You are on page 1of 17

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN

DENGAN PENERAPAN HIGIENE SANITASI


PADA PEDAGANG MAKANAN JAJANAN DI
PASAR TAWANGSARI KABUPATEN
SUKOHARJO

SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai
Derajat Kesehatan Masyarakat

Oleh :
SINTIA PUJI RAHAYU
NIM. 1751700110

PROGAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS VETERAN BANGUN NUSANTARA
SUKOHARJO
2021
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
PENERAPAN HIGIENE SANITASI PADA PEDAGANG
MAKANAN JAJANAN DI PASAR TAWANGSARI
KABUPATEN SUKOHARJO
Factors Related to the Application of Sanitary Hygiene in Hawker
Food Merchant in Tawangsari Market Sukoharjo Regency
Sintia Puji Rahayu1
Jurusan Kesehatan Masyarakat, Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo
email: sintiapuji51@gmail.com

ABSTRACT
The application of sanitary hygiene in hawkers is still very low, can be caused low
knowledge, negative attitudes, poor physical environment and lack of facilities used to support the
sanitary hygiene in hawker food merchant. The purpose of this study is to know the factors,
namely knowledge, attitude, physical environment and availability of facilities related to the
application of sanitary hygiene in hawker food merchant in Tawangsari Market. This research is
observational analytics with a cross sectional approach. Population is hawkers in Tawangsari
Market as many as 30 traders. Sample of all hawkers as many as 30 respondents. Sampling
technique with total sampling. The instrument uses questionnaires. Analyze the data using chi
square test (α=0.05). Based on the results of univariate analysis obtained the results that most of
the high knowledge level is 63.3%, positive attitude is 50%, availability of good facilities by 50%,
the physical environment of the majority is less than 60% and the application of sanitary hygiene
majority is not eligible by 67.3%, while the results of bivariate analysis using chi square test
obtained results that there is no influence of knowledge (p = 0.105) and there is an influence of
attitude (p=0.003, C=0.471), availability of facilities (p = 0.028, C = 0.372) and physical
environment (p = 0.011, C = 0.421) against the application of sanitary hygiene to hawker foods in
Tawangsari Market.
It is recommended to Tawangsari to conduct a bribe to hawker food for example
through regular sanitation inspections, especially in the Tawangsari Market.
Keywords : Knowledge, Attitude, Availability of Facilities, Physical Environment, Sanitary
Hygiene.
ABSTRAK
Penerapan higiene sanitasi pada pedagang makanan jajanan yang masih sangat rendah,
dapat disebabkan oleh pengetahuan yang rendah, sikap yang negatif, lingkungan fisik yang tidak
baik dan kurangnya sarana yang digunakan untuk mendukung penerapan higiene sanitasi pada
pedagang makanan jajanan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yaitu
pengetahuan, sikap, lingkungan fisik dan ketersediaan sarana yang berhubungan dengan penerapan
higiene sanitasi pada pedagang makanan jajanan di Pasar Tawangsari. Penelitian ini adalah
observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasinya adalah pedagang makanan
jajanan di Pasar Tawangsari sebanyak 30 pedagang. Sampelnya semua pedagang makanan jajanan
sebanyak 30 responden. Teknik sampling dengan total sampling. Instrumen penelitian
menggunakan kuesioner. Analisa data menggunakan uji chi square (α=0,05). Berdasarkan hasil
analisis univariat didapatkan hasil bahwa sebagian besar tingkat pengetahuan tinggi yaitu sebesar
63,3%, sikap positif yaitu sebesar 50%, ketersediaan sarana baik sebesar 50%, lingkungan fisik
mayoritas kurang sebesar 60% dan penerapan higiene sanitasi mayoritas tidak memenuhi syarat
yaitu sebesar 67,3 % sedangkan hasil analisis bivariat menggunakan uji chi square didapatkan
hasil bahwa tidak ada pengaruh pengetahuan (p = 0,105) dan ada pengaruh sikap (p=0,003,
C=0,471), ketersedian sarana (p = 0,028, C = 0,372) dan lingkungan fisik (p = 0,011, C = 0,421)
terhadap penerapan higiene sanitasi pada pedagang makanan jajanan di Pasar
Tawangsari .Disarankan kepada Puskesmas Tawangsari untuk melakukan penyuluan kepada
pedagang makanan jajanan misalkan melalui inspeksi sanitasi secara rutin khususnya di wilayah
Pasar Tawangsari
Kata kunci: Tingkat Pengetahuan, Sikap, Ketersediaan Sarana, Lingkungan Fisik, Higiene
Sanitasi
PENDAHULUAN
Masalah kesehatan yang terjadi di Indonesia begitu kompleks, mulai dari
belum teratasinya masalah kesehatan penyakit menular, sudah diperparah degan
meningkatnya penyakit tidak menular dan masalah kesehatan lain. Faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi masalah kesehatan seperti kebersihan, kesehatan
lingkungan, kesehatan kerja, gizi dan pola makan, dan faktor demografi serta
faktor sosial budaya (Kahlasi et al, 2019). Berdasarkan faktor-faktor tersebut
menurut (Khomsan, 2010), Penyebab tingginya masalah kesehatan di Indonesia
disebabkan oleh salah satu faktor yaitu gizi dan makanan. Kesehatan makanan
terdiri dari berbagai aspek diantaranya higiene dan sanitasi. Makanan jajanan
berpotensi terkontaminasi dikarenakan tidak diterapkan higiene sanitasi pada
penjamah makanan seperti, proses penyimpanan makanan yang tidak benar,
pengolahan makanan yang kurang baik dan penyajian makanan yang tidak
higenis.
Menurut World Health Organization (2015) 1 dari 10 orang terkena
penyakit bawaan makanan dan sebagai akibatnya 420.000 orang meninggal setiap
tahun. Mengkonsumsi makanan mengandung bakteri, virus, parasit atau zat kimia
berbahaya dapat menyebabkan lebih dari 22 penyakit mulai dari diare hingga
kanker. Jumlah kejadiaan keracunan di Indonesia didominasi oleh kejadian
keracunan akibat makanan. Pada tahun 2019 Badan Pengawasan Obat dan
Makanan (BPOM) melaporkan kasus keracunan makanan di Indonesia mencapai
