You are on page 1of 14

Accelerat ing t he world's research.

bahan sosiologi ; masalah keluarga


sosiologis
Cofee Zhizn

Related papers Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

Tugas Jurnal Diagnosis Anak Bermasalah


arif ayu andriyani

Jppsikologiperkembangan
Felisit as Vist a

DINAMIKA PSIKOLOGIS PEMBENT UKAN PARENT ING SELF EFFICACY PADA ORANGT UA PENYANDANG T …
Jurnal Psikologi Teori dan Terapan
Jurnal Psikologi Undip Vol.13 No.2 Oktober 2014, 120-132

PROFIL KELUARGA DISFUNGSIONAL PADA PENYANDANG


MASALAH SOSIAL DI KOTA SEMARANG

Endang Sri Indrawati, Darosy Endah Hyoscyamina, Novi Qonitatin, Zaenal Abidin

Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro


Jl. Prof. Sudharto SH, Tembalang, Semarang 50275

esi_iin@yahoo.com

Abstract
Dysfunctional family is a social problem that also caused other social problems. It is important to understand the
basic character of family which has social problem in order to prevent and to solve social problems. This study
aims to describe the profile of dysfunctional families which have social problems. The subject comprised 92
persons (70 men; 22 women; aged 15-79 years) who have social problems and stayed in the social centers, social
rehabilitation centers, or slum areas of Semarang city. Data were collected using Dysfunctional Family
Questionnaire and Risk-Parenting Scale and were analyzed using descriptive statistics. The results showed that
the majority (51.09%) of dysfunctional families which have social problems come from low economic status,
low level of educational background (21.74% fathers and 14.13% mothers finished junior high school of higher;
the remaining subject went to elementary school or were illiterate); the majority of participants (69.56%) have
more than three siblings. Among parental inadequate behaviors, smoking behavior was considered to bring
strongly negative impact to the family members.

Keywords: family profile, dysfunctional family, social problem

Abstrak

Masalah sosial yang juga menjadi penyebab dari masalah sosial yang lain adalah keluarga disfungsional.
Memahami karakter dasar keluarga tempat individu penyandang masalah sosial berasal adalah penting dalam
upaya pencegahan dan penanggulangan masalah-masalah sosial. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan
profil disfungsionalitas keluarga dari penyandang masalah sosial. Penelitian ini merupakan penelitian survei.
Responden penelitian ini adalah 92 orang (70 pria; 22 wanita; usia 15-79 tahun) penyandang masalah sosial yang
berada di panti sosial, pusat rehabilitasi, maupun kantong-kantong kemiskinan di Kota Semarang. Data diperoleh
dengan menggunakan Kuesioner Keluarga Disfungsional dan Skala Pengasuhan Berisiko. Data dianalisis
menggunakan metode statistik deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada keluarga penyandang
masalah sosial, 51,09% berasal dari keluarga dari tingkat ekonomi lemah; latar belakang pendidikan orang tua
rendah; hanya 21,74% ayah berpendidikan SMP ke atas dan hanya 14,13% ibu berpendidikan SMP ke atas,
sisanya berpendidikan SD atau buta huruf; dan memiliki banyak saudara; mayoritas (69,56%) responden
memiliki saudara lebih dari 3 orang. Diantara beberapa perilaku inadequate dari orang tua, perilaku merokok
merupakan perilaku yang berdampak sangat negatif bagi anggota keluarganya.

Kata kunci: profil keluarga, keluarga disfungsional, masalah sosial

PENDAHULUAN perkembangan kependudukan dan pem-


bangunan keluarga. Penduduk sebagai
Hakikat pembangunan nasional adalah modal dasar dan faktor dominan pem-
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya bangunan harus menjadi titik sentral dalam
dan pembangunan seluruh masyarakat pembangunan berkelanjutan. Keberhasilan
Indonesia (UU No. 52 Tahun 2009). dalam mewujudkan pertumbuhan penduduk
Pembangunan nasional mencakup semua yang seimbang dan mengembangkan
dimensi dan aspek kehidupan termasuk kualitas penduduk serta keluarga akan

