikirannya dengan eksistensialisme. Being Di dalam kesadaran selalu ada sebuah
and Nothingness dan Existentialism is Humanism jarak antara kesadaran dan keberadaan. Jarak
karya Sartre dianggap sebagai salah fondasi inilah yang disebut Sartre sebagai ketiadaan
utama filsafat eksistensialisme. Selain literatur (le neant atau nothingness). Dalam kesadaran,
filsafat, ia juga sangat produktif menulis buku- ada keterarahan pada obyek. Hal ini membuat
buku lain utamanya yang bertemakan seni, kita menegasikan (meniadakan) keberadaan
sastra, dan pementasan seni peran. Selain lain dalam totalitas ada. Dari sinilah muncul
itu, pemikirannya yang atheis sedikit banyak ketiadaan. Ketiadaan adalah sesuatu yang
juga menarik perhatian para ilmuan untuk terbentuk karena harapan-harapan yang
membahasnya.21 berasal dari kesadaran. Kesadaranlah yang
Dalam bukunya Being and Nothingness, menciptakan ketiadaan.25
Sartre menegaskan bahwa manusia adalah Ciri lain dari kesadaran atau subjektivitas
satu-satunya makhluk yang menyadari adalah kebebasan. Karakter negatif kesadaran
keberadaannya. Sementara yang lain, mislanya menjadi indikator dari adanya kebebasan.
pohon, batu, hewan dan lainnya, bereksistensi Dengan menegasikan “Ada”, berarti kesadaran
tanpa kesadaran; ia pada dirinya sendiri (l’etre menentukan “aku” dengan tanpa harus
en soi). Yang ada pada dirinya sendiri adalah tergantung pada faktor eksternal. Kesadaran
keberadaan itu sendiri. Tidak ada alasan dan pada dasarnya merupakan suatu proses yang
ia tak sadar mengapa ia ada atau mengapa ia tidak pernah selesai selama manusia eksis di
demikian. Eksistensinya padat, beku, tertutup dunia. Manusia bisa menjadi apa saja, sesuai
satu sama lain. Kesadaran yang seperti ini dengan batas-batas eksistensinya. Esensi
membosankan (nauseant).22 manusia (misalnya, nasib dan takdir manusia,
Tidak seperti realitas yang lain, manusia profesi dan definisi tentang siapa manusia)
bereksistensi untuk dirinya sendiri (l’ etre didahului oleh eksitensinya (yakni, oleh
pour soi). Manusia memiliki kesadaran atas keberadaan manusia dan aktivitas-aktivitas
keberadaannya. Kesadaran manusia ini yang dijalaninya dalam dunia). Dengan
bersifat reflektif; ia menyadari, dan ada yang demikian, esensi “aku” adalah apa yang aku
disadari; subyek dan obyek.23 Kesadaran sendiri pilih dan aku jalani dalam kehidupan.26
adakalanya kesadaran pra-reflektif yaitu sadar Kebebasan manusia dalam menentukan
pada diri (consciousness in itself) dan kesadaran dan menegasikan yang lain yang membuatnya
reflektif yaitu sadar untuk diri (consciousness “menjadi”. Ia sama sekali bebas dan tidak
for itself). Kesadaran yang sebenar-benarnya 24
Sartre, Being and Nothingness., 75-76.
21
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat., hlm. 157. 25
Jonathan Weber, The Existentialism of Jean-Paul Sartre
22
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, Hazel E. Barnes (New York: Routledge, 2009), hlm. 48.
(terj.). (Colorado: Gallimard, 1992), hlm. 74. 26
Jean-Paul Sartre, Existentialism is A Humanism (London:
23
Sartre, Being and Nothingness., hlm. 75. Yale University Press, 2007), hlm. 52.