474 kasus. Penyebab keracunan makanan salah satunya yaitu makanan olahan
jajanan dengan 43 kasus dan makanan olahan rumah tangga dengan 265 kasus
(lampiran 5). KLB keracunan makanan masih banyak terjadi di Pulau Jawa, 5
Provinsi dengan KLB keracunan pangan tertinggi pada tahun 2017 adalah Jawa
Barat sebanyak 25 kejadian keracunan pangan, Jawa Tengah 17 kejadian, Jawa
Timur 14 kejadian, Bali 13 kejadian dan NTB 12 kejadian keracunan pangan
(Kemenkes, 2018). Berdasarkan profil Kesehatan Sukoharjo tahun 2017 dilihat
dari Kejadian Luar Biasa (KLB) untuk jumlah kasus keracunan makanan
mencapai 9 kasus dengan jumlah penderita 296 orang. Kasus keracunan makanan
di Kabupaten Sukoharjo pada tahun 2018 menurun menjadi 3 kasus dengan
jumlah penderita 46 orang dan pada tahun 2019 meningkat menjadi 5 kasus
keracunan makanan dengan jumlah penderita 215 orang. Kecamatan Tawangsari
Desa Tambakboyo merupakan salah satu kecamatan yang terkena Kejadian Luar
Biasa pada tahun 2019 dengan jumlah penderita 69 orang yang diakibatkan karena
keracunan makanan akibat olahan rumah tangga (lampiran 6 ). Diare adalah salah
satu penyakit bawaan makanan (food borne disease) dimana kasus di kecamatan
Tawangsari pada tahun 2019 mencapai 824 penderita pada golongan semua umur
dan 177 penderita pada golongan balita (lampiran 7).
Tempat tempat umum dan pengelolaan makanan merupakan suatu sarana
yang banyak dikunjungi masyarakat sehingga apabila pengelolaannya tidak sesuai
dengan standar kesehatan dikhawatirkan akan menjadi sumber penularan
penyakit. Pasar tradisional adalah salah satu tempat tempat umum dimana
makanan jajanan di jual oleh pedagang. Berdasarkan Profil Kesehatan Kabupaten
Sukoharjo Tahun 2019 mengenai higiene dan sanitasi makanan jajanan di
Kecamatan Tawangsari terdapat jumlah Tempat Pengelolaan Makanan untuk
makanan jajanan yaitu 56 TPM, dimana TPM yang memenuhi syarat higiene dan
sanitasi berjumlah 22 (39,3%), sedangkan yang tidak memenuhi syarat berjumlah
34 TPM (60,7%) (lampiran 9). TM khususnya makanan jajanan di Kecamatan
Tawangsari pada Tahun 2020 yang memenuhi syarat higiene dan sanitasi
sebanyak 65,9 %, sehingga terjadi peningkatan dari tahun sebelumnya. Pasar
Tawangsari terletak di Desa Kateguhan Kecamatan Tawangsari dimana makanan
jajanan yang memenuhi syarat higiene dan sanitasi 66,7 % (lampiran 10).
Kecamatan Sukoharjo pada tahun 2019 mengenai higiene sanitasi makanan
jajanan masih sangat rendah cakupannya yaitu 11,3 % yang memenuhi syarat.
Cakupan yang rendah ini diperlukan peningkatan kegiatan diantaranya kegiatan
pembinaan dan pemantauan secara berkala, sehingga para pengelola TPM segara
menindaklanjuti saran serta perbaikan yang diberikan oleh petugas dan
penyuluhan higiene dan sanitasi makanan atau minuman kepada penjamah
makanan agar sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 942/
MENKES/VII/2003 mengenai Pedoman Persyaratan Higiene Sanitasi Makanan
Jajanan (Profil Kesehatan Kabupaten Sukoharjo, 2019).
Penelitian yang dilakukan di Pasar Besar Kota Malang menunjukan bahwa
higiene dan kondisi tempat berjualan makanan belum menerapkan higiene yang
baik, cemaran dan kontaminasi juga rentan terjadi karena kondisi sekitar tempat
berjualan juga masih belum memadai. Sebagian besar penyajian makanan
menggunakan wadah tidak tertutup dan tidak bersekat sehingga rentan terjadinya
kontaminasi (Islamy et al, 2018). Penelitian yang pernah dilakukan Hironimus B
Kahlasi et al pada Tahun 2019 menunjukan bahwa ada hubungan antara
pengetahuan, sikap dan perilaku dengan higiene sanitasi pedagang makanan
jajanan di Sekolah Dasar Kecamatan Banguntapan Bantul Yogyakarta. Sebagian
peneliti hanya melihat perilaku dari pedagang makanan saja. Penelitian secara
spesifik perlu dilakukan untuk mengetahui dan mengukur faktor-faktor yang
berhubungan dengan penerapan higiene sanitasi pada pedagang makanan jajanan
yang meliputi pengetahuan, sikap, ketersedian sarana serta kondisi lingkungan
fisik terutama bagi pedagang di wilayah pasar.
Survei awal yang dilakukan pada 10 pedagang makanan jajanan yang
meliputi makanan sepingan, makanan kudapan dan jenis minuman yang berada di
Pasar Tawangsari pada Tanggal 31 Maret 2021 menunjukan bahwa 70 %
pedagang belum menerapakan higiene sanitasi sedangkan 30 % pedagang sudah
menerapkan higiene sanitasi (lampiran 13). Permasalahan yang sering dihadapi
pada penjamah makanan jajanan antara lain kurangnya pengetahuan pedagang
mengenai persyaratan higiene sanitasi makanan jajanan seperti tidak mengetahui
pentingnya mencuci tangan sebelum menjamah makanan. Sikap yang kurang
bersih misalnya tidak menggunakan masker atau menurunkan masker ke dagu,
tidak mencuci tangan sebelum melayani pembeli bahkan ada yang merokok di
depan makanan. Ketersediaan sarana yang kurang mendukung seperti tidak
tersedianya tempat memcuci tangan, tempat sampah yang tidak memenuhi
persyaratan, gerobak yang tidak bersihkan sebelum berjualan, sehingga banyak
lalat yang menghinggap. Sebagian pedagang juga tidak menggunakan alat untuk
mengambil makanan seperti penjepit makanan sehingga harus menggunakan
tangan. Lingkungan fisik yang tidak baik seperti menjajakan makanan dalam
keadaan terbuka tepat dipinggir jalan yang banyak dilalui oleh kendaraan
bermotor dan jarak yang terlalu dekat dengan pembuangan sampah. Tujuan dari
menerapkan higiene sanitasi yaitu agar makanan yang dihasilkan kualitasnya baik
dan keamanan makanannya terjaga sehingga tidak menimbulkan penyakit akibat
makanan karena mengkonsumsi makanan jajanan, sehingga penelitian mengenai
higiene sanitasi makanan jajanan di Pasar Tawangsari ini sangat penting
dilakukan.
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis menjadi tertarik untuk
melakukan penelitian tentang faktor-fakor yang mempengaruhi penerapan higiene
sanitasi makanan jajanan pada pedagang makanan jajanan di Pasar Tawangsari
Kabupaten Sukoharjo.

