Professional Documents
Culture Documents
Analisis Medication Error Fase Prescribing Dan Dispensing Di Instalasi Rumah Sakit Umum Pusat Ratatotok Buyat Kabupaten Minahasa Tenggara - PDF 1
Analisis Medication Error Fase Prescribing Dan Dispensing Di Instalasi Rumah Sakit Umum Pusat Ratatotok Buyat Kabupaten Minahasa Tenggara - PDF 1
NIM : 18101105059
Yang bersangkutan telah layak untuk melaksanakan seminar usul penelitian pada tanggal 09
Desember 2021
Menyetujui:
Komisi Pembimbing,
Gayatri Citraningtyas, S.Farm., M.Si., Apt Imam Jayanto S.Farm., M.Sc., Apt
I. PENDAHULUAN
Secara umum, faktor yang paling sering mempengaruhi medication error adalah
faktor individu, berupa persoalan pribadi, pengetahuan tentang obat yang kurang
memadai, dan kesalahan perhitungan dosis obat (Mansouri et al., 2014).
Peran farmasis di rumah sakit apotek (farmasi klinik) tidak saja sebatas
memberikan informasi dan pelayanan obat yang akurat, tetapi juga melakukan berbagai
upaya untuk menjamin agar obat yang diperoleh pasien efektif dan aman serta digunakan
secara benar sehingga mencegah risiko medication error. Peran farmasi klinik secara
komprehensif haruslah difokuskan pada upaya untuk mencegah terjadinya medication
error, dengan mengembangkan sistem yang mampu mendeteksi, mencegah,
mengidentifikasi, dan meminimalkan risiko medication error serta jika sudah terjadi,
mampu melakukan langkah-langkah korektif yang dapat mencegah risiko kecacatan lebih
lanjut dari pasien. Farmasi klinik harus senantiasa berpikir bahwa medication error dapat
terjadi setiap saat (Anonim, 1996).
Studi yang dilakukan pada resep pasien di poli interna RSUP Fatmawati Jakarta
menunjukkan bahwa potensi kesalahan pada fase prescribing terjadi karena tulisan resep
tidak terbaca 0,3%, nama obat berupa singkatan 12%, tidak ada dosis pemberian 39%,
tidak ada jumlah pemberian 18%, tidak ada aturan pakai 34%, tidak ada rute pemberian
49%, tidak ada tanggal pembuatan resep 16%, tidak ada tanggal permintaan resep 16%,
tidak ada lengkap identitas pasien 62%, usia 87%, berat badan 88%, tinggi badan 88%,
jenis kelamin pasien 76%, dan nomor kamar 77%. Potensi kesalahan pada fase
dispensing terjadi karena pemberian etiket yang tidak lengkap sebanyak 61% (Susanti,
2013).
Berdasarkan latar belakang diatas, Medication Error merupakan hal yang penting
dan sering terjadi. Penelitian tentang Medication Error di Sulawei Utara juga masih
sedikit dilakukan. Oleh karena itu, penulis berniat untuk melakukan Analisis Medication
Error pada fase Prescribing dan fase Dispensing di Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Umum Pusat Ratatotok Buyat Kabupaten Minahasa Tenggara. Agar kejadian medication
error pada fase apapun dan masalah yang berkaitan dengan obat yang terjadi tentunya
akan merugikan pasien dan dapat menyebabkan kegagalan terapi, bahkan dapat timbul
efek obat yang tidak diharapkan.
2
1.3 Batasan Masalah
Penelitian ini dibatasi dengan mengamati kejadian Medication Error pada fase
prescribing dan dispensing di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Pusat Ratatotok
Buyat pada bulan Januari 2020 – desember 2020.
1.4 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui kejadian Medication Error pada fase prescribing, dan dispensing.
1.5 Manfaat Penelitian
1. Bagi Institusi dan Mahasiswa
Dapat menambah wawasan dan pengetahuan dari Mahasiswa tentang Medication
Error dan dapat menjadi bekal nantinya saat memasuki dunia kerja.