96 Jurnal Pemikiran dan Kebudayaan Islam Vol. 30 No. 2 Juli 2021 | 91-104
terdeterminasi. Manusia tidak memiliki lain, tetapi dia tetap merupakan subjektivitas
hakekat, tak ada moralitas obyektif padanya murni bagi dirinya sendiri. Demikian juga,
ia dapat mencari orientasi, tak ada baik- meski saya diobjekkan oleh orang lain, saya
buruk objektif padanya ia dapat mengambil tetap merupakan subjektivitas bagi diri saya
arah. Akan tetapi, seringkali manusia takut sendiri.30 Maka, dalam hubungannya dengan
dan menerima dukungan dari sesuatu di luar orang lain, manusia saling mengobjektifkan
dirinya. Penerimaan ini, menurut Sartre, adalah satu sama lain. Hubungan mereka selalu dan
sebuah penghianatan terhadap eksistensi pasti ditandai oleh konflik atau perseteruan.
manusia. Kekhasan manusia sebagai “ada Dalam salah satu karya dramanya yang terkenal,
untuk diri” dihilangkan dan dengan demikian No Exit (1954), Sartre menulis lewat tokohnya
menghilangkan kemanusiaan. Anggapan inilah dalam drama itu, “neraka adalah orang lain!”
yang membuat Sartre menjadi atheis. Dengan Alasannya, tatapan orang lain dan keberadaan
adanya Tuhan, menurutnya, manusia tak lagi orang lain di sekitarku menjadikanku objek
bebas karena terdeterminasi oleh kepercayaan dan ini membuatku tidak merasa nyaman.31
dan memiliki kodrat yang membuat dirinya tak Pemikiran filsafat Gabriel Marcel pada
lagi bisa menjadi “ada untuk diri” melainkan awalnya cenderung pada filsafat idealisme.
“ada pada diri”.27 Kecenderungannya kemudian berubah ke
Pemikiran Sartre tentang kebebasan arah eksistensialisme setelah ia melakukan
tersebut membawa konsekuensi bahwa pemikiran secara mendalam mengenai sejarah
manusia menanggung beban, merdeka dan bisa hidupnya sendiri dan juga kehidupan di
jadi mengalami cemas. Kecemasan adalah gejala sekitarnya yang tengah dilanda perang melawan
universal pada setiap individu ketika menyadari Nazi. “Aku Absolut” sebagai yang hakiki
bahwa ia hidup sendirian dan harus memikul dalam penyelidikan idealisme, hemat Marcel,
dipundaknya sendiri seluruh tanggungjawab tidak berbaur dengan “Aku yang konkret”.
yang bersumber dari kebebasannya itu.28 Ada kekososongan dalam diri manusia, dan
Dengan kebebasan, tidak ada yang menopang seolah-olah aku konkret terapung-apung
keberlangsungan hidup selain manusia itu dalam ketidakpastian dan kebimbangan.
sendiri. Kebebasan berpotensi menimbulkan Padahal eksistensi manusia selalu “ada
konsekuensi yang seringkali tidak teramalkan bersama dengan”. Maka, penyelidikan filsafat
dan menghancurkan. Oleh sebab itu, ada seharusnya juga merangkul realitas.32
dorongan untuk menolak atau mengingkari Karena hidup dalam realita, manusia tak
kebebasan malafide (bad faith). Dan dengan bisa hidup sendiri. Manusia adalah jelmaan dari
demikian, ia berdusta pada dirinya sendiri.29 “keberadaan”. Manusia adalah dirinya sendiri
Dalam Being and Nothingness, Sartre jika ia berbuat kreatif, dalam hubungan aku
menulis bahwa kesadaran pada dasarnya dan kau, dan berpartisipasi dalam “berada”.
adalah subjektivitas, bukan objektivitas atau Dengan demikian, manusia menjadi memiliki
objektifikasi. Meski saya mengobjekkan orang ada. Akan tetapi, ada bahaya yang menghantui
27
Franz-Magnis Suseno, Menalar Tuhan (Yogyakarta: 30
Sartre, Being and Nothingness, hlm. 252.
Kanisius, 2006), hlm. 95. 31
Reynolds, Understanding Existentialism., hlm. 92.
28
Weber, The Existentialism of Jean-Paul Sartre., hlm. 75. 32
Clyde Pax, An Existential Approach to God: A Study of
29
Sartre, Existentialism is A Humanism., hlm. 47. Gabriel Marcel (Leiden: Martinus Nijhoff, 1972), hlm. 1.

