You are on page 1of 8

Agro Bali : Agricultural Journal e-ISSN 2655-853X

Vol. 4 No. 3: 362-369, November 2021 DOI: 10.37637/ab.v4i3.745

Kelimpahan Fauna Tanah pada Ekosistem Pascabakar Kecamatan


Mentebah, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Indonesia

(Abundance Of Soil Fauna In Post-Burn Ecosystem Of Mentebah,


Kapuas Hulu, West Kalimantan, Indonesia)

Endang Sulistyorini1, Rahayu Widyastuti2, Sugeng Santoso3


1
Program Studi Agroekoteknologi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang – Banten
2
Program Studi Bioteknologi Tanah dan Lingkungan IPB University – Bogor
3Program Studi Proteksi Tanaman IPB University-Bogor

Email korespondensi: endang_sulistyorini@untirta.ac.id

Abstract. The forest management system in Kapuas Hulu Regency has been less than optimal so that the area of
forest from year to year decreases which results in decreased forest quality. Forest exploitation such as
deforestation, increased shifting of the function of forest areas into settlements, plantations, moving trade, and the
occurrence of forest fires are serious threats to forest ecosystems, especially the presence of soil fauna and
biodiversity loss. Soil fauna is part of the soil ecosystem that maintains the ecosystem through decomposition
processes and nutrient cycles. These processes aim to improve and maintain the biological, chemical, and physical
properties of the soil. The aim of the study was to identify the abundance of soil fauna and environmental influences
on the abundance of soil fauna in secondary forest ecosystems, slash and burn (1 year), young fallow (2-3 years)
and old fallow (5-20 years). Soil samples were taken using a 100 m transek method with 10 sampling points at a
depth of 0-5 cm. Extraction of soil fauna was done using the berlese funnel heat extractor modification. Identification
of the order was carried out with a stereo light microscope. The results showed that each ecosystem has a different
abundance and diversity. The largest and lowest abundances of soil fauna are 1,350 and 461 individuals/m2 in
secondary forest ecosystems and slash and burn. The highest diversity was found in secondary forest and old fallow
(1.82;1.95) with moderate diversity categories. The abundance of soil fauna was dominated by the Hexapoda
(insecta) and the lowest of the Syimphila.
Keyword: soil fauna; ecosystem;abundance;diversity

Abstrak. Sistem pengelolaan hutan di Kabupaten Kapuas Hulu selama ini kurang optimal sehingga luas hutan dari
tahun ke tahun mengalami penurunan yang mengakibatkan kualitas hutan semakin menurun. Eksploitasi hutan
seperti penebangan hutan, peningkatan peralihan fungsi kawasan hutan menjadi pemukiman, perkebunan,
perladangan berpindah, dan terjadinya kebakaran hutan merupakan ancaman yang serius terhadap ekosistem hutan
terutama keberadaan fauna tanah dan hilangnya keanekaragaman hayati. Fauna tanah merupakan bagian dari
ekosistem tanah yang menjaga ekosistem melalui proses dekomposisi dan siklus hara. Proses-proses tersebut
bertujuan untuk memperbaiki serta mempertahankan sifat biologi, kimia, dan fisik tanah. Tujuan dari penelitian ini
adalah mengidentifikasi kelimpahan fauna tanah dan pengaruh lingkungan terhadap kelimpahan fauna tanah pada
ekosistem hutan sekunder, lahan pascabakar 1 tahun, belukar muda (2-3 tahun) dan belukar tua (5-20 tahun). Sampel
tanah diambil dengan menggunakan metode transek sepanjang 100 m dengan 10 titik sampling pada kedalaman 0-
5 cm. Ekstraksi fauna tanah dilakukan dengan menggunakan alat modifikasi Berlese Funnel Heat Extractor.
Identifikasi ordo dilakukan dengan mikroskop cahaya stereo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap ekosistem
memiliki kelimpahan dan keanekaragaman yang berbeda. Kelimpahan fauna tanah terbesar dan terendah adalah
1.350 dan 461 individu /m2 pada ekosistem hutan sekunder dan lahan pascabakar 1 tahun. Keanekaragaman terbesar
terdapat pada ekosistem hutan sekunder dan belukar tua (1,82;1,95) dengan kategori keanekaragaman sedang.
Kelimpahan fauna tanah didominasi dari kelas Hexapoda (insecta) dan terendah dari kelas Symphyla.
Kata kunci: ekosistem; fauna tanah; keanekaragaman; kelimpahan

