You are on page 1of 16

https://doi.org/10.18784/smart.v6i2.

1002

Dimensi Ideologis Pendidikan Sejarah Islam pada


Materi Sejarah Kebudayaan Islam
di Madrasah Aliyah
The Ideological Dimensions of Islamic History Education in the History
of Islamic Culture's Material at Madrasah Aliyah

Ahmad Yusuf Prasetiawan1, Lisa`diyah Ma'rifataini2


1)
Universitas Jenderal Soedirman A
Purwokerto
ahmad.yusuf.prasetiawan The idea of eliminating war content in Islamic history is one response to the symptoms of
@unsoed.ac.id religious attitudes, which tend to be exclusive. Religious attitudes correlate with a person's
level of historical mastery, because history has a strategic function; in addition to providing
Balitbang Kemenag RI
2)
information on the past, it can also construct emotions, allowing students to take sides to
Lisa.litbang@gmail.com
support or reject one of the parts. This study aims to see how the content of Islamic history
Artikel disubmit : 14 Februari 2020 education contains an ideological cleavage between modernist-traditionalists, which
Artikel direvisi : 6 Juli 2020 correlates with students' religious attitudes. Research using a descriptive qualitative
Artikel disetujui : 10 November 2020 approach through construction analysis methods and content analysis, namely, analysis
models used to reveal, understand, and capture a text or discourse's message. The object
being studied is the SKI material for class XII Madrasah Aliyah, as stipulated in the Decree
of the Director-General of Islamic Education No. 2676 of 2013. This study's findings indicate
that the class XII SKI material displays opposing ideological features between Modernist and
Traditional Islam within Muslims' sociological structure in Indonesia. Students' religious
attitudes have the potential to be dichotomous and affiliated in one part. Even though the
object of the objective seems to content objective students' mastery of comprehensive, critical
knowledge and has an objective comparative analysis. The effect of exclusivity can still occur
if there is a shift in the substance of education from scientific objectivity to the hegemony of
power.
Keywords: Ideology; Education; Islamic History; Exclusive

A
Gagasan menghapuskan konten perang pada sejarah Islam merupakan salah satu
respon atas gejala sikap beragama yang cenderung eksklusif. Sikap beragama
memiliki korelasi dengan tingkat penguasaan sejarah seseorang, karena sejarah
mengandung fungsi strategis, selain memberikan informasi masa lampau,
juga dapat mengkonstruksi emosi, yang memungkinkan siswa berpihak untuk
mendukung atau menolak terhadap salah satu bagian. Pengkajian ini memiliki
tujuan untuk melihat bagaimana isi pendidikan sejarah Islam mengandung
pembelahan ideologis antara modernis-tradisionalis, yang berkorelasi dengan
sikap beragama siswa.Penelitian dengan pendekatan kualitatif deskriptif melalui
metode analisis konstruksi (constructiont analysis) dan analisis isi (content
analysis), yaitu model analisis yang digunakan untuk mengungkap, memahami,
dan menangkap pesan suatu teks maupun wacana. Objek yang dikaji adalah materi
SKI kelas XII Madrasah Aliyah, sebagaimana tertuang dalam Keputusan Dirjen
Pendidikan Islam No. 2676 Tahun 2013. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa
materi SKI kelas XII menampilkan corak ideologis yang saling berseberangan
antara Islam Modernis dan Tradisional, dalam struktur sosiologis Muslim di
Indonesia. Sikap beragama siswa berpotensi terdikotomi dan berafiliasi pada
salah satu bagian. Padahal objek tujuan konten materi ini sepertinya agar dapat
membekali penguasaan pengetahuan siswa yang komperhensif, kritis dan memiliki

187
Volume 06 Nomor 02 Desember 2020

analisa komparatif yang objektif. Efek eksklusifitas tetap potensial terjadi, jika terjadi
pergeseran substansi pendidikan sejarah dari objektifitas keilmuan, kepada hegemoni kuasa.

Kata kunci: Ideologi; Pendidikan; Sejarah Islam; Eksklusif

P juga mempengaruhi kesan (emotion) untuk


berkawan atau berlawan terhadap fakta-fakta
Sejarah Islam sebagian tersusun atas
masa lalu. (Eriyanto, 2007: 2-4). Padahal proses
psikososial yang dualistik, sebagaimana
penanaman nilai dan karakter pada diri siswa
menjangkiti masyarakat Muslim pada umumnya,
praktis lahir dari kesadaran objektif sosio-
antara kemauan-kemauan progresif mengejar
historisnya.
kesejajaran Barat dan mengulang eufohistori
masa keemasan (M. Arif, 2008 : 5). Dualisme Sejarah, disebut Woodrow Wilson memberi
ini seringkali menyebabkan pemaksaaan kesempatan manusia menilai, mengetahui dan
penampilan Islam yang over superior, dengan meyadari keberadaanya, untuk menentukan
banyaknya materi jihad dan supremasi politik pilihan-pilihan. (Winnerburg, 2006: 380).
sebagai prototipe masa keemasan. Sejarah yang Restorasi yang tidak saja bermakna regresi,
seharusnya merefleksikan capaian orisinalitas karena pendidikan sejarah bukan sekedar
peradaban Islam (new social pattern) (Munthoha, merekonstruksi masa lalu, namun juga
1998: 17), tetapi framing demikian bagi usia mendekonstruksi masa depan. Hal ini hanya dapat
sekolah justeru menyebabkan beban (historycal terjadi bila pendidikan sejarah telah melahirkan
burden) (Mas`ud, 2007: 208), serta ketakutan siswa yang secara objektif, rasional dan ilmiah
berlebih tehadap isu-isu baru yang dianggap memilih menjadi critical mass (kelompok
asing (gharib) (Mernisi, 1992: 43). Sejarah Islam kritis) dibanding menjadi ekor dari orang
banyak menggambarkan suatu konfigurasi bahwa banyak (crowd). (Wijoyo, 2002: 56). Melalui
agama ini terbangun secara spartan dari perang interaksi dialektis antar waktu, tiap momentum
ke perang dalam fase-fase ekspansi kekuasaan. pergeseran sosial yang dipelajari dapat membuka
Padahal persoalan politik (alharb al wathon) perspektif dan pengetahuan baru. Kemandirian
tidak secara otomatis berdimensi religius (al berkeputusan, jati diri (existence), dan karakter
harb al din). (Yahya, n.d.: x). Di sinilah sejarah (charachter) siswa dapat terwujud lebih kokoh
secara implisit mengandung konstruk ideologi di tengah dinamika perubahan waktu, karena
(al-mabda`). Konstruk ideologi (mabda`) dapat identitas-identitas baru yang belum mapan,
diidentifikasi bila di dalamnya ada pemihakan mampu dibaca, didefinisikan dan disikapi dalam
yang tidak sepenuhnya rasional (M. Arif, 2008: bangunan nilai filosofisis-ideologis. Dalam
110). konteks psikologi, usia sekolah adalah masa
obsesif terhadap sesuatu yang heroik, sehingga
Pendidikan memang dapat menjadi sarana
tidak jarang tokoh-tokoh sejarah mengilhami
efektif penanaman ideologi. (M. Arif, 2008c:
kesan dan dapat menjadi mentor yang menuntun
138). Dalam hubungan kesalingpengaruhan
perilaku dan pemikiran siswa.
(dependent of relation) sebagai produk budaya
(muntaj ats-tsaqafi) maupun produsen budaya Materi ajar adalah salah satu di antara
(muntij ats-tsaqafi), pendidikan sejarah berfungsi tiga problem pokok pengajaran sejarah, selain
sosial dan sosialisasi (process of learning and problem siswa, dan guru. Penulis melihat, konten
formation of social). (M. Arif, 2008d: 14). Posisi materi SKI mengandung konstruksi ideologis
strategis yang menempatkan pendidikan sejarah yang secara esensi saling berseberangan. Materi
dibarengi pelbagai perspeksi yang membentuk kelas XII membuka polarisasi dan potensial
distorsi-reduktif. (Habermas, 2009: 19), ketika menimbulkan sikap sektarian. Konten ini
teks tidak semata mendeskripsikan realita, tetapi cenderung abai dengan realitas sentimen