Human Being dalam Diskursus Eksistensialisme, Safaat A. Hudda, Abdul Najib 97


manusia dalam kepemilikan “ada”. Ia senantiasa yang demikian, oleh Marcel dinamakan
ingin memperluas miliknya demi memuaskan kesetiaan kreatif.36
nafsunya dan menjadi tamak. Milik senantiasa Demikian pula berinteraksi dengan Tuhan,
berubah-ubah dan bisa ditiadakan. 33 yang adalah Engkau yang Tertinggi (Toi
Walaupun bersama orang lain, manusia suprême), mengandung penyerahan diri yang
pada dasarnya otonom. Eksistensi manusia terbuka sekaligus mutlak tanpa mengobjekkan,
menurut Marcel merupakan kehendak melainkan bersama-sama menjadi subjek.
yang menerobos batas antara “ada” dan Kehadiran tidak akan musnah, melainkan
“ketiadaannya”. Hal ini dikarenakan manusia berlangsung dengan cara baru di seberang
identik dengan tubuh dan semua realitasnya. kematian. Memiliki harapan adalah percaya
Tubuh adalah ambang batas antara “berada” pada kehadiran yang lain yang tidak dapat
dan “tidak berada”. Di satu sisi, tubuh dikuasai seseorang jangkau, namun dapat dirasakan
oleh manusia sehingga ia bisa dibunuh (bunuh karena dirinya meliputi seseorang tersebut.37
diri). Tetapi, tubuh juga bisa mengontrol
Human Being dalam Eksistensialisme Islam
manusia dengan kehendak ketubuhannya.
Karena berada di ambang dan diliputi rasa takut Sebagaimana disebutkan sebelumnya,
akan ketiadaan, manusia lagi-lagi cenderung pemikiran filosofis mengenai manusia dalam
untuk mengkhianati dirinya dengan menarik tradisi Islam lebih banyak didominasi oleh
diri dari “engkau”.34 pemikiran theologis dan sufistik. Pembahasan
Sebagaimana diungkapkan sebelumnya, teologis berkutat dalam isu takdir. Sementara
manusia ada bersama yang lain. Dalam dalam diskursus sufisme, pembahasan manusia
hubungannya dengan orang lain, hanya cita secara umum menganut paham pantheisme.
kasihlah yang yang sesuai. Dengan cinta-kasih, Beberapa terma kemudian bermunculan
manusia bisa keluar dari dirinya dan mengakui dengan penekanan yang berbeda seperti hulul
kehadiran orang lain sebagai engkau. Manusia oleh al-Hallaj (244–309 H./ 857–922 M.), wahdat
harus rela menorbankan otonominya supaya al-wujud Ibn Arabi (560–638 H./ 1165–1240
bisa dipersatukan dengan sesamanya menjadi M.) dan isyraqi nya Syihab ad-Din Suhrawardi
“kita”. Rasa memiliki satu sama lain dalam al-Maqtul (545-587 H.). Sintesa umum dari
kita tak bisa dirumukan, melainkan hanya bisa ketiga konsep tersebut yaitu pemikiran bahwa
dirasakan dalam kehadiran.35 Dalam cinta- perjalanan seorang salik menuju Allah adalah
kasih juga ada kesetiaan dalam artian bukan upaya penghapusan atas kedirian (tazkiyatun
mencekik atau kemafhuman yang berlebihan. nas) agar layak bersanding di sisi Allah. Maka
Kesetiaan adalah kesanggupan dan keberanian dari situ bisa diambil kesimpulan bahwa Allah
untuk secara terus menerus mempertahankan merupakan eksistens sekaligus esensi semesta.
hubungan cinta dengan cara senantiasa Sementara manusia dan alam sebagai eksisten
memperbarui hubungan tersebut. Kesetiaan

Pax, An Existential Approach to God., hlm. 45.


36

33
Gabriel Marcel, Being And Having, Katharine Farrer Clancy Martin, “Religous Existentialism”, dalam dalam
37

(terj.) (Glasgow: Dacre Press, 1949), hlm. 14. Hubert L. Dreyfus dan Mark A. Wrathall (ed.), A Companion to
34
Clyde Pax, An Existential Approach to God., hlm. 22. Phenomenology and Existentialism (Oxford: Blackwell, 2006), hlm.
35
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2., hlm. 176. 196.

