You are on page 1of 11

Vol. 10 No. 1, Juni 2022, Hal.

95-105
Available at https://stitek-binataruna.e-journal.id/radial/index ISSN: 2337-4101
Published by STITEK Bina Taruna Gorontalo E-ISSN: 2686-553X

MAKNA FILOSOFIS RUMAH ADAT GORONTALO


(DULOHUPA DAN BANTAYO POBO’IDE)
*Rahmawati Eka1, Mohammad Imran2
1
FakultasTeknik,Universitas Ichsan Gorontalo,Indonesia
2
Fakultas Teknik dan Sains, Universitas Bina Taruna Gorontalo, Indonesia
* alen.arsico@gmail.com

Abstrak: Makna Filosofis Rumah Adat Gorontalo (Dulohupa dan Bantayo Pobo’ide).
Tujuan penelitian mengidentifikasi makna filosofis Rumah Adat Gorontalo. Metode
penelitian paradigma rasionalistik dengan lokasi Kota Gorontalo dan Kabupaten Limboto.
Survey lapangan dilakukan pada bulan Januari – Februari 2016, dimulai dengan
pengambilan data awal dilanjutkan dengan wawancara semi-terstruktur, observasi lapangan
kemudian strukturisasi data, serta konfirmasi data dengan kenyataan dilapangan dan
pandangan tokoh adat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa makna filosofis keduanya
sama pada bagian atap, bagian paling atas melambangkan kepercayaan masyarakat suku
Gorontalo terhadap Allah.SWT dan bagian bawah ketaatan pada adat istiadat
budayanya.Makna filosofis yang lebih mengacu pada falsafah adat gorontalo yaitu “adati
hula-hula’a to sara’a, sara’a hula-hula’a to kuru’ani” karena menurut tinjauan historis
Gorontalo, raja pertama masuk Islam sehingga semua adat istiadat budayanya menganut
ajaran Islam.

Kata kunci: Makna Filosofis; Dulohupa; Bantayo Pobo’ide

Abstract: Philosophical Meaning Of Gorontalo Traditional House (Dulohupa And


Bantayo Pobo'ide). The research objective is to identify the philosophical meaning of the
Gorontalo Traditional House. The research method is rationalistic paradigm with the
location of Gorontalo City and Limboto Regency. The field survey was conducted in
January – February 2016, starting with initial data collection followed by semi-structured
interviews, field observations and then data structuring, as well as confirmation of data with
realities in the field and the views of traditional leaders. The results show that the
philosophical meaning of both is the same on the roof, the upper part symbolizes the belief
of the Gorontalo tribal community towards Allah SWT and the lower part is obedience to
their cultural customs. to sara'a, sara'a hula-hula'a to kuru'ani” because according to the
historical review of Gorontalo, the first king converted to Islam so that all of his cultural
customs adhered to Islamic teachings.

Keyword: Philosophical Meaning; Dulohupa; Bantayo Pobo’ide

History &License of Article Publication:


Received: 13/06/2022 Revision: 29/06/2022 Published: 01/07/2022

DOI: https://doi.org/10.37971/radial.v10i1.273

This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.

PENDAHULUAN
Saat memasuki era modernisasi ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) canggih, arus
globalisasi cepat, serta tuntutan transparansi, muncul kekhawatiran, kekecewaan dan
harapan pada sisi kehidupan. Berdasarkan pengamatan dan wawancara banyak ditemukan

