You are on page 1of 14

IMPLEMENTASI MUSTAHIK FȊ SABȊLILLȂH DALAM PENDISTRIBUSIAN

DANA ZAKAT
(Studi Pada Lembaga Amil Zakat Kota Bandar Lampung)

Abstract: This study aims to find out how the implementation of mustahik fȋ sabȋlillȃh in the
distribution of zakat funds at the Amil Zakat Institution (LAZ) in Bandar Lampung City,
which will then be analyzed using the theory of maqâṣid al-syarȋʽah and maṣlaḥah as
analytical tools. This study uses qualitative methods with primary, secondary and tertiary
data. Data analysis techniques in this study used qualitative data analysis techniques. The
results of this study can be explained that the implementation of mustahik fȋ sabȋlillȃh in
distributing zakat funds at the Amil Zakat Institution (LAZ) of Bandar Lampung City, it can
be explained that all forms of programs for the collection, utilization and distribution of zakat
in Indonesia refer to the regulations that govern, namely the Law No. 23 of 2011 concerning
Management of Zakat and Regulation of the National Zakat Agency (BAZNAS) No. 3 of
2018 concerning the Distribution and Utilization of Zakat. In the utilization of zakat funds for
productive activities there are several procedures, these rules are contained in Law No. 23 of
2011 concerning Zakat Management, CHAPTER V Article 29, The fȋ sabȋlillȃh group is a
group that gets more attention than other groups. This is due to the expansion of meaning in
interpreting and understanding the implementation of fȋ sabȋlillȃh. And the review of
maqaṣid al-syarîʽah on the implementation of mustahik fȋ sabȋlillȃh in the distribution of
zakat funds at the Amil Zakat Institution (LAZ) of Bandar Lampung City can be seen that
when viewed from the formulation of maqaṣid al-Syarîʽah this is associated with the
distribution of zakat to asnaf fȋ sabîlillâh, then the distribution is therefore, most of the
problems lead to ḥifẓ al-dîn, to protect religion, and ḥifẓ al-‘aql, to protect reason.
Keywords: fȋ sabȋlillȃh, distribution.

Pendahuluan
Saat ini, permasalahan zakat merupakan perbincangan yang selalu hangat untuk selalu
ditelaah dan dipahami secara konseptual dan dinamis. Hal ini dikarenakan, zakat sering
disebutkan secara beriringan dan berurutan perintahnya dengan salat. Karena zakat tidak
hanya berfungsi sebagai ibadah maḥḍah semata atau ta‘abuddȋ (ibadah) melainkan juga
berkenaan dengan harta dan sosial kemasyarakatan (‘ibȃdah mȃliyyah ijtimȃ‘iyyah) atau
ta‘aqulȋ (rasional). Di samping itu pula zakat memiliki peran sangat penting, strategis dan
menentukan bagi moral dan pengembangan ekonomi dan sosial kemasyarakatan. 1 Di samping
itu zakat juga merupakan ibadah yang bercorak sosial ekonomi dari lima rukun Islam.
Dengan zakat, di samping ikrar tauhid dan salat, seseorang barulah sah masuk ke dalam
barisan umat Islam dan diakui keislamannya, sesuai dengan firman Allah surat al-Taubah (9)
ayat 11:
ِ َ‫صلَ ٰوةَ َو َءاتَ ُو ْا ٱل َّز َك ٰوةَ فَِإ ۡخ ٰ َونُ ُكمۡ فِي ٱلدِّي ۗ ِن َونُفَصِّ ُل ٱأۡل ٓ ٰي‬
١١ َ‫ت لِقَ ۡو ٖم يَ ۡعلَ ُمون‬ ْ ‫ُوا َوَأقَا ُم‬
َّ ‫وا ٱل‬ ْ ‫فَِإن تَاب‬
Artinya: Jika mereka bertaubat, mendirikan salat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu)
adalah saudara-saudaramu seagama dan kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum
yang mengatahui (Q.S. Al-Taubah (9): 11).2
Sebagaimana telah menjadi ketentuannya bahwa dana zakat yang dihimpun akan
didistribusikan untuk golongan-golongan yang berhak menerimanya (mustaḥiq). Hal ini
dijelaskan dalam Alquran dan telah diterangkan ke mana sasaran zakat itu harus dikeluarkan.
Allah swt berfirman:
1
Muhammad Hadi, Problematika Zakat Profesi dan Solusinya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), h.1.
2
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: Syaamil Qur’an,
2012), h. 194.
ِ ِ‫ب َو ۡٱل ٰ َغ ِر ِمينَ َوفِي َسب‬
‫يل ٱهَّلل ِ َو ۡٱب ِن‬ ِ ‫ ٱلرِّ قَا‬v‫ُم َوفِي‬vۡ‫ت لِ ۡلفُقَ َرٓا ِء َو ۡٱل َم ٰ َس ِكي ِن َو ۡٱل ٰ َع ِملِينَ َعلَ ۡيهَا َو ۡٱل ُمَؤ لَّفَ ِة قُلُوبُه‬ُ َ‫ص َد ٰق‬
َّ ‫ِإنَّ َما ٱل‬
٦٠ ‫يم‬ٞ ‫ض ٗة ِّمنَ ٱهَّلل ۗ ِ َوٱهَّلل ُ َعلِي ٌم َح ِك‬ َ ‫ٱل َّسبِي ۖ ِل فَ ِري‬
Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang
miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dang orang-
orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketatapan yang diwajibkan
Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (Q.S. al-Taubah (9): 60).3
Dalam penyebutan kedelapan golongan penerima zakat ini, Allah swt menggunakan
dua redaksi yag berbeda. Empat golongan pertama Allah swt menyebutkan dengan
menggunakan huruf lȃm, yaitu untuk golongan fuqarȃ’, masȃkȋn, ‘ȃmilȋn ‘alaihȃ, mu’allafah
qulȗbuhum. Sedangkan empat golongan lainnya fȋ sabȋlillȃh, gȃrimȋn dan ibn sabȋl
menggunakan fȋ. Maksud penggunaan dua redaksi ini adalah bahwa untuk keempat golongan
pertama, dimaksudkan untuk kepemilikan. Artinya, dana zakat mereka terima langsung. Hal
ini tentu saja bukan suau kebetulan atau ketidaksengajaan. Allah swt menggunakan huruf lȃm
yang memiliki asal makna untuk kepemilikan menunjukan keempat golongan pertama berhak
memiliki zakat yang diberikan kepadanya. Sesungguhnya mereka mengambilnya sebagai hak
milik. Sedangkan keempat golongan yang kedua, zakat yang disalurkan tidak untuk mereka,
tapi untuk kemaslahatan yang langsung terkait dengan mereka. Harta yang dialokasikan
untuk gȃrimȋn misalnya, dana itu tidak diberikan kepada mereka, akan tetapi untuk orang
yang meminjamkan uang padanya.4
Lain zaman lain keadaan. Jika pada masa Rasulullah saw yang menerima zakat lewat
jalur fȋ sabȋlillȃh hanyalah mereka yang ikut jihad secara fisik, maka seiring dengan
perubahan zaman, timbul kemudian ijtihad-ijtihad baru yang berusaha menyesuaikan dengan
zamannya. Namun sekali lagi, tidak bisa dipungkiri bahwa para ulama memang berbeda
pendapat tentang makna mustahik zakat yang satu ini, yaitu fȋ sabȋlillȃh. Perbedaan ini
berangkat dari ijtihad mereka yang cenderung muwassa‘ȋn (meluaskan makna) dan
muḍayyiqȋn (menyempitkan makna).
Ulama muḍayyiqȋn termasuk mayoritas ulama empat mazhab, yaitu Ḥanafiyyah,
Mâlikiyyah, Syâfiíyyah dan Ḥanâbilah yang lebih cenderung untuk tidak memperluas
maknanya, fȋ sabȋlillȃh harus diberikan tetap seperti yang dijalankan di masa Rasulullah saw
dan para sahabat, yaitu untuk para mujȃhidȋn yang ikut dalam perang secara fisik. Sedangkan
ulama yang beraliran muwassa‘ȋn cenderung memperluas maknanya sampai untuk biaya
dakwah dan kepentingan umat Islam secara umum.
Ada beberapa alasan yang mendasar bagi ulama muḍayyiqȋn cenderung untuk
menyempitkan makna tersebut hanya untuk para mujȃhidȋn yang ikut dalam perang secara
fisik, antara lain adalah pada Rasulullah saw dan semua sahabatnya adalah para pejuang yang
ikut peran serta secara aktif dalam menyebarkan agama Islam. Namun, pada masa itu mereka
tidak serta merta dikategorikan sebagai fȋ sabȋlillȃh yang berhak atas harta zakat. Harta zakat
yang diberikan kepada kelompok fȋ sabȋlillȃh hanya diperuntukkan kepada mereka yang ikut
secara pertempuran fisik, yaitu peperangan yang bentuknya berupa perjalanan ke luar kota
berbilang hari, minggu, bahkan bulan.
Berseberangan dengan alasan tersebut, ulama muwassa‘ȋn di antaranya: Imam Qaffal,
Muhammad Faris Ridha dan Yusuf al-Qardhawi, mereka lebih cenderung meluasakan makna
tersebut, hal ini dikarenakan pada saat ini lahan-lahan untuk berjihad secara fisik bisa
dikatakan tidak terlalu besar. Sementara lahan-lahan yang sangat berpotensi untuk
mencerdaskan, mendidik serta membina umat saat ini mungkin terbengkalai dan memerlukan
3
Ibid, h. 197.
4
Aaang Gunaepi dkk, “Analisis Fiqh Asnaf Fi Sabilillah dan Implementasi Pada Badan Zakat
Nasional”, KASABA, Vol. 11 No. 22 (2018), h. 167.
pasokan maupun support dana yang sangat besar, terlebih lagi di negeri minoritas muslim.
Dan siapa lagi yang akan membiayai hal-hal tersebut kalau bukan umat Islam. Di samping
itu, pada hakikatnya perang ataupun dakwah memiliki tujuan yang sama, yaitu menyebarkan
dan menegakkan agama Allah swt.
Penulis menentukan empat (4) Lembaga Amil Zakat yang beroperasional di Kota
Bandar Lampung sebagai tempat/objek penelitian terkait pembahasan pendistribusian dana
zakat untuk aṣnâf fȋ sabȋlillȃh. hal ini bertujuan untuk mendapatkan data yang lebih banyak
dan akurat, yang kemudian akan dikomparasikan antara satu sama lainnya. Keempat LAZ
tersebut adalah:
1. Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Kota Bandar Lampung, Jln. Basuki Rahmat No.
26 Kel. Sumur Putri Kec. Teluk Betung Selatan Kota Bandar Lampung Provinsi Lampung,
35215.
2. Kantor Rumah Zakat Kota Bandar Lampung, Jl. Urip Sumoharjo No.91 B, Gn. Sulah,
Kec. Way Halim, Kota Bandar Lampung, Lampung 35141.
3. LAZNAS Dewan Da’wah Lampung, Jalan Sultan Jamil No.28, Gedong Meneng, Kec.
Rajabasa, Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung, 35148.
4. LAZISMU, Gedung Dak’wah Muhammadiyyah Lampung, Jln. Kapten Tandean, No. 7,
Palapa, Kec. Tanjung Karang Pusat, Kota Bandar Lampung, 35116.
Dari latar belakang masalah di atas, penulis ingin meneliti serta menganalisis lebih
dalam mengenai tentang instrumen atau istinbat hukum yang digunakan Lembaga Amil Zakat
(LAZ) di atas dalam memaknai Implementasi fȋ sabȋlillȃh. dan penelitian tersebut dituangkan
dalam suatu penelitian tesis yang berjudul “Implementasi Mustahik Fȋ Sabȋlillȃh dalam
Pendistribusian Dana Zakat (Studi Pada Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Kota
Bandar Lampung).
Sudah barang tentu, skema atau implementasi yang keluar dari aṣnâf fȋ sabȋlillȃh,
tidaklah boleh keluar dari lingkaran maqȃṣid al-syarȋ‘ah untuk menjaga kemasalahatan yang
sangat diperhitungkan oleh agama Islam. Hal ini sangat perlu diperhatikan karena zakat
merupakan salah satu rukun Islam. Dalam agama Islam, setiap ibadah yang disyariatkan
pastilah mengandung maqȃṣid al-syarȋ‘ah.

Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian lapangan (field research),
yaitu penelitian langsung terhadap objek yang diteliti guna mendapatkan data yang relevan.5
Jenis penelitian ini adalah kualitatif, yang menitikberatkan pada bagaimana Implementasi fȋ
sabȋlillȃh dalam pendistribusian dana zakat pada Lembaga Amil Zakat (LAZ) di Kota
Bandar Lampung. Dengan menggunakan metode deskriptif peneliti menganalisis dan
meneliti lebih mendalam terhadap Implementasi fȋ sabȋlillȃh dalam pendistribusian dana
zakat pada Lembaga Amil Zakat (LAZ) Kota Bandar Lampung, melalui penyelidikan,
pengklasifikasian data yang didapat melalui survei, wawancara, observasi dan peneliti
mencocokkan data tersebut dengan informan, buku teoritik, dan pengamatan peneliti sendiri
selaku observator di lapangan.6 Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yaitu suatu metode
dalam meneliti suatu objek yang bertujuan membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara
sistematis dan objektif mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, ciri-ciri, serta hubungan diantara
unsur-unsur yang ada dan fenomena tertentu.7 Dalam penelitian ini peneliti akan
mendeskripsikan selengkap mungkin mengenai implementasi fȋ sabȋlillȃh dalam
pendistribusian dana zakat pada Lembaga Amil Zakat (LAZ) Kota Bandar Lampung).
5
Susiadi AS, Metode Penelitian (Bandar Lampung: Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung,
2014), h. 9.
6
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2009), h. 6.
7
Kaelan M. S, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Yogyakarta: Paradigma, 2005), h. 58.
Karena penelitian ini merupakan penelitian lapangan, oleh karena itu data yang
diambil berpusar dari sumber yang berkaitan dengan tema implementasi fȋ sabȋlillȃh dalam
pendistribusian dana zakat pada Lembaga Amil Zakat (LAZ) Kota Bandar Lampung), yaitu
pertama, data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber-sumber yang
memberikan data langsung dari tangan pertama.8 Data yang dimaksud ialah data yang
bersumber dari keterangan orang-orang yang berhubungan langsung dengan penelitian yang
dilakukan. Yaitu hasil wawancara langsung dengan pihak Lembaga Amil Zakat (LAZ) Kota
Bandar Lampung sebagai lembaga yang melakukan pengelolaan Zakat secara nasional
maupun regional. Serta dari hasil observasi dan hasil dokumentasi yang peneliti dapat di
lapangan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber-sumber yang diperoleh,
dibuat dan merupakan perubahan dari sumber pertama. Sifat dari sumber kedua tidak
langsung atau hanya menjadi pelengkap saja,9 disebut juga data tangan kedua, yaitu data
diperoleh lewat pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subjek penelitiannya.10
Kedua, data sekunder yang dipakai dalam penelitian ini adalah literatur-literatur yang
termasuk kategori sumber sekunder adalah kitab-kitab atau buku-buku yang membahas
tentang fikih muamalah, fikih zakat dan regulasi tentang zakat di Indonesia. Ketiga, bahan
hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan sekunder seperti kamus hukum dan ensiklopedi.11
Agar objek penelitian tidak terlalu melebar, maka penulis menentukan empat (4)
Lembaga Amil Zakat yang beroperasional di Kota Bandar Lampung sebagai tempat/objek
penelitian terkait pembahasan pendistribusian dana zakat untuk aṣnâf fȋ sabȋlillȃh. keempat
LAZ tersebut adalah:
1. Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Kota Bandar Lampung, Jln. Basuki Rahmat No.
26 Kel. Sumur Putri Kec. Teluk Betung Selatan Kota Bandar Lampung Provinsi Lampung,
35215.
2. Kantor Rumah Zakat Kota Bandar Lampung, Jl. Urip Sumoharjo No.91 B, Gn. Sulah,
Kec. Way Halim, Kota Bandar Lampung, Lampung 35141.
3. LAZNAS Dewan Da’wah Lampung, Jalan Sultan Jamil No.28, Gedong Meneng, Kec.
Rajabasa, Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung, 35148.
4. LAZISMU, Gedung Dak’wah Muhammadiyyah Lampung, Jln. Kapten Tandean, No. 7,
Palapa, Kec. Tanjung Karang Pusat, Kota Bandar Lampung, 35116.

