You are on page 1of 7

Mufassir adalah orang yang menerangkan makna atau maksud kandungan Alquran.

Sejatinya
kata Ustadz Ahmad Sarwat, Lc. MA dalam bukunya Pengantar Ilmu Tafsir mangatakan
yang boleh menafsirkan Alquran hanyalah Nabi Muhammad SAW.

"Kenapa hanya Nabi Muhammad yang boleh menafsirkan Alquran, karena Nabi Muhammad
merupakan utusan Allah SWT yang diberi ilmu secara langsung untuk menjelaskan isi dan
makna Alquran. Semua yang keluar dari mulut Nabi Muhammad SAW adalah wahyu juga,
meski bukan termasuk ayat Alquran.

"Hal ini sebagaimana surat An-Najm ayat 3-4 yang tegas menyebutkan hal itu," katanya.
Surah An-Najm yang artinya. "Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Alquran) menurut
kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
kepadanya (Muhammad)."

Pada masa Nabi Muhammad SAW, selain Khulafaurrasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman dan
Ali) yang menjadi Mufassir adalah Abdullah bin Abbas. Sejak kecil Abdullah bin Abbas
didoakan Rasulullah agar diberi kemampuan dalam memahami agama dan mampu mentakwil
Alquran. Berikut doa Nabi Muhammad untuk Abdullah bin Abbas "Allahumma faqqihhu fid
din wa ‘allimhu at-ta’wil. "Ya Allah, jadikan anak ini

punya pemahaman yang mendalam dalam masalah agama dan kariniakan dia kemampuan
untuk menafsirkan Al-Quran

"Doa ini diriwayatkan dengan sanad yang shahih dan diamini oleh semua orang. Maka
Abdullah bin Abbas pun bergelar Turjumanul Quran yaitu orang yang punya kemampuan
menerjemahkan (menafsirkan) Alquran," katanya.

Secara umum tafsir Alquran dapat dibedakan menjadi tiga klasifikasi, yaitu sumber
penafsiran (al-mashdar), sistematika penyajian tafsir (al-manhaj),

dan corak penafsiran (al-laun). Ahmad menuturkan ada sembilan syarat yang harus dimiliki
Mufassir seperti disampaikam Syeikh Manna Al-Qaththan dalam kitabnya, Mabahits fi
'Ulumil Quran yang di antaranya.

1. Sehat Aqidah
2. Terbebas dari Hawa Nafsu

3. Menafsirkan Alquran dengan Alquran

4. Menafsirkan Alquran dengan As-Sunnah

5. Merujuk kepada perkataan Sahabat

6. Merujuk kepada perkataan Tabiin

7. Menguasai Ilmu Bahasa Arab

8. Menguasai Ilmu yang terkait dengan Ilmu Tafsir

9. Pemahaman yang mendalam.

Tentang Sehat Aqidah, Ustadz Ahmad Sarwat menjelaskan, seorang yang beraqidah
menyimpang dari aqidah yang benar tentu tidak dibenarkan untuk menjadi mufassir. Sebab
ujung-ujungnya dia akan merusak ayat-ayat Alquran demi kepentingan penyelewengan
aqidahnya.

"Maka kitab-kitab yang diklaim sebagai tafsir sedangkan penulisnya dikenal sebagai orang
yang menyimpang dari aqidah ahlusunnah wal jamaah, tidak diakui sebagai kitab tafsir,"
katanya.

