You are on page 1of 20

SEMINAR USUL PENELITIAN

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Nama Mahasiswa : Nurjana Usman

NIM : 18101105059

Program Studi : Farmasi

Judul Penelitian : Analisis Medication Error Fase Prescribing dan Dispensing di


Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Pusat Ratatotok Buyat
Kabupaten Minahasa Tenggara

Komisi Pembimbing : 1. Gayatri Citraningtyas S.Farm., M.Si., Apt


2. Imam Jayanto S.Farm., M.Sc., Apt

Hari/Tanggal : Kamis, 09 Desember 2021

Pukul : 10:00 WITA


KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

LEMBAR PENGESAHAN SEMINAR USUL PENELITIAN

Nama Mahasiswa : Nurjana Usman


NIM : 18101105059
Program Studi : Farmasi
Judul Penelitian : Analisis Medication Error Pada Fase Prescribing dan Dispensing di
Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Pusat Ratatotok Buyat
Kabupaten Minahasa Tenggara.

Yang bersangkutan telah layak untuk melaksanakan seminar usul penelitian pada tanggal 09
Desember 2021

Menyetujui:

Komisi Pembimbing,

Gayatri Citraningtyas, S.Farm., M.Si., Apt Imam Jayanto S.Farm., M.Sc., Apt
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut Peraturan Menteri Republik Indonesia (2014), Kesalahan pengobatan


dapat terjadi dalam tiap proses pengobatan, baik dalam proses peresepan (prescribing),
pembacaan resep (transcribing), penyiapan hingga penyerahan obat (dispensing),
maupun dalam proses penggunaan obat (administration). Kesalahan dalam prescribing
dan dispensing merupakan dua hal yang sering terjadi dalam kesehatan pengobatan.

Secara umum, faktor yang paling sering mempengaruhi medication error adalah
faktor individu, berupa persoalan pribadi, pengetahuan tentang obat yang kurang
memadai, dan kesalahan perhitungan dosis obat (Mansouri et al., 2014).

Peran farmasis di rumah sakit apotek (farmasi klinik) tidak saja sebatas
memberikan informasi dan pelayanan obat yang akurat, tetapi juga melakukan berbagai
upaya untuk menjamin agar obat yang diperoleh pasien efektif dan aman serta digunakan
secara benar sehingga mencegah risiko medication error. Peran farmasi klinik secara
komprehensif haruslah difokuskan pada upaya untuk mencegah terjadinya medication
error, dengan mengembangkan sistem yang mampu mendeteksi, mencegah,
mengidentifikasi, dan meminimalkan risiko medication error serta jika sudah terjadi,
mampu melakukan langkah-langkah korektif yang dapat mencegah risiko kecacatan lebih
lanjut dari pasien. Farmasi klinik harus senantiasa berpikir bahwa medication error dapat
terjadi setiap saat (Anonim, 1996).

Studi yang dilakukan pada resep pasien di poli interna RSUP Fatmawati Jakarta
menunjukkan bahwa potensi kesalahan pada fase prescribing terjadi karena tulisan resep
tidak terbaca 0,3%, nama obat berupa singkatan 12%, tidak ada dosis pemberian 39%,
tidak ada jumlah pemberian 18%, tidak ada aturan pakai 34%, tidak ada rute pemberian
49%, tidak ada tanggal pembuatan resep 16%, tidak ada tanggal permintaan resep 16%,
tidak ada lengkap identitas pasien 62%, usia 87%, berat badan 88%, tinggi badan 88%,
jenis kelamin pasien 76%, dan nomor kamar 77%. Potensi kesalahan pada fase
dispensing terjadi karena pemberian etiket yang tidak lengkap sebanyak 61% (Susanti,
2013).

