You are on page 1of 19

GURU PAK SEBAGAI FASILITATOR DALAM PEMBERIAN

SANKSI KONSTRUKTIF ATAS SISWA: STUDI KASUS DI SMP


NEGERI 7 PALANGKA RAYA

Nanda Monica
Institut Agama Kristen Negeri Palangka Raya
nandamonica2001@gnail.com

Abstract: The purpose of this study was to find out how teachers of Christian Religious
Education as facilitators in providing constructive sanctions against students at SMP
Negeri-7 Palangka Raya. The research method used in this research, namely
descriptive qualitative research method is library research, namely by collecting data
related to the themes discussed. While the form of research is a case study, which
includes an assessment aimed at providing a detailed description of the background,
nature and character of a case. students at SMP Negeri-7 Palangka Raya so far have
been very good and have been applied in schools for a long time, since the teacher
taught, where in terms of coaching the teacher must be an example for students and
directly also foster students to become better individuals . As a teacher of Christian
Religious Education, he always fosters every student so that they do not commit
violations in the school. Good sanctions are sanctions that can awaken students to
change their unfavorable behavior into disciplined and well-mannered students, and
this is the main achievement of teachers in implementing constructive sanctions in
schools. Related to obstacles in the application of Christian Religious Education
teacher development in providing constructive sanctions to students at SMP Negeri-7
Palangka Raya, so far there are no obstacles, because when the Christian Religious
Education teacher gives sanctions the students will receive the sanctions that have
been given.
Keywords: Facilitator, Christian Religious Education Teacher, Constructive Sanctions,
Students.

Abstrak: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana guru
Pendidikan Pendidikan Agama Kristen sebagai fasilitator dalam memberikan sanksi
konstruktif terhadap siswa di SMP Negeri-7 Palangka Raya. Metode penelitian yang
dipakai dalam penelitian ini, yaitu metode penelitian kualitatif deskriptif ini
bersifat penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan mengumpulkan
data-data yang berhubungan dengan tema yang dibahas. Sedangkan bentuk
penelitian adalah studi kasus, yang mencakup pengkajian bertujuan memberikan
gambaran secara mendetail mengenai latar belakang, sifat maupun karakter yang
ada dari suatu kasus.Berdasarkan hasil penelitian, menyatakan bahwa pembinaan
yang dilakukan oleh guru Pendidikan Agama Kristen sebagai fasilitator dalam
memberikan sanksi yang konstruktif terhadap siswa di SMP Negeri-7 Palangka Raya
sejauh ini sudah sangat baik dan sudah diterapkan di sekolah sejak lama, semenjak
guru mengajar, dimana dalam hal pembinaan tersebut guru tersebut harus menjadi
teladan bagi siswa dan secara langsung juga membina siswa agar menjadi pribadi
yang lebih baik lagi. Sebagai seorang guru Pendidikan Agama Kristen selalu
membina setiap peserta didik supaya mereka tidak melakukan pelanggaran-
pelanggaran yang ada di sekolah. sanksi yang baik adalah sanksi yang dapat
menyadarkan siswa untuk mengubah perilakunya yang kurang baik menjadi siswa
yang disiplin dan bertata krama, dan inilah capaian utama guru dalam menerapkan
sanksi konstruktif di sekolah.Terkait dengan kendala dalam penerapan pembinaan
guru Pendidikan Agama Kristen sebagai fasilitator dalam memberikan sanksi yang
konstruktif terhadap siswa di SMP Negeri-7 Palangka Raya, sampai saat ini tidak ada
kendala, karena ketika guru Pendidikan Agama Kristen memberikan sanksi siswa
akan menerima sanksi yang sudah diberikan tersebut.
Kata Kunci: Fasilitator, Guru Pendidikan Agama Kristen, Sanksi Konstruktif, Siswa.

Pendahuluan
Pendidikan pada dasarnya merupakan interaksi antara pendidik dengan siswa
untuk mencapai tujuan pendidikan yang berlangsung dalam lingkungan tertentu.
Interaksi tersebut merupakan suatu proses saling mempengaruhi antara pendidik
dan siswa. Dalam saling mempengaruhi ini peranan pendidik lebih besar, karena
kedudukannya sebagai orang dewasa, lebih berpengalaman, lebih banyak menguasai
nilai-nilai disiplin. Pendidikan di sekolah intinya adalah kegiatan proses
pembelajaran. Dalam proses pembelajaran guru memegang peranan utama dan
merupakan sesuatu yang penting, yang terkandung serangkaian perbuatan guru dan
siswa dididik secara langsung terjadi hubungan timbal balik antara guru dan siswa.
Ini adalah syarat utama bagi berlangsungnya proses pembelajaran. Dalam hubungan
itulah, seorang guru selalu berhadapan dengan sejumlah siswa didik yang
mempunyai ciri khas masing-masing secara ekstrim dikatakan bahwa sebenarnya
setiap siswa berbeda satu dengan lainnya.1
Secara umum, guru adalah orang yang mengajar siswa, membimbing siswa,
membina siswa dan memberikan pelajaran kepada siswa. Ada juga beberapa
peranan guru yang lain yaitu guru sebagai ahli, guru sebagai pengawas, guru sebagai
penghubung kemasyarakatan, guru sebagai pendorong. 2 Sehingga, guru mempunyai
tanggung jawab untuk melihat segala sesuatu yang terjadi dalam kelas untuk
membantu proses perkembangan siswa. Tetapi harus disadari guru hanya
merupakan salah satu di antara berbagai sumber dan media belajar oleh karena
itu guru hendaknya mampu membantu setiap peserta didik untuk secara efektif
dapat mempergunakan berbagai kesempatan belajar dan berbagai sumber media
belajar.3 Jika demikian guru merupakan faktor penting dalam menyukseskan
kegiatan belajar mengajar. Guru juga harus menjadi promotor dalam membangun
manusia indonesia seutuhnya untuk mendorong cita-cita bangsa Indonesia secara
nasional dan pembentukan karakter siswa secara khusus. Siswa didik yang
berkarakter akan dapat meningkatkan derajat dan martabat bangsa. 4
Dalam penelitian ini, akan dikaji terkait dengan pembinaan yang dilakukan oleh
guru sebagai fasilitator terhadap siswa dalam memberikan sanksi konstruktif
terhadap siswa, yang secara khusus dilakukan oleh guru Pendidikan Pendidikan
Agama Kristen di sekolah. Oleh sebab itu, perlu diketahui definisi dari pembinaan itu
sendiri. Pembinaan berasal dari kata bina, yang mendapat imbuhan pe-an, sehingga
menjadi kata pembinaan. Pembinaan adalah usaha, tindakan, dan kegiatan yang
dilakukan secara efisien dan efektif untuk memperoleh hasil yang lebih baik. 5

