You are on page 1of 18

ANALISIS KONSEPTUAL MENGENAI STRUKTURAL PEMIKIRAN

PENDIDIKAN ISLAM AL-ZARNUJI DAN IBNU THUFAIL

MUHAMMAD REZA ILHAM AL ASRORY 22001011228

Universitas Islam Malang, Indonesia

MUHAMMAD ALLIF HAEQAL 22001011208

Universitas Islam Malang, Indonesia

ABI KHAIRUDIN 22001011136

Universitas Islam Malang, Indonesia

MOCH MIQDAR ZULFIKAR 22001011122

Universitas Islam Malang, Indonesia

Corresponding Author Email: dwi.fitri@unisma.ac.id

Abstract. This theme aims to explain the conceptual analysis of thought in the context
of Islamic education, more specifically the thought of Al-Zarnuji and Ibn Thufail. This study
will examine how theory relates to various factors that have been defined as important
problems in Islamic education. However, this explanation is based on the structure of
thought. The structure of thinking is the way individuals manage and organize information
obtained from the environment. The cognitive structure of a more mature person is different
from when he was a child, even an older person has a more complete cognitive structure
than when he was a child Advantages of the library research method: 1).Wider access:
Researchers can obtain richer information about the topic under study from various sources
of literature and written information, such as libraries, online data, scientific journals, books,
reports and other written sources. 2).Strong knowledge base: Through reading, exploring,
and analyzing multiple sources of information, this method encourages researchers to
develop critical thinking, identify strong arguments, evaluate the reliability and credibility
of sources, and conduct in-depth analysis. Disadvantages of the library research
method:1).Requires longer time: The process of collecting and analyzing data from various
literature sources requires more time. 2).Limitations of external validity: Limitations in
generalizing research results to a wider population due to the focus on literature analysis.
3).Limitations of direct interaction and observation: The absence of direct interaction with
research subjects and limitations in conducting direct observations can affect the validity of
research results

Keywords. Conceptual, Al-Zarmuji,Ibn Thufail, Islamic education

3
1. PENDAHULUAN

Pendidikan Islam adalah penataan individual dan sosial yang dapat menyebabkan
seseorang tunduk dan taat pada ajaran agama Islam dan menerapkannya secara sempurna
di dalam kehidupan individu dan masyarakat. Pendidikan adalah proses pengubahan sikap
dan tingkah laku seseorang atausekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia
melalui pengajaran dan pelatihan.

Pendidikan Islam menurut pandangan Al-Zarnuji dapat dipetakan menurut komponen


pendidikan, yaitu berdasarkan tujuan pendidikan, guru sebagai pendidik, murid sebagai
terdidik, serta media dan metode pendidikan. Tujuan pendidikan dalam hal ini yaitu harus
berniat untuk mencari ridha Allah. Dalam memilih guru hendaknya memilih seorang guru
yang lebih alim, lebih wara’, dan lebih tua. Seorang yang menuntut ilmu harus memiliki
kepribadian yang baik. Al-Zarnuji memberikan metode menghafal, metode mancatat,
diskusi dan memahami. Menurut al-Zarnuji, untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat
membutuhkan jalan dan sarana yang tepat, yakni dengan mengagungkan ilmu, dan yang
termasuk dalam mengagungkan ilmu adalah menghormati guru dan keluarganya.

Kitab Ta’lim al-Muta’allim karya al-Zarnuji relatif bagus untuk diterapkan dalam
dunia pendidikan saat ini. Pada tingkat awal pendidikan perlu ditanamkan untuk
pembinaan sikap dalam mentaati hukum yang pada dasarnya adalah masalah mengajarkan
ketaatan terhadap norma, bersungguh-sungguh dalam belajar, tawakkal, menjaga diri dari
perkara-perkara yang syubhat, memilih teman yang baik, dan masih banyak lagi hal-hal
yang masih relevan untuk diterapkan dalam dunia pendidikan pada saat ini dan bahkan di
masa yang akan datang.

Pendidikan Islam khususnya merupakan buah pikiran dari para ilmuwan Islam, baik
Barat maupun Timur. Tapi pada abad pertengahan Islam di Barat (Spanyol) lebih menjadi
perhatian dunia ketika mampu mentransfer khazanah-khazanah Islam di Timur dan
bahkan mengembangkannya. Filsuf-filsuf yang kerya-karya besarnya banyak dikaji
dunia, lahir di kota ini. Salah satunya Ibn Thufail, seorang pemikir sekaligus filsuf Islam
berkebangsaan Andalusia (spanyol). Ibn Thufail telah menyihir para cendikiawan dunia
dengan karya monumentalnya, Hayy Ibn Yaqdzan, salah satu karya yang tersisa dalam
sejarah pemikirannya. Risalah atau novel alegoris yang bertajuk filosofis-mistis, menyita
banyak perhatian dan namanya sangat populer baik di kalangan para pemikir muslim
maupun nonmuslim.

2. METODE

Metode yang digunakan dalam membuat artikel ilmiah ini dengan menggunakan
riset studi pustaka (library research) atau juga disebut kajian literatur. Pembahasan ini

3
menggunakan sumber kepustakaan mengenai apa yang dibahas. Dapat dikatakan sebagai
susunan kegiatan yang terkait langsung dengan metode pengumpulan data pustaka dengan
mengacu pada sumber- sumber, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian
(Mestika Zed, 2003).

Metode library research atau studi kepustakaan adalah salah satu teknik
pengumpulan data dalam penelitian yang dilakukan dengan cara membaca dan mengolah
bahan koleksi perpustakaan tanpa memerlukan riset lapangan. Metode ini dilakukan secara
sistematis untuk mengumpulkan, mengolah, dan menyimpulkan data dengan menggunakan
metode/teknik tertentu guna mencari jawaban atas permasalahan yang dihadapi dalam
penelitian kepustakaan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam metode ini adalah
studi kepustakaan atau penelitian yang dilakukan dengan cara membaca dan mengolah
bahan-bahan tertulis yang ada di perpustakaan. Metode ini sering digunakan dalam
penelitian di bidang pendidikan, ilmu sosial, dan humaniora.

Pengumpulan data-data dengan menggunakan metode ini adalah mengumpulkan


poin- poin yang akan diteliti kemudian mencari sumber daftar pustaka. Studi kepustakaan
memiliki arti pengumpulan data melalui teknik mengkaji, memahami lebih dalam suatu data
yang berkaitan dengan pembahasan. Setelah mendapatkan sumber informasi, penulis
mereview menyusun bahan pustakanya sesuai dengan apa yang sedang diteliti. Kemudian
nantinya diperoleh hasil kesimpulan dari suatu pembahasan yang sudah dianalisis datanya.

