Professional Documents
Culture Documents
Pola Asuh Gizi, Tingkat Konsumsi dan Kejadian Stunting Pada Anak Balita Usia 6-
24 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Woha Kabupaten Bima
Diansa Fitri1, Sulistiyani1*, Ruli Bahyu Antika1
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Jember1
Email : sulis.fkm@unej.ac.id
Abstract
Growth retardation is a chronic nutritional condition caused by long-term lack of nutrients
due to inadequate nutritional needs in the diet, causing adults to have an inappropriate posture
for their age. Stunting malnutrition is a form of malnutrition resulting from the calculation of
height for age (height/age) below standard deviation (< -2 SD). Woha sub-district is the district
with highest rate of stunting children in Bima province based on the results of nutrition status
moniitoring in 2018 up to 39.65%, but decreased in 2019, specifically 33.1%. This study aimed
to find out the relationship between nutritional care, consumption, stunting rates among
children aged 6-2 months in the work area of Puskesmas Woha, Bima Regency. This study used
a cross-sectional study design. The sampling method used a simple random sampling
technique, probability sampling. Data analysis using chi-squared statisticcal test. The
bivariate test showed a limited relationship between energy consumption (p = 0.00 ), protein
(p = 0.020), iron (p = 0.038) and zinc (p = 0.009). However, there was no relationship between
the degree of calcium absorption (p = 0.38 ) and the prevalence of stunting. There was a
relationship between parental nutritional levels and energy consumption (p = 0.026).
However, there was no relationship between parental nutritional levels and the consumption
of protein (p = 0. 32), calcium (p = 0.130), iron (p = 0.078) and zinc (p = 0.281) in children
from 6 to 2 months old in this Region. Woha Community Health Center, Bima Regency. There
was no relationship between maternal nutritional knowledge and stunting rate (p = 0.21 ).
There is a relationship between parental nutrition and the prevalence of stunting (p = 0.007)
in children 6–2 months of age at Woha Community Health Center, Bima Regency.
Keywords: nutrition parenting, nutritional status factors, stunting, toddlers 6-24 months.
58
Publisher: Politeknik Negeri Jember
Jurnal Kesehatan
Author(s) : Diansa Fitri, Sulistiyani, Ruli Bahyu Antika
59
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 10 No. 1 April 2022
Jurnal Kesehatan
Author(s) : Diansa Fitri, Sulistiyani, Ruli Bahyu Antika
variabel penelitian dalam distribusi persentase. Sebagian besar ibu bekerja sebagai
Uji chi-square digunakan sebagai analisis pedagang yaitu 42,6%. Penelitian ini tidak
bivariat. sejalan dengan penelitian (Rahayu et al., 2015)
yang menemukan bahwa sebagian besar ibu
3. Hasil dan Pembahasan dengan anak balita adalah bukan pekerja (ibu
3.1 Karakteristik Balita rumah tangga) yaitu 94,1%. Pekerjaan ibu
Hasil univariat penelitian ini didasarkan berhubungan dengan pola asuh dan status
pada karakteristik bayi dan kelompok umur dari ekonomi keluarga. Banyak istri sekarang yang
6 bulan hingga 24 bulan, dengan 49,3% bekerja untuk membantu suami agar dapat
sebagian besar anak di bawah usia 5 tahun memenuhi kebutuhan yang lebih banyak karena
berkisar antara 19 bulan hingga 24 bulan. tuntutan keuangan keluarga (Sediaoetama,
Sebuah studi yang dilakukan oleh Maisarah 2000).
(2018) menemukan bahwa anak di bawah usia 5 Lebih dari dari 69,3% keluarga memiliki
tahun yang menderita stunting lebih cenderung anak di bawah usia 5 tahun. Penelitian ini sesuai
berusia 12-24 bulan daripada mereka yang dengan penelitian Rosha et al (2012), yang
berusia 25-60 bulan. Di antara anak-anak di menunjukkan bahwa sebagian besar responden
bawah usia lima tahun, 56,0% adalah laki-laki atau 54 ,2% berasal dari keluarga besar yaitu
dan % adalah perempuan. Hasil penelitian keluarga dengan empat anggota atau lebih. Anak-
menunjukkan bahwa anak perempuan di bawah anak dari keluarga besar cenderung lebih stunting
usia lima tahun berisiko lebih tinggi mengalami daripada anak-anak dari keluarga kecil. Hal ini
stunting dibandingkan anak laki-laki (Wellina et dikarenakan anak dalam keluarga besar
al., 2016). cenderung kurang mendapat perhatian dan
perawatan individu (Proverawati dan Wati,
3.2 Karakteristik Keluarga Balita 2019). Pendapatan bulanan keluarga responden
Karakteristik keluarga anak usia 6-24 yang memiliki anak balita berada di bawah Upah
bulan dalam penelitian ini terdiri dari tingkat Minimum Kabupaten (UMK) sebesar 58,6%.