PENDAHULUAN memperbaiki serta mempertahankan sifat


biologi, kimia, dan fisik tanah. Namun,
Keanekaragaman organisme dalam tanah
berbagai kegiatan budidaya dapat
memberikan kontribusi penting dalam
mempengaruhi peranan organisme tanah
menjaga keseimbangan ekosistem. Peranan
terhadap suatu ekosistem.
organisme dalam menjaga ekosistem yaitu
Ekosistem tanah memiliki komponen
melalui proses dekomposisi dan siklus hara.
yang relatif komplek dan saling berkaitan satu
Proses-proses tersebut bertujuan untuk
sama lain, yaitu komponen abiotik dan biotik

362
Agro Bali : Agricultural Journal e-ISSN 2655-853X
Vol. 4 No. 3: 362-369, November 2021 DOI: 10.37637/ab.v4i3.745

(Hanafiah, 2005). Komponen abiotik dapat Beberapa penelitian telah dilakukan


berupa kelembaban, suhu tanah, sinar untuk mengetahui kelimpahan fauna tanah
matahari, unsur hara, bahan organik dan pada ekosistem pascabakar akibat dari
anorganik. Sedangkan komponen biotik dapat perubahan hutan menjadi non hutan. Menurut
berupa fauna tanah, yaitu organisme yang Marpaung (2016), keragaman jumlah genus
terlibat dalam berbagai proses tanah antara fauna tanah pada tiga tipe ekosistem utuh dan
lain; degradasi bahan organik, aliran unsur terbakar di Kabupaten Jambi yaitu ekosistem
hara, pengendalian populasi organisme hutan primer utuh 22 genus dan terbakar 11
patogen, memperbaiki sifat tanah, dan genus, hutan tanaman industri utuh 20 genus
pencampuran bahan organik tanah terbakar 10 genus dan perkebunan kelapa
(Handayanto & Hairiah, 2007; Samudra et al., sawit utuh 15 genus dan terbakar 9 genus.
2013). Sejalan dengan Kaffah 2019, Hasil rerata nilai
Fauna tanah merupakan bagian penting indeks keanekaragaman menggunakan indeks
dari suatu ekosistem di dalam tanah. Beberapa Shannon-Wiener pada lahan bekas kebakaran
peranan dari fauna tanah antara lain dalam sebesar 0,578 dan lahan transisi sebesar 0,870
perbaikan kesuburan tanah yaitu termasuk dalam kategori rendah, sedangkan
menghancurkan fisik, pemecahan bahan pada lahan tidak terbakar sebesar 1,259
menjadi humus, menggabungkan bahan yang termasuk dalam kategori sedang. Kelimpahan
membusuk pada lapisan tanah bagian atas, fauna tanah pada ekosistem paska bakar
dan membentuk kemantapan agregat antara memiliki perbedaan berdasarkan waktu
bahan organik dan bahan mineral tanah. lamanya pembakaran. Oleh karena itu,
Selain itu fauna tanah berperan juga pada masalah yang perlu dikaji pada penelitian ini
aliran karbon, redistribusi unsur hara, siklus adalah Kelimpahan fauna tanah pada
unsur hara, dan pembentukan struktur tanah ekosistem pascabakar (1 tahun), Belukar
(Anderson, 1994). muda (2-3 tahun) belukar tua (5-20 tahun) dan
Kabupaten Kapuas Hulu merupakan hutan sekunder.
Kabupaten yang berada di Provinsi
Kalimantan Barat yang memiliki METODE
keanekaragaman hayati yang cukup tinggi,
dengan luas wilayah kawasan lindung yang Penentuan lokasi penelitian
menggunakan metode purposive sampling
lebih dari 50% (Taman Nasional dan Hutan
yaitu pada lahan yang dianggap representatif
Lindung), sejak tahun 2003 Kabupaten
yang dipengaruhi oleh pembukaan lahan
Kapuas Hulu mendeklarasikan diri sebagai
dengan pembakaran pada 1 tahun pascabakar,
Kabupaten Konservasi melalui SK Bupati
2-3 tahun pascabakar (belukar muda), 5-20
Nomor 14 Tahun 2003. Berkaitan dengan tahun pascabakar (belukar tua) dan hutan
meningkatnya isu pengelolaan hutan karena sekunder. Sampel tanah lokasi penelitian
sebagian hutan mengalami degradasi dan berada di Kecamatan Mentebah, Kabupaten
deforestasi yang disebabkan oleh illegal Kapuas Hulu Kalimantan Barat (Tabel 1).
logging, pembakaran hutan dan perladangan
konvensional atau berpindah (Azwar, 2014).