1
S. Saetban, “Peran Guru Pendidikan Agama Kristen Dalam Mendisiplinkan Siswa Di SMK Negeri 1
Naibonat,” Discreet: Journal Didache of Christian 1 no.2 (Desember 2021): 79.
2
B. Suryosubroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah (Jakarta: Rineka Cipta, 2019), 170-172.
3
Slameto, Belajar & Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Jakarta: Rineka Cipta, 2018), 98-99.
4
E. T Mbeo, & A. B Krisdiantoro, “Pembinaan Guru Pendidikan Agama Kristen Dalam Pendidikan
Karakter Peserta Didik Di Sekolah,” Didache: Jurnal Teologi Dan Pendidikan Kristiani 3 no.1 (Desember
2021), 19.
5
Pasaribu Simanjuntak, Membina dan Mengembangkan Generasi Muda (Bandung: Tarsito, 2019), 85.
Pembinaan merupakan proses, cara membina dan penyempurnaan atau usaha
tindakan dan kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh hasil yang lebih baik.
Pembinaan pada dasarnya merupakan aktivitas atau kegiatan yang dilakukan secara
sadar, terencana, terarah, dan teratur secara bertanggung jawab dalam rangka
penumbuhan, peningkatan dan mengembangkan kemampuan serta sumber-sumber
yang tersedia untuk mencapai tujuan. Pembinaan adalah upaya pendidikan formal
maupun non formal yang dilakukan secara sadar, terencana, terarah, teratur, dan
bertanggung jawab dalam rangka memperkenalkan, menumbuhkan, membimbing,
dan mengembangkan suatu dasar-dasar kepribadiannya seimbang, utuh dan selaras,
pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan bakat, kecenderungan atau keinginan
serta kemampuan-kemampuannya sebagai bekal, untuk selanjutnya atas prakarsa
sendiri menambah, meningkatkan dan mengembangkan dirinya, sesamanya maupun
lingkungannya ke arah tercapainya martabat, mutu dan kemampuan manusiawi yang
optimal dan pribadi yang mandiri.6
Sanksi adalah tanggungan (tindakan, hukuman, dan sebagainya) untuk memaksa
orang menepati perjanjian atau menaati ketentuan. Sedangkan konstruktif
didefinisikan sebagai sesuatu yang bersifat membina, memperbaiki dan membangun. 7
Guru Pendidikan Pendidikan Agama Kristen adalah dalam perspektif Kristen
yang memberikan pengajaran yang berkaitan dengan iman Kristen. Dengan kata lain,
guru Pendidikan Pendidikan Agama Kristen haruslah mengenal dan meneladani
Kristus sebagai guru besarnya karena disanalah letak dari iman Kristen. Guru
Pendidikan Pendidikan Agama Kristen adalah guru yang dipanggil oleh Tuhan dengan
tugas mulia, yaitu untuk menjadikan bangsa murid-Nya. Seorang guru Pendidikan
Pendidikan Agama Kristen harus dapat mendidik, mengajar dan membina siswanya
agar memiliki hubungan yang baik dengan Tuhan dan menanamkan nilai-nilai
Kristiani kepada siswa.8
Berdasarkan definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pembinaan yang
dilakukan oleh guru sebagai fasilitator terhadap siswa dalam memberikan sanksi
konstruktif terhadap siswa, yang secara khusus dilakukan oleh guru Pendidikan
Pendidikan Agama Kristen ini merupakan suatu pembinaan yang mengarah pada
siswa secara sadar, terencana, terarah, teratur, dan bertanggung jawab dalam rangka
memperkenalkan, menumbuhkan, membimbing, mendidik, mengajar, dan
mengembangkan suatu nilai-nilai Kristiani yang utuh dan selaras Firman Tuhan
sebagai bekal masa depan secara konstruktif.
Pembinaan guru Pendidikan Pendidikan Agama Kristen sebagai fasilitator dalam
memberikan sanksi yang konstruktif terhadap siswa ini sangatlah penting
dilakssiswaan dan dikembangkan dalam mewujudkan tanggung jawab guru
Pendidikan Pendidikan Agama Kristen di sekolah. Peningkatan pembinaan terhadap
guru Pendidikan Pendidikan Agama Kristen ini menitik beratkan pada peningkatan
kualitas pendidikan agama serta peningkatan moral dan etika. Peningkatan kualitas
Pendidikan Pendidikan Agama Kristen tidak terlepas dari bagaimana seorang guru
atau pendidik dalam mengajar, terlebihnya dalam memberikan suatu hukuman atau
sanksi dengan cara profesional, sehingga sifatnya dapat membangun karakter yang
baik bagi para siswa. Maka ada kaitannya dengan kode etik guru terhadap siswa,
dalam penerapan kode etik guru, sebagai guru Pendidikan Pendidikan Agama Kristen
6
Ibid,.
7
F. S Alwi, “Komunikasi, Guru Bk, Proses Belajar,” G-COUNS: Jurnal Bimbingan Dan Konseling 2 no.2
(April 2018), 262.
8
E. T Mbeo, & A. B Krisdiantoro, “Pembinaan Guru Pendidikan Agama Kristen Dalam Pendidikan
Karakter Peserta Didik Di Sekolah,”: 19-20.b
mestinya bertindak profesionalisme dalam melakssiswaan tugas mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, mengevaluasi perilaku para siswa
tersebut.9
Selain itu guru juga harus mampu menghormati martabat dan hak-hak siswa,
serta memperlakukan siswa secara adil dan objektif. Peran kode etik inilah yang
menjadi panduan bagi guru dalam melakssiswaan tugas dan tanggung jawab nya
sebagai pendidik yang profesional. Bertujuan dengan memberikan sanksi terhadap
siswa, pada tahun 2016 Mahkamah Agung memutuskan bahwa guru boleh
menghukum karena bertujuan mendisiplinkan siswa. Kemendikbud nomor 10 tahun
2017 juga menegaskan bahwa guru mendapat perlindungan hukum dari pihak-pihak
yang mengancam. Namun dibalik itu terdapat juga di dalam perundang-undangan,
memiliki komitmen yang bersamaan dengan adanya upaya pemerintah berusaha
melindungi siswa dengan UU Perlindungan Siswa.10
SMP Negeri-7 Palangka Raya yang berdiri sejak tahun 1993 yang beralamat di Jl.
Matal RT. 02 RW. 02 Kecamatan Sabaru ini merupakan salah satu sekolah menengah
atas yang menerapkan sanksi konstruktif terhadap siswa di sekolah. Hal tersebut
dilakukan, berdasarkan keterangan dari Ibu Langkis sebagai Kepala Sekolah agar
tercapainya suatu arahan atau sikap peduli guru terhadap siswa yang bersifat
membangun, hal ini dilakukan agar siswa lebih disiplin lagi terhadap peraturan-
peraturan yang ada di sekolah. Maka tujuan dari penelitian yang berjudul “Guru
Pendidikan Pendidikan Agama Kristen (PAK) Sebagai Fasilitator Dalam Pemberian
Sanksi Konstruktif Atas Siswa: Studi Kasus di SMP Negeri-7 Palangka Raya” ini, untuk
mengetahui bagaimana guru Pendidikan Pendidikan Agama Kristen sebagai
fasilitator dalam memberikan sanksi konstruktif terhadap siswa di SMP Negeri-7
Palangka Raya.

Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian yang berjudul “Pembinaan
Guru Pendidikan Pendidikan Agama Kristen Dalam Memberikan Sanksi Konstruktif
Terhadap Siswa di SMP Negeri-7 Palangka Raya” ini, adalah metode penelitian
kualitatif deskriptif dalam bentuk studi kasus. Adapun metode penelitian kualitatif
deskriptif bersifat penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan
mengumpulkan data-data yang berhubungan dengan tema yang dibahas. Tujuan
dari studi deskriptif kualitatif adalah ringkasan komprehensif, dalam persyaratan
sehari-hari, dari peristiwa tertentu yang dialami oleh individu atau kelompok
individu.11 Selain studi kepustakaan, dalam penelitian ini teknik pengumpulan data
juga dilakukan dengan cara observasi dan teknik wawancara melalui rekam suara
secara langsung.
Sedangkan bentuk penelitian adalah studi kasus. Studi kasus adalah penelitian
yang mencakup pengkajian bertujuan memberikan gambaran secara mendetail
mengenai latar belakang, sifat maupun karakter yang ada dari suatu kasus, dengan
kata lain bahwa studi kasus memusatkan perhatian pada suatu kasus secara intensif
dan rinci. Penelitian dalam metode dilakukan secara mendalam terhadap suatu

9
Andri Politon, “Strategi guru Pendidikan Agama Kristen Dalam Mempersiapkan Peserta Didik
Menghadapi Ujian Semester”. Harati: Jurnal Pendidikan Kristen 2 no. 1 (April 2022): 58.
10
Ibid, 59.
11
E. T Mbeo, & A. B Krisdiantoro, “Pembinaan Guru Pendidikan Agama Kristen Dalam Pendidikan
Karakter Peserta Didik Di Sekolah,”: 21.
keadaan atau kondisi dengan cara sistematis mulai dari melakukan pengamatan,
pengumpulan data, analisis informasi dan pelaporan hasil. 12
Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri-7 Palangka Raya yang berdiri sejak tahun
1993 yang beralamat di Jl. Matal RT. 02 RW. 02 Kecamatan Sabaru, dengan subjek
penelitian sebanyak tiga orang. Ketiga subjek penelitian merupakan guru Pendidikan
Pendidikan Agama Kristen di SMP Negeri-7 Palangka Raya. Penelitian ini dilakukan di
SMP Negeri-7 Palangka Raya karena memang saya sudah cukup mengenal sekolah ini,
dan satu lokasi dengan tempat saya tinggal dan menetap di Kota Palangka Raya dan
juga dari kebanyakan sekolah di sekolah ini menerapkan sanksi konstruktif terhadap
siswa di sekolah. Sehingga saya memilih lokasi penelitian di SMP Negeri-7 Palangka
Raya.

Hasil dan Pembahasan


Fasilitator
Istilah “memfasilitasi atau “memandu”, diartikan dapat sebagai suatu peranan
tertentu dalam sebuah kelompok, yang diasosiasikan dengan nilai-nilai tertentu pula.
Memfasilitasi berasal dari kata bahasa inggris “Facilitation” yang akar katanya berasal
dari bahasa latin “Facilis” yang mempunyai arti “membuat sesuatu menjadi mudah.
Secara umum pengertian “facilitation” (fasilitasi) dapat diartikan sebagai suatu
proses mempermudah sesuatu dalam mencapai tujuan tertentu. Dapat pula diartikan
sebagai melayani dan memperlancar aktivitas belajar peserta pelatihan untuk
mencapai tujuan berdasarkan pengalaman. Sedangkan orang yang mempermudah
disebut “fasilitator”.13
Fasilitator sebaya mendorong individu untuk menguji diri sendiri dan
menemukan jawaban sendiri dengan demikian membantu individu untuk mencapai
kesimpulan yang paling sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka. Fasilitator
harus menerapkan pengetahuan dan keterampilan dari guru mereka di kelas tutorial,
terutama di sesi diskusi kelompok. Diantara tugas-tugas penting fasilitator adalah
untuk membimbing peserta didik selama proses belajar dalam rangka memenuhi
keterlaksanaan pembelajaran. Selain itu, fasilitator harus berurusan dengan dinamika
kelompok, membangun proses pembelajaran yang menuntut peserta didik saling
bekerja sama. Silberman mengemukakan bahwa dalam mengenai proses kelompok
diantaranya, fasilitator dipilih sebagai pencatat waktu guna tepat berada di jalurnya
dan tepat waktu serta menjelaskan materi pembelajaran.14
Berdasarkan definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa fasilitator adalah
seorang tutor yang berperan sebagai pemandu dalam proses pembelajaran, bertugas
mempermudah kelompok untuk mencapai tujuan pembelajaran itu sendiri di sekolah.