Kelebihan metode library research:

1. Akses yang lebih luas: Peneliti dapat memperoleh informasi yang lebih kaya
tentang topik yang diteliti dari berbagai sumber literatur dan informasi tertulis, seperti
perpustakaan, data online, jurnal ilmiah, buku, laporan, dan sumber tulisan lainnya

2. Dasar pengetahuan yang kuat: Melalui membaca, menggali, dan menganalisis


berbagai sumber informasi, metode ini mendorong peneliti untuk mengembangkan
pemikiran kritis, mengidentifikasi argumen yang kuat, mengevaluasi keandalan dan
kredibilitas sumber, serta melakukan analisis yang mendalam.

Kekurangan metode library research:

1. Membutuhkan waktu yang lebih lama: Proses pengumpulan dan analisis data dari
berbagai sumber literatur memerlukan waktu yang lebih lama.

2. Keterbatasan validitas eksternal: Keterbatasan dalam menggeneralisasi hasil


penelitian ke populasi yang lebih luas karena fokus pada analisis literatur.

3
3. Keterbatasan interaksi dan observasi langsung: Tidak adanya interaksi langsung
dengan subjek penelitian dan keterbatasan dalam melakukan observasi langsung dapat
mempengaruhi validitas hasil penelitian.

3. PEMBAHASAN

A. Pemikiran Pendidikan Islam menurut al-Zarnuji

1.Pendidikan Islam menurut al-Zarnuji dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim


Al-Zarnuji mengedepankan pendidikan tentang etika dalam proses
pendidikan. Hal itu ditekankan bagi peserta didik untuk dirinya bisa memperoleh
ilmu pengetahuan yang bernilai guna bagi masyarakat dan bangsanya, serta etika
terhadap pendidik dan peserta didik yang lain. Titik sentral pendidikannya adalah
pembentukan budi pekerti yang luhur yang bersumbu pada titik sentral Ketuhanan
(religiusitas). Beliau memberikan pendidikan yang penekanannya pada mengolah
hati sebagai asas sentral bagi pendidikan.
Secara umum kitab Ta‟lim al-Muta‟allim membicarakan tentang konsep
pendidikan Islam yang mencakup: tujuan pendidikan, pendidik, pelajar, alat
pendidikan, lingkungan pendidikan, serta metode belajar yang berorientasi pada etika
Islam. Konsep etika dalam pendidikan Islam tersebut di tuangkan dalam kitab
karanganya yaitu ta’lim al-muta’allim yang memuat 13 pasal:
a) Keutamaan Ilmu dan Fiqh
Belajar merupakan kewajiban bagi setiap muslim baik laki-lakimaupun perempuan.
Akan tetapi menurut al-Zarnuji manusia tidakdiwajibkan untuk mempelajari segala
macam ilmu, tetapi hanya diwajibkan untuk mempelajari ilmu yang berhubungan
dengan keperluan manusia dalam kehidupan sehari-hari misalnya: kufur, iman,
shalat, zakat dan lain-lain.
Menurut al-Zarnuji seorang muslim harus bisa menjaga dan menghiasi dirinya
dengan akhlak yang mulia. Menurut beliau mempelajari ilmu yang kegunaanya
hanya dalam waktu-waktu tertentu, hukumnya adalah fardlu kifayah, sedangkan
mempelajari ilmu yang tidak ada manfaatnya atau bahkan membahayakan
hukumnya adalah haram.
Menurut al-Zarnuji ilmu adalah sifat yang apabila dimilikiseseorang, maka menjadi
jelaslah apa yang menjadi pengertianya. Adapun fiqh adalah pengetahuan tentang
kelembutan-kelembutan ilmu. Imam Abu Hanifah mengatakan bahwasanya fiqh
adalahpengetahuan tentang hal-hal yang berguna dan yang berbahaya bagidiri
seseoarang.
Menurut al-Zarnuji kemulyaan ilmu sudah jelas bagi setiap orang. Karena ilmu
merupakan pemberian Tuhan yang khusus diberikan kepada manusia. Sedangkan
semua sifat selain ilmu diberikan kepada manusia dan juga hewan, misalnya sifat
berani, penakut, kuat, dermawan, belas kasihan dan lain-lainya. Dengan ilmu, Allah
memberikemulyaan kepada Nabi Adam as mengungguli para malaikat,sehingga
Allah memerintahkan semua malaikat bersujud kepada Nabi Adam as.

3
Sesungguhnya ilmu menjadi mulia karena sebagai sarana untuk menuju taqwa
kepada Allah. Dengan taqwa, Nabi Adam mendapat hak untuk memperoleh
kemuliaan dan kebahagiaan di sisi Allah.
b) Niat Ketika Akan Belajar
Al-Zarnuji menganjurkan bagi penuntut ilmu sebaiknya berniat dalam menuntut
ilmu semata-mata untuk mencari keridhaan Allah SWT, memperoleh pahala di
akhirat, menghilangkan kebodohan pada dirinya dan orang lain, menghidupkan
agama dan menegakkan agama Islam, serta mensyukuri nikmat akal dan badan yang
sehat. Jangan sampai menuntut ilmu untuk mencari kenikmatan dunia atau
kehormatan di hadapan orang lain.
Disamping itu, al-Zarnuji juga mengingatkan agar penuntut ilmu tidak terpalingkan
dengan masalah dunia yang remeh, kecil dan merusak. Penuntut ilmu jangan sampai
merendahkan diri dengan mengharapkan sesuatu yang yang bukan semestinya, serta
mencegah diri dari hal-hal yang dapat merendahkan ilmu. Ia harus selalu tawadlu’
(rendah diri).
c) Memilih Ilmu, Guru dan Teman
Al-Zarnuji menganjurkan bagi penuntut ilmu hendaknya memilih ilmu yang terbaik
dan ilmu yang dibutuhkan dalam kehidupan agamanya baik saat ini dan waktu yang
akan datang. Ia perlu mendahulukan ilmu tauhid, sehingga dapat memahami tentang
Allah dengan dalil yang jelas, bukan hanya sekedar taklid. Meskipun iman orang
yang taklid itu sah, tetapi ia masih terkena dosa karena tanpa mengetahui dalil.
Al-Zarnuji juga menganjurkan bagi penuntut ilmu untuk selalu sabar dan tabah
dalam belajar kepada pendidik yang telah dipilihnya serta sabar dalam menghadapi
berbagai cobaan. Sayyidina Alikarromallahu wajhah mengatakan: “engkau tidak
akan memperolehilmu kecuali dengan memenuhi enam perkara, yaitu cerdas, rajin,
sabar, mempunyai biaya, petunjuk dari guru dan waktu yang lama”.
d) Menghormati Ilmu dan Orang yang Berilmu
Menurut al-Zarnuji, orang yang menuntut ilmu harus menghormati ilmu, orang
yang berilmu dan memuliakan guru. Sebab apabila melukai gurunya maka berkah
ilmunya bisa tertutup dan sedikit kemanfaatanya.
Menurut al-Zarnuji cara menghormati guru diantaranya adalah tidak berjalan di
depanya, tidak menempati tempat duduknya, tidak mengajak berbicara kecuali atas
izin darinya, tidak berbicara macam- macam di depanya, tidak menanyakan sesuatu
masalah pada waktu guru sedang lelah, memelihara waktu yang telah ditentukan
untuk belajar, tidak mengetuk pintu rumahnya, menghormati putra dan orang yang
memiliki hubungan kerabat denganya dan tidak duduk terlalu dekat denganya
sewaktu belajar kecuali karena terpaksa. Pada prinsipnya, penuntut ilmu harus
melakukan hal-hal yang membuat guru rela, menjauhkan amarahnya dan menaati
perintahnya yang tidak bertentangan dengan agama Allah swt.
e) Sungguh-sungguh, Istiqamah dan Minat yang kuat