Zakat
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (K.H.E.S), pada buku III bab I pasal 657
ayat I menjelaskan, yang dimaksud dengan zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh
seorang muslim atau lembaga yang dimiliki muslim untuk diberikan kepada yang berhak
menerimanya.12
Dari definisi di atas, setidaknya ada tiga prinsip yang terkandung dalam istilah zakat:13
1. Zakat adalah hak yang telah ditentukan.
2. Zakat dipungut pada sebagian harta tertentu, maksudnya pada jenis harta yang
berkembang, seperti pungutan atas hasil bumi dan binatang ternak.
3. Zakat diberikan untuk golongan/kelompok tertentu.
4. Zakat dipungut setelah mencapai nilai niṣâb.
8
Burhan, Analisis Data Penelitian Kualitatif (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2003), h. 39.
9
Sutrisno Hadi, Metodologi Penelitian (Yogyakarta: Gramedia Pustaka, 1990), h. 53.
10
Saifuddin Azwar, Metode Penelitian (Yoyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 92.
11
Susiadi AS, Metode Penelitian..., h. 23.
12
Tim Redaksi Fokus Media, Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (Bandung: Fokus Media, 2008), h.
159.
13
Abdul Hâmid al-Ba’li, Iqtiṣâdiyah al-Zakâh wa Iʽtibâr al-Siyâsah al-Mâliyyah wa al-Naqdiyyah,
diterjemahkan Muhammad Abqary Abdullah Karim (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2006), h. 4.
5. Zakat harta (zakâh al-mâl) adalah pungutan tahunan (ḥaul).
Berdasarkan ketiga prinsip di atas, maka dalam hal ini dapat diuraikan bahwa
pungutan zakat diberlakukan atas beberapa harta kekayaan. Sebagaimana yang dikatakan
oleh Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqh al-Islâm wa Adillatuh bahwa harta yang
wajib dizakati ada lima yaitu:14
1. Al-Nuqûd (zakat emas dan perak).
2. Al-Mâʽdin wa al-Rikâz (zakat barang tambang dan barang peninggalan kuno).
3. ‘Urûḍ al-Tijârah (zakat harta perniagaan).
4. Al- Zurûʽ wa al-Ṡimâr (zakat tanaman dan buah-buahan).
5. Al-Anʽâm (zakat hewan ternak).
Dengan demikian jelaslah bahwa zakat adalah suatu kewajiban yang meliputi harta
dalam bentuk tertentu dan kriteria tertentu, yang wajib dikeluarkan oleh muzakkî, kemudian
diberikan kepada orang yang berhak menerimanya (mustaḥiq) ketika sudah mencapai ḥaul
dan mencapai niṣâb, dengan tujuan untuk membersihkan harta dan menghilangkan sifat
tamak dan kikir dari diri muzakkî.
Mengenai dasar hukum zakat ini, sering didapati dalam Alquran dan Hadis dengan
beberapa redaksi yang berbeda namun mengandung makna yang sama, yaitu antara lain:
1. Zakâh15, sebagaimana firman Allah swt:
٤٣ َ‫ُوا َم َع ٱل ٰ َّر ِك ِعين‬
ْ ‫وا ٱل َّز َك ٰوةَ َو ۡٱر َكع‬
ْ ُ‫صلَ ٰوةَ َو َءات‬ vْ ‫َوَأقِي ُم‬
َّ ‫وا ٱل‬
Artinya: Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang
rukuk (Q.S. Al-Baqarah (2): 43).
2. Ṣadaqah16, sebagaimana firman Allah swt:
ِ ‫ت َوَأ َّن ٱهَّلل َ هُ َو ٱلتَّوَّابُ ٱلر‬
١٠٤ ‫َّحي ُم‬ َّ ‫َألَمۡ يَ ۡعلَ ُم ٓو ْا َأ َّن ٱهَّلل َ هُ َو يَ ۡقبَ ُل ٱلتَّ ۡوبَةَ ع َۡن ِعبَا ِدِۦه َويَ ۡأ ُخ ُذ ٱل‬
ِ َ‫ص َد ٰق‬
Artinya: Tidaklah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-
hambanya dan menerima zakat dan bahwasanya Allah Maha Penerima taubat lagi
Maha Penyayang (Q.S. Al-Taubah (9): 104).
Wahbah al-Zuhaili menjelaskan bahwa makna dari kalimat di atas adalah
kewajiban mengambil atau memungut harta dari orang-orang yang kaya, makna ini
merupakan pendapat para mayoritas fuqahâʽ dan ini merupakan pendapat yang benar.17
3. Ḥaq18, sebagaimana firman Allah swt:
ْ ُ‫وا ِمن ثَ َم ِر ِٓۦه ِإ َذٓا َأ ۡث َم َر َو َءات‬
َ ‫وا َحقَّهُ يَ ۡو َم َح‬
١٤١ ‫صا ِد ۖ ِهۦ‬ ْ ُ‫ُكل‬
Artinya: Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan
tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir
miskin) (Q.S. Al-Anʽâm (6): 141).

Penyaluran zakat hanya terbatas dan diperbolehkan pada delapan golongan.


Kedelapan golongan ini telah ditetapkan di dalam Alquran yang berbunyi:
‫ َسبِي ِل ٱهَّلل ِ َو ۡٱب ِن‬v‫ب َو ۡٱل ٰ َغ ِر ِمينَ َوفِي‬
ِ ‫ت لِ ۡلفُقَ َرٓا ِء َو ۡٱل َم ٰ َس ِكي ِن َو ۡٱل ٰ َع ِملِينَ َعلَ ۡيهَا َو ۡٱل ُمَؤ لَّفَ ِة قُلُوبُهُمۡ َوفِي ٱلرِّ قَا‬ُ َ‫ص َد ٰق‬
َّ ‫ِإنَّ َما ٱل‬
‫هَّلل‬ ‫هَّلل‬
٦٠ ‫يم‬ٞ ‫ض ٗة ِّمنَ ٱ ۗ ِ َوٱ ُ َعلِي ٌم َح ِك‬ َ ‫ٱل َّسبِي ۖ ِل فَ ِري‬
Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang
miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk

14
Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985), Juz II, h. 758.
15
Mu’inan Rafi’, Potensi Zakat (Yogyakarta: Citra Pustaka Yogyakarta, 2001), h. 27.
16
Ibn Hajar al-Asqalani, Fatḥ al-Bârî bi al-Syarḥ Ṣahîh al-Bukhârî (Beirut: Dār al-Fikr, 1996), Juz IV,
h. 5.
17
Wahbah al-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr fî al-ʽAqîdah wa al-Syarîʽah wa al-Minhâj (Damaskus: Dār al-
Fikr, 2009) Juz. VIII. h. h. 29.
18
Ibn Hajar al-Asqalani, Fatḥ al-Bârî bi al-Syarḥ Ṣahîh al-Bukhârî..., h. 8.
mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (Q.S Al-Taubah (9): 60).
Ayat di atas diawali dengan kalimat adâh al-ḥaṣr yaitu innamâ yang memiliki arti
bahwa pendistribusian zakat tidak diperbolehkan kecuali hanya untuk delapan aṣnâf
(golongan) yang telah disebutkan dalam ayat. 19 Secara garis besar ulama membagi delapan
golongan tersebut menjadi dua kategori, yaitu:20
1. Golongan yang disebutkan dalam menggunakan huruf lâm yang memiliki arti
kepemilikan, mereka adalah:
a. Faqîr.
b. Miskîn.
c. ‘Âmil.
d. Muallaf.
2. Golongan yang disebutkan dalam menggunakan huruf fî yang memiliki arti ẓarf (tempat),
mereka adalah:
a. Riqâb.
b. Gârim.
c. Sabîlillâh.
d. Ibn al-Sabîl.

Implementasi Pendistribusian Lembaga Amil Zakat (LAZ) Kota Bandar Lampung


Berikut ini akan dipaparkan secara singkat tentang bentuk pendistribusian dana zakat
untuk golongan fî sabîlillâh pada 4 Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang beroperasional di kota
Bandar Lampung, yaitu:
1. Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Kota Bandar Lampung

No. Program Distribusi Nominal/Unit Golongan


Mustahik
1 Bantuan perlengkapan sekolah: fȋ sabȋlillȃh
a. buku tulis a. 100 buku tulis
b. alat tulis b. 100 alat tulis
2 Beasiswa cendikia BAZNAS 10 mahasiswa tingkat D4 atau fȋ sabȋlillȃh
S1
3 Bantuan operasional TPA:
a. Al-Qur’an a. 100 Al-Qur’an fȋ sabȋlillȃh
b. Iqra’ b. 100 Iqra’
c. Meja Ngaji c. 100 Meja
4 Bisyaroh guru TPA 50 guru TPA fȋ sabȋlillȃh

Tabel di atas bertujuan memberikan informasi yang ringkas dan padat dan
menjelaskan fakta. Agar dapat memberikan kemudahan dalam membacanya, hal ini
dikarenakan data yang disajikan di dalam tabel tersebut telah disusun secara sistematis,
sehingga lebih mudah untuk dapat dimengerti.
2. Rumah Zakat Kota Bandar Lampung

No Program Distribusi Nominal/Unit Golongan Mustahik

19
Syaikh Abu Malik Kamal bin al-Sayyid Salim, Ensiklopedi Puasa dan Zakat, terjemahan Abu Syafiq
dkk (Solo: Roemah Buku Sidowayah, 2013) h. 249.
20
Mu’inan Rafi’, Potensi Zakat..., h. 49.
1 Senyum Juara (Pendidikan) 50 orang tingkat SD – S1 Fȋ Sabȋlillȃh

2 Senyum Lestari (Lingkungan) 100 porsi Fȋ Sabȋlillȃh

3 Senyum Mandiri (Ekonomi) 10 UMKM Fȋ Sabȋlillȃh

3. LAZNAS Dewan Da’wah Lampung

No Program Distribusi Nominal/ Unit Golongan Mustahik

1 Penerang Bangsa (DAUD Dana 500.000/Da’i Fȋ Sabȋlillȃh


Untuk Dakwah) atau Da’iyah

2 Sarana dakwah: a. 50 Buku


a. buku b. 10 Laptop
b. laptop c. 10 Handphone Fȋ Sabȋlillȃh
c. Handphone

3 Beasiswa M. Natsir 20 Orang untuk Fȋ Sabȋlillȃh


S1 dan S2

4. Gerakan Memakmurkan Masjid a. 25 Orang Fȋ Sabȋlillȃh


(GRAM) Marbot
b. 25 Guru TPA

5 Gerakan Memakmurkan Masjid 10 Masjid Fȋ Sabȋlillȃh


(Renovasi dan Sarana Prasarana)

4. LAZISMU

No Bentuk Pendistribusian Nominal/ Unit Golongan Mustahik

1 Laptop 20 Unit Fȋ Sabȋlillȃh

2 Alat Tulis 100 Buku Fȋ Sabȋlillȃh

18 Unit Fȋ Sabȋlillȃh
3 Handphone

4 Insentif Guru Ngaji dan Ustadz Rp. 500.000/bulan Fȋ Sabȋlillȃh

Hasil Penelitian dan Kesimpulan


1. Implementasi Mustahik Fȋ Sabȋlillȃh Dalam Pendistribusian Dana Zakat (Studi Pada
Lembaga Amil Zakat (LAZ) Kota Bandar Lampung)
Secara etimologi fȋ sabȋlillȃh terdiri dari tiga kata, fȋ berarti dalam (menunjukkan
keterangan tempat). Sabȋl berarti jalan, dan Allȃh, berarti Tuhan Allah. Secara bahasa fȋ
sabȋlillȃh berarti berada di jalan yang akan terhubung pada Allah swt.21 Seperti yang
dikatakan oleh Ibnu Atsir, bahwa asli kata sabȋl adalah jalan. Sabȋlullȃh atau jalan Allah
21
Zainuddin, Mukhtâr al-Ṣolâḥ (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyah, 1999), h. 141.
secara umum bermakna semua amal kebaikan yang ikhlas dilakukan semata-mata untuk
mendekatkan diri pada Allah swt dengan menunaikan ibadah wajib dan sunah. Akan tetapi
kata sabīlullah secara mutlak dapat diartikan sebagai jihad di jalan Allah, hal ini
dikarenakan penggunaan kata tersebut seringkali dimaknai sebagai jihad sehingga seakan-
akan makna tersebut adalah satu-satunya arti dari sabȋlullȃh.22
Pengertian ini juga mendapatkan atensi dari berbagai mazhab, yang akan diuraikan
secara rinci sebagai berikut:
a. Mazhab Ḥanafiyyah
Dalam mazhab Ḥanafiyyah terdapat dua riwayat mengenai pengertian fȋ
sabȋlillȃh. Kedua riwayat ini disandarkan kepada Imam Abu Hanifah. Yang pertama
diriwayatkan oleh Muhammad dan kedua diriwayatkan oleh Abu Yusuf. Namun, dari
kedua pendapat ini riwayat Abu Yusuf yang mu’tamad (sering digunakan), yaitu:
“fȋ sabȋlillȃh adalah: Orang fakir yang berperang. Abu Yusuf berpendapat kata fȋ
sabȋlillȃh dalam ayat 60 surat al-Taubah adalah khusus ditujukan kepada orang yang
berperang. Lafaz fȋ sabȋlillȃh dalam konteks mustaḥiq zakat tidak dapat dipergunakan
untuk pengertian yang umum, yaitu meliputi semua perbuatan yang menunjukkan
ketaatan, meskipun pada dasarnya semua ketaatan adalah fȋ sabȋlillȃh. Lebih lanjut Abu
Yusuf membatasi makna fȋ sabȋlillȃh dalam ayat 60 surat al-Taubah kepada orang
berperang yang fakir.
Dari penjelasan yang ada, penulis melihat makna fȋ sabȋlillȃh yang diberikan
Abu Yusuf masih terdapat kekaburan, yaitu apakah zakat pada golongan ini diberikan
kepada tentara sukarela, tentara yang mendapat gaji tetap dari pemerintah atau boleh
keduanya. Kemudian, apakah zakat dapat dipergunakan untuk membeli peralatan (baik
peralatan perang atau lainnya) yang digunakan dalam peperangan. Berdasarkan
keadaan ini, penulis berpendapat bahwa makna fȋ sabȋlillȃh yang diberikan Abu Yusuf
masih memerlukan penjelasan tambahan agar menjadi lebih sempurna.23
b. Mazhab Mâlikiyyah dalam tafsirnya, Ibnu ‘Arabi ketika menafsirkan fȋ sabȋlillȃh
menukil pendapat imam Malik, “sabȋlillȃh itu ada banyak makna, akan tetapi aku tidak
tahu perdebatan (pendapat lain) bahwa makna dari fȋ sabȋlillȃh di ayat ini adalah
berperang (di jalan Allah swt.)”.24
Dapat disimpulkan dari pendapat ulama mazhab Mâlikiyyah sebagai berikut:25
1) Ulama mazhab Mâlikiyyah sepakat bahwa fȋ sabȋlillȃh berkenaan dengan berperang
dan berjihad.
2) Mereka berpendapat bahwa pemberian zakat untuk tentara perang tanpa melihat
status ekonomi tentara yang berjihad.
3) Mayoritas ulama mazhab Mâlikiyyah membolehkan penggunaan dana zakat untuk
membeli perlengkapan perang seperti senjata, kendaraan kuda, pembangunan
tembok pertahanan/ benteng, kapal perang dan lain sebagainya.
c. Mazhab Syâfiʽiyyah
Dalam kitab al-Minhâj karya Imam Nawawi dan syarḥnya oleh Ibnu Hajar al-
Haitami, dijelaskan maksud dari fȋ sabȋlillȃh adalah tentara perang sukarelawan yang
tidak mendapatkan tunjangan dari pemerintah, atau seperti pendapat Ibnu Hajar, yaitu
tentara perang yang tidak mendapatkan bagian dari daftar gaji, tetapi mereka semata-
mata sukarelawan, mereka berperang bila dalam keadaan sehat dan kuat, dan bila tidak