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


No.340/MENKES/PER/III/2010: Rumah Sakit adalah Institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan
1
pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Rumah Sakit Umum Pusat
Ratatotok Buyat merupakan salah satu Institusi pelayanan kesehatan yang berada di
Kabupaten Minahasa Tenggara, sebelumnya Rumah Sakit Umum Pusat Ratatotok Buyat
pernah mengalami suatu kejadian Medication Error yang disebabkan oleh petugas
kesehatan yang berada di Instalasi Farmasi. Kesalahan tersebut terjadi pada fase
prescribing dan fase dispensing dimana pada fase prescribing terdapat ketidakjelasan
dalam penulisan resep, tidak ada aturan pakai, tidak ada tanggal penulisan dokter, tidak
ada paraf dokter, tidak ada jumlah pemberian obat, tidak ada bentuk sediaan, tidak ada
SIP dokter, tidak ada nama pasien, tidak ada usia pasien, kesalahan nama/merek obat,
kesalahan dosis dan tulisan resep tidak terbaca. Sedangkan pada fase dispensing terdapat
kesalahan pada penyerahan obat, kesalahan penulisan copy resep, kesalahan pemberian
bentuk sediaan, kesalahan jumlah yang diberikan, kesalahan LASA, kesalahan
etiket/label, pemberian obat kedaluwarsa, pemberian dosis yang tidak tepat dan tidak ada
informasi mengenai obat yang diberikan. Sehingga sumber masalah medication error
yang terjadi dapat menyebabkan kesalahan fatal yang berasal dari petugas kesehatan itu
sendiri yang bisa membahayakan keselamatan pasien. Penelitian Dean et al., (2002)
menyebutkan bahwa farmasis menemukan 135 prescribing error pada pasien rawat jalan
setiap minggu dan 34 diantaranya berpotensi menimbulkan dampak yang serius. Di
Rumah Sakit Umum Pusat Ratatotok Buyat juga telah dikembangkan pengetahuan dari
tenaga kesehatan tentang medication error agar mengurangi kesalahan dalam
meningkatkan keselamatan pasien (Patient Safety) dan menjadi perhatian dalam
pelayanan kesehatan, khususnya di Rumah Sakit Umum Pusat Ratatotok Buyat.

Berdasarkan latar belakang diatas, Medication Error merupakan hal yang penting
dan sering terjadi. Penelitian tentang Medication Error di Sulawei Utara juga masih
sedikit dilakukan. Oleh karena itu, penulis berniat untuk melakukan Analisis Medication
Error pada fase Prescribing dan fase Dispensing di Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Umum Pusat Ratatotok Buyat Kabupaten Minahasa Tenggara. Agar kejadian medication
error pada fase apapun dan masalah yang berkaitan dengan obat yang terjadi tentunya
akan merugikan pasien dan dapat menyebabkan kegagalan terapi, bahkan dapat timbul
efek obat yang tidak diharapkan.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana cara mengatasi kejadian Medication Error pada fase prescribing, dan
dispensing.

2
1.3 Batasan Masalah
Penelitian ini dibatasi dengan mengamati kejadian Medication Error pada fase
prescribing dan dispensing di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Pusat Ratatotok
Buyat pada bulan Januari 2020 – desember 2020.
1.4 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui kejadian Medication Error pada fase prescribing, dan dispensing.
1.5 Manfaat Penelitian
1. Bagi Institusi dan Mahasiswa
Dapat menambah wawasan dan pengetahuan dari Mahasiswa tentang Medication
Error dan dapat menjadi bekal nantinya saat memasuki dunia kerja.
2. Bagi Rumah Sakit
Dapat digunakan sebagai bahan masukkan dalam penyusunan kebutuhan
Medication Error serta meningkatkan kualitas pelayanan yang dilakukan tenaga
kesehatan.
3. Bagi Masyarakat
Meningkatkan kesadaran dari tenaga kesehatan sehingga kesalahan pengobatan
pada masyarakat dapat dikurangi.

3
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Medication Error


2.1.1 Definisi Medication Error
Medication error adalah setiap kejadian yang dapat dihindari yang dapat
menyebabkan atau berakibat pada pelayanan obat yang tidak tepat atau
membahayakan pasien sementara obat berada dalam pengawasan tenaga kesehatan
atau pasien (NCCMERP, 2017), sedangkan Menurut SK (Surat Keputusan) Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang standar pelayanan
kefarmasian di apotek menyebutkan bahwa medication error adalah kejadian yang
merugikan pasien, yang diakibatkan pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga
kesehatan yang sebetulnya dapat dicegah (Depkes RI, 2014). Kejadian medication
error dibagi dalam 4 fase, yaitu fase prescribing, transcribing, dispensing, dan
administration (Depkes RI, 2004).
Dwiprahasto (2004), berpendapat bahwa medication error dapat terjadi dalam
setiap langkah penyiapan obat mulai dari proses pemilihan obat, permintaan melalui
resep, pembacaan resep, formulasi resep, penyerahan obat kepada pasien hingga
penggunannya oleh pasien atau petugas kesehatan. Kesalahan yang dimaksud dapat
berasal dari manusia dan lemahnya sistem yang ada.
Dengan demikian medication error dapat diartikan suatu kejadian yang dapat
dicegah yang bisa sebagai penyebab atau berperan dalam pengobatan yang tidak layak
atau yang bersifat merugikan pasien padahal pengobatan tersebut berada dalam
pantauan tenaga kesehatan, pasien atau konsumen. Beberapa kejadian dapat
berhubungan dengan praktisi kesehatan, produk kesehatan, prosedur, dan sistem
pengobatan, termasuk peresepan, miskomunikasi, pelabelan, dan penamaan produk,
pencampuran, penyediaan, pendistribusian, administrasi obat, edukasi, dan
penggunaan (Anonim, 2003).
2.1.2 Faktor- faktor yang mempengaruhi Medication error
Terdapat berbagai macam faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya
medication error menurut WHO, 2016 :
a. Faktor yang terkait dengan tenaga medis
1) Kurangnya pelatihan terkait pengobatan
2) Pengetahuan dan pengalaman terkait obat yang tidak memadai
3) Pengetahuan terkait profil pasien yang tidak memadai