4
Orang yang menuntut ilmu harus bersungguh-sungguh di dalam belajar dan mampu
mengulangi pelajaranya sesaca istiqamah pada awal waktu malam dan akhir
malam, yakni waktu antara maghrib dan isya’ dan setelah waktu sahur, sebab
waktu-waktu tersebut merupakan waktu yang berkah. Menurut al-Zarnuji, belajar
itu membutuhkan ketekunan tiga orang yaitu, orang yang belajar, guru dan orang
tua.
Al-Zarnuji juga menyarankan kepada orang yang menuntut ilmu agar jangan sampai
membuat dirinya terlalu kepayahan, sehingga lemah dan tidak mampu berbuat
sesuatu. Kesungguhan dan minat yangkuat adalah pangkal dari kesuksesan. Oleh
karena itu, barang siapa mempunyai minat yang kuat, untuk menghafal sebuah kitab
misalnya, maka tentu ia akan mapu menghafalnya separuh, sebagian besar, atau
bahkan seluruhnya.
f) Permulaan Belajar, Kadar belajar dan Urutan Ilmu yang harus dipelajari
Al-Zarnuji menganjurkan kepada orang yang menuntut ilmu untuk memulai pada
hari rabu. Karena pada hari itu Allah menciptakan nur (cahaya) dan juga hari nas,
yaitu hari yang tidak membawa berkah bagiorang kafir, akan tetapi hari yang berkah
bagi orang mukmin. Syekh Burhan Ad-Din, Imam Abu Hanifah dan Syekh Abu
Yusuf Al- Hamdani juga memulai perbuatan baiknya, termasuk belajar pada hari
rabu.
Al-Zarnuji juga menyarankan kepada orang yang menuntu ilmu agar bersungguh-
sungguh dan memikirkan apa yang diterimanya dari guru serta mengulanginya.
Apabila ia meremehkan satu kali, dua kali hingga menjadi kebiasaan, maka ia tidak
akan bisa memahami sesuatu sekalipun mudah. Orang yang menuntut ilmu
hendaknya juga selalu berdo’a kepada Allah dengan sungguh-sungguh, karena
Allah selalu mengabulkan do’a hamba Nya.
Al-Zarnuji juga menganjurkan kepada orang yang menuntut ilmu agar senang untuk
membeli kitab. Sebab hal itu bisa memudahkan ia dalam belajar. Oleh karena itu,
hendaknya orang yang menuntut ilmu berusaha sebisa mungkin untuk menyisihkan
uang sakunya untuk membeli kitab. Menurut al-Zarnuji orang yang menunut
ilmu pada zaman dahulu belajar bekerja terlebih dahulu baru kemudian belajar,
sehingga tidak tamak kepada harta orang lain. Karena orang yangmencukupi diri
dengan harta orang lain, maka ia termasuk orang yang fakir

g) Tawakkal
Bagi orang menuntut ilmu harus selalu bertawakkal kepada Allah dan jangan
sampai terganggu dengan urusan rizki. Karena orang yang hatinya terpengaruh oleh
urusan rizki, baik makanan maupun pakaian, maka akan sulit untuk mencapai
kemuliaan. Imam Abu Hanifah menceritakan sahabat Rosulullah saw yang bernama
Abdillah bin Hasan Al-Zubaidi: “Barang siapa yang mengerti tentang hukum-
hukum syarak agama Islam, maka Allah swt akan mencukupi segala maksud serta
memberi rizki dengan tanpa terkira. Karena barang siapa yang terlalu sibuk
memikirkan tentang rizki, misalnya makanan atau pakaianya, maka jelas dia

5
mempunyai waktu yang sedikit untuk memperoleh hasil budi pekerti yang luhut
serta perkara yang mulia.”
h) Waktu terbatas untuk belajar
Masa untuk belajar ilmu itu tidak terbatas. Yaitu semenjak dari buaian sampai
masuk liang lahat. Adapun masa yang cemerlang untuk belajar adalah awal masa
muda. Belajar dilakukan pada wakut sahur dan waktu antara magrib dan isya’. Akan
tetapi, sebaiknya orang yang menunutut ilmu memanfaatkan seluruh waktunya
untuk belajar. Bila merasa bosan mempelajari suatu ilmu hendaknya mempelajari
ilmu yang lain. Muhammad Ibnu Al-Hasan tidak tidur semalaman untuk
mempelajari buku-bukunya. Apabila ia merasa jenuh mempelajari suatu ilmu,
maka ia berpindah untuk mempelajari ilmu yang lain. Ia juga menyediakan air untuk
menghilangkan ngantuknya, sebab ia berpedapat bahwa kantuk itu berasal dari
panas, maka untuk menghilangkanya harus dengan air yang dingin.
i) Kasih sayang dan nasihat
Al-Zarnuji juga menganjurkan kepada orang yang menuntut ilmu agar selalu
berusaha menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia. Dengan demikian orang
yang membenci akan luluh sendiri hatinya. Jangan sampai berperasangka buruk dan
melibatkan diri dalam permusuhan, sebab hal itu hanya menghabiskan waktu serta
membuka kejelekan diri sendiri. Seorag penyair berkata: “Jika engkau
menginginkan musuhmu mati terhina dan terbakar derita, maka capailah kemuliaan,
tambahlah ilmu, sebab orang dengki akanbertambah kesusahanya apabila melihat
orang yang didengki bertambah ilmunya. Oleh karena itu, orang yang menuntut
ilmu harus selalu berbuat baik kepada diri sendiri dan jangan sampai sibuk
memikirkan usaha untuk mengalahkan musuh.