188
Dimensi Ideologis Pendidikan Sejarah Islam (Analisa Standar Kompetensi Kelas Xii)
Ahmad Yusuf Prasetiawan dan Lisa`Diyah Ma'rifataini, halaman 187-202

keagamaan di Indonesia. Di antara teks dan langsung memetakan dirinya menjadi modernis
konteks sejarah memang sering dijumpai rentang maupun lokalis.
sifat intoleran karena ketersinggungan dogmatik, Teori lain yang digunakan dalam pembahsan
yang eksklusif terhadap afiliasi ideologis ini adalah teori konvergensi ideologi yang
(S. Arif, 2010: 29). Siswa mungkin menjadi dikemukakan Nurcholis Madjid. Teori ini
sibuk memupuk dalih yang mendukung ide merupakan kelanjutan dari konsep endisme oleh
kelompoknya. Dari sektarian menjadi eksklusif, Bell dan Fukuyama tentang evolusi peradaban
fanatik dan berujung pada sikap radikal. Sikap manusia, dimana cara hidup manusia yang
radikal muncul secara reflektif, namun proses berbeda-beda, seiring waktu pada akhirnya
pembentukannya telah terjadi berangsur-angsur mengarah pada titik yang sama.
dan acapkali tanpa disadari, ketika menyerap
informasi, seperti pelajaran sejarah. (Yuni and K P
Sylviani, 2018: 22-67). Beberapa riset tentang pendidikan sejarah
Tulisan ini berusaha mendapat gambaran Islam sudah banyak dipublikasikan, tetapi
bagaimana dimensi ideologi termaktub pada sebagian besar berkutat pada problem metodik
pendidikan sejarah Islam, melalui kajian isi proses pembelajaranya, bukan pada implikasi
materi (analisis konten). Meskipun terkesan konstrusi nalar sebagaimana penulis lakukan.
saling bertentangan dan potensial menyebabkan Terlebih menghubungkannya secara sosiologis
sifat terbelah, tetapi komparasi dari ujung-ujung dengan aspek ideologi. Penelitian-penelitan
sumbu ideologi yang berbeda memiliki korelasi tersebut misalnya penelitian Ni’matul Fauziah
dengan tujuan membentuk objektifitas siswa. Faktor Penyebab Kejenuhan Belajar Sejarah
Kegunaan teoritis dari tulisan ini adalah untuk Kebudayaan Islam (SKI) Pada Siswa Kelas XI.
memperkaya khazanah keilmuan pendidikan di Penelitian dilakukan pada jurusan keagamaan di
dunia Islam. Selain dapat dijadikan salah satu MAN Tempel Sleman pada 2013. Hasil penelitian
pertimbangan dalam penyusunan materi sejarah menunjukkan kreatifitas guru, kelelahan,
Islam. banyaknya muatan dan kepadatan konten sangat
berpengaruh terhadap tingkat kejenuhan siswa.
K T (Fauziah, 2013: 99). Kemudian penelitian lain
Institusi pendidikan membutuhkan oleh Abdul Haris berjudul Analisis Komparasi
kurikulum dan perangkat belajar lain yang Buku Ajar SKI Kurikulum 2013 dengan buku
terstruktur dan sistemik, untuk menopang sebuah Sejarah Islam Ahmad Syalabi, pada UIN Malang
kuasa ide. Kuasa bukan saja bermakna author tahun 2016. Penelitan membandingkan otentitas
tetapi juga pembenaran terhadap ide. (Ritzer, peristiwa sejarah dari kedua sumber. Hasilnya
2003: 72). Kekuasaan selalu teraktualisasi menyebutkan ada perbedaan signifikan antar
lewat pengetahuan, karena setiap kekuasaan kedua sumber, namun secara positif hal ini dapat
selalu ditopang oleh suatu wacana kebenaran. saling melengkapi. (Haris, 2016: xviii).
Strategi kekuasaan melekat pada rasa ingin tahu.
Kebenaran sejarah bukan konsep abstrak yang M P
tiba-tiba turun, Ia diproduksi untuk membentuk Tulisan ini bersifat kualitatif deskriptif,
pembenaran umum (coman sense) agar khalayak dengan analisis isi (content analysis), lebih
mengikuti ide yang ditetapkan. Misalnya, spesifiknya analisis konstruksi (constructiont
ketika mempelajari gerakan pembaharuan analysis), yaitu model analisis yang digunakan
Islam abad 18, di alam bawah sadar siswa untuk mengungkap, memahami, dan menangkap
sudah terbayang, kelemahan-kelamahan Islam pesan suatu teks maupun wacana melalui
dan fenomena masyarakat mutakhir yang pengujian teks. Menurut Krippendorf, analisis isi
dinahkodai peradaban Barat, sehingga siswa adalah suatu teknik penelitian untuk membuat

189
Volume 06 Nomor 02 Desember 2020

inferensi yang dapat direplikasi (ditiru) peristiwa-peristiwa penting dan tokoh-tokoh yang
dan shahih datanya dengan memerhatikan berprestasi dalam perkembangan Islam pada masa
konteksnya. (Jumal Ahmad, 2018: 1-20). modern; 3) ibrah dari peristiwa perkembangan
Sumber data tulisan ini adalah standar Islam pada masa modern; 4) meneladani tokoh-
kompetensi Mapel SKI yang tertuang pada Kep. tokoh yang berprestasi dalam perkembangan
Dirjen Pendis No. 2676 Tahun 2013. Sebagai Islam pada masa modern. Sedangkan pada
instrumen analisa, dilakukan identifikasi semester II: 1) perkembangan Islam di Asia
terhadap formasi ideologi tokoh-tokoh dan tenggara dan Indonesia, 2) mengidentifikasi
institusi pada materi teks. Pendekatan yang peristiwa-peristiwa penting dan tokoh-tokoh
digunakan adalah psiko-sosiologik, yaitu yang berprestasi dalam perkembangan Islam
konfigurasi suatu masyarakat, dalam hal ini di Indonesia, 3) ibrah perkembangan Islam di
adalah struktur odernis dan tradisionalis muslim Indonesia, 4) meneladani tokoh-tokoh yang
di Indonesia, serta situasi yang melingkupinya berprestasi dalam perkembangan Islam di
atau yang terpengaruh oleh keduanya, sehingga Indonesia, 5) menjelaskan perkembangan Islam
diperoleh hubungan antara konten dalam teks, di dunia, 6) mengidentifikasi peristiwa-peristiwa
dan kecenderungannya. penting dan tokoh-tokoh berprestasi dalam
perkembangan Islam di dunia, 7) mengambil
H P ibrah dari peristiwa perkembangan Islam
di dunia, 8) meneladani tokoh-tokoh yang
Pendidikan Sejarah Islam Kelas XII
berprestasi dalam perkembangan Islam di dunia.
dalam Kep. Dirjen Pendis No. 2676
(Keputusan 2013).
Tahun 2013
Sejarah Kebudayaan Islam (seterusnya Problem Pendidikan Sejarah Islam
ditulis SKI) merupakan bagian dari rumpun Problem pendidikan sejarah pada umumnya
mata pelajaran pendidikan agama Islam. SKI meliputi Materi, Guru dan Siswa. Penulis
dimaksudkan untuk menyiapkan peserta didik hendak memfokuskan pada bagian materi
mengenal, memahami, menghayati ajaran atau kontennya. Dalam konsep relasi kuasa
Islam, dan menjadi dasar pandangan hidupnya dan pengetahuan, konten merupakan salah
(way of life). Indikator SKI Tidak saja transfer satu sarana, karena: 1) Teks-teks pengajaran
of knowledge tetapi sampai pada capaian ranah agama dapat mengalami pergeseran, seperti
afektif. Tujuan SKI antara lain agar siswa: 1) yang terjadi pada perkembangan tafsir dengan
memiliki data yang objektif tentang sejarah Islam. corak yang lebih beragam. 2) Corak teks dapat
2) mengapresiasi ibrah, nilai dan makna dalam juga mempengaruhi pandangan seseorang.
pesristiwa sejarah. 3) menanamkan penghayatan (Miswar, 2015: 83-91). 3) konten bahan ajar
dan kemauan mengamalkan nilai-nilai Islam merupakan komponen pembelajaran, yang
berdasarkan cermatan fakta. 4) membentuk membutuhkan akurasi dan otentitas, sehingga
kepribadiannya melalui imitasi tokoh-tokoh tidak merubah persepsi. Akurasi dan
teladan. Sedangkan fungsi SKI meliputi: 1) otentitas meliputi: akurasi konsep, fakta,
fungsi edukatif, 2) fungsi keilmuan, dan definisi, sistematika dan prosedur, contoh,
3) fungsi transformasi spirit. Cakupan ilustrasi, dan akurasi soal. (Wakhid, 2017:
materi SKI meliputi: Keimanan, Pengamalan, 42). Perbedaan substansi antar sumber yang
Pembiasaan, Rasional, Spiritual, Fungsional, satu dengan yang lain, pada akhirnya akan
dan Keteladanan. bergantung pada resepsi dan interpretasi
Standar kompetensi SKI pada tingkat audien, untuk memperkokoh, komparasi atau
XII Madrasah Aliyah semester I meliputi: 1) kontradiksi persepsinya, dan menghindarkan
perkembangan Islam pada masa modern; 2) emosi yang monolitik. (Haris, 2016: xviii).