2. Bagi Rumah Sakit
Dapat digunakan sebagai bahan masukkan dalam penyusunan kebutuhan
Medication Error serta meningkatkan kualitas pelayanan yang dilakukan tenaga
kesehatan.
3. Bagi Masyarakat
Meningkatkan kesadaran dari tenaga kesehatan sehingga kesalahan pengobatan
pada masyarakat dapat dikurangi.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
4
4) Persepsi resiko yang tidak memadai
5) Beban pekerjaan yang terlalu berat
6) Masalah kesehatan fisik dan emosional
7) Komunikasi yang buruk antara petugas kesehatan dengan pasien
b. Faktor yang terkait dengan pasien
1) Karakteristik pasien (misalnya, kepribadian, keaksaraan, dan hambatan
bahasa).
2) Kompleksitas kasus klinis, terkait kondisi kesehatan pasien, poli farmasi
dan obat yang beresiko tinggi.
c. Faktor yang terkait dengan lingkungan kerja
1) Tekanan kerja dan waktu
2) Gangguan dan interupsi (oleh tenaga medis lain dan pasien)
3) Kurangnya protokol dan prosedur standar
4) Sumber daya yang tidak mencukupi
5) Masalah lingkungan kerja fisik (misalnya, pencahayaan, suhu dan
ventilasi)
d. Faktor yang terkait dengan obat-obatan
1) Penamaan obat-obatan
2) Pelabelan dan kemasan
e. Faktor yang terkait dengan tugas
1) Sistem berulang untuk pemesanan, pemrosesan dan otorisasi
2) Pemantauan pasien (tergantung pada praktek, pasien, fasilitas kesehatan
lainnya dan prescriber).
f. Faktor yang terkait dengan sistem informasi komputerisasi
1) Proses yang sulit untuk menghasilkan resep pertama (misalnya, daftar
pilihan obat, regimen dosis standar dan peringatan yang tidak terjawab)
2) Proses yang sulit untuk menghasilkan resep ulang yang benar
3) Kurangnya akurasi catatan pasien
4) Desain yang tidak memadai yang memungkinkan kesalahan petugas
(human error)
2.1.3 Upaya Pencegahan terjadinya Medication Error
Berikut adalah beberapa strategi atau cara yang digunakan sebagai upaya untuk
mencegah terjadinya medication error menurut WHO, 2016:
a. Peninjauan kembali pengobatan (medication review) dan rekonsilasi
pengobatan (reconciliation review).
5
Medication review adalah proses evaluasi pengobatan pasien sebagai
upaya untuk meningkatkan kesehatan pasien dan mengurangi masalah
terkait obat. Suatu studi sistematis menunjukkan bahwa medication review
dapat mengurangi efek samping obat dan mengurangi jumlah pasien yang
dirujuk ke rumah sakit. Reconciliation review adalah proses formal yang
secara konsisten dilakukan dalam menetakan dan mendokumentasikan
daftar definitive obat-obatan diseluruh transisi perawatan dan kemudian
meluruskan setiap perbedaan. Sejumlah sistem rekonsilasi pengobatan dapat
mengurangi medication error.
b. Sistem informasi otomatis
Sebuah studi menunjukkan adanya pengurangan medication error pada
uji coba komputerisasi. Computerized Provider Order Entry (CPOE) adalah
entri pesanan penyedia terkomputerisasi. Terdapat bukti yang mendukung
penggunaan CPOE dalam menurunkan terjadinya medication error.
c. Pendidikan (education)
Memberikan pendidikan kepada tenaga kesehatan merupakan elemen
kunci untuk meningkatkan dalam pengobatan. Pendidikan merupakan
bagian intervensi multikomponen dalam mengurangi medication error.