Tabel 1. Koordinat dan ketinggian ekosistem pascabakar


No. Ekosistem Koordinat Ketinggian
Lintang Meridian (mdpl)
1 Lahan Pascabakar (1 tahun) 0.49149 112.80401 44-58
2 Belukar Muda (2-3 tahun) 0.59175 112.80326 47-58
3 Belukar Tua (5-20 Tahun) 0.52020 112.81932 54-69
4 Hutan Sekunder 0.52013 112.81719 58-63
Keterangan: m dpl : meter dari permukaan laut

363
Agro Bali : Agricultural Journal e-ISSN 2655-853X
Vol. 4 No. 3: 362-369, November 2021 DOI: 10.37637/ab.v4i3.745

Alat yang digunakan adalah Berlese kali ulangan dengan jarak setiap ulangan
Funnel Extractor dengan modifikasi, kain adalah 10 m pada tipe penggunaan lahan
blacu, label, termometer, Global Positioning (Gambar 1). Metode transek adalah
System (GPS) kamera, penggaris, meteran, pengambilan contoh pada suatu areal yang
botol sentrifus ukuran 45- 50 ml, saringan < ditetapkan secara garis lurus dengan jarak
0.2 mm, mikroskop stereo, cawan petri, kuas, antara titik-titik yang telah ditetapkan dan
pinset, microtube 2 ml, alat tulis, buku digunakan pada areal pengamatan yang relatif
penuntun klasifikasi Arthropoda. luas dan mempunyai agroekosistem relatif
Bahan utama yang digunakan adalah homogen (Balitbangtan, 2007). Pengambilan
alkohol konsentrasi 70% dan 96%. Alat dan contoh tanah diawali dengan membersihkan
bahan yang digunakan untuk analisis vegetasi yang menutupi titik pengambilan
karakteristik tanah mengacu pada metode contoh, kemudian contoh tanah diambil
gravimetri (kadar air), Walkey & Black (C- berdasarkan ukuran 20 x 20 cm2 dengan
organik), dan Kjeldahl (N-total). Pengambilan kedalaman 5 cm (gambar 2).
contoh tanah dengan metode transek lurus 10

Gambar 1. Metode Transek pengambilan contoh tanah

Sampel tanah dimasukkan ke dalam bertahap yaitu 30, 40, dan 45℃, setelah proses
kantung blacu secara terpisah setelah ekstraksi selesai, hasil ekstraksi dipindahkan
sebelumnya telah dilakukan pengukuran suhu ke dalam botol sentrifus berisi alkohol 96%
tanah. Suhu tanah diukur dengan untuk diidentifikasi. Hasil ekstraksi
menggunakan termometer tanah yang diklasifikasikan berdasarkan (Borror et al.,
dimasukkan ke dalam tanah sedalam 5-10 cm 1996). Proses identifikasi berlangsung di
hingga hasil pengukuran stabil. Contoh tanah bawah mikroskop stereo dan pemindahan
pada kantung blacu dipindahkan ke dalam fauna tanah dilakukan secara hati-hati dengan
kotak sampel ekstraksi. menggunakan kuas dan pinset ke dalam
Proses ekstraksi berlangsung selama microtube atau cryotube berisi alkohol 96%
tujuh hari dengan peningkatan suhu yang sebagai pengawetan fauna tanah.