95
96

rumah tradisional suku Gorontalo yang sudah punah diakibatkan oleh kelapukan yang ada
tinggallah beberapa rumah yang masih dihuni oleh keturunannya, karena beberapa sebab
antara lain kepedulian terhadap warisan peninggalan terdahulu dan keluarga yang diberikan
tanggung jawab masih mampu untuk merehab kerusakan tanpa menghilangkan keaslian dari
karakter rumah tersebut. Satu diantara sarana utama yang sangat besar peranannya dalam
melestarikan kebudayaan dan adat istiadat daerah, bahkan lebih dari pada itu, bukan hanya
merupakan sarana semata, tetapi merupakan komponen yang perlu dilestarikan ialah rumah
adat Gorontalo, yang dari hari kehari semakin langka kehadirannya ditengah-tengah
masyarakat Gorontalo sendiri.Kehadiran agama Islam di Gorontalo telah membawa
implikasi pada berbagai aspek kehidupan masyarakat. Pengaruh tersebut antara lain adanya
perubahan prinsip “adat bersendikan syara’, syara’ bersendikan adat” dirubah menjadi tiga
prinsip adat yaitu ‘adat bersendi syara’, syara’ bersendikan kitabullah’, akan tetapi dasar-
dasar falsafah adat dan sumber hukum adat (butaqolimo) tidak dirubah akan tetapi dalam
implementasinya pada setiap lembaga adat disesuaikan dengan ajaran islam. Menurut
Apriyanto dalam (Fitria Anwar, dkk. 2015) Gorontalo dikenal dengan sebutan Hulontalo
Lipu’u merupakan suatu daerah yang terletak di bagian timur Indonesia. Mayoritas
penduduk beragama Islam melahirkan filosofi adat bersendikan syara, syara’ bersendikan
kitabullah, artinya semua tatanan adat di Gorontalo berlandaskan Islam dan tertuang dalam
Al-Quran. Landasan negeri yang dipatuhi oleh masyarakat adat Gorontalo yaitu : Payu Limo
Totalu, Lipu Pei Hulalu (dengan lima landasan prinsip dasar negeri kubangun), Bangusa
talalo, lipu poduluwalo (bangsa dijaga, negeri dibela), Batanga pomaya (diri kita abdikan),
Upango potombulu (harta di manfaatkan/sedekahkan), Nyawa podungalo (jiwa raga kita
pertaruhkan) dan Openu demoputi’o tulalo, bodila moputi’o baya (biar putih tulang tapi
tidak dipermalukan).
Pelestarian tradisi dan budaya nenek moyang hingga saat ini masih tetap dilakukan
namun hanya sebatas upacara adat seperti penyelenggaraan pesta kelahiran, pernikahan,
kematian, dan lain-lain, sementara pelestarian budaya non fisik pada bangunan hanya
beberapa saja yang masih menggunakan tradisi adat Momayango. Hal ini bisa dilihat pada
tampilan bangunan-bangunan yang ada di Gorontalo baik hunian (pribadi, massal) maupun
perkantoran, sangat sulit mendapatkan adanya penerapan unsur dan nilai arsitektur
tradisional maupun vernakular setempat padahal identitas dari suatu wilayah pertama kali
akan terlihat dari wujud bangunan/arsitekturnya. Perancangan arsitektur bangunan
seharusnya memperhatikan keselarasan dan kesesuaian antara kebutuhan manusia dengan
kondisi lingkungan sekitar, alam bahkan cuaca maupun iklim yang ada di suatu wilayah
(Imran, 2018). Dengan semakin banyaknya populasi manusia, kebutuhan akan berbagai
macam keperluan pun meningkat (Imran, 2016), hal ini juga diakibatkan adanya unsur-
unsur dalam iklim seperti ini sangat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan termasuk
dalam bidang arsitektur. Dimana pengaruh dari masing-masing unsur tersebut dalam
perancangan arsitektur juga tak terlepas dari letak geografis, topografi, ketinggian
dan keadaan dari permukaan bumi (Fahmi, 2019).
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, identifikasi karakteristik fisik (tangible)
rumah adat Dulohupa dan Bantayo Pobo’ide secara nyata dilapangan memiliki perbedaan
pada fisik bangunan terutama pada luas bangunan dimana rumah adat Dulohupa memiliki
luas lebih kecil dari pada rumah adat Bantayo Pobo’ide dan organisasi ruang khususnya

Makna Filosofis Rumah Adat Gorontalo (Dulohupa Dan Bantayo Pobo’ide) (Eka)
https://stitek-binataruna.e-journal.id/radial/index
97

jumlah ruang kamar pada kedua rumah adat tersebutMelalui penelitian ini, peneliti berupaya
untuk mengungkap karakteristik fisik dan makna filosofi pada bangunan Bantayo Poboide
(kerajaan Limutu) dan Dulohupa (Kerajaan Hulontalo) (Rahmawati Eka, 2015) sedangkan
berdasarkan penelitian yang sejenis terkait Kajian Etnomatematika pada Rumah Adat
Dulohupa Gorontalo diperoleh hasil bahwa ukuran bangunan Dulohupa bermacam-macam
tergantung dari jumlah petak atau besar ruang. Hal ini juga sesuai dengan status sosial
penghuni. Terdapat pola denah dalam pembuatan ruangan. Dapat diamati bahwa ruang teras
selalu berada di depan. Lalu terdapat ruang tamu, ruang tidur, ruang keluarga, dan bagian
paling belakang terdapat ruang tambahan yang difungsikan sebagai dapur, gudang, gamelan,
dan kamar mandi. Kamar diletakkan berjajar ke belakang atau posisi bersilang dan saling
berhadapan, terlihat pada denah bahwa bentuk geometri setiap kamar membentuk persegi
dan atau persegi panjang. (Deviana et al., 2022).
Melalui penelitian ini, peneliti berupaya untuk meengidentifikasi karakteristik fisik
Rumah Adat Gorontalo (Dulohupa dan Bantayo Pobo’ide) dan mengidentifikasi makna
filosofi yang menjadi dasar dalam perwujudan fisik arsitekturalnya.