120
121 Indrawati, Hyoscyamina, Qonitatin, & Abidin

memperbaiki segala aspek dan dimensi keluarga yang secara umum diasosiasikan
pembangunan dan kehidupan masyarakat. dengan rendahnya tingkat kesehatan,
kesejahteraan, kebahagiaan, dan pengaruh-
Salah satu upaya mewujudkan pertumbuhan pengaruh positif jika dibandingkan dengan
penduduk dan keluarga berkualitas adalah keluarga-keluarga lainya”. Keluarga yang
dengan meningkatkan ketahanan dan disfungsional tidak hanya pencetus masalah
kesejahteraan keluarga. Untuk mewujudkan sosial, tetapi juga masalah sosial yang
ketahanan dan kesejahteraan keluarga, rumit. Keluarga disfungsional dapat
setiap warga negara berhak untuk mem- mengakibatkan anggota di dalamnya
besarkan, memelihara, merawat, mendidik, mengalami penderitaan, kesakitan, dan
mengarahkan, dan membimbing kehidupan kesulitan lantaran karakteristik dasar
anak-anak dalam keluarga termasuk kehi- keluarga yang buruk. Keluarga
dupan berkeluarga sampai dengan dewasa. disfungsional dapat menurunkan pola-pola
Namun demikian, mewujudkan pem- kehidupan yang disfungsional kepada
bangunan nasional pada kenyataannya tidak keturunan atau generasi penerus sehingga
pernah mudah, bahkan semakin sulit masalah sosial ini menjadi masalah yang
lantaran hambatan-hambatan yang semakin berkelanjutan. Keluarga disfungsional
banyak dan berat. Hak untuk hidup dengan dicirikan dengan adanya beberapa hal
aman dan tenteram terusik oleh fakta seperti kekerasan dalam rumah tangga
tingginya tindak kriminal di tengah (fisik, seksual, dan emosional), penggunaan
masyarakat. Jumlah penduduk yang obat-obatan dan alkohol yang kronis,
menjadi korban mencapai 2,7 juta orang di kemiskinan, stres tinggi, konflik antar
mana 50,4%-nya terjadi di pedesaan (BPS, anggota, dan perceraian; yang semua itu
2010). Sementara itu, kemiskinan pun menyakiti anak secara fisik maupun psikis.
masih menjadi masalah yang tak kunjung
usai. Pada tahun 2012, tercatat bahwa 29,13 Istilah keluarga disfungsional relatif dapat
juta penduduk Indonesia tergolong miskin disetarakan dengan istilah “keluarga ber-
(Bappenas, 2012). masalah sosial psikologis” yang digunakan
Kementerian Sosial RI sebagai salah satu
Kemiskinan, sebagai masalah sosial yang dari 22 penyandang masalah kesejahteraan
paling serius, pun merundungi banyak sosial (Kementerian Sosial, 2009). Keluarga
keluarga di Indonesia. Permasalahan bermasalah sosial psikologis didefinisikan
tersebut sangat mempengaruhi kehidupan di sebagai keluarga yang hubungan antar
masyarakat, khususnya dinamika dalam anggota keluarganya, terutama antara suami
keluarga, terutama mengenai bagaimana dan istri, kurang serasi sehingga tugas-tugas
anak-anak dibesarkan dan perkembangan dan fungsi keluarga tidak dapat berjalan
diri mereka di masa depan yang semakin dengan wajar. Definisi tersebut tampak
jauh dari proses yang ideal dan berkualitas. terlalu sempit karena sesungguhnya
Jika keluarga diyakini sebagai tempat disfungsi keluarga memiliki spektrum
pendidikan yang pertama dan utama bagi indikator perilaku yang luas, tidak sebatas
individu, maka keluarga yang disfungsional pada hubungan antar anggota keluarga yang
merupakan ancaman bagi perkembangan tidak harmonis, yaitu 1.) adanya kekerasan
diri anggota-anggota di dalamnya pada emosional, fisik, atau seksual dan
khususnya dan bagi pembangunan penelantaran anak dalam rumah tangga
Indonesia pada umumnya. (child abuse) atau kekerasan terhadap
pasangan (spouse abuse), yang melukai
Parillo (2008) menyebutkan bahwa emosi dan fisik korban dan menjadikan
keluarga disfungsional mengacu pada “pola keluarga sebagai lingkungan tempat tinggal

Jurnal Psikologi Undip Vol.13 No.2 Oktober 2014, 120-132


Profil keluarga disfungsional pada penyandang masalah sosial di Kota Semarang 122

yang mengancam bagi anak; 2) adanya fungsionalitas yang dialami dan komitmen
penyalahgunaan narkoba dan alkohol yang untuk berubah. Dari faktor eksternal,
kronis. Hal ini berdampak pada tingginya mereka memiliki orang-orang di luar
angka kekerasan dalam keluarga dan keluarga yang memberikan dukungan
rendahnya kualitas hubungan orangtua- sosial, seperti orang-orang yang dijadikan
anak. Dampak selanjutnya pada anak adalah teladan (role model) untuk menjalani hidup
rendahnya prestasi akademik, penghargaan yang baik.
diri (self-esteem), dan indikator kesejah-
teraan psikologis lainnya; 3) adanya Benton (1997) menyebutkan bahwa
kemiskinan yang kronis, yang tidak keluarga disfungsional merupakan kondisi
memberikan individu kesempatan ekonomi apa saja yang mengganggu keberfungsian
yang memadai untuk meningkatkan yang sehat dari sebuah keluarga. Setiap
kesejahteraan hidupnya, pendidikan yang keluarga pasti pernah mengalami suatu
cukup, dan harapan untuk memiliki masa kondisi sulit, apakah itu penyakit, kematian,
depan yang lebih baik. Keluarga yang atau masalah ekonomi, tetapi yang
demikian mengalami prestasi belajar yang membedakan apakah keluarga itu sehat atau
rendah, hampir tidak memiliki rencana tidak adalah pada cara merespon masalah.
untuk masa depan, melakukan tindak Jika keluarga sehat kembali berfungsi
kriminal, menganggur, dan menggelandang. normal setelah krisis berlalu, masalah
dalam keluarga disfungsional cenderung
Keluarga yang disfungsional memberikan menjadi kronis sehingga anak-anak tidak
banyak dampak buruk; dampak yang mendapatkan pemeliharaan dan pemenuhan
terburuk adalah jika individu yang semula kebutuhan yang seharusnya.
menjadi korban, kemudian belajar
mengembangkan pola hidup yang dis- Dalam keluarga yang sehat, pertengkaran,
fungsional yang diperoleh dari keluarganya kemarahan, salah paham, dan sakit hati
dan selanjutnya membangun keluarga yang (dengan kata lain ketidaksempurnaan),
disfungsional. normal terjadi, tetapi tidak selalu. Anggota
keluarga dapat mengekspresikan emosinya,
Sebuah studi menunjukkan bahwa tidak saling bertanya dan memberi perhatian. Ada
semua orang yang hidup dalam lingkungan peraturan dan fleksibilitas sesuai kebutuhan
keluarga yang keras dan tidak sehat menjadi dan situasi tertentu. Anak diperlakukan
disfungsional atau tetap dapat hidup secara dengan penuh penghargaan, tidak merasa
fungsional (Parillo, 2008). Orang-orang terancam akan kekerasan, dan diberi
yang demikian adalah mereka yang berhasil tanggung jawab sesuai dengan usianya.
memutus tali transmisi disfungsionalitas Sementara itu, orangtua bertanggung jawab
dari orangtua mereka; mereka umumnya atas pemeliharaan mereka dan tidak
memiliki beberapa karakter psikologis membiarkan anak melakukan tanggung
tertentu yang melindungi mereka dan jawab yang seharusnya mereka penuhi.
meminimalkan efek negatif jangka panjang Dalam keluarga yang sehat, berbuat salah
dari keluarga yang disfungsional, seperti: adalah sesuatu yang wajar, dan tuntutan
(1) kemampuan resiliensi; (2) tingginya untuk sempurna disadari tidak realistis.
tingkat kecerdasan/inteligensi; (3) lokus Dalam keluarga disfungsional, kondisinya
kontrol internal; (4) kemampuan untuk berkebalikan dengan hal-hal di atas.
mengenali kesempatan-kesempatan untuk
berubah; (5) kesadaran akan kemampuan Menurut Benton (1997), terdapat beberapa
memiliki kehidupan/masa depan yang lebih tipe keluarga disfungsional yaitu (1)
baik; dan (6) kesadaran akan dis- underfunction parents, yaitu orangtua yang