190
Dimensi Ideologis Pendidikan Sejarah Islam (Analisa Standar Kompetensi Kelas Xii)
Ahmad Yusuf Prasetiawan dan Lisa`Diyah Ma'rifataini, halaman 187-202

Sementara roblem siswa dapat terjadi seperti (Noer, 1980: 79) Begitu lekat intensitas keduanya
munculnya kejenuhan belajar. Faktor-faktornya: bukan saja dalam perkembangan Islam, tetapi
1) suasana kurang menyenangkan, 2) kelelahan juga Indonesia secara makro. Dimensi modernis
akibat banyaknya konten, 3) kebosanan, 4) dan tradisional secara tidak langsung tersirat
persediaan referensi SKI yang sedikit, 5) dalam sejarah Islam, menegaskan resistensi
pemberian tugas kurang variatif dan, 6) motivasi keduanya. Ketersinggungan ide ini disebabkan
kurang optimal. (Fauziah, 2013: 99-108). konten peristiwa masa pembaharuan Islam dan
Kesiapan semua komponen untuk mendorong Islamisasi di Asia diasosiasikan sebagai ide dan
situasi yang merangsang potensi internal, dapat identitas ideologi tertentu.
mengurangi problem siswa. Jika potensi internal Di antara kutub purifikasi dan akulturasi,
berkembang, dapat membentuk kesadaran jihady-ishlahy, termasuk sikap esklusif ideologi,
belajar. (Karim, 2013: 1-18). dimana kulminasinya adalah sikap tertutup,
Problem guru ada pada kemampuan termasuk afiliasi politik, dari fanatisme,
kontekstualisasi. Khoirudon Nasution radikalisme, hingga tindak kekerasan agama.
menyebutkan faktor latar belakang, dan Penarasian yang persepsional berpeluang
relevansinya terhadap kehidupan kini, merupakan menimbulkan penerimaan subjektif yang
komponen utama ketika mempelajari SKI. standar, kriteria dan klasifikasinya menjadi
Relevansi merupakan kontekstualisasi manfaat, discomparable. Persepsi setidaknya dapat terjadi
hikmah dan mengevaluasi target pencapaian. secara sosial maupun individual. (Musmuallim,
(M. A. Kurniawan et al., 2014: 293). Hampir 2019: 169-198). Persepsi sosial lahir karena
semua literasi sejarah Islam menuliskan tentang common sense dalam kultur dimana individu
peperangan. Strategi guru dalam merekonstruksi bertempat, sedangkan persepsi individual
materi peperangan terhadap realitas kontemporer murni lahir dari penalaran. Konstruksi ideologis
dapat menjadi sarana mengendalikan sejarah terbangun dari dua arah ini. Eriyanto
dampaknya terhadap penalaran siswa. Konten menyebutkan, framing redaksional teks, dan
sejarah diselekesi karena orientasinya pada pemilihan peristiwa terdapat pada indikator
nilai yang hendak disampaikan, bukan semata pendidikan sejarah Islam. Rekayasa keduanya
pada peristiwanya. (Fahrul Salim et al., 2017: merupakan starting point proses ideologisasi.
5). Konsep jihad dapat disampaikan dengan Hal ini terlihat antara lain:
menjelaskan konteks, latar belakang, nilai, ibrah, 1. Pilihan diksi yang membentuk multi perspesi
dan spirit moral. Kemudian menghubungkan apa sebagai identitas berlawanan, serta penalaran
relevansinya dengan berbagai fenomena aktual vis a vis antar pemeluk agama, seperti istilah
yang sedang terjadi. Tanpa adanya kreatifitas “kafir quraisy”, mengasosiasikan pergesekan
guru dalam mengkontekstualisasikan, Evaluasi yang terjadi adalah persaingan agama,
pendidikan sejarah tidak akan dapat mengukur meskipun konteksnya lebih disebabkan
ketercapaian keseluruhan tujuan. (Kholis, 2018: aspek-aspek sosial seperti perebutan
3015-315). pengaruh. Tidak semua suku Quraisy yang
Pada masyarakat yang multi agama semacam belum Islam menghambat dakwah Islam
Indonesia, pemberian informasi secara ekstra dan memusuhi Nabi, misalnya beberapa
protektif sangat diperlukan, karena materi sering orang keluarga Nabi. Diksi dapat digeser
menunjukkan rivalitas ide. Kontekstualisasi menjadi “kaum quraisy yang anti perubahan”
dengan realitas faktual, sering mengalami distorsi atau “tidak mau menerima perubahan”,
yang sangat kritis, seperti pembelahan modernis dan sejenisnya, yang dapat memberi kesan
dan tradisional. Sebagian Islamolog menyebutkan tegas bahwa pergesekan yang terjadi bukan
sulit melakukan kajian Islam di Indonesia tanpa rivalitas agama dengan istilah kafir. Isu
melibatkan struktur modernis-tradisional. revivalisme juga menggambarkan bagaimana

191
Volume 06 Nomor 02 Desember 2020

semua hal tentang Barat adalah musuh, yang Selebihnya perlu diuraikan rasionalisasi,
selalu patut dicurigai. seperti rasa usaha yang sungguh-sungguh
2. Narasi kisah Nabi ketika di Mekah, dilandasi ikhlas dan kepasrahan, sejauh ini
menggambarkan visi perjuangan Nabi dan jarang mendapat tempat yang proporsional
para sahabat saat itu merupakan usaha-usaha pada konten pendidikan sejarah Islam.
mendapatkan hak, serta perlakuan yang adil, 4. Pelabelan yang tidak tersirat, misalnya istilah-
kebebasan beragama, melawan diskriminasi, istilah yang mengandung makna peyoratif.
kesewenang-wenangan, melawan Pelabelan dengan diksi yang bermakna
ketidakadilan sosial dan ketidakadilan positif dalam pendidikan Sejarah Islam bagi
ekonomi yang dialami kaum Muslimin, oleh pihak Islam seperti istilah-istilah “gagah
suku-suku yang memiliki pengaruh kuat di perkasa, dengan ikhlas, dengan teguh”,
Mekah, utamanya kelompok Quraisy. Bukan serta istilah-istilah negatif bagi pihak lain
semata mengajak orang yang memang tidak dengan istilah “kejam, bengis, dan licik” yang
menerima Islam menjadi Islam. Kesan ini tidak dibarengi parameter ilmiah, menjadi
sering dihadirkan secara emosional bahwa cenderung sentimentil. Deskripsi ini dapat
Nabi sedang berdakwah melawan kekafiran, menjadikan pendidikan sejarah kehilangan
terhadap mereka yang berbeda agama. unsur rasionalitas dan objektifitasnya.
Jika dilihat konteks ini, sama sekali tidak 5. Penekanan satu bagian atas bagian yang
memiliki relevansi dengan negara yang telah lain. Misalnya beberapa upaya diplomasi
menyebutkan jaminan kebebasan beragama dan keterbukaan Nabi mementingkan
dan persamaan dalam konstitusinya. perdamaian dibandingkan cara kekerasan,
3. Ketika di Madinah terjadi beberapa kali tidak mendapat porsi yang cukup
peperangan, Nabi berperang berlandaskan dibandingkan materi peperangan. Sebutlah
upaya mempertahankan keberlangsungan peristiwa perjanjian Hudabibiyah, Fathul
kehidupan di negara Madinah, dari Makkah, dan perjanjian lain, sebagai upaya
gangguan musuh. Ini dibuktikan dengan Nabi menegakkan perdamaian.
konstitusi Piagam Madinah yang 6. Perluasan wilayah kekuasaan Islam,
mewajibkan seluruh penduduk Madinah
didasarkan atas motif-motif politik, bukan
dari berbagai golongan, bukan hanya umat
semata faktor agama. Hal ini berkaitan
Islam semata untuk membela Madinah dari
dengan tradisi bangsa Arab yang gemar
serangan kaum Quraisy Mekah. Konstruksi
deskriptif yang disajikan oleh pendidikan akan kekuasaan dan kebanggaan kesukuan.
sejarah Islam biasanya adalah peperangan Karakter demikian belum sepenuhnya dapat
antara kelompok Islam dan Kafir. Materi dipupus ketika bangsa Arab telah beralih
peperangan dalam pendidikan sejarah Islam Islam. Ketika sudah berhasil menaklukan
dapat lebih proporsional menunjukkan suatu negeri, penguasa Islam tidak
keutamaan akhlak, keberanian menegakkan memaksakan agamanya kepada penduduk
hak, perdamaian, strategi diplomasi dan lokal.
rekonsoliasi. Bahwa perang hanyalah
pilihan akhir ketika semua cara sudah Dimensi Ideologi Pendidikan Sejarah
tidak dapat dilakukan. Etika-etika yang Islam
ditunjukkan Nabi sebelum, ketika dan setelah Islam mengenal istilah ideologi al-Mabda’.
peperangan, seperti strategi persuasi dan Secara terminologis berarti pemikiran mendasar
diplomasi, ketulusan niat dan kepercayaan dari pemikiran-pemikiran cabang, bersifat
diri, yang seharusnya banyak dieksplorasi, fundamental dan asasi. 1) al-fikru al-asasi
bukan tindakan kekerasan yang fatalistik. al-ladzi hubna qablahu fikrun akhar, yaitu