METODE
Jenis Penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif dengan cara survey lapangan
yang bertujuan untuk menelusuri dan memperoleh fakta-fakta serta keterangan secara
faktual tentang makna filosofis rumah adat Dulohupa dan Bantayo Pobo’ide. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan januari 2016, lokasi penelitian yakni di rumah adat Dulohupa dan
Bantayo Pobo’ide yang ada di Kota Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo, Provinsi
Gorontalo. Penelitian terhadap rumah adat Dulohupa dan Bantayo Pobo’ide menggunakan
2 (dua) teknik pengumpulan data yang, yaitu : (1) Data Primer yaitu data yang diperoleh
secara langsung dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya
untuk mencari data tentang makna filosofis rumah adat Dulohupa dan Bantayo Pobo’ide dan
(2) Data sekunder yaitu data yang diperoleh dengan melakukan pengamatan dan pencatatan
tentang informasi-informasi yang mendukung dalam proses pembahasan hasil penelitian
(seperti data dan literatur tentang makna filosofis bangunan rumah adat Dulohupa dan
Bantayo Pobo’ide)

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil Penelitian
Dulohupa
Rumah adat Dulohupa ini letaknya di Kelurahan Limba, Kecamatan Kota Selatan,
Kota Gorontalo. Dulohupa juga disebut Yiladia Dulohupa Lo Ulipu Hulontalo oleh
penduduk Gorontalo. Rumah adat ini berbentuk rumah panggung yang badannya terbuat dari
papan dan struktur atap bernuansa daerah Gorontalo.
Rumah adat Dulohupa dibangun berupa penggambaran dari badan manusia yaitu
atap/ta’ubu menggambarkan kepala. Bagian atap rumah adat Dulohupa terbuat dari jerami
terbaik dan berbentuk seperti pelana yaitu atap segitiga bersusun dua yang menggambarkan
syariat dan adat penduduk Gorontalo. Atap bagian atas menggambarkan kepercayaan
penduduk Gorontalo terhadap Tuhan yang Maha Esa dan agama merupakan kepentingan
utama di atas yang lainnya. Sedangkan atap bagian bawah menggambarkan ketaatan

Makna Filosofis Rumah Adat Gorontalo (Dulohupa Dan Bantayo Pobo’ide) (Eka)
https://stitek-binataruna.e-journal.id/radial/index
98

penduduk Gorontalo terhadap adat istiadat ataupun budaya. Badan rumah


(dinding/dingingo) menggambarkan badan, dan tiang penyangga/potu rumah
menggambarkan kaki.Selain itu bentuk rumah seperti ini juga dipilih untuk menghindari
terjadinya banjir yang kala itu sering terjadi. Selain sebagai penyokong karena bentuknya
berupa rumah panggung, tiang/potu tersebut juga memiliki makna tersendiri.

Keterangan :
Tiang Utama/Wolihi (2 buah)
Tiang Depan (6 buah)
Tiang Dasar/Potu (32 buah)