j) Dapat mengambil pelajaran


Menurut al-Zarnuji, orang yang menuntut ilmu harus memanfaatkan semua
waktuknya untuk belajar, agar memperoleh ilmu dengan sempurna. Caranya
dengan menyediakan alat tulis di setiapsaat untuk mencatat hal-hal ilmiah yang
diperolehnya. Zain Al-Islam pernah menyampaikan bahwa suatu ketika Hilal Ibnu
Yasar berkata: “Aku melihat Nabi saw mengemukakan sepatah ilmu dan hikmah
kepada para sahabat, lalu aku mengajukan usulan, “Ya Nabi, ulangilah untukku apa
yang telah engkau sampaikan kepada mereka”. Maka beliau bertanya kepadaku,
“Apakah kau membawa alat tulis?”. Aku menjawab: “Tidak”. Maka beliau
bersabda: “Wahai Hilal, janganlah engkau pisah dari alat tulis, karena sampai hari
kiamat kebagusan itu selalu disana dan pada orang yang membawanya”.

k) Wara’

Al-Zarnuji menganjurkan kepada orang menuntut ilmu untuk menjaga dirinya dari
perkara haram (wara’), sebab dengan begitu ilmu yang diperolehnya akan lebih
bermanfaat, lebih besar faidahnya dan belajarpun menjadi lebih mudah. Adapun
yang termasuk wara’ antara lain adalah menjaga diri dari terlalu kenyang, terlalu
banyak tidur dan terlalu banyak membicarakan hal-hal yang tidak bermanfaat.

6
Selain itu, bila memungkinkan juga menghindari makanan masak yang di jual di
pasar yang diperkirakan lebih mudah terkena najis dan kotoran, jauh dari berzikir
kepada Allah dan diketahui orang-orang fakir. Sementara mereka tidak mampu
membelinya dan akhirnya bersedih, sehinggaberkahpun menjadi hilang karena hal
tersebut.

l) Penyebab hafal dan lupa


Sebab-sebab yang dapat membuat orang menjadi hafal adalah bersungguh-sungguh,
rajin, kontinyu, mengurangi makan, melakukan sholat malam, membaca al-Quran,
banyak membaca sholawat kepada Nabi dan berdo’a ketika mengambil buku serta
ketika selesai menulis. Selain itu, bersiwak, minum madu, memakan kandar (sejenis
susu), memakan anggur merah duapuluh satu setiap hari, juga dapatmenyebabkan
mudah hafal di samping bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit.
Adapun penyebab mudah lupa antara lain adalah perbuatan maksiat, banyak dosa,
gelisah karena terlalu memikirkan urusan duniawi, karena terlalu memikirkan
urusan duniawi akan membahayakan dan tidak ada manfaatnya, juga dapat
menyebabkan hati menjadi gelap. Selain itu, makan ketumbar, buah apel masam,
melihat salib, membaca tulisan yang terdapat pada batu nisan, berjalan disela-sela
unta yang terkait, membuang kutu yang masih hidup ke tanah dan membelenggu
pada palung tengku kepala, semua itu juga dapat menyebabkan mudah lupa.
m) Penyebab Bertambah dan Berkurangnya Rizki
Al-zarnuji juga menganjurkan kepada orang yang menuntut ilmu agar mengetahui
hal-hal yang dapat menambah rizki, umur dan lebih sehat. Sehingga dapat
mencurahkan segala kemampuanya untuk mencapai apa yang telah dicita-citakan.
Bangun pagi itu diberkahi dan membawa berbagai macam kenikmatan,khususnya
rizki. Menulis dengan tulisan yang baik, wajah berseri-seri, bertutur kata yang
manis dan banyak bersedekah juga dapat menambahrizki.

Adapun penyebab yang paling kuat untuk memperoleh rizki adalah mengerjakan
sholat dengan ta’dzim, khusyu’, sempurna rukun, wajib dan kesunahanya.
Demikian pula dengan melakukan sholat dluha, membaca surat al-Waqiah
(khususnya di malam hari), al-Mulk, al- Muzammil, al-Lail, dan al-Insyirah. Selain
itu juga datang ke masjid sebelum adzan, melakukan shalat fajr, shalat witir di
rumah dan berbagai macam do’a untuk dikaruniai rizki.

Sehingga dari penjelasan diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa pada proses
pendidikan yang di tuangkan oleh Al-Zunuri dalam konteks pendidikan lebih mengacu
kepada bagaimana sebuah proses dari pendidikan yang baik yang sesuai dengan nilai-
nilai islam, yang juga mempunyai keterkaitan dengan kitab Ta'lim al-muta'alim yang
menyebutkan dalam sebuah pendidikan harus memperhatikan pada aspek ketuhanan
dan etika Islam seperti halnya, keutamaan ilmu fiqih, niat ketika belajar, memilih ilmu
guru dan teman, menghormati ilmu dan orang-orang yang berilmu, sungguh" istiqomah
dan minat yang kuat, permulaan belajar kadar belajar dan urutan yang harus dipelajari,
tawakal, waktu terbatas untuk belajar, kasih sayang dan nasehat, dapat mengambil
pelajaran, wara', penyebab hafal dan lupa, dan penyebab bertambah dan berkurangnya
rizki.

7
Jadi dengan guru memahami aspek2 tersebut, diharapkan nantinya guru dapat
memberikan sebuah proses pembelajaran yang baik, dan bukan hanya sebatas
mentransfer ilmu saja akan tetapi juga memperhatikan keberkahan dan poin-poin dalam
proses pendidikan tersebut, maka anak nantinya akan tumbuh dalam kebaikan dan
mempunyai akhlak yang mulia nantinya diterapkan dalam kehiduapan sehari-hari
peserta didik. Sejalan dengan pemikiran Al-Abrasy untuk menyiapkan pembelajar dari
segi professional, teknis, dan perusahaan supaya ia dapat mencari rizki dalam hidup
dengan mulia disamping memelihara segi spiritual dan keagamaan. Guna untuk
mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat. Dan menjadi sosok insan khamil. Itulah
yang menjadi tujuan (goals) dari pendidikan yang di utarakan oleh Al-Zunuri dan Al-
Abrasy.

B. Tujuan Pendidikan Islam Menurut Al-Zuruji


⬧ Menurut al-Jamaly, tujuan pendidikan Islam antara lain:

1. Agar seorang mengenal statusnya diantara makhluk dan tanggung jawab masing
masing individu di dalam hidup mereka di dunia.
2. Agar mengenal interaksinya di dalam hidup masyarakat dan tanggung jawab
mereka ditengah-tengah sistem kemasyarakatan.
3. Supaya manusia mengenal alam semesta dan membimbingnya untuk mencapai
hikmat Allah SWT, di dalam menciptakan alam semesta dan memungkin
manusia menggunakannya.
4. Supaya manusia mengenal akan Tuhan Pencipta alam ini dan mendorongnya
untuk beribadah kepadanya.
⬧ Menurut al-Abrasy, bahwa tujuan umum yang asasi bagi pendidikan Islam yaitu:

1. Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia


2. Untuk persiapan kehidupan dunia dan akhirat
3. Untuk persiapan rizki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan
4. Untuk menumbuhkan jiwa ilmiah dan memuaskan keinginan diri untuk
mengetahui dan memungkinkan ia mengkaji ilmu sekedar sebagai ilmu.
5. Untuk menyiapkan pembelajar dari segi professional, teknis, dan perusahaan
supaya ia dapat mencari rizki dalam hidup dengan mulia disamping memelihara
segi spiritual dan keagamaan.

