You are on page 1of 16

PENDEKATAN REKAYASA SOSIAL DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA

AIR (Studi Kasus Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Bendungan


Semantok Di Kabupaten Nganjuk-Jawa Timur)
Avina Febria R. 20220510005, Salsabilah Putri 20220510014, Hidayatul Islamiah 20220510020
Prodi S1 Administrasi Publik, FISIP – Universitas Hang Tuah
Email : alfrzky2902@gmail.com salsablppbilah@gmail.com hidayatulaja123@gmail.com

Abstract
This social engineering approach research in the management of water resources is an
applied research from a land acquisition case study in the LARAP (Land Acquisition and
Resettlement Action Plan) Study for the construction of the Semantok Dam in Nganjuk
Regency, East Java, which aims to support ongoing development activities. This research is
for policy decision making and aims to apply a social engineering approach in the
management of water resources in the region. The displacement of people as a result of
the development of water resources infrastructure such as the construction of dams
requires land for inundation. Often the land belongs to the community so the people
affected by this have to be relocated. Relocation of people is not just the physical transfer
of houses and individuals from one location to another, but also involves moving
community units with all their aspects. The social aspect approach often does not receive
adequate portions and as a result negative excesses arise from the implementation of such
development. The results of the study show that the social engineering approach in
development is used starting from athe planning stage in the development process by
involving various stakeholders starting from the Central Government-Ministry of Public
Works), Local Government (PEMKAB Nganjuk), related agencies (Agriculture Service,
Perhutani, etc.), NGOs , Local leaders and affected communities in two villages namely
Sambikerep Village and Tritik Village, Rejoso District-Nganjuk Regency.

Keywords : Social Engineering Approach, Water Resources Management, Land Acquisition


for Public Interest.

Abstrak
Penelitian pendekatan rekayasa sosial dalam pengelolaan sumber daya air ini
merupakan penelitian terapan dari studi kasus pengadaan tanah dalam Kajian LARAP
(Land Acquisition and Resettlement Action Plan) untuk pembangunan Bendungan
Semantok di Kabupaten Nganjuk-Jawa Timur, yang bertujuan untuk mendukung
kegiatan pembangunan yang sedang berlangsung. Penelitian ini untuk kebijakan
pengambilan keputusan kebijakan dan bertujuan untuk menerapkan pendekatan
rekayasa sosial dalam pengelolaan sumber daya air di wilayah tersebut. Perpindahan
masyarakat sebagai akibat pembangunan infrastruktur sumber daya air seperti
pembangunan bendungan membutuhkan lahan untuk genangan. Sering kali tanah
tersebut milik masyarakat sehingga 0rang-orang yang terkena dampak ini harus di
relokasikan. Pemindahan penduduk tidak hanya sekedar yang perpindahan fisik rumah
dan individu dari satu lokasi ke lokasi lain, tetapi juga melibatkan perpindahan satuan
dengan segala aspeknya. Pendekatan aspek sosial sering belum mendapat porsi yang
memadai dan sebagai akibatnya timbul ekses negatif terhadap pelaksanaan
pembangunan tersebut. Hasil kajian penelitian menujukan bahwa pendekatan rekayasa
sosial dalam pembangunan digunakan mulai dari tahap perencanaan dalam proses
pembangunan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan mulai dari
Pemerintah Pusat-Kementerian Pekerjaan Umum), Pemerintah Daerah (PEMKAB
Nganjuk), instansi terkait (Dinas Pertanian, Perhutani, dll) , LSM, Tokoh masyarakat dan
masyarakat terdampak di dua desa yaitu Desa Sambikerep dan Desa Tritik, Kecamatan
Rejoso-Kabupaten Nganjuk.

Kata Kunci : Pendekatan Rekayasa Sosial, Pengelolaan Sumber Daya Air, Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Umum.

