1924 tokoh Islam dari kalangan modernis dibentuk Central Committee Chilafat (CCC) berpusat di Surabaya untuk merespons keruntuhan khilafah Islam di Turki.
1924 tokoh Islam dari kalangan modernis dibentuk Central Committee Chilafat (CCC) berpusat di Surabaya untuk merespons keruntuhan khilafah Islam di Turki.
1924 tokoh Islam dari kalangan modernis dibentuk Central Committee Chilafat (CCC) berpusat di Surabaya untuk merespons keruntuhan khilafah Islam di Turki.
......Menurut M. Amien Rais, ada dua alasan misi KH.
Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah; pertama, ingin melepaskan umat Islam dari Kungkungan khurofat, takhayul, dan bid’ah. Kedua, untuk memajukan pendidikan umat Islam dengan penggalian ilmu-ilmu dari Barat sebagai jalan kebahagiaan di dunia, di samping kebahagiaan di akhirat. 1924 tokoh Islam dari kalangan modernis dibentuk Central Committee Chilafat (CCC) berpusat di Surabaya untuk merespons keruntuhan khilafah Islam di Turki. 1926 duta CCC menghadap ke Mu’tamar Alam Islami di Hijaz. Organisasi ini pun diterima menjadi anggota sekaligus cabang MAI yang berkedudukan di Surabaya. Di tahun yang sama (1926), para ulama dari kalangan tradisional membentuk organisasi “Komite Hijaz”. Komite Hijaz segera melahirkan organisasi Nahdhotul Ulama pada 31 Januari 1926. Sayangnya, NU gagal hadir ke Hijaz. Perbedaan penting antara Muhammadiyah dan NU terletak pada pola yang dilakukan dalam pembinaan umat. NU lebih cenderung tetap memegang nilai-nilai tradisional, sedangkan Muhammadiyah cenderung puritan. Dalam hal pendidikan, NU relatif enggan mengadopsi model pendidikan kolonial Belanda, sedangkan Muhammadiyah mengadopsi hampir seluruh model pendidikan kolonial Belanda dengan menggunakan kurikulum Islami. Secara sosiologis, profil massa Muhammadiyah terdiri dari kaum bazzar (pedagang dan pengusaha di perkotaan) dan priyayi. Sedangkan profil massa NU sejak mula lebih banyak memiliki massa di daerah frontier. Intervensi kolonial Belanda dalam hukum Islam, membuat dua organisasi Islam ini makin bersatu. Dan terbentuklah Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) pada 18-21 September 1973 di Surabaya yang diprakarsai NU, Muhammadiyah, dan Sarekat Islam. Di mana misi MIAI, yakni mempersatukan, mendamaikan, memperkokoh, dan menyelamatkan Islam dan masyarakat. Salah satu hasil Kongres MIAI III di Solo adalah penandatanganan kerjasama dengan GAPI (Gabungan Politik Indonesia). Kemudian ditindaklanjuti dengan Kongres Rakyat Indonesia di Batavia akhir 1939 yang menuntut Indonesia berparlemen. Setelah Jepang mengalahkan Belanda pada Maret 1942, Jepang berusaha membubarkan organisasi Islam dan juga MIAI. Jepang berusaha merayu umat Islam Indonesia dengan membentuk Badan Persatuan Umat Islam (BPUI) dan Persatuan Alim Ulama (PAU). Meski begitu, Muhammadiyah dan NU menolak bergabung. Jepang berusaha menghidupkan MIAI versi Jepang. Tetapi mendapat kritik tajam dari Muhammadiyah dan NU yang akhirnya MIAI versi Jepang ini dibubarkan untuk kemudian Jepang membentuk Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) pada Oktober 1943. November-nya, dibentuk Partai Masyumi yang tidak ada hubungan dengan organisasi Masyumi bentukan Jepang. »»» lebih lengkap https://warung-arsip.blogspot.com/2023/07/resensi-matahari- terbit-bintang-sembilan.html