Professional Documents
Culture Documents
NIM: 30502300053
EMAIL: aalfarisi222@gmail.com
1. Madzhab Hanafi Dinamakan Hanafi, karena pendirinya Imam Abu Hanifah An-
Nu’man bin Tsabit. Beliau lahir pada tahun 80 H di Kufah dan wafat pada tahun
150 H. Madzhab ini dikenal madzhab Ahli Qiyas (akal) karena hadits yang sampai
ke Irak sedikit, sehingga beliau banyak mempergunakan Qiyas.
Beliau termasuk ulama yang cerdas, pengasih dan ahli tahajud dan
fasih membaca Al-Qur’an. Beliau ditawari untuk menjadi hakim pada zaman bani
Umayyah yang terakhir, tetapi beliau menolak. Madzhab ini berkembang karena
menjadi madzhab pemerintah pada saat Khalifah Harun Al-Rasyid. Kemudian
pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur beliau diminta kembali untuk
menjadi Hakim tetapi beliau menolak, dan memilih hidup berdagang, madzhab
ini lahir di Kufah.
3. Madzhab Syafi’i Tokoh utamanya adalah Al-Imam Muhammad bin Idris As-
Syafi’i Al-Quraisyi. Beliau dilahirkan di Ghuzzah pada tahun 150 H dan wafat di
Mesir pada tahun 204 H. Beliau belajar kepada Imam Malik yang dikenal dengan
madzhabul hadits, kemudian beliau pergi ke Irak dan belajar dari ulama Irak
yang dikenal sebagai madzhabul qiyas. Beliau berikhtiar menyatukan madzhab
terpadu yaitu madzhab hadits dan madzhab qiyas. Itulah keistimewaan madzhab
Syafi’i.
adalah murid Imam Syafi’i yang paling istimewa dan tidak pernah pisah sampai
Imam Syafi’i pergi ke Mesir. Menurut beliau hadits dla’if dapat dipergunakan
menentukan hukum. Beliau tidak mengaku adanya Ijma’ setelah sahabat karena
Sebagai mujtahid mustaqil, tentu beliau memiliki mazhab sendiri dan memiliki
penngikutnya sendiri. Sayangnya mazhab beliau tidak terdokumentasi dengan
baik hingga lenyap tak berbekas. Kita pun sulit untuk menemukan bagaimana
pola pikir beliau dalam merumuskan hukum fikih.
Pertama, tidak ada pendokumentasian pola pikir Imam Laits oleh murid-
muridnya. Beliau hanya memiliki satu kitab fikih yang membahas sebagian
masalah