98 Jurnal Pemikiran dan Kebudayaan Islam Vol. 30 No. 2 Juli 2021 | 91-104
merupakan manifestasi (tajalli) dari esensi (univok) dan pluralitas (ekuivok) yang dalam
yaitu Allah. istilah Mulla Sadrâ disebut “Pluralitas dalam
Pemikiran pantheistik ini kemudian ketunggalan dan ketunggalan dalam pluralitas”
ditentang oleh Sadr al-Din al-Syirazi atau (al-kathrah fî ‘ayn al-wahdah wa al-wahdah fî ‘ayn
yang lebih dikenal dengan Mulla Sadra (1571- al-kathrah).39
1640 M.) dengan rumusan hikmah muta’aliyyah Gradasi eksistensi ini senantiasa bergerak
(transenden teosofi). Menurutnya tak bisa secara sistematis dari yang paling rendah ke
dibayangkan esensi mendahului eksistensi. yang paling tinggi; dari yang paling umum dan
Menurut Sadra, benda-benda di semesta tidak menentu ke yang paling khusus, satu
ini bukan ilusi, ia benar-benar memiliki dan mutlak.40 Dalam hal ini, manusia sebagai
eksistensi layaknya Tuhan. Namun eksistensi makhluk terbaik bisa mencapai kearifan
yang merupakan realitas tersebut tidak bisa tertinggi dengan melakukan empat perjalanan
ditangkap oleh rasio karena rasio hanya bisa ruhani yang termaktub dalam karyanya yang
menangkap esensi atau gagasan umum. Dengan fenomenal yakni Asfar al-Arba’ah. Perjalanan
kata lain, Mulla Sadra melihat eksistensi tersebut yaitu:41
manusia dan alam sebagai realitas obyektif. 1. Safar min al-Khalq ila al-Haq (Perjalanan dari
Sementara esensi adalah gambaran umum makhluk menuju Tuhan). Perjalanan ini
atas realitas yang ada dalam pikiran sehingga menyediakan para pencari dengan prinsip-
hanya merupakan wujud mental.38 prinsip intelektual untuk memahami
Formulasi konsep sadra tentang wujud filsafat, seperti definisi dasar filsafat dan
kemudian dinamainya tasykik al-wujud. metafisika. Dalam perjalanan ini, pencari
Menurutnya ada gradasi eksistensi yang bergerak jauh dari multiplisitas dan tipuan
kontinyu dari Ada Mutlak sampai Tiada Mutlak fenomena menuju kesatuan dan kesadaran
dengan perbedaan kualitas dan intensitasnya. akan sifat dasar dari realitas.
Semakin ia eksis, semakin ia tak memiliki 2. Safar bi al-Haq fi al-Haq (Perjalanan bersama
esensi yang mengandung unsur semu. Prinsip Tuhan di dalam Tuhan). Perjalanan ini
ini menyatakan bahwa walaupun wujud merupakan diskursus tentang realitas
adalah satu realitas saja, dan secara identik ketuhanan, atribut-atribut penting
sama dengan alam yang merupakan instan, ketuhanan, dan termasuk juga pembuktian
Wujudlah yang memanifestasi-diri, namun ia atas keberadaan Allah. Perjalanan ini dapat
juga bertindak sebagai prinsip pembeda dari dikatakan sebagai tahap penyerapan mistik
alam yang kemudian menciptakan esensi. dalam esensi ilahi serta peleburan diri
Maka, Wujudlah yang menciptakan identitas- dalam Allah.
dalam-perbedaan; dengan kata lain, “melalui 3. Safar min al-Haq ila al-Khalq bi al-Haq
wujudlah identitas ada (mapan) dan melalui (Perjalanan dari Tuhan menuju Makhluk
itu juga ia berbeda (dibedakan)”. Hal ini bersama Tuhan). Perjalanan ini menjelaskan
menyebabkan wujud tersebut memiliki dua sifat hubungan antara Allah dengan dunia,
pada saat yang bersamaan yaitu ketunggalan 39
Faiz, “Eksistensialisme Mulla Sadra., hlm. 456.
40
Khudlori Sholeh, Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga
38
Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (New York: Kontemporer (Yogyakarta: AR-RUZZ, 2014), hlm. 230.
State University of New York Press, 1975), hlm. 29. 41
Faiz, “Eksistensialisme Mulla Sadra”, hlm. 439-440.