Gambar 2. Skema pengambilan contoh tanah


Penghitungan fauna tanah dilakukan Keterangan: IS = rerata jumlah individu per
selama kegiatan proses identifikasi. sampel; I = populasi individu/m2; A = luas
Kelimpahan fauna tanah dihitung berdasarkan permukaan tempat penampung dalam cm2 (nilai
persamaan (Meyer, 1996) --- (1): dikonversi ke dalam m2)

364
Agro Bali : Agricultural Journal e-ISSN 2655-853X
Vol. 4 No. 3: 362-369, November 2021 DOI: 10.37637/ab.v4i3.745

Keanekaragaman fauna tanah dihitung Homoptera, Hymenoptera, Lepidoptera,


berdasarkan Shannon’s Diversity Index Orthoptera,Protura,Psocoptera, Thysanoptera
(Magurran, 2004) --- (2): dan Zoraptera. Kelas Hexapoda terbesar
ditemukan pada lahan pascabakar 5-20 tahun
dibandingkan dengan hutan sekunder dan
terendah pada lahan pascabakar 1 tahun. Hal
ini disebabkan karena pada lahan pascabakar
Keterangan: 5-20 tahun memiliki C-Organik dan kadar air
H = Shannon diversity index; pi = ni/N; ni = yang tinggi dibandingkan dengan hutan
Jumlah individu genus ke-I; N = Total jumlah sekunder (Tabel 3). Kandungan C-Organik
individu s = Total jumlah genus dalam contoh dan kadar air yang tinggi sangat
Nilai H’ diklasifikasikan berdasarkan mempengaruhi kelimpahan ordo Collembola
Magurran (1987) : dari kelas Hexapoda. Kelimpahan Collembola
< 1.5 = low diversity
tanah meningkat dengan semakin
bertambahnya kadar air tanah. Ordo
1.5 – 3.5 = medium diversity
Collembola merupakan kelompok hexapoda
> 3.5 = high diversity
yang memiliki kelimpahan tertinggi pada
Data pendukung faktor lingkungan yang ekosistem belukar tua dan hutan sekunder.
diperoleh dari hasil laboratorium adalah C- Penelitian Broza & Izhaki (1997), Coleman &
organik (metode Walkey & Black), N-total Rieske (2006) menyatakan bahwa kelompok
(Kjeldahl), kadar air tanah (metode Acari dan Collembola (mikroarthropoda)
gravimetri), dan derajat keasaman (pH H2O) memiliki kelimpahan tertinggi setelah
kebakaran di tanah hutan Mediterania di
HASIL DAN PEMBAHASAN Israel. Kelas Arachnida yang ditemukan dari
hasil penelitian adalah ordo Acari, Araneae,
Kelimpahan Fauna Tanah
Pseudoscorpionidae dan Schizomida.
Kelimpahan fauna tanah menunjukkan
Kelompok Arachnida yang paling
hasil bervariasi pada setiap ekosistem. Hasil
banyak ditemukan adalah Acarina (Wallwork,
penelitian menunjukkan terdapat 6 kelas yang
1970). Keberadaan fauna tanah sangat
berbeda (Tabel 1). Hasil yang bervariasi
dipengaruhi oleh lingkungan yang menyusun
dipengaruhi oleh banyak faktor lingkungan,
habitat baik biotik maupun abiotik (Hamdani,
antara lain: iklim (curah hujan, suhu,
2015). Faktor lingkungan abiotik dapat
kelembaban), tanah (aerasi, serasah,
berupa suhu udara, keasaman tanah (pH
kemasaman, kelembaban, suhu, unsur hara),
tanah) dan kelembaban udara. Faktor
dan vegetasi (hutan, padang rumput, belukar,
lingkungan biotik berupa strata vegetasi,
dan penutupan lahan lainnya) (Hakim et al.,
ketebalan serasah dan kerapatan tajuk.
1988; Wallwork, 1970; Wild, 1993). Jenis
Lahan pascbakar 1 tahun memiliki
Fauna tanah yang dominan ditemukan pada 4 kelimpahan fauna tanah terendah yaitu 461
lokasi penelitian adalah dari kelas Hexapoda individu/m2, penurunan jumlah fauna tanah
sebesar 2.022 individu/m2 dan kelas disebabkan karena berpindahnya fauna tanah
Arachnida (Laba-laba) sebesar 1.519 pada saat terjadinya pembakaran. (Fuller, 1991)
individu/m2. Sedangkan jenis fauna tanah menyatakan bahwa pada umumnya pengaruh
yang terendah ditemukan adalah kelas pembakaran hutan pada fauna tanah berubah
Symphyla sebesar 11 individu/m2. Kelas setiap saat dikarenakan fauna tanah mati dan
Hexapoda dibagi menjadi beberapa ordo melakukan migrasi atau bertahan hidup pada
(Borror et al., 1996). lingkungan yang baru dengan keragaman
Dari hasil penelitian terdapat beberapa makanan yang berbeda. Malmström et al.
ordo dari kelas Hexapoda yang ditemukan (2009); dan Gongalsky & Persson (2013)
yaitu Blattodea, Coleoptera, Collembola, menyatakan tingkat pemulihan adaptasi untuk
Dermaptera, Diptera, Diplura, Hemiptera, fauna tanah sekitar 35% untuk makrofauna