Jurnal Psikologi Undip Vol.13 No.2 Oktober 2014, 120-132


123 Indrawati, Hyoscyamina, Qonitatin, & Abidin

tidak menjalankan tugas dan kewajibannya mewujudkan gambaran diri yang positif,
sebagai orangtua dan membiarkan anak- kepercayaan diri, dan penilaian diri yang
anaknya menghidupi diri mereka sendiri; baik, dan mewarnai seluruh aspek kehi-
(2) overfunction parents, yaitu orangtua dupannya.
yang berlebihan, terlalu keras dan kaku
dalam memperlakukan anak agar memenuhi Menurut Forward (1989), terdapat beberapa
keinginan mereka, tidak membiarkan anak tipe toxic parents:
mereka berkembang untuk menjadi diri 1. Orangtua yang tidak adekuat
mereka sendiri; dan (3) orangtua yang tidak Orangtua yang tidak adekuat adalah
konsisten, atau dalam memperlakukan anak orangtua yang tidak melakukan praktik
mereka melanggar batas dengan melakukan pengasuhan yang seharusnya, dengan tidak
perbuatan yang tidak layak dilakukan oleh memenuhi kewajiban utamanya terhadap
orangtua. anak, seperti memenuhi kebutuhan-
kebutuhan fisiknya, me-lindungi anak dari
Forward (1989) mengistilahkan orangtua bahaya fisik dan emosional, memenuhi
dalam keluarga yang disfungsional dengan kebutuhan anak akan cinta, perhatian dan
“toxic parents” atau orangtua beracun. afeksi, serta mengajarkan anak petunjuk-
Semua orangtua tentu dipahami sebagai petunjuk moral dan etika. Orangtua yang
manusia, tidak dapat menjadi diri mereka tidak adekuat menimbulkan kerusakan
yang baik dari waktu ke waktu. Mereka justru bukan dari apa yang mereka lakukan,
dapat berbuat salah dan tidak tetapi dari apa yang tidak mereka lakukan
menyenangkan terhadap anak. Mereka pada anak. Orangtua yang tidak adekuat
terkadang marah, membentak, bertindak membuat anak bertanggung jawab
keras atau suka mengatur. Kebanyakan anak melakukan kewajiban orangtua mereka dan
dapat menerima perlakuan yang demikian memenuhi kebutuhan diri mereka. Peran-
karena rasa cinta/sayang dan pemahaman peran dalam keluarga menjadi
yang mereka miliki pada orangtua. Namun, menyimpang, membingungkan, dan
ada orangtua yang pola perilaku negatifnya tertukar. Anak yang menjadi korban
konsisten dan mendominasi kehidupan menjadi orangtua bagi orangtua mereka,
anak. Mereka mencelakakan, menyakiti, menjadi orangtua bagi diri mereka sendiri,
menjahati anak mereka sendiri, tanpa ada sosok yang dapat diteladani dan
menimbulkan luka fisik maupun psikis dijadikan sumber belajar. Tanpa orangtua
yang membuat anak trauma. Mereka inilah yang dapat dijadikan model peran,
yang disebut toxic parents. perkembangan identitas anak pun
terganggu. Anak menjadi tulang punggung
Toxic parent belajar cara mengasuh anak keluarga sebelum waktunya, tidak
yang buruk dari orangtua mereka yang mengalami masa kanak-kanak yang
buruk ketika mengasuh mereka dan semestinya, dan menyelesaikan persoalan-
seterusnya anak-anak mereka pun ber- persoalan hidupnya seorang diri tanpa
kemungkinan besar mengadopsi hal yang bimbingan sehingga berisiko terjerat cara-
serupa. Secara psikologis, perlakuan buruk cara penyelesaian masalah yang tidak benar
yang mereka terima menghancurkan (seperti, menjadi pengguna narkoba) dan
penghargaan diri mereka dan mengarahkan bergaul dengan orang-orang yang salah.
mereka pada perilaku self-destructive.
Mereka merasa tidak berharga, tidak 2. Orangtua Pengontrol
dicintai, dan tidak adekuat. Perasaan ini Orangtua pengontrol adalah orangtua yang
dapat berlanjut sampai mereka dewasa, mengatur anak dengan cara atau kondisi
men-jadikan mereka sangat sulit untuk yang tidak tepat lagi bagi seorang anak

Jurnal Psikologi Undip Vol.13 No.2 Oktober 2014, 120-132


Profil keluarga disfungsional pada penyandang masalah sosial di Kota Semarang 124