Sumber :Peneliti, 2022


Gambar 1. Tiang Pada Rumah Adat Dulohupa

Tiang
Pada rumah adat Dulohupa terdapat beberapa jenis potu yaitu, tiang utama atau wolihi
berjumlah 2 buah, tiang kedua berada di depan berjumlah 6 buah, dan tiang dasar atau potu
berjumlah 32 buah. Tiang utama atau wolihi menempel di atas tanah langsung ke rangka
atap. Tiang ini merupakan simbol ikrar persatuan dan kesatuan yang kekal abadi antara dua
kerajaan bersaudara pada abad ke-17 Gorontalo-Limboto (janji lou dulowo mohutato,
Hulontalo-Limutu) pada tahun 1664. Selain itu angka dua (2) menggambarkan delito (pola)
adat dan syariat sebagai prinsip hidup penduduk Gorontalo dalam pemerintahan maupun
dalam kehidupan sehari-hari. Seperti tiang utama, tiang depan juga menempel di atas tanah
langsung ke rangka atap. Pilar ini menggambarkan 6 sifat utama atau ciri penduduk lou
dulowo limo lopahalaa yaitu sifat tinepo atau tenggang rasa, sifat tombulao atau hormat,
sifat tombulu atau bakti kepada penguasa, sifat wuudu atau sesuai kewajaran, sifat adati atau
patuh kepada peraturan, sifat butoo atau taat pada keputusan hakim. Sedangkan jumlah tiang
dasar atau potu menggambarkan 32 penjuru mata angin. Pada masanya potu ini dikhususkan
untuk golongan raja dan bangsawan. Bentuk pilar pada bagian depan/serambi berbentuk
persegi berjumlah 4, 6 atau 8. Hal ini menggambarkan banyaknya budak yang dimiliki oleh
raja. Namun seiring perjalanan waktu jumlah pilar ini tetap digunakan walaupun bukan pada
rumah bangsawan dan tidak lagi menggambarkan makna tertentu.

Makna Filosofis Rumah Adat Gorontalo (Dulohupa Dan Bantayo Pobo’ide) (Eka)
https://stitek-binataruna.e-journal.id/radial/index
99

Tangga
Tangga pada rumah ini disebut tangga adat atau tolitihu yang berada di sebelah kiri
dan kanan. Susunan anak tangganya berjumlah ganjil dan untuk naik kerumah melalui
tangga ini harus dengan kaki kanan dan masuk kerumah melalui pintu harus dengan kaki
kanan juga. Jumlah anak tangga pada rumah adat Dulohupa juga memiliki makna tersendiri.
Jumlah anak tangga terdiri dari 5 – 7 anak tangga. Angka 5 menggambarkan rukun islam
dan lima landasan negeri yang dipatuhi oleh masyarakat adat Gorontalo yaitu : Payu Limo
Totalu, Lipu Pei Hulalu (dengan lima landasan prinsip dasar negeri kubangun), sebagai
berikut : Bangusa talalo, lipu poduluwalo (bangsa dijaga, negeri dibela), Batanga pomaya
(diri kita abdikan), Upango potombulu (harta di manfaatkan/sedekahkan), Nyawa podungalo
(jiwa raga kita pertaruhkan) dan Openu demoputi’o tulalo, bodila moputi’o baya (biar putih
tulang tapi tidak dipermalukan).
Sedangkan angka 7 menggambarkan 7 tingkatan nafsu pada manusia maksudnya agar
menjadi manusia sempurna baik secara vertikal (hubungan dengan Tuhan) maupun secara
horisontal (hubungan dengan manusia) yaitu amarah, lauwamah, mulhimah, muthmainnah,
rathiah, mardhiah, dan kamilan.

Sumber : Peneliti, 2022


Gambar 2. Detail Tangga Rumah Adat
(Tampak Depan Bangunan dan Potongan Bangunan)

Ragam hias diambil dari huruf arab, karena berdasarkan aturan agama berkiblat pada
falsafah daerah Gorontalo. Dimana falsafah adat Gorontalo yaitu adati hula’-hula’a to
sara’a, sara’a hula-hula’a to kuru’ani. Jadi beberapa ragam hias ini diambil dari huruf arab
yang berada dalam kitab suci agama islam yaitu Al-Quran.

(a) (b)

Gambar 3.Detail Lisplank Atap (a); Detail Tangga (b)


Sumber : Peneliti, 2022

Makna Filosofis Rumah Adat Gorontalo (Dulohupa Dan Bantayo Pobo’ide) (Eka)
https://stitek-binataruna.e-journal.id/radial/index
100

(a) (b)
Sumber : Peneliti, 2022
Gambar 4.Detail Jendela (a); Detail Pintu (b)