Sebuah studi menunjukkan bahwa interventi pendidikan dapat
meningkatkan keputusan perilaku klinik tenaga kesehatan terhadap
pedoman peresepan dan penyerahan antibiotik.
d. Intervensi multikomponen
Intervensi multikomponen adalah intervensi yang mencakup lebih dari
satu komponen. Sebuah studi menemukan bahwa hal tersebut dapat
mengurangi prescription error dan efek samping obat yang tidak
diinginkan.
2.2 Medication Error pada fase Prescribing
2.2.1 Prescribing Error
Prescribing error terjadi bila, sebagai akibat keputusan peresepan atau proses
penulisan resep, terjadi penurunan signifikan yang tidak disengaja dalam probabilitas
bahwa terapi diberikan tepat waktu dan efektif, atau terjadi peningkatan risiko harm
bila dibandingkan dengan praktek yang biasa dilakukan (Mashuda, 2011).
Pengkajian resep menurut Mashuda (2011) harus sesuai dengan persyaratan
administrasi, persyaratan farmaseutik dan persyaratan klinis.
a. Persyaratan administrasi meliputi :
6
1) Nama, umur, jenis kelamin dan berat badan serta tinggi badan pasien
2) Nama, nomor ijin praktek, alamat dan paraf dokter
3) Tanggal resep
4) Ruangan/unit asal resep
b. Persyaratan farmaseutik meliputi :
1) Nama obat, bentuk, dan kekuatan sediaan
2) Dosis dan jumlah obat
3) Stabilitas
4) Aturan, dan cara penggunaan
c. Persyaratan klinis meliputi :
1) Ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan obat
2) Tidak didapatkan duplikasi pengobatan
3) Tidak munculnya alergi, efek sampingm dan reaksi obat yang tidak
dikehendaki (ROTD)
4) Obat yang diberikan tidak kontraindikasi
5) Tidak dijumpai interaksi obat yang beresiko
2.2.2 Prosedur Prescribing
Prosedur fase prescribing yang dilakukan oleh apoteker menurut Mashuda
(2011) adalah sebagai berikut:
1) Melakukan pemeriksaan kelengkapan dan keabsahan resep yaitu nama
dokter, nomor ijin praktek, alamat, tangget penulisan resep, tanda tangan
atau paraf dokter serta nama, alamat, umur, jenis kelamin dan berat badan
pasien.
2) Melakukan pemeriksaan kesesuaian farmasetik yaitu bentuk sediaan, dosis,
frekuensi, kekuatan, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian
obat.
3) Mengkaji aspek klinis dengan cara melakukan patient assessment kepada
pasien yaitu adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis,
durasi, jumlah obat dan kondisi khusus lainnya), keluhan pasien dan hal lain
yang terkait dengan kajian aspek klinis.
4) Menetapkan ada tidaknya Drug Related Problems (DRP) dan membuat
keputusan profesi (komunikasi dengan dokter, merujuk pasien ke sarana
kesehatan terkait)
5) Mengkomunikasikan ke dokter tentang masalah resep apabila diperlukan.
7
2.2.3 Prevalensi Medication Error fase Prescribing
Hasil penelitian tentang Medication Error pada fase prescribing dilakukan
terhadap resep pasien sebanyak 369 lembar resep di Poli Interna RSUD Bitung pada
periode Juli-Desember 2015. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Medication Error
yang terjadi pada tahap prescribing meliputi tulisan resep tidak jelas atau tidak terbaca
6,50%, tidak ada umur pasien 62,87%, tidak ada bentuk sediaan 74,53%, tidak ada
dosis sediaan 20,87%. Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan
bahwa potensi terjadinya Medication Error pada tahap prescribing tergolong cukup
tinggi (Timbongol, 2016).
2.2.4 Kesalahan Medication Error fase Prescribing
Kesalahan peresepan merupakan masalah utama diantara kesalahan pengobatan
lainnya. Kesalahan pada tahap ini dapat menyebabkan kesalahan pada tahap
selanjutnya. Prescribing error diklasifikasikan sebagai kegagalan dalam peresepan atau
penulisan resep, seperti kesalahan obat, kesalahan dosis, duplikasi obat, kontraindikasi
obat, indikasi tanpa obat, dan tulisan tangan tidak terbaca (Ernawati et al., 2014).