METODE
Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan
pendekatan cross sectional. Penelitian ini dilakukan di Pasar Tawangsari pada
bulan Juni 2021.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pedagang makanan jajanan
yang meliputi penjaja diam, penjaja setengah diam dan penjaja keliling di Pasar
Tawangsari yang berjumlah 30 pedagang
Teknik sampling dalam penelitian ini menggunakan total sampling,
dimana sampel dalam penelitian ini sama dengan populasi yaitu 30 pedagang
makanan jajanan yang berada di Pasar Tawangsari.
Instrumen penelitian menggunakan kuesioner yang digunakan untuk
mengukur variabel tingkat pengetahuan dan sikap dan lembar observasi untuk
mengukur variabel ketersediaan sarana, lingkungan fisik dan penerapan higiene
sanitasi makanan jajanan yang sudah dilakukan uji validitas dan reliabilitas.
Analisis data dalam penelitian ini meliputi analisis univariat dan analisis
bivariat. Menggunakan uji chi square dengan nilai α=0,05. Jika nilai p value <
0,05 maka Ha diterima, yang berati ada hubungan antara masing masing variabel
bebas yaitu tingkat pengetahuan, sikap, ketersediaan sarana dan lingkungan fisik
dengan variabel bebas yaitu penerapan higiene sanitasi. Jika p value < 0,05 maka
tidak ada hubungan antara masing masing variabel bebas yaitu tingkat
pengetahuan, sikap, ketersediaan sarana dan lingkungan fisik dengan variabel
bebas yaitu penerapan higiene sanitasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Analisis Univariat
Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendiskripsikan
karakteristik tiap variabel penelitian. Variabel dalam analisis ini meliputi variabel
bebas yaitu tingkat pengetahuan, sikap, ketersediaan sarana dan lingkungan fisik
serta variabel terikat yaitu penerapan higiene sanitasi pedagang makanan jajanan.
Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi dan
presentase dari masing-masing variabel bebas dab variabel terikat (Notoatmodjo,
2018).

Tingkat Pengetahuan
Berdasarkan tabel 1, hasil kuesioner pengetahuan pedagang makanan jajanan di
Pasar Tawangsari jika nilai hasil kuesioner yang lebih dari sama dengan 5 point
maka pedagang makanan jajanan dikatakan memiliki pengetahuan yang tinggi,
sedangkan nilai yang kurang dari 5 point maka pedagang makanan jajaan
dikatakan memiliki pengetahuan yang rendah. Hasil statistik pada penelitian ini
menunjukan bahwa tingkat pengetahuan dengan katogori rendah sebanyak 10
pedagang (33,3%) dan kategori tinggi sebanyak 20 pedagang (67,7%).
Pengetahuan yang baik sangat diperlukan untuk mendukung penerapan higiene
sanitasi pada pedagang makanan jajanan. Hal ini menunjukan bahwa sudah
banyak pedagang makanan di Pasar Tawangsari yang berpengetahuan baik. Tetapi
dari beberapa kuesioner yang diajukan kepada responden beberapa orang tidak
mengetahui bahwa mencuci tangan sebelum menjamah makanan sangat penting
dilakukan, masih banyak pedagang yang setelah memegang uang tidak mencuci
tangan karena mereka tidak tahu bahwa sebenarnya tangan yang kotor adalah
salah satu sumber kontaminasi yang dapat mencemari makanan. Hasil penelitian
ini sejalan dengan penelitian Swamilaksita (2016) yang menyatakan bahwa
sebagian besar pengetahuan responden mengenai higiene sanitasi makanan
jajanan temasuk dalam kategori baik sebanyak 33 responden (86,8%) dan kategori
kurang sebanyak 5 orang (13,2%).
Tabel 1. Distribusi responden berdasarkan tingkat pengetahuan mengenai
higiene sanitasi makanan jajanan.
No Tingkat Pengetahuan Frekuensi Persentase (%)
1 Tinggi 19 63,3
2 Rendah 11 36,7
Jumlah 30 100,0

Sikap
Berdasarkan tabel 2, hasil kuesioner sikap pedagang makanan jajanan di
Pasar Tawangsari jika nilai hasil kuesioner yang lebih dari sama dengan 7 point
maka pedagang makanan jajanan dikatakan memiliki sikap yang positif,
sedangkan nilai yang kurang dari 7 point maka pedagang makanan jajaan
dikatakan memiliki sikap yang negatif. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa
responden mempunyai sikap yang negatif sebanyak 15 pedagang (50%),
sedangkan sikap responden yang positif sebanyak 15 pedagang (50%), dengan
demikian tidak ada perbedaan yang signifikan mengenai sikap pedagang makanan
jajanan di Pasar Tawangsari dalam menerapkan higiene sanitasi.
Saat proses pengisian kuesioner mengenai sikap terkait dengan kebersihan
diri, ada beberapa responden yang menjawab bahwa tidak perlu mencuci tangan
sebelum menangani makanan atau membolehkan memiliki kuku yang panjang
ketika berjualan asalkan kukunya bersih meskipun ketika menjamah makanan
tetap menggunakan alat. Beberapa responden juga ada yang tidak menggunakan
masker ketika berjualan sehingga lebih berpotensi batuk atau bersin dihadapan
makanan karena hal tersebut dianggap tidak mencemari makanan. Hal ini tentu
bertentangan dengan higiene sanitasi makanan karena mulut, hidung dan kulit
mengandung banyak bakteri yang menimbulkan penyakit. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian Rahmayani (2018) yang menyatakan bahwa sikap
responden terhadap kebersihan diri, peralatan, penyajian dan sarana yang ada di
sekolah belum begitu baik. Beberapa responden berpikir boleh saja batuk atau
bersin dihadapan makanan yang dijajakan serta penggunaan kain lap yang
digunakan.
Tabel 2. Distribusi responden berdasarkan sikap pedagang mengenai higiene
sanitasi makanan jajanan.
N
Sikap Frekuensi Persentase (%)
o
1 Positif 15 50
2 Negatif 15 50
Jumlah 30 100