Pembinaan
Pembinaan adalah suatu tindakan, proses, hasil atau pernyataan menjadi baik.
Dalam hal ini menunjukkan adanya kemajuan, peningkatan, atau pertumbuhan,
terjadinya evolusi atas berbagai kemungkinan, berkembang atau peningkatan
sesuatu. Lebih lanjut lagi dikatakan bahwa dua unsur dalam pengertian ini yakni
12
E. T Mbeo, & A. B Krisdiantoro, “Pembinaan Guru Pendidikan Agama Kristen Dalam Pendidikan
Karakter Peserta Didik Di Sekolah,”: 22.
13
Prihatin, “Pengaruh Karakteristik Individu, Gaya Kepemimpinan dan Budaya Organisasi terhadap
Kepuasan Kerja dan Komitmen Organisasi (Studi pada Pemerintah Daerah di Provinsi Sumatera
Utara”. Jurnal Aplikasi Manajemen. 7 no.2 (Februari 2018): 55.
14
Silberman, Active Learning 101 Cara Belajar Siswa Aktif (Bandung: Nuansa Cendekia, 2018), 254.
pembinaan itu bisa berupa suatu tindakan, proses, atau pernyataan tujuan, dan kedua
pembinaan menunjuk kepada perbaikan atas sesuatu.15
Pada dasarnya pembinaan adalah suatu tindakan yang diarahkan untuk
kemajuan, peningkatan atau perbaikan atas sesuatu. Lingkungan dunia usaha bahwa
pembinaan karyawan penting dilakukan untuk membentuk kepribadian yang berbudi
luhur, disamping itu untuk meningkatkan kecakapan, keterampilan dan keahlian
dalam menunjang kelancaran usaha.16
Pengertian pembinaan yang lain adalah suatu tindakan, proses, hasil atau
pernyataan menjadi lebih baik. Dalam hal ini menunjukkan adanya kemajuan,
peningkatan, pertumbuhan, evolusi atas berbagai kemungkinan, berkembang, atau
peningkatan atas sesuatu. Ada dua unsur dari pengertian ini yakni pembinaan itu
sendiri bisa berupa suatu tindakan, proses atau pernyataan dari suatu tujuan dan
kedua pembinaan itu bisa menunjukkan kepada perbaikan atas sesuatu.17
Berdasarkan pengertian-pengertian pembinaan diatas dapat disimpulkan bahwa
pembinaan merupakan determinan penting untuk memberikan daya atau kekuatan
manusia agar menjadi sumber tenaga yang profesional sebagaimana yang diarahkan
pada tujuan pembinaan itu sendiri.

Guru Pendidikan Agama Kristen


Pada dasarnya menjadi seorang guru Pendidikan Pendidikan Agama Kristen
tidaklah mudah. Sebagai seorang guru Pendidikan Pendidikan Agama Kristen harus
mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menjadi seorang pendidik yang dapat
diteladani siswa. Dengan keteladanan maka Pendidikan Pendidikan Agama Kristen
dapat menumbuhkan iman dan karakter siswa. Sebaliknya justru guru Pendidikan
Agama Kristen menjadi penghambat pertumbuhan iman dan karakter dari siswa
karena ketidak adanya keteladanan. Seperti ketika seorang guru melakukan tindakan
kekerasan kepada peserta didik sehingga mengakibatkan moralitas dan mental
pada siswa terbunuh secara perlahan. Permasalahan dalam dunia pendidikan harus
diakui bahwa hal tersebut tidak akan pernah ada habisnya, sehingga membuat para
ahli mengupayakan suasana pendidikan yang lebih baik. Maksud dari pendidikan itu
sendiri ialah untuk membantu siswa dalam pembentukan karakteristik yang akan
menjadi landasan dalam bersikap, menyusun strategi, metode dan teknik. Sehingga
guru Pendidikan Pendidikan Agama Kristen harus menghidupi misi pendidikan
Kristen itu sendiri.18
Seorang guru Pendidikan Pendidikan Agama Kristen yang mengajar bisa
menolong para peserta didiknya untuk mengenal Sang Pencipta (Allah), tidak hanya
sebatas itu, guru akan membantu agar peserta didik memiliki karakter serupa dan
segambar dengan Tuhan Yesus. Guru Pendidikan Pendidikan Agama Kristen
dimampukan menjadi teladan karena telah mengalami lahir baru dan dituntun oleh
Roh Kudus sehingga guru Pendidikan Pendidikan Agama Kristen memiliki peranan
yang besar untuk membentuk karakter siswa yang benar dan mengarahkan siswa
untuk mengerti tujuan hidup sesungguhnya. Sikap dan perilaku guru menjadi model
dan teladan bagi siswa untuk berperilaku, sehingga guru seharusnya memiliki
15
E. T Mbeo, & A. B Krisdiantoro, “Pembinaan Guru Pendidikan Agama Kristen Dalam Pendidikan
Karakter Peserta Didik Di Sekolah,”: 22.
16
Ibid, 23.
17
Ibid, 24.
18
Kalis Stevanus, & Nathanail Stepu, “Strategi Pendidikan Kristen Dalam Pembentukan Warga Gereja
Yang Unggul Dan Berkarakter Berdasarkan Perspektif Kristiani,” Sanctum Domine: Jurnal Teologi 10,
no. 1 (Desember 2020): 49–66.
karakter, etika dan moral yang baik dan benar. Mengajar bukan hanya sekedar
keterampilan dan pemberian informasi ilmu pengetahuan pada siswa, tetapi
mengajar lebih dari sekedar itu yaitu pembentukan karakter. Guru memegang peran
penting dan harus tampil menjadi figur yang mampu memberikan contoh yang baik
bagi peserta didiknya. Guru mempunyai tanggung jawab untuk melihat segala
sesuatu yang terjadi dalam kelas untuk membantu proses perkembangan siswa
didik.19 Seperti peribahasa “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, itu adalah
pepatah yang disampaikan betapa seorang guru bisa menjadikan siswa
didiknya memiliki karakter baik atau buruk.20
Guru merupakan tenaga pendidik yang pekerjaan utamanya mengajar,
mengarahkan, membimbing, dan mentransferkan ilmu, kepada siswa. Guru memiliki
peranan yang unik dan sangat komplek, selain sebagai pengajar guru sekaligus
sebagai pembimbing yang memberikan pengarahan dan menuntun peserta didik ke
cita-cita dan kepada kebaikan. Dalam sejarah pendidikan, guru merupakan sosok
teladan bagi siswa. Dengan demikian guru harus memiliki strategi atau cara yang baik
dalam mengajar. Menurut Mulyasa, guru adalah pendidik yang menjadi tokoh,
panutan dan identifikasi para siswa dan lingkungannya. Karena itulah harus memiliki
standar kualitas pribadi tertentu yang mencakup tanggung jawab, wibawa, mandiri,
dan disiplin.21
Guru Pendidikan Pendidikan Agama Kristen adalah seseorang yang
melaksanakan tugas mengajar dan mendidik di bidang Pendidikan agama kristen
dengan mengandalkan kemampuan dan karakter yang tinggi dan mengacu pada
sosok Yesus sebagai guru agung.22 Guru Pendidikan Pendidikan Agama Kristen
merupakan guru yang memberi pengajaran yang berkaitan dengan iman Kristen,
serta yang mempercayai Yesus Kristus dan meneladani-Nya sebagai pengajar dan
berlandaskan kepada Kitab Suci, dan seorang guru Pendidikan Pendidikan Agama
Kristen haruslah mengetahui dan hidup sesuai dengan firman Tuhan, karena tujuan
Pendidikan Pendidikan Agama Kristen berbeda dengan pelajaran umum lainnya
yaitu: pertama Memimpin murid selangkah demi selangkah kepada pengenalan yang
sempurna akan Allah dan Alkitab; kedua Membimbing murid dengan cara
menggunakan kebenaran-kebenaran asasi Alkitab untuk keselamatan hidup; ketiga
Mendorong mereka mempraktekkan asas-asas dasar Alkitab itu, supaya membina
suatu perangkai Kristen yang kukuh; dan yang keempat Meyakinkannya supaya
mengakui bahwa kebenaran-kebenaran dan asas-asas itu menunjukkan jalan untuk
pemecahan masalah-masalah kesusilaan, sosial dan politik. 23
Seperti yang tertulis dalam Amsal 22:6 dikatakan bahwa: “Didiklah orang muda
menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak menyimpang
daripada jalan itu.” Dari pengertian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa guru
Pendidikan Pendidikan Agama Kristen adalah seorang guru yang mengajar di bidang
Pendidikan Pendidikan Agama Kristen dimana pengajarannya berkaitan dengan iman

