You are on page 1of 6

A.

Latar Belakang
Menurut Walgito (2004: 15) mengatakan perilaku manusia tidak lepas dari keadaan individu
itu sendiri dan lingkungan dimana individu itu berada. Perilaku sosial adalah aktifitas fisik
dan pisikis seseorang terhadap orang lain atau sebaliknya dalam rangka memenuhi diri atau
orang lain yang sesuai dengan tuntutan sosial (Hurlock 2004: 262). Perilaku sosial adalah
suasana saling ketergantungan yang merupakan keharusan untuk menjamin keberadaan
manusia, artinya bahwa kelangsungan hidup manusia berlangsung dalam suasana saling
mendukung dalam kebersamaan, (Rusli Ibrahim). (Yulia, n.d.)
Menurut Prasetyo (2009), Broken Home dibagi atas dua kata, yaitu Broken yang artinya
”Kehancuran”, sedangkan Home yang berarti ”Rumah”. (Sosial Humaniora Sigli et al., 2023)
Broken home sering dikenal dengan kondisi keluarga yang tidak lengkap ataupun harmonis
lagi, yang mana kedua orangtua dari keluarga sudah dikatakan pisah. Namun, broken home
tidak hanya berkaitan dengan perceraian ataupun perpisahan yang mengakibatkan
berakhirnya sebuah keluarga, tapi keluarga yang tidak sempurna atau saling melengkapi
dimana orangtua tidak mampu membangun dan menjadi orangtua seutuhnya.4 Seharusnya
dalam sebuah keluarga peran orangtua terhadap anak perlu diutamakan karena akan
berdampak pada masa depannya. Sekarang kenyataannya banyak anak yang bebas
pergaulannya karena kurangnya perhatian dari orangtua. (Cholid, 2021)
Angka perceraian di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik mengalami kenaikan sebanyak
15,3% dari tahun 2021 ke 2022. Kasus perceraian terbanyak disebabkan oleh faktor ekonomi,
meninggalkan sepihak, KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), dan lain-lain. Rumah
tangga dengan orang tua tunggal akibat dari perceraian ataupun perpisahan hingga tampak
meyiratkan tidak sesuainya standar keluarga dalam beberapa hal dinamakan broken home.
Masalah keluarga terkadang membuat anak menjadi lebih menutup diri dari siapapun
(Saskara dan Ulio, 2020). Keadaan ini dapat membuat anak menjadi loneliness (kesepian).
(Anisha et al., n.d.)

Runtuhnya suatu unit keluarga, runtuhnya atau retaknya struktur peran sosial jika salah satu
dari beberapa keluarga yang gagal dalam menjalankan kewajiban perannya dengan baik
sering terjadi pada diri anak dari keluarga yang broken home. (Nurnaningsih et al., 2022)
Broken home dapat dilihat dari beberapa sudut pandang yaitu, (1) keluarga terbelah karena
dari salah satu individu keluarga telah wafat atau telah berpisah, (2) wali tidak dipisahkan,
tetapi keluarga strukturnya dari ayah atau ibu tidak berada dirumah dan atau tidak terlihat
hubungan yang hangat lagi. (Burhanuddin & Thohiroh, 2021)
Gambaran dari kesejahteraan psikologis remaja dari keluarga broken home adalah berawal
dari kekecawaan terhadap figure orang tua karena kebutuhan kasih sayang. Namun
keterbukaan terhadap lingkungan sosial membuat subjek tetap optimis dan memiliki
pengembangan diri. Oleh karena itu dari dukungan sosial yang mendukung, usia, dan
pengalaman spiritual.
Masalah yang dihadapi berkaitan dengan pola asuh pada anak broken home dibagi menjadi
masalah intelektual dan karakteristik anak. Secara intelektual masalah yang terjadi
mengalami penurunan kemampuan kognitif, keterlambatan membaca, dan sering tidak
konsentrasi yang mengakibatkan kurangnya pemahaman materi saat proses belajar.