4
4) Persepsi resiko yang tidak memadai
5) Beban pekerjaan yang terlalu berat
6) Masalah kesehatan fisik dan emosional
7) Komunikasi yang buruk antara petugas kesehatan dengan pasien
b. Faktor yang terkait dengan pasien
1) Karakteristik pasien (misalnya, kepribadian, keaksaraan, dan hambatan
bahasa).
2) Kompleksitas kasus klinis, terkait kondisi kesehatan pasien, poli farmasi
dan obat yang beresiko tinggi.
c. Faktor yang terkait dengan lingkungan kerja
1) Tekanan kerja dan waktu
2) Gangguan dan interupsi (oleh tenaga medis lain dan pasien)
3) Kurangnya protokol dan prosedur standar
4) Sumber daya yang tidak mencukupi
5) Masalah lingkungan kerja fisik (misalnya, pencahayaan, suhu dan
ventilasi)
d. Faktor yang terkait dengan obat-obatan
1) Penamaan obat-obatan
2) Pelabelan dan kemasan
e. Faktor yang terkait dengan tugas
1) Sistem berulang untuk pemesanan, pemrosesan dan otorisasi
2) Pemantauan pasien (tergantung pada praktek, pasien, fasilitas kesehatan
lainnya dan prescriber).
f. Faktor yang terkait dengan sistem informasi komputerisasi
1) Proses yang sulit untuk menghasilkan resep pertama (misalnya, daftar
pilihan obat, regimen dosis standar dan peringatan yang tidak terjawab)
2) Proses yang sulit untuk menghasilkan resep ulang yang benar
3) Kurangnya akurasi catatan pasien
4) Desain yang tidak memadai yang memungkinkan kesalahan petugas
(human error)
2.1.3 Upaya Pencegahan terjadinya Medication Error
Berikut adalah beberapa strategi atau cara yang digunakan sebagai upaya untuk
mencegah terjadinya medication error menurut WHO, 2016:
a. Peninjauan kembali pengobatan (medication review) dan rekonsilasi
pengobatan (reconciliation review).
5
Medication review adalah proses evaluasi pengobatan pasien sebagai
upaya untuk meningkatkan kesehatan pasien dan mengurangi masalah
terkait obat. Suatu studi sistematis menunjukkan bahwa medication review
dapat mengurangi efek samping obat dan mengurangi jumlah pasien yang
dirujuk ke rumah sakit. Reconciliation review adalah proses formal yang
secara konsisten dilakukan dalam menetakan dan mendokumentasikan
daftar definitive obat-obatan diseluruh transisi perawatan dan kemudian
meluruskan setiap perbedaan. Sejumlah sistem rekonsilasi pengobatan dapat
mengurangi medication error.
b. Sistem informasi otomatis
Sebuah studi menunjukkan adanya pengurangan medication error pada
uji coba komputerisasi. Computerized Provider Order Entry (CPOE) adalah
entri pesanan penyedia terkomputerisasi. Terdapat bukti yang mendukung
penggunaan CPOE dalam menurunkan terjadinya medication error.
c. Pendidikan (education)
Memberikan pendidikan kepada tenaga kesehatan merupakan elemen
kunci untuk meningkatkan dalam pengobatan. Pendidikan merupakan
bagian intervensi multikomponen dalam mengurangi medication error.
Sebuah studi menunjukkan bahwa interventi pendidikan dapat
meningkatkan keputusan perilaku klinik tenaga kesehatan terhadap
pedoman peresepan dan penyerahan antibiotik.
d. Intervensi multikomponen
Intervensi multikomponen adalah intervensi yang mencakup lebih dari
satu komponen. Sebuah studi menemukan bahwa hal tersebut dapat
mengurangi prescription error dan efek samping obat yang tidak
diinginkan.
2.2 Medication Error pada fase Prescribing
2.2.1 Prescribing Error
Prescribing error terjadi bila, sebagai akibat keputusan peresepan atau proses
penulisan resep, terjadi penurunan signifikan yang tidak disengaja dalam probabilitas
bahwa terapi diberikan tepat waktu dan efektif, atau terjadi peningkatan risiko harm
bila dibandingkan dengan praktek yang biasa dilakukan (Mashuda, 2011).
Pengkajian resep menurut Mashuda (2011) harus sesuai dengan persyaratan
administrasi, persyaratan farmaseutik dan persyaratan klinis.
a. Persyaratan administrasi meliputi :
6
1) Nama, umur, jenis kelamin dan berat badan serta tinggi badan pasien
2) Nama, nomor ijin praktek, alamat dan paraf dokter
3) Tanggal resep
4) Ruangan/unit asal resep
b. Persyaratan farmaseutik meliputi :
1) Nama obat, bentuk, dan kekuatan sediaan
2) Dosis dan jumlah obat
3) Stabilitas
4) Aturan, dan cara penggunaan
c. Persyaratan klinis meliputi :
1) Ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan obat
2) Tidak didapatkan duplikasi pengobatan
3) Tidak munculnya alergi, efek sampingm dan reaksi obat yang tidak
dikehendaki (ROTD)
4) Obat yang diberikan tidak kontraindikasi
5) Tidak dijumpai interaksi obat yang beresiko
2.2.2 Prosedur Prescribing
Prosedur fase prescribing yang dilakukan oleh apoteker menurut Mashuda
(2011) adalah sebagai berikut:
1) Melakukan pemeriksaan kelengkapan dan keabsahan resep yaitu nama
dokter, nomor ijin praktek, alamat, tangget penulisan resep, tanda tangan
atau paraf dokter serta nama, alamat, umur, jenis kelamin dan berat badan
pasien.
2) Melakukan pemeriksaan kesesuaian farmasetik yaitu bentuk sediaan, dosis,
frekuensi, kekuatan, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian
obat.
3) Mengkaji aspek klinis dengan cara melakukan patient assessment kepada
pasien yaitu adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis,
durasi, jumlah obat dan kondisi khusus lainnya), keluhan pasien dan hal lain
yang terkait dengan kajian aspek klinis.
4) Menetapkan ada tidaknya Drug Related Problems (DRP) dan membuat
keputusan profesi (komunikasi dengan dokter, merujuk pasien ke sarana
kesehatan terkait)
5) Mengkomunikasikan ke dokter tentang masalah resep apabila diperlukan.