19
Recky Pangumbahas & Oey Natanael Winanto, “Membaca Kembali Pandangan Moralitas
Postmodernism Untuk Konteks Pendidikan Kristen (Re-Reading The Worldview Of Postmodernism
Morality For The Context Of Christian Education). QUAERENS: Journal of Theology and Christianity
Studies 3, no.1(2021): 73-74.
20
Sirait, ,Jannes Edward., dkk. “Misi Pendidikan Agama Kristen dan Problem Moralitas Anak,” Regular
Fidei: Jurnal Pendidikan Agama Kristen, vol 1, no 1 (2017): 116.
21
Mulyasa, Menjadi Guru Profesional (Bandung: PT Rosda Karya, 2017), 37.
22
Belandina, Guru dan Bingkai Materi Pendidikan Agama Kristen SD, SMP, SMA (Bandung: Bina Media
Informasi, 2018), 53.
23
Nainggolan, Menjadi Guru Agama Kristen (Bandung: Generasi Info Media, 2018), 17-19.
Kristen, mempercayai Yesus di dalam hidupnya, meneladani sikap Tuhan Yesus,
pengajarannya berlandaskan kitab suci, serta menyadari bahwa siswaadalah manusia
yang berharga di mata Tuhan.24
Untuk menjadi seorang guru Pendidikan Agama Kristen, tentunya ada syarat
dan ketentuan yang harus dipenuhi agar guru Pendidikan Pendidikan Agama
Kristen dapat bertumbuh menjadi guru yang baik. Seorang guru Pendidikan
Pendidikan Agama Kristen harus memiliki beberapa syarat yaitu: yang pertama
Seorang guru Pendidikan Pendidikan Agama Kristen harus mempunyai pengalaman
rohani, dimana ia sendiri perlu mengenal Tuhan Yesus, serta batinnya harus
dijamah dan diterangi oleh Roh kudus; kedua Seorang guru harus mempunyai
hasrat sejati untuk menyampaikan injil kepada sesamanya manusia, yang memiliki
dorongan yang kuat untuk mengantar orang lain kepada Yesus Kristus; ketiga
Seorang guru Pendidikan Pendidikan Agama Kristen perlu mengetahui bagaimana
iman bertumbuh dalam batin manusia dan bagaimana iman itu berkembang dalam
seluruh hidup orang percaya; keempat Seorang guru Pendidikan Pendidikan Agama
Kristen harus menunjukan kesetiaan yang sungguh kepada gerejanya, dimana ia
sendiri harus rajin mengambil bagian dari kebaktian dan pekerjaan gereja
umumnya, dan jangan hanya menaruh minat kepada tugasnya saja; kelima Seorang
guru Pendidikan Pendidikan Agama Kristen harus mempunyai pribadi yang jujur dan
tinggi mutunya.25
Syarat menjadi guru pendidikan agama Kristen, yaitu: pertama, lahir baru.
Seseorang yang lahir baru di sini di maksudkan adalah seseorang yang sudah percaya
kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi. 26 Seorang guru
Pendidikan Agama Kristen haruslah seseorang yang sudah mengalami dipersiswakan
pula (dilahirkan kembali) ini menjadi faktor pertama yang terpenting; kedua,
memiliki karakter Kristus. Seorang guru Kristen harus memiliki karakter Kristus,
yaitu karakter yang baik dan patut diteladani. Pembentukan karakter Kristen
membutuhkan kasih yang sungguh-sungguh, keadilan yang tegas, bijaksana untuk
mengatur keduanya, dan kebajikan serta keberanian untuk meneruskan seluruh
hidupnya. Berdasarkan kasih kepada Kristus maka seorang guru Pendidikan
Pendidikan Agama Kristen memiliki karakter Kristus dalam dirinya karena dia akan
rela untuk menjalani proses pembentukan demi pembentukan untuk suatu
perubahan karakter yang berkenan kepada Allah; ketiga, memiliki pengetahuan akan
kebenaran. Seorang guru harus mempunyai pengetahuan akan kebenaran dan segala
sesuatu yang diperlukan untuk menjadi bahan pendidikan yang cukup dan tepat.
Pengetahuan akan kebenaran di sini adalah kebenaran akan firman Tuhan, sehingga
dalam penyampaian materi kepada murid-murid tidak menyimpang dari kebenaran
firman Tuhan; keempat, harus memiliki suatu perasaan tanggung jawab. Tanggung
jawab ini merupakan suatu teladan yang dapat diberikan kepada murid-murid agar
mereka juga dapat belajar bertanggung jawab atas segala kebenaran yang sudah
didapatkan dari guru pendidikan agama Kristen; dan kelima, guru Pendidikan
Pendidikan Agama Kristen yang profesional. Guru profesional adalah pribadi yang
mampu melihat dirinya sebagai orang-orang terlatih, mengutamakan keutamaan

24
Mbeo, E. T., & Krisdiantoro, “Pembinaan Guru Pendidikan Agama Kristen Dalam Pendidikan Karakter
Peserta Didik Di Sekolah,”: 22
25
Homrighausen, Pendidikan Agama Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017), 165.
26
Andar Gultom, Profesionalisme, Standar Kompetensi, dan Pengembangan Profesi guru PAK (Bandung;
Bina Media Informasi, 2017), 29.
orang lain, dan taat pada etika kerja, serta selalu siap menempatkan diri dalam
memenuhi kebutuhan siswanya terlebih dahulu.27
Seorang guru Pendidikan Agama Kristen harus mendidik para siswa dan
menghantarkan mereka kepada tujuan dan tidak bertentangan kepada kebenaran
firman Tuhan.28 Namun di samping itu juga seorang pendidik kristen harus
mempunyai sikap nasionalisme yang tinggi dan berjiwa pancasila. Oleh sebab itu
seorang pendidik Pendidikan Agama Kristen harus berpedoman kepada dasar-dasar
atau kode etik guru Pendidikan Pendidikan Agama Kristen yang ada. Dasar-dasar
atau kode etik yang dimaksud adalah sebagai berikut: pertama, guru Pendidikan
Pendidikan Agama Kristen memiliki ketaatan dan kesetiaan kepada Tuhan Yesus
Kristus; kedua, guru Pendidikan Pendidikan Agama Kristen memiliki ketaatan dan
otoritas firman Tuhan; ketiga, guru Pendidikan Pendidikan Agama Kristen berbakti
untuk membimbing siswa menjadi manusia Indonesia seutuhnya yang taat dan takut
kepada Tuhan dan berjiwa Pancasila; keempat, guru Pendidikan Pendidikan Agama
Kristen memiliki dan melakssiswaan kejujuran profesionalitas; kelima, guru
Pendidikan Pendidikan Agama Kristen berusaha memperoleh informasi tentang
siswa sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan; keenam, guru
Pendidikan Pendidikan Agama Kristen secara pribadi dan bersama-sama
mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya; ketujuh, guru
Pendidikan Pendidikan Agama Kristen turut melakssiswaan kebijakan pemerintah
dalam bidang pendidikan; kedelapan, Pendidikan Pendidikan Agama Kristen dapat
menunjukan keteladanan dan seluruh aspek kehidupan.29
Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka penulis menyimpulkan bahwa
seorang guru Pendidikan Pendidikan Agama Kristen perlu mengenal Yesus secara
pribadi, memiliki pengetahuan yang cukup tentang iman Kristen dan hidupnya harus
dijamah oleh Roh Kudus agar dalam melakssiswaan tugasnya sesuai dengan
kehendak Tuhan. Guru Pendidikan Pendidikan Agama Kristen juga harus mempunyai
pengalaman rohani dan sangat perlu meneladani Yesus sebagai guru agung, dan
harus lahir baru, serta mempunyai suatu tanggung jawab terhadap tugasnya. Karena
kehidupan seorang guru Pendidikan Pendidikan Agama Kristen adalah pelajaran
terbaik dan nyata bagi siswa dalam melakukan pembinaan dalam hal memberikan
sanksi secara konstruktif pada siswa.