untuk diatur dan menjadi penghambat bagi mampu memenuhi kewajibannya sebagai
anak untuk berkembang menjadi dewasa orangtua dan melakukan kekerasan dalam
sesuai usianya. Orangtua normal keluarganya, terhadap pasangan atau anak-
mengontrol anak mereka hanya sampai anaknya.
ketika anak mereka mampu mengontrol diri
mereka sendiri. Pada umumnya, transisi ini 4. Orangtua pelaku kekerasan
terjadi ketika anak berusia remaja. Pada a. Kekerasan verbal
keluarga yang bermasalah, perpisahan yang Mereka memiliki kebiasaan berkata-kata
sehat dengan orangtua ini tertunda kasar atau buruk seperti memanggil anak
bertahun-tahun lamanya atau bahkan tidak dengan panggilan yang menghina,
pernah terjadi. Orangtua yang memandang berkomentar yang merendahkan, dan
diri mereka baik-baik saja merasa tidak memberikan kritik yang meremehkan anak.
perlu lagi mengontrol anak mereka. Namun, Kalimat-kalimat tersebut memberikan
kondisinya berbeda dengan orangtua yang pesan negatif pada anak tentang diri mereka
memendam rasa kecewa pada kehidupan dan itu berdampak pada kesejahteraan
mereka dan merasa takut ditinggalkan. psikologisnya di masa depan. Kebanyakan
Mereka takut jika anak mereka dewasa dan orangtua pasti pernah mengatakan hal-hal
meninggalkan mereka. Mereka membuat yang tidak menyenangkan pada anak.
anak mereka menjadi tergantung pada diri Namun, jika orangtua dalam berkata-kata
mereka dengan menanamkan pola pikir seringkali menyerang anak, baik terhadap
bahwa diri mereka adalah segala-galanya penampilan, inteligensi, kompetensi, atau
sehingga selalu dibutuhkan atau nilai dirinya sebagai manusia, orangtua itu
menampilkan diri seakan-akan mereka digolongkan telah melakukan kekerasan.
orang yang tidak berdaya jika tanpa anak. Orangtua dapat melakukan kekerasan
Mereka ingin diri mereka diprioritaskan dan verbal secara terang-terangan, seperti
membuat anak terpaksa mengorbankan dengan memanggil anak mereka “bodoh”,
kehidupan mereka sendiri untuk memenuhi “jelek”, atau “tak berguna”, atau berkata di
keinginan mereka. Hasilnya, anak tidak hadapan anak bahwa mereka berharap tidak
mampu membangun identitas dirinya pernah punya anak, tanpa memikirkan
sendiri, sulit memandang diri mereka perasaan anak mereka. Bagi pelaku yang
sebagai seorang individu, tidak dapat tidak terang-terangan, mereka dapat
membedakan kebutuhan diri sendiri dari menyerang anak dengan sindiran, sarkasme,
orangtua mereka, dan merasa tidak berdaya. nama-nama panggilan yang menghina, atau
memoles itu semua dengan humor atau
3. Orangtua yang alkoholik atau pengguna lelucon yang menyakitkan. Dampak jangka
obat-obatan terlarang panjang dari orangtua yang demikian
Keberadaan orangtua yang punya kebiasaan adalah perkembangan self-image anak yang
mengkonsumsi minuman keras atau obat- buruk. Anak dapat meyakini dan meng-
obatan adalah hal yang menimbulkan rasa internalisasikan perkataan orangtuanya
malu bagi anak atau anggota keluarga tentang diri mereka, tidak memiliki
lainnya. Anak biasa takut jika aib keluarga kepercayaan diri, dan merasa rendah diri.
ini terekspos kepada orang lain. Untuk
mencegah agar orang lain tidak b. Kekerasan Fisik
mengetahuinya, anak memilih waspada Orangtua yang melakukan kekerasan fisik,
dengan tidak mau bersosialisasi sehingga ia menyebabkan luka-luka fisik pada tubuh
menjadi pribadi yang terisolasi dan anak, seperti memar, luka bakar, bilur-bilur,
kesepian. Masalah yang muncul adalah sayatan, retak/patah tulang yang disebabkan
orangtua yang alkoholik menjadi tidak oleh tendangan, cubitan, gigitan, pukulan

Jurnal Psikologi Undip Vol.13 No.2 Oktober 2014, 120-132


125 Indrawati, Hyoscyamina, Qonitatin, & Abidin

tangan, tikaman, ikatan, pukulan dengan bingung, kesepian, dan terisolasi. Anak
alat, dan sebagainya. Namun, kekerasan yang menjadi korban kekerasan seksual
fisik tidak sebatas itu. Apapun tindakannya, dapat hidup dengan rasa bersalah, depresi,
meskipun tidak berbekas, tetapi menyakiti dan keinginan bunuh diri, mengalami
anak, itu adalah kekerasan. Orangtua biasa masalah seksual, dan menjadi pengguna
melakukan kekerasan fisik sebagai cara obat-obatan terlarang.
cepat mendiamkan anak akibat dari Hayatiningtyas (2011) mengkaji secara
ketidaksabaran lantaran kelelahan yang kualitatif dampak psikologis anak korban
sangat, stres, kecemasan, atau kekerasan fisik dan verbal dalam keluarga
ketidakbahagiaan. Mereka tidak dapat dan menemukan dampak umum yaitu
mengontrol impuls/ emosi negatif yang kuat ketidakberdayaan, kesedihan, dan rasa
dalam diri mereka dan tidak memikirkan malu. Allen (2010) menyebutkan bahwa di
konsekuensi dari perbuatan mereka. Jika Eropa dan Amerika, keluarga disfungsional
ada kebutuhan yang tidak terpuaskan, dikaji secara ekslusif sebagai suatu
mereka mengamuk dan bertindak brutal. fenomena psikologi-psikiatri; sebagai suatu
Mereka terbiasa melakukan ini, terutama masalah klinis-psikologis suatu keluarga
karena mereka dibesarkan dalam keluarga yang mendorong munculnya gangguan
di mana kekerasan dan kekasaran biasa mental dari individu korban keluarga
terjadi. Anak-anak mereka pun pada tersebut.
akhirnya terancam mengidentifikasikan diri
dengan mereka karena memandang mereka Keluarga disfungsional adalah objek kajian
yang melakukan kekerasan fisik begitu kuat psikoterapi sejak munculnya pandangan
dan kebal. Anak yang menjadi korban bahwa interaksi yang disfungsional dalam
selanjutnya berharap memiliki kekuatan keluarga adalah penyebab berbagai
serupa agar dapat membela diri dan ketika simptom-simptom psikologis pada diri
dewasa, melanjutkan apa yang dilakukan individu. Cara penanganan pun berubah,
orangtuanya ketika menghadapi stres. dari yang semula berorientasi pada
penyembuhan medis terhadap simptom
c. Kekerasan Seksual menjadi perbaikan situasi atau lingkungan
Terdapat orangtua yang melakukan yang menyebabkan kemunculan simptom,
kekerasan seksual pada anak (seperti yaitu keluarga. Hal itulah yang mendorong
melakukan perbuatan inses). Terkadang munculnya terapi keluarga dan terapi
perbuatan itu mungkin tanpa kekerasan lainnya yang berbasis keikutsertaan peran
fisik, tetapi dengan tekanan-tekanan keluarga dalam upaya penyembuhan.
psikologis yang kuat. Mereka
membombardir anak dengan ancaman- Pada penelitian medisnya, Felitti dkk
ancaman, seperti mengancam akan (1998) mengkaji hubungan antara health
membunuh anak agar anak tetap bungkam. risk behavior dan penyakit pada orang
Anak umumnya tetap diam lantaran dewasa dengan pengalaman mengalami
ketakutan yang sangat bahwa mereka akan kekerasan emosional, fisik dan seksual,
lebih disakiti, atau kecemasan bahwa serta disfungsi keluarga selama mereka
keluarganya akan menghadapi masalah, kanak-kanak. Ia menemukan adanya
seperti perceraian orangtuanya, serta hubungan positif yang signifikan di antara
tekanan dan penghinaan publik. Ia merasa variabel-variabel tersebut. Ia pun menyim-
bertanggung jawab untuk menjaga pulkan bahwa pengalaman menderita
keutuhannya dan ini menimbulkan beban kekerasan dalam rumah tangga dan hidup
emosi yang luar biasa karena rasa berdosa dalam keluarga yang disfungsional meru-
dan malu, rasa terteror, marah, sedih, pakan faktor risiko munculnya gangguan