7
2.2.3 Prevalensi Medication Error fase Prescribing
Hasil penelitian tentang Medication Error pada fase prescribing dilakukan
terhadap resep pasien sebanyak 369 lembar resep di Poli Interna RSUD Bitung pada
periode Juli-Desember 2015. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Medication Error
yang terjadi pada tahap prescribing meliputi tulisan resep tidak jelas atau tidak terbaca
6,50%, tidak ada umur pasien 62,87%, tidak ada bentuk sediaan 74,53%, tidak ada
dosis sediaan 20,87%. Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan
bahwa potensi terjadinya Medication Error pada tahap prescribing tergolong cukup
tinggi (Timbongol, 2016).
2.2.4 Kesalahan Medication Error fase Prescribing
Kesalahan peresepan merupakan masalah utama diantara kesalahan pengobatan
lainnya. Kesalahan pada tahap ini dapat menyebabkan kesalahan pada tahap
selanjutnya. Prescribing error diklasifikasikan sebagai kegagalan dalam peresepan atau
penulisan resep, seperti kesalahan obat, kesalahan dosis, duplikasi obat, kontraindikasi
obat, indikasi tanpa obat, dan tulisan tangan tidak terbaca (Ernawati et al., 2014).
2.3 Medication Error pada fase Dispensing
2.3.1 Dispensing Error
Dispensing error adalah ketidaksesuaian antara obat yang diresepkan dengan
obat yang diberikan oleh instalasi farmasi kepada pasien atau yang di distribusikan ke
bangsal, meliputi pemberian obat dengan kualitas informasi yang rendah (Cheung,
2009).
Fase dispensing menurut Mashuda (2011) adalah sebagai berikut.
1. Melakukan pemeriksaan akhir sebelum dilakukan penyerahan (kesesuaian
antara penulisan etiket dengan resep)
2. Memanggil nama dan nomor dan alamat pasien
3. Memeriksa identitas dan alamat pasien
4. Menyerahkan obat yang disertai Pemberian Informasi Obat (PIO)
5. Meminta pasien untuk mengulang informasi yang telah disampaikan
6. Membuat salinan resep sesuai dengan resep asli dan diparaf oleh Apoteker
7. Menyimpan resep pada tempatnya dan mendokumentasikan
8. Mendokumentasikan semua tindakan apoteker dalam PMR (patient
medication record).
9. Monitoring ke pasien tentang keberhasilan terapi, efek samping dsb.