2.3 Medication Error pada fase Dispensing
2.3.1 Dispensing Error
Dispensing error adalah ketidaksesuaian antara obat yang diresepkan dengan
obat yang diberikan oleh instalasi farmasi kepada pasien atau yang di distribusikan ke
bangsal, meliputi pemberian obat dengan kualitas informasi yang rendah (Cheung,
2009).
Fase dispensing menurut Mashuda (2011) adalah sebagai berikut.
1. Melakukan pemeriksaan akhir sebelum dilakukan penyerahan (kesesuaian
antara penulisan etiket dengan resep)
2. Memanggil nama dan nomor dan alamat pasien
3. Memeriksa identitas dan alamat pasien
4. Menyerahkan obat yang disertai Pemberian Informasi Obat (PIO)
5. Meminta pasien untuk mengulang informasi yang telah disampaikan
6. Membuat salinan resep sesuai dengan resep asli dan diparaf oleh Apoteker
7. Menyimpan resep pada tempatnya dan mendokumentasikan
8. Mendokumentasikan semua tindakan apoteker dalam PMR (patient
medication record).
9. Monitoring ke pasien tentang keberhasilan terapi, efek samping dsb.
8
2.3.2 Prosedur Dispensing
Prosedur penyerahan obat kepada pasien menurur Departemen Kesehatan
(2008) adalah sebagai berikut.
1. Peracikan obat dilakukan dengan tepat sesuai dengan SOP
2. Pemberian etiket yang tepat. Etiket harus dibaca minimum tiga kali:
Pada saat pengambilan obat dari rak, pada saat mengambil obat dari wadah,
pada saat mengembalikan obat ke rak.
3. Dilakukan pemeriksaan ulang oleh orang berbeda .
4. Pemeriksaan meliputi kelengkapan permintaan, ketepatan etiket, aturan
pakai, pemeriksaan kesesuaian resep terhadap obat, kesesuaian resep
terhadap isi etiket.
2.3.3 Prevalensi Medication Error pada fase Dispensing
Hasil penelitian yang dilakukan di RSUD Anwar Makkutu Kabupaten
Bantaeng pada bulan april-mei 2013 menunjukkan bahwa jenis dispensing error yang
terjadi yaitu kesalahan penulisan aturan pakai 3 kali pada pasien asma bronchial di
poliklinik interna, pasien neuralgia di poliklinik syaraf, dan pasien diabetes mellitus di
perawatan interna; kesalahan pemberian sediaan obat 1 kali pada pasien demam tifoid
di perawatan interna; jumlah obat yang tidak tepat 2 kali pada pasien tonsilofaringitis
dan pasien rhinitis alergi di poliklinik umum (Bayang et al., 2013).
2.3.4 Kesalahan Medication Error pada fase Dispensing
Kesalahan dalam pengambilan obat dapat berakibat buruk bagi pasien karena
jika obat yang tertera di resep berbeda dengan obat yang diberikan tentu saja akan
memberikan efek yang berbeda. Hasil penelitian Pernama (2017) menyatakan bahwa
kesalahan dalam pengambilan obat disebabkan oleh karena ada beberapa obat yang
memiliki bentuk dan nama yang serupa atau look a like sound a like (LASA).
2.4 Rumah Sakit
2.4.1 Defenisi Rumah Sakit
Rumah Sakit adalah Institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan peroragan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat
inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Gawat darurat adalah keadaan klinis pasien yang
membutuhkan tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan
kecatatan lebih lanjut. Pelayanan Kesehatan Paripurna adalah pelayanan kesehatan
yang meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif (UU RI No.44 Tahun
2009).
9
Rumah sakit menurut Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.983/Menkes/per/II/1992 yaitu sarana upaya kesehatan dalam menyelenggarakan
kegiatan pelayanan kesehatan serta dapat dimanfaatkan untuk pendidikan tenaga
kesehatan dan penelitian.