PENDAHULUAN
Dalam SDGs (Sustainable Development Goals) Tahun 2016-2030, sumber daya air
merupakan salah satu isu strategis dalam pembangunan berkelanjutan selain masalah
ketahanan pangan dan ketahanan energi di Indonesia. Mengingat kondisi Indonesia yang saat ini
memiliki jumlah penduduk terbesar keempat dunia yang mencapai lebih dari 240 juta jiwa
tentu saja berdampak sangat signifikan terhadap kebutuhan makanan, kebutuhan air dan
kebutuhan energi di masa-masa yang akan datang. Jika hal ini tidak disikapi dengan bijaksana
sejak awal, tidak menutup kemungkinan permasalahan serius akan mengancam keberlanjutan
kehidupan dan pembangunan di berbagai wilayah di Indonesia. Sumber daya air sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang No. 7 tahun 2004 (Indonesia, 2004b) merupakan karunia
Tuhan Yang Maha Esa selain berperan sebagai penopang sistem kehidupan juga sebagai modal
pembangunan. Hampir seluruh aktivitas dan komoditas dalam kehidupan di muka bumi
tergantung pada ketersediaan air (Indonesia, 2004b). Fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa
hasil pembangunan sumber daya alam (termasuk sumber daya air) telah mampu menyumbang
kepada produk domestik bruto dan menyerap tenaga kerja. Meskipun potensi total tahunan
sumber daya air di Indonesia masih berlimpah, tetapi distribusinya tidak merata baik ditinjau
dari letak geografis setiap pulau maupun dari segi distribusi curah hujan bulanan.
Ketidaksiapan dalam mengantisipasi dinamika kependudukan dan pembangunan yang terus
meningkat serta siklus air musiman yang semakin tidak menentu sebagai dampak perubahan
iklim global, akan menghadapkan kita pada situasi krisis sumber daya air baik yang terjadi saat
ini maupun di waktu mendatang.
Pembangunan yang sangat pesat, pertambahan jumlah penduduk serta meningkatnya
kegiatan ekonomi selama tiga dasawarsa terakhir mengakibatkan peningkatan alih fungsi lahan
di berbagai wilayah. Perubahan kawasan hutan dan lahan menjadi lahan permukiman,
perkotaan, dan pertanian serta peruntukan lainnya mengakibatkan berkurangnya kapasitas
resapan air, peningkatan erosi lahan, sedimentasi pada sumber-sumber air, serta peningkatan
kerentanan kawasan terhadap bahaya kekeringan, banjir dan tanah longsor, pencemaran air,
intrusi air laut serta penurunan produktivitas lahan yang akan mengakibatkan kerugian
ekonomi, kerawanan sosial dan kerusakan lingkungan. Oleh karena itu sumber daya air perlu
jaga atau dikelola, baik secara sosial maupun secara teknologi. Pengelolaan secara sosial,
misalnya dengan edukasi tentang pentingnya mengelola sumber daya air, sedangkan secara
teknologi adalah dengan membangun sarana atau prasarana.
Dalam Undang-Undang No.2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan
Umum disebutkan bahwa berbagai permasalahan yang sering dihadapi dalam pembangunan
infrastruktur sumber daya air khususnya pengadaan tanah adalah: a. Besaran Nilai Ganti Rugi
Tanah, dikarenakan panitia Pengadaan Tanah cenderung menggunakan Nilai Jual Objek Pajak
(NJOP) sedangkan pemilik tanah kecenderungan menggunakan harga pasar atau harga jual beli
sehingga ganti rugi tanah bisa mencapai 3 atau 4 kali lebih besar dari NJOP; b. Keengganan
masyarakat di wilayah/lokasi sebagai lokasi pembangunan; c. Hambatan hukum, yaitu
penggunaan tanah yang berada di kawasan hutan, perkebunan dan pertambangan yang
semuanya masing-masing diatur dengan undang-undang; d. Administrasi pertanahan, yaitu
belum adanya basis data pertanahan (Indonesia, 2012).Dari sudut pandang pembangunan
berkelanjutan, perlu dilakukan penelitian, kajian dan pengembangan kearifan lokal yang
terbukti efektif dapat mencegah kerusakan fungsi lingkungan. Kearifan lokal yang sering
dikonseptualisasikan sebagai pengetahuan setempat (local knowledge), kecerdasan setempat
(local genius), dan kebijakan setempat (local wisdom), serta menurut Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dimaknai sebagai
nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat, yang antara lain digunakan
untuk mengelola dan melindungi lingkungan hidup secara lestari. Salah satu masalah yang
menjadi perhatian masyarakat saat ini adalah krisis air. Krisis air secara keseluruhan tidak
hanya disebabkan perubahan iklim, kerusakan ekosistem daerah tangkapan air, penggunaan
lahan yang tidak efisien dan kebutuhan penggunaan air yang meningkat, serta ada kepentingan
ekonomi, sehingga dibutuhkan upaya perlindungan dan pengelolaan secara terpadu untuk
mencegah krisis yang lebih serius.
Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor antara lain pencemaran, penggundulan hutan,
dan kegiatan pertanian yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan, serta perubahan
fungsi daerah tangkapan air. Oleh karena itu, kearifan lokal memegang peranan yang cukup
penting dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. Namun, kearifan lokal juga tidak
lepas dari berbagai tantangan seperti: bertambahnya jumlah penduduk, teknologi modern dan
budaya. Prospek kearifan lokal ke depannya sangat dipengaruhi oleh pengetahuan masyarakat,
inovasi teknologi, pemanfaatan dan pelestarian keanekaragaman hayati di lingkungan serta
berbagai kebijakan pemerintah yang berkaitan langsung dengan pengelolaan sumber daya alam
dan lingkungan serta peran masyarakat lokal.
Pada 15 Oktober 2019, Indonesia memberlakukan sebuah undang-undang baru untuk
menggantikan UU No. 7 Tahun 2004 yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang
Sumber Daya Air. Adapun dalam penjelasan Pasal 2, asas kearifan lokal dijelaskan bahwa dalam
Pengelolaan Sumber Daya Air harus memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata
kehidupan masyarakat. Pasal 3 menyatakan bahwa pengaturan sumber daya air bertujuan
menjamin pelindungan dan pemberdayaan masyarakat, termasuk masyarakat adat dalam upaya
konservasi air dan sumber air. Dalam Pasal 9 ditegaskan bahwa penguasaan sumber daya air
diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan atau Pemerintah Daerah dengan tetap mengakui
hak ulayat masyarakat adat setempat dan hak yang serupa dengan itu, sepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Indonesia memiliki sumber daya air yang melimpah sehingga masyarakat Indonesia
sangat akrab dengan budaya air. Air merupakan kebutuhan esensial dalam kehidupan manusia
dan mutlak harus tersedia untuk menunjang hidup dan kehidupannya. Masyarakat dengan
pengetahuan, kebiasaan, dan budaya yang diwariskan turun menurun memanfaatkan sumber
air setempat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka bersama-sama mengelola sumber
daya tersebut hidup harmonis dengan alam sekitar. Adapun contoh-contoh pengelolaan sumber
daya air yang dijiwai nilai kearifan lokal dan didasari oleh budaya yang mengakar pada aspek
pengelolaan sumber daya air.
Untuk mendukung pemanfaatan sumber daya air agar menjadi lebih optimal dalam
mendukung peningkatan produksi pertanian, diperlukan reformasi pengelolaan sumber daya
air yang lebih tepat. Reformasi sub sektor air di Indonesia, harus dilihat dalam dua aspek
terkait, yaitu: pengelolaan layanan (service management) dan pengelolaan sumber daya
(resources management). pengelolaan layanan mengacu pada the provision of infrastructure
seperti jaringan pipa distribusi, fasilitas pengolahan air, sumber pasokan air (supply sources)
dan sebagainya, sedangkan pengelolaan sumber daya mengacu pada pengalokasian air antara
sektor pertanian, industri, rumah tangga, isu-isu polusi dan sebagainya. Reformasi pengelolaan
layanan di Indonesia diawali dengan reformasi kebijakan di sektor irigasi. Kebijakan irigasi
difokuskan pada rehabilitasi dan pembangunan jaringan irigasi baru. Kebijakan ini secara
finansial didukung oleh naiknya harga minyak dan pinjaman dari lembaga keuangan
internasional dengan tujuan untuk meningkatkan produksi pertanian. Implementasi
kebijakannya adalah memperbaiki dan membangun jaringan irigasi yang mengairi 5 juta hektar
sawah. Puncak dari kebijakan ini adalah tercapainya swasembada pangan pada tahun 1984.
Dalam mengelola air untuk mendukung ketahanan pangan, diperhitungkan aspek water foot
print, selain itu, dalam pengelolaan infrastruktur sumber daya air juga memperhitungkan aspek
water security. Pada dasarnya, Indonesia memiliki kekayaan sumber daya air terbesar kelima di
dunia, merupakan negara dengan potensi sumber air tawar diatas rata-rata global, tetapi tidak
luput dari masalah ketahanan air nasional (national water security) dan sangat mempengaruhi
upaya pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat
Rekayasa sosial merupakan salah satu pendekatan yang digunakan oleh Departemen
Pekerjaan Umum dalam melaksanakan pengelolaan sumber daya air khususnya dalam Pedoman
Rekayasa Sosial Infrastruktur Sumber daya Air, seperti: Pembangunan Bendungan sebagaimana
yang diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 3/PRT/ Tahun 2009. Rekayasa Sosial
adalah suatu proses perubahan sosial yang terencana untuk mengatasi masalah-masalah sosial
dengan menggunakan berbagai strategi, cara-cara, langkah-langkah, upaya agar perubahan
tersebut sesuai dengan yang dikehendaki .Dalam pendekatan rekayasa sosial ini, penting
melibatkan seluruh pemangku kepentingan mulai dalam proses perencanaan hingga
pelaksanaan pembangunan .
Sedangkan konsep pengelolaan dampak pada lingkungan secara sosial-ekonomi-budaya
misalnya: dengan cara membangun kemitraan dengan masyarakat sekitar sehingga terjadi
keharmonisan hubungan yang lebih baik untuk mencegah adanya konflik dengan masyarakat
sekitar; melakukan pembangunan dengan konsep pembangunan yang aman dan tidak
meresahkan masyarakat; melakukan penyerapan tenaga kerja saat konstruksi atau operasional
dengan memprioritaskan masyarakat sekitar yang mempunyai kompetensi dan keahlian yang di
syaratkan oleh pihak pemrakarsa maupun kontraktor; adanya kerja sama dan partisipasi aktif
yang baik antara pemrakarsa dan masyarakat sekitar serta tokoh masyarakat setempat;
melakukan seluruh ketentuan dalam pengelolaan lingkungan sehingga masyarakat menerima
kehadiran pembangunan yang direncanakan (Moerad, Susilowati, & Windiani, 2016)
Moerwanto (2017) dalam Alam (2017) menyatakan kondisi ketahanan air Indonesia
masih sangat rendah dibandingkan dengan negara lain. Berdasarkan data Kementerian PUPR,
ketahanan air atau daya tampung air yang dimiliki Indonesia saat ini hanya mencapai 63 meter
kubik per kapita per tahun. Idealnya adalah 1.600 meter kubik per kapita per tahun, pemerintah
akan membangun 65 bendungan baru untuk meningkatkan daya tampung air dan tersebar di
beberapa wilayah, akan meningkatkan ketahanan air nasional mencapai 150 meter kubik per
kapita per tahun.
Menurut Hadimuljono (2017), optimalisasi pemanfaatan sumber daya air harus
dilakukan agar dapat meningkatkan ketahanan air dan ketahanan pangan dengan cara
membangun banyak bendungan yang berperan sebagai penampung banyak air pada musim
hujan dan menyuplai air pada musim kemarau. Ditambahkan oleh Moerwanto (2017) dalam
Alam (2017), pembangunan bendungan dan waduk akan berkontribusi terhadap peningkatan
produksi pertanian yang selanjutnya akan diperkuat dengan revitalisasi 3 juta hektar irigasi.
Karena revitalisasi akan lebih cepat memberikan dampak pada perekonomian, tetapi kalau
membangun yang baru butuh waktu lama dan perlu penyesuaian budaya di masyarakat. Adanya
tampungan air yang dapat dimanfaatkan pada musim kemarau akan meningkatkan indeks
pertanaman sehingga produksi pertanian akan meningkat. Demikian juga kegiatan revitalisasi
jaringan irigasi, dapat mengembalikan layanan irigasi seperti semula pada awal daerah irigasi
dibangun, artinya produksi pertanian akan meningkat. Dalam optimalisasi pemanfaatan sumber
daya air, prinsip eco-efficient harus diterapkan agar pemanfaatan sumber daya air berkelanjutan
(Samekto dan Winata 2010).
Menurut Auguste Comte menjelaskan teorinya tentang tiga tahap pemikiran
manusia, baik individu maupun sosial. Tiga tahap yang sah dalam perkembangan
pemikiran manusia adalah Hukum Kekal.
Berikut ini teori dari august comte tentang teori evolusi intelektual atau hukum
tiga tingkatan.