pendidikan ibu, pengetahuan gizi ibu, status Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian
pekerjan ibu, ukuran keluarga, pendapatan Anindta (2012), yang menemukan bahwa
keluarga, dan pengeluaran makan keluarga. pendapatan keluarga lebih besar dari UMK
Sebagian besar ibu dengan balita memiliki sebesar 60,6%. Pendapatan bulanan masing-
kualifikasi pendidikan tinggi (SMA). Survey ini masing rumah tangga masih lebih rendah
sejalan dengan Anindita (2012), yang dibandingkan UMK Kabupaten Bima, dan
menemukan bahwa 69,7% responden memiliki banyak kepala keluarga yang bekerja sebagai
pendidikan tinggi. Pendidikan ibu yang baik tukang ojek, petani, atau petani, sehingga banyak
akan menerima lebih banyak informasi dari rumah tangga yang tidak mampu memenuhi
dunia luar tentang pengasuhan yang baik, kebutuhan sehari-hari, dan ibu-ibu makan
pengasuhan dan menjaga kesehatan anak seadanya. Pengeluaran bulanan untuk keluarga
(Soetjiningsih dan Ranuh, 2012). dengan anak di bawah usia 5 tahun adalah 62,7%,
Tingkat pengetahuan ibu tentang gizi lebih dari 50%. Hal ini menunjukkan rawannya
bayi sebesar 48,0% dengan kategori cukup baik. ketahanan pangan rumah tangga dengan anak di
Hal ini sesuai dengan penelitian Ni’mah & bawah usia lima tahun. Ada empat faktor yang
Muniroh (2016), dimana anak stunting lebih digunakan keluarga untuk mencapai kriteria
cenderung pada ibu yang berpengetahuan tinggi ketahanan pangan. Yaitu: ketersediaan pangan
yaitu sebesar 50%. Pengetahuan ibu yang cukup, stabilitas pangan yang stabil, akses
menentukan perilakunya dalam memberikan pangan dan kualitas/ketahanan pangan
makanan kepada anaknya. Ibu dengan (Susilowati dan Kuspriyanto, 2020).
pengetahuan gizi yang baik dapat memberikan
jenis dan jumlah makanan yang tepat untuk 3.3 Pola Asuh Gizi Balita
mendukung tumbuh kembang anak usia di Balita dalam penelitian ini, memiliki pola
bawah 5 tahun (Aridiyah et al., 2015). asuh gizi kategori kurang yaitu sebesar 58,6%,
60
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 10 No. 1 April 2022
Jurnal Kesehatan
Author(s) : Diansa Fitri, Sulistiyani, Ruli Bahyu Antika
sisanya sebesar 41,4% termasuk kategori baik. dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Pemberian ASI eksklusif masih sangat rendah. Wibowo dan Dasuki (2018) yaitu sebagian besar
Artinya, ibu tidak hanya menyusui selama 6 tingkat konsumsi kalsum pada balita adalah
bulan, tetapi bahkan dapat mencampur susu kurang yaitu sebesar 58,0%.
formula, air kelapa, dan memberikan makanan Hasil wawancara dengan menggunakan
bayi kepada anaknya yang berusia 3 bulan. metode food recall sebagian besar anak balita
Alasan ibu memberikan MP-ASI terlalu dini mengonsumsi sayuran hijau seperti daun kelor.
untuk anaknya karena anak sering menangis Tingkat konsumsi zat besi pada Sebagian besar
ketika hanya minum ASI saja, sehingga anak anak balita usia 6-24 bulan memiliki tingkat
cepat kenyang dan memberikan makanan konsumsi kategori kurang sebanyak 57,3%.
tambahan untuk berhenti menangis. Kurangnya konsumsi zat besi dikarenakan anak
balita kurang mengonsumsi makanan seperti
3.4 Tingkat Konsumsi daging, ayam dan kacang hijau karena memang
Konsumsi terdiri dari konsumsi energi, harga yang mahal dan jarang disukai oleh balita
protein, kalsium, besi dan seng. Tingkat sehingga sulit terjangkau oleh masyarakat yang
konsumsi diukur dengan menggunakan kurang mampu. Hasil penelitian ini didukung
kuesioner food recall 2 x 24 jam dan oleh hasil dari Hairunisa et al (2016) yaitu tingkat
dibandingkan dengan % AKG berdasarkan konsumsi zat besi anak balita kurang dengan
kelompok umur. Hasil recall menunjukkan persentase 52,5%. Hasil studi dari Sundari dan
bahwa sebagian besar anak di bawah usia 5 Nuryanto (2017) menyatakan tidak ada
tahun mengalami defisit 74 ,6% dalam signifikansi antara tingkat konsumsi zat besi
pengeluaran energi. Defisit energi ini dengan kejadian stunting.