Ketersediaan Sarana
Berdasarkan tabel 3, hasil lembar observasi terkait ketersediaan sarana
pedagang makanan jajanan di Pasar Tawangsari jika nilai hasil lembar observasi
yang lebih dari sama dengan 4 point maka pedagang makanan jajanan dikatakan
memiliki ketersediaan sarana yang baik, sedangkan nilai yang kurang dari 4 point
maka pedagang makanan jajaan dikatakan memiliki ketersediaan sarana yang
kurang. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa responden yang memiliki
ketersediaan sarana dengan kategori kurang sebanyak 15 pedagang (50 %)
sedangkan responden yang memiliki ketersediaan sarana dengan kategori baik
sebanyak 15 orang (50 %). Beberapa responden masih ditemukan tidak
menggunkan penutup pakaian seperti celemek atau penutup kepala. Pedagang
kurang memperhatikan kontaminasi yang dapat terjadi melalui pakaian yang
digunakan, karena merasa menggunkan penutup pakaian membuat tidak nyaman
dan terganggu. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Islamy (2019) yang
menyatakan bahwa dari 20 pedagang hanya 3 pedagang saja yang pada saat
berjualan menggunakan penutup pakaian dan kepala pada saat berjualan.
Menurut Notoatmodjo (2011) menyatakan bahwa pengetahuan dan sikap
saja belum menjamin terjadinya perilaku, masih diperlukan sarana atau fasilitas
untuk memungkinkan atau mendukung perilaku tersebut. Ketersediaan sarana
dalam penelitian ini masih kurang seperti tidak adanya tempat pembuangan
sampah di sekitar pedagang makanan jajanan atau tempat pembuangan sampah
yang tidak memadai, seperti hanya menggunakan kantong plastik. Tempat
mencuci tangan dan mencuci peralatan yang hanya menggunkan ember tanpa
disediakan sabun. Hal tersebut akan memungkinkan terjadinya kontaminasi
makanan karena tempat pembuangan sampah yang tidak memadai akan
menimbulkan beberapa jenis vektor seperti lalat dan kecowa lebih berpotensi
membuat makanan menjadi tercemar.
Tabel 3. Distribusi responden berdasarkan ketersediaan sarana mengenai
higiene sanitasi makanan jajanan.
No Ketersediaan Sarana Frekuensi Persentase (%)
1 Baik 15 50
2 Kurang 15 50
Jumlah 30 100

Lingkugan Fisik
Berdasarkan tabel 4, hasil lembar observasi terkait lingkungan fisik
pedagang makanan jajanan di Pasar Tawangsari jika nilai hasil lembar observasi
yang lebih dari sama dengan 4 point maka pedagang makanan jajanan dikatakan
memiliki lingkungan fisik yang baik, sedangkan nilai yang kurang dari 4 point
maka pedagang makanan jajaan dikatakan memiliki lingkungan fisik yang buruk.
Lingkungan sekitar penyelenggaraan makanan harus memiliki kondisi lingkungan
yang bersih dan sehat. Sanitasi dan alat yang baik justru menjadi pencegah untuk
menghasilkan kualitas bakteriologis makanan yang memenuhi syarat. Berdasarkan
hasil penelitian menunjukan bahwa 18 responden ( 60%) memiliki lingkungan
fisik dengan kategori kurang dan 12 responden (40 %) memiliki lingkungan fisik
dengan kategori baik. Hal ini sejalan dengan penelitian Swamilaksita yang
menyatakan bahwa responden yang memiliki kondisi lingkungan yang buruk
sebanyak 32 orang (84,2 %), sedangkan responden yang mempunyai kondisi
lingkungan baik sebanyak 6 orang (15,8%). Lingkungan yang baik memiliki
peranan yang penting dalam penerapan higiene sanitasi.
Berdasarkan hasil observasi masih ditemukan pedagang yang menjajakan
makanannya berdekatan dengan penjual unggas, tempat pemotongan ayam atau
jalan raya, sehingga menimbulkan kontaminasi pada makanan seperti bakteri atau
debu. Beberapa responden juga ada yang sarana penjajanya kotor seperti terdapat
lalat disekitar gerobak pedagang. Hal ini bisa membuat makanan tercemar dan
menimbulkan penyakit apabila dikonsumsi.
Tabel 4. Distribusi responden berdasarkan lingkungan fisik mengenai higiene
sanitasi makanan jajanan.
No Lingkungan Fisik Frekuensi Persentase (%)
1 Baik 12 40
2 Buruk 18 60
Jumlah 30 100