Sanksi Konstruktif (Sanksi Yang Membangun)


Sanksi adalah tanggungan (tindakan, hukuman, dan sebagainya) untuk memaksa
orang menepati perjanjian atau menaati ketentuan. Sanksi bias dikatakan juga
sebagai alat pemaksa untuk menegakkan hukum. Sanksi adalah alat pemaksa, dimana
sanksi memaksa menegakkan hukum atau memaksa mengindahkan norma-norma
hukum atau ketentuan yang berlaku. Sanksi dalam hukum yaitu terbagi menjadi dua
yaitu sanksi pidana dan sanksi tindakan. Sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif
terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif
terhadap pelaku perbuatan tersebut.30
27
Nainggolan, Menjadi Guru Agama Kristen, 25.
28
Andri Politon, “Strategi guru Pendidikan Agama Kristen Dalam Mempersiapkan Peserta Didik
Menghadapi Ujian Semester,” Harati: Jurnal Pendidikan Kristen 2 no.1 (2021); 58.
29
Sinaga, Niru Anita, “Kode Etik sebagai Pelaksanaan Profesi Hukum yang Baik,” Jurnal Ilmiah hukum
Dirgantara 10. no.2 (2020): 62-63.
30
F. S Alwi, “Komunikasi, Guru Bk, Proses Belajar,”: 262.
Setiap siswa harus mengalami dan menjalankan suatu proses perubahan yang
cukup lama, sebelum ia dapat hidup dengan tata cara hidup umum. Siswa harus
mengalami proses pendidikan agar kepribadiannya terbentuk dengan wajar,
mencerminkan sikap kejujuran, patuh, kebenaran, rendah hati, bertanggung jawab,
disiplin, dan sifat-sifat lainnya. Dalam mendidik siswa, terutama para remaja,
pendidikan mengambil peran penting dalam pembentukan karakter dan pegangan
falsafah hidup mereka. Sehingga siswa perlu belajar mendahulukan kewajiban-
kewajiban mereka sebagai siswa. Harus ada peraturan dan tata tertib serta sanksi
bagi siswa yang mengatur tingkah laku siswa tersebut.31
Sanksi adalah unsur-unsur sebagai unsur hukum yaitu ancaman penggunaan
paksaan dalam melakukan kekerasan fisik, otoritas resmi, penerapan ketentuan yang
secara teratur, dan reaksi masyarakat yang tidak spontan sifatnya. Sanksi merupakan
jaminan bagi diturutinya atau ditaatinya suatu norma yang berlaku. Sanksi juga
merupakan jaminan atau ancaman bagi pelanggar norma, yang dapat berfungsi untuk
memaksa bagi orang yang tidak mematuhi norma-norma. Jadi yang perlu
diperhatikan oleh sekolah adalah sanksi yang diterapkan agar bersifat mendidik dan
mebangun, tidak bersifat hukuman kekerasan fisik, diskriminasi, dan tidak
menimbulkan trauma psikologis bagi siswa 32
Berdasarkan definisi diatas dapat dikatakan bahwa sanksi adalah suatu
perbuatan yang dilakukan secara sadar dan sengaja oleh seseorang atau sekelompok
orang terhadap orang lain akibat dari kelalaian perbuatan atau tingkah laku yang
tidak sesuai dengan tata nilai yang berlaku dalam lingkungan hidupnya. Disinilah
pentingnya penerapan sanksi bagi siswa, dengan maksud memberikan pelajaran bagi
siswa sehingga ia dapat menerimanya sebagai suatu hal yang ditujukan terhadap
perilakunya bukan pribadinya. Namun perilaku guru yang memberikan sanksi dalam
bentuk kekerasan tidak mencerminkan kompetensi kepribadian nya sebagai guru
yang mendidik, membina, dan membimbing siswanya. Kompetensi kepribadian guru
memiliki indikator, diantaranya kepribadian mantap dan emosi yang stabil, guru
memberikan sanksi kepada siswa haruslah bersifat mendidik, bukan dengan
kekerasan diskriminatif. Siswa yang dianggap tidak tertib harus dibina dan berikan
sanksi berupa disiplin yang positif.
Konstruktif memiliki arti yang bersangkutan dengan konstruksi, yang bersifat
membina, memperbaiki, membangun, dan sebagainya. Sanksi yang bersifat
konstruktif ini mampu membina siswa-siswa (siswa), dan pentingnya sanksi yang
konstruktif ini karena bernilai positif yang sifatnya membangun karakter dan
perilaku baik terhadap siswa.33 Berbagai jenis bentuk sanksi yang konstruktif ini
dikalangan sekolah, yaitu berupa:
Pertama, mampu berpikir terbuka (open mind) yang mengarah kepada curiosity
(ingin tahu/kepo), sifat membangun bagi siswa ketika guru mampu memberikan
sanksi yang tidak terlepas dari pembentukan perilaku siswa atau menekankan lebih
ke sikap terbuka nya pemikiran siswa. Bentuk sanksi tersebut bukanlah bertujuan
mengarah ke hal yang negatif, tetapi sebagai upaya mendorong siswa agar mampu
menjadi pribadi yang memiliki disiplin dan memiliki kesadaran untuk menaati
peraturan sekolah. Peran guru disini adalah guru harus mampu mengembangkan
31
Ibid, 263.
32
Edym Bahapol & Youke Signal, “Mendidik Untuk Kehidupan Berdasarkan Kompetensi Guru Kristen
Di Indonesia (Education For Life Based On Christian Teacher Competence In Indonesia,” QUAERENS:
Journal of Theology and Christianity Studies2, no.1 (2020): 62-85.
33
A. Lambert Vickie & E. Lambert Clinton, “Qualitative Descriptive Research: An Acceptable Design,”
Pacific Rim International Journal of Nursing Research16, no.4 (2017): 255-256.
kemampuan berpikir dan rasa ingin tahu siswa mengapa sanksi atau peraturan ini
wajib ditaati dan dipatuhi. Karena faktor yang menentukan keberhasilan pendidikan
adalah guru. Guru yang mempunyai kewajiban membimbing dan memberikan sanksi
terhadap siswa atas dasar norma-norma yang berlaku, baik norma agama, adat,
hukum dan kebiasaan-kebiasaan lain.34
Kedua, open heart (membuka hati) yang mengarah kepada compassion, berpikir
sebelum bertindak harus menjadi prinsip utama bagi guru ketika memberikan
hukuman terhadap siswa, dan guru juga harus mampu memahami apa tujuan dari
hukuman yang diberikan tersebut. Sangat jarang ditemukan guru yang mampu
memberikan sanksi dengan hati yang penuh lemah lemah lembut. Ini perlu
diperhatikan, guru harus mampu memberikan hukuman tanpa melukai siswa, dengan
kata lain hukumlah sambil tetap memberikan kasih sayang, karena saat siswa
menyadari kesalahannya, siswa akan mampu menerima,serta bersikap terbuka
terhadap guru, sehingga siswa akan mampu menemukan cara untuk
memperbaikinya.35
Ketiga, open will yang mengarah pada courage, ketika guru memberikan sanksi
yang sesuai dengan apa yang dilanggar siswa terhadap peraturan tersebut, utamanya
yang perlu diperhatikan guru yaitu ajari siswa untuk bersikap jujur dan ajarlah
keberanian terhadap siswa untuk mengakui kesalahan yang diperbuat. Sehingga
ketika guru meminta siswa mengakui kesalahan atau pelanggaran yang telah
diperbuat, siswa memperoleh kemauan bersikap terbuka dan berani mengakui
kesalahan yang telah dilanggar. Bisa juga dengan memberikan rasa aman jangan
memaksa siswa mengakui kesalahan, karena bisa saja mereka akan semakin takut
ketika guru menyudutkan dan memaksakan mereka untuk mengakui kesalahan yang
telah diperbuat. Membina siswa sangat penting, dengan melatih mereka untuk mau
mengakui kesalahan, akan memberikan efek yang sangat baik untuk sikap dan
perilaku mereka. Dengan mengakui kesalahan adalah bentuk sikap terbukanya siswa
tersebut, sehingga dapat menjadikan mereka menjadi siswa yang berkarakter,
disiplin, dan berakhlak mulia.36
Berdasarkan definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sanksi konstruktif
adalah sanksi yang bersifat bersifat membina, memperbaiki, membangun, dan
sebagainya yang dilakukan oleh guru terhadap siswa di sekolah untuk membangun
karakter dan perilaku baik terhadap siswa. Dalam memberikan sanksi tentunya ada
banyak jenis-jenis sanksi yang diterapkan guna untuk membina para siswa.
Sanksi dapat diberikan secara bertahap dari yang paling ringan sampai yang
paling berat. Sanksi ini dapat berupa: pertama, teguran lisan atau tertulis bagi yang
melakukan pelanggaran ringan terhadap ketentuan sekolah yang ringan; kedua,
hukuman pemberian tugas yang sifatnya mendidik, misalnya membuat rangkuman
buku tertentu, menerjemahkan tulisan bahasa Inggris, menghafal ayat-ayat Alkitab,
menyanyikan lagu Rohani, dan lain sebagainya; ketiga, melaporkan secara tertulis
kepada orang tua siswa tentang pelanggaran yang telah dilakukan putra-putrinya;
keempat, memanggil yang bersangkutan bersama dengan orang tuanya agar yang
bersangkutan tidak mengulangi lagi pelanggaran yang diperbuatnya; dan kelima,

34
Edym Bahapol & Youke Signal, “Mendidik Untuk Kehidupan Berdasarkan Kompetensi Guru Kristen
Di Indonesia (Education For Life Based On Christian Teacher Competence In Indonesia),” QUAERENS:
Journal of Theology and Christianity Studies2, no.1 (2020): 62.
35
Ibid, 63.
36
Ibid,64.
melakukan skorsing kepada siswa apabila yang bersangkutan melakukan pelanggaran
peraturan sekolah berkali-kali dan cukup berat.37
Sanksi dapat dilakukan kapan saja oleh guru, apabila ia berada disekolah. Disini
hal yang paling penting adalah dampak dari sanksi, baik terhadap siswa yang berlaku
tidak disiplin, maupun terhadap siswa yang lain. Pengaruh pemberian sanksi
berkaitan dengan perilaku siswa yang diinginkan setelah pemberian sanksi terhadap
pelanggaran yang telah diperbuat siswa, pengaruh sanksi tidak hanya dilihat dari
siswa yang menerimanya tetapi juga terhadap siswa lainnya.