disebabkan oleh kenyataan bahwa sebagian Balita memiliki tingkat konsumsi zink
besar bayi mengkonsumsi nasi setiap hari, tetapi yang kurang yaitu sebesar 64,0%. Menurut
bayi mengkonsumsi lebih banyak atau lebih Salgueiro, zinc memiliki fungsi penting dalam
banyak junk food daripada nasi per hari. proses pertumbuhan. Zinc memiliki lebih dari
Temuan dari Rahmawati et al (2018) 300 enzim aktif, baik sebagai bagian dari
menunjukkan bahwa pengeluaran energi bayi strukturnya maupun dalam fungsi katalitik dan
kurang 53,2%. Pada anak di bawah usia 5 tahun, pengaturan. Zinc adalah komponen struktural
tidak ada hubungan antara tingkat kecukupan membran biologis dan terlibat dalam sintesis
energi dengan perkembangan stunting (Hanum protein. Zinc juga berinteraksi dengan hormon
et al., 2014). penting yang terlibat dalam pertumbuhan tulang
Tingkat konsumsi protein sebagai besar dan insulin. Karena zinc berperan penting dalam
dalam kategori defisit sebesar 62,6%. metabolisme tulang, zinc memiliki peran positif
Rendahnya tingkat konsumsi protein dalam pertumbuhan bayi yang mengonsumsi
dikarenakan balita stunting mengkonsumsi kacang-kacangan seperti kacang hijau. Di
protein nabati lebih sering seperti tahu dan Posyandu, kebanyakan bayi hanya diberikan
tempe, namun kurang mengonsumsi sumber kacang hijau.
protein hewani seperti ikan dan daging. Hasil Ada hubungan yang bermakna antara
survey dari Maulidah et al (2019) menyebutkan konsumsi seng pada anak di bawah 5 tahun
tingkat konsumsi protein balita yaitu defisit dengan kejadian stunting (Noviza, 2014). Balita
dengan presentase sebesar 44,7%. Hubungan di ruang kerja Puskesmas Woha kurang
yang bermakna antara kecukupan konsumsi mengkonsumsi makanan kaya seng seperti
protein dengan kejadian stunting (Cahyana et kacang-kacangan dan kerang. Hal ini
al., 2018). dikarenakan banyak balita yang tidak menyukai
Tingkat konsumsi kalsium pada anak kacang pohon dan kerang serta sering makan
dibawah 24 bulan memiliki tingkat konsumsi bandeng, terutama saat musim panen ikan.
kalsium dengan kategori cukup dengan Dalam penelitian ini pola makan ibu
persentase yaitu 68,0%. Hal tersebut dikategorikan menjadi makanan sumber
menunjukkan bahwa sebagian besar balita karbohidrat, protein nabati, protein hewani,
mengonsumsi kalsium (>77% AKG). Berbeda buah-buahan, dan sayuran. Makanan sumber
61
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 10 No. 1 April 2022
Jurnal Kesehatan
Author(s) : Diansa Fitri, Sulistiyani, Ruli Bahyu Antika
karbohidrat yang umum untuk anak-anak di Sayur yang sering dikonsumsi balita di
bawah usia lima tahun adalah nasi sebagai wilayah kerja Puskesmas Woha Kabupaten Bima
makanan pokok sehari-hari mereka. Beras atau adalah daun kelor, buah kelor, bayam, kacang
nasi berkontribusi untuk memenuhi kebutuhan panjang, sawi hijau, wortel, buncis, daun katuk
energi paling tinggi dibandingkan dengan dan kangkung. Hasil penelitian menyatakan
singkong, ubi jalar, dll. Selain kandungan bahwa sayur yang sering dikonsumsi oleh balita
karbohidratnya yang tinggi, juga memiliki adalah daun kelor yaitu sebesar 77,3%.