365
Agro Bali : Agricultural Journal e-ISSN 2655-853X
Vol. 4 No. 3: 362-369, November 2021 DOI: 10.37637/ab.v4i3.745

dan mesofauna yang telah diamati tujuh tahun setelah pembakaran hutan di Boreal
setelah kebakaran dan 30-40% 5-10 tahun Skandinavia.

Tabel 2. Jumlah Individu/m2 pada ekosistem pascabakar


Kelas Ekosistem (waktu pembakaran)
Individu/m2
Lahan Pascabakar Belukar muda Belukar tua Hutan Sekunder
(1 tahun) (2-3 tahun) (5-20 tahun)
Arachnida 274 339 302 604
Chilopoda 0 6 5 10
Diplopoda 0 13 5 3
Hexapoda 187 335 796 704
Malacostraca 0 3 18 26
Symphyla 0 3 5 3
Jumlah 461 699 1131 1350

Keanekaragaman Fauna Tanah dekomposisi yang terjadi tinggi, apabila nilai


Hasil pengamatan Keragaman fauna indeks keanekaragamannya antara 1-3 maka
tanah di ekosistem pascabakar dengan laju dekomposisi yang terjadi sedang dan bila
menggunakan Shannon’s Diversity Index nilai indeks keanekaragamannya kurang dari
menunjukkan nilai indek keanekaragaman 1 maka laju dekomposisi yang terjadi rendah.
Fauna tanah di ekosistem hutan sekunder, Hubungan yang terjadi antara laju
lahan pascabakar 1 tahun, belukar muda dan dekomposisi dengan indeks keanekaragaman
belukar tua berturut-turut adalah 1,82; yang terjadi pada hasil penelitian ini berkisar
1,41;1,66 dan 1,95 (Tabel 2). Menurut 1,41-1,95 berarti terdapat hubungan antara
Suwondo (2002), apabila nilai indeks laju dekomposisi dengan indeks
keanekaragamannya lebih dari 3 maka laju keanekaragaman fauna tanah yang sedang.