Pengaruh Pemberian Sanksi Konstruktif Terhadap Kedisiplinan Siswa


Kata konstruktif memiliki arti sebagai sesuatu yang bersifat membina,
memperbaiki, membangun, dan sebagainya. Artinya sanksi ini tidak ada kesamaan
dengan sanksi yang destruktif, justru malah menyelesaikan masalah dengan secara
bijaksana dan dapat menyelesaikan masalah dengan baik antar kedua belah pihak
(guru dan siswa). Setiap guru memberikan sanksi terhadap siswa, agar siswa mampu
menerima sanksi tersebut sehingga setiap konflik dapat diselesaikan tidak perlu
dengan melakukan yang namanya suatu hukuman berupa tindakan kekerasan
terhadap siswa. Sanksi diperlukan dalam meningkat kedisiplinan dan mendidik siswa
supaya mentaati peraturan dan tata tertib yang berlaku di dalam sekolah tersebut. 38
Pemberian sanksi adalah salah satu indikator yang mempengaruhi tingkat
kedisiplinan siswa. Pemberian sanksi yang diberikan guru terhadap siswa adalah
pemberian motivasi dalam bentuk yang sifatnya membangun karakter disiplinnya
siswa. Pemberian sanksi termasuk dalam bentuk disiplin korektif dan pada disiplin
korektif ini siswa yang nyata-nyata telah melakukan pelanggaran peraturan terhadap
ketentuan yang berlaku atau gagal memenuhi standar yang telah ditetapkan. Tujuan
pemberian sanksi konstruktif ini adalah untuk memperbaiki kedisiplinan peserta
didik (siswa) yang melanggar, memberikan pelajaran yang positif buat pelanggar,
serta memelihara peraturan yang berlaku. Karena peraturan yang telah dibuat
sekolah tanpa dibarengi pemberian sanksi atau hukuman yang tegas bagi
pelanggarnya bukan menjadi alat pendidik yang baik bagi guru pada khususnya. 39

Guru Pendidikan Agama Kristen Sebagai Fasilitator Dalam Pemberian Sanksi


Konstruktif Terhadap Siswa di SMP Negeri-7 Palangka Raya
Pembinaan guru Pendidikan Agama Kristen sebagai fasilitator dalam
memberikan sanksi konstruktif terhadap siswa di SMP Negeri-7 Palangka Raya
sejauh ini dilakukan sangat baik oleh guru Pendidikan Agama Kristen sebagai
fasilitator di di SMP Negeri-7 Palangka Raya ini. Hal ini dibuktikan dengan
dilakukannya wawancara secara langsung bersama dengan guru Pendidikan Agama
Kristen sebagai fasilitator di di SMP Negeri-7 Palangka Raya dengan cara rekam suara
pada Jumat, 23 September 2022. Dalam pengumpulan data melalui wawancara ini,
dilakukan terhadap tiga orang subjek sebagai key informan peneliti, yakni Ibu
Halimah, Bapak Daniel, dan Bapak Yohanes.

37
Edym Bahapol & Youke Signal,, “Mendidik Untuk Kehidupan Berdasarkan Kompetensi Guru Kristen
Di Indonesia (Education For Life Based On Christian Teacher Competence In Indonesia),”: 65.
38
Edo Dwi Cahyo, “Pendidikan Karakter Guna Menanggulangi Dekadensi Moral Yang Terjadi Pada
Siswa Sekolah Dasar,” EduHumaniora: Jurnal Pendidikan Dasar Kampus Cibiru 9, no. 1 (2017): 16.
39
F.S. Alwi, “Komunikasi, Guru Bk, Proses Belajar,”: 263.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap IbU Halimah, terkait dengan
pembinaan guru Pendidikan Agama Kristen sebagai fasilitator dalam memberikan
sanksi yang konstruktif terhadap siswa di SMP Negeri-7 Palangka Raya, menyatakan
bahwa:
“Pembinaan yang dilakukan oleh kami, sebagai guru Pendidikan Agama Kristen
sebagai fasilitator dalam memberikan sanksi yang konstruktif terhadap siswa di
SMP Negeri-7 Palangka Raya sejauh ini sepertinya sudah sangat baik dan sudah
diterapkan di sekolah semenjak guru mengajar, dimana dalam hal pembinaan
tersebut guru tersebut harus menjadi teladan bagi siswa dan secara langsung
juga membina siswa agar menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Keberhasilan
kami dalam menerapkan pembinaan sanksi yang konstruktif terhadap siswa ini
dapat dilihat dari berkurangnya masalah-masalah kenakalan siswa di sekolah,
yang sejauh ini sudah jarang terjadi. Sejauh ini, tidak ada kendala yang
dihadapi dalam penerapan pembinaan guru Pendidikan Agama Kristen sebagai
fasilitator dalam memberikan sanksi yang konstruktif terhadap siswa di SMP
Negeri-7 Palangka Raya, karena setiap siswa melakukan pelanggaran maka
langsung akan ditindak tegas oleh guru. Dengan adanya penerapan pembinaan
guru Pendidikan Agama Kristen sebagai fasilitator dalam memberikan sanksi
yang konstruktif terhadap siswa di SMP Negeri-7 Palangka Raya ini, sangat
berdampak bagi karakter siswa.”40

Pernyataan lain dalam wawancara juga disampaikan oleh Bapak Daniel, terkait
dengan pembinaan guru Pendidikan Agama Kristen sebagai fasilitator dalam
memberikan sanksi yang konstruktif terhadap siswa di SMP Negeri-7 Palangka Raya,
menyatakan bahwa:
“Pembinaan yang dilakukan oleh kami, sebagai guru Pendidikan Agama Kristen
dalam memberikan sanksi yang konstruktif terhadap siswa di SMP Negeri-7
Palangka Raya sudah diterapkan sejak lama. Hal ini dilakukan karena guru
Pendidikan Agama Kristen bukan hanya mengajar tetapi mampu menjadi
panutan untuk peserta didiknya, sehingga semua peserta didik dilakukan dalam
bentuk pembinaan dalam memberikan sanksi yang konstruktif. Sanksi tersebut
berupa adanya peraturan-peraturan yang jelas dan terarah. Contohnya,
kedisiplinan pada siswa harus dilakukan, salah satunya adalah menerapkan
sanksi yang bersifat membangun, sanksi yang diberikan harus masuk akal dan
adanya konsekuensi jika peraturan tata tertib dilanggar. Sanksi merupakan
peraturan atau perundang-undangan yang disepakati secara tertulis. Apabila
terdapat pelanggaran terhadap peraturan tata tertib, maka siswa akan
menerima sanksi atau hukuman sesuai dengan tindakan pelanggaran yang
dilakukannya. Sehingga sanksi atau hukuman disini adalah balasan setimpal
atau konsekuensi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh siswa dalam
bentuk yang positif. Contoh lain, misalnya jika sering terjadinya keterlambatan
siswa pada jam pertama pelajaran, maka diadakan bimbingan konseling
dengan tujuan untuk mengurangi adanya keterlambatan siswa pada saat masuk
jam pelajaran. Begitu juga dengan kelalaian dalam mengerjakan tugas, maka
akan diberikan sanksi dengan menghafal Doa atau ayat hafalan yang ada di
dalam Alkitab. Maka sebab itu diperlukan adanya keseimbangan antara
penghargaan dan hukuman, jika hanya penghargaan atau hukuman yang
diberlakukan, maka siswa tidak akan pernah belajar tentang banyak hal yang
40
Halimah, wawancara oleh Penulis, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Indonesia, 23 Oktober 2022.
perlu dipelajari dalam hidupnya. Sejauh ini, kendala yang dihadapi dalam
penerapan pembinaan guru Pendidikan Agama Kristen sebagai fasilitator dalam
memberikan sanksi yang konstruktif terhadap siswa di SMP Negeri-7 Palangka
Raya adalah ketika sebagian siswa tidak bisa menjalankan sesuai dengan sanksi
yang diberikan oleh guru. Dengan adanya penerapan pembinaan guru
Pendidikan Agama Kristen sebagai fasilitator dalam memberikan sanksi yang
konstruktif terhadap siswa di SMP Negeri-7 Palangka Raya ini, sangat
berdampak baik terhadap perilaku siswa.”41