192
Dimensi Ideologis Pendidikan Sejarah Islam (Analisa Standar Kompetensi Kelas Xii)
Ahmad Yusuf Prasetiawan dan Lisa`Diyah Ma'rifataini, halaman 187-202

pemikiran yang sama sekali tidak dibangun atau Dari standar kompetensi pelajaran SKI yang
disandarkan dari pemikiran lain. 2) Suatu `aqidah tertuang dalam Keputusan Dirjen Pendidikan
aqliyah yang melahirkan peraturan. Dalam Islam No 2676 Tahun 2013, dapat ditelusuri
hubungan kekuasaan, ideologi dapat membentuk bagaimana dimensi ideologis antar bagian
fungsi: 1) legitimasi dan rasionalisasi terhadap mengalami proses dikotomi. Pada semester
hubungan sosial, 2) acuan pokok solidaritas, pertama menguraikan gerakan pembaharuan
3) motivasi bagi individu mengenal pola-pola yang sarat akan revivalisme, purifikasi dan
tindakan. (Nashir, 2001: 32). Arah filosofis modernisasi. Sedangkan pada semester kedua
ideologi adalah kumpulan gagasan yang diajukan menampilkan materi perkembangan Islam di
oleh kelas dominan pada masyarakat. Tujuannya Indonesia dan Asia. Rangkaian ini menimbulkan
untuk menawarkan perubahan. Ideologi menjadi kontra ide: Pertama, rentang waktu tersebut
sistem pemikiran abstrak yang diterapkan publik, memang berhimpitan, modernisasi menggejala
sehingga lebih tepat disebut sebagai ruh politik. sejak abad 18, sedangkan proses Islamisasi di
Secara implisit setiap pemikiran politik mengikuti Asia Tenggara dan Asia Timur menunjuk pada
sebuah ideologi, walaupun tidak diletakkan abad 20. Kedua, kedua materi ini berdimensi
menjadi sistem berpikir yang eksplisit. (Takwin, ideologis, karena sangat dekat dalam aspek
2009: 49). sosiologis Muslim Indonesia. Gerakan global-
Islam satu dari sudut ajaran pokoknya, tetapi modernisme Islam merupakan antitesa gerakan
dalam ranah sosial-politik memperlihatkan Tradisionalisme-lokalisme Islam. Fakta tentang
struktur interen yang berbeda-beda. cepat dan lambatnya perkembangan Islam di Asia
Universalisme Islam memunculkan vested Tenggara dan Asia Timur, selalu dihubungkan
interest ketika merealisasikan konsep sosiologis dengan kosntruksi yang dibangun dalam
bukan teologisnya, baik sebagai model of reality mengurai fakta sejarah ini. Metode dakwah
maupun models for reality, sehingga menciptakan sebagai faktor internal, dan laju Barat di lain
komunitas beragama antara folk variant dan pihak. Bagi yang lebih intens dengan pendekatan
scholarly veriant, konteks ke-Indonesiaan terwujud modernisme, konstruksi yang muncul adalah
dalam Modernisme dan Tradisionalisme. ketidakmampuan umat Islam sebagaimana
Ideologisme Islam bermakna bahwa agama pencapaian Barat yang menjadi penyebabnya.
dijadikan pandangan hidup terhadap segala Sedangkan bila dengan pendekatan tradisonalis,
sesuatu, terutama menyangkut tatanan sosial, perkembangan Islam kini, hanyalah kelanjutan
politik dan ekonomi. Menempatkan Islam dari keseluruhan proses Islamisasi di Nusantara,
bukan semata pada domain privat tetapi juga utamanya oleh Walisongo, sejak abad 14-16,
publik. Berbeda dengan aliran, yang masalah yang tetap dinilai memiliki andil terbesar dan
pokoknya berkutat pada persoalan ibadah, Islam mengalami masifikasi sampai dengan era modern,
ideologis mengandung konsepsi teoritik dan bersamaan dengan perkembangan Islam di Asia
praktik sebagai basis gerakan dan menggunakan Tenggara dan Asia Timur.
perangkat terstruktur yang lebih sistemik. Faktor-faktor pendidikan sejarah seperti
Modernisme Islam dengan corak: reflektif dan sumber belajar, siswa dan guru, sebagaimana
evaluatif pemurnian, ijtihad, rasio di atas nash, dijelaskan di atas menjadi kartu truf dalam
menempatkan agama sebagai permasalahan menentukan corak ideologis melalui pembentukan
publik, terutama dengan adanya Pan-Islamisme, emosi siswa. Namun menampilkan kedua
yang menempatkan Islam menjadi identitas. materi yang sepintas paradoks ini, merupakan
Sedangkan konstruksi tradisonalis berbasis input yang berimbang dari dua sudut yang
kearifan lokal, keberagaman, kekhasan, berjauhan, tanpa menegasikan satu sama lain.
akulturasi, dan tidak meneguhkan sebagai Meskipun dua kecenderungan materi tersebut
gerakan politik, muncul dalam semester 2. dapat mempertajam pembelahan, permualaan

193
Volume 06 Nomor 02 Desember 2020

kovergensi telah dimulai. Kedua materi tersebut perbaikan ke dalam, dan jawaban Islam atas
dapat saja mempertajam atau mengurangi tantangan modernitas Barat. (H. Nasution, 2003:
pergesekan ideologis, namun hanya melalui 34). Modernisme menjadi gagasan fundamental
komparasi yang objektif, setiap kontradaksi pada aspek-aspek ajaran, sosial dan politik.
dapat disikapi secara kritis oleh siswa. SKI Gerakan modernisme, misalnya Salafiah di Mesir
dengan demikian menempatkan kompetensi dan Alighar di India, merefleksikan realitas
yang paling komperhensif dari kognitif sampai progresif dunia Islam. Bagi modernisme, tradisi
dengan kemampuan menggali nilai, makna, merupakan penghalang kemajuan. Agama yang
ibrah, hikmah, dan teori dari fakta sejarah tradisonal dinilai sebagai unsur yang paling
yang ada. (Nurjanah, 2003: 1-13). Kontradiksi, lambat berubah. (Salim, 1999: 14).
polemik dan konflik merupakan kekayaan, yang Materi gerakan pembaharuan Islam pada
dapat mendorong kreasi dan inovasi secara SKI sangat relevan, mengingat generasi Islam
transformatif serta memberikan motivasi dalam membutuhkan semacam commen vision dalam
mengamalkan misi dan strategi dakwah sekaligus menapaki masa depannya. Hanya saja secara
mempraktekkan nilai luhur ajaran agama. psikososial beberapa resiko dapat diantisipasi,
Modernisme Islam/ Tajdidul Islam seperti: 1) kemungkinan munculnya spirit
destruktif dan tertutup karena dominasi rivalitas
Modernisme Islam atau Tajdid al-Islam
(baca: perseteruan). 2) globalisme agama dan
mengandung pengertian; pemikiran, aliran,
tergerusnya identitas lokal akibat universalisme
gerakan, dan usaha untuk mengubah paham-
seperti kecenderungan sikap trans-nasional,
paham, adat istiadat, dan intuisi-intuisi lama
yakni begitu semangatnya terhadap visi agama
agar dapat disesuaikan dengan keadan baru yang
sampai mengesampingkan visi berbangsa. 3)
ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan
jumping conglution akibat tidak ada ruang
dan teknologi modern. (Asmuni, 1998: 97).
pada tradisi klasik yang pernah dilewati selama
Kejumudan umat yang hanya patuh terhadap
perkembangan Islam. 4) munculnya trendisisasi
produk pemikiran ulama terdahulu, sehingga
Islam, dan budaya masa (culture mass), karena
takut menghasilkan pemikiran baru. (Noer,
berIslam telah mengalami transmisi dari life way
1980: 131).
menjadi life style dan trend setter sebagaimana
Modernisme Islam muncul mengindikasikan masyarakat modern.
ketidakpuasan atas kondisi Islam historis abad
Pemurnian dan modernitas mengandung
ke-18, dan membangun citra ideal Islam yang
sisi emosional yang sangat kental sebagai citra
maju. Semua alasan tersebut berujung pada misi
paling baru. Siswa mungkin akan merasa lebih
mengembalikan ajaran kepada unsur aslinya:
“aku” dalam segala hal (termasuk ideologi dan
Alquran dan Hadis, dan membuang segala bid’ah,
pemikiran) bila menjadi yang paling modern dan
khurafat, dan mistik. (H. Nasution, 2003: 45).
terbaharu. Sebaliknya yang lama masuk ke dalam
Modernisme Islam setidaknya memiliki karakter
makna peyorasi. Persuasi modernisme sebagai
utama: a) tajdid atau perubahan mendasar, b)
sesuatu yang baru telah membawa situasi yang
kebebasan ijtihad, c), purifikasi atau pemurnian,
dibangun pada momen tertentu lewat bahasa.
d) kembali pada Alquran dan Hadis, dan e),
Misalnya penggunaan istilah Ikhwan-akhwat, ana-
sebagian mencita-citakan negara agama,
anta, memunculkan makna ketiga karena tidak
dan menjadikan Islam sebagai Ideologi. (H.
semata translite bahasa, tetapi menjadi citra diri.
Nasution, 2003: 55). Secara garis besar, faktor
Sebagai hasil konstruksi simbol yang menerus
yang mendorong munculnya modernisme Islam.
disisipkan pada ingatan, dengan mengucapkannya
Pertama, faktor internal yaitu keterbelakangan
dapat memantapkan sebagai yang paling Islam.
umat. Kedua, faktor eksternal kemajuan Barat.
Media informasi, termasuk buku dan pelajaran
(Jainuri, 1995: 22). Pembaharuan mencakup
berperan besar membentuk budaya citra