Ahmad memastikan, menafsirkan Alquran harus dengan Alquran. Karena Alquran turun dari
satu sumberAhmad menegaskan, seorang Mufassir diharamkan menggunakan hawa nafsu
dan kepentingan pribadi, kelompok dan jamaah ketika menafsirkan ayat-ayat Alquran. Dalam
menafsirkan Alquran Mufassir tidak boleh terdorong oleh ikatan nafsu, dendam, cemburu,
trauma dan perasaan-perasaan yang membuatnya menjadi tidak objektif. Dia harus betul-
betul meninggalkan subjektifitas pribadi dan golongan serta memastikan
objektifitas,profesionalisme dan kaidah yang baku dalam menafsirkan," katanya, maka tiap
ayat menjadi penjelas dari ayat lainnya, dan tidak saling bertentangan. Sebelum mencari
penjelasan dari keterangan lain, maka yang pertama kali harus dirujuk dalam menafsirkan
Alquran adalah ayat Alquran sendiri.
Seorang mufassir tidak boleh sembarangan dalam membuat penjelasan apa pun dari ayat
yang ditafsrikannya, kecuali setelah melakukan pengecekan terhadap ayat lainnya. Hal itu
berarti juga bahwa seorang mufassir harus membaca, mengerti dan meneliti terlebih dahulu
seluruhayat Alquran secara lengkap, baru kemudian boleh berkomentar atas suatu ayat.

"Sebab boleh jadi penjelasan atas suatu ayat sudah terdapat di ayat lain, tetapi dia belum
membacanya," katanya.

Selain menafsirkan Alquran dengan Alquran, seorang Mufassir juga harus menafsirkan
Alquran dengan As-Sunnah. Seorang Mufassir harus membaca semua hadits nabi secara
lengkap, dengan memilah dan memilih hanya pada hadits yang maqbul saja.

"Tidak perlu menggunakan hadits yang mardud seperti hadits palsu dan sejenisnya," katanya.

Ahmad menyampaikan, tentang kekuatan dan kedudukan hadits nabi,

pada hakikatnya berasal dari Allah juga. Jadi boleh dibilang bahwa hadits nabi sebenarnya
merupakan wahyu yang turun dari langit. Sehingga kebenarannya juga mutlak dan qath'i
sebagaimana ayat Alquran juga.

Dalam menafsirkan Alquran, kata Ahmad, Mufasir juga harus merujuk kepada perkataan para
sahabat. Karena para shahabat nabi adalah orang yang

meyaksikan langsung bagaimana tiap ayat turun ke bumi. Bahkan tidak sedikit dari mereka
yang justru menjadi objek sasaran diturunkannnya ayat Alquran.

Maka boleh dibilang bahwa kata Ahmad, orang yang paling mengerti dan tahu tentang suatu
ayat yang turun setelah Rasulullah SAW adalah para shahabat Nabi SAW. Maka tidak ada
kamusnya bagi mufassir untuk meninggalkan komentar, perkataan, penjelasan dan penafsiran
dari para sahabat Nabi SAW atas suatu ayat.

"Musaffiri yang benar adalah yang tidak lepas rujukannya dari para shahabat Nabi SAW,"
katanya.

Mufassir juga harus merujuk kepada perkataan Tabi'in. Para tabi'in adalah orang yang pernah
bertemu dengan para shahabat Nabi SAW dalam keadaan
muslim dan meninggal dalam keadaan muslim pula. Mereka adalah generasi langsung yang
telah bertemu dengan generasi para shahabat.

"Maka rujukan berikutnya buat para mufassir atas rahasia dan pengertian tiap ayat di Alquran
adalah para tabi'in," katanya.

Seorang Mufassir dalam menafsirkan Alquran mesti menguasai Ilmu Bahasa Arab. Karena
Alquran diturunkan di negeri Arab dan merupakan dialog kepada kepada orang Arab, maka
bahasanya adalah bahasa Arab. Walaupun kata Ahmad, isi dan esensinya tidak terbatas hanya
untuk orang Arab tetapi untuk seluruh manusia. Namun kedudukan Arab sebagai
transformator dan komunikator antara Allah dan manusia, yaitu Alqran menjadi mutlak dan
absolut.

"Kearaban bukan hanya terbatas dari segi bahasa, tetapi juga semua elemen yang terkait
dengan sebuah bahasa," katanya.