Sedangkan menurut al-Zarnuji tujuan belajar atau pendidikan Islam yaitu:


mengharap ridha Allah SWT, mencari kebahagiaan diakhirat, menghilangkan
kebodohan baik dari dirinya sendiri maupun dari oranglain, menghidupkan agama, dan
melestarikan Islam itu dapat lestari, kalau pemiliknya berilmu. Zuhud dan taqwa tidak
sah tanpa disertai ilmu. Syekh Burhanuddin al- Zarnuji menukil perkataan ulama
sebuah syair: “Orang alim yang durhaka bahayanya besar, tetapi orang bodoh yang
tekun beribadah justru lebih besar bahayanya dibandingkan orang alim tadi. Keduanya

8
adalah penyebab fitnah di kalangan umat, dan tidak layak dijadikan panutan.
Burhanuddin al-Zarnuji juga mengatakan: “Seseorang yang menuntut ilmu haruslah
didasari atas mensyukuri nikmat akal dan kesehatan badan. Dan dia tidak boleh
bertujuan supaya dihormati manusia dan tidak pula untuk mendapatkan harta dunia dan
mendapatkan kehormatan dihadapan manusia.”

Kalau dilihat dari tujuan-tujuan pembelajaran dan konsep al-Zarnuji, maka


menghilangkan kebodohan dari diri sendiri, mencerdaskan akal, mensyukuri atas
nikmat akal dan kesehatan badan, merupakan tujuan-tujuan yang bersifat individual.
Karena dengan tiga hal tersebut akan dapat mempengaruhi perubahan tingkah laku,
aktivitas dan akan dapat menikmati kehidupan dunia dan menuju akhirat. Tujuan
seseorang mencari ilmu untuk menghilangkan kebodohan dari anggota masyarakat
(mencerdaskan masyarakat), menghidupkan nilai-nilai agama Islam adalah merupakan
tujuan-tujuan sosial, karena tujuan tersebut berkaitan dengan kehidupan masyarakat
sebagai keseluruhan, dengan tingkah laku masyarakat pada umumnya.

C. Kurikulum Pendidikan Islam Menurut Al-Zuruji


Secara etimologis kurikulum adalah tempat berlari dengan kata yang berasal
dari bahasa latin curir yaitu pelari dan curere yang artinya tempat berlari. Selain itu,
juga berasal dari kata curriculae artinya jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari.
Maka, pada waktu itu pengertian kurikulum ialah jangka waktu pendidikan yang harus
ditempuh oleh siswa yang bertujuan untuk memperoleh ijazah.
Secara umum karakteristik kurikulum pendidikan Islam adalah mencerminkan
nilai-nilai Islami yang dihasilkan dari pemikiran kefilsafatan dan termanifestasi dalam
seluruh aktivitas dan kegiatan pendidikan dalam prakteknya. Dalam konteks ini perlu
dipahami bahwa karakteristik kurikulum pendidikan Islam senantiasa memiliki
keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan dengan prinsip-prinsip yang telah diletakkan
Allah SWT dan Rosulnya. Konsep inilah yang membedakan kurikulum pendidikan
Islam dengan kurikulum pendidikanpada umumnya.
Menurut al-Zarnuji orang yang menuntut ilmu hendaknya mendahulukan ilmu
tauhid sebelum mempelajari ilmu yang lain, agar dapat memahami tentang Allah SWT
dengan dalil yang jelas bukan hanya sekedar taklid. Selain itu, beliau juga menyarankan
untuk memilih ilmu yang bersumber dari Nabi saw (ilmu kuno). Disamping itu, al-
Zarnuji juga menyarankan agar orang yang menuntut ilmu tidak tergesa-gesa untuk
mempelajari ilmu yang lain sebelum ilmu yang dipelajari telah sempurna dikuasai.
Karena yang demikian akan menyia-nyiakan waktu dan usia.

9
4. Pemikiran Pendidikan Islam menurut Ibn Thufail

A. Fase Pertumbuhan Akal

Secara khusus Ibn Thufail bukan tokoh yang konsen dalam dunia pendidikan.
Akan tetapi, berbagai pemikirannya dapat ditemukan dalam Hayy ibn Yaqzan baik
secara eksplisit maupun implisit termasuk pemikirannya mengenai pendidikan.
Berbicara pendidikan, tidak lepas dari bahasan manusia sebagai subjek dan objek
pendidikan. Dari kisah Hayy bin Yaqzan diketahui fase pertumbuhan akal manusia
menurut Ibn Thufail.

Pertama, masa kanak-kanak, pada masa ini manusia hidup seperti hewan, hanya
mengandalkan belas kasihan dari induknya. Pada masa ini akal manusia belum
berfungsi dengan sempura. Manusia hanya memiliki insting dasar, seperti kebutuhan
untuk makan, minum, kasih sayang, rasa aman, dan sebagainya. Fase ini ditunjukkan
sejak Hayy ditemukan oleh rusa sampai usia dua tahun.

Kedua, masa mumayyiz, seiring dengan berjalannya waktu dan bertambahnya


pengalaman belajar, akal mulai tumbuh. Berdasarkan kitab Hayy ibn Yaqzan, manusia
dapat menjadikan alam sekitar sebagai objek tumpuan akal dan sumber belajar. Periode
ini berlangsung sejak usia dua tahun sampai enam tahun. Pada masa ini Hayy mulai
menutupi tubuhnya dengan dedaunan yang didapatkan, karena melihat dirinya tidak
seperti sang induk dan hewan lain yang memiliki bulu. Dia juga mulai mengerti
kebutuhan akan senjata sebagai alat perlindungan diri, karena dirinya berbeda dengan
hewan yang memiliki senjata alami dalam bagian tubuh mereka.

Ketiga, menginjak akil balig. Menurut Ibn Tufail, pada masa ini akal mulai bisa
berkembang kea rah yang lebih kompleks. Sampai masa mumayyiz, manusia hanya
mampu memikirkan hal-hal empirik saja. Akan tetapi, pada masa ini manusia telah
mampu memikirkan hal-hal metafisika. Perkembangan akan ini dimulai sejak usia tujuh
tahunan. Pada usia menginjak akil balig, Hayy mulai mampu memikirkan hakikat
kematian saat melihat induk rusanya mati. Baginya, kematian adalah perpisahan roh
sebagai pengendara jasad, bukan karena berhentinya fungsi organ tubuh.