8
2.3.2 Prosedur Dispensing
Prosedur penyerahan obat kepada pasien menurur Departemen Kesehatan
(2008) adalah sebagai berikut.
1. Peracikan obat dilakukan dengan tepat sesuai dengan SOP
2. Pemberian etiket yang tepat. Etiket harus dibaca minimum tiga kali:
Pada saat pengambilan obat dari rak, pada saat mengambil obat dari wadah,
pada saat mengembalikan obat ke rak.
3. Dilakukan pemeriksaan ulang oleh orang berbeda .
4. Pemeriksaan meliputi kelengkapan permintaan, ketepatan etiket, aturan
pakai, pemeriksaan kesesuaian resep terhadap obat, kesesuaian resep
terhadap isi etiket.
2.3.3 Prevalensi Medication Error pada fase Dispensing
Hasil penelitian yang dilakukan di RSUD Anwar Makkutu Kabupaten
Bantaeng pada bulan april-mei 2013 menunjukkan bahwa jenis dispensing error yang
terjadi yaitu kesalahan penulisan aturan pakai 3 kali pada pasien asma bronchial di
poliklinik interna, pasien neuralgia di poliklinik syaraf, dan pasien diabetes mellitus di
perawatan interna; kesalahan pemberian sediaan obat 1 kali pada pasien demam tifoid
di perawatan interna; jumlah obat yang tidak tepat 2 kali pada pasien tonsilofaringitis
dan pasien rhinitis alergi di poliklinik umum (Bayang et al., 2013).
2.3.4 Kesalahan Medication Error pada fase Dispensing
Kesalahan dalam pengambilan obat dapat berakibat buruk bagi pasien karena
jika obat yang tertera di resep berbeda dengan obat yang diberikan tentu saja akan
memberikan efek yang berbeda. Hasil penelitian Pernama (2017) menyatakan bahwa
kesalahan dalam pengambilan obat disebabkan oleh karena ada beberapa obat yang
memiliki bentuk dan nama yang serupa atau look a like sound a like (LASA).
2.4 Rumah Sakit
2.4.1 Defenisi Rumah Sakit
Rumah Sakit adalah Institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan peroragan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat
inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Gawat darurat adalah keadaan klinis pasien yang
membutuhkan tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan
kecatatan lebih lanjut. Pelayanan Kesehatan Paripurna adalah pelayanan kesehatan
yang meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif (UU RI No.44 Tahun
2009).

9
Rumah sakit menurut Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.983/Menkes/per/II/1992 yaitu sarana upaya kesehatan dalam menyelenggarakan
kegiatan pelayanan kesehatan serta dapat dimanfaatkan untuk pendidikan tenaga
kesehatan dan penelitian.
2.4.2 Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS)
Menurut Permenkes Nomor 72 Tahun 2016 Instalasi Farmasi adalah unit
pelaksana fungsional yang menyelenggarakan seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian
di Rumah Sakit. Berdasarkan definisi tersebut maka Instalasi Farmasi Rumah Sakit
secara umum dapat diartikan sebagai suatu departemen atau unit atau bagian dari suatu
rumah sakit di bawah pimpinan seorang apoteker dan dibantu oleh beberapa orang
apoteker yang memenuhi persyaratan perundang-undangan yang berlaku dan
bertanggung jawab atas seluruh pekerjaan serta kefarmasian, yang terdiri pelayanan
paripurna yang mencakup perencanaan, pengadaan, produksi, penyimpanan
perbekalan farmasi/sediaan farmasi, dispensing obat berdasarkan resep bagi penderita
saat dan rawat jalan, pengendalian mutu dan pengendalian distribusi dan penggunaan
seluruh perbekalan kesehatan di rumah sakit (Septini, 2012).
2.5 Rumah Sakit Umum Pusat Ratatotok Buyat