kandungan protein yang tinggi dan kaya akan Buah yang dominan dikonsumsi balita di
vitamin B1 (Tejasari, 2005). Nasi di Indonesia wilayah kerja Puskesmas Woha Kabupaten Bima
merupakan sumber energi dan beras. Energi adalah pisang, semangka, salak, apel, pepaya,
dalam nasi terutama berasal dai karbohidrat dan mangga, jeruk dan rambutan. Hasil penelitian
sebagian kecil dari protein. Meskipun di dalam menyatakan bahwa buah yang sering dikonsumsi
nasi mengandung protein, namun anak-anak oleh balita adalah pisang (61,4%). Pisang
dan kelompok rentan gizi harus mendapatkan mengandung vitamin dan mineral serta
suplai protein kualitas tinggi seperti pada telur karbohidrat yang cukup sekitar 12-30%
dan susu (Sediaoetama, 2009). Selain itu, ada (Tejasari, 2005). Sedangkan buah yang jarang
roti yang termasuk kedalam kategori sering dikonsumsi oleh anak balita adalah rambutan
dikonsumsi, sedangkan singkong masih (62,6%). Buah yang tidak pernah dikonsumsi
termasuk kategori jarang dan ubi tidak pernah oleh anak balita adalah salak (65,3%). Buah
dikonsumsi. merupakan sumber vitamin dan mineral yang
Makanan sumber protein nabati yang sangat diperlukan oleh tubuh manusia bagi
dominan di konsumsi oleh anak balita di melancarkan metabolisme dalam pencernaan
wilayah kerja Puskesmas Woha Kabupaten makanan dan menjaga kesehatan (Winarti,
Bima adalah tahu, tempe, kacang kedelai, 2010).
kacang tanah dan kacang hijau. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa makanan sumber protein 3.5 Hubungan Tingkat Konsumsi Zat Gizi
nabati yang sering dikonsumsi sebagaian besar Makro, Mikro dengan Kejadian Stunting.
anak balita adalah tahu (50,6%). Tahu lebih Angka kejadian stunting pada balita di
banyak mengandung protein dan sedikit Puskesmas Woha wilayah Kabupaten Bima
karbohidrat, dan mempunyai nilai gizi dan menunjukkan angka stunting sebesar 56,0%.
digestibilitas sangat baik (Sediaoetama, 2000). Status stunting dapat dihitung menggunakan
Makanan sumber hewani yang dominan kriteria antropometri dengan menghitung z-score
dikonsumsi oleh anak balita di wilayah kerja TB/U untuk setiap anak (Onis, 2007). Hasil
Puskesmas Woha Kabupaten Bima adalah telur, penelitian menunjukkan bahwa dari 75
daging ayam, daging sapi, ikan pindang, ikan responden yang mengalami stunting, kurang
tongkol, ikan tenggiri, ikan bandeng, ikan nila, lebih 3 responden mengalami stunting dan
udang dan hati ayam. Daging sapi sebagai besar stunting berat. Hasil ini menunjukkan bahwa
dikonsumsi dalam bentuk bakso. Hasil stunting pada anak usia 6 bulan hingga 2 bulan
penelitian menujukkan bahwa makanan sumber telah menjadi perhatian masyarakat di wilayah
protein hewani yang dikonsumsi sebagian besar kerja Puskesmas Woha Kabupaten Bima,
anak balita adalah telur (72,0%). Telur baik melebihi standar WHO yaitu meningkat 20%.
telur ayam maupun telur bebek banyak Faktor yang dominan mempengaruhi
dikonsumsi oleh masyarakat di Indonesia. Zat stunting di wilayah ini, karena kebanyakan bahan
gizi pada telur sebagain besar terdapat pada makanan yang dikonsumsi tidak bervariasi
bagian kuning telur (Sediaoetama, 2000). tergantung dari musim di wilayah tersebut.