194
Dimensi Ideologis Pendidikan Sejarah Islam (Analisa Standar Kompetensi Kelas Xii)
Ahmad Yusuf Prasetiawan dan Lisa`Diyah Ma'rifataini, halaman 187-202

(image culture) dan cita rasa (teste culture), yang yang harus dijunjung. (Shihab, 1996: 287).
menawarkan gaya pesona; (fashion jilbaber, gamis Bagi Tradisionalis, modernisasi dipandang
dan celana up-pass mata kaki). (Ibrahim, 2004: melahirkan kenyataan yang ambivalen; memberi
viii). kemudahan, namun melahirkan oligarki.
Budaya juga diekspor melalui industri (Russel, 1952: 152). Paradigma modern banyak
mereduksi fitrah manusia, sehingga sejarah yang
pendidikan, film-film, dan media yang menjadi
dilahirkan berkembang dalam ketidakpastian
komonditas dari lifestyle Islam. (Piliang, 1998:
seperti krisis mondial yang mendatangkan akibat
12). Islam adalah trending dengan perkaburan
destruktif-disruptif. Ekses lain dari fenomena
batas antara citra dan esensi ajaran. Suatu modern menjadi antagonisik, karena akses begitu
dimensi ideologis yang memaksakan consensus melimpah tanpa ada kesempatan menyeleksinya.
sebagai represi kebiasaan, berupa tafsir, dugaan, (Tobroni and Arifin, 1994: 22). Modernisasi
propaganda terhadap produk pengetahuan. Islam secara tidak langsung membentuk alienasi unsur-
dalam citra modernitas seolah-olah memberi ide unsur lokal dalam beragama.
dan visi baru yang membuat tidak puas dengan Konten materi ini sangat penting untuk
cara lama, cenderung membuang segala yang memberi keluasan pengetahuan siswa.
lalu, terlebih bagian-bagian yang prestise-nya Tradisionalisme Islam di Indonesia merupakan
tidak memuaskan seperti keterbelakangan dan respon terhadap modernisme Islam yang lebih
dulu muncul. Beberapa manfaat materi ini
kemiskinan.
adalah: 1) memberi dorongan melestarikan
Tradisionalisme Islam/ Turats khazanah masa lalu. 2) rigid terhadadap literasi.
Al Islam 3) percaya diri terhadap identitas lokal yang
Tradisionalisme Islam, trader, traditio berarti dimiliki. Beberapa efek yang mesti diantisipasi: 1)
pemberian; peninggalan; warisan, yang diterima tertutup terhadap perkembangan sains teknologi.
dari generasi sebelumnya sebagai pegangan 2) fanatik terhadap ide di luar dirinya. 3) enggan
hidup, berupa praktik hidup atau keyakinan melakukan terobosan pemikiran/ pembaharuan
keagamaan yang berpangkal dari wahyu. (Noer, selama hal itu lepas dari ikatan leterasi masa lalu,
1980: 83). Tradisi dapat berasal dari masa lalu seperti kitab-kitab klasik. 4) fatalistis dan merasa
sendiri (komunitas Muslim) maupun orang lain, puas terhadap apa yang sudah berlangsung.
yang mencakup makna (al-turats al-ma`nawi), Kedaulatan akal belum diterima sebagai aset
dan materi (al-turats al-madi). (Assyaukanie, yang harus digunakan dalam pemikiran umat
1998: 61-65). Tradisionalisme berpegang pada Tradisional. Padahal untuk menuai kemajuan
fundamen agama melalui penafsiran secara diperlukan pembaharuan budaya secara menerus
rigid dan literalis, menjadikannya sasaran dalam dialektikanya dengan realitas (Marzuki
kritik gerakan Modernisme yang menolak sama Wahid, 2005: 63-65). Ketakutan melanggar norma
sekali produk-produk masa kemunduruan. agama melebihi kemauan progresif beradaptasi
(Feillard, 1999: 7). Corak tradisionalisme Islam terhadap realitas empirik, sehingga sering gagap
adalah berpegang pada kontinuitas mata rantai pada perubahan. Pendidikan nilai berbasis
sejarah dan pemikiran ulama terdahulu, serta kearifan lokal dalam pendidikan sejarah menjadi
mengembangkan fiqh scholastik mazhab empat. salah satu multisinergi. (Hadiningrum, 2018:
(Noer, 1980: 67). Identik dengan ekspresi 149-160). kelompok Tradisionalis percaya bahwa
Islam lokal, yang tidak tertarik terhadap agama dan sejarahnya tidak dapat berlaku secara
pembaharuan. (Jaenuri, 2004: 94). Tradisi yang doktrinal. (Abdurrahman, 2018: 1-21). Islam
kebanyakan dinilai anakronis kedangkalan, meliputi aspek sosial dibanding theologisnya,
namun dalam pandangan Tradisonalis memiliki sehingga bisa saja diuji secara materiil-empiris
otoritas tinggi, keseimbangan, dan kontiunitas menghilangkan kesan sakral dan rasa inverior.

195
Volume 06 Nomor 02 Desember 2020

Dinamika Modernisme dan Tradi- dipraktikan, sehingga lebih mudah menemukan


sionalisme Islam dalam Masyarakat capaian. (Habib, 2018: 161-178). Sebaliknya,
Indonesia Kontemporer Gagasan-gagasan pembaharuan yang banyak
dilahirkan sebagai titik balik kondisi yang ada,
Perkembangan Islam di Indoensia tidak dapat
yang berlangsung di banyak negara Islam sering
direduksi dalam fase-fase teorotik, melainkan
berkorelasi langsung dengan kemunduran yang
juga behind of text nya. (Basid, 2017: 1-14). Islam
terjadi di negara-negara tersebut. (S. Nasution,
Indonesia kontemporer merupakan kontuinitas
2019: 181)
perkembangan Islam secara keseluruhan.
Modernisme dan tradisionalisme yang mengakar Modernisme Islam mungkin tidak bermaksud
di Indonesia tumbuh bersamaan dengan proses meninggalkan warisan masa lalu, namun
Islamisasinya. Proses Islamisasi terikat oleh berorientasi terhadap tantangan masa depan.
arus mana yang membidani. Sebagaimana teori Meskipun karenanya mesti menseleksi masa lalu
Islamisasi terbagi menurut beberapa pendapat: yang relevan, dengan hanya mengambil bagian
Arab, Cina, Persi, India, dan teori Turki (Syafrizal, yang paling prinsipil dan substansial seperti
2015: 235), Islamisasi dengan cara modern AlQuran dan Sunnah, dan meninggalkan pernak-
maupun tradisional menjadi relatif batasnya. pernik tradisi yang tidak mungkin dijadikan
Perbedaan modernis dan tradisionalis pegangan masa depan. (Taufik, Huda, and
memudar seiring berbagai inovasi, seperti Maunah, 2005: 1). Sebaliknya, Tradisionalisme
kelompok Modernis mengalami polarisasi, Islam menyebutkan sejarah peradaban dan
melahirkan modernis fundamental dan neo- agama merupakan etape dari transformasi
Modernis, sedangkan Tradisionalis melahirkan budaya. Tradisi tidak berdiri sendiri namun
post-Tradisionalis. Meskipun kelompok inovatif dielaborasi dengan kebutuhan setempat (local
sendiri mengalami dilema karena selain harus genius). (Sucitra, 2015: 89-103). Persentuhan
berhadapan dengan konservatisme yang bersifat kalangan tradisional dengan pendidikan modern
kedalam, sekaligus tantangan keluar. (Andree menjadi penentu corak tradisionalisme yang
Feillard, 1999: 366). Modernisme Islam saat baru. (Mahmudah, 2007: 21-32).
ini telah memberikan apresiasi lebih besar Modernisme dan tradisonalisme menjadi
pada warisan Islam baik pada aspek pemikiran representasi aksi sosial yang tidak lahir dari
maupun kelembagaan. Martin van Bruiseen sebuah kekosongan, dalam pola interaksi yang
sebagaimana dikutip Azra menyebutkan istilah sudah ada, di kalangan individu dan kelompok.
gelombang konservatif yang menandai sejarah (Kumayi, 2018: 179-193). Penerimaan terhadap
perkembangan Islam Indonesia dengan merger
Islam berimplikasi pada perbahan-perubahan
minor tradisonalisme-modernisne. (Azra, 2016:
semua lini kehidupan sosial, sebagaimana sejarah
175-186).
yang membentuknya. (Rais, 2018: 191). Dengan
Modernisasi Islam berusaha menyeimbang-
begitu, elaborasi tradisional-modern adalah
kan antara pembaharuan pemikiran (Alfiani,
ikhtiar konstruktif bagi siswa yang memperoleh
Suweleh, and Janah, 2019: 17), dengan
perkembangan Barat (Rahman, 2017: 39-50), kelapangan pengetahuan yang komperhensif.
sekaligus modernisasi penafsiran AlQuran Siswa akan menatap masa depan dengan
dan Sunnah, menjadi sumber otentik (hudan). penuh konvidensi. Meskipun secara psikososial
(Hanafi, 2015: 01-23). Tantangan-tantangan dihadapkan pada beban ganda; Islam yang kalah
kultural dan tradisi pernah menjadi hambatan dalam percaturan budaya global, dan bangsa
dakwah modernisme Islam (Bakri, 2014: timur yang terbelakang. Sebagai al-maghlub (yang
33-40), namun pendekatan budaya diakui kalah) cenderung inverior terhadap al-ghalib
memiliki daya hidup yang selalu menyatu dan
(pemenang), serta berusaha mengimitasinya.