22
Ibnu al-Atsir, Al-Nihâyah fȋ Garȋb al-Ḥadȋṡ wa al-Âṡâr (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabiy, t.t),
h. 338-339.
23
Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Zakâh..., h. 648.
24
Ibnu al-Araby, Aḥkâm al-Qur’ân, Juz. II (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003), h. 533.
25
Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Zakâh..., h. 651.
mereka kembali pada rutinitas harian mereka.26 Dalam kitab al-Rauḍah karya Imam
Nawawi lebih rinci menjelaskan, bahwa seorang tentara jihad diberi nafkah dan pakaian
sejak ia berangkat perang hingga ia pulang, serta ketika masih berada di medan
peperangan meskipun dalam waktu yang lama. Dalam bagian lain Imam Nawawi
berpendapat, bahwa seorang tentara harus diberi nafkah, untuk keluarganya, sejak ia
pergi berperang hingga ia pulang, juga nafkah ketika ia di medan perang.27
Dapat ditarik benang merah antara mazhab Mâlikiyyah dan Syâfiʽiyyah bahwa
mereka sepakat fȋ sabȋlillȃh dalam konteks zakat hanya untuk tentara perang. Sepakat
pula dalam pemberian harta zakat untuk tentara yang kaya, serta sepakat dalam
membolehkan menggunakan dana zakat untuk kebutuhan/peralatan perang.28
d. Mazhab Ḥanâbilah
Makna fȋ sabȋlillȃh di mazhab Ḥanâbilah seperti halnya di dalam mazhab
Syâfiʽiyyah, yaitu tentara perang sukarelawan yang tidak mendapatkan tunjangan
khusus dari pemerintah atau selainnya yang dapat memenuhi kebutuhan mereka, maka
mereka berhak mendapatkan bantuan dari harta zakat sesuai kebutuhan mereka
walaupun mereka termasuk orang kaya. Penjaga di perbatasan menurut mazhab
Ḥanâbilah sama seperti hal tentara perang lainnya.29 Disebutkan dalam kitab Gâyah al-
Muntahâ, bahwa imam diperbolehkan menggunakan harta zakat untuk membeli kuda
dan memberikannya kepada tentara perang. Meskipun tentara perang tersebut adalah
muzakkȋ itu sendiri yang membayar zakat mal, karena muzakkȋ tersebut telah terlepas
dari tanggungan saat menyerahkan harta yang dizakati. Dan diperbolehkan pula bagi
imam untuk membeli kendaran lain seperti kapal atau lainnya yang dapat digunakan
untuk berperang, karena hal itu termasuk kebutuhan tentara perang dan terdapat banyak
maslahat di dalamnya.30
Setelah melihat berbagai uraian-uraian di atas terkait dengan implementasi fȋ
sabȋlillȃh, baik dari segi pengertian, kriteria serta pendistribusiannya antara imam mazhab,
memang terdapat persamaan dan perbedaan dalam beberapa hal. Persamaan tersebut yaitu:
pertama, golongan fȋ sabȋlillȃh merupakan golongan yang berhak menerima zakat, hal ini
merujuk dan berdasarkan firman Allah swt dalam surat al-Taubah ayat 60. Kedua,
golongan fȋ sabȋlillȃh merupakan golongan yang berjihad berperang di jalan Allah swt.
Jalan Allah swt merupakan syarat diperbolehkan menerima zakat, jika golongan tersebut
tidak berjuang di jalan Allah, maka tidaklah boleh menerima bagian dari harta zakat.
Perbedaannya adalah yaitu: pertama, ketentuan lainnya adalah kondisi mustahik
itu sendiri, di mana Ḥanafiyyah mensyaratkan bahwa mustahik tersebut merupakan orang
fakir atau miskin. Hal ini berbeda dengan mazhab yang lain, di mana status fakir atau
miskin bukanlah merupakan suatu syarat untuk mendapatkan harta zakat bagi golongan
ini. Kedua, bentuk pendistribusian, dalam mazhab Ḥanafiyyah tidak dijelaskan secara
detail bentuk serta batasan pendistribusiannya, maksudnya ialah apakah zakat pada
golongan ini diberikan kepada tentara sukarela, tentara yang mendapat gaji tetap dari
pemerintah atau boleh keduanya. Kemudian, apakah zakat dapat dipergunakan untuk
membeli peralatan (baik peralatan perang atau lainnya) yang digunakan dalam
peperangan.