1) Tahap teologis: Ada suatu masa ketika diyakini bahwa di balik atau di
balik fenomena alam ada kekuatan gaib yang mengatur fungsi dan
pergerakan unsur-unsur fenomena. Selama tahap ini, orang menemukan
diri mereka kedudukannya lebih tinggi dari kedudukan orang lain. Saya
tidak mengerti langkah ini. Pertapaan ini terbagi menjadi 3 tingkatan,
yaitu: 1. Materialisme; 2. Politeisme dan 3. Monoteisme.
2) Tahap Metafisik: Ini adalah transisi dari teologi ke metafisika, di mana
misteri lama digantikan oleh vitalitas abstrak yang berakar pada
alam/hukum alam.
3) Tahap positif : Ini adalah tahap pemikiran manusia yang paling matang,
orang membatasi data mereka pada rentang pengamatan pada skala, di
mana mereka sering mencoba untuk menetapkan jumlah hubungan
frekuensi atau kesamaan dari data. (Kompasiana.com, 2013)
Menurut Soewarno Handayaningrat, pengelolaan juga bisa diartikan sebagai
penyelenggaraan suatu kegiatan. Pengelolaan bisa diartikan manajemen, yaitu suatu
proses kegiatan yang di mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan
pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan-penggunaan sumber
daya sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang telah
ditentukan.
Menurut T. Hani Handoko, pengelolaan adalah proses yang membantu merumuskan
suatu kebijakan dan tujuan organisasi atau proses yang memberikan pengawasan pada
suatu yang terlibat dalam pelaksanaan dan pencapaian tujuan. Pengelolaan adalah suatu
kegiatan yang dilakukan organisasi dalam rangka penertiban, pemeliharaan, pengaturan
secara sistematika sumber-sumber yang ada dalam organisasi. Pengelolaan merupakan
tindakan mengusahakan pengorganisasian sumber-sumber yang ada dalam organisasi
dengan tujuan agar sumber-sumber tersebut dapat bermanfaat untuk kepentingan
organisasi. Dengan demikian pengelolaan senantiasa berhubungan dengan seluruh
elemen yang terdapat di dalam suatu organisasi, seperti pengelolaan berkaitan dengan
personal, administrasi, ketatausahaan, peralatan ataupun prasarana yang ada di dalam
organisasi. Pengelolaan bidang keuangan dana, bidang sumber daya manusia, bidang
pemasaran dan lainnya.
Menurut Terry, mengartikan fungsi pengelolaan sebagai usaha untuk mencapai
tujuan yang telah ditentukan sebelumnya melalui usaha orang lain.

METODE
a. Jenis Penelitian: penelitian terapan (applied research) yang bertujuan untuk menunjang
kegiatan pembangunan yang sedang berjalan, penelitian untuk kebijakan pengambilan
keputusan dan bertujuan untuk menerapkan pendekatan rekayasa sosial dalam
pengelolaan sumber daya air di daerah.
b. Lokasi Penelitian: wilayah yang menjadi lokasi rencana pembangunan Bendungan
Semantok yaitu Dusun Kedungpingit Desa Sambikerep, dan Dusun Kedungnoyo Desa
Tritik, Kecamatan Rejoso, Kabupaten Nganjuk – Provinsi Jawa Timur.
c. Populasi dan Sampel: Populasi dalam penelitian ini adalah para pemangku kepentingan
yang terkait dalam pengelolaan sumber daya air baik dari pemerintah daerah, institusi
terkait dan masyarakat. Sampel yang akan diteliti sekitar 100 orang yang terkena
dampak dengan menggunakan metode purposive random sampling sesuai dengan
tujuan penelitian.
d. Pengumpulan Data: Data primer digali melalui metode observasi, survey dengan
menggunakan instrument kuesioner dan Focus Group Discution (FGD). Sedangkan data
sekunder digali melalui penelusuran dokumen, kunjungan ke institusi terkait (BPS,
BAPPEDA Kabupaten Nganjuk, dan desa-desa terdampak kegiatan dll) serta hasil-hasil
kajian terdahulu. Dalam kegiatan pengumpulan data ini pendekatan yang digunakan
antara lain sebagai berikut:
1. Pendekatan Kajian Pustaka Kajian pustaka dilakukan untuk mendapatkan informasi
yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dari berbagai sumber informasi,
antara lain buku, jurnal ilmiah, atau publikasi umum lainnya. Data yang diterbitkan
oleh instansi pemerintah maupun hasil studi kelayakan serupa di tempat lain
merupakan informasi penting yang bisa digunakan sebagai sumber data.
2. Pendekatan Survei Lapangan Survei lapangan diperlukan untuk mendapatkan data
primer sesuai komponen sosial-ekonomi dan sosial-budaya yang akan diteliti.
Pendekatan ini diuraikan sebagai berikut:
 Metode Pendokumentasian dan Pengamatan Langsung Untuk mendapatkan
informasi kondisi sosial-ekonomi dan sosial-budaya masyarakat, sarana dan
prasarana perekonomian dan fasilitas umum di wilayah studi maka
diperlukan survey, observasi, dan pengamatan langsung di lapangan.
 Metode Wawancara dengan Kuesioner Wawancara dengan kuisioner
dilakukan untuk mendapatkan tanggapan dan persepsi dari penduduk
maupun stakeholder terkait mengenai semua hal yang terkait dengan
rencana kegiatan. Biasanya metode ini digunakan untuk mendapatkan data
sosial-ekonomi dan sosial-budaya.
3. Pendekatan Institusional Data dari instansi pemerintah/instansi terkait diperlukan
untuk studi kelayakan. Data tersebut dapat diperoleh Kabupaten Nganjuk, BPS,
Kecamatan dan Desa di wilayah studi, Bappeda, Dinas Pariwisata, dan lain
sebagainya. Metode pengumpulan dan analisis data untuk komponen sosial-ekonomi
dan sosial-budaya secara rinci diuraikan sebagai berikut. e. Analisis Data: Untuk data
yang bersifat kuantitatif dilakukan kategorisasi dengan tabel frekuensi, grafik dan
cross tabulation. Karena penelitian ini merupakan penelitian terapan (applied
research) yaitu; untuk menerapkan pendekatan Rekayasa Sosial dalam pengelolaan
sumber daya air, maka analisis deskriptif komparatif akan dilakukan untuk
membandingkan dengan kegiatan pembangunan yang telah menerapkan
pendekatan tersebut di daerah lain.
e. Analisis Data: Untuk data yang bersifat kuantitatif dilakukan kategorisasi dengan tabel
frekuensi, grafik dan cross tabulation. Karena penelitian ini merupakan penelitian
terapan (applied research) yaitu; untuk menerapkan pendekatan Rekayasa Sosial dalam
pengelolaan sumber daya air, maka analisis deskriptif komparatif akan dilakukan untuk
membandingkan dengan kegiatan pembangunan yang telah menerapkan pendekatan
tersebut di daerah lain.