196
Dimensi Ideologis Pendidikan Sejarah Islam (Analisa Standar Kompetensi Kelas Xii)
Ahmad Yusuf Prasetiawan dan Lisa`Diyah Ma'rifataini, halaman 187-202

Restrukturisasi Arah Baru Sejarah prestasi sejarah, sementara hadâtsah adalah


Islam Indonesia realitas sejarah. (Madjid, 1992: t.h.). Sebagai
Dilihat dari paradigma filosofisnya, ideologi keduanya dibangun dengan sistematika
pendidikan selalu mengandung visi kultural, bukan sentimental, sehingga siswa dituntut
berupa cultural transmission dan cultural mengijtihadi bukan mentaqlidi. Pembedaan
conversetion atau pemelihara tradisi. Mungkin ini dapat membebaskan siswa dari dogmatika
saja ideologi-ideologi Islam bukan penanda historis tanpa memutlakan konten.
keterpecahan, tetapi merupakan design Tuhan Pendidikan yang berdimensi ideologis
untuk umat Islam di Indonesia. (Madjid, 1993: memiliki implikasi bagi penanaman karakter
xiv). Era reformasi dalam sejarah nasional siswa tanpa harus ta`asshub (berlebihan
Indonesia disebut sebagai konsolidasi ideologi. terhadap segala yang berbeda), karena: (1) Islam
Begitu banyaknya ideologi dan menjadi dinamika
senantiasa logis, sehingga ketika berafiliasi harus
selama proses integrasi pra Reformasi, namun
menggunakan argumentasi bukan fanatisme, (2)
setelah Reformasi penilaian itu kurang up to
Islam mengikuti sunnatullah,. (3) Manusia hanya
date, karena keragaman ideologi dapat saling
melengkapi. Pengembangan tradisi intelektual mampu menilai zahirnya saja, sehingga tidak
yang kokoh di masa depan memerlukan khazanah ada judgement, hakekat kebenaran milik Allah.
pimikiran klasik, shingga tidak terjadi jump (Hasyim, 1985: 42). Sebagaimana peperangan
to conclution. (Madjid, 1992: t.h.). Penemuan dan kekerasan adalah fakta sejarah sebagai
kembali ideologi yang sudah mapan tetapi mulai catatan yang harus diketahui, untuk menjadi
terlupakan, melalui proses reidologisasi, dengan ibrah .
merangkai kembali nilai lama dan membentuknya
menjadi tradisi utuh. (Wahid, 1999: 29-30). Arus Konvergensi Ideologis Modernisme
tranformasi sejarah Islam Indonesia ke arah dan Tradisionalisme Islam
konsolidasi ditandai dengan sulit berlakunya Era modern telah membawa implikasi dalam
secara eksklusif perbedaan bipolar. (Tobroni and kebebasan. Berakhirnya dikotomi modernis-
Arifin, 1994: 80-81). Konvergensi ini ditandai tradisionalis didorong adanya tantangan
dengan berakhirnya dikotomi budaya; abangan, bersama, yakni munculnya radikalisme, dan
santri, dan priyayi, menipisnya batas antara ekstrimisme. Radikalisme memiliki prinsip
Ulama dan Intelektual (cendekiawan), dan membenarkan segala cara dalam merealisasikan
hilangnya perbedaan religius-sekuler. (Mulkhan, tujuannya, Struktur tradisi-modern mereduksi
1991). menjadi ingroup, dan radikalisme sebagai bagian
Hasan Hanafi menyebutkan pentingnya al- yang lain (outgroup). Radikalisme merupakan
Turats wa al-Tajdid sebagai rekonstruksi Islam. mekanisme reaktif atas krisis yang mengancam
Kemarin yang disebutnya sebagai turats qadim (Qurtuby, 2004: 252). Dengan ancaman ini, umat
_personifikasi dari khazanah klasik_, esok turast Islam melonggarkan sikap sektariannya, karena
gharbi merupakan khazanah Barat, dan kini yakni meskipun hanya faktor eksternal, namun sangat
realitas kontemporer. (Hambali, 2001: 227- pokok dalam proses konvergensi.
228). Turâts sampai pada basis pembentuknya Bagan 1 Arah Baru Trasformasi Sejarah Islam Abad xxi
dapat ditrans-formulasikan, sampai terbangun
pemaknaan baru (tajdid). Sedangkan pemikiran
klasik diperbarui untuk menunjang pelbagai
bidang seperti pendidikan ekonomi, sosial, dan
politik. (Azani, 2019: 147-164). Semua didasari
dengan asumsi, baik turâts maupun hadâtsah
sama-sama bersifat historis. Turâts merupakan

197
Volume 06 Nomor 02 Desember 2020

Rivalitas Modernis-Tradisional tidak jarang dimensi-dimensi ideologi yang tersirat, ada