26
Imam Nawawi, Minhâj al-Ṭâlibȋn wa ‘Umdah al-Muftȋn fȋ al-Fiqh (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), h.
201.
27
Imam Nawawi, Rauḍah al-Ṭâlibȋn wa ‘Umdah al-Muftȋn, Juz. II (Beirut: al-Maktabah al-Islami,
1991), h. 327.
28
Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Zakâh..., h. 653.
29
Ibnu Qudamah, Al-Mugnȋ li Ibn al-Qudamâh, Juz. IV (Kairo: Maktabah Kairo, 1968), h. 21.
30
Al-Suyuthi, Maṭâlib Ȗlȋ al-Nuḥâ fȋ Syarḥ Gâyah al-Muntahâ, Juz. II (Beirut: al-Maktab al-Islami,
1994), h. 148.
Melihat uraian serta pembahasan terkait dengan implementasi fȋ sabȋlillȃh dan
pendistribusiannya, maka keempat LAZ tersebut dapat disimpulkan bahwa secara
keseluruhan keempat Lembaga Amil Zakat yang beroperasional di Bandar Lampung lebih
cenderung menggunakan mazhab Mâlikiyyah, Syâfiʽyyah dan Ḥanâbilah secara
pendistribusiannya, namun tidak pada pengertiannya. Pernyataan tersebut didukung
dengan uraian sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, di mana pendistribusian
dana zakat tidak hanya diberikan untuk perorangan mustahik saja, akan tetapi secara
praktek juga didistribusikan untuk segala fasilitas yang dapat membantu serta menopang
kebutuhan dan keperluan mustahik tersebut.
Jika dikaitkan dengan penelitian terdahulu, maka akan terlihat korelasinya yaitu
kontekstual mustahik zakat fȋ sabȋlillȃh dalam pembangunan pendidikan berkelanjutan.
Dalam penelitian tersebut dipaparkan mustahik zakat fȋ sabȋlillȃh dan pembangunan
pendidikan berkelanjutan memiliki kesenjangan dimensi agama dalam program-
programnya. Kesenjangan tersebut menjadi pertanyaan besar akan penggunan dana dan
kontribusi mustahik zakat fȋ sabȋlillȃh dalam pembangunan pendidikan berkelanjutan.
Program pendidikan pada pembangunan berkelanjutan mengandung dimensi hifẓ al-dȋn
dan al-‘aql. Di dalamnya terdapat jihad melawan kebodohan yang tergambar pada target-
targetnya. Peran mustahik zakat fȋ sabȋlillȃh yang diaktualisasikan dalam beasiswa dan
Kaderisasi Seribu Ulama masih terbatas pada akses pendidikan di tingkat perguruan
tinggi. Selain itu pendidikan juga merupakan representatif dari akal sehat manusia. Dalam
hal ini meluaskan makna tersebut, dengan dibuktikan bahwa pendistribusiannya dalam
bentuk beasiswa untuk sekolah dan kuliah, pengadaan fasilitas lainya seperti laptop, alat
tulis dan lain sebagainya agar mempermudah dan menunjang.
Ada beberapa alasan yang mendasar bagi keempat LAZ tersebut dalam
mendistribusikan zakat untuk golongan fȋ sabȋlillȃh dalam bentuk pendistribusian
sebagaimana yang telah disebutkan tadi. Adapun alasan tersebut adalah:
1. Pendapat Imam al-Maraghi dalam kitab tafsirnya Tafsîr al-Marâgî sebagai berikut:
ُ‫ َّزاة‬vv‫ ِه اَ ْل ُغ‬vvِ‫د ب‬vُ ‫را‬vv
َ ‫ ِه َو ْال ُم‬vvِ‫اتِ ِه َو َمثُوْ بَت‬vv‫ض‬ ِ ْ‫ق ْال ُمو‬
َ ْ‫ ُل ِإلَي َمر‬vv‫ص‬ vُ vvْ‫ َو الطَّ ِري‬vv‫بِ ْي ُل هَّللا ِ ه‬vv‫بِ ْي ِل هَّللا ِ( َو َس‬vv‫ َس‬v‫) َوفِي‬
ِ v‫كَ َج ِم ْي‬vvِ‫ ْد ُخ ُل فِي َذال‬vَ‫بِي ِْل هَّللا ِ َوي‬v‫ َل ْال َح َّج فِي َس‬v‫ َد َأنُّهُ َج َع‬v‫ام َأحْ َم‬v
‫ع‬v ِ v‫ي َع ِن ْاِإل َم‬
vَ ‫ َور ُِو‬.‫َو ْال ُم َرابِطُوْ نَ لِ ْل ِجهَا ِد‬
َ ِ‫و َذال‬vِ ْ‫اج ِد َونَح‬
‫ك‬ ِ ‫ر َو ْال ُحصُوْ ِن َو ِع َما َر ِة ْال َم َس‬vِ ْ‫ُوجُوْ ِه ْالخَ ْي َر ِم ْن تَ ْكفِي ِْن ْال َموْ تَي َوبِنَا ِء ْال ُجسُو‬
Artinya: Sabilillah ialah jalan yang menuju kepada ridha Allah dan meraih pahala-
Nya. Yang dimaksud 'sabilillah' ialah orang-orang yang berperang dan yang terkait
dengan perang. Diriwayatkan bahwa Imam Ahmad ra. memasukkan haji dalam arti
sabilillah, juga segala usaha ke arah kebaikan, seperti mengkafani mayat, membangun
jembatan dan benteng, memakmurkan masjid dan lain sebagainya.
2. Pendapat Imam al-Razi dalam kitab tafsirnya al-Tafsîr al-Kabîr sebagai berikut:
َ vَ‫ َذا ْال َم ْعنَي نَق‬vَ‫ فِلِه‬،‫زَ ا ِة‬vv‫لِّ ْال ُغ‬vv‫ ُر َعلَي ُك‬v‫ص‬
‫ل‬v ْ َ‫وْ ِجبُ ْالق‬vvُ‫ َسبِي ِْل هَّللا ِ الَ ي‬v‫َوا ْعلَ ْم َأ َّن ظَا ِه َر اللَّ ْف ِظ فِي قَوْ لِ ِه َوفِي‬
ِ v‫وْ ِه ْالخَ ْي‬vv‫ع ُو ُج‬v
‫ر ِم ْن‬v ِ v‫ت ِإلَي َج ِم ْي‬
ِ ‫ َدقَا‬v‫الص‬ َّ ‫ف‬ َّ ‫ا ُزوْ ا‬vv‫ا ِء َأنَّهُ ْم َأ َج‬vvَ‫ْض ْالفُقَه‬
vَ ْ‫ر‬v‫الص‬ ِ ‫ي ِْر ِه ع َْن بَع‬v‫ْالقَفَّا ُل فِي تَ ْف ِس‬
ِّ‫اج ِد َأِل َّن قَوْ لُهُ َوفِي َسبِي ِْل هَّللا ِ عَا ٌّم فِي ْال ُكل‬
ِ ‫تَ ْكفِ ْي ِن ْال َموْ تَي َوبِنَا ِء الُحصُوْ ِن َو ِع َما َر ِة ْال َم َس‬
Artinya: Ketahuilah bahwa “fî sabîlillâh” secara zhahir tidak terbatas pada bala
tentara. Atas pemahaman ini Imam al-Qaffal menukil pandangan sebagian fuqaha
dalam tafsirnya bahwa mereka membolehkan penyaluran zakat ke seluruh jalan
kebaikan mulai dari pengkafanan janazah, membangun benteng dan memakmurkan
masjid. Hal ini karena firman Allah “Wa fî sabîlillâh” bersifat umum.
3. Alasan yang ketiga adalah fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 23 Tahun 2020 Tentang
Pemanfaatan Harta Zakat, Infak, dan Shadaqah Untuk Penanggulangan Wabah Covid-
19 dan Dampaknya, dengan ketentuan:
a. Pendistribusian harta zakat kepada mustahik secara langsung dengan ketentuan
sebagai berikut:
1) Penerima termasuk salah satu golongan (asnaf) zakat, yaitu muslim yang fakir,
miskin, amil, muallaf, yang terlilit hutang, riqab, ibnu sabil, dan/atau fi sabilillah;
2) Harta zakat yang didistribusikan boleh dalam bentuk uang tunai, makanan pokok,
keperluan pengobatan, modal kerja, dan yang sesuai dengan kebutuhan mustahik;
3) Pemanfaatan harta zakat boleh bersifat produktif antara lain untuk stimulasi
kegiatan sosial ekonomi fakir miskin yang terdampak wabah.
b. Pendistribusian untuk kepentingan kemaslahatan umum, dengan ketentuan sebagai
berikut:
1) penerima manfaat termasuk golongan (asnaf) fi sabilillah
2) pemanfaatan dalam bentuk aset kelolaan atau layanan bagi kemaslahatan umum,
khususnya kemaslahatan mustahiq, seperti untuk penyediaan alat pelindung diri,
disinfektan, dan pengobatan serta kebutuhan relawan yang bertugas melakukan
aktifitas kemanusiaan dalam penanggulangan wabah.
Dan dalam mencari titik temu antara implementasi dalam pandangan imam mazhab
dan LAZ, penulis menemukan peluasaan makna dalam mengartikan dan memahami
implementasi fȋ sabȋlillȃh, yang di mana pada saat ini mengalami dinamisasi makna dari
waktu ke waktu yang tentunya berbeda makna pada masa sebelumnya. Tidak hanya itu
saja, pada saat ini dirasa sulit untuk menemukan delapan golongan mustahik zakat secara
keseluruhan sebagaimana yang termaktub dalam surat al-Taubah ayat 60.
Secara prosentase, dalam pemanfaatan harta tersebut, LAZ mendistribusikannya
untuk dibagikan kepada para mustahik dengan pemberian zakat tidak harus kepada 8
golongan apabila tidak terdapat secara utuh dalam satu wilayah, dan apabila dipandang
lebih mewujudkan kemaslahatan dengan hanya memberikan kepada fakir
miskin/mengutamakan skala prioritas. Oleh karenanya bagian atau porsi yang diberikan
untuk para mustahik akan berbeda di setiap tahunnya, hal yang demikian tentu saja