Kandungan zat gizi seperti protein per 100 gram Misalnya, musim ikan bandeng, maka
telur ayam yaitu 10,8 gram, zat besi 4,9 mg, masyarakat lebih dominan mengonsumsi ikan
kalsium 141 mg dan vitamin A 125 mcg bandeng untu setiap harinya dan sayur yang
(Kementrian Kesehatan RI, 2018). dikonsumsi kebanyakan sayur kelor dan sayur
sop. Hal ini disebabkan juga oleh jarak pasar
62
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 10 No. 1 April 2022
Jurnal Kesehatan
Author(s) : Diansa Fitri, Sulistiyani, Ruli Bahyu Antika
yang jauh dan masyarakat biasanya bergantung menemukan hubungan yang signifikan antara
pada penjual keliling untuk membeli bahan asupan energi dengan kejadian stunting pada
makanan setiap harinya. Faktor ekonomi juga anak usia dini. Terdapat hubungan antara tingkat
berpengaruh terhadap variasi bahan makanan di
konsumsi energi dengan kejadian stunting pada
wilayah kerja Puskesmas Woha Kabupaten
Bima dikarenakan harga ikan diwilayah tersebut anak balita, dimana anak dengan konsumsi
mahal sehingga masyarakat mengonsumsi ikan energi rendah memiliki risiko 1,28 kali lipat lebih
atau bahan makanan yang bisa di jangkau atau tinggi untuk mengalami stunting dibandingkan
murah oleh masyarakat. . Rata-rata masyarakat dengan anak dengan konsumsi energi yang cukup
yang terkena stunting di wilayah kerja (Oktarina dan Sudiarti, 2014). Hubungan tingkat
Puskesmas Woha berasal dari keluarga miskin. konsumsi energi dengan kejadian stunting berada
Penelitian ini sejalan dengan yang dilakukan
di wilayah kerja Puskesmas Woha Kabupaten
oleh Hairunis et al. (Hairunis, 2016),
menunjukkan bahwa 81,8% anak di bawah usia Bima dengan nilai p=0,020 (p<0,005) dan OR =
5 tahun yang mengalami stunting adalah kecil 0,659. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan
dan sangat kecil.Jumlah balita yang menderita antara konsumsi protein dengan kejadian
adalah 66,7% atau setara dengan 33,3% anak stunting di Kecamatan Woha Kabupaten Bima.
yang menderita stunting.. Namun, penelitian ini Hal ini dikarenakan Bima merupakan daerah
berbeda dengan Fitri (2018), yang menyebutkan penghasil ikan tuna, sehingga anak-anak di
bahwa lebih banyak balita yang tidak
bawah usia 5 tahun sering makan telur dan ikan
mengalami kejadian stunting yaitu sebesar
66,7% daripada yang mengalami kejadian tuna. Beberapa ibu tidak memberikan ikan
stunting yaitu sebesar 33,3%. karena menurut mereka baunya amis, tetapi
survei ini menemukan bahwa beberapa orang
Tabel 1. Hubungan Tingkat Konsumsi Zat Gizi makan ikan dan udang, meskipun persentasenya
Makro (Energi dan Protein) dengan Kejadian
Stunting
tidak tinggi. Hasil penelitian ini sejalan dengan
Kejadian Stunting Maulidah et al. (Maulidah, 2019) sepakat bahwa
Tingkat
Tidak Total ada hubungan yang signifikan antara konsumsi
konsumsi zat Stunting p-value
Stunting
mikro
N % N % N %
protein dan kejadian stunting, dengan risiko 4,23
Tingkat kali lipat lebih tinggi terkena stunting pada anak
Konsumsi kecil.
Energi 0,004
Defisit 38 50,6 18 24,0 56 74,6
Tidak Defisit 5 6,7 14 18,6 19 25,4 Tabel 2. Hubungan Tingkat Konsumsi Konsumsi Zat Gizi
Tingkat Mikro (Kalsium, Zat Besi, dan Zink) dengan Kejadian
Konsumsi Stunting
Protein Kejadian Stunting
Tingkat Total
Defisit 21 28,0 26 34,6 47 62,6 0,020 Tidak
konsumsi Stunting p-value
Tidak Defisit 21 28,0 7 9,4 28 37,4 stunting
zat mikro
Sumber: Data Primer, 2020 N % N % N %
Tingkat
Konsumsi
Pada penelitian ini dilakukan analisis Kalsium 0,384
bivariat dengan menggunakan uji chi-square Kurang 16 21,4 8 10,6 24 32,0
Cukup 27 36,0 24 32,0 51 68,0
hubungan tingkat konsumsi energi dengan
Tingkat
kejadian stunting diperoleh nilai p-value sebesar Konsumsi
0,004 (p<0,005) dan OR = 17,106 dan OR = Besi 0,038
Kurang 29 38,7 14 18,6 43 57,4
17,106, menunjukkan tidak ada hubungan yang Cukup 13 17,3 19 25,4 32 42,6
signifikan antara konsumsi energi dengan Tingkat
kejadian stunting pada balita. Penelitian ini juga Konsumsi
0,009
Zink
sejalan dengan penelitian Sari et al. (2016) 34 45,4 14 18,6 48 64,0
63
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 10 No. 1 April 2022
Jurnal Kesehatan
Author(s) : Diansa Fitri, Sulistiyani, Ruli Bahyu Antika
Kurang 10 13,4 17 22,6 27 36,0 bivariat antara tingkat konsumsi seng dan
Cukup
Sumber: Data Primer, 2020
kejadian stunting menunjukkan p-value = 0,009
(p<0,005) menunjukkan hubungan dengan
Hasil uji statistik chi-square kejadian stunting. Berdasarkan perhitungan
menunjukkan adanya hubungan antara tingkat recall, anak kecil hanya mengonsumsi 1 mg atau
konsumsi (kalsium, besi, seng) dengan bahkan 0,7 mg seng per hari, sedangkan anak
terjadinya retardasi pertumbuhan. Uji bivariat kecil membutuhkan 3 mg seng per hari. Hasil
antara tingkat konsumsi kalsium dan terjadinya penelitian ini sejalan dengan penelitian Dewi dan
retardasi pertumbuhan menunjukkan nilai p = Nindya (2017) yang menemukan hubungan yang
0,38 (p > 0,005) yang menunjukkan tidak ada signifikan antara tingkat konsumsi seng dengan
hubungan. Penelitian Imannis (2016) tidak kejadian stunting pada anak usia 6–23 bulan.