Sedangkan secara karakteristik yang terjadi pada anak yaitu memiliki temperamen buruk,
ketidakstabilan emosi,
mudah sensitive, dan kepribadian yang tertutup. Hal tersebut disebabkan beberapa faktor
termasuk dalamnya faktor perhatian orang tua, pendidikan orang tua, tingkat sosial dan
ekonomi orang tua dan lingkungan tempat tinggal.
Adanya psychological well-being pada siswa dengan kondisi broken home tentu disebabkan
beberapa faktor yang menjadikan beban psikologis ayah dan ibu berat seperti tertekan di
temapt kerja dan kesulitan dalam ekonomi keluarga, perhatian, tingkat sosial, pendidikan dan
lingkungan sosial.
(Karakteristik Siswa Psychological Well-Being Dari Keluarga Broken Home, n.d.)

Masalah broken home dapat memengaruhi tumbuh kembang pada anak-anaknya.


Perkembangan anak menjadi terhambat karena disebabkan oleh masalah broken home.
Keluarga adalah tempat yang penting bagi tumbuh kembang fisik, emosional, mental, dan
sosial bagi anak. Menurut Saikia (2017) menjelaskan bahwa penyebab keluarga berantakan
adalah perceraian orang tua. Padahal fungsinya sangat penting bagi keberlangsungan
masyarakat (Lestari, 2012). Masalah perceraian tentunya bisa menimbulkan dampak
kejiwaan yang negatif bagi anaknya. Anaknya bisa memunculkan perasaan kehilangan dari
kedua orang tuanya yang setiap hari mereka lihat. Loughlin (dalam Nasiri, 2016) mengatakan
bahwa anak
atau remaja yang mengalami masalah broken home cenderung memiliki gangguan kesehatan
mental pada dirinya seperti merasakan stres, depresi, dan juga kecemasan. Ada beberapa
dampak yang dirasakan oleh anak yang mengalami masalah broken home (Kusumaningrum,
2015). Beberapa dampak yang dirasakan tersebut yaitu diantaranya seperti cenderung
dipengaruhi oleh hal-hal yang negatif, kualitas hidup yang buruk. bullying, adanya gangguan
makan dan obesitas, penurunan pendidikan, stres kejiwaan, pergaulan bebas, dan lain-lain.
Pernyataan ini diperkuat dari hasil riset Sarbini dan Kusuma (2014) yang menyatakan bahwa
dampak dari permasalahan broken home terhadap anak yaitu diantaranya seperti kemarahan,
perasaan yang tidak aman, kesedihan, kesepian, perasaan penolakan dari keluarga, dan rasa
bersalah. Mayoritas penelitian berpendapat bahwa anak yang mengalami masalah broken
home mempunyai sikap yang kurang baik atau negatif. (Anarta et al., n.d.)
Kurangnya perhatian dan kasih sayang dari keluarga juga dapat menjadikan kesejahteraan
psikologis remaja menjadi rendah. Kesejahteraan psikologis menjadi kekuatan remaja untuk
melanjutkan kehidupannya meskipun berada dalam situasi keluarga yang tidak utuh. Individu
yang memiliki kesejahteraan psikologis mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan
orang lain, mempunyai tujuan hidup yang bermakna, mempunyai kemampuan mengatur
lingkungan, mempunyai hubungan yang positif dengan orang lain serta berusaha
mengeksplorasi dan mengembangkan diri semaksimal mungkin (Ramadhani, Djunaedi, dan
Sismiati 2016)
Azizah (2017) menyebutkan anak akan mengalami perubahan pada stabilitas emosi setelah
peristiwa perceraian terjadi. Ketidaknyamanan yang dimiliki anak berhubungan dengan
kondisi broken home akan mempengaruhi tahapan perkembangan individu (Saikia, 2017).