BantayoPobo’ide
Beberapa komponen bangunan yang mempunyai makna dan kegunaan adalah tiang,
tangga, ruangan dan atap. Berikut penjelasannya :
Tiang
Tiang pada bangunan ini berfungsi sebagai fondasi dan penopang bangunan. Ada tiga
jenis tiang yaitu 2 buah tiang utama atau dalam bahasa daerah Gorontalo bernama wolihi dan
6 buah tiang diserambi depan serta 32 buah tiang dasar dalam bahasa daerah Gorontalo potu.
Maknanya sebagai berikut :
Tiang utama (wolihi) sebanyak dua buah terdapat dibagian depan bangunan ditancap
diatas tanah langsung ke rangka atap. Tiang ini sebagai perlambangan janji atau ikrar
persatuan dan kesatuan yang kekal abadi antara dua bersaudara Gorontalo-Limboto yaitu
janji lou duluwo mohutato Hulontalo-Limutu pada tahun 1084 H (1664 M).
Tiang depan sebanyak 6 buah mempunyai makna 6 sifat utama atau ciri khas
masyarakat lou duluwo limo lo pohala’a, yaitu sifat tinepo (tenggang rasa), sifat tombulao
(hormat), sifat tombulu (bakti kepada penguasa atau pemerintah), sifat wuudu (sesuai
kewajaran), sifat adati (patuh kepada peraturan), sifat butoo (taat kepada keputusan hakim).
Tiang dasar (potu) berfungsi sebagai pondasi bangunan yang berjumlah 32 buah yang
berarti sebagai perlambangan 32 penjuru mata angin. Ini bermakna bahwa para penguasa
negeri atau para pimpinan harus mempunyai perhatian atas segala aspek kehidupan
masyarakat tanpa mengenal pilih kasih.

Makna Filosofis Rumah Adat Gorontalo (Dulohupa Dan Bantayo Pobo’ide) (Eka)
https://stitek-binataruna.e-journal.id/radial/index
101

2 Keterangan :
Tiang Utama/Wolihi (2 buah)
Tiang Depan (6 buah)
1

(a)

(b)
Sumber : Peneliti, 2022
Gambar 5. Tiang Pada Rumah Adat Bantayo Pobo’ide (a); Detail Tiang (b)

Tangga
Tangga yang mempunyai makna adalah tangga depan, terdapat disamping kanan dan
kiri, masing-masing terdiri dari 8 anak tangga yang berarti sebagai lambang dari pada 8
kerajaan kecil (linula), yang pada tahun 1360 M kedelapan linula ini dibuat tapalu/tapahula,
masing-masing bernama Linula Pantungo, Linula Panggulo, Linula Huangobotu Oloyihi,
Linula Dulalowo, Linula Tilote, Linula Dumati, Linula Lawuwonu, Linula Ilotidee.

Sumber : Peneliti, 2022


Gambar 6. Detail Tangga

Ruangan Bangunan
Ruangan pada bangunan rumah adat ini terbagi atas 3 bagian utama, yaitu serambi
(sulambe dan palepelo), dulodehu yang terdiri dari (ruangan tempat menerima tamu, tempat
sidang, ruang santai keluarga dan ruang serbaguna), dan huwali yaitu kamar tidur.
Adapun fungsi masing-masing ruangan ini yakni: Palepelo berfungsi sebagai tempat
para pengawal yang sedang bertugas/menjaga-jaga, Palepelo yang kedua berfungsi sebagai
tempat sidang yang terbuka untuk umum, Sulambe sebelah kiri, kanan dan belakang
berfungsi sebagai tempat berpatroli para penjaga yang tugas jaga baik siang maupun malam,
Dulodehu berfungsi sebagai ruangan menerima tamu, ruangan santai keluarga, ruangan rapat
rahasia, ruang makan dan ruang serba guna (tibongo) dan Huwali yaitu kamar tidur terdiri

Makna Filosofis Rumah Adat Gorontalo (Dulohupa Dan Bantayo Pobo’ide) (Eka)
https://stitek-binataruna.e-journal.id/radial/index
102

dari 10 buah: (Huwali lo adati, berfungsi sebagai tempat pengaturan adat. Ditempat inilah
diatur segala persiapan yang menyangkut adat yang akan dilaksanakan, Huwali lo humbiya,
yaitu kamar pengantin berfungsi sebagai tempat pengantin yang akan melangsungkan
perkawinan, Huwali lo tulai bala, yaitu kamar pengawal warga istana, berfungsi sebagai
tempat petugas pengawal warga istana dalam hal keamanan, Huwali lo isi kaini, yaitu kamar
tempat penyimpanan kain. Dikamar inilah tempat pakaian kebesaran permaisuri dan raja
disimpan. Selain itu kamar ini menjadi tempat penyimpanan upeti atau kenang-kenangan,
Hulipo olongiya, yaitu kamar tempat peraduan/tidur raja dan permaisuri, Huwali spulu banta
pulu adalah kamar para putra raja, Huwali lo wadaka adalah kamar para putri raja. Dalam
tata aturan istana raja, putra dan putri tidak ditempatkan dalam satu kamar, Huwali lo
polamelalo, yaitu kamar makan untuk raja dan permaisuri, tempat ini harus aman untuk
menghindari kemungkinan yang tidak diinginkan, Huwali lo bubaya lai, adalah kamar
pembantu khusus laki-laki dan Huwali lo bubaya bua, adalah kamar pembantu khusus
perempuan).