PEMBAHASAN
Pendekatan rekayasa sosial dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia dipandang
sebagai satu pendekatan yang relevan diterapkan terutama untuk pembangunan yang
berpotensi menimbulkan persoalan sosial bagi masyarakat sekitar atau bersinggungan dengan
kepentingan dengan institusi lainnya, termasuk kepentingan antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah.
Pembangunan bendungan sebagai salah satu upaya dalam pengelolaan sumber daya air
di Indonesia sebagaimana telah diatur dalam UU No. 2 Tahun 2004 (Indonesia, 2004)
didelegasikan melalui departemen pekerjaan umum, di satu sisi merupakan kewenangan
pemerintah pusat untuk memenuhi hajat hidup orang banyak terkait kebutuhan atas sumber
daya air. Namun, di sisi lain tak jarang hal ini berbenturan dengan kepentingan pemerintah
daerah yang juga memiliki kewenangan dalam mengelola dan mengembangkan aset-aset daerah
sesuai dengan aspirasi masyarakat sebagaimana telah diatur dalam UU No. 23 tahun 2014
(Indonesia, 2014). Sebagai contoh, berbagai dampak potensial terutama yang bersinggungan
dengan hajat hidup orang banyak seperti proses pengadaan lahan untuk pembangunan
bendungan, proses penetapan nilai ganti untung (cash and carry) untuk tanah, bangunan dan
tegakan (tanaman keras) yang terdampak pembangunan serta masalah-masalah lain yang dapat
memicu timbulnya ketegangan-ketegangan dalam masyarakat akibat adanya pembangunan,
pilihan atas pendekatan rekayasa sosial jelas dianggap sebagai sebuah keniscayaan (Moerad et
al., 2016).
Pengadaan tanah merupakan perbuatan pemerintah dalam rangka memperoleh tanah
untuk berbagai kepentingan pembangunan, khususnya bagi kepentingan umum. Pada
prinsipnya pengadaan tanah dilakukan dengan cara musyawarah antar pihak yang
memerlukan tanah dan pemegang hak atas tanah yang tanahnya diperlukan untuk kegiatan
pembangunan. Hal ini menunjukkan bahwa proses pengadaan tanah tidaklah sederhana, karena
berkaitan langsung dengan hak-hak pihak tertentu (masyarakat) atas tanah. Pada hakikatnya,
hukum nasional mengakui dan menghormati hak atas tanah yang dimiliki oleh masyarakat,
serta memberikan jaminan kepastian hukum dengan dibentuk dan ditegakkannya Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (selanjutnya disebut UU No. 5 Tahun 1960). Pembentukan UU No. 5 Tahun 1960
adalah untuk mewujudkan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur
bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. ”Berdasarkan Pasal 6 UU No. 5
Tahun 1960 mengatur bahwa “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Ketentuan ini
menjadi dasar bahwa kepemilikan atas tanah seseorang demi hukum harus dilepaskan
apabila sewaktu-waktu tanah yang dimilikinya hendak dialih-fungsikan dan atau dilakukan
pembangunan dalam rangka pelaksanaan fungsi sosial. Inilah yang menjadi cikal bakal
pemerintah dalam melakukan pengadaan tanah selain dari Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun
1945, dengan catatan bahwa pengadaan tanah tersebut dilakukan sesuai prosedur sebagaimana
diatur dalam Undang-undang. Perihal pengadaan tanah di Indonesia secara khusus telah diatur
sejak tahun 1975 (lima belas tahun sejak berlakunya UU No. 5 Tahun 1960), yakni dengan
ditetapkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1975
tentang Ketentuan Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah (selanjutnya disebut
Permendagri No. 15 Tahun 1975). Hingga saat ini, peraturan pelaksana tersebut telah
beberapa kali mengalami pencabutan dan perubahan, antara lain:
1. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan
Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum (selanjutnya disebut
Keppres No. 55 Tahun 1993).
2. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah
bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Dalam penjelasan umum UU No. 2 Tahun 2012 disebutkan bahwa salah satu upaya
pembangunan dalam kerangka pembangunan nasional yang diselenggarakan pemerintah
adalah pembangunan untuk kepentingan umum. Pembangunan untuk kepentingan umum
tersebut memerlukan tanah yang pengadaannya dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip
yang terkandung dalam UUD NRI Tahun 1945 dan hukum tanah nasional, antara lain prinsip
kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan,
kesejahteraan, berkelanjutan, dan keselarasan sesuai dengan nilai-nilai berbangsa dan
bernegara. Prinsip-prinsip pengadaan tanah sebagaimana tertuang dalam penjelasan umum UU
No. 2 Tahun 2012 harus sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Dengan
kata lain, bahwa pelaksanaan pengadaan tanah di Indonesia tidak boleh keluar dari koridor
Pancasila. Hal ini untuk menjamin keadilan bagi masing-masing pihak. Lebih lanjut, selain
pembangunan yang sesuai dengan nilai-nilai yang ditegaskan dalam Pancasila dan UUD NRI
Tahun 1945, semua peraturan-peraturan lain yang mengatur pengadaan tanah juga harus
dilakukan untuk pembangunan demi kepentingan umum atau kepentingan seluruh rakyat
Indonesia.
Pengadaan tanah untuk berbagai kepentingan sering kali menimbulkan konflik atau
permasalahan dalam pelaksanaannya, hal ini disebabkan oleh kesenjangan antara das Sollen
sebagaimana tertuang dalam Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, dengan das Sein
berupa kenyataan yang terjadi di lapangan. Konflik sering kali terjadi terutama mengenai ganti
kerugian. Pada prinsipnya pemberian ganti kerugian sebagai suatu upaya mewujudkan
penghormatan kepada hak-hak dan kepentingan perseorangan yang telah dikorbankan untuk
kepentingan umum harus dilakukan dengan layak dan adil. Namun pada kenyataannya, sering
kali pemberian ganti kerugian tersebut dilakukan semena-mena tanpa perhitungan yang
seharusnya sebagaimana diatur dalam Peraturan Perundang-undangan. Dan bahkan tak jarang
bahwa dalam pemberian ganti kerugian ini disertai pula dengan paksaan yang membuat pihak
yang kehilangan hak atas tanahnya tak berdaya menerima, meskipun tak sesuai harapan serta
tidak dapat mengembalikan atau membangun kembali kehidupan baru yang lebih baik untuk
mereka.
Dapat disimpulkan bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum merupakan kegiatan
menyediakan tanah untuk kepentingan bangsa, negara dan masyarakat luas dengan cara
memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak demi mewujudkan
kemakmuran rakyat. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2012 mengatur bahwa
pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan berdasarkan asas Kemanusiaan,
Keadilan, Kemanfaatan, Kepastian, Keterbukaan, Kesepakatan, Keikutsertaan, Kesejahteraan,
Keberlanjutan, dan Keselarasan.
Data hidrologi adalah kumpulan keterangan atau fakta mengenai fenomena hidrologi
( hydrologic phenomena ), seperti besarnya : curah hujan, temperatur, penguapan, lamanya
penyinaran matahari, kecepatan angin, debit sungai, tinggi muka air sungai, kecepatan aliran,
kosentrasi sedimen sungai akan selalu berubah terhadap waktu (Soewarno,1995). Data
hidrologi dianalisis untuk membuat keputusan dan menarik kesimpulan mengenai fenomena
hidrologi berdasarkan sebagian data hidrologi yang dikumpulkan. Dalam perencanaan bendung
analisa hidrologi digunakan untuk menentukan debit banjir rencana, debit andalan, debit
kebutuhan, dan neraca air