Tabel 2. Nilai Shannon Diversity Index


Ekosistem Nilai Shannon Diversity Index
Hutan sekunder 1,82
Lahan pascabakar (1-2 tahun) 1,41
Belukar muda (2-3 tahun) 1,66
Belukar tua (5-20 tahun) 1,95

Nilai keragaman lahan pascabakar berarti bahwa laju dekomposisi pada belukar
berkisar 1.41 yang berarti keragaman fauna tua dan hutan sekunder sedang. Hal ini sesuai
tanah pada ekosistem tersebut rendah dengan penelitian Sugiyarto & Setyaningsih
sedangkan pada nilai keragaman ekosistem (2007) yang menyatakan bahwa laju
belukar tua dan hutan sekunder memiliki nilai dekomposisi berkorelasi positif dengan
keragaman sedang yaitu 1,95 dan 1,82 yang indeks diversitas fauna tanah.

366
Agro Bali : Agricultural Journal e-ISSN 2655-853X
Vol. 4 No. 3: 362-369, November 2021 DOI: 10.37637/ab.v4i3.745

Gambar 1. Jumlah individu pada ekosistem pascabakar

Wibowo & Rizqiyah (2014) menyatakan belukar muda, belukar tua dan hutan sekunder
bahwa kelimpahan fauna tanah pada tegakan memiliki pH berkisar 4,97 ; 5.07 dengan
yang rapat lebih tinggi daripada tegakan kecenderungan masam. Kandungan C-
jarang. Hal ini menunjukkan tutupan tajuk Organik paling tinggi pada ekosistem belukar
yang lebih rapat, menyebabkan sinar matahari tua dan hutan sekunder berturut-turut 4,72 ;
yang masuk ke dalam tegakan sedikit dan 3,67 % sedangkan terendah pada ekosistem
menjadikan tanah lebih lembab sehingga lahan pascabakar 1 tahun 1,38%. Kandungan
proses dekomposisi serasah lebih lambat dan C-Organik yang tinggi berpengaruh terhadap
kelimpahan fauna tanah juga akan meningkat. kelimpahan fauna tanah hal ini disebabkan
Nilai keanekaragaman dapat mendefinisikan karena C-Organik berbanding lurus dengan
kemampuan fauna tanah dalam menghadapi kandungan bahan organik sesuai dengan
gangguan terhadap aktivitas organisme pernyataan Setyorini (2005), bahwa
maupun perubahan lingkungan pada suatu penambahan bahan organik ke dalam tanah
ekosistem (Haneda & Sirait, 2012). akan meningkatkan kadar C organik tanah.
Bahan organik tanah merupakan sumber
Kondisi Lingkungan makanan yang dibutuhkan oleh fauna tanah.
Kelimpahan fauna tanah di ekosistem Dimana terdapat bahan organik yang tinggi
hutan dipengaruhi oleh berbagai jenis maka fauna tanah juga akan melimpah.
gangguan salah satunya adalah pengaruh Kandungan N total pada lahan pascabakar
pembakaran, yang dapat memengaruhi memiliki kriteria sangat rendah yaitu < 0,1%
kondisi lingkungan, biomassa dan fungsi sedangkan belukar muda, hutan sekunder, dan
ekosistem (Peterson et al., 1998). Aktivitas belukar tua memiliki kriteria rendah yaitu
deforestasi yang berupa penebangan, kisaran 0,1% - 0,22 %. Stevenson (1986)
pembakaran, atau perladangan dapat menyatakan agar terjadi mineralisasi,
mengubah komposisi fauna tanah, kandungan N suatu bahan organik harus lebih
kelimpahan fauna tanah, proporsi dan sebaran dari nilai kritis 1,5% sampai 2,5 %, dibawah
fauna tanah yang selanjutnya berpengaruh nilai kritis tersebut akan terjadi imobilisasi.
pada dinamika evolusi CO2 (Bengtsson et al., Menurut Suntoro (2002), nilai kritis untuk
2000). Parameter tanah yang dianalisis dalam rasio C/N agar dapat segera terdekomposisi
penelitian ini adalah pH tanah, C-Organik, N adalah kurang dari 20%. Praktek pembakaran
Total,C/N dan kadar air. (Tabel 3). Dari hasil dengan tujuan pembukaan lahan yang akan
penelitian ekosistem pascabakar 1 tahun, digunakan untuk perladangan akan
mengakibatkan punahnya fauna tanah