sulambe dan palepelo Dulodehu Huwali

Gambar 6. Detail Ruangan


Sumber : Peneliti, 2022

(a) (b) (c)


Gambar7. Detail Pintu (a), Detail Jendela (b), Detail Dinding(c)
Sumber : Peneliti, 2022
Atap
Pada bagian atap rumah adat Bantayo Pobo’ide terdapat dua susun masing-masing
terdiri dari atap bagian atas dan bagian bawah serta memiliki makna tersendiri sesuai dengan
falsafah adat Gorontalo yaitu adati hula-hula’a to syara’a, syara’a hula-hula’a to Quru’ani
(adat bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah). Bagian atas atap pada rumah adat
ini maknanya yaitu kepercayaan masyarakat suku asli Gorontalo terhadap Allah.SWT,
sedangkan untuk bagian bawah dari atap maknanya kepercayaan masyarakat Gorontalo
terhadap hukum dan aturan adat istiadat yang berlaku dalam pemerintahan, baik dalam
sistem pemerintahan kerajaan pada zaman dahulu dan untuk pemerintahan pada zaman
Makna Filosofis Rumah Adat Gorontalo (Dulohupa Dan Bantayo Pobo’ide) (Eka)
https://stitek-binataruna.e-journal.id/radial/index
103

sekarang.Pada bagian dalam atap pada rumah adat ini memiliki ruangan yang cukup luas
pula untuk tempat penyimpanan harta, benda pusaka dan bahan makanan dari pada raja pada
zaman dahulu, serta sebagai tempat persembunyian raja dan para keluarganya ketika perang.
Maka dari itu pada fisik rumah adat terlihat ada pintu dan dua jendela yang tidak terlalu besar
ukurannya.

Gambar 8.Detail Atap


Sumber : Peneliti, 2022

Awal falsafah dari Sultan Amai “syara’ topa-topango to adati”. Kemudian lebih
dikembangkan lagi oleh anaknya yaitu raja Matolodulakiki “adati topa-topango to syara’a”.
Kemudian lebih lengkap lagi dimasa pemerintahan sultan Eyato yang sekarang telah menjadi
“adati hula-hula’a to syara’a, syara’a hula-hula’a to Quru’ani”. Mengapa berubah ?,
karena di Gorontalo mayoritas agamanya adalah islam, dan yang mengislamkan Gorontalo
adalah sultan Eyato, beliau adalah raja pertama yang memeluk islam. Raja Eyato juga lebih
da’a/ ulama’a atau ulama besar.
Falsafah adat ini melahirkan “payu limo lo lipu” atau lima prinsip hidup masyarakat
Gorontalo yaitu agama to talu (agama dikedepankan), lipu’ pe’hulalo (negeri dimuliakan),
batanga pomaya (diri di abdikan), harata potombulu (harta di sedekahkan/wakafkan),
nyawa podungalo (nyawa taruhannya). Openu moputio tulalo, bo dila moputio baya.
Dari lima prinsip hidup masyarakat ada hukum adat yang mengatur didalamnya atau
yang disebut Buto’o Limo, yaitu Wu’udu adalah menyesuaikan diri dengan tata krama yang
berlaku atau adat-istiadat, Motolo adati adalah bertata krama yang berpijak pada nilai-nilai
adat, Molinepo (tinepo) atau menghargai antar sesama umat manusia apalagi sebagai
pemimpin dan penguasa, tinepo lo bupato, ode mongo eya sambe ode wato. Pengayoman
dan keprihatinan akan kehidupan masyarakat sehari-hari menjadi kegiatan utama dari
pemimpin dan penguasa, Mohumbulu (tombulu) penghargaan dan penghormatan dari
masyarakat ke pemimpin. Tata krama ini telah mengakar dihati masyarakat dalam falsafah
Gorontalo. Ilo huto-hutodio lo upiya, debo to titato, ilo lilingga lo sapatu debo to tibawa
(seburuk-buruknya kopiyah/songko tetap di atas kepala tempatnya, akan tetapi sepatu yang
mengkilat namun hanya untuk mengalas kaki/di injak). Tentunya sepanjang hayat, belum
ada yang berani memindahkan kopiah menjadi sepatu dan sepatu menjadi kopiah. Jika semua
itu terjadi maka masyarakat tidak beradab dan Buto’o yaitu hukum dimana tata aturan dan
memahami nilai hukum adat menjadikan masyarakat dan pemimpin terjalin hubungan yang
baik, saling percaya satu sama lain.
Rakitan balok tumpuk adalah konfigurasi dari balok yang menjelang ujung-ujungnya
saling ditumpuk satu di atas yang lain secara tegaklurus. Rakitan ini diletakkan di atas
bongkah batu sebagai alas bangunan. Bongkah batu ini pula yang menjadi pemisah antara