menemukan hubungan antara asupan kalsium risiko stunting dibandingkan dengan asupan zinc
dengan terjadinya retardasi pertumbuhan, yang cukup (Astutik et al., 2018).
berbeda dengan penelitian Sari et al. (2016)
menemukan hubungan yang signifikan antara 3.6 Hubungan pola asuh gizi dengan tingkat
konsumsi makanan (zat gizi makro, mikro)
konsumsi kalsium dengan terjadinya retardasi
pada balita usia 6-24 bulan di wilayah kerja
pertumbuhan. Balita dengan asupan kalsium Puskesmas Woha Kabupaten Bima
yang cukup berisiko lebih besar mengalami Berdasarkan temuan penelitian pada
stunting daripada mereka yang asupan anak usia 6 bulan sampai 2 bulan di wilayah kerja
kalsiumnya lebih rendah. Hal ini dikeranakan Puskesmas Woha Kabupaten Bima menunjukkan
balita hampir setiap hari mengonsumsi sayuran bahwa tingkat konsumsi makanan yaitu. sebagai
daun kelor, karena memang masyarakat defisit atau tidak terklasifikasi. Hasil analisis uji
Kabupaten banyak menanam pohon kelor di chi-square menunjukkan adanya hubungan yang
halaman rumah. Sedangkan buncis jarang signifikan antara pola asuh gizi dengan tingkat
dikonsumsi karena memang buncis tidak konsumsi energi. Hasil uji chi-square
dihasilkan di Kabupaten Bima melainkan menunjukkan tidak ada hubungan antara pola
buncis diimport dari luar Kabupaten Bima yaitu asuh gizi dengan tingkat kecukupan konsumsi
dari Lombok. Asupan kalsium yang rendah protein, kalsium, zat besi, dan zink. Berdasarkan
pada balita mempnyai resiko 3,93 kali beresiko penelitian yang dilakukan oleh Jayanti (2015)
stunting daripada balita yang mempunyai menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang
asupan kalsium cukup (Sari et al., 2016). Uji bermakna antara pola asuh gizi dengan tingkat
bivariat antara derajat konsumsi zat besi dengan konsumsi energi, kalsium dan zat besi pada anak,
kejadian stunting menunjukkan nilai p = 0,038 akan tetapi terdapat hubungan yang bermakna
(p<0,005) menunjukkan adanya hubungan antara pola asuh gizi dengan tingkat konsumsi
antara besarnya konsumsi zat besi dengan protein dan zink pada balita.
kejadian stunting. Hasil penelitian ini sejalan Hasil penelitian ini serupa dengan hasil
dengan penelitian Dewi dan Nindya (2017) penelitian Damayanti et al. (2017) dengan
yang menemukan hubungan yang signifikan memperhatikan pola gizi terutama pola makan
antara konsumsi zat besi dengan kejadian orang tua dengan anak di bawah 5 tahun,
stunting pada anak usia 6 sampai 23 bulan. Hal ditemukan bahwa kadar kalsium dan zat besi
ini berbeda dengan penelitian Sulaiman (2014) merupakan faktor penyebab stunting. Sebagian
yang menggambarkan tidak ada hubungan besar kadar zat besi kurang dalam penelitian ini,
dengan asupan zat besi pada bayi stunting. Uji tetapi tidak berkorelasi secara statistik, terbukti
64
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 10 No. 1 April 2022
Jurnal Kesehatan
Author(s) : Diansa Fitri, Sulistiyani, Ruli Bahyu Antika
mempengaruhi status gizi. Juga pemenuhan Tabel 4. Hubungan Pola Asuh Gizi dengan Kejadian
Stunting pada Anak Balita Usia 6-24 Bulan di Wilayah
yang baik. Kerja Puskesmas Woha Kabupaten Bima
Kejadian Stunting
Total
Tabel 3. Hubungan Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu dengan Pola Asuh Tidak p-
Stunting
Kejadian Stunting pada Balita Usia 6-24 Bulan di Wilayah Gizi stunting value
Kerja Puskesmas Woha Kabupaten Bima N % N % N %
Tingkat Kejadian Stunting Kurang 32 42,6 12 16,0 44 58,6
Total p- 0,007
Pengetahu Tidak Baik 12 16,0 19 25,4 31 41,4
Stunting value
an Gizi stunting Total 44 58,6 31 41,4 75 100
Ibu N % N % N % Sumber: Data Primer, 2020