Jurnal Psikologi Undip Vol.13 No.2 Oktober 2014, 120-132


Profil keluarga disfungsional pada penyandang masalah sosial di Kota Semarang 126

kesehatan, pola hidup tidak sehat (alko- Dalam keluarga yang sehat, anak-anak
holisme, penyalahgunaan zat, depresi, belajar bahwa mereka dapat mengandalkan
upaya-upaya bunuh diri, merokok, obesitas, lingkungan mereka untuk mendapatkan
dan sebagainya) dan penyakit (sakit keamanan emosional dan fisik, serta
jantung, kanker, sakit paru-paru kronis, kesejahteraan. Mereka pun belajar caranya
patah tulang, dan gangguan liver), dan yang memelihara kesehatan fisik dan psikis
berpotensi menyebabkan kematian pada mereka sendiri, mandiri dari para
orang dewasa. Semakin berat masa kecil pengasuhnya. Sebaliknya, dalam keluarga
seseorang (semakin banyak kekerasan yang yang berisiko, dinamika yang sehat tersebut
dialaminya), semakin banyak faktor risiko tidak terjadi dan justru men-ciptakan
bagi kesehatannya di masa dewasanya. kerentanan dan konsekuensi-konsekuensi
negatif pada perilaku dan kesehatan
Senada dengan penelitian tersebut di atas, (Repetti, Taylor, & Seeman, 2002).
Repetti, Taylor, & Seeman (2002) juga
menyimpulkan bahwa lingkungan keluarga Mengambil analogi dari konsep di atas,
pada masa kanak-kanak menunjukkan kemampuan seseorang untuk dapat
adanya hubungan yang vital untuk berfungsi dengan baik sebagai anggota
memahami kesehatan fisik dan mental masyarakat dimulai sejak awal kehidupan
seseorang sepanjang masa hidupnya. dan sebaliknya, ketidakmampuan orang
Keluarga yang berisiko, yang dicirikan untuk berfungsi baik secara sosial juga
dengan adanya konflik dan agresi, serta demikian. Beberapa penelitian di Barat
hubungan antar anggota yang dingin, tidak mendukung ini. Dodge dan Petit (2003)
mendukung, dan penuh pengabaian, mengajukan model biopsikososial per-
menyebabkan kerentanan pada diri kembangan masalah perilaku kronis pada
anggotanya. Kerentanan ini mengganggu remaja. Di samping adanya predisposisi
keberfungsian diri mereka secara biologis, konteks sosiokultural dan
psikososial (pengaturan emosi dan pengalaman-pengalaman masa awal
kompetensi sosial) dan sistem pengaturan kehidupan (terutama dengan keluarga)
tubuh dalam merespon stres, serta memainkan peran yang menentukan. Di
memunculkan pola hidup yang tidak sehat. level keluarga, status sosioekonomi ketika
anak dilahirkan, menyangkut pendapatan,
Penelitian-penelitian tentang keluarga pekerjaan, dan tingkat pendidikan orangtua,
disfungsional atau keluarga berisiko di atas merupakan faktor risiko paling kuat
memberikan banyak kontribusi bagi para sekaligus paling konsisten bagi ter-
praktisi kesehatan, terutama yang bentuknya masalah perilaku. Kemiskinan
menggeluti bidang psikologi kesehatan. adalah faktor utama, diikuti faktor
Keluarga yang disfungsional berperan perceraian orangtua, konflik antar orangtua,
sebagai faktor risiko penyakit jantung dan kelahiran dari orangtua remaja atau
koroner (Loucks, Almeida, Taylor, & orangtua yang sendirian.
Matthews, 2011), berhubungan positif
dengan kemunculan simtom depresi (Taylor Di masa awal kehidupan, kualitas
dkk, 2006), dan mempengaruhi fungsi pengasuhan menjadi faktor yang menen-
metabolisme individu ketika dewasa tukan (Dodge & Petit, 2003). Masalah
(Lehman, Taylor, Kiefe, & Seeman, 2005). perilaku muncul dari keluarga yang: (1)
Penelitian tersebut mendukung pandangan memperlakukan anak secara kasar,
yang menyatakan bahwa “kesehatan yang mendisiplinkan anak secara tidak konsisten
baik dimulai sejak awal kehidupan”, dan menggunakan kekerasan fisik; (2)
kesehatan yang buruk juga demikian. kurang hangat antara orangtua dan anak;