Adanya hambatan transisi tugas perkembangan anak ke remaja yang dialami seringkali
berdampak pada kebingungan identitas yang dimiliki (identity confusion). Penelitian oleh
Yárnoz-Yaben dan Garmendia (2016) di Spanyol menemukan bahwa perceraian yang
mengarah pada peristiwa penuh tekanan akan mempengaruhi keberhasilan tugas
perkembangan karena adanya masa penyesuaian diri dan proses memaafkan yang harus
dilalui oleh remaja. Dampak broken home pada remaja dapat dilakukan pengamatan dengan
melihat apakah terdapat perubahan kepribadian yang tercermin pada emosi, tanggung jawab,
dan kemampuan sosial (Firdausi et al., 2020).
Wulandari dan Fauziah (2019) menemukan bahwa perubahan pada remaja broken home
disebabkan hilangnya perhatian atau kasih sayang orang tua akibat adanya perceraian akan
mempengaruhi kesuksesan transisi tugas pada saat remaja. Transisi tahapan perkembangan
yang seharusnya dilalui remaja dengan pendampingan orang tua seringkali tidak berjalan
sebagaimana mestinya pada remaja berlatar belakang broken home. Orang tua yang
memutuskan untuk berpisah seringkali membuat anak dihadapkan pada dua konsekuensi
yaitu anak akan jauh dari konflik atau semakin dekat dengan konflik (Yárnoz-Yaben &
Garmendia, 2016). Individu yang sedang mengalami konflik akan cenderung mudah
merasakan penolakan, kehilangan, atau perasaan bahwa dirinya telah terjebak menjadi
perantara pesan antara ayah dan ibu. Perasaan terjebak yang dimiliki disebut dengan istilah
carrying massage. Carrying massage merupakan suatu bentuk komunikasi disfungsional
yang dilakukan setelah
perceraian berlangsung dimana membuat anak menyampaikan pesan diantara orang tua, yang
mengharuskan anak untuk menghadapi kekhawatiran (Segrin & Flora, 2014). Fatchurrahmi
dan Sholichah (2021) menjelaskan bahwa dampak-dampak yang terjadi pada kondisi broken
home yang mempengaruhi kondisi psikologis anak dikarenakan hadirnya perasaan tidak
nyaman, depresi, dan tidak bahagia. (Fernandasari & Psikologi, n.d.)
Kesejahteraan psikologis pada remaja merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan.
Remaja membutuhkan kesejahteraan psikologis dalam hidupnya agar lebih bersyukur dan
mampu beradaptasi dengan baik di masyarakat di masa depan. Hal ini menandakan bahwa
kesejahteraan psikologis merupakan suatu kekuatan yang mampu menggerakkan remaja
menuju kehidupan yang lebih baik sehingga posisi kesejahteraan psikologis menjadi yang
terdepan dan sangat penting bagi remaja (Abidin et al. 2020). Kesejahteraan psikologis
dikombinasikan dengan perasaan sejahtera dan berfungsi secara efektif. Individu yang
mempunyai kesejahteraan psikologis yang tinggi merasa mampu memperoleh pendukung.
Individu merasa puas dengan kehidupannya dan mempunyai perasaan bahagia (Suranto dan
Sugiarti 2021). (Nur Hayati, n.d.)
Dalam mencapai kesejahteraan psikologis, individu perlu menciptakan keseimbangan antara
kebutuhan fisik dan psikologisnya, serta memperhatikan aspek lingkungan yang dapat
mempengaruhi kesejahteraannya. Selain itu, dukungan sosial dan aktivitas positif yang sesuai
dengan minat dan nilai pribadi juga dapat membantu meningkatkan kesejahteraan psikologis
(Abidin et al., 2020). Penelitian mengenai dampak rumah tangga yang rusak (broken home)
terhadap kesejahteraan psikologis adalah penting karena dapat memberikan informasi yang
berguna bagi para profesional kesehatan, pendidik, orang tua, dan individu yang terkena
dampak. (Ramadhani dkk., 2016). (Ilhamuddin, 2023)
Remaja membutuhkan keluarga sebagai pedoman dalam menghadapi tugas-tugas
perkembangan yang sulit. Keluarga sangat penting untuk membimbing remaja melalui tugas-
tugas perkembangan menuju masa dewasa. Berns (2003)[3] menyatakan bahwa keluarga
merupakan tempat pertama bagi anak untuk belajar dan mengekspresikan dirinya sebagai
manusia sosial dalam berinteraksi dengan masyarakat. Keluarga juga bertanggung jawab
membesarkan anak, mengalokasikan sumber daya rumah, dan memenuhi kebutuhan seluruh
anggota keluarga. Keluarga yang mengalami gangguan akan berdampak pada seluruh
anggotanya, tidak hanya orang tua, namun juga anak.