Seorang Mufassir bukan hanya wajib mengerti bahasa Arab, tetapi harus paham dan mengerti
betul budaya Arab, idiom, pola pikir dan logika yang diberkembang di negeri Arab. Karena
Alquran turun di tengah kebudayaan mereka. Pesan-pesan di dalam Alquran tidak akan bisa
dipahami kecuali oleh bangsa Arab.

Tidak ada cerita kata Ahmad, seorang mufassir buta bahasa dan budaya Arab. Sebab bahasa
terkait dengan budaya, budaya juga terkait dengan 'urf, etika, tata kehidupan dan seterusnya.
Dan kalau dibreak-down, bahasa Arab mengandung beberapa cabang ilmu seperti adab
(sastra), ilmu bayan, ilmu balaghah, ilmul-'arudh,

ilmu mantiq, dan lainnya. Semua itu menjadi syarat mutlak yang harus ada di kepala seorang
mufassir.

Menguasai Ilmu yang terkait dengan Ilmu Tafsir menjadi keharusan seorang Mufassir. Di
antara cabang-cabangnya antara lain ilmu asbabunnuzul, ilmu nasakh-manskukh, ilmu
tentang al-'aam wal khash, ilmu tentang Al-Mujmal dan Mubayyan, dan seterusnya.

"Tidak pernah ada seorang mufassir yang kitab tafsirnya diakui oleh dunia Islam, kecuali
mereka adalah pakar dalam semua ilmu tersebut," katanya.
Ahmad menegaskan, syarat terakhir yang harus dimiliki seorang Mufasir adala pemahaman
yang mendalam. Seorang mufassir adalah dia harus merupakan orang yang paling paham dan
mengerti tentang seluk belum agama Islam, yaitu hukum dan syariat Islam.

"Sehingga dia tidak tersesat ketika menafsirkan tiap ayat Alquran," katanya.

Selain itu kata Ahmad, seorang Mufassir juga harus merupakan seorang yang punya logika
yang kuat, cerdas, berwawasan, punya pengalaman, serta berkapasitas seorang ilmuwan.

Menjadi Penafsir Al-Qur'an tidak bisa secara sembarangan memaknai sesuai dengan
keinginan pribadi. Namun dalam menafsirkan AL-Qur'an ada kriteria tertentu yang perlu
diimplementasikan. Salah satunya tidak bertentangan dengan sunnah sunnah Nabi.

Dalam menafsirkan Al-Qur'an, ada ilmu-ilmu yang harus dikuasai oleh seseorang mufasir.
Diantaranya ilmu Nahwu, Shorof, Balaghoh, Bahasa Arab, Ushul Fiqh dan lain sebagainya.
Untuk menjadi seorang mufassir tidaklah harus orang Arab, namun siapa saja selama
memenuhi syarat syaratnya. Salah satunya adalah Tokoh Mufassir Indonesia diantaranya;

1. Kiai Sholeh Darat

Kiai Sholeh Darat memiliki nama lengkap K.H Muhammad Salah Bin Umar As-Samarani.
Beliau lahir pada tahun 1820 di Kedung Cempleng Kecamatan Mayong Kabupaten Jepara
Jawa Tengah. Saat muda beliau sudah belajar di Makkah dan berguru pada para ulama besar
seperti Syekh Muhammad al Muqri, Syekh Ahmad Nahrawi, Sulaiman Hasbullah al-Makki,
dan Sayyid Ahmad ibn Zaini Dahlan.

Banyak Ilmu yang beliau tekuni diantaranya ilmu Fiqh, Nahwu, Shorof dan kitab kitab yakni
kitab Fath al-Qarib, Fath al-Mu’in, Minhaj al-Qawwim, Syarah al-Khatib dan Fath al-Wahab.
KH Sholeh Darat juga belajar Tafsir al-Jalalain karya Imam Suyuti pada Kiai Raden Haji
Muhammad Sholeh bin Asnawi Kudus.Tafsir Faidhur Rahman menjadi karya Tafsir pertama
di Nusantara.