Rumah Sakit Umum Pusat Ratatotok Buyat adalah UPT Vertikal milik Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia yang terletak di Kabupaten Minahasa Tenggara. Rumah
Sakit ini didirikan pasca penutupan operasi tambang PT. Newmont Minahasa Raya
(NMR) di kecamatan Ratatotok. PT. Newmont Minahasa Raya. Pemerintah Republik
Indonesia yang diwakili oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat
membuat perjanjian Niat Baik (Goodwill Agreement) pada tanggal 16 Februari 2006
tentang Gagasan Pemantauan dan Pembangunan berkelanjutan pasca penutupan tambang
yang pengelolanya oleh Yayasan Pembangunan Berkelanjutan di Sulawesi Utara
(YPBSU). Sebagai implementasi di bidang kesehatan dan Perjanjian Niat Baik tersebut
sesuai dengan usulan masyarakat lingkar tambang yang diwakili oleh Forum Komunikasi
(Forkom) kecamatan Ratatotok maka didirikanlah Rumah Sakit dengan nama Rumah
Sakit Umum Ratatotok Buyat di wilayah Kabupaten Minahasa Tenggara yang berbatasan
langsung dengan Kabupaten Bolaang Mongondow Timur. Rumah Sakit Umum Pusat
Ratatotok Buyat di resmikan pada tanggal 20 Agustus 2009 oleh Menteri Koordinator
Kesejahteraan Rakyat Ir. Aburizal Bakrie dengan luas bangunan 7292 m2 dan luas tanah
30.000 m2. Pengelolaannya diserahkan kepada Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia melalui Tim Komisioner.

10
Visi dari Rumah Sakit Umum Pusat Ratatotok Buyat adalah “Pusat Rujukan di
Wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow Raya”. Sedangkan Misi dari Rumah Sakit
Ratatotok Buyat adalah:
1. Menyelenggarakan pelayanan yang professional, bermutu yang
mengutamakan keselamatan pasien dan berbasis IT
2. Meningkatkan dan mengembangkan SDM melalui pendidikan dan
penelitian untuk mencapai kualitas yang unggul serta berdaya saing
3. Memperkuat struktur finansial yang akuntabel berbasis digital dan
meningkatkan kesejahteraan
4. Menjadikan tempat kerja yang aman, sehat dan menyenangkan.

11
III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan tempat Penelitian


Penelitian ini akan dilakukan pada Bulan November 2021 – Desember 2021 di
Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Pusat Ratatotok Buyat Kabupaten Minahasa
Tenggara.
3.2 Janis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat analisis deskriptif dengan
pengumpulan data secara retrospektif.
3.3 Populasi & Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah resep pasien rawat jalan di Poli Interna RSUP
Ratatotok Buyat Kabupaten Minahasa Tenggara pada bulan November 2021 – Desember
2021.
Sampel yang dijadikan subjek penelitian ini adalah resep pasien rawat jalan di Poli
Interna Rumah Sakit Umum Pusat Ratatotok Buyat yang memenuhi kriteria selama
penelitian berlangsung. Sampel penelitian ini diambil dengan menggunakan metode
purposive sampling dengan kriteria insklusi dan kriteria eksklusi. Penentuan jumlah
sampel dapat dilakukan dengan perhitungan statistik yaitu dengan menggunakan Rumus
Slovin. Dengan tingkat presisi yang ditetapkan dalam penentuan sampel 5% (0,05).
1. Kriteria Insklusi
Kriteria inklusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian mewakili sampel
penelitian yang memenuhi syarat sebagai sampel (Notoatmodjo, 2012).
a. Resep resmi dari dokter Rumah Sakit Umum Pusat Ratatotok Buyat
Kabupaten Minahasa Tenggara.
b. Resep pasien rawat jalan di Poli Interna Rumah Sakit Umum Pusat
Ratatotok Buyat Kabupaten Minahasa Tenggara.
2. Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian tidak dapat
mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat sebagai sampel penelitian,
seperti halnya adanya hambatan etis, menolak menjadi responden atau suatu
keadaan yang tidak memungkinkan untuk dilakukan penelitian (Notoatmodjo,
2012).
a. Resep pasien rawat jalan di Poli Interna Rumah Sakit Umum Pusat
Ratatotok Buyat yang tidak diambil/dibatalkan.