Human Being dalam Diskursus Eksistensialisme, Safaat A. Hudda, Abdul Najib 99


alam, waktu dan penciptaan, serta seluruh sekelompok ego yang berderajat rendah.
kategori ontologis di dunia ini. Dalam Dalam setiap zarrah bermukim kekuatan
konteks mistik, ini merupakan tahap khudi. Jadi, bisa dikatakan bahwa khudi adalah
kembali pada ketenangan dan realisasi dari hakekat wujud.42 Khudi adalah kesatuan intuitif
tugas yang berkaitan dengan nilai-nilai atau titik kesadaran pencerah yang menerangi
moral di dunia. pikiran, perasaan, dan keinginan manusia.
4. Safar min al-Khalq ila al-Khalq bi al-Haq Khudi atau aku atau mind, tampak dalam
(Perjalanan dari makhluk menuju makhluk tindakan-tindakan namun tidak tampak dalam
bersama Tuhan). Tahap ini merupakan realitasnya. Pusat kehidupan manusia adalah
deskripsi dari kondisi psikologi manusia pribadi (khudi) yaitu kehidupan pada waktu ia
yang fokus pada soteriologi dan eskatologi tertampilkan dalam diri manusia yang disebut
dan secara jelas mengungkapkan pribadi.43
pentingnya keberadaan 12 Imam Shi’ah Menurut Iqbal, kodrat ego adalah
dalam pemikirannya. Ini adalah tahap tumbuh. Kodrat ego seluruhnya adalah usaha
akhir perjalanan mistik, sebuah pengakuan menuju suatu kesatuan yang lebih padat,
bahwa segala sesuatu adalah satu kesatuan lebih efektif, lebih seimbang, dan lebih unik.
yang mencerminkan pula adanya kesatuan Pertumbuhan ego tidak memiliki batas, tidak
ontologis ilahi, dan bahwa mengakui ada batasan final bagi perluasan ego. Akan
manusia harus menyadari keinginan untuk tetapi ketidakterbatasan ini bersifat potensial
kembali kepada sumbernya yang paling atau baru merupakan kemungkinan, dan
mendasar, yakni Allah. Dan di maqam iniliah bukan sebagai aktual atau sudah merupakan
manusia menemapati maqam wilayah atau kenyataan. Kesempurnaan ego bukanlah
khalifah (khalifatullah) atau insan kamil. sesuatu hal, melainkan lebih merupakan
suatu hasil yang dicapai melalui perjuangan
Sekalipun sudah mulai menggeser titik
yang tekun terhadap berbagai kekuatan
tolak pengamatan eksistensi, Sadra sendiri
yang bermunculan, baik dari lingkungan
masih belum bisa melepaskan sepenuhnya
luar maupun berbagai kecenderungan
argumen-argumen berbau sufistik dalam
penghancuran dari dalam diri sendiri.44
rumusan filosofisnya. Filosof yang benar-
Dalam upaya meraih kesempurnaan dan
benar mencoba mengeluarkan pemikiran
keabadianya, manusia harus mengembangkan
filosofisnya dari sufisme adalah Muhammad
keseluruhan egonya atau totalitas dirinya,
Iqbal (1289–1356 M. /1873–1938 H.) yang
baik indra, fisik, akal maupun instuisinya.
memperkenalkan teorinya tentang khudi (ego).
Baginya kodrat ego adalah pemimpin. Dengan
Khudi dalam pandangan Iqbal adalah hakekat
demikian, ego bukan hanya sistem pengalaman,
wujud. Ego adalah intisari wujud kepribadian.
tetapi juga sistem tindakan. Atau dengan kata
Ia merupakan central fact of the universe dan
lain, ia adalah pusat dari kehidupan, karena
central fact in the constitution of man. Menurut
Iqbal, setiap partikel materi adalah individu.
42
Ja’far, “Citra Manusia ., hlm. 243.
Setiap atom bagaimanapun rendahnya 43
Danusiri (ed.), Epistemologi dalam Tasawwuf Iqbal
dalam skala wujud adalah ego. Materi adalah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 46.
44
Ja’far, “Citra Manusia., hlm. 243.