367
Agro Bali : Agricultural Journal e-ISSN 2655-853X
Vol. 4 No. 3: 362-369, November 2021 DOI: 10.37637/ab.v4i3.745

sehingga akan mengakibatkan proses cepat apabila berada pada kondisi iklim yang
humifikasi dan dekomposisi menjadi terhenti. panas dan sebaliknya laju dekomposisi akan
Kandungan N atau nisbah C/N dinyatakan lambat apabila berada pada kondisi dingin.
sebagai faktor kimia penting yang C/N pada semua tipe penggunaan lahan
menentukan kecepatan dekomposisi dan memiliki kriteria tinggi yaitu 16-25 hingga
mineralisasi N bahan organik atau sisa sangat tinggi yaitu >25. Kriteria sifat kimia
tanaman. Laju dekomposisi dipengaruhi salah tanah merujuk pada Balai Penelitian Tanah
satunya oleh suhu tanah, laju dekomposisi tahun 2006.

Tabel 3. Karakteristik kondisi lingkungan ekosistem pascabakar


Ekosistem pH C-Organik (%) N Total (%) C/N (%) Kadar Air

Hutan Sekunder 5,07 3,67 0,10 35,56 16,60


Lahan Paska Bakar 5,04 1,38 0,07 20,02 3,80
Belukar muda 5,04 3,03 0,10 30,29 12,80
Belukar tua 4,97 4,72 0,22 21,32 18,96

SIMPULAN disturbance, ecosystem function and


Kelimpahan populasi fauna tanah management of European forests. For.
tertinggi terdapat pada ekosistem Hutan Ecol. Manag., 132, 39–50.
sekunder dan belukar tua (1.350 dan 1.130 Borror, D. J., Triplehort, C. A., & Johnson, N.
individu/m2), sedangkan kelimpahan F. (1996). Pengenalan Pelajaran
terendah terdapat di ekosistem lahan pasca Serangga. Edisi ke-6. Terjemahan
terbakar (461 individu/m2). Nilai keragaman Soetiyono Partosoedjono. Gadjah Mada
fauna tanah tertinggi terdapat pada hutan University Press.
sekunder dan belukar tua (1,82 dan 1,95) Broza, M., & Izhaki, I. (1997). Post-Fire
dengan indeks keragaman sedang. Arthropod Assemblages in
Mediterranean Forest Soils in Israel.
DAFTAR PUSTAKA International Journal of Wildland Fire,
7(4), 317.
Anderson, J. M. (1994). Functional Attributes https://doi.org/10.1071/WF9970317
of Biodiversity in Land Use System. In: Coleman, T. W., & Rieske, L. K. (2006).
D.J. Greenland and I. Szabolcs (eds). Arthropod response to prescription
Soil Resilience and Sustainable Land burning at the soil–litter interface in
Use. CAB International. oak–pine forests. Forest Ecology and
Azwar, W. (2014). Rencana Pengelolaan Management, 233(1), 52–60.
Jangka Panjang 2015 - 2024 Kesatuan https://doi.org/10.1016/j.foreco.2006.06
Pengelolaan Hutan Produksi Model .001
Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Fuller, M. (1991). Forest Fire. John Wiley
Kalimantan Barat. and Sons Inc. Canada.
1496042136RPHJP_KPH_Kapuas_Hul Gongalsky, K. B., & Persson, T. (2013).
u.pdf (menlhk.go.id) Recovery of soil macrofauna after
Balitbangtan. (2007). Metode Analisis Biologi wildfires in boreal forests. Soil Biol.
Tanah. Balai Besar Penelitian dan Biochem, 57, 182–191.
Pengembangan Sumberdaya Lahan Hakim, N., Yusuf, N. M., Lubis, A. M.,
Pertanian. Sutopo, G. N., Amin, M. D., Go, B. H.,
Bengtsson, J., Nilsson, S. G., Franc, A., & & Bailey, H. (1988). Dasar-Dasar Ilmu
Menozzi, P. (2000). Biodiversity,