12
3.4 Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dan dicatat dari pengamatan resep di Instalasi Farmasi Rumah
Sakit Umum Pusat Ratatotok Buyat Kabupaten Minahasa Tenggara selama bulan
November 2021 – Desember 2021 dilakukan pengamatan mengenai kelengkapan resep
pada tahap Prescribing dan Dispensing. Lembar pengumpulan data yang akan digunakan
dapat dilihat pada lampiran 1.
Proses wawancara dilakukan dengan Kepala Instalasi Farmasi dan pegawai tenaga
teknis kefarmasian yang ada di Rumah Sakit Umum Pusat Ratatotok Buyat Kabupaten
Minahasa Tenggara mengenai kejadian Medication Error pada tahap Prescribing dan
Dispensing di Rumah Sakit Umum Pusat Ratatotok Buyat Kabupaten Minahasa
Tenggara. Pertanyaan wawancara dapat dilihat pada lampiran 2.
3.5 Analisis Data
Analisis data dilakukan secara analisis univariat (analisis deskriptif) dalam besaran
presentase kejadian Medication Error untuk menentukan jumlah sampel yang disajikan
dalam Rumus Slovin.

Keterangan :

n= ukuran sampel yang akan diteliti

N= ukuran populasi

e= margin of error yang merupakan besaran kesalahan yang diharapkan atau


ditetapkan (Batas toleransi kesalahan)

Menurut Sugiyono (2011) dalam menggunakan Rumus Slovin ditentukan terlebih


dahulu batas toleransi kesalahannya. Batas toleransi kesalahan ini dinyatakan dengan
bentuk prosentase. Apabila prosentase toleransi kesalahannya semakin kecil maka data
jumlah sampel semakin akurat. Dalam rumus slovin ada ketentuan sebagai berikut:

1. Nilai e = 0,1 (10%) untuk populasi dalam jumlah besar


2. Nilai e = 0,2 (20%) untuk populasi dalam jumlah kecil.

13
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1996. Good Pharmacy Practice In Community Hospital Pharmacy Setting.

WHO. Geneva

Anonim, 1998. NCCMERP Taxonomy of Medication Error.

http://www.NCCMERP/pdf/taxo2001-07-31. Diakses tanggal 26 Oktober 2021

Anonim, 2003. Medication Error. http://www.fda.gov/eder/drug/MedErrors/default.htm


diakses tanggal 27 Oktober 2021

Bayang , A.T., Pasinringi, S., Sangkala. 2013. Faktor Penyebab Medication Error di Rumah
Sakit Umum Daerah Anwar Makkatutu Kabupaten Bantaeng. E-Journal Program
Pascasarjana Universitas Hasanudin. http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/ [28 Oktober
2021]

Dean B, Schachter M, Vincent C, Barber N. (2002). Cause of Prescribing Errors in Hospital


Inpatient: A Prospective Study Clinical Pharmacology: Imperial College School of
Medicine, London; and Clinical Risk Unit, University College London.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1992. Keputusan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia Nomor 983/Menkes/SK/XI/1992. Pedoman Organisasi Rumah Sakit Umum.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Tanggungjawab Apoteker Terhadap


Keselamatan Pasien (patient safety). Jakarta

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Keputusan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia Nomor 35 tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di Apotek.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Dwiprahasto, I., 2004. Medication Error & Dampak Penggunaan Obat yang Rasional. UGM.
Yogyakarta.

Ernawati, D. K et al. 2014. Nature and Frequency of Medication Error In A Geriatric Ward :
An Indonesian Experience. Therapeutics and Clinical Risk Management. Vol.10

Mansouri, A., Ahmadvand, A., Hadjibabaie, M., Javadi, M., Khoee, S.H., et al., 2014. A
Review of Medication Error in Iran: Sources, Underreporting Reasons and Preventive
Measures, Iranian Journal of Pharmaceutical Research 13(1): 6.
14
Mashuda, A. 2011. Pedoman Cara Pelayanan Kefarmasian yang Baik (CPFB) / Good
Pharmacy Practice (GPP). Menteri Kesehatan Republik Indonesia dengan Pengurus
Pusat Ikatan Apoteker Indonesia. Jakarta.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2004. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek,


Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.

National Coordination Council for Medication Error Reporting and Prevention (NCCMERP).
2016. http://www.nccmerp.org/about-medication-error [28 Oktober 2021]

National Coordination Council for Medication Error Reporting and Prevention. Medication
Error. 2017. Diunduh 12 November 2021. Tersedia dari http://www.nccmerp.org/

Notoatmodjo. 2012. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Permenkes, 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58. 2014.
Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Departemen Kesehatan RI,
Jakarta.

Permenkes, 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016.
Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta: Kementrian
Republik Indonesia.