Jurnal Psikologi Undip Vol.13 No.2 Oktober 2014, 120-132


127 Indrawati, Hyoscyamina, Qonitatin, & Abidin

dan (3) minim bimbingan perilaku atau menyusun deskripsi kuantitatif atas atribut
pendidikan, terutama ketrampilan sosial. yang dimiliki suatu populasi (Groves dkk,
Penemuan tersebut serupa dengan 2004).
penelitian Indrawati (2011) tentang faktor-
faktor yang mempengaruhi delinkuensi Responden penelitian ini adalah
remaja. Diketahui bahwa keluarga penyandang masalah sosial yang ditampung
memainkan peran yang sangat menentukan di beberapa pusat rehabilitasi, panti sosial,
dan keluarga yang disfungsional dan gagal atau yang tinggal di daerah-daerah miskin
pengasuhan anak menjadi penyebab utama di Kota Semarang. Jumlah responden yang
delinkuensi remaja. Beberapa perilaku didapatkan adalah sebanyak 92 orang (70
bermasalah dalam keluarga yang penting laki-laki dan 22 perempuan) dengan rentang
dicatat, antara lain: (1) hubungan keluarga usia 15-79 tahun.
yang tidak harmonis: orangtua sering
bertengkar; ayah melakukan kekerasan Dalam penelitian ini, keluarga disfung-
terhadap ibu; (2) dalam keluarga dengan sional didefinisikan sebagai pola keluarga
ekonomi kuat, anak dimanjakan dan yang secara umum diasosiasikan dengan
dibiasakan hidup enak; (3) ambiguitas rendahnya tingkat kesehatan, kesejahteraan,
prinsip pengasuhan anak antara ayah dan kebahagiaan, dan pengaruh-pengaruh
ibu: ayah keras dan otoriter, sedangkan ibu positif jika dibandingkan dengan keluarga-
lemah; (4) kekerasan fisik untuk keluarga lainya, ditandai dengan adanya
mendisiplinkan anak; dan (5) keluarga beberapa hal, seperti penyalah-gunaan zat,
kurang religius. gangguan mental, konflik orangtua,
Namun, sebelum mampu menyusun solusi tindakan kriminal, dan kemis-kinan yang
dan mengimplementasikannya, perlu kronis. Praktik pengasuhan berisiko diarti-
dipahami atau dikenali bentuk-bentuk pola kan sebagai praktik pengasuhan anak yang
pikir, sikap, dan perilaku bermasalah yang buruk oleh orangtua, yang menimbulkan
menjadikan seseorang penyandang masalah luka psikis maupun fisik pada diri anak
sosial. Mengetahui seberapa disfungsional yang berpotensial berlanjut sampai ia
keluarga yang bersangkutan adalah hal dewasa. Praktik pengasuhan ini ditandai
yang penting lantaran disfungsi keluarga dengan adanya kekerasan terhadap anak,
tidak dapat dipahami secara dikotomis, tidak terpe-nuhinya hak-hak anak dari
melainkan sebagai suatu kontinum orang tuanya.
fungsional-disfungsional (Parillo, 2008).
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat Data dikumpulkan dengan Kuesioner
dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Keluarga Disfungsional dan Kuesioner
Bagaimana profil keluarga para penyandang Pengasuhan Berisiko yang disusun
masalah sosial? Apa saja bentuk-bentuk berdasarkan adaptasi dan penyempurnaan
perilaku bermasalah yang ada dalam Adverse Childhood Experience (ACE)
keluarga individu penyandang masalah Questionnaire (Felitti, 1998) dan Risky
sosial? Families (RF) Questionnaire (Taylor
(2002).

METODE
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini merupakan penelitian survei,
yaitu suatu metode sistematis untuk Profil keluarga responden dirangkum dan
mengumpulkan data dari sekelompok orang disajikan dalam Gambar 1-7 berikut ini.
(dengan karakteristik tertentu) untuk Sebagian besar (62%) responden berada

Jurnal Psikologi Undip Vol.13 No.2 Oktober 2014, 120-132


Profil keluarga disfungsional pada penyandang masalah sosial di Kota Semarang 128

dalam usia produktif. Sebagian besar Pola keluarga besar juga dimiliki oleh
(44,57%) berpendidikan SD atau sederajat responden dengan data yang menunjukkan
dan memiliki tanggungan keluarga atau sebanyak 41,3% responden memiliki
berstatus menikah (57,61%). Dengan saudara yang berjumlah 3 sampai dengan 5
demikian, tampak bahwa penyandang orang (Gambar 3).
masalah sosial sebagian besar merupakan
kepala keluarga yang harus menghidupi
keluarga, akan tetapi memiliki tingkat Jumlah Saudara
pendidikan rendah sehingga sulit mendapat- 6,52%
kan pekerjaan yang layak. 20,56% 3,26%
28,26%
> 5 Orang

3-5 Orang
Kondisi Ekonomi 41,3%

5,43% 1-2 Anak


Ekonomi Atas
Tunggal

51,09% 43,48% Ekonomi


Menengah Gambar 3. Jumlah Saudara
Ekonomi Lemah
Kondisi keluarga besar yang tinggal
bersama, walaupun memiliki tempat tinggal
Gambar 1. Kondisi Ekonomi yang dianggap memadai (Gambar 4),
dengan tingkat ekonomi yang lemah
Berdasarkan data keluarga asal, diketahui membuat mereka mengalami kesulitan
bahwa 51,09% responden berasal dari dalam memenuhi kebutuhan hidup.
keluarga ekonomi lemah (Gambar 1). Pada
Gambar 2 tampak bahwa mayoritas
responden memiliki orang tua lengkap Tempat Tinggal
(45,67%) dan tinggal bersama (64,13%),
serta memiliki tempat tinggal yang
16,3% Rumah tetap,
memadai (59,78%). Dari penjelasan memadai
responden secara kualitatif, yang 23,91% 59,78% Ada rumah,
dimaksudkan dengan tempat tinggal tidak tetap

memadai adalah tempat tinggal yang Tidak Memiliki


Rumah
memenuhi fungsi sebagai tempat berteduh
tanpa memandang sisi permanen, atau
kelengkapan fasilitas rumah.
Gambar 4. Tempat Tinggal
Orang tua
2,17% Dari data demografis ditemukan bahwa
responden selain memiliki tingkat
Lengkap
25% pendidikan rendah, mereka juga berasal dari
45,65 Tidak Lengkap
% Yatim-piatu
keluarga dengan tingkat pendidikan kedua
Tidak Tahu
orangtua yang rendah pula. Hal ini
27,17 diperlihatkan pada Gambar 5 dan Gambar 6
%
dimana mayoritas tingkat pendidikan
tertinggi ayah adalah SD (35,87%); dan ibu
Gambar 2. Keberadaan Orang Tua dengan pendidikan SD (35,87%), tidak
bersekolah (21,74%) atau tidak diketahui

Jurnal Psikologi Undip Vol.13 No.2 Oktober 2014, 120-132


129 Indrawati, Hyoscyamina, Qonitatin, & Abidin

bersekolah atau tidak (28,26%). Dari sisi pekerjaan orangtua, sebagian besar
adalah petani (ayah 25%; ibu 23,91%).
Bahkan mayoritas ibu adalah ibu rumah
Pendidikan Ayah tangga (23,91%).
PT/Sederajat
0% 7,61%
32,61% 14,13% SMA/Sederajat Pekerjaan Ibu
9,78% 35,87% SMP/Sederajat 0% PNS