368
Agro Bali : Agricultural Journal e-ISSN 2655-853X
Vol. 4 No. 3: 362-369, November 2021 DOI: 10.37637/ab.v4i3.745

Tanah. Universitas Lampung. biodiversity, and scale. Ecosystems, 1,


Hamdani, M. (2015). Pola Sebaran 6–18.
Collembola Permukaan Tanah Pada Samudra, F. B., Munifatul, I., & Hartuti, P.
Empat tipe Ekosistem Yang Berbeda (2013). Kelimpahan dan
[skripsi]. Institut Pertanian Bogor. keanekaragaman arthropoda tanah di
Hanafiah, K. A. (2005). Dasar-dasar Ilmu lahan sayuran organik. Urban Farming.
Tanah. Raja Grafindo Persada. Setyorini, D. (2005). Pupuk organik
Handayanto, E., & Hairiah, K. (2007). Biologi tingkatkan produksi tanaman. Warta
Tanah: Landasan Pengelolaan Tanah Penelitian Dan Pengembangan
Sehat. Pustaka Adipura. Pertanian, 27, 13–15.
Haneda, N. F., & Sirait, B. A. (2012). Stevenson, F. J. (1986). Cycles of soil carbon.
Keanekaragaman fauna tanah dan Nitrogen, Phosphorus, Sulphur,
peranannya terhadap laju dekomposisi Micronutrients. In: Handayanto E,
serasah kelapa sawit (Elaeis guineensis Hairiah K. 2009, Biologi Tanah. Pustaka
Jacq). Jurnal Silvikultur Tropika, 3(3), Adipura.
161–167. Sugiyarto, & Setyaningsih, M. P. (2007).
Magurran, A. E. (2004). Measuring Hubungan antara dekomposisi dan
Biological Diversity. Blackwill pelepasan nitrogen sisa tanaman dengan
Publishing. diversitas makrofauna tanah. Buana
Malmström, A., Persson, T., Ahlström, K., Sains, 7(1), 43–50.
Gongalsky, K. B., & Bengtsson, J. Suwondo. (2002). Komposisi dan
(2009). Dynamics of soil meso- and keanekaragaman mikroarthropoda pada
macrofauna during a 5-year period after tanah sebagai indikator karakteristik
clear-cut burning in a boreal forest. Appl. biologi pada tanah gambut. Jurnal Natur
Soil Ecol., 43, 61–74. Indonesia, 4(2), 112–186.
Marpaung, D. R. (2016). Dampak Kebakaran Wallwork, J. A. (1970). Ecology of Soil
Hutan Dan Lahan Terhadap Animals. McGraw-Hill.
Keanekaragaman Fauna Tanah Di Wibowo, C., & Rizqiyah, W. (2014).
Beberapa Ekosistem Provinsi Jambi. Diversity of Soil Macrofauna on Various
[Skripsi]. Fakultas Kehutanan, Institut Stand Types in Gunung Walat
Pertanian Bogor. University Forest, Sukabumi, West Java.
Meyer, E. (1996). Endogenic Macrofauna, In Journal of Silvicultural Tropic, 5(1), 43–
Schimer FRO, Kandeler & R Margesin 48.
(EDS). Methods in Soil Biology. Wild, A. (1993). Soils and The Environment:
Springer–Verlag. An Introduction. Cambridge University
Peterson, G., Allen, C. R., & Holling, C. S. Press.
(1998). Ecological resilience,

369

You might also like