Keempat, masa dewasa dan sadar diri, tingkat kematangan akal. Pada masa ini
manusia sudah mampu berfikir logis dan filosofis. Pada tahapan ini manusia mampu
berfikir secara komprehensif, mencari kebenaran dan kebijaksanaan. Pada masa ini pula
manusia senang menunjukkan pengetahuan yang didapat. Pendapat diyakini
kebenarannya tidak akan tergoyahkan dengan mudah. Hal ini ditunjukkan pada saat
Hayy berhasil mengklasifikasi objek-objek serta saat berdebat dengan Asal tentang
kebijaksanaan wahyu.

10
Kelima, masa tua, masa bertambahnya kesadaran akal dan dorongan hati untuk
beramal makin meningkat. Manusia sudah mulai merasa cukup berfikir tentang dirinya
dan berpetualang. Pada periode ini manusia mulai butuh ketenangan dan kontemplasi,
serta lebih banyak berfikir tentang kebijaksanaan. Masa ini terjadi saat Hayy dan Asal
kembali ke pulau terpencil untuk berkontemplasi.

1. Kategori Manusia Dalam Sumber Pengetahuan

Melalui tiga tokoh yang hadir dalam Hayy ibn Yaqzan (Hayy, Absal, dan
Salman) dapat diketahui bahwa manusia terdiri dari tiga kelompok. Pertama, kelompok
manusia awam. Kelompok manusia ini diwakili oleh sekelompok masyarakat yang
tinggal di pulau tetangga. Pengetahuan awam adalah pengetahuan yang didasarkan
pada adat kebiasaan. Kelompok awam tidak dapat menerima cara berfikir pada
kelompok manusia yang lebih tinggi.

Kedua, kelompok manusia dengan pengetahuan nalar yang diwakili oleh Hayy
bin Yaqzan. Manusia dianugerahi akal sehat yang termanifestasi dalam bentuk ilmu
pengetahuan. Dengan mengoptimalkan penggunaan akal sehat, manusia dapat
mengetahui hakikat dan kebenaran segala sesuatu, termasuk mengenal Tuhannya.
Barangkali dalam istilah al-Jabiri kelompok ini sama dengan kelompok yang
menggunakan epistemologi burhani.

Ketiga, manusia dengan pengetahuan kasyaf yang diwakili oleh tokoh Asal.
Pengetahuan kasyaf diperoleh hasil perenungan rohani yang selalu dilatih untuk
mencapai kebenaran hakiki Pengetahuan kasyaf merupakan pengetahuan Ilahi yang
didapatkan oleh manusia yang suci. Pengetahuan kasyaf memiliki tingkatan, seperti
kasyaf yang datang kepada Nabi atau yang disebut wahyu memiliki nilai kebenaran
haqq al-yaqin. kasyaf yang datang kepada manusia wali memiliki nilai kebenaran ‘ain
al-yaqin. Sementara kasyaf yang datang kepada orang saleh memiliki nilai kebenaran
‘ilm al-yaqin. pengetahuan kasyaf ini merupakan pengetahuan tertinggi yang
dibuktikan oleh pemikiran Asal yang seringkali tidak dipahami oleh kelompok manusia
awam dan manusia dengan pengetahuan nalar.

Dari tiga kelompok manusia tersebut dapat diketahui bahwa manusia memiliki
tiga jenis sumber pengetahuan. Pertama, jalan indrawi baik dengan cara pengamatan,
atau trial and error. Jalan ini dapat disimpulkan dari perilaku Hayy yang selalu
memperhatikan perbedaan dirinya dengan hewan di sekitarnya. Saat melihat hewan
yang memiliki tanduk, taring, bulu sebagai baju alami, mampu berlari kencang, dan
bergerak cepat, dia berfikir bahwa dirinya tidak memiliki hal-hal tersebut. Oleh karena
itu, dia memakai baju untuk menghindari kedinginan dan membuat perkakas untuk
melindungi diri karena tidak memiliki alat perlindungan diri alami. Kebakaran yang
melanda hutan menyebabkan Hayy tahu akan manfaat api secara tidak sengaja.
Pengetahuan yang didapat dari jalan indrawi ini merupakan pengetahuan empiris.

11
2. Isu-Isu Pendidikan Yang Berkembang Pada Saat Ini

Apabila mencermati isu pendidikan yang berkembang pada saat ini, para
ilmuwan Barat telah banyak mewarnai model-model pembelajaran. Mulai dari
pembelajaran yang berdasarkan pada interaksi sosial yang dirilis oleh Max Wetheimer
yang didasarkan pada teori Gestalt, model pemprosesan informasi yang digagas oleh
Robert Gagne yang didasarkan pada teori Piaget, model personal yang didasari teori
humanistik, sampai model modifikasi tingkah laku yang bertolak dari teori belajar
behavioristik.

Mencermati model pembelajaran Ibn Thufail yang tercurah dalam Hayy ibn
Yaqzan, dalam hemat penulis, lebih dekat dengan model personal. Implikasi yang
dihasilkan dari model ini di antaranya mendudukan pengamatan sebagai sumber belajar
dan tingkah laku serta hasil pembelajaran dapat diamalkan saat itu juga (learning to
do). Selain itu, model personal juga menekankan bahwa setiap individu memiliki
dorongan yang tinggi untuk aktualisasi diri, sebagian besar tingkah laku individu hasil
dari konsepsinya sendiri, serta belajar untuk belajar. Dalam model ini mengajar bukan
merupakan hal yang penting, karena pada hakikatnya pengetahuan didapat dari hasil
aktualisasi diri. Dengan demikian, pengajaran bertujuan sebatas untuk membantu
individu untuk mengembangkan suatu hubungan yang produktif dengan lingkunganya
dan memandang dirinya sebagai pribadi yang cakap.

B. Relevansi Pendidikan Islam Dalam Prespektif Al-Zarnuji Dalam Konteks


Pendidikan Pada Masa Kini

Pemikiran pendidikan Islam al-Zarnuji yang tetuang dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim
dapat dapat diterapkan untuk mengembangkan pendidikan Islam. Saat ini pendidikan
modern lebih menekankan kemajuan material dan mengabaikan aspek moral dan spiritual,
sehingga peserta didik sering mengalami krisis spiritual. Hal ini sudah menjadi fenomena
umum di beberapa Negara, tidak hanya di negara-negara Eropa dan Amerika, tetapi juga
terjadi dinegara-negara berkembang yang mayoritas pemeluknya adalah Muslim. Lembaga
pendidikan harus diarahkan untuk mendewasakan anak didik baik jasmani maupun rohani,
atau terciptanya pribadi yang utuh yang dewasa dan cerdas dalam pikiran dan tindakan.