100 Jurnal Pemikiran dan Kebudayaan Islam Vol. 30 No. 2 Juli 2021 | 91-104
kehidupan hakiki hanya dapat digambarkan budi, imajinasi dan temperamen yang berpadu
sebagai ego.45 dalam dirinya; sehingga ketidak-selarasan
Mengembangkan diri untuk mencapai kehidupan mental menjadi keharmonisan
tingkat kedirian yang lebih tinggi dan sempurna dalam dirinya. Dia mencintai kesulitan dalam
berarti bergerak mendekati Tuhan. Tuhanlah perkembangan hidupnya, kehendaknya adalah
satu-satunya Diri yang paling Tinggi dan kehendak Ilahi.48
Sempurna. Dengan intuisi, “diri” memahami
Komparasi Human Being dalam Eksis-
dirinya sendiri melalui pemahaman tentang
tensialisme Barat dan Islam
Tuhan, “Ego Mutlak,” dan dengan memahami
Tuhan, diri mengakses dunia yang diciptakan Penyelidikan mengenai aku dalam filsafat
oleh Tuhan yaitu alam. Keautentikan diri tidak eksistensialisme poros barat dan Islam jelas
dapat disamakan dengan pencarian diri secara memiliki perbedaan yang signifikan. Hal ini
asketik. Iqbal memandang asketisme sebagai kembali lagi bermula dari pijakan tinjauannya
pelarian dari realitas kehidupan konkret, dan yang berbeda. Filsafat barat cenderung bertolak
itu berarti lari dari dunia fisiknya sendiri. dari pandangan manusia sebagai manusia itu
Mencintai Tuhan berarti sepenuhnya terlibat sendiri atau dengan kata lain keberadaannya
dalam dunia yang Tuhan ciptakan, bukan sebagai manusia. Sementara filsafat Islam lebih
lari darinya. Diri autentik adalah diri yang banyak berbicara mengenai manusia yang
kuat, bersemangat, dan otonom. Hal-hal yang dimulai dari tilikan relasinya dengan Allah.
menguatkan kekuatan, semangat dan otonomi Maka, tema-tema filsafat eksistensialisme
itulah yang mempertinggi kualitas diri.46 Inilah barat bisa dipetakan seputar keberadaan
mengapa al-Qur’an menyatakan bahwa Ego manusia dan relasinya dengan realitas serta
Terakhir berada lebih dekat kepada manusia kebebasan diri dan hal yang melingkupinya.
daripada nadi lehernya sendiri.47 Sementara itu, tema pokok eksistensialisme
Dengan nada menentang asketisme, Islam berkutat pada masalah relasi manusia
manusia menurut Iqbal merupakan makro- dengan Allah serta idealitas kemanusiaan dan
kosmos, sementara alam semesta sebagai bagaimana mencapainya.
mikro-kosmos. Sifat teleologis diri manusia, Perbedaan yang terletak pada titik
menurut Iqbal menjadikan manusia selalu bagaimana menilik human being ini kemudian
hidup bahkan akan terus berlanjut meskipun menjadikan komparasi pada aspek hasil
manusia telah mengalami kematian. Di sinilah pemikiran filosofis barat dan Islam menjadi
manusia pada akhirnya mencapai taraf insan sangat sukar dilakukan. Kedua kutub
kamil. Pada dirinya terjalin berbagai unsur ini berada pada titik pijak yang berbeda
jiwa yang kontradiktif. Unsur-unsur tersebut dan membicarakan aspek yang berbeda
disatukan oleh kekuatan kerja yang besar sekalipun obyek materialnya sama yaitu
yang didukung oleh pikiran, ingatan, akal manusia. Mengomparasikan keduanya
45
Sistem tindakan manusia dalam term Iqbal disebut ibarat membandingkan american-football dan
amal yang berarti tindakan bermakna yang menuju kepada sepakbola (football/ soccer) yang dipahami
kesempurnaan, dengan kata lain Tuhan. Lihat: Ja’far, “Citra
Manusia., hlm. 239.
46
Jones (ed.), Encyclopedia Of Religion., hlm. 4534. 48
Danusiri (ed.), Epistemologi dalam Tasawwuf Iqbal., hlm.
47
Ja’far, “Citra Manusia., hlm. 243. 55.