2.4.2 Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS)
Menurut Permenkes Nomor 72 Tahun 2016 Instalasi Farmasi adalah unit
pelaksana fungsional yang menyelenggarakan seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian
di Rumah Sakit. Berdasarkan definisi tersebut maka Instalasi Farmasi Rumah Sakit
secara umum dapat diartikan sebagai suatu departemen atau unit atau bagian dari suatu
rumah sakit di bawah pimpinan seorang apoteker dan dibantu oleh beberapa orang
apoteker yang memenuhi persyaratan perundang-undangan yang berlaku dan
bertanggung jawab atas seluruh pekerjaan serta kefarmasian, yang terdiri pelayanan
paripurna yang mencakup perencanaan, pengadaan, produksi, penyimpanan
perbekalan farmasi/sediaan farmasi, dispensing obat berdasarkan resep bagi penderita
saat dan rawat jalan, pengendalian mutu dan pengendalian distribusi dan penggunaan
seluruh perbekalan kesehatan di rumah sakit (Septini, 2012).
2.5 Rumah Sakit Umum Pusat Ratatotok Buyat
Rumah Sakit Umum Pusat Ratatotok Buyat adalah UPT Vertikal milik Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia yang terletak di Kabupaten Minahasa Tenggara. Rumah
Sakit ini didirikan pasca penutupan operasi tambang PT. Newmont Minahasa Raya
(NMR) di kecamatan Ratatotok. PT. Newmont Minahasa Raya. Pemerintah Republik
Indonesia yang diwakili oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat
membuat perjanjian Niat Baik (Goodwill Agreement) pada tanggal 16 Februari 2006
tentang Gagasan Pemantauan dan Pembangunan berkelanjutan pasca penutupan tambang
yang pengelolanya oleh Yayasan Pembangunan Berkelanjutan di Sulawesi Utara
(YPBSU). Sebagai implementasi di bidang kesehatan dan Perjanjian Niat Baik tersebut
sesuai dengan usulan masyarakat lingkar tambang yang diwakili oleh Forum Komunikasi
(Forkom) kecamatan Ratatotok maka didirikanlah Rumah Sakit dengan nama Rumah
Sakit Umum Ratatotok Buyat di wilayah Kabupaten Minahasa Tenggara yang berbatasan
langsung dengan Kabupaten Bolaang Mongondow Timur. Rumah Sakit Umum Pusat
Ratatotok Buyat di resmikan pada tanggal 20 Agustus 2009 oleh Menteri Koordinator
Kesejahteraan Rakyat Ir. Aburizal Bakrie dengan luas bangunan 7292 m2 dan luas tanah
30.000 m2. Pengelolaannya diserahkan kepada Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia melalui Tim Komisioner.
10
Visi dari Rumah Sakit Umum Pusat Ratatotok Buyat adalah “Pusat Rujukan di
Wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow Raya”. Sedangkan Misi dari Rumah Sakit
Ratatotok Buyat adalah:
1. Menyelenggarakan pelayanan yang professional, bermutu yang
mengutamakan keselamatan pasien dan berbasis IT
2. Meningkatkan dan mengembangkan SDM melalui pendidikan dan
penelitian untuk mencapai kualitas yang unggul serta berdaya saing
3. Memperkuat struktur finansial yang akuntabel berbasis digital dan
meningkatkan kesejahteraan
4. Menjadikan tempat kerja yang aman, sehat dan menyenangkan.
11
III. METODOLOGI PENELITIAN
12
3.4 Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dan dicatat dari pengamatan resep di Instalasi Farmasi Rumah
Sakit Umum Pusat Ratatotok Buyat Kabupaten Minahasa Tenggara selama bulan
November 2021 – Desember 2021 dilakukan pengamatan mengenai kelengkapan resep
pada tahap Prescribing dan Dispensing. Lembar pengumpulan data yang akan digunakan
dapat dilihat pada lampiran 1.