Kurang 49 65,3 18 24,0 67 89,3
Baik 8 10,7 0 0 8 10,7 0,214
Berdasarkan hasil analisis bivariat
Total 57 76,0 18 24,0 75 100
Sumber: Data Primer, 2020 menggunakan uji chi-square dengan
kepercayaan 95% (α = 0,05) dan p-value= 0,007
Oleh karena itu, berdasarkan hasil (p<0,05), dapat disimpulkan ada hubungan
analisis bivariat menggunakan uji chi-square antara pola asuh gizi. dan stunting. Hasil analisis
pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05), p- menunjukkan bahwa anak balita usia 6 bulan
value= 0,21 (p<0,05), tingkat pengetahuan sampai 24 bulan di Kabupaten Bima wilayah
berhubungan dengan kejadian retardasi studi Puskesmas Woha memiliki pola asuhan gizi
pertumbuhan, terdiri dari nutrisi ibu. Hasil tidak stunting dibandingkan dengan balita
analisis disebabkan karena kurangnya dengan balita kurang pengasuhan orang tua
pengetahuan gizi ibu di tempat kerja di ditemukan lebih tinggi daripada anak-anak dari
Puskesmas Woha dipengaruhi oleh beberapa peduli. Oleh karena itu, anak di bawah usia lima
faktor, antara lain faktor pendidikan, kurangnya tahun tanpa pendidikan dapat berisiko
perawatan ibu dan ketidaktahuan gizi. Tumbuh mengalami stunting sebanyak 9.679 kali. Hal ini
kembang anak di bawah usia 5 tahun yang disebabkan oleh banyak ibu yang bekerja
mengalami gangguan tumbuh kembang seperti sehingga ibu tidak mengasuh dan memperhatikan
stunting. Misalnya mengenai pentingnya ASI anak dengan baik serta pola makan anak tidak
eksklusif bagi anak, penelitian menunjukkan teratur, kebanyakan ibu memberikan makanan
bahwa masih banyak ibu yang tidak kemasan kepada anaknya supaya lebih praktis.
memberikan ASI eksklusif karena tidak cukup Biasanya juga anak dititipkan atau diasuh oleh
ASI, anaknya tidak mau, atau sibuk, dan sedang nenek atau kakaknya ketika ibu balita bekerja,
bekerja. balita tersebut diberi makan oleh nenek atau
Penelitian ini tidak sesuai dengan kakak yang penting kenyang dan tidak rewel
penelitian Pahlavi et al. (2012), terdapat tetapi tidak memperhatikan status gizi dalam
hubungan yang signifikan dengan pengetahuan makanan tersebut. Penelitian Wijaya
ibu tentang status gizi anaknya. Ibu dari bayi mununjukkan adanya perbedaan status gizi balita
normal memiliki tingkat pengetahuan yang yang diasuh ibu dan diasuh pembantu rumah
lebih tinggi dibandingkan ibu dari bayi stunting tangga. Balita yang diasuh ibu memiliki status
(Ni’mah dan Nadhiroh, 2016). Jika pengetahuan gizi lebih baik dibanding balita yang diasuh
gizi ibu tinggi maka status gizi anak baik, dan pembantu rumah tangga, hal tersebut
sebaliknya jika pengetahuan gizi ibu rendah dikarenakan kasih sayang pembantu rumah
maka status gizi anak buruk. tangga terhadap balita tidak sebesar kasih sayang
ibu kepada balita, sehingga pola pemberian
makan pembantu rumah tangga terhadap balita
kurang tepat dan mempengaruhi status gizi
65
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 10 No. 1 April 2022
Jurnal Kesehatan
Author(s) : Diansa Fitri, Sulistiyani, Ruli Bahyu Antika
balita. Berdasarkan hasil penelitian Syah dan dalam rangka memperbaiki status gizi balita
Nasir (2019) menunjukkan adanya hubungan khususnya stunting, seperti mewajibkan setiap
yang bermakna antara pendidikan gizi dengan puskesmas untuk memantau setiap pertumbuhan
dan perkembangan balita, tidak hanya berat
kejadian stunting pada anak usia 6 bulan sampai
badan saja melainkan tinggi badannya juga
23 bulan. Anak-anak berusia 12 hingga 23 bulan dalam rangka memperbaiki status gizi balita
memiliki kemungkinan 4,714 kali lebih besar khususnya stunting.