melihat dari keadaan dan kondisi mustahik itu sendiri. Sebagai contoh untuk tahun 2021,
pendistribusian untuk fakir dan miskin merupakan pendistribusian yang paling besar
secara nominal, namun untuk tahun berikutnya belum tentu terjadi, bisa saja untuk
golongan fȋ sabȋlillȃh merupakan golongan yang mendapatkan porsi yang lebih besar dari
mustahik lainnya.
Alasan pendistribusian tersebut, karena bagian masing-masing mustahik dalam
LAZ adalah pemenuhan hajat sesuai kebutuhannya sehingga tidak harus memiliki
porsentase tertentu. Karena sudah tentu, kebutuhan fakir miskin akan berbeda dengan
kebutuhan fȋ sabȋlillȃh, muʼallaf bahkan amil zakat itu sendiri.
2. Tinjauan Maqâṣid al-Syarȋʽah Terhadap Implementasi Mustahik Fȋ Sabȋlillȃh dalam
Pendistribusian Dana Zakat (Studi pada Lembaga Amil Zakat (LAZ) Kota Bandar
Lampung)
Maqȃṣid al-syarȋ‘ah dari segi kebahasaan adalah maksud atau tujuan disyariatkan
hukum Islam secara umum. Sedangkan menurut istilah, Ahmad al-Raisuni mengatakan
bahwa maqȃṣid al-syarȋ‘ah adalah tujuan-tujuan ditetapkan syari’at untuk kemaslahatan
hamba (manusia).31
Tujuan hukum Islam terletak pada bagaimana sebuah kemaslahatan bersama
tercapai. Ukuran kemaslahatan mengacu pada doktrin uṣȗl al-fiqh yang dikenal dengan
sebutan al-kulliyah al-khams (lima pokok pilar) atau dengan kata lain disebut dengan kata
lain disebut dengan maqȃṣid al-syarȋ‘ah (tujuan-tujuan universal syariah). Lima pokok
pilar tersebut adalah:
a. Ḥifẓ al-Dîn, memelihara agama. Memelihara agama yaitu memelihara dan
melaksanakan kewajiban agama yang masuk dalam kewajiban, seperti salat lima waktu.
31
Ahmad al-Raisuni, Nazhariyyat al-Maqashid ‘inda al-Imam al-Syathini, (Libanon: al-Mussasah al-
Jami’ah li Dirasat wa al-Nusyur wa al-Tauzi’, 1992), h. 15.
Kalau salat itu diabaikan, maka akan terancamlah eksistensi agama.
b. Ḥifẓ al-Nafs, perlindungan terhadap keselamatan jiwa. Yaitu memenuhi kebutuhan
pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Apabila kebutuhan pokok ini
diabaikan maka akan berakibat terancamnya eksistensi jiwa manusia.
c. Ḥifẓ al-‘Aql, perlindungan terhadap eksistensi akal. Yakni menghindari sesuatu yang
berakibat terancamnya eksistensi akal, seperti meminum minuman keras.
d. Ḥifẓ al-Nasl, perlindungan terhadap keturunan. Yakni sebagaimana disyariatkan nikah
dan dilarang berzina.
e. Ḥifẓ al-Mâl, perlindungan terhadap harta. Dalam syariat tentang tata cara pemilikan
harta dan larangan mengambil harta orang dengan cara yang tidak sah.
Berdasarakan pemaparan di atas terkait maqâṣid al-syarȋʽah, selanjutnya penulis
akan menguraikan dengan analisis terhadap tinjauan maqâṣid al-syarȋʽah terhadap
implementasi mustahik fȋ sabȋlillȃh dalam pendistribusian dana zakat berdasarkan apa
yang dilakukan oleh Lembaga Amil Zakat (LAZ) Kota Bandar Lampung.
Dalam implementasi pendistribusian ini, sudah terlihat jelas bahwa seluruh
kegiatan pendistribusian harus selaras dengan seluruh prinsip-prinsip syariat. Dan kasus
ini, kebaikan serta kemaslahatan sangat dirasakan, di mana saat ini kebutuhan umat
banyak sekali yang perlu dipenuhi, baik itu dari segi ekonomi, pendidikan, pemberdayaan
umat, dakwah dan advokasi.
Jika dilihat dari rumusan maqaṣid al-Syarîʽah ini dengan dikaitkan dengan
pendistribusian zakat terhadap asnaf fȋ sabîlillâh, maka penditribusian tersebut itu, paling
tidak dimaksudkan untuk menjaga tiga persoalan pokok. Ketiga persoalan itu adalah ḥifẓ
al-dîn, untuk memelihara agama, dan ḥifẓ al-‘aql, untuk menjaga akal.32
Menjaga agama (ḥifẓ al-dîn) dapat dibuktikan dengan cara mengerjakan seluruh
perintah Allah swt serta menjauhi segala larangannya. Hal yang demikian biasa dikenal
dengan ketakwaan kepada Allah swt. Perintah serta kewajiban zakat telah disebutkan di
dalam Alquran setidaknya sebanyak 30 kali dan 27 kali di antaranya disebutkan beriringan
dengan kata salat.33 Selain itu zakat juga dapat berfungsi sebagai kekuatan akidah umat,
yang kerap kali mendapatkan serangan ekonomi dari pihak-pihak tertentu yang berbentuk
iming-iming dan jaminan sosial serta dapat membentengi dari pemurtadan, hal yang
demikian sekelompok orang yang lemah secara finansial mudah tergoda dan terbujuk
dengan sejumlah harta.34 Kaitannya dengan pendistribusian zakat di keempat LAZ tersebut
aspek ḥifẓ al-dîn terlihat dari segi pemberian bantuan dalam bentuk beasiswa serta fasilitas
pendidikan berupa beasiswa bagi anak-anak sekolah maupun pendidikan di perguruan
tinggi, dan tidak hanya itu, berbagai fasilitas turut dipersiapkan. Bentuk pendidikan dapat
memberikan dampak yang sangat baik dalam membentengi umat dari kebodohan dan
meningkatkan pengetahuan umat, yang sangat berkaitan erat dengan ḥifẓ al-‘aql,
sebagaimana hasil analisis di atas, dalam hal fȋ sabîlillâh telah terjadi peluasan maknanya
karena pada saat ketika kata tersebut hanya dimaknai dengan perang angkat senjata maka
sudah tidak relevan dengan masa sekarang ini.
Diketahui bahwa di zaman modern seperti ini serangan-serangan orang kafir masih
ada yang menggunakan senjata seperti halnya peperangan-peperangan yang terjadi di
zaman dahulu. Akan tetapi dengan beriringnya kemajuan zaman serta teknologi yang
berkembang seperti sekarang ini, maka orang-orang kafir dalam memerangi Islam tidak
32
Yayat Hidayat, Zakat Profesi Solusi Mengentaskan Kemiskinan Umat (Bandung: Mulia Press, 2008),
h. 27.
33
Nasruddin & Dewani Romli, “Diskursus Implementasi Zakat dan Pajak di Indonesia”, Al-‘Adalah,
Vol. X, No. I, 2011, h. 77.
34
Agung Tri Pratama & Muhammad Zaki, Hak Kepemilikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
Kaitannya dengan Kewajiban Zakat (Studi Pada Regulasi Zakat di Indonesia), “Jurnal Asas”, Vol. 13, No. 2,
2021, dapat diakses pada: http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/asas/article/view/11277.
hanya dengan angkat senjata saja melainkan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi
untuk mempengaruhi pemikiran-pemikiran umat Islam agar jauh dari ajaran-ajaran Islam
sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Hal tersebut yang merupakan
alasan yang melatarbelakangi untuk meluaskan makna fȋ sabîlillâh.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa peluasan makna fȋ
sabîlillâh sesuai dengan nilai-nilai serta prinsip-prinsip dari maqaṣid al-Syarîʽah di mana
dalam hal ini sangat menguntungkan serta menciptakan kemaslahatan umat. Yang pada
implementasinya memiliki korelasi dengan penelitian terdahulu yang menunjukkan bahwa
fȋ sabȋlillȃh memiliki cakupan sangat luas dan masih umum. Fȋ sabȋlillȃh yang diartikan
sebagai di jalan Allah atau lebih jelas semua perbuatan yang dimaksudkan untuk
mendekatkan diri kepada Allah adalah sebuaah aktifitas yang masih sangat universal dan
multitafsir. Karena sifatnya yang umum ini pula sebab terjadinya perbedaan ulama dalam
mendefinisikan maksud yang sebenarnya.