Proses wawancara dilakukan dengan Kepala Instalasi Farmasi dan pegawai tenaga
teknis kefarmasian yang ada di Rumah Sakit Umum Pusat Ratatotok Buyat Kabupaten
Minahasa Tenggara mengenai kejadian Medication Error pada tahap Prescribing dan
Dispensing di Rumah Sakit Umum Pusat Ratatotok Buyat Kabupaten Minahasa
Tenggara. Pertanyaan wawancara dapat dilihat pada lampiran 2.
3.5 Analisis Data
Analisis data dilakukan secara analisis univariat (analisis deskriptif) dalam besaran
presentase kejadian Medication Error untuk menentukan jumlah sampel yang disajikan
dalam Rumus Slovin.
Keterangan :
N= ukuran populasi
13
DAFTAR PUSTAKA
WHO. Geneva
Bayang , A.T., Pasinringi, S., Sangkala. 2013. Faktor Penyebab Medication Error di Rumah
Sakit Umum Daerah Anwar Makkatutu Kabupaten Bantaeng. E-Journal Program
Pascasarjana Universitas Hasanudin. http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/ [28 Oktober
2021]
Dwiprahasto, I., 2004. Medication Error & Dampak Penggunaan Obat yang Rasional. UGM.
Yogyakarta.
Ernawati, D. K et al. 2014. Nature and Frequency of Medication Error In A Geriatric Ward :
An Indonesian Experience. Therapeutics and Clinical Risk Management. Vol.10
Mansouri, A., Ahmadvand, A., Hadjibabaie, M., Javadi, M., Khoee, S.H., et al., 2014. A
Review of Medication Error in Iran: Sources, Underreporting Reasons and Preventive
Measures, Iranian Journal of Pharmaceutical Research 13(1): 6.
14
Mashuda, A. 2011. Pedoman Cara Pelayanan Kefarmasian yang Baik (CPFB) / Good
Pharmacy Practice (GPP). Menteri Kesehatan Republik Indonesia dengan Pengurus
Pusat Ikatan Apoteker Indonesia. Jakarta.
National Coordination Council for Medication Error Reporting and Prevention (NCCMERP).
2016. http://www.nccmerp.org/about-medication-error [28 Oktober 2021]
National Coordination Council for Medication Error Reporting and Prevention. Medication
Error. 2017. Diunduh 12 November 2021. Tersedia dari http://www.nccmerp.org/
Permenkes, 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58. 2014.
Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Departemen Kesehatan RI,
Jakarta.
Permenkes, 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016.
Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta: Kementrian
Republik Indonesia.
Pernama, A.M. 2017. Evaluasi Medication Error pada Resep Pasien Diabetes Melitus Tipe II
Ditinjau dari Fase Prescribing, Transcribing, dan Dispensing di Instalasi Rawat Jalan
Salah Satu Rumah Sakit Jakarta Utara [skripsi], Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Jakarta
WHO. 2016. Medication Errors. Tehnical Series on Safer Primary Care. Diunduh 12
November 2021.
15
Lampiran 1
16
Lampiran 2
PERTANYAAN WAWANCARA
17
B. Sarana dan Prasana
1. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu mengenai ketersediaan sarana dan prasarana saat
ini untuk mendukung pelayanan resep obat pasien umum rawat jalan?
2. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu mengenai tata ruang dan letak, apakah sudah
memadai? Jika belum, bagian mana yang memerlukan tambahan atau perubahan?
C. Metode (SOP/Kebijakan)
1. Bagaimana menurut Bapak/Ibu mengenai Standar waktu tunggu pelayanan resep
obat di Rumah Sakit Umum Pusat Ratatotol Buyat?
2. Apakah SOP/Kebijakan tersebut sudah disosialisasikan dan digunakan sebagai
pedoman kerja?
3. Apakah pendapat SOP/Kebijakan Khusus untuk Instalasi Farmasi mengenai sistem
pelayanan resep obat?
18