hanya bersifat kultural ketimbang keagamaan. pada standar kompetensi SKI tingkat XII dalam
(Prasetyo, Ali Munif, 2002: 53). Dalam struktur Keputusan Dirjen Pendidikan Islam No. 2676
Islam Indonesia, keduanya telah berkembang Tahun 2013. Semester pertama menguraikan
bersama dengan segmentasi basis yang berbeda. gerakan pembaharuan Islam abad 18, sebagai
Hubungan keduanya terbilang unik, karena corak ideologi Modernisme Islam. Sedangkan
tidak sebagaimana pengertian dasarnya bahwa pada semester kedua membahas perkembangan
modern berarti paling baru, Modernisme Islam Islam di Asia Tenggara dan Asia Timur, kental
justeru lahir terlebih dahulu, sebelum kemudian nuansa lokalitas sebagai corak Tradisonalisme
Tradisionalisme muncul sebagai reaktornya. Di Islam. Klasifikasi Modernisme-Tradisionalisme
tengah menguatnya kelompok lain di Indonesia, dalam masyarakat Islam Indonesia telah menjadi
Modernisme lama seperti Muhammadiyah warna yang khas, dan sangat massif, dari gerakan
terkesan menggeser sedikit demi sedikit orientasi dakwah menjadi gerakan sosial, ekonomi, dan
gerakannya, termasuk pada bidang politik. politik. Sejarah dapat menjadi proses ideologi
Kemunculan kelompok-kelompok keagamaan dengan membenarkan tindakan dan pemikiran
baru yang cenderung militan (baca: radikal), tokoh, namun fungsi terpentingnya ada pada
namun tidak memiliki akar kesejarahan dalam penalaran ilmiah dengan komparasi yang objektif
budaya setempat, dan hanya melihat satu sisi terhadap perbedaan-perbadaan pandangan
yakni visi. Gerakan-gerakan ini, pada mulanya di dalam materi SKI, sehingga siswa tumbuh
terlihat menarik, namun seiring waktu menjadi dengan kesadaran sejarah yang komperhensif.
asing, sehingga masyarakat mulai berfikir Konten yang kontradiktif, polemik, dan dilematik
ulang dan selektif. (Saifuddin, 2019: 143-158). merupakan kekayaan materi dalam pendidikan
Klasifikasi sosiologis akhirnya hanya berimbas sejarah.
pada pembedaan politis (Jong, 2012: 231-250), Gerakan global-modernisme Islam meru-
yang hanya menjadi sejarah sebagai konvensi yang pakan antitesa gerakan Tradisionalisme-
melatari penggunaan simbol kemasyarakatan. lokalisme Islam. Namun menampilkan keduanya
Simbol itu sekaligus penetrasi nilai dan ideologi merupakan input yang berimbang sebagai
yang berkembang kedalam penetrasi sosial sarana komparatif untuk mengukur obektifitas,
politik dan ekonomi. (Abidin, 2016: 241-253). kritisme, dan kemampuan kreatif siswa.
Kontestasi dan fragmentasi pemikiran keislaman Dikotominya menjadi tidak lagi relevan karena
di Indonesia memang akan tetap terjadi dari beberapa alasan: (1) Keduanya secara geneologis
waktu ke waktu. Modernisme-tradisonalisme memiliki basis masa berbeda, tetapi sama-sama
masih merupakan pengelompokan utama. Isu diperlukan sebagai autokritik satu sama lain.
sekularisme, pluralisme dan liberalisme menjadi (2) Batas Modernis-Tradisionalis dapat berlaku
komoditas yang seksi dimunculkan dalam fleksibel ketika beberapa kelompok pembaharu
tiap pergesekan sosial di tengah menguatnya muncul (Neo-Modernis dan Post-Tradisionalis).
kelompok intoleran. Dari tradisonalis-modernis, (3) Keduanya memiliki commen sense terhadap
lahir semacam proses “hibridasi” pemikiran ancaman bersama yakni ekstrimisme dan
generasi baru. (Latief, 2016: 136-139). Mereka radikalisme.
berusaha merumuskan identitasnya untuk terus
Penulis merekomendasikan agar menum-
eksis di era baru. Sebuah transformasi akomodatif
buhkan sikap deradikalisasi siswa bukan dengan
dengan kontekstualisasi.
mengurangi konten, ataupun melalui framming
P yang sentimental, melainkan dengan cara
mensinkronkan dan mensinergikan antara materi
Pendidikan Sejarah Islam tidak dapat
ajar, siswa dan guru, sebagai kesatuan faktor
terhindarkan dari konstruksi ideologis. Di antara
yang utuh. Konkretnya, dengan memperkaya

198
Dimensi Ideologis Pendidikan Sejarah Islam (Analisa Standar Kompetensi Kelas Xii)
Ahmad Yusuf Prasetiawan dan Lisa`Diyah Ma'rifataini, halaman 187-202

bahan ajar, meningkatkan daya kritis siswa, dan __________.2008d. Pendidikan Islam
kemampuan kontektualisasi guru. Transformasi Transformatif. Yogyakarta: LKiS.
nilai kedua ideologi dapat berlanjut ke generasi Arif, S. 2010. Deradikalisasi Islam Paradigma
berikutnya, sehingga memo of understanding Dan Strategi Islam Kultural. Depok:
kedua gerakan dapat lebih terbuka di masa masa Penerbit Koekoesan.
yang akan datang. Asmuni, M. Y. 1998. Pengantar Studi Pemikiran
Dan Gerakan Pembaharuan Dalam
D P Dunia Islam. Jakarta: Rajawali Press.
Abdurrahman, M. 2007. Menggagas Format Assyaukanie, L. 1998. “Tipologi Dan Wacana
Pendidikan Nondikotomik: Humanisme Pemikiran Arab Kontemporer.” Jurnal
Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Paramadina 1 (1).
Islam. Yogyakarta: Gama Media.
Azani, M. Z.. 2019. “Literasi Digital Keagamaan
Abdurrahman. 2018. “Sumbangan Pemikiran Aktivis Organisasi Religious Digital
Nahdlatul Ulama (Nu) Terhadap Literacy Of Religious Organization
Modernisasi Pendidikan Islam Di Activism.” Tsaqofah 05 (01): 1–27.
Indonesia.” Jurnal Dakwah 4 (4): 1–21.
http://www.jurnal.uinsu.ac.id/index. Azra, A. 2016. “Kontestasi Pemikiran Islam
php/consilium/article/view/2067. Indonesia Kontemporer.” Studia Islamika
23 (1): 175–86. https://doi.org/10.15408/
Abidin, A. 2016. “Pengaruh Islam Dalam sdi.v23i1.2905.
Perubahan Nama Diri Suku Bugis:
Sebuah Tinjauan Sejarah.” IBDA` : Bakri, S.. 2014. “Kebudayaan Islam Bercorak
Jurnal Kajian Islam Dan Budaya 14 (2): Jawa (Adaptasi Islam Dalam Kebudayaan
241–53. https://doi.org/10.24090/ibda. Jawa ).” Dinika 12 (2): 33–40.
v14i2.676. Basid, A.. 2017. “Islam Nusantara: Sebuah
Ahmad, J. 2018. Desain Penelitian Analisis Isi Kajian Post Tradisionalisme Dan
(Content Analysis). Sekolah Pascasarjana Neo Modernisme.” Tafaqquh: Jurnal
UIN Syarif Hidayatullah. Penelitian Dan Kajian Keislaman 5 (1):
1–14.
Ahmadi, A. 2007. Sosiologi Pendidikan. Jakarta:
Rineka Cipta. Eriyanto. 2007. Analisis Framing; Konstruksi
Ideologi, Dan Politik Media. IV.
Alfiani, M. M., Suweleh, S., and Janah, L.K. 2019. Yogyakarta: LKiS.
“Islamisasi Nusantara Dan Sejarah Sosial
Pendidikan Islam.” FIKROTUNA; Jurnal Fauziah, N. 2013. “Faktor Penyebab Kejenuhan
Pendidikan Dan Manajemen Islam 9 (1): Belajar Sejarah Kebudayaan Islam (SKI)
17. Pada Siswa Kelas XI Jurusan Keagamaan
di MAN Tempel Sleman.” Pendidikan
Alwi S. 1996. Islam Inklusif. Bandung: Mizan. Agama Islam X (2): 99–108. https://doi.
Andree F.. 1999a. NU Vis a Vis Negara. org/10.33650/edureligia.v1i2.46.
Yogyakarta: LKiS. Habermas, J. 2009. Kritik Atas Rasio
__________.1999b. NU Vis a Vis Negara. Fungsionalis Buku 2. Edited by Nurhadi.
Yogyakarta: LKiS. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Arif, Md. 2008a. Pendidikan Islam Transformatif. Habib, Z. 2018. “Kyai Kampung, Islamisme, Dan
Yogyakarta: LKiS. Ketahanan Budaya Lokal (Pandangan
Kyai Abdullah Faishol Tentang Ketahanan
__________. 2008b. Pendidikan Islam Budaya Dan Visi NU Sukoharjo).” Jurnal
Transformatif. Yogyakarta: LKiS. SMaRT Studi Masyarakat, Religi Dan
__________.2008c. Pendidikan Islam Tradisi 04 (02): 161–78.
Transformatif. Yogyakarta: LKiS.