Pernama, A.M. 2017. Evaluasi Medication Error pada Resep Pasien Diabetes Melitus Tipe II
Ditinjau dari Fase Prescribing, Transcribing, dan Dispensing di Instalasi Rawat Jalan
Salah Satu Rumah Sakit Jakarta Utara [skripsi], Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Timbongol, Chintia. 2016. Identifikasi Kesalahan Pengobatan (Medication Error) pada


Tahap Peresepan (prescribing) di Poli Interna RSUD Bitung. Jurnal Ilmiah Farmasi.
FMIPA UNSRAT. 5(3) : 1-6 ISSN 2302-2493.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Jakarta

WHO. 2016. Medication Errors. Tehnical Series on Safer Primary Care. Diunduh 12
November 2021.

15
Lampiran 1

LEMBAR PENGUMPULAN DATA

No TAHAP PARAMETER YANG DINILAI JUMLAH PERSE


MEDICATI KEJADI NTASE
ON ERROR AN %
Tulisan resep tidak terbaca
Tidak ada nama pasien

Tidak ada nama dokter penulis resep


Tidak ada SIP dokter
Tidak ada paraf dokter
Tidak ada tanggal penulisan resep
Tidak ada usia pasien
1. Prescribing
Tidak ada aturan pakai
Tidak ada bentuk sediaan
Tidak ada dosis (kekuatan)
Tidak ada jumlah pemberian obat
Kesalahan nama/merk obat
Kesalahan dosis
Kesalahan penulisan angka/decimal
kekuatan sediaan
Kesalahan penyerahan obat pasien
Kesalahan penulisan copy resep
Kesalahan pemberian bentuk sediaan
Kesalahan jumlah obat yang diberikan
Kesalahan LASA
2. Dispensing Kesalahan etiket/label
Pemberian obat kedaluwarsa
Kejadian lupa memberikan obat kepada
pasien
Pemberian dosis yang tidak tepat
Tidak ada informasi mengenai obat yang
diberikan

16
Lampiran 2

PERTANYAAN WAWANCARA

A. Sumber Daya Alam


1. Bagimana pendapat Bapak/Ibu mengenai pengkajian resep di bagian Instalasi
Farmasi ?
2. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu mengenai kendala yang biasa ditimbulkan pada
pemberian obat yang sudah kedaluawarsa?
3. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu mengenai proses pelabelan etiket pada obat yang
akan diberikan?
4. Apa pendapat Bapak/Ibu mengenai proses penyiapan dan pembungkusan obat
Instalasi Farmasi?
5. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu mengenai ketidakjelasan dalam penulisan resep
yang diberikan oleh dokter?
6. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu mengenai aturan pakai yang tidak tertera di dalam
resep?
7. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu mengenai penyerahan obat, apabila ketika seorang
pasien sudah kabur/pulang meninggalkan apotek di rumah sakit tersebut?
8. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu mengenai resep rawat jalan di Instalasi Farmasi
RSUP Ratatotok Buyat dalam pelayanan resep obat yang terkait dengan kecepatan
waktu pelayanan resep obat, apakah sudah mencukupi kebutuhan? jika belum
bagian mana yang membutuhkan tenaga kesehatan?
9. Bagaimana menurut Bapak/Ibu mengenai keramahan petugas saat menyerahkan
obat kepada pasien?
10. Apakah informasi yang disampaikan mudah dimengerti oleh pasien?
11. Apakah petugas bersedia mengulangi pemberian informasi obat dengan baik jika
pasien belum mengerti?
12. Siapa saja yang terlibat dalam kegiatan pelayanan resep obat di Instalasi Farmasi
rawat jalan?
13. Apakah ada program rutin untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
petugas yang terkait dengan pelayanan resep obat di Instalasi Farmasi rawat jalan?
14. Apa saja hambatan yang terjadi dalam proses pelayanan resep obat di Instalasi
Farmasi rawat jalan?

17
B. Sarana dan Prasana
1. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu mengenai ketersediaan sarana dan prasarana saat
ini untuk mendukung pelayanan resep obat pasien umum rawat jalan?
2. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu mengenai tata ruang dan letak, apakah sudah
memadai? Jika belum, bagian mana yang memerlukan tambahan atau perubahan?
C. Metode (SOP/Kebijakan)
1. Bagaimana menurut Bapak/Ibu mengenai Standar waktu tunggu pelayanan resep
obat di Rumah Sakit Umum Pusat Ratatotol Buyat?
2. Apakah SOP/Kebijakan tersebut sudah disosialisasikan dan digunakan sebagai
pedoman kerja?
3. Apakah pendapat SOP/Kebijakan Khusus untuk Instalasi Farmasi mengenai sistem
pelayanan resep obat?

18

You might also like