Selanjutnya wawancara yang dilakukan terhadap Bapak Yohanes, terkait dengan


pembinaan guru Pendidikan Agama Kristen sebagai fasilitator dalam memberikan
sanksi yang konstruktif terhadap siswa di SMP Negeri-7 Palangka Raya, menyatakan
bahwa:
Pembinaan yang dilakukan oleh kami, sebagai guru Pendidikan Agama Kristen
dalam memberikan sanksi yang konstruktif terhadap siswa di SMP Negeri-7
Palangka Raya sejauh ini sudah diterapkan oleh kami sebagai guru di sekolah
ini, terutama sebagai seorang guru Pendidikan Agama Kristen selalu membina
setiap peserta didik supaya mereka tidak melakukan pelanggaran-pelanggaran
yang ada di sekolah. Sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh siswa harus
sesuai dengan perkembangan dan harus dilakukan secara adil yang dapat
mendorong siswa sadar akan kesalahan yang telah siswa perbuat, sehingga
tidak akan mengulanginya lagi. Jika tidak, maka dapat menimbulkan kebencian
para siswa terhadap guru yang memberi sanksi tersebut. Sanksi ini juga harus
mampu mendorong siswa untuk menyesuaikan diri dengan harapan sosial di
masa berikutnya. Sanksi atau konsekuensi harus bersifat logis, karena sanksi
yang terlalu kejam juga menimbulkan rasa bersalah dan bisa saja melanggar
peraturan perundang-undangan yang tertulis. Namun sanksi yang baik adalah
sanksi yang dapat menyadarkan siswa untuk mengubah perilakunya yang
kurang baik menjadi siswa yang disiplin dan bertata krama, dan inilah capaian
utama guru dalam menerapkan sanksi konstruktif di sekolah. Terkait dengan
kendala dalam penerapan pembinaan guru Pendidikan Agama Kristen sebagai
fasilitator dalam memberikan sanksi yang konstruktif terhadap siswa di SMP
Negeri-7 Palangka Raya, sampai saat ini tidak ada kendala, karena ketika saya
selaku guru Pendidikan Agama Kristen apapun sanksi yang saya berikan
tersebut mau tidak mau siswa harus mampu menerima sanksi yang sudah saya
berikan terhadap mereka. Dengan adanya penerapan pembinaan guru
Pendidikan Agama Kristen sebagai fasilitator dalam memberikan sanksi yang
konstruktif terhadap siswa di SMP Negeri-7 Palangka Raya ini, sangat
berdampak baik bagi perilaku dan karakter siswa.”42

Berdasarkan hasil wawancara diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pembinaan


yang dilakukan oleh guru Pendidikan Agama Kristen dalam memberikan sanksi yang
konstruktif terhadap siswa di SMP Negeri-7 Palangka Raya sejauh ini sudah sangat
baik dan sudah diterapkan di sekolah sejak lama, semenjak guru mengajar, dimana
dalam hal pembinaan tersebut guru tersebut harus menjadi teladan bagi siswa dan
secara langsung juga membina siswa agar menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
41
Daniel, wawancara oleh Penulis, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Indonesia, 23 Oktober 2022.
42
Yonaes, wawancara oleh Penulis, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Indonesia, 23 Oktober 2022.
Sebagai seorang guru Pendidikan Agama Kristen selalu membina setiap peserta didik
supaya mereka tidak melakukan pelanggaran-pelanggaran yang ada di sekolah.
Berbicara mengenai kontribusi guru atas sanksi yang memang tak terhindarkan
dalam dunia pendidikan, beberapa muncul respons logis siswa atas sanksi tersebut.
Saya melihat berdasarkan narasi guru atas sanksi tersebut, ada yang kuatir mengenai
subjek didiknya, misalnya, berikut narasinya:
“Jika sanksi tersebut tidak diterapkan oleh guru maka siswa itu akan berbuat
semena-mena dan tidak akan menghormati seorang guru.” 43

Adanya anggapan tersebut, menurut saya, mempunyai multi makna atas


kekuatiran guru terhadap siswanya. Mungkin ada siswa yang menurut, atau patuh
atas konfirmasi, respons dan/atau informasi dari guru yang bersangkutan. Saya
tertarik dengan tulisan yang disampaikan oleh Alfonso Munte, “Contribution of
Obedience According to Hannah Arendt Philosophy towards Terrorist Women in
Indonesia” namun, konteksnya tentang teroris dan ketaatan dan ada penambahan
dari Hannah Arendt. Munte beranggapan bahwa tidak selamanya ketaatan atau/dan
kepatuhan itu menjadi penting dalam hal segala sesuatu. Jutsu, dalam tulisan Munte,
itu malah membahayakan (Munte & Natalia, 2022:56-58). Apalagi menurut saya, jika
muara sanksi hanya difokuskan pada ketaatan siswa, saya curiga sekaligus kuatir atas
hasil yang didapatkan dari konsekuensi logis dari sanksi itu sendiri.
Lalu, mengenai penerapan pembinaan guru Pendidikan Agama Kristen sebagai
fasilitator dalam memberikan sanksi yang konstruktif terhadap siswa di SMP Negeri-
7 Palangka Raya, dikatakan oleh Bapak Yohanes dalam narasi, bahwa:
“Dalam penerapan pembinaan guru Pendidikan Agama Kristen sebagai
fasilitator dalam memberikan sanksi yang konstruktif terhadap siswa di SMP
Negeri-7 Palangka Raya, sampai saat ini tidak ada kendala, karena ketika saya
selaku guru Pendidikan Agama Kristen apapun sanksi yang saya berikan
tersebut mau tidak mau siswa harus mampu menerima sanksi yang sudah saya
berikan terhadap mereka.”44

Dalam pernyataan Bapak Yohanes diatas, bisa kita lihat juga penyataan Munte
dalam konteks tentang teroris dan ketaatan dan ada penambahan dari Hannah
Arendt, bahwa:
“Seseorang mampu melakukan kekerasan seperti genosida, penindasan,
penyiksaan bahkan menghilangkan hak asasi manusia untuk hidup tanpa
berpikir ulang atau berpikir kritis dampaknya. Kekerasan tersebut berasal dari
tunduknya oknum kepada penguasa absolut. Penundukan menandai ketaatan
terhadap perintah tanpa berpikir panjang. Motivasi dan kesadaran atas tindak
teror menjadi sesuatu yang biasa.”45

Melalui dua pernytaan diatas, maka dapat diketahui juga dalam hal tulisan yang
disampaikan oleh Alfonso Munte, “Contribution of Obedience According to Hannah
Arendt Philosophy towards Terrorist Women in Indonesia” bahwa kekerasan berasal
dari tunduknya oknum kepada penguasa absolut. Penundukan menandai ketaatan
terhadap perintah tanpa berpikir panjang (Munte & Natalia, 2022:58). Apakah hal
43
Halimah, wawancara oleh Penulis, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Indonesia, 23 Oktober 2022.
44
Yohanes, wawancara oleh Penulis, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Indonesia, 23 Oktober 2022.
45
Alfonso Munte & Desi Natalia, “Contribution of Obedience According to Hannah Arendt Philosophy
Towards Terrorist Women in Indonesia,” Al Huwiyah: Jurnal Pusat Studi Gender dan Anak 2, no 1
(2022): 58.
tersebut juga dapat memicu kekerasan atas penerapan sanksi kinstruktif yang
diberikan oleh guru terhadap siswa di sekolah dilakukan dengan cara “mau tidak
mau siswa harus mampu” menerima sanksi yang sudah diberikan terhadap mereka.
Jawabannya, terletak pada narasi yang disampaikan oleh Bapak Daniel dan Bapak
Yohanes, bahwa pembinaan yang dilakukan sebagai guru Pendidikan Agama Kristen
dalam memberikan sanksi yang konstruktif terhadap siswa di SMP Negeri-7
Palangka Raya dilakukan karena guru Pendidikan Agama Kristen bukan hanya
mengajar tetapi mampu menjadi panutan untuk peserta didiknya, sehingga semua
peserta didik dilakukan dalam bentuk pembinaan dalam memberikan sanksi yang
konstruktif. Sanksi tersebut berupa adanya peraturan-peraturan yang jelas dan
terarah.
“Contohnya, kedisiplinan pada siswa harus dilakukan, salah satunya adalah
menerapkan sanksi yang bersifat membangun, sanksi yang diberikan harus
masuk akal dan adanya konsekuensi jika peraturan tata tertib dilanggar. Sanksi
merupakan peraturan atau perundang-undangan yang disepakati secara
tertulis. Apabila terdapat pelanggaran terhadap peraturan tata tertib, maka
siswa akan menerima sanksi atau hukuman sesuai dengan tindakan
pelanggaran yang dilakukannya. Sehingga sanksi atau hukuman disini adalah
balasan setimpal atau konsekuensi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh
siswa dalam bentuk yang positif.”46