199
Volume 06 Nomor 02 Desember 2020

Hadiningrum, L. P.. 2018. “Reaktualisasi Jurnal Pendidikan Agama Islam 14


Pendidikan Nilai Berbasis Kearifan Lokal.” (2): 305–15. https://doi.org/10.14421/
Jurnal SMART (Studi Masyarakat, jpai.2017.142-07.
Religi, Dan Tradisi) 04 (02): 149–60.
Kumayi, S. 2018. “Tindakan Sosial KH. Muhammad
Hambali, R. 2001. Hasan Hanafi; Dari Kiri Bakhiet Dalam Kontekstualisasi Dan
Islam, Revitalisasi Turast Hingga Transformasi Ajaran Tasawuf.” Jurnal
Oksidentalisme. Bandung: Mizan. SMART (Studi Masyarakat, Religi,
Dan Tradisi) 4 (2): 179–93. https://doi.
Hanafi, I. 2015. “Mengenal Neo-Modernisme
org/10.18784/SMART.V4I2.674.
Islam: Sebuah Essay Pemikiran Fazlur
Rahman Tentang Pendidikan Islam.” Kurniawan, M. Alif, Rochanah, Suyatmi, Ari, F.
Madania: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman I, Kuni, A, Syifaun, N., Fatoni, A., et al.
5 (1): 01–23. http://ejournal.uin-suska. 2014. Sejarah Pemikiran Dan Peradaban
a c . i d/ i n d e x. p hp / m a da n i a / ar t i c l e / Islam: Dari Masa Klasik Hingga Modern.
view/4786.
Latief, H. 2016. “Wajah Islam Indonesia
Haris, A. 2016. “Analisis Komparasi Isi Buku Ajar Kontemporer Yang Terus Berhadap-
Sejarah Kebudayaan Islam Kurikulum Hadapan.” Afkaruna 12 (1): 136–39.
2013 Dengan Sejarah Kebudayaan https://doi.org/10.18196/AIIJIS.2016.
Islam Perspektif Ahmad Syalabi Analisis
Madjid, N. 1993. “Reioreintasi Wawasan Ke-
Komparasi Isi Buku Ajar Sejarah
Islaman: Usaha Mencari Kemungkinan
Kebudayaan Islam Kurikulum 2013
Bentuk Peran Tepat Umat Islam
Dengan Sejarah.”
Indonesia Di Abad XXI.” In Reorientasi
Hasyim, W. 1985. Mengapa Memilih NU: Muhammadiyah NU, 193–94.
Konsepsi Tentang Agama, Pendidikan Yogyakarta: LPPI UMY, LKPSM NU, PP
Dan Politik. Jakarta: Inti Sari Aksara. Al-Muhsin.
Ibrahim, I. D. 2004. Lifestyle Ectasy: Kebudayaan __________. 1992. “Beberapa Renungan
Pop Dalam Masyarakat Komoditas Tentang Kehidupan Keagamaan Di
Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra. Indonesia Untuk Generasi Mendatang.”
Jakarta.
Jaenuri, A. 2004. Orientasi Ideologi Gerakan
Islam Modern. Surabaya: LPAM. Mahmudah, S. 2007. “Post Trad Islam 2007.Pdf.”
Ulul ALbab 8 (1): 21–32.
Jainuri, A. 1995. “Landasan Teologis Gerakan
Pembaruan Islam.” Jurnal Ulumul Marzuki, W. 2005. Pemikiran Islam Kontemporer
Qur’an VI (3): 22. Di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Jong, K. D. E., and De, E. E. S . 2012. “NASIONAL
BERSAMA Sejarah Singkat Hubungan Mernisi, F. 1992. Islam Dan Anologi Ketakutan
Islam-Kristen Di Indonesia.” Gema Demokrasi. Yogyakarta: LKiS.
Teologi 36 (2): 231–50.
Miswar, A. 2015. “Tafsir Al-Qur’an Al-Majid
Karim, A. 2013. “Meningkatkan Motivasi Belajar ‘Al-Nur’ Karya TM Hasbi Ash-Shiddieqy
Pendidikan Sejarah Kebudayaaan Islam (Corak Tafsir Berdasarkan Perkembangan
(SKI) Melalui Metode Pembelajaran Kebudayaan Islam Nusantara).” Jurnal
Mind Mapping.” QUALITY Jurnal STAIN Adabiyah XV: 83–91. http://journal.
Kudus 1 (2): 1–18. uin-alauddin.ac.id/index.php/adabiyah/
article/view/693.
Keputusan, Dirjen Pendidikan Islam 2676. 2013.
Panduan Kurikulum Mata Pelajaran Mulkhan, A. M. 1991. Runtuhnya Mitos Politik
Pendidikan Agama Islam Dan Bahasa Santri. Yogyakarta: Sipress.
Arab Di Madrasah. Indonesia.
Munthoha. 1998. Pemikiran Dan Pendidikan
Kholis, R. A. N. 2018. “Analisis Tingkat Kesulitan Islam. Yogyakarta: UII Press.
(Difficulty Level) Soal Pada Buku Sejarah
Kebudayaan Islam Kurikulum 2013.”

200
Dimensi Ideologis Pendidikan Sejarah Islam (Analisa Standar Kompetensi Kelas Xii)
Ahmad Yusuf Prasetiawan dan Lisa`Diyah Ma'rifataini, halaman 187-202

Musmuallim. 2019. “Dinamika Prasangka Sosial in Jambon Village Gumawan Temanggung


Penyebaran Agama Terhadap Pihak Pendahuluan.” SMart 05 (02): 143–58.
Rumah Khalwat Oasis Sungai Kerit.”
Salim, F., Razi, Hamid, F., Ma`ruf, and Sukino,
Al-Balagh 4 (2): 169–98. https://doi.
A. 2017. Sejarah Kebudayaan Islam.
org/10.1017/CBO9781107415324.004.
Edited by Syamsul Kurniawan. 2nd ed.
Nashir, H. 2001. Ideologi Gerakan Pontianak: IAIN Pontianak Press.
Muhammadiyah. Yogyakarta: Suara
Salim, H. 1999. Gus Dur Dan Kenangan
Muhammadiyah.
Cendekiawan Zaman Prisma.
Nasution, H. 2003. Pembaharuan Dalam Yogyakarta: LKiS.
Islam Sejarah Pemikiran Dan Gerakan.
Sucitra, I. G. A. 2015. “Transformasi Sinkretisma
Jakarta: Bulan Bintang.
Indonesia Dan Karya Seni Islam.”
Nasution, S. 2019. “Islam Rasional.” IJTIMAIYAH Journal of Urban Society’s Arts 2 (2):
Jurnal Ilmu Sosial Dan Budaya 3 (1): 181. 89–103. https://doi.org/10.24821/jousa.
v2i2.1446.
Noer, D. 1980a. Gerakan Modern Islam Di
Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES. Syafrizal, A. 2015. “Sejarah Islam Nusantara.”
Islamuna: Jurnal Studi Islam 2 (2):
__________. 1980b. Gerakan Modern Islam
235. https://doi.org/10.19105/islamuna.
Di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.
v2i2.664.
__________. 1980c. Gerakan Modern Islam
Takwin, B. 2009. Akar-Akar Ideologi. Yogyakarta:
Di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.
Jalasutra.
__________. 1980d. Gerakan Modern Islam
Taufik, A., Dimyati, H., and Bintu, M.. 2005.
Di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.
“Sejarah Pemikiran Dan Tokoh
Nurjanah. 2003. “Menemukan Nilai Karakter Modernisme Islam.Pdf.” In Sejarah
Dalam Pembelajaran,” 1–13. Pemikiran Tokoh Modernisme, 1. Jakarta:
Piliang, Y. A. 1998. Sebuah Dunia Yang Dilipat. PR Raja Grafindo Persada.
Bandung: Mizan. Tobroni, and Syamsul, A.. 1994a. Islam
Prasetyo, A. M., Dkk. 2002. Islam Dan Civil Pluralisme Budaya Dan Politik: Refleksi
Society: Pandangan Muslim Indonesia. Teologi Untuk Aksi Dalam Kebergaman
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Dan Pendidikan. Yogyakarta: Sipress.

Qurtuby, S. A.. 2004. Anak Muda Dan Tradisi __________. 1994b. Islam Pluralisme Budaya
Pemikiran Liberal. Jakarta: P3M Kompas. Dan Politik: Refleksi Teologi Untuk Aksi
Dalam Kebergaman Dan Pendidikan.
Rahman, B. A. 2017. “Modernisme Islam Yogyakarta: Sipress.
Dalam Pandangan Muhammad Abduh.”
Tsaqofah & Tarikh 2: 39–50. Wahid, A.. 1999a. NU Dan Islam Di Indonesia
Dewasa Ini. (Yogyakarta: LKiS.
Rais, M. 2018. “Wajah Islam Di Bandar Jalur
Sutera (Kajian Sejarah Sosial Pada Wakhid, A. R. 2017. “Analisis Buku Sejarah Islam
Kesultanan Tidore-Maluku Utara).” Kelas X.” UIN Malang. Malang.
Al-Qalam 16 (2): 191. https://doi. __________. 1999b. Reidiologi Dan
org/10.31969/alq.v16i2.485. Retradisionalisasi Dalam Politik.
Ritzer, G. 2003. Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: LKiS.
Yogyakarta: Kreasi Wacana. Wijoyo, K. 2002. Selamat Tinggal Mitos Selamat
Russel, B. 1952. The Impact of Scince on Socety. Datang Realitas. Bandung: Mizan.
London: WC. Winnerburg, S. 2006. Berfikir Historis. Jakarta:
Saifuddin, K. 2019. “Strategi Kontra Radikalisme Yayasan Obor Indonesia.
Keagamaan: The Strategy of Nahdlatul Yahya, I. n.d. Tradisi Militer Dalam Islam.
Ulama in Countering Religious Radicalism Yogyakarta: Logung Pustaka.

201
Volume 06 Nomor 02 Desember 2020

Yuni, W. A., and Noveina, S.. 2018.


“Terorisme Radikalisme Dan Identitas
Keindonesiaan.” Jurnal Studi Komunikasi
1 (2): 22–67.

202

You might also like