terkena stunting daripada anak-anak yang
dibesarkan dengan baik (Anasiru dan Indra, Daftar Pustaka
2018). Anasiru, M.A. and Indra, D. (2018), “Pengaruh
Asupan Energi dan Protein, Pola Asuh dan
Status Kesehatan terhadap Kejadian
4.Simpulan dan Saran
Stunting pada Anak Usia 12-36 Bulan di
4.1 Simpulan
Puskesmas Tilanggo Kecamatan Tilanggo
a. Terdapat hubungan yang bermakna
Kabupaten Gorontalo”, Health and
antara tingkat konsumsi energi, protein,
Nutritions Journal, Vol. 4 No. 1, pp. 7–16.
zat besi, dan zink dengan kejadian
stunting pada anak balita usia 6-24 Anindita, P. (2012), “Hubungan Tingkat
bulan. Namun, tidak terdapat hubungan Pendidikan Ibu, Pendapatan Keluarga,
antara tingkat konsumsi kalsium Kecukupan Protein & Zinc dengan Stunting
dengan kejadian stunting pada balita (Pendek) pada Balita Usia 6 € “ 35 Bulan
usia 6-24 bulan di wilayah kerja di Kecamatan Tembalang Kota Semarang”,
Puskesmas Woha Kabupaten Bima Vol. 1 No. 2.
b. Terdapat hubungan yang bermakna Aridiyah, F.O., Rohmawati, N. and Ririanty, M.
antara pola asuh gizi dengan tingkat (2015), “Faktor-faktor yang Mempengaruhi
konsumsi energi pada anak balita usia Kejadian Stunting pada Anak Balita di
6-24 bulan. Namun, tidak terdapat Wilayah Pedesaan dan Perkotaan (The
hubungan antara pola asuh gizi dengan Factors Affecting Stunting on Toddlers in
tingkat konsumsi protein, kalsium, zat Rural and Urban Areas)”, Pustaka
besi, dan zink pada balita usia 6-24 Kesehatan; Vol 3 No 1 (2015).
bulan di wilayah kerja Puskesmas Astutik, A., Rahfiludin, M.Z. and Ronny, A.
Woha Kabupaten Bima. (2018), “FAKTOR RISIKO KEJADIAN
c. Tidak terdapat hubungan antara tingkat
STUNTING PADA ANAK BALITA
pengetahuan gizi ibu dengan kejadian
USIA 24-59 BULAN (Studi Kasus di
stunting pada balita usia 6-24 bulan di
Wilayah Kerja Puskesmas Gabus II
wilayah kerja Puskesmas Woha
Kabupaten Pati Tahun 2017)”, Jurnal
Kabupaten Bima.
Kesehatan Masyarakat, Vol. 6 No. 1, pp.
d. Terdapat hubungan yang bermakna
409–418.
antara pola asuh gizi dengan kejadian
stunting pada anak balita usia 6-24 Cahyana, Aji, S. and Puspowati, S.D. (2018),
bulan di wilayah kerja Puskesmas Hubungan Pola Asuh Gizi Dan Kesehatan
Woha Kabupaten Bima. Dengan Status Gizi Pada Baduta Di
Puskesmas Sangkrah Kota Surakarta,
4.2 Saran Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Saran yang dapat diberikan adalah Damayanti, R.A., Muniroh, L. and Farapti, F.
Dinas Kesehatan Kabupaten Bima serta (2017), “PERBEDAAN TINGKAT
instansi-instansi lain yang terkait seperti KECUKUPAN ZAT GIZI DAN
BKKBN Kabupaten Bima, Dinas Sektor RIWAYAT PEMBERIAN ASI
Pangan, Dinas Sosial Kabupaten Bima, dan EKSKLUSIF PADA BALITA
Dinas Pertanian Kabupaten Bima dapat STUNTING DAN NON STUNTING”,
memberikan solusi atau membuat kebijakan Media Gizi Indonesia, Vol. 11 No. 1, p. 61.
66
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 10 No. 1 April 2022
Jurnal Kesehatan
Author(s) : Diansa Fitri, Sulistiyani, Ruli Bahyu Antika
67
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 10 No. 1 April 2022
Jurnal Kesehatan
Author(s) : Diansa Fitri, Sulistiyani, Ruli Bahyu Antika
68
Publisher : Politeknik Negeri Jember Vol. 10 No. 1 April 2022