“Contoh lain, misalnya jika sering terjadinya keterlambatan siswa pada jam
pertama pelajaran, maka diadakan bimbingan konseling dengan tujuan untuk
mengurangi adanya keterlambatan siswa pada saat masuk jam pelajaran.
Begitu juga dengan kelalaian dalam mengerjakan tugas, maka akan diberikan
sanksi dengan menghafal Doa atau ayat hafalan yang ada di dalam Alkitab.
Maka sebab itu diperlukan adanya keseimbangan antara penghargaan dan
hukuman, jika hanya penghargaan atau hukuman yang diberlakukan, maka
siswa tidak akan pernah belajar tentang banyak hal yang perlu dipelajari dalam
hidupnya. Sejauh ini, kendala yang dihadapi dalam penerapan pembinaan guru
Pendidikan Agama Kristen sebagai fasilitator dalam memberikan sanksi yang
konstruktif terhadap siswa di SMP Negeri-7 Palangka Raya adalah ketika
sebagian siswa tidak bisa menjalankan sesuai dengan sanksi yang diberikan oleh
guru. Dengan adanya penerapan pembinaan guru Pendidikan Agama Kristen
sebagai fasilitator dalam memberikan sanksi yang konstruktif terhadap siswa di
SMP Negeri-7 Palangka Raya ini, sangat berdampak baik terhadap perilaku
siswa.”47

Sanksi konstruktif atau sanksi yang membangun yang dilakukan di sekolah


diterapkan supaya dapat membentuk karakter siswa agar lebih baik dan
menanamkan nilai-nilai Kristiani didalamnya. Atas pelanggaran yang dilakukan oleh
siswa dilakukan sesuai dengan perkembangan dan harus dilakukan secara adil yang
dapat mendorong siswa sadar akan kesalahan yang telah siswa perbuat, sehingga
tidak akan mengulanginya lagi.

“Sanksi konstruktif atau sanksi yang membangun, jika tidak, maka dapat
menimbulkan kebencian para siswa terhadap guru yang memberi sanksi

46
Daniel, wawancara oleh Penulis, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Indonesia, 23 Oktober 2022.
47
Ibid.
tersebut. Sanksi yang diterapkan oleh guru pada siswa di sekolah ini juga harus
mampu mendorong siswa untuk menyesuaikan diri dengan harapan sosial di
masa berikutnya secara sadar tanpa paksaan. Sanksi atau konsekuensi harus
bersifat logis, karena sanksi yang terlalu kejam juga menimbulkan rasa bersalah
dan bisa saja melanggar peraturan perundang-undangan yang tertulis. Sanksi
yang baik adalah sanksi yang dapat menyadarkan siswa untuk mengubah
perilakunya yang kurang baik menjadi siswa yang disiplin dan bertata krama,
dan inilah capaian utama guru dalam menerapkan sanksi konstruktif di
sekolah.”48

Kesimpulan
Berdasarkan refleksi hasil pandangan subjek penelitian diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa pembinaan yang dilakukan oleh guru Pendidikan Agama Kristen
sebagai fasilitator dalam memberikan sanksi yang konstruktif terhadap siswa di SMP
Negeri-7 Palangka Raya sejauh ini sudah sangat baik dan sudah diterapkan di sekolah
sejak lama, semenjak guru mengajar, dimana dalam hal pembinaan tersebut guru
tersebut harus menjadi teladan bagi siswa dan secara langsung juga membina siswa
agar menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Sebagai seorang guru Pendidikan Agama
Kristen selalu membina setiap peserta didik supaya mereka tidak melakukan
pelanggaran-pelanggaran yang ada di sekolah.
Sanksi yang baik adalah sanksi yang dapat menyadarkan siswa untuk mengubah
perilakunya yang kurang baik menjadi siswa yang disiplin dan bertata krama, dan
inilah capaian utama guru dalam menerapkan sanksi konstruktif di sekolah.Terkait
dengan kendala dalam penerapan pembinaan guru Pendidikan Agama Kristen
sebagai fasilitator dalam memberikan sanksi yang konstruktif terhadap siswa di SMP
Negeri-7 Palangka Raya, sampai saat ini tidak ada kendala, karena ketika guru
Pendidikan Agama Kristen memberikan sanksi siswa akan menerima sanksi yang
sudah diberikan tersebut.
Sanksi konstruktif atau sanksi yang membangun yang dilakukan di sekolah
diterapkan supaya dapat membentuk karakter siswa agar lebih baik dan
menanamkan nilai-nilai Kristiani didalamnya. Atas pelanggaran yang dilakukan oleh
siswa dilakukan sesuai dengan perkembangan dan harus dilakukan secara adil yang
dapat mendorong siswa sadar akan kesalahan yang telah siswa perbuat, sehingga
tidak akan mengulanginya lagi.

Referensi
Alwi, F. S. “Komunikasi, Guru Bk, Proses Belajar,” G-COUNS: Jurnal Bimbingan Dan
Konseling 2, no2 (April 2018): 258-268.
Andri Politon, V. “Strategi guru Pendidikan Agama Kristen Dalam Mempersiapkan
Peserta Didik Menghadapi Ujian Semester,” Harati: Jurnal Pendidikan Kriste 2,
no 1 (April 2022): 58–72.
Bahapol, Edym dan Youke Signal. “Mendidik Untuk Kehidupan Berdasarkan
Kompetensi Guru Kristen Di Indonesia (Education For Life Based On Christian
Teacher Competence In Indonesia),” QUAERENS: Journal of Theology and
Christianity Studies2, no.1 (2020): 62-85.

48
Yohanes, wawancara oleh Penulis, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Indonesia, 23 Oktober 2022.
Belandina. Profesionalisme Guru dan Bingkai Materi Pendidikan Agama Kristen SD,
SMP, SMA. Bandung: Bina Media Informasi, 2018.
Cahyo, Edo Dwi. “Pendidikan Karakter Guna Menanggulangi Dekadensi Moral Yang
Terjadi Pada Siswa Sekolah Dasar,” EduHumaniora: Jurnal Pendidikan Dasar
Kampus Cibiru 9, no. 1 (2017): 16–26.
Gultom, Andar. Profesionalisme, Standar Kompetensi, dan Pengembangan Profesi guru
PAK. Bandung; Bina Media Informasi, 2017.
Homrighausen. Pendidikan Agama Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017.
Mbeo, E. T., & Krisdiantoro, A. B. “Pembinaan Guru Pendidikan Agama Kristen Dalam
Pendidikan Karakter Peserta Didik Di Sekolah,” Didache: Jurnal Teologi Dan
Pendidikan Kristiani 3, no.1 (Desember 2021):17–29.
Mulyasa. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Rosda Karya, 2017.
Munte, Alfonsi., & Natalia, Desi. “Contribution of Obedience According to Hannah
Arendt Philosophy Towards Terrorist Women in Indonesia. Al Huwiyah: Jurnal
Pusat Studi Gender dan Anak 2, no 1 (2022):52-61.
Nainggolan. Menjadi Guru Agama Kristen. Bandung: Generasi Info Media, 2018.
Pangumbahas, Recky., & Winanto, Oey Natanael. “Membaca Kembali Pandangan
Moralitas Postmodernism Untuk Konteks Pendidikan Kristen (Re-Reading The
Worldview Of Postmodernism Morality For The Context Of Christian
Education),” QUAERENS: Journal of Theology and Christianity Studies 3, no.1
(2021):73-84.
Prihatin. “Pengaruh Karakteristik Individu, Gaya Kepemimpinan dan Budaya
Organisasi terhadap Kepuasan Kerja dan Komitmen Organisasi (Studi pada
Pemerintah Daerah di Provinsi Sumatera Utara),” Jurnal Aplikasi Manajemen 7,
no.2 (Fabruari 2018): 52-62.
Saetban, S. “Peran Guru Pendidikan Agama Kristen Dalam Mendisiplinkan Siswa Di
SMK Negeri 1 Naibonat,” Discreet: Journal Didache of Christian 1, no.2 (Desember
2022): 78–88.
Silberman, M. L. Active Learning 101 Cara Belajar Siswa Aktif. Bandung: Nuansa
Cendekia, 2018.
Simanjuntak, B., I. L Pasaribu. Membina dan Mengembangkan Generasi Muda.
Bandung: Tarsito, 2019.
Sinaga, Niru Anita. “Kode Etik sebagai Pelaksanaan Profesi Hukum yang Baik,” Jurnal
Ilmiah hukum Dirgantara 10. no.2 (2020); 59-70.
Sirait, Jannes Edward., dkk. “Misi Pendidikan Agama Kristen dan Problem Moralitas
Anak,” Regular Fidei: Jurnal Pendidikan Agama Kristen 1, no 1 (2017):116-126.
Slameto. Belajar & Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta, 2018.
Stevanus, Kalis., & Sitepu, Nathanail. “Strategi Pendidikan Kristen Dalam
Pembentukan Warga Gereja Yang Unggul Dan Berkarakter Berdasarkan
Perspektif Kristiani,” Sanctum Domine: Jurnal Teologi 10, no. 1 (2020): 49–66.
Suryosubroto, B. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta, 2019.
Vickie, A. Lambert., & Clinton, E. Lambert. “Descriptive Research: An Acceptable
Design. Pacific Rim International Journal of Nursing Research16, no.4 (2017):
255-256.

You might also like