Penerapan Higiene Sanitasi


Berdasarkan tabel 4, hasil lembar observasi terkait penerapan higiene
sanitasi pada pedagang makanan jajanan di Pasar Tawangsari jika nilai hasil
lembar observasi yang lebih dari sama dengan 21 point maka pedagang makanan
jajanan dikatakan memiliki penerapan higiene yang memenuhi syarat kesehatan,
sedangkan nilai yang kurang dari 21 point maka pedagang makanan jajaan
dikatakan memiliki penerapan higiene sanitasi yang tidak memenuhi syarat. Hasil
penelitian ini menunjukan bahwa sebagian besar responden yang penerapan
higiene sanitasi termasuk dalam kategori tidak memenuhi syarat yaitu sebanyak
19 pedagang dan responden yang penerapan higiene sanitasi termasuk dalam
kategori memenuhi syarat sebanyak 11 pedagang. Penelitian ini sejalan dengan
penelitian Swamilaksita yang menyatakan bahwa 26 orang (64,8 %) memiliki
kualitas sarana sanitasi yang buruk sedangkan 12 orang (31,6%) memiliki kualitas
sarana sanitasi yang baik.
Higiene sanitasi pedagang yang tidak memenuhi syarat dikarenakan tidak
memakai celemek, penutup kepala atau masker saat menangani makanan, tidak
mencuci tangan sebelum menangani makanan dan merokok atau batuk dan bersin
di hadapan makanan. Peralatan makanan yang penyimpannya tidak terhindar dari
sumber pencemaran atau dibiarkan terbuka dan disimpan dalam keadaan tidak
kering. Beberapa responden juga masih ada yang menyimpan makanan jadi
dengan bahan mentah tidak dipisahkan. Makanan yang dibiarkan terbuka seperti
aneka gorengan sehingga menimbulkan makanan menjadi tercemar.
Hal ini sejalan dengan penelitian Lumanauw (2019) mengenai higiene dan
sanitasi pada pedagang makanan jajanan Bali di destinasi kuliner pasar malam
Sindu, Sanur, Bali yang menyebutkan bahwa higiene perorangan pada pedagang
makanan sebanyak 76 % dalam kategori tidak baik dan 23 % dalam kategori baik,
sanitasi peralatan sebanyak 54 % dalam kategori tidak baik dan 46 % dalam
kategori baik, sedangkan sanitasi penyajian makanan sebanyak 46 % dalam
kategori tidak baik dan 54 % dalam kategori baik. Pada penelitian Lumanauw
(2019) diketahui bahwa responden tidak menggunakan celemek, sehingga baju
kotor dan tidak higiene, penyajian makanan jajanan diletakan dalam tempat
terbuka, menyentung makanan dengan tangan tanpa mencuci tangan terlebih
dahulu dan menaruh makanan di rak yang tidak tertutup.
Tabel 5. Distribusi responden berdasarkan penerapan higiene sanitasi pada
makanan jajanan.
N
Penerapan Higiene Sanitasi Frekuensi Persentase (%)
o
1 Memenuhi Syarat 11 33,7
2 Tidak Memenuhi Syarat 19 66,3
Jumlah 30 100,0

Analisis Bivariat
Analisis Bivariat pada penelitian ini digunakan untuk melihat ada tidaknya
hubungan antara tingkat pengetahuan, sikap, ketersediaan sarana dan lingkungan
fisik dengan penerapan higiene sanitasi pada pedagang makanan jajanan di Pasar
Tawangsari. Anlisis yang digunakan adalah dengan menggunakan uji chi square.
Hasil analisis statistik tersebut sebagaimana disajikan pada tabel 6.
Tabel 6. Hubungan Tingkat Pengetahuan, Sikap, Ketersediaan Sarana dan
sssssssssssiLingkungan Fisik dengan Penerapan Higiene Sanitasi pada Pedagang
sssssssssssiMakanan Jajanan
Penerapan Higiene Sanitasi
Faktor yang
Tidak Total Uji
berhubungan dengan Memenuhi
Memenuhi Statistik C
Penerapan Higiene Syarat
Syarat P Value
Sanitasi
Ʃ % Ʃ % Ʃ %
Pengetahuan
Rendah 8 26,7 3 10 11 36,7 0,105 0,284
Penerapan Higiene Sanitasi
Faktor yang
Tidak Total Uji
berhubungan dengan Memenuhi
Memenuhi Statistik C
Penerapan Higiene Syarat
Syarat P Value
Sanitasi
Ʃ % Ʃ % Ʃ %
Tinggi 8 26,7 11 36,7 19 63,3
Sikap
Negatif 12 40 3 10 15 50
0,003 0,471
Positif 4 13,3 11 36,7 15 50
Ketersediaan Sarana
Kurang 11 36,7 4 13,3 15 50
0,028 0,372
Baik 5 16,7 10 33,3 15 50
Lingkungan Fisik
Buruk 13 43,3 5 16,7 18 60
0,011 0,421
Baik 3 10 9 30 12 40
Total 16 53,3 14 46,7 30 100
Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Penerapan Higiene Sanitasi
pada Pedagang Makanan Jajanan
Pengetahuan merupakan hasil tahu yang terjadi setelah seseorang
melakukan pengindraan terhadap suatu obejek tertentu (Notoatmodjo, 2011).
Pengetahuan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang dan mempermudah perilaku seseorang.
Pengukuran mengenai pengetahuan terhadap higiene sanitasi pada pedagang
makanan jajanan dalam penelitian ini dikelompokan menjadi dua, yaitu tinggi
dan rendah. Pengukuran pengetahuan dilakukan menggunakan 10 pertanyaan
mengenai pengertian menjaga kebersihan, tujuan, manfaat, cara dan dampak
melakukan higiene sanitasi pada makanan yang benar. Berdasarkan hasil
penelitian diketahui bahwa responden yang memiliki pengetahuan yang tinggi
lebih banyak dibandingkan dengan pengetahuan yang rendah yaitu sebanyak
19 pedagang (63,3 %). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
Rahmayani (2018) yang menunjukan bahwa pengetahuan dalam kategori
tinggi lebih banyak pada penjamah makanan mengenai higiene sanitasi
makanan yaitu sebesar 66,7 %.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui sebanyak 30 responden (100%)
sudah mengetahui pengertian menjaga kebersihan diri ketika berdagang.
Diketahui 25 responden mengetahui tujuan dari sanitasi makanan dan
mengetahui bahwa memegang uang langsung menjamah makanan tidak
diperbolehkan. Diketahui 22 responden mengetahui tujuan penyimpanan
makanan jadi dengan benar. Sebanyak 18 responden mengetahui akibat
penyakit yang ditimbulkan dan ditularkan melalui media makanan yaitu
penyakit saluran pencernaan.
Berdasarkan tabel 5 diperoleh P value 0,105 > 0,05 (P value lebih besar
dari 0,05). Dengan demikian secara hasil uji statistik menggunakan aplikasi
SPSS didapatkan kepastian bahwa Ha ditolak atau dapat dikatakan tidak ada
pengaruh tingkat pengetahuan pedagang terhadap penerapan higiene sanitasi
pada pedagang makanan jajanan. Hasil Coefisien Contigensi (C) sebesar 0,284
menunjukan bahwa tingkat keeratan hubungan kedua variabel termasuk dalam
kategori rendah. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
Rahmayani pada tahun 2018 yang menyebutkan bahwa tidak ada hubungan
antara pengetahuan dengan higiene sanitasi pedagang makanan jajanan di
pinggir jalan dengan hasil uji statistik Chi Square didapatkan nilai p > 0,05
yaitu sebesar 0,146.
Pengetahuan pedagang makanan jajanan di Pasar Tawangsari mengenai
higiene sanitasi makanan jajanan secara umum sudah termasuk kategori
tinggi, dari penelitian ini masih ditemukan beberapa pedagang makanan
jajanan yang berpengetahuan rendah mengenai akibat kebiasaan hidup yang
tidak bersih karena tidak mengetahui hal tersebut akan menimbulkan penyakit
yang dapat meningkatkan angka kesakitan di masyarakat. Mereka tidak
mengetahui setelah memegang uang langsung menangani makanan akan
menimbulkan penemaran pada makanan.
Responden yang sebagian besar menempuh pendidikan terakhir
SMA/sederajat diperkirakan memiliki pengaruh terhadap tingkat pengetahuan
yang diperoleh (Rahmayani, 2018). Kurangnya pengetahuan mengenai kaidah
penyimpanan makanan yang benar karena masih ditemukan responden yang
membiarkan makanan yang jadi seperti aneka gorengan yang dibiarkan
terbuka, karena menganggap kondisi di lingkungannya sudah bersih dan tidak
akan menimbulkan pencemaran pada makanan. Hasil penelitian juga diketahui
bahwa pengetahuan responden masih ada yang baik tentang higiene sanitasi
makanan, hal ini bisa disebabkan karena beberapa responden memiliki
pendidikan SMA/sederajat serta informasi yang mungkin tidak dengan sengaja
diketahui oleh responden, seperti dari percakapan harian, pengalaman hidup
serta informasi dari berbagai media massa.