Human Being dalam Diskursus Eksistensialisme, Safaat A. Hudda, Abdul Najib 101
secara umum. Mesikpun menggunakan istilah melibatkan kerja yang sungguh-sungguh
yang sama yaitu football, dua jenis olahraga pada tugas manusia dalam menjalankan
ini tentu memiliki cara bermainnya masing- nilai-nilai moral. Dalam hal ini dua tahap
masing. American-football dimainkan dengan terakhir perjalanan asketis menurut Sadra
menggunakan seluruh bagian tubuh dan adalah bagaimana manusia dengan semangat
mengandalkan kekuatan fisik. Sementara ketuhanan menjalani kehidupannya bersama-
football menggunakan kaki sebagai pusat sama dan mempersiapkan diri menuju momen
permainan dan mengandalkan kecepatan dan eskatologis atau hidup setelah mati.
teknik. Sementara Iqbal sebagai seseorang yang
Namun demikian irisan yang dapat diamati menolak asketisme, memandang bahwa relasi
dari keduanya pada hubungan manusia aku dan orang lain adalah relasi dalam proses
sebagai human being dengan manusia lainnya. pertumbuhan ego atau dalam istilah Iqbal,
Filsafat eksistensialisme barat diwakili Sartre khudi. Pertumbuhan khudi terjadi melalui
membawa pada pemahaman objektifikasi. serangkaian tindakan bermakna (amal) yang
Relasi antar manusia dipandang sebagai saling dilakukan oleh manusia. Dalam konteks relasi
mengobjekkan satu sama lain. Hal ini membawa antar manusia, Iqbal memberi penekanan
konsekuensi bahwa manusia sepenuhnya pada pentingnya nilai spiritualitas dalam amal.
otentik karena pandangan (keterarahan Menurutnya, tindakan yang bermakna adalah
kesadaran) satu dengan lain orang akan yang bermanfaat bagi orang lain. Akumulasi
berbeda. Sementara bagi Marcel, hubungan aku dari setiap tindakan bermakna (amal) itulah
dengan engkau merupakan sebuah kompromi yang kemudian membentuk diri (khudi) dan
atas kecemasan yang melanda tubuh manusia. menjadikannya mengatasi maut.49 Sebab
Manusia satu sama lain mencoba melampaui sebagaimana dalam dokumen teologis, amalan-
tubuhnya untuk menjalin cinta-kasih terhadap amalan yang melanggengkan manusia pasca
sesama dan dengan demikian mengeliminir kematian selalu bermuatan nilai manfaat pada
kecemasan dan ketakutan atas kontrol tubuh orang lain.50
yang melingkupinya.
Penutup
Tradisi pemikiran Islam mengenai
eksistensialisme yang dalam tulisan ini Manusia merupakan mahluk paripurna
diwakili oleh Sadra dan Iqbal kemudian lebih ciptaan Allah. Ia dan kemenjadiannya di
menekankan pada penolakannya tentang muka bumi merupakan sebuah pusaran dari
konsep pantheisme dan perilaku asketik. Kedua keadaban semesta. Maka kemudian sangat
filusuf ini dengan tegas memproklamirkan sukar membuat ukuran-ukuran pasti yang
kedirian manusia yang otentik dan dengan jami’ sekaligus mani’ untuk mendefinisikan
demikian berdiri pada titik yang berlawanan manusia. Keberadaannya kemudian banyak
dengan seluruh pemikir eksistensialis Islam direfleksikan dengan sekian macam tilikan
sebelumnya. Menurut Sadra, pencapaian
49
Suhermanto Ja’far, “Epistemologi Tindakan Muhammad
manusia pada tingkat tertinggi (insan kamil) Iqbal”, dalam Teosofi, vol.5, no.1, 2015, hlm. 104.
50
Abdul Najib, “Immortalitas Orang Saleh dan Ekspresi
merupakan sebuah perjalanan yang mesti
Keyakinan atas Konsep Berkah”, dalam Al-A’raf Jurnal Pemikiran
Islam dan Filsafat, vol.17, No.1, 2020, hlm. 91.

102 Jurnal Pemikiran dan Kebudayaan Islam Vol. 30 No. 2 Juli 2021 | 91-104
pengetahuan dari yang abstrak seperti filsafat mengenai hubungan antara manusia dan liyan
sampai yang kongkret seperti kedokteran. versi barat menekankan aspek rasionalitas
Dalam tinjauan filsafat, pemikiran mengenai dan emosional alih-alih spiritual-profetik
manusia diinisiasi oleh Kierkegaard dan sebagaimana dalam eksistensialisme Islam.
belakangan disebut eksistensialisme. Jauh
sebelumnya, sebenarnya banyak pula yang
telah merefleksikan arti manusia dalam tradisi Daftar Pustaka
Islam. Kemudian jika dikomparasikan antara
barat dan Islam, filsafat manusia memiliki Copleston, Frederick. Contemporary Philosophy:
perspektif yang berbeda dan dengan demikian Study of Logical Positivism and Existentialism,
memiliki hasil pemikiran yang sangat New York: Continuum, 1972.
berlainan.
Danusiri (ed.). Epistemologi dalam Tasawwuf
Namun demikian, di antara 4 tokoh yang
Iqbal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
dibahas dalam artikel ini yang dianggap
mewakili barat dan timur, ditemukan hasil Faiz. “Eksistensialisme Mulla Sadra”, dalam
pemikiran yang sejajar untuk dikomparasikan. Teosofi: Jurnal Tasawwuf dan Pemikiran Islam,
Hasil pemikiran tersebut berkenaan dengan Vol. 3, No. 2, Desember 2013.
human being dalam kaitannya dengan liyan. Fakhry, Madjid. Islamic Philosophy, Theology and
Filsafat eksistensialisme barat yang diwakili Mysticism, Boston: One World, 2000.
oleh Sartre dan Marcel menelurkan sebuah
Flynn, Thomas. Existentialism: A Very Short
relasi pengetahuan dan emosional dalam
Introduction, New York: Oxford University
hubungan “aku” dan “engkau”. Jika Sartre
Press, 2006.
lebih memandang liyan sebagai obyek, maka
Marcel lebih memandang “engkau” sebagai Golomb, Jacob. In Search of Authenticity: From
partner untuk mengatasi kecemasan. Kierkegaard to Camus, London: Routledge,
Sementara itu, dalam tradisi filsafat Islam 2005.
ditemukan bahwa relasi “aku” dan “engkau” Groff, Peter S. IslamicPhilosophy A-Z, Edinburgh:
yang diwakili Mulla Sadra dan Muhammad Edinburgh University Press, 2007.
Iqbal menekankan pada keharusan manusia
Hacker, Jeffrey H. (ed.). Grolier Encyclopedia
bermanfaat bagi liyan. Sadra bahkan
of Knowledge, Connecticut: Grolier
menggaris-bawahi tindakan manusia untuk
Incorporated, 1995.
nilai-nilai moral sebagai 2 (dua) dari empat
perjalanan manusia menuju Allah. Dengan Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2,
bahasa yang sedikit berbeda, Iqbal menegaskan Yogyakarta: Kanisius, 1980.
bahwa tindakan bermakna (amal) pada liyan Han-Pile, Béatrice. “Affectivity”, dalam
merupakan salah satu yang membentuk Hubert L. Dreyfus dan Mark A. Wrathall
kedirian manusia dan kemudian membawanya (ed.), A Companion to Phenomenology and
mengatasi kematian. Dari situ maka bisa Existentialism, Oxford: Blackwell, 2006.
dipahami bahwa irisan pemikiran filosofis