Lembaga pendidikan yang mengembangkan kemampuan intelektual dan kepekaan


normatif, sangat berbeda wataknya dengan lembaga pendidikan yang hanya
mengembangkan intelektual semata. Kurikulumnya akan berbeda, suasana sekolahpun
akan berbeda. Perbedaan utama adalah bahwa lembaga seperti ini murid dibimbing untuk
mengembangkan berbagai kepekaan normatif. Produk dari pendidikan seperti ini adalah
anak didik menjadi manusia-manusia yang tawadlu, sopan santun, cinta ilmu, manusia yang
shaleh secara individual dan Sosial. Mereka tidak akan melakukan sesuatu yang akhirnya
akan merugikan orang secara individual atau masyarakat. Sangatlah sulit membentuk
kepribadian seperti ini kecuali sejak masa kanak-kanak telah ditanamkan kepercayaan ini
secara emosional dan intelektual.

12
Untuk mengembalikan fungsi dan tujuan pendidikan nasioanal konseppendidikan yang
tertuang dalam kitab Ta‟lim al-Muta‟allim karya al-Zarnuji bagus untuk diterapkan dalam
pendidikan Islam saat ini karna banyak sekali hal- hal yang yang masih relevan untuk
diterapkan. Apabila kitab ini dikaji di pesantren atau lembaga pendidikan yang lain, supaya
tidak menimbulkan pemahaman yang tidak diinginkan, sebaiknya diajarkan oleh seorang
guru yang mempunyai pemahaman mendalam mengenai bimbingan belajar, sehingga bila
memenuhi gagasan yang dianggap kurang relevan dengan zaman sekarang, bisa
mengadakan reinterpretasi atau merefleksikan dengan masa al-Zarnuji. Karya besar ini
sebenarnya dapat dan sangat bisa diterapkan ke arah luar pesantren baik itu madrasah atau
sekolah-sekolah umum. Karena bisa diketahui dari analisiskonsep pendidikan az-Zarnuji
cukup banyak yang masih relevan dan baik untuk diajarkan dan ditanamkan sejak dini.

Misalnya, ketaatan pada guru dan orang tua pada tingkat awal pendidikan perlu
ditanamkan untuk pembinaan sikap dalam menaati hukum yang pada dasarnya adalah
masalah mengajarkan ketaatan terhadap norma. Hukum adalah salah satu norma dalam
kehidupan bermasyarakat dan guru serta orang tua adalah personifikasi dari norma, maka
lambat laun dengan meningkatnya kemampuan murid untuk berpikir abstrak, personifikasi
norma tidak diperlukan lagi, dan pada saat itulah timbul kesadaran dalam diri anak didik
untuk taat pada norma, termasuk taat pada hukum.

C. Relevansi Pendidikan Islam Dalam Prespektif Ibn Thufail Dalam Konteks


Pendidikan Pada Masa Kini

Dalam pemikiran Ibnu Thufail yang dituangkan dalam karya yang berjudul Hayy Ibn
Yaqdzan, ia menceritakan pemikiran ia dalam mencari kebenaran dengan diibaratkan
sesosok orang yang bernama Hayy. Dalam karya tersebut salah satu relevansi pendidikan
dari pemikiran Ibnu Thufail sendiri yang memaparkan bahwa melakukan pencariannya
dengan mengawalinya dari pengamatan dengan menggunakan inderawinya, kemudian
menggunakan rasio, dan selanjutnya menggunakan batinnya seperti, akal, indra, dan intuisi.
Dapat dijelasakan dalam mencari kebenaran melalui panca indra, seperti mata untuk
penglihatan, telinga untuk pendengaran, hidung untuk penciuman, lidah untuk perasa, dan
kulit untuk peraba. Sekalipun begitu indrawi yang merupakan alat untuk mengenali 5
dimensi obyek namun ia juga mempunyai kemampuan terbatas dalam mengidentifikasi
objek. Maka dari itu dibutuhkan sekali yang namanya pengetahuan.

Contohnya yang dapat ia lihat pada binatang yang berada di sekitarnya yang mana
mereka semua mempunyai alat pertahanan bagi dirinya sendiri, seperti rusa jantan dengan
tanduknya, banteng juga dengan tanduknya, macan dengan taring serta kukunya, burung
elang dengan paruhnya, dan hal tersebut yang membuat pikiran Hayy ibn Yaqdzan bertanya-
tanya kepada dirinya bahwa, kenapa ia tidak memilikinya?. Dengan demikian ia tak habis
akal untuk membuat alat pertahanan diri dari sinar matahari dengan membuat baju dari
dedaunan, namun dari baju yang terbuat dari dedaunan tersebut bersifat tidak tahan lama,
maka ia mencari akal lagi untuk membuat baju yang bersifat tahan lama. Akhirnya ia

13
menemukan kulit hewan yang telah mati, ia langsung membuat baju dari bahan kulit
tersebut, ternyata setelah ia memakainya ia merasa terlindungi dari sengatan cahaya
matahari dan juga dapat menahan hawa dingin angin. Kemudian ia juga membuat sebuah
tongkat yang berasal dari rotan dan dirapikan ujungnya agar lebih tajam yang digunakan
sebagai alat pertahanan diri jika terdapat hewan buas yang akan menganggunya. Akal yang
dengan adanya penalaran mampu mengabstrasikan suatu objek, karena itu ia mampu
mengetahui esensi suatu objek yang telah ia amati melalui indrawi. Dengan demikian akal
dan inderawi memiliki sifat saling melengkapi satu sama lain. Pengetahuan yang telah dicapai
oleh akal itu memiliki validas yang lebih tinggi daripada pengetahuan yang dicapai melalui
indera. Maka dari itu, rasio atauakal pikiran mampu melampui objek, ruang, dan waktu.

Dalam tahapan pemikiran dalam konsep akal, ia telah menggambarkan dalam karyanya
bahwa Hayy Ibn Yaqdzan mencoba melakukan pengamatan mengenai benda-benda langit,
ia memulai untuk mengelilingi pulau yang ia tempati, serta ia juga berputar pada dirinya
sendiri. Dari pengamatan yang telah ia lakukan, maka dari itu ia mulai menemukan bahwa
ada satu subjek yang dapat memberikan pencerahan, serta ia dapat melihatnya dari ia
melihat jejak-jejak yangterdapat di ala ini. Hayy mulai merasioanalkan ketidak abadian dan
ketidakteraturan ala ini, seperti yang terjadi pada seekor rusa yang telah merawat Hayy dari
kecil, rusa tersebut berkembang sampai ia nampah semakin tua dan akhirnya ia mati, begitu
juga seperti hewan lainnya. Ketika Hayy mengamati benda langit, ia mulai memikirkan
tentang terjadinya peredaran matahari yang selalu muncul dari timur dan terbenam ke arah
barat. Dari peristiwa tersebut ia menemukan suatu entitas pencipta dan pengatur segala
Causa Prima yang terjadi di alam ini.