Remaja yang dibesarkan dalam lingkungan yang harmonis, dimana orang tuanya memberikan
kasih sayang, perhatian dan bimbingan dalam kehidupan berkeluarga, perkembangan
kepribadiannya cenderung positif (Yusuf, 2004). Namun terkadang orang tua tidak dapat
menjalankan perannya secara maksimal seperti orang tua pada umumnya yang serba lengkap,
yang dapat memenuhi segala kebutuhan anaknya dengan penuh kasih sayang, emosional,
finansial, hal ini dikenal dengan istilah Broken Home. (Fatchurrahmi & Sholichah, n.d.)
Maka dengan adanya permasalahan permasalahan psikologis yang dialami oleh anak broken
home, dengan demikian tujuan dari penulisan jurnal ini yaitu untuk menguraikan dampak
kesejahteraan psikologi pada wanita korban broken home.
Daftar Pustaka
Yulia, Y. (2020). Perilaku Sosial Anak Remaja yang Menyimpang Akibat Broken Home. Jurnal
Edukasi Non Formal, 47 - 50.
Ardilla, N. C. (2021). Pengaruh Broken Home terhadap Anak. Studia, 1 - 14.
Fikri Anarta, R. M. (2023). DAMPAK ORANG TUA BROKEN HOME TERHADAP PERILAKU
REMAJA WANITA. Jurnal Empati Volume 13, Nomor 01, 1-9.
Ivannia Sonnia Christabela Montolalu (1), T. M. (2023). HARAPAN (HOPE) WANITA DARI
KELUARGA BROKEN HOME DALAM MENGAMBIL KEPUTUSAN MENIKAH DI
KABUPATEN MINAHASA. Jurnal Sosial Humaniora Sigli ( JSH) Volume 6 Nomor 1, 98 -
104.
Nurnaningsih1, Y. P. (2022). Psychological Well-Being of Young Lady from a Broken Home
Family in Tana Toraja. Psikostudia Volume 11 Nomor 1, 125 - 134.
Sholichah2, R. F. (2021). Mindfulness for Adolescents from Broken Home Family.
International Journal of Latest Research in Humanities and Social Science (IJLRHSS)
Volume 04 - Issue 02, 2021, 60-65.
Ilhamuddin, M. F. (2023). Psychological Well-Being in Broken Home Students. Prisma Sains:
Jurnal Pengkajian Ilmu dan Pembelajaran Matematika dan IPA IKIP Mataram April
2023. Vol. 11, No. 2, 434-439.
Ariyanto3, N. A. (2023). Loneliness pada anak broken home: Bagaimana peranan self-
compassion dan psychological well-being. Sukma : Jurnal Penelitian Psikologi Juni
2023, Vol. 4, No. 01,, 130-139.
Dewi, F. A. (2022). HUBUNGAN ANTARA ATTACHMENT DENGAN SUBJECTIVE WELL-BEING
PADA REMAJA AKHIR BROKEN HOME. Volume 9 Nomor 2 Tahun 2022, Character:
Jurnal Psikologi Unesa, 90-101.
Diah Purwaningsih Rischa Pramudia Trisnani, B. D. (2023). Karakteristik Siswa Psychological
Well-Being Dari Keluarga Broken Home. Seminar Nasional Sosial Sains, Pendidikan,
Humaniora (SENASSDRA) Volume 2 No 1, 389-398.

You might also like