SD/sederajat 1%
TNI/POLRI
Tidak Sekolah 13% 2%
6% 18%
Karyawan
Tidak Tahu Swasta

Pedagang
23% 24%
13%
Petani
Gambar 5. Tingkat pendidikan Ayah
Buruh

Pendidikan Ibu
Gambar 8. Pekerjaan Ibu
PT/Sederajat
28,26% 0% 4,35% 9,78% SMA/Sederajat

SMP/Sederajat
Hal ini mengindikasikan bahwa keluarga
35,87%
SD/sederajat asal responden sebagian besar bukanlah
21,74%
Tidak Sekolah dari kota besar yang memiliki lahan
Tidak Tahu
pertanian, sehingga dapat disimpulkan
bahwa mereka melakukan urbanisasi ke
kota dengan maksud mengubah kehidupan
yang lebih baik. Akan tetapi, dengan
Gambar 6. Tingkat pendidikan Ibu kesiapan yang kurang, seperti pendidikan,
kompetensi mapupun pengalaman yang
Tingkat pendidikan yang rendah dari kurang memadai, kehidupan tersebut tidak
orangtua tampak berdampak pada tingkat dapat diraih, justru mereka terjebak menjadi
pendidikan responden yang juga sebagian penyandang masalah sosial. Dari hasil
besar berada adalah SD (44,57%) atau SMP penelitian dapat diketahui bahwa selain
(30,43%). Faktor ekonomi lemah menjadi responden yang memang menjadi warga di
alasan dan kendala responden tidak Balai Rehabilitasi Sosial, responden yang
melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih lain memiliki pekerjaan sebagai pengamen,
tinggi. pengemis dan pemulung.
Pekerjaan Ayah
Kemiskinan yang terjadi pada responden,
3% PNS menyebabkan kesempatan untuk lebih baik
di kemudian hari menjadi terhambat karena
2% 5%
29% 12% TNI/POLRI faktor ekonomi. Terutama terjadi pada
24%
upaya peningkatan tingkat pendidikan yang
7% Karyawan akhirnya juga menjadi terkendala. Hal ini
Swasta
2%
16% menyebabkan mereka pada akhirnya ikut
Pedagang
menjadi miskin. Kondisi ini sesuai pendapat
Parillo (2008), yaitu adanya kemiskinan
yang kronis menyebabkan tidak terpe-
Gambar 7. Pekerjaan Ayah nuhinya kesempatan ekonomi yang
memadai untuk meningkatkan kesejah-

Jurnal Psikologi Undip Vol.13 No.2 Oktober 2014, 120-132


Profil keluarga disfungsional pada penyandang masalah sosial di Kota Semarang 130

teraan hidupnya, pendidikan yang cukup, lebih dibandingkan kondisi pada keluarga
dan harapan untuk memiliki masa depan asal. Seperti masalah terbelit hutang
yang lebih baik. (36,96%), ada anggota keluarga yang
pemabuk (34,78), keluarga bercerai
Bila melihat kondisi responden dari (32,61%), dan minggat (32,61%). Dari data
perilaku pengasuhan berisiko yang tampak tersebut dapat dilihat bahwa masalah
dari pola interaksi keluarga, maka data yang keuangan juga menjadi salah satu sumber
didapatkan menunjukkan bahwa interaksi munculnya masalah di kemudian hari.
keluarga yang terjadi pada keluarga asal
cenderung positif. Perilaku kasar dan Ketidakharmonisan di dalam keluarga
kekerasan cenderung rendah dengan dalam bentuk perceraian ataupun kabur dari
32,26% sangat rendah dalam skor hipotetik rumah memberikan situasi yang tidak
dan 45,16% dalam sebaran skor empirik. nyaman dalam keluarga. Beberapa hal ini
Sedangkan perilaku positif seperti memberi dapat memberikan kondisioning yang tidak
pengarahan nilai agama dan kasih sayang disadari bagi responden untuk membentuk
menunjukkan skor tinggi dengan 34,41% menjadi penyandang masalah sosial. Seperti
pada sebaran skor hipotetik dan 35,48% yang diungkapkan oleh Parillo (2008),
pada sebaran empirik. Data ini penyalahgunaan narkoba dan alkohol
menunjukkan bahwa pola interaksi dalam berdampak pada tingginya kekerasan dalam
keluarga yang positif tidak menjadi salah keluarga dan rendahnya kualitas hubungan
satu sebab perilaku bermasalah yang orangtua dengan anak. Dalam penelitian ini
berujung pada keluarga disfungsional, dapat dilihat bahwa kondisi anggota
meskipun tidak dapat dipungkiri keluarga yang perokok berat ataupun
kemungkinan jawaban normatif yang dapat pemabuk juga melatarbelakangi respoden
dimunculkan responden. Akan tetapi, menjadi penyandang masalah sosial.
seperti yang diungkapkan oleh Dahlan
(2004), dalam perubahan sosial budaya, Dari data yang diperoleh, tampak bahwa
keluarga pun akan mengalami perubahan keluarga asal responden tidak menunjukkan
yang beragam. Ada keluarga yang semakin perilaku-perilaku yang jelas merujuk pada
kokoh dalam menerapkan fungsinya, tetapi masalah-masalah sosial. Akan tetapi,
ada juga keluarga yang mengalami tingkat pendidikan dan kondisi ekonomi
keretakan atau ketidakharmonisan yang rendah dengan tanggungan keluarga
(disfungsional). Dalam hal ini, keluarga yang besar dapat menjadi sumber terjadinya
asal yang menunjukkan interaksi yang disfungsi keluarga. Harapan untuk
memadai ternyata belum menjamin untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik
munculnya fungsi keluarga yang baik di ketika bekerja di kota, tanpa didukung
masa depan. kompetensi dan persiapan yang memadai
justru menjadi permasalahan yang lebih
Perilaku tidak adekuat yang dilakukan besar bagi kehidupan mereka.
keluarga juga tidak menunjukkan bahwa
responden berasal dari keluarga yang
memberikan kondisi negatif. Sebaran KESIMPULAN
persentase menunjukkan mayoritas
responden tidak memiliki keluarga yang Kondisi keluarga yang disfungsional
berperilaku tidak adekuat, kecuali dalam berkaitan dengan faktor sosioekonomi,
beberapa kasus, terdapat perilaku perokok pendidikan, keadaan keluarga, dan perilaku
berat (sebesar 70,65%). Hanya saja ada inadekuat dari orang tua. Berdasarkan hasil
beberapa prosentase yang cukup terlihat penelitian yang dilakukan, dapat