Hubungan Sikap dengan Penerapan Higiene Sanitasi pada Pedagang


Makanan Jajanan
Sikap merupakan reaksi atau respon sesorang yang masih tertutup
terhadap stimulus atau obyek (Notoatmodjo, 2011). Sikap yang dimiliki
individu merupakan sikap yang utuh karena dibentuk oleh karaktersitik dan
komponen pokok. Karaktersitik terdiri dari selalu adanya obyek, bersifat
evaluatif, relatif mantap dan dapat diubah. Sedangkan komponen pokok terdiri
dari kepercayaan, kehidupan emosional serta kecenderungan untuk bertindak.
Penelitian ini mengukur sikap responden menggunkan kuesioner
dengan 12 pertanyaan yang diberi jawaban sangat setuju, setuju, tidak setuju
dan sangat tidak setuju. Variabel sikap dikelompokan menjadi dua yaitu sikap
positif dan sikap negatif. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa
responden yang memiliki sikap negatif dan sikap positif sama besar yaitu
sebanyak 15 responden (50%).
Sikap negatif responden terhadap higiene sanitasi pedagang makanan
jajanan yang tidak diwujudkan oleh perilaku yang tidak sesuai, dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu sebanyak 14 responden mengatakan tidak setuju
ketika penjamah harus mencuci tangan menggunakan sabun sebelum
memasak atau menjamah makanan dan diperbolehkan memiliki kuku panjang
asalkan kukunya bersih. Kemudian 23 responden sudah mengetahui bahwa
megobati dan menutup luka terbuka adalah hal yang penting dilakukan oleh
penjamah makanan dan 20 responden bersin atau batuk dihadapan makanan.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil uji statistik Chi Square
diperoleh P value 0,003 < 0,05 (P value lebih kecil dari 0,05). Dengan
demikian secara hasil uji statistik menggunakan aplikasi SPSS didapatkan
kepastian bahwa Ha diterima dan ho ditolak atau dapat dikatakan ada
pengaruh sikap pedagang terhadap penerapan higiene sanitasi pada pedagang
makanan jajanan. Hasil Coefisien Contigensi (C) sebesar 0,471 menunjukan
bahwa tingkat keeratan hubungan kedua variabel termasuk dalam kategori
sedang.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Rahmayani (2018)
menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara sikap dengan penerapan
higiene sanitasi pedagang makanan jajanan di pinggir jalan dengan hasil uji
statistik menggunakan uji chi square diperoleh nilai p < 0,05 yaitu sebesar
0,041. Berdasarkan penelitian tersebut masih banyak ditemukan sikap
pedagang makanan jajanan yang tidak menggunakan masker ketika berjualan
sehingga dapat memicu pedagang untuk bersin atau batuk di hadapan
makanan, membiakan kukunya panjang karena masih menganggap kuku
panjang diperbolehkan asalkan masih bersih.
Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukaan Notoatmodjo (2011),
suatu sikap yang belum terwujud dalam suatu tindakan apabila belum ada
kondisi yang melatarbelakangi terbentuknya suatu sikap. Sikap adalah
kesiapan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku atau merespon
sesuatu, baik rangsangan negatif maupun rangsangan positif dari suatu objek.
Mesikpun sikap belum merupakan wujud tindakan, sikap merupakan faktor
predisposisi seseorang untuk berperilaku (Cahyaningsih, 2009). Sikap
mempunyai tiga komponen pokok yaitu kepercayaan, ide dan konsep terhadap
suatu obyek, kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek serta
kecenderungan untuk bertindak (Notoatmodjo 2011).