Human Being dalam Diskursus Eksistensialisme, Safaat A. Hudda, Abdul Najib 103
Ja’far, Suhermanto. “Citra Manusia dari Filsafat Rahman, Fazlur. The Philosophy of Mulla Sadra,
Psikologi ke Filsafat Antropologi”, dalam New York: State University of New York
Kanz Philosophia, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011. Press, 1975.
_______________. “Epistemologi Tindakan Reynolds, Jack. Understanding Existentialism,
Muhammad Iqbal”, dalam Teosofi, vol.5, Chesham: Acumen, 2006.
no.1, 2015. Sartre, Jean-Paul. Being and Nothingness, Hazel
Kamaludin, Undang Ahmad. Filsafat Manusia: E. Barnes (terj.). Colorado: Gallimard, 1992.
Sebuah Perbandingan antara Islam dan Barat, _____________. Existentialism is A Humanism,
Bandung: Pustaka Setia, 2012. London: Yale University Press, 2007.
Marcel, Gabriel. Being And Having, Katharine Sholeh, Khudlori. Filsafat Islam: Dari Klasik
Farrer (terj.), Glasgow: Dacre Press, 1949. Hingga Kontemporer, Yogyakarta: AR-RUZZ,
Martin, Clancy. “Religous Existentialism”, 2014.
dalam dalam Hubert L. Dreyfus dan Sholihin M. dan Rosihan Anwar. Ilmu Tasawuf,
Mark A. Wrathall (ed.). A Companion to Bandung: CV Pustaka Setia, 2008.
Phenomenology and Existentialism, Oxford:
Solomon, Robert C. Existentialism. New York:
Blackwell, 2006.
Oxfoerd University Press, 2005.
Najib, Abdul. “Immortalitas Orang Saleh dan
Suseno, Franz-Magnis. Menalar Tuhan,
Ekspresi Keyakinan atas Konsep Berkah”,
Yogyakarta: Kanisius, 2006.
dalam Al-A’raf Jurnal Pemikiran Islam dan
Filsafat, vol.17, No.1, 2020. Taliaferro, Charles dan Elsa J. Marty (ed.). A
Dictionary of Philosophy of Religion, New
Nasr, Seyyed Hosein. “Introduction to The
York: Continuum, 2010.
Mystical Tradition”, dalam Oliver Leaman
dan Seyyed Hosein Nasr (ed.), History Of Weber, Jonathan. The Existentialism of Jean-Paul
Islamic Philosophy, New York: Routledge, Sartre, New York: Routledge, 2009.
2001. -

Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-Aliran,


Analisa, Perbandingan, Jakarta: UI Press,
1986.
Olson, Robert G. An Introduction to Existentialism,
New York: Dover Publications, 1962.
Pax, Clyde. An Existential Approach to God: A
Study of Gabriel Marcel, Leiden: Martinus
Nijhoff, 1972.
Praja, Juhaya S. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika,
Jakarta: Prenada Media, 2005.

104 Jurnal Pemikiran dan Kebudayaan Islam Vol. 30 No. 2 Juli 2021 | 91-104

You might also like