Daftar Rujukan
‘Ali, Muhammad ‘Abd al-‘Athi Muhammad. 2007. Al-Maqâṣid al-Syarʽîyyah wa Aṡaruhâ fî
Fiqh al-Islâmî. Kairo: Dar al-Hadits.
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka
Cipta, 2010.
Asqalani, Ibn Hajar, al-. 1996. Fatḥ al-Bârî bi al-Syarḥ Ṣahîh al-Bukhârî. Beirut: Dar al-Fikr.
‘Atiyyah, Jamal al-Din. 2003. Naḥw Tafʽîl Maqâṣid al-Syarîʽah. Damaskus: Dar al-Fikr.
‘Audah, Yasir. 2006. Fiqh al-Maqâṣid: Inâṭât al-Aḥkâm al-Syarʽiyyah bi Maqâṣidihâ.
Herndon: Internasional Institute of Islamic Thought.
Baihaqi, Ahmad bin Husain, al-. 2003. Al-Sunan Al-Kubrâ. Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah.
Ba’li, Abdul Hamid, al-. 2006. Iqtiṣâdiyah al-Zakâh wa I‘tibâr al-Siyâsah al-Mâliyyah wa
al-Naqdiyyah, alih bahasa Muhammad Abqary Abdullah Karim. Jakarta: PT Raja
Grafindo.
Ghazzy, Ibn Qasim, al-. 2005. Fatḥ al-Qarîb al-Mujîb fî Syarḥ Alfâẓ al-Taqrîb. Beirut: Dar
Ibn Hazm. Qasimi, Muhammad Jamaludiin, al-. 1957. Maḥâsin al-Ta’wîl . Beirut: Dar
al-Fikr.
Hidayat, Yayat. 2008. Zakat Profesi Solusi Mengentaskan Kemiskinan Umat Bandung: Mulia
Press.
Hafidhuddin, Didin. 2002. Zakat Dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema Insani.
Kamal, Abu Malik. 2013. Ensiklopedi Puasa dan Zakat. Solo: Roemah Buku Sidowayah.
Ma’bari, Ahmad Zainuddin al-. 2004. Fath al-Muʽîn bi al-Syarḥ Qurrah al-‘Ain bi
Muhimmâti al-Dîn. Beirut: Dar Ibn Hazm, 2004.
Malik, ‘Abd bin ‘Abdullah. 1997. Al-Burhân fî Uṣȗl al-Fiqh . Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah.
M. Nazir. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003.
Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT Citra Aditya
Bakti.
Naisaburi, Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi, al-. 2010. Ṣaḥiḥ Muslim. Beirut: Dar al-Ihya’ al-
Turaṡ al-‘Arabi.
Nawawi, Muhyi al-Din bin Syarf, al-. 1998. Kitâb al-Majmȗʽ Syarḥ Muhażab li al-Syairâzî.
Jeddah: Maktabah al-Irsyad.
Nawawi, Ismail. 2017. Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer. Bogor: Ghalia Indonesia.
Qardawi, Yusuf, al-. 1973. Fiqh al-Zakâh. Beirut: Muassasah al-Risalah.
_________. 2008. Dirâsah fi Fiqh Maqâṣid al-Syarʽiyyah. Kairo: Dar al-Syuruq.
_________. 2005. Daur al-Zakâh fî ‘Ilâj al-Musykilât al-Iqtiṣâdiyyah. Kairo: Dar al-Syuruq.
Rafi’, Mu’inan. 2001. Potensi Zakat. Yogyakarta: Citra Pustaka Yogyakarta.
Raysuni, Ahmad, al-. 1999. Al-Fikr al-Maqâṣidî Qawâiʽduhu wa Fawâ’iduhu. t.t: Dar al-
Baidha’.
_________. 1995. Naẓâriyyât al-Maqâṣidî ‘ind Imâm al-Syâṭibî. Virginia: Al-Ma’had
al-‘Alam li al-Fikr al-Islami.
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Syafe’i, Rachmat. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Syahroni, Oni dkk. 2018. Fikih Zakat Kontemporer. Depok: Kharisma Putra Utama Offset.
Syairazi, Ibrahim bin Ishaq, al-. 1996. Kitâb al-Tanbîh fi Furȗʽ al-Fiqh al-Syâfiʽî. Beirut: Dar
al-Fikr.
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
Zuhaili, Wahbah, al-. 1985. Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh. Damaskus: Dar al-Fikr.
________. 2009. Tafsîr al-Munîr fî al-ʽAqîdah wa al-Syarîʽah wa al-Minhâj. Damaskus: Dar
al-Fikr.

Jurnal
Agung Tri Pratama & Muhammad Zaki, Hak Kepemilikan Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) Kaitannya dengan Kewajiban Zakat (Studi Pada Regulasi Zakat di
Indonesia), “Jurnal Asas”, Vol. 13, No. 2, 2021, dapat diakses pada:
http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/asas/article/view/11277.
Nasruddin & Dewani Romli. 2011. “Diskursus Implementasi Zakat dan Pajak di Indonesia”
Al-‘Adalah, Vol X, No. 1, (Bandar Lampung: Fakultas Syari’ah Universitas Islam
Negeri Raden Intan Lampung, 2011, (On-line), tersedia di:
http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/adalah/article/view/241.

You might also like