Namun akal memiliki kemampuan yang terbatas, akal tidak bisa menjelaskan tentang
dirinya sendiri, seperti disaat dirinya itu menangis dan akal juga tidak bisa mengenali sang
Causa Prima itu, maka dari itu akal hanya mampu mengetahui melalui jejak-jejak yang ia
tangkap, dan akal juga tidak bisa membawa manusia kepada pertemuan dengan sang
Penciptanya. Dengan demikian, manusia pada dasarnya dibekali Tuhan intuisi.

Intuisi tersebut menurut Ibnu Thufail dapat diartikan mengenai mampu menangkap
esensi pengetahuan sejati yang berbau metafisika dengan cara penyucian jiwa. Seperti yang
digambarkan pada sesosok Hayy disaat ia pada tahap akhir dalam pencarian esensi dari
segala esensi yang ada. Dalam tahap terakhir tersebut ia melakukan riyadah perjalanan
spiritual untuk menemukan identitas kesejatian tersebut. Dengan demikian bahwa
kebenaran akal bersifat relative, sedangkan kebenaran indra bersifat mutlak.

Setelah ia melakukan segala sesuatu menggunakan akal dan indera, ia kemudian


memutuskan untuk berpaling ke dalam disiplin jiwa yang membawa kepada ekstasi, yang
merupakan sumber dalam tingkat tertinggi pengetahuan. Dalam konsep ini, kebenaran tidak
dapat dicapai lagi melalui proses deduksi dan induksi, melainkan melalui intuisi yang
terdapat di dalam jiwa.

14
5. KESIMPULAN

Al-Zarnuji mengedepankan pendidikan tentang etika dalam proses pendidikan. Hal itu
ditekankan bagi peserta didik untuk dirinya bisa memperoleh ilmu pengetahuan yang
bernilai guna bagi masyarakat dan bangsanya, serta etika terhadap pendidik dan peserta
didik yang lain. Titik sentral pendidikannya adalah pembentukan budi pekerti yang luhur
yang bersumbu pada titik sentral Ketuhanan (religiusitas). Beliau memberikan pendidikan
yang penekanannya pada mengolah hati sebagai asas sentral bagi pendidikan.

Secara khusus Ibn Thufail bukan tokoh yang konsen dalam dunia pendidikan. Akan tetapi,
berbagai pemikirannya dapat ditemukan dalam Hayy ibn Yaqzan baik secara eksplisit
maupun implisit termasuk pemikirannya mengenai pendidikan. Berbicara pendidikan, tidak
lepas dari bahasan manusia sebagai subjek dan objek pendidikan. Dari kisah Hayy bin
Yaqzan diketahui fase pertumbuhan akal manusia menurut Ibn Thufail.

Apabila mencermati isu pendidikan yang berkembang pada saat ini, para ilmuwan Barat
telah banyak mewarnai model-model pembelajaran. Mulai dari pembelajaran yang
berdasarkan pada interaksi sosial yang dirilis oleh Max Wetheimer yang didasarkan pada
teori Gestalt, model pemprosesan informasi yang digagas oleh Robert Gagne yang
didasarkan pada teori Piaget, model personal yang didasari teori humanistik, sampai model
modifikasi tingkah laku yang bertolak dari teori belajar behavioristik.

Pemikiran pendidikan Islam al-Zarnuji yang tetuang dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim
dapat dapat diterapkan untuk mengembangkan pendidikan Islam. Saat ini pendidikan
modern lebih menekankan kemajuan material dan mengabaikan aspek moral dan spiritual,
sehingga peserta didik sering mengalami krisis spiritual. Hal ini sudah menjadi fenomena
umum di beberapa Negara, tidak hanya di negara-negara Eropa dan Amerika, tetapi juga
terjadi dinegara-negara berkembang yang mayoritas pemeluknya adalah Muslim. Lembaga
pendidikan harus diarahkan untuk mendewasakan anak didik baik jasmani maupun rohani,
atau terciptanya pribadi yang utuh yang dewasa dan cerdas dalam pikiran dan tindakan.

Dalam pemikiran Ibnu Thufail yang dituangkan dalam karya yang berjudul Hayy Ibn
Yaqdzan, ia menceritakan pemikiran ia dalam mencari kebenaran dengan diibaratkan
sesosok orang yang bernama Hayy. Dalam karya tersebut salah satu relevansi pendidikan
dari pemikiran Ibnu Thufail sendiri yang memaparkan bahwa melakukan pencariannya
dengan mengawalinya dari pengamatan dengan menggunakan inderawinya, kemudian
menggunakan rasio, dan selanjutnya menggunakan batinnya seperti, akal, indra, dan intuisi.
Dapat dijelasakan dalam mencari kebenaran melalui panca indra, seperti mata untuk
penglihatan, telinga untuk pendengaran, hidung untuk penciuman, lidah untuk perasa, dan
kulit untuk peraba. Sekalipun begitu indrawi yang merupakan alat untuk mengenali 5
dimensi obyek, namun ia juga mempunyai kemampuan terbatas dalam mengidentifikasi
objek. Maka dari itu dibutuhkan sekali yang namanya pengetahuan.

15
DATAR PUSTAKA

Asy’ari, Hasyim, 1415 H, Adab al-Alimwa al-Muta’allim, (Jombang: Maktabah al-


Turas al-Islam).

Daradjat, Zakiah, 1992, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara).

Syekh Ibrahim Bin Ismail, Sharah Ta’lim al-Muta’allim, (Surabaya, Maktabah al-
Hidayah)

Siddiqy, Bakhtiar Husain. “Ibn Thufail” dalam M.M Syarif, ed., Para Filosof Muslim, Rahmani
Astuti. Bandung: Mizan. 1985.

Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997) ,h. 272

Ahmad Thomson dan Muhammad ‘Atur rahim, Islam di Andalusia : Sejarah Kebangkitan
dan Keruntuhan, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004),h. 3-4

Aly As’ad, Terjemah Ta’limul Muta’allim “Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu Pengetahuan”,
(Kudus: Menara Kudus, 2007), ii

Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendididikan
Islam (Jakarta: Raja Garfindo Persada, 2003), 103

Muhammad Abdul Qadir Ahmad, Ta’lim al-Mutaallim Thariq al-Taallum, (Mesir:Kairo


Universiy, 1986), hlm.57

Dwiki Setyawan dan Abdullah Mahmud, “Telaah Paradigma Pemikiran Nurkholis Madjid”,
Majalah Rindang, XIX,No. 9 (April 1994), p. 44

17
17

You might also like