Hubungan Ketersediaan Sarana Pedagang dengan Penerapan Higiene


Sanitasi pada Pedagang Makanan Jajanan
Ketersediaan sarana yang digunakan untuk mendukung penerapan
higiene sanitasi merupakan salah satu faktor pemungkin yang menyebabkan
suatu perubahan perilaku untuk menerapkan higiene sanitasi yang baik. Sentra
pedagang makanan jajanan harus dilengkapi dengan fasilitas sanitasi untuk
kebersihan penjamah makanan seeprti celemek, pakaian bersih, penutup
kepala, masker, tempat mencuci tangan dan sabun khusus cuci tangan serta
tempat pembuangan sampah yang memadai (Kepmenkes, 2003).
Ketersediaan sarana dalam penelitian ini diukur menggunakan lembar
observasi dengan 8 pertanyaan yaitu mengenai ketersediaan alat pelindung diri
penjamah makanan seperti masker, penutup kepala, pakaian kerja/celemek,
tempat pembuangan sampah yang memadai, tempat mencuci tangan bahan
dan perlatan, tempat penyimpanan bahan makanan, makanan jadi dan
peralatan makanan serta tersediaanya pembuangan limbah cair.
Responden dalam penelitian ini 50 % memiliki ketersediaan sarana
kurang. Diketahui beberapa responden tidak memiliki tempat mencuci tangan
dan tempat memcuci bahan dan peralatan. Berdasarkan hasil observasi yang
dilakukan peneliti bahwa tidak tersedianya sarana dikarenakan keterbatasan
tempat yang sempit di warung tersebut serta beberapa pedagang yang
memiliki gerobak hanya menyediakan ember sekali bilas tanpa sabun dan
jarang diganti airnya. Jarak antara sumber air yang digunakan untuk mencuci
tangan, mencuci perlatan makanan dijadikan alasan beberapa responden
karena mereka menganggap tidak efisien apabila setiap menangani makanan
harus mencuci tangan terlebih dahulu.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan dari 15 responden yang
memiliki ketersediaan sarana kurang, sebanyak 4 responden (13,3 %) yang
penerapan higiene sanitasinya memenuhi syarat. Sedangkan dari 15 responden
yang memiliki sikap positif, sebesar 10 responden (33,3%) yang penerapan
higiene sanitasinya memenuhi syarat. Hasil uji statistik Chi Square diperoleh
P value 0,028 < 0,05 (P value lebih kecil dari 0,05). Dengan demikian secara
hasil uji statistik menggunakan aplikasi SPSS didapatkan kepastian bahwa Ha
diterima dan ho ditolak atau dapat dikatakan ada pengaruh ketersediaan sarana
pedagang terhadap penerapan higiene sanitasi pada pedagang makanan
jajanan. Hasil Coefisien Contigensi (C) sebesar 0,372 menunjukan bahwa
tingkat keeratan hubungan kedua variabel termasuk dalam kategori rendah.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Wati (2013) tentang
faktor yang berhubungan dengan praktik sanitasi pada pedagang makanan
disekitar Wisata Pantai Logending Kecamatan Ayah Kabupaten Kebumen
menyatakan bahwa analisis dengan menggunakan uji Chi Square diperoleh
nilai p-value 0,001 (<0,05) sehingga H0 ditolak. Hal ini menunjukan bahwa
ada hubungan antara ketersediaan sumber-sumber fasilitas dengan praktik
sanitasi pada pedagang makanan disekitar Wisata Pantai Logending
Kecamatan Ayah Kabupaten Kebumen.

Hubungan Lingkungan Fisik Pedagang dengan Penerapan Higiene


Sanitasi pada Pedagang Makanan Jajanan
Lingkungan sekitar penyelenggaraan makanan harus memiliki kondisi
lingkungan yang bersih dan sehat. Sanitasi dan alat yang baik justru menjadi
pencegah untuk menghasilkan kualitas bakteriologis makanan yang memenuhi
syarat. Kualitas bakteriologis makanan yang memenuhi syarat dapat
dipengaruhi oleh faktor-faktor selain sanitasi alat, seperti tangan penjamah
makanan, kualitas air bersih yang digunakan, lingkungan pengelolaan
makanan dan penyajian makanan (Swamilaksita, 2016).
Lingkungan fisik dalam penelitian ini diukur menggunkan lembar
observasi dengan 7 pertanyaan yaitu mengenai kondisi lingkungan di sekitar
pedagang makanan jajanan seperti tempat berjualan yang tidak berdekatan
dengan tempat pembuangan sampah, tempat pemotongan ayam, tempat
pemeliharaan unggas, jalan raya, tidak terdapat vektor, tempat berjualan yang
sudah dibersihkan dan halam tenpat berjualan yang tidak kotor.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui sebanyak 27 responden tempat
berjualannya dekat dengan jalan raya, hal ini akan memungkinkan makanan
menjadi terkontaminasi apabila tidak dalam keadaaan yang tertutup, kemudian
sebanyak 20 responden yang tempat berjualnya terdapat vektor seperi lalat
atau serangga dan 16 responden yang halaman di sekitar tempat berjualan
kotor dikarenakan tidak tersediaanya tempat sampah yang memadai sehingga
timbunan sampah sampai keluar kemana-mana. Sampah berceceran
mengakibatkan lingkungan disekitar pedagang makanan terlihat kurang bersih.
Berdasarkan hasil penelitian menggunkan uji statistik Chi Square diperoleh P
value 0,011 > 0,05 ( p value lebih besar dari 0,05). Dengan demikian secara
hasil uji statistik menggunakan aplikasi SPSS didapatkan kepastian bahwa Ha
ditolak atau dapat dikatakan ada pengaruh lingkungan fisik dengan penerapan
higiene sanitasi pada pedagang makanan jajanan. Hasil Coefisien Contigensi
(C) sebesar 0,421 menunjukan bahwa tingkat keeratan hubungan kedua
variabel termasuk dalam kategori sedang.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Swamilaksita (2016)
yang menyebutkan bahwa ada hubungan lingkungan fisik dengan penerapan
higiene sanitasi di kantin Universitas Esa Unggul dengan hasil uji statistik Chi
Square didapatkan nilai p > 0,05 yaitu sebesar 0,001. Hal ini pun sesuai
dengan teori Notoatmodjo (2007), yang menyatakan bahwa syarat terpenting
untuk lantai adalah tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada
musim hujan, karena lantai yang basah atau kering dapat menimbulkan sarang
penyakit.

KESIMPULAN
Setelah dilakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan
dengan penerapan higiene sanitasi pada pedagang makanan jajanan di Pasar
Tawangsari Kabupaten Sukoharjo, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Tingkat pengetahuan pedagang terkait dengan higiene sanitasi makanan
jajanan di Pasar Tawangsari masuk dalam kategori tinggi sebesar 63,3 %.
2. Sikap pedagang terkait dengan higiene sanitasi makanan jajanan di Paasar
Tawangsari tidak ada perbedaan yang signifikan dimana pedagang yang
memiliki sifat postif sebesar 50 % dan pedagang yang memiliki sikap negatif
sebesar 50 %.
3. Ketersediaan sarana pedagang yang digunakan untuk mendukung penerapan
higiene sanitasi makanan dengan kategori baik sebesar 50 % dan kategori
kurang sebesar 50 %.
4. Lingkungan fisik di sekitar pedagang makanan jajanan temasuk dalam
kategori kurang baik yaitu sebesar 60 %.
5. Penerapan higiene sanitasi pada pedagang makanan jajanan di Pasar
Tawangsari Kabupaten Sukoharjo sebagiab besar masuk dalam kategori tidak
memenuhi syarat yaitu sebesar 66,3 %.
6. Tidak ada hubungan tingkat pengetahuan pedagang dengan penerapan higiene
sanitasi pada pedagang makanan jajanan di Pasar Tawangsari Kabupaten
Sukoharjo (p = 0,105).
7. Ada hubungan sikap pedagang dengan penerapan higiene sanitasi pada
pedagang makanan jajanan di Pasar Tawangsari Kabupaten Sukoharjo, (p =
0,003) dengan tingkat keeratan hubungan sedang (C = 0,471).
8. Ada hubungan ketersediaan sarana pedagang dengan penerapan higiene
sanitasi pada pedagang makanan jajanan di Pasar Tawangsari Kabupaten
Sukoharjo, (p = 0,028) dengan tingkat keeratan hubungan rendah (C = 0,372).
9. Ada hubungan lingkungan fisik pedagang dengan penerapan higiene sanitasi
pada pedagang makanan jajanan di Pasar Tawangsari Kabupaten Sukoharjo,
(p = 0,011) dengan tingkat keeratan hubungan sedang (C = 0, 421).