Jurnal Psikologi Undip Vol.13 No.2 Oktober 2014, 120-132


131 Indrawati, Hyoscyamina, Qonitatin, & Abidin

digambarkan bahwa mayoritas responden Dodge, K. A. & Pettit, G. S. (2003). A


berasal dari keluarga ekonomi rendah biopsychosocial model of the
(51,09%), latar belakang pendidikan development of chronic conduct
orantua rendah (di bawah SMP),jumlah problems in adolescence. Develop-
anak dalam keluarga lebih dari 3 (41,3%), mental Psychology,39(2): 349–371.
serta orangtua adalah perokok (70,65%).
Penelitian awal ini bersifat deskriptif dan Felitti, V. J., Anda, R. F., Nordenberg, D.,
menggambarkan profil keluarga para Williamson, D. F., Spitz, A. M.,
penyandang masalah sosial. Oleh karena itu Edwards, V., Koss, M. P., & Marks, J.
diperlukan kajian mendalam tentang S. (1998). Relationship of childhood
keluarga disfungsional pada penelitian abuse and household dysfunction to
selanjutnya. many of the leading causes of death in
adults: The Adverse Childhood
Experiences (ACE) Study. American
DAFTAR PUSTAKA Journal of Preventive Medicine, 14(4),
245-258.
Allen, D. M. (2010). How dysfunctional
families spur mental disorders: A Fletcher, G. J. O & Clark, M. S. (2003).
balanced approach to resolve problems Blackwell handbook of social
and reconcile relationships. Santa psychology: Interpersonal Processes.
Barbara, CA: Praeger. Cornwall: Blackwell Publishers Ltd.

Badan Pusat Statistik. (2010). Statistik Forward, S. (1989). Toxic parents:


kriminal 2007-2009. Jakarta: Badan Overcoming their hurtful legacy and
Pusat Statistik. reclaiming your life. New York:
Bantam Books.
Bappenas. (2012). Kemiskinan di Indonesia
dan penanggulangannya. Diakses dari: Groves, R. M., Fowler, F. J., Couper, M. P.,
http://www.bappenas.go.id/berita-dan- Lepkowski, J. M., Singer, E., &
siaran-pers/kegiatanutama/kemiskinan- Tourangeau, R. (2004). Survey
di-indonesia-dan-penanggulangannya/ methodology. Hoboken, NJ: John
Willey & Sons.
Benton, S. A. (1997). Dysfunctional
families: Recognizing and overcoming Hayatiningtyas, O. (2011). Dampak
their effects. Kansas State University psikologis anak korban kekerasan
Counseling Service. Diakses dari: dalam keluarga. (Skripsi). Tidak
http://www.kstate.edu/counseling/topic diterbitkan. Universitas Katolik
s/relationships/dysfunc.html Soegijapranata, Semarang.

Cresswell, J. W. (2012). Educational Indrawati, E. S. (2011). Faktor-faktor yang


research: Planning, conducting, and Mempengaruhi delikuensi remaja:
evaluating quantitative and qualitative Studi kualitatif deskriptif pada warga
research. Boston: Pearson. binaan Lapas anak Kutoarjo. Laporan
Penelitian. Semarang: Fakultas
Dahlan, D. (2004). Psikologi perkem- Psikologi Universitas Diponegoro.
bangan anak dan remaja. Bandung:
Remaja Rosdakarya.

Jurnal Psikologi Undip Vol.13 No.2 Oktober 2014, 120-132


Profil keluarga disfungsional pada penyandang masalah sosial di Kota Semarang 132

Irawan, P. (2007). Penelitian kualitatitif dan Maria, U. (2007). Peran persepsi


kuantitatif untuk ilmu-ilmu sosial. keharmonisan keluarga dan konsep diri
Jakarta: Self Press. terhadap kecenderungan kenakalan
remaja. (Tesis). Tidak diterbitkan.
Kementerian Koordinator Kesejahteraan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Rakyat (Menkokesra). (2009). Data
Penyandang Masalah Kesejahteraan Parillo, V. N. (2008). Encyclopedia of
Sosial (PMKS) Tahun 2009. Diunduh Social Problems. Thousand Oaks:
dari: http://data.menkokesra.go.id/ SAGE Publication.
sites/default/files/Data PMKS_2009.xls
Repetti, R. L., Taylor, S. E., & Seeman, T.
Kementerian Sosial. (2009). Data E. (2002). Risky families: Family
penyandang masalah kesejahteraan social environments and the mental and
sosial (PMKS) potensi dan physical health of offspring.
kesejahteraan sosial (PSKS) Tahun Psychological Bulletin,128(2), 330-
2009. Diakses dari: 366.
http://database.depsos.go.id/modules.p
hp?name=Pmks2009&opsi=pmks2009- Taylor, S. E., Way, B. M., Welch, W. T.,
2. Hilmert, C. J., Lehman, B. J., &
Eisenberger, N. I. (2006). Early family
Lehman, B. J., Taylor, S. E., Kiefe, C. I., & environment, current adversity, the
Seeman, T. E. (2005). Relation of serotonin transporter polymorphism,
childhood socioeconomic status and and depressive symptomatology.
family environment to adult metabolic Biological Psychiatry, 60, 671-676.
functioning in the CARDIA study.
Psychosomatic Medicine, 67, 846-854. UU RI No. 52 Tahun 2009 tentang
Perkembangan Kependudukan dan
Loucks, E. B., Almeida, N. D., Taylor, S. Pembangunan Keluarga
E., & Matthews, K. A. (2011).
Childhood family psychosocial
environment and coronary heart disease
risk. Psychosomatic Medicine, 73, 563-
571.

Jurnal Psikologi Undip Vol.13 No.2 Oktober 2014, 120-132

You might also like