HASIL
Pengelolaan sumber daya air melalui pelaksanaan pembangunan bendungan selain harus
melalui serangkaian studi yang mempertimbangkan aspek teknologi yang cermat, juga harus
mengkaji kepentingan masyarakat sekitar dengan cara-cara yang bersifat partisipatif, dialogis
dan memperhatikan aspirasi masyarakat dengan menempatkan masyarakat sebagai subjek,
penentu dan pelaku utama dalam pembangunan. Untuk itu pendekatan rekayasa sosial harus
berbasis masyarakat dengan menganut prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Dari aspirasi masyarakat, pendekatan rekayasa sosial mendasarkan pada kebutuhan,
gagasan dan keinginan masyarakat, dimusyawarahkan dan mengakomodasikan suara
yang paling rasional serta dapat diterima masyarakat.
2. Kepentingan masyarakat, pendekatan rekayasa sosial mengutamakan pemenuhan
kebutuhan bersama di atas kepentingan lainnya, sehingga memberi manfaat kepada
masyarakat.
3. Dari kemampuan masyarakat, pendekatan ini mempertimbangkan tingkat kemampuan
masyarakat sebagai basis dalam merencanakan target sasaran, cara dan besaran
pembiayaan pembangunan,
4. Dari kerja sama masyarakat, pendekatan ini mempertimbangkan kebutuhan untuk dan
atas nama kelompok masyarakat, sehingga mampu mewujudkan kerja sama yang kuat
dan mengakar dalam masyarakat.
Pelaksanaan pembangunan bendungan juga harus mempertimbangkan aspek ekonomi, dan
sosial budaya masyarakat secara terpadu dan sinergis sehingga dapat dicapai hasil yang lebih
optimal (Pekerja Umum, 2009). Berdasarkan pendekatan tersebut selanjutnya berbagai temuan
lapangan dalam penelitian terkait rencana pelaksanaan pembangunan bendungan Semantok di
kabupaten Nganjuk digunakan sebagai pisau analisis untuk membedah persoalan yang dikaji
dalam penelitian.
Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (selanjutnya disingkat UU No.2/2012) mendefinisikan
“pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian
yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.”
Merujuk pada definisi tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa pengadaan tanah,
pencabutan hak atau apapun namanya semestinya selalu menyangkut dua dimensi yang harus
ditempatkan secara seimbang yaitu kepentingan “Pemerintah” dan kepentingan “masyarakat”
dan melibatkan dua pihak yaitu “Penguasa” dan “Rakyat” yang harus sama-sama
memperhatikan dan mentaati ketentuan-ketentuan yang berlaku mengenai pengadaan tanah. 2
Sehingga bila ketentuan terkait dengan pengadaan tanah dapat diindahkan maka tidak akan
menimbulkan persoalan-persoalan yang bisa memicu terjadinya sengketa. Terlebih pengadaan
tanah tidak hanya diartikan sebagai sebuah proses pengambil alihan lahan masyarakat secara
paksa untuk dan atas nama kepentingan umum.

Tantangan dalam Eksistensi Penerapan Kearifan Lokal pada Pengelolaan Sumber Daya
Air
Melalui kearifan lokal inilah, masyarakat dapat bertahan menghadapi berbagai krisis
yang dihadapinya. Oleh karena itu, dalam rangka melestarikan dan menjaga keseimbangan
dengan lingkungan, penting untuk mempelajari dan melestarikan kearifan lokal suatu
masyarakat. Bertahannya kearifan lokal di suatu tempat tidak terlepas dari pengaruh berbagai
faktor yang akan mempengaruhi perilaku manusia dalam hubungannya dengan lingkungan.
Kearifan lokal adalah tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan
lingkungan tempat hidupnya secara bijaksana. Oleh karena itu, setiap kearifan lokal tidaklah
sama pada tempat, suku, dan waktu yang berbeda. Perbedaan tersebut disebabkan oleh
tantangan alam dan kebutuhan hidup yang beragam, sehingga pengalaman dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya melahirkan berbagai sistem pengetahuan baik yang berhubungan dengan
lingkungan maupun sosial. Sebagai salah satu bentuk perilaku manusia, kearifan lokal bukanlah
suatu hal yang statis tetapi berubah dari waktu ke waktu, tergantung dari tatanan sosial budaya
yang ada dalam masyarakat.
Meski banyak kearifan lokal yang sampai sekarang terus menjadi panutan bagi
masyarakat, namun kearifan lokal juga tidak terlepas dari berbagai persoalan. Adapun dimasa
depan kearifan lokal sangat di pengaruhi oleh tekanan penduduk, modernisasi, pengetahuan
masyarakat, kondisi lingkungan, serta berbagai kebijakan pemerintah yang terkait langsung
dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan serta partisipasi masyarakat setempat.
Kearifan lokal di masa depan akan sangat dipengaruhi oleh berbagai kebijakan pemerintah yang
berkaitan langsung dengan pengelolaan sumber daya alam, dimana masyarakat lokal tinggal,
dan kemauan masyarakat untuk tetap menjaga keseimbangan dengan lingkungan meskipun
menghadapi berbagai persoalan. Oleh karena itu, penting untuk melibatkan masyarakat lokal
dalam melakukan tindakan di lingkungan dimana mereka tinggal guna menghindari konflik-
konflik sosial.
Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (selanjutnya disingkat UU
No.2/2012) mendefinisikan ; “pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah
dengan cara memberikan ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.”
Merujuk pada definisi tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa pengadaan
tanah, pencabutan hak atau apapun namanya semestinya selalu menyangkut dua
dimensi yang harus ditempatkan secara seimbang yaitu kepentingan “Pemerintah” dan
kepentingan “masyarakat” dan melibatkan dua pihak yaitu “Penguasa” dan “Rakyat”
yang harus sama-sama memperhatikan dan mentaati ketentuan-ketentuan yang
berlaku mengenai pengadaan tanah. 2 Sehingga bila ketentuan terkait dengan
pengadaan tanah dapat diindahkan maka tidak akan menimbulkan persoalan-persoalan
yang bisa memicu terjadinya sengketa. Terlebih pengadaan tanah tidak hanya diartikan
sebagai sebuah proses pengambil-alihan lahan masyarakat secara paksa untuk dan atas
nama kepentingan umum.