SARAN
1. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo dapat memberikan pembinaan
dan pengawasan secara berkala kepada Tempat pengelola Makanan (TPM)
melalui Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) dan kelengkapan sarana
atau fasilitas untuk mendukung penerapan higiene sanitasi khusunya bagi
pedagang makaanan jajanan makanan jajanan agar kemanan makanan yang
dihasilakan.
2. Bagi Puskesmas Tawangsari dapat memberikan pembinaan dan pengawasan
melalui inspeksi sanitasi mengenai higiene sanitasi Tempat Pengelolaan
Makanan (TPM) secara rutin khusunya makanan jajanan di wilayah pasar
Tawangsari Kabupaten Sukoharjo.
3. Bagi Progam Studi Kesehatan Masyarakat dapat memberikan bahan referensi
dan bahan bacaan yang berkaitan dengan faktor-faktor yang berhubungan
dengan penerapan higiene sanitasi pada pedagang makanan jajanan.
4. Bagi Pedagang Makanan Jajanan sebaiknya melakukan penerapan higiene
sanitasi sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
942/Menkes/SK/2003 mengenai higiene sanitasi makanan jajanan agar
kualitas makanan yang dihasilkan baik dan tidak terkontaminasi.
5. Bagi Masyarakat untuk lebih teliti dalam memilih makanan dan minuman
yang baik sebelum membeli dan mencari informasi mengenai pentingnya
menerapkan higiene sanitasi dalam mengelola makanan maupun minuman

DAFTAR PUSTAKA

BPOM. 2019. Laporan Tahunan Pusat Data dan Informasi Obat dan Makanan
Tahun 2019. [pdf] Jakarta: Pusdatin Obat dan Makanan. Tersedia di :
98rurr
Cahyaningsih CT, Kushadiwijaya H, Tholib A. 2009. Hubungan higiene sanitasi
dan perilaku penjamah makanan dengan kualitas bakteriologis peralatan
makan di warung makan . Berita Kedokteran Masyarakat. 25(4): pp. 180
Dinkes Kabupaten Sukoharjo. 2017. Profil Kesehatan Kabupaten Sukoharjo
Tahun 2017. [pdf] Sukoharjo: Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo.
________________________. 2018. Profil Kesehatan Kabupaten Sukoharjo
Tahun 2018. [pdf] Sukoharjo: Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo.
________________________. 2019. Profil Kesehatan Kabupaten Sukoharjo
Tahun 2019. [pdf] Sukoharjo: Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo.
Islamy, Sumarmi, Farapati. 2018. Analisis Higiene Sanitasi dan Keamanan
Makanan Jajanan di Pasar Besar Kota Malang. Research Study. 2 (1): pp.
29-36
Kahlasi, Febriani Heni, Chasanah . 2019. Higiene Sanitasi Pedagang dengan
Perilaku Pedagang makanan jajanan di Sekolah Dasar Kecamatan
Banguntapan Bantul Yogyakarta. Jurnal Medika Respati.14 (3): pp. 177-
186.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
942/MENKES/SK/VII/2003. Pedoman Persyaratan Hygiene Sanitasi
Makanan Jajanan. Jakarta.
Kemenkes RI. 2018. Lebih dari 200 Penyakit dapat Menular Melalui Makanan,
Keamanan Pangan Harus Diperhatikan. Jakara: Biro Komunikasi dan
Pelayanan Masyarakat. Tersedia di :
https://www.kemkes.go.id/article/view/18092700003/lebih-dari-200-
penyakit-dapat-menular-melalui-makanan-keamanan-pangan-harus-
diperhatikan.html#:~:text=Pada%202017%2C%20berdasarkan%20data
%20dari,CFR)%200%2C1%25
Khomsan, Ali. 2010. Pangan dan Gizi Untuk Kesehatan. Jakarta : PT Grasindo.

Lumanauw, Nelsye. Higiene Sanitasi pada Pedagang Makanan Jajanan Bali di


Destinasi Wisata Kuliner Pasar Malam Sindu, Sanur, Bali. Jurnal Poiteknik
Internasional Bali. 1(2): pp. 23-44.
Mubarak, WI. 2013. Ilmu Kesehatan Masyarakat: Teori dan Aplikasi. Jakarta:
Salemba Medika
Notoatmodjo, S. 2011. Kesehatan Masyarakat : Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka
Cipta.
_____________. 2018. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Pitri RH, Sugiarto, Husaini A . 2020. Faktor yang Berhubungan dengan Praktik
Hygiene Penjamah Makanan di Sekolah Dasar Wilayah Kerja Puskesmas
Tanjung Pinang. Journal of Healhcare Technology and Medicine. 6(2): pp.
732-741
Rahmayani. 2019. Hubungan Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Hygiene Sanitasi
Pedagang Makanan Jajanan di Pinggir Jalan. Jurnal AcTion : Aceh
Nutrition Journal. 3(2): pp. 172-178.
Sucipto, C.D. 2015. Keamanan Pangan untuk Kesehatan Manusia. Yogyakarta :
Goysen Publishing.
Swamilaksita, Prita Dhyani. 2016. Faktor Yang Mempengaruhi Penerapan
Higiene Sanitasi di Kantin Universitas Esa Unggul. Nutrire Diaita . 8(2):
pp. 71-79
WHO. 2015. Penyakit Akibat Makanan. World Health Organization

You might also like