Makna Filosofis Rumah Adat Gorontalo (Dulohupa Dan Bantayo Pobo’ide) (Eka)
https://stitek-binataruna.e-journal.id/radial/index
104

bangunan dengan tanah tempat bangunan berdiri. Balok-balok yang saling ditumpuk itu
umumnya merupakan balok gelondongan bulat, dan karena itu rentan untuk menggelinding
menyamping. Untuk menghindari kemungkinan itu, bagian balok yang ditumpangi balok
silang akan ditakik dangkal sehingga balok yang menumpuk itu tidak lagi bisa
menggelinding (Josef, 2015).Terdapat keseragaman pada proporsi rumah hal ini disebabkan
filosofi yang tekait dengan ukuran rumah baik secara vertikal maupun secara horisontal.
Untuk mengukur ketinggian, panjang dan lebar rumah dengan menggunakan depa, dengan
aturan 1 depa dikurangi 1 jengkal hasil pengurangan dibagi 8. Angka 8 memberi makna
keadaan yang selalu terjadi pada diri manusia, yakni: rahmat, celaka, beruntung, kerugian,
beranak, kematian, umur dan hangus. Jika angka tersebut berakhir pada yang tidak baik maka
harus ditambah atau dikurangi satu (Heryati & Nico Abdul, 2014).
Pada rumah adat Dulohupa hanya memiliki empat organisasi ruang yaitu Palepelo
adati dan Dulodehu, Dulodehu lo Dulohupa, Ruang Kamar (Huwali lo humbio, Huwali lo
wadaka, Huwali lo Polungude dan WC) dan Dulodehu atau serambi belakang. Sedangkan
Bantayo Pobo’ide memiliki tiga organisasi ruang yaitu Sulambe atau Palepelo, dulodehu
dan huwali (Huwali lo adati, Huwali lo tula’I bala, Huwali lo humbiyo, Huwali lo wadaka,
Huwali 10 banta pulu, Huwali lo wadaka/putri raja, Huwali lo bubaya la’I, Hulipo olongiya.
Makna filosofis dari hitungan matematis : (1) Makna filosofi rancangan rumah adat
Dulohupa berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Terdapat makna filosofis yang terdapat
pada konstruksi rumah adat Dulohupa merupakan rumah panggung. Selain itu, terdapat
makna filosofis pada bagian atap rumah adat ini atap segitiga bersusun dua yang
menggambarkan syariat dan adat penduduk Gorontalo. Rumah adat ini, terdapat Tange
lo bu’ulu yang terdapat di dinding depan Dulohupa. Tange lo bu’ulu ini digantungkan di
samping pintu masuk rumah adat tersebut. Dimana tange lo bu’ulu ini mengilustrasikan
mengenai kesejahteraan masyarakat Gorontalo. Makna sikap masyarakat Gorontalo yang
terwujud dalam arsitektur vernakular Gorontalo. Pada pembentukan rumah adat Dulohupa
terdapat filosofi angka 2, 3, 5, 6, 7, dan 8. (2). Mendeskripsikan rancang bangun rumah
adat Dulohupa ditinjau dari aktivitas etnomatematika. Aktivitas Terdapat aspek
fundamental matematis yang terdapat pada rancang bangun rumah adat Dulohupa yaitu
aktivitas counting (menghitung/membilang), measuring (mengukur), location
(menempatkan), designing (mendesain), playing (bermain) dan explaining (menjelaskan).
(3) Konsep geometri dari rancangan bangun rumah adat Dulohupa. Konsep geometris
yang terdapat pada rancang bangun rumah adat Dulohupa yaitu konsep garis (garis
vertikal), konsep bangun datar (segitiga, persegi panjang, persegi), dan konsep bangun
ruang sisi datar (balok, prisma segitiga).

KESIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan yakniBangunan yang sampai saat ini masih
tetap di lestarikan dan di kelola oleh dinas pariwisata disetiap lokasinya. Dulohupa adalah
salah satu bangunan tradisional kota Gorontalo yang sekarang bisa dikatakan sudah menjadi
bangunan dengan Konsep arsitektur vernakular. Hal ini terlihat dari beberapa elemen
bangunan yang sudah berubah baik bentuk, fungsi dan material atau konstruksinya. Ukuran
bangunan dulohupa lebih kecil jika dibandingkan dengan bangunan bantayo pobo’ide. Bisa
dilihat pada gambar yang di uraikan di atas. Makna filosofis yang di hasil dari penelitian ini

Makna Filosofis Rumah Adat Gorontalo (Dulohupa Dan Bantayo Pobo’ide) (Eka)
https://stitek-binataruna.e-journal.id/radial/index
105

adalah kedua bangunan mewakili provinsi Gorontalo dalam karakteristik suatu bangunan.
Makna filosofis yang lebih mengacu pada falsafah adat gorontalo yaitu “adati hula-hula’a
to sara’a, sara’a hula-hula’a to kuru’ani” karena menurut tinjauan historis Gorontalo baik
dalam buku cerita peninggalan para wulito (orang tua) zaman dulu dan deskripsi dari para
narasumber yang di wawancarai oleh peneliti, raja pertama Gorontalo masuk Islam sehingga
semua adat istiadat dan budayanya menganut ajaran Islam yaitu yang sudah tertulis dalam
Al-Qur’an

DAFTAR PUSTAKA
Deviana, A., Alfa, K., & Abdimulia, T. (2022). Eksplorasi Kajian Etnomatematika pada
Rumah Adat Dulohupa Gorontalo. PRISMA, Prosiding Seminar Nasional Matematika,
5, 335–345.
Fahmi, I. (2019). Aplikasi Penghawaan Alami pada Bangunan Beriklim Tropis. RADIAL –
JuRnal PerADaban SaIns, RekayAsa Dan TeknoLogi, 1(11150331000034), 1–147.
Fitria Anwar, D. (2015). INTERNALISASI NILAI-NILAI BUDAYA GORONTALO
“RUKUNO LO TAALIYA” DALAM PENETAPAN HARGA JUAL PADA
PEDAGANG TRADISIONAL DI KOTA GORONTALO. Jurnal Akuntansi &
Auditing, 12(2), 89–109.
Heryati, H., & Nico Abdul, N. (2014). KEARIFAN LOKAL PADA ARSITEKTUR
VERNAKULAR GORONTALO: Tinjauan Pada Aspek Budaya dan Nilai-nilai Islam.
El-HARAKAH (TERAKREDITASI), 16(2), 151. https://doi.org/10.18860/el.v16i2.2774
Imran, M. (2016). Material Konstruksi Ramah Lingkungan. RADIAL – JuRnal PerADaban
SaIns, RekayAsa Dan TeknoLogi, 14(2), 373.
Imran, M. (2018). Pengaruh Iklim Terhadap Bentuk Dan Bahan Arsitektur Bangunan.
RADIAL – JuRnal PerADaban SaIns, RekayAsa Dan TeknoLogi, 1(11150331000034),
1–147.
Josef, P. (2015). Kekhasan Budaya dan Keserupaan Konstruksi : Jelajah Balok Tumpuk dan
Arsitektur Nusantara Minahasa, Gorontalo dan Bugis. In Prosiding (Vol. 7, Issue 2).
Rahmawati Eka. (2015). KARAKTERISTIK FISIK RUMAH ADAT GORONTALO
(DULOHUPA DAN BANTAYO POBO’IDE). Jurnal Arsitektur, Kota Dan
Permukiman (LOSARI), 7–11.

Makna Filosofis Rumah Adat Gorontalo (Dulohupa Dan Bantayo Pobo’ide) (Eka)
https://stitek-binataruna.e-journal.id/radial/index

You might also like