Peran Pemangku Kepentingan Dalam Studi LARAP Bendungan Semantok Kabupaten


Nganjuk
Peran Pemangku Kepentingan dalam Studi Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum,
yang disebut Studi LARAP (Land Acquisition and Resettlement Action Plan) Bendungan
Semantok Kabupaten Nganjuk, sebagai berikut: Berdasarkan hasil penelitian di wilayah studi,
para pemangku kepentingan (stakeholders) yang terlibat dalam studi LARAP Bendungan
Semantok antara lain pemerintah setempat, tokoh masyarakat, tokoh agama, perwakilan dari
BPD, aparat atau pamong desa dan masyarakat yang terkena dampak langsung maupun tidak
langsung. Para pemangku kepentingan dari berbagai elemen di Kabupaten Nganjuk memiliki
komitmen untuk terlibat langsung dalam pelaksanaan pembangunan bendungan mulai dalam
proses perencanaan hingga dalam pelaksanaan. Hal ini diperkuat dengan kesediaan dari
aparatur pemerintah Kabupaten Nganjuk, aparatur pemerintah desa, tokoh masyarakat, LSM
dan masyarakat terdampak selalu mengikuti seluruh tahapan kegiatan pembangunan yang
dilaksanakan oleh pemrakarsa yaitu Kementerian Pekerjaan Umum Dirjen Sumber Daya Air
Balai Besar Wilayah Sungai Brantas. Data berikut menunjukkan peran dan status pemangku
kepentingan yang menjadi responden dalam tahapan studi LARAP dalam penelitian di Desa
Sambikerep dan Desa Tritik, Kecamatan Rejoso - Kabupaten Nganjuk.

Persepsi Terhadap Rencana Pembangunan Bendungan


Persepsi dan pandangan masyarakat dapat digunakan sebagai barometer apakah
pendekatan rekayasa sosial digunakan atau tidak dalam setiap tahapan dalam pelaksanaan
pembangunan. Mengetahui bagaimana sikap dari para stakeholders, intansi terkait, tokoh
masyarakat, tokoh agama dan masyarakat yang terkena dampak menjadi sangat penting dalam
proses pelaksanaan tahapan-tahapan pembangunan, demikian pula dalam rencana
pembangunan Bendungan Semantok. Sikap pada masyarakat setempat mempunyai peran yang
penting untuk mengetahui seberapa penting (manfaat) serta pengaruh keberadaan Bendungan
Semantok nantinya terhadap kondisi kehidupan masyarakat baik secara sosial maupun secara
ekonomi. Oleh karena itu diperlukan penilaian sikap dan persepsi masyarakat setempat
khususnya terkait manfaat dari rencana pembangunan tersebut. Persepsi masyarakat terhadap
rencana pembangunan merupakan bagian penting dari studi untuk menguji dokumen
lingkungan, karena terkait dengan respon masyarakat terhadap rencana pembangunan. Respon
masyarakat tersebut bisa bersifat positif maupun negatif, dan respon dari masyarakat ini akan
mempengaruhi kelancaran atau hambatan jalannya suatu proyek/rencana pembangunan.
Sebelum dilaksanakan kegiatan pembangunan terlebih dulu dilakukan sosialisasi rencana
pembangunan kepada masyarakat (Susilowati & Moerad, 2016). Berdasarkan data yang
diperoleh di lapangan, masyarakat di Desa Sambikerep yang menjadi responden dalam
penelitian menyatakan bermanfaat bagi masyarakat sebesar 66,04%, yang menyatakan tidak
bermanfaat adalah 5,66% dan yang menjawab tidak tahu 28,30%. Sedangkan Desa Tritik
mayoritas menyatakan bahwa pembangunan Bendungan Semantok bermanfaat untuk
masyarakat yaitu93.33% dan yang menyatakan tidak bermanfaat bagi masyarakat adalah
6,67%. Tabel 3.2 dan gambar 3.2 menunjukkan persepsi masyarakat tentang manfaat
pembangunan Bendungan Semantok.

Eksistensi Hak Koumnal dalam UU No.2/2012


Undang-Undang No.2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
kepentintan Umum tidak mengatur secara khusus objek pengadaan tanah yang berasal dari hak
ulayat atau menurut Permen ATR /Ka. BPN No.10/2016 disebut hak komunal. Sebab pada
dasarnya ruang lingkup pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum adalah
pelaksanaan pembangunan fasilitas-fasilitas umum di atas suatu bidang tanah sebagai objeknya.
Meskipun tidak diatur secara terperinci tentang keberadaan hak komunal sebagai objek
pengadaan tanah, namun pada hakikatnya UU No.2/2012 menganggap eksistensi hak ulayat
dalam arti luas maupun hak komunal dalam perspektif Permen ATR /Ka. BPN No.10/2016
masih ada. Terbukti bahwa Masyarakat Hukum Adat disebut sebagai salah satu subjek/pihak
yang berhak menerima ganti kerugian yang muncul akibat adanya aktivitas pengadaan tanah
dimaksud.
Penyebutan Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang ditafsirkan sebagai bagian dari kajian hak
komonual pada UU No.2/2012 hanya tercantum dalam penjelasan Pasal 40 huruf (e) berkenaan
pihak yang berhak menerima ganti rugi. Secara lengkap penjelasan Pasal 40 UU No.2/2012
adalah sebagai berikut; “Pemberian Ganti Kerugian pada prinsipnya harus diserahkan langsung
kepada Pihak yang Berhak atas Ganti Kerugian. Apabila berhalangan, Pihak yang Berhak karena
hukum dapat memberikan kuasa kepada pihak lain atau ahli waris. Penerima kuasa hanya dapat
menerima kuasa dari satu orang yang berhak atas ganti kerugian. Yang berhak antara lain:
a. pemegang hak atas tanah
b. pemegang hak pengelolaan
c. nadzir, untuk tanah wakaf
d. pemilik tanah bekas milik adat
e. masyarakat hukum adat
f. pihak yang menguasai tanah negara dengan itikad baik
g. pemegang dasar penguasaan atas tanah; dan/ atau
h. pemilik bangunan, tanaman atau benda lain yang berkaitan dengan tanah
Merujuk pada penjelasan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa UU No. 2/2012 memandang
keberadaan hak komunal sebagai sebuah lembaga hukum kedudukannya sederajat dengan hak
atas tanah lainnya yang lahir berdasarkan UUPA dan PP No. 24/1997 serta memiliki hak dan
kewajiban yang seimbang dalam posisi objek pengadaan tanah.

Respon Masyarakat Terhadap Rencana Pembebasan Lahan dan Ganti Untung


Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan, sebagian besar pemangku kepentingan
khususnya masyarakat di wilayah terdampak setuju terhadap rencana pembangunan
Bendungan Semantok dan rencana pembebasan lahan dan ganti untung. Bentuk ganti untung
yang diinginkan sebagian masyarakat yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah
penyediaan lahan untuk permukiman kembali yang tidak jauh dari lokasi bendungan,
pemberian ganti rugi atas bangunan rumah dan tegakan (tanaman) yang ada dan diberi hak
untuk membangun sendiri di Desa Sambikerep 84%, di Desa Tritik mencapai 86%. Yang
menginginkan ganti untung dalam bentuk tunai 8% di Desa Sambikerep dan 5% di Dusun
Kedungnoyo Desa Tritik
Meskipun sebagian besar masyarakat yang terkena dampak setuju terhadap rencana
pembangunan Bendungan Semantok dan memiliki persepsi yang positif terkait manfaat
bendungan, namun persepsi negatif juga muncul dari hasil konsultasi dengan masyarakat baik
di Desa Sambikerep maupun di Dusun Kedungnoyo Desa Tritik. Persepsi negatif tersebut
muncul dari masyarakat yang terkena dampak pembangunan yang kawatir jika pembangunan
bendungan pada akhirnya tidak membawa manfaat bagi masyarakat dan menimbulkan
keresahan-keresahan terutama terkait proses pembebasan lahan, proses pembayaran ganti
untung yang tidak menguntungkan masyarakat dan proses permukiman kembali. Demikian pula
terkait proses pembebasan lahan, beberapa bentuk kekawatiran yang muncul antara lain terkait
dengan status kepemilikan dan penguasaan atas lahan; karena masih banyak yang belum
berstatus hak milik, masih banyak yang berstatus petok D, bahkan ada yang tidak memiliki bukti
kepemilikan karena hilang tersapu banjir.
Sementara terkait proses pembayaran ganti untung, kekawatiran yang muncul dari
masyarakat yang terkena dampak adalah besaran ganti untung apakah sesuai harapan
masyarakat atau tidak, menguntungkan atau justru merugikan, apakah proses pembayarannya
mudah atau berbelit-belit. Sedangkan kekhawatiran lain yang muncul adalah terkait dengan
lahan pengganti untuk relokasi. Masyarakat terkena dampak dari Dusun Kedungpingit Desa
Sambikerep maupun Dusun Kedungnoyo Desa Tritik, sebagian besar menginginkan ada
penggantian lahan yang disediakan pemerintah yang letaknya tidak jauh dari bendungan dan
masih dekat dengan kawasan hutan yang menjadi sumber mata pencaharian sebagian
masyarakat selama ini.
Hasil penelitian juga menemukan adanya sejumlah kekawatiran dari masyarakat terkait
dengan nilai-nilai sosial budaya (keguyuban “gemainschaft”) yang sudah mengakar kuat pada
masyarakat yang terkena dampak, masyarakat khawatirkan terpisah dari keluarga atau kerabat
dan anggota masyarakat satu-RT yang sebagian besar masih saudara atau sudah seperti saudara
sendiri. Masyarakat kawatir harus beradaptasi lagi dengan kehidupan dan lingkungan yang
baru, sehingga keinginan dari masyarakat yang terkena dampak menginginkan sistem relokasi
yang memperhatikan kepentingan masyarakat dari aspek sosial budaya yang tidak mudah untuk
‘dihitung’, mereka menginginkan tetap berada dalam satu kelompok, sehingga ikatan sosial
(keluarga, kekerabatan, kelompok) masih bisa dipertahankan di tempat yang baru.

KESIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah dibahas sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa Pendekatan Rekayasa Sosial sebagaimana yang dipersoalkan peneliti dalam latar
belakang penelitian dalam pelaksanaannya digunakan pemrakarsa dalam tahapan-tahapan
pelaksanaan pembangunan Bendungan Semantok di Kabupaten Nganjuk. Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa Pendekatan Rekayasa Sosial dalam pembangunan digunakan mulai tahap
perencanaan dalam proses pembangunan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan
mulai dari Pemerintah Pusat-Kementerian Pekerjaan Umum), Pemerintah Daerah (PEMKAB
Nganjuk), instansi terkait (Dinas Pertanian, Perhutani, dll), LSM, Tokoh Lokal dan masyarakat
yang terkena dampak di dua desa yaitu Desa Sambikerep dan Desa Tritik Kecamatan Rejoso,
Kabupaten Nganjuk. Keterlibatan berbagai pemangku kepentingan dapat dilihat mulai dalam
proses konsultasi publik hingga kajian LARAP terkait proses pengadaan lahan, ganti untung
terhadap lahan dan tegakan serta dan rencana-rencana relokasi dan pelatihan dan
pengembangan masyarakat di wilayah terdampak pembangunan. Dari hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa sikap, persepsi dan respon serta harapan-harapan masyarakat yang
sebagian besar menerima dan memiliki persepsi positif terhadap rencana pembangunan
Bendungan Semantok merupakan indikator bahwa pendekatan rekayasa sosial diterapkan dan
dapat digunakan sebagai role model dalam pelaksanaan untuk pembangunan serupa di tanah
air.
Hukum adat memiliki tujuan yang sama dalam memberikan perlindungan pengelolaan
lingkungan hidup, yaitu melindungi lingkungan hidup dari perusakan dan pencemaran,
menjamin keselamatan kesehatan dan kehidupan manusia sebagai bagian dari hak asasi
manusia, mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana, mewujudkan
pembangunan ekonomi masyarakat yang berkelanjutan serta mengantisipasi isu lingkungan
global. Persoalan lingkungan tidak dapat dilakukan dengan pendekatan parsial tetapi harus
secara integral, komprehensif, holistik, karena masalah lingkungan hidup merupakan masalah
bersama. Dalam hal ini dibutuhkan aspek teknis operasional, hukum dan peraturannya,
kelembagaan, pembiayaan, serta peran serta masyarakat. Adapun untuk masyarakat dapat
memberikan saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan, dan/atau penyampaian informasi
dan/atau laporan atas pencemaran air, menjaga kebersihan lingkungan hidup dengan menjaga
serta merawat sumber air. Adapun upaya preventif dilakukan melalui pengawasan, pembinaan,
dan pengendalian yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota, sehingga
dibutuhkan komponen membangun pemberdayaan hukum masyarakat, kesadaran hukum, serta
kepatuhan hukum warga masyarakat.
Dalam hal ini pemerintah diharapkan dapat meningkatkan pengawasan terhadap
pembuangan air limbah; meningkatkan pemantauan kualitas air pada sumber air; mengadakan
sosialisasi budaya hidup bersih dan sehat kepada warga, melakukan inventarisasi dan
identifikasi air dan sumber air, serta sumber pencemar air. Oleh karena itu, diperlukan
peraturan daerah sebagai sarana penjabaran dan penjelasan lebih lanjut dari peraturan
perundang-undangan nasional serta sebagai sarana hukum 30 dalam memperhatikan ciri khas
dari masing-masing daerah dengan berdasarkan pada perilaku hukum para penduduk di daerah
tersebut. Peraturan daerah ini harus lebih banyak meyakinkan masyarakat terhadap
pengelolaan sumber daya air daripada sebagai alat untuk memerintah, yaitu dengan memberi
ruang pada fungsi dan substansi peraturan daerah, untuk dapat menampung kondisi khusus
daerah berdasarkan harapan masyarakat terhadap lingkungan yang bersih dan sehat. Selain itu,
upaya represif dalam rangka penegakan hukum lingkungan juga merupakan hal yang penting
dalam pengelolaan sumber daya air, maka dibutuhkan upaya yang sungguh-sungguh dengan
melibatkan segenap aparat penegak hukum.
Optimalisasi sumber daya air dapat meningkatkan produksi pertanian pada lahan sawah, lahan
sawah tadah hujan dan lahan kering. Optimalisasi sumber daya air dilakukan dengan
meningkatkan ketersediaan air sehingga dapat memperpanjang masa tanam atau meningkatkan
indeks pertanaman dan ekstensifikasi pertanian. Untuk meningkatkan ketersediaan air dimulai
dengan panen air (water harvesting) berupa embung atau damparit atau recharge groundwater
yang digunakan untuk irigasi suplementer. Penjadwalan irigasi dan pemberian irigasi
merupakan tahapan selanjutnya. Pembangunan infrastruktur air merupakan implementasi
optimalisasi sumber daya air yang dapat meningkatkan produksi pertanian secara keseluruhan,
pada lahan sawah, lahan sawah tadah hujan dan lahan kering.
Untuk mendukung optimalisasi sumber daya air, diperlukan ketersediaan air sepanjang
tahun dan berkelanjutan. Pengelolaan sumber daya air harus dilakukan secara menyeluruh dari
DAS tersebut, baik blue water maupun green water. Pengelolaan sumber daya air, baik blue
water maupun green water harus tepat yaitu menerapkan konservasi lahan dan air di hulu dan
pendistribusian secara hemat dan adil. Pengelolaan blue water dimulai dari bagian hulu dengan
menerapkan konservasi lahan dan air, reboisasi atau agroforestry. Selain itu, perlu dibangun
infrastruktur air berupa dam parit atau embung serta melakukan pendistribusian yang efisien
yang dapat mendukung semua agroekosistem, termasuk agroekosistem lahan sawah tadah
hujan dan lahan kering.
DAFTAR PUSTAKA

Arba, H. (2021). Hukum pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Sinar Grafika (Bumi
Aksara).
Lestari, P. (2020). Pengadaan Tanah untuk Pembangunan demi Kepentingan Umum di Indonesia
Berdasarkan Pancasila. Jurnal Hukum, 71-86.
Moerad, S. K. (2016). Pemetaan Potensi dan Dampak Ekonomi Masyarakat di Kawasan
Pertambangan Bukit Tumpang Pitu Banyuwangi. Jurnal Sosial Humaniora, 114-138.
Rahmatullah, R. A. (2022). Eksistensi Hak atas Tanah dan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan
Umum . Journal of Islamic Economic Law , 86-104.
Ramadhani, R. (2019). Eksistensi Hak Komunal Masyarakat Hukum Adat Dalam Pengadaan
Tanah Untuk Kepentingan Umum. Jurnal Penelitian Hukum De Jure, 98.
Semekto, C. a. (2010). Potensi sumber daya air di Indonesia. Seminar Nasional, Aplikasi Teknologi
Penyediaan Air Bersih Untuk Kabupaten atau Kota di Indonesia.
Armansyah, J. D. (2023). Prediksi Laju Sedimentasi dengan Perbandingan Analitik dan
Pemodelan HEC-RAS di Bendungan Semantok Nganjuk .
Lestari, P. (2020). Pengadaan Tanah untuk Pembangunan demi Kepentingan Umum di Indonesia
Berdasarkan Pancasila. Jurnal Hukum, 71-86.
Magnar, K. I. (2010). Studi atas putusan MK mengenai judical review terhadap UUD No. 7/2004,
UU No. 22/2001, dan UU No. 20/2002. Jurnal Konstitutional , 111-180.
Martin, R. M. (2020). ANALISIS DEBIT PUNCAK SUNGAI AIR TETAP KABUPATEN KAUR DENGAN
PENDEKATAN METODE HIDROGRAF SATUAN SINTESIK (HSS). Jurnal Teknik Sipil , 30-
36.
Moerad, S. K. (2016). Pemetaan Potensi dan Dampak Ekonomi Masyarakat di Kawasan
Pertambangan Bukit Tumpang Pitu Banyuwangi. Jurnal Sosial Humaniora, 114-138.
Naufal, N. O. (2020). TA: KAJIAN HIDRAULIK BANGUNAN PELIMPAH DAN BANGUNAN TERJUN
SEMANTOK. Institut Nasional Bandung .
Prasetyo, W. B. (2021). Kajian Perencanaan Sistem Pelimpah Pada Bendungan Semantok
Kabupaten Nganjuk Provinsi Jawa Timur.
Pratama, R. R. (2021). Analisa Stabilitas Tubuh Bendungan Utama Pada Bendungan Semantok,
Nganjuk, Jawa Timur. Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sumber Daya Air 1.1 , 89-102.
Priyanto, P. a. (2021). Perubahan Sosial Masyarakat Lokal Terhadap Alih Fungsi Lahan Menjadi
Perkebunan (Analisis Teori Auguste Comte; Tiga Tahap Pemikiran Manusia. Proceedings
of Palangka Raya International and National Conference on Islamic Studies (PINCIS). .
Rahmatullah, R. A. (2022). Eksistensi Hak atas Tanah dan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan
Umum . Journal of Islamic Economic Law , 86-104.
Ramadhani, R. (2019). Eksistensi Hak Komunal Masyarakat Hukum Adat Dalam Pengadaan
Tanah Untuk Kepentingan Umum. Jurnal Penelitian Hukum De Jure, 98.
Sutedi, A. (2020). Implementasi prinsip kepentingan umum didalam pengadaan tanah untuk
pembangunan. Sinar Grafika (Bumi Akasara).
Sutrisno, N. A. (2019). Optimalisasi pemanfaatan sumber daya air untung meningkatkan
produksi peryain . Jurnal Sumber daya Lahan, 73-88.
Weningtyas Annisa, E. W. (2022). Pengelolaan Sumber Daya Air Berbasis Kearifan Lokal Sebagai
Modal Untuk Pembangunan Berkelanjutan. Jurnal Ilmu Hukum Dan Konstitusi , 29-144.

You might also like