2. Bisri Musthafa
Mashadi atau lebih dikenal dengan nama Bisri Musthafa lahir Pada tahun 1914 di Rembang
Jawa Timur. Semasa hidupnya beliau menempuh pendidikan di Sekolah Ongko Loro
(Sekolah Rakyat atau Sekolah Dasar untuk Bumi Putera). Kemudian beliau mengaji di
pondok pesantren Kasingan, Rembang di bawah bimbingan Kiai Kholil. Belau juga berguru
pada Syaikh Ma'shum Lasem, Kiai Dimyati Tremas, Pacitan, Jawa Timur dan Kiai Ma'shum
Lasem.

Selain dikenal sebagai seorang budayawan ataupun seniman, beliau juga menjadi salah satu
tokoh mufasir terkemuka di Indonesia. Al-Ibriz li Ma’rifat Tafsir Al-Qur’an al-Aziz yang
berjumlah 30 juz menjadi karyanya yang paling populer.

3. Buya Hamka

Abdul Malik Karim Amrullah atau akrab disapa Buya Hamka, lahir pada 1908. Sejak sekolah
beliau dikenal sebagai sosok yang pandai dan mahir dalam berbahasa arab. Saat melanjutkan
pendidikan ke Thowalib, Buya Hamka mulai menghafal kitab-kitab klasik, Nahwu, shorof
dan ilmu Arudh.

Di usia 16 tahun beliau sudah berkelana mencari ilmu. Termasuk belajar di Makkah dan
belajar Sejarah Islam juga Sastra secara otodidak. Selian itu, Hamka juga merantau ke
Yogyakarta untuk mempelajari Pergerakan Islsm Modern kepada berbagai tokoh Indonesia
seperti Ki Hadikusumo, H.O.S Tjocroaminoto, H. Fakhruddin dan K.I Hadikusumo.

Buya Hamka selain sukses dalam kacah perpolitikannya, ia juga dikenal sebagai seorang
penulis buku yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang telah difilmkan.
Selian itu tokoh agamawan ini juga menyandang gelar mufasir. Tafsir Al-azhar menjadi
karyanya yang paling disorot.

4. Quraish Shihab

Bernama lengkap Muhammad Quraish Shihab, lahir pada 16 Februari 1944 di Rappang,
Sulawesi Selatan. Setelah sekolah dasar ia melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren
Darul Hadits Falaqiyyah, Malang. Kemudian ia dikirim oleh ayahnya di Universitas Al-Azar
di Cairo Mesir dan mengambil jurusan Tafsir dan Hadits. Di sinilah beliau mulai menekuni
keilmuan tafsir.
Ia dikenal sebagai seorang pakar tafsir kontemporer. Dari beberapa karyanya di bidang tafsir,
Tafsir Al-Misbah yang terdiri atas 15 judul menjadi karyanya yang paling monumental.

Syaikh Abdurrauf As-Sinkili


Ulama besar asal Aceh, Syaikh Abdurrauf As-Sinkili (1615—1693) adalah pelopor tafsir di
Nusantara. As-Sinkili merupakan ulama Nusantara yang memiliki reputasi internasional.
Adapun karya As-Sinkili yang paling tersohor adalah Tarjuman al-Mustafid, sebuah kitab
tafsir berbahasa Melayu-Jawi atau Arab-Pegon. Pada saat itu, bahasa Melayu dipakai dalam
birokrasi pemerintahan, intelektual, hubungan diplomatik antarnegara, hingga perdagangan.

K.H. Abdul Sanusi


Pada 1930-an, ulama asal Sukabumi, K.H. Abdul Sanusi juga menulis kitab tafsir lengkap 30
juz yang berjudul Raudlatul Irfan fi Ma’rifat Al-Qur’an. Kitab tafsir itu ditulis dalam bahasa
Sunda. Kiai Sanusi menulis 75 kitab dengan beragam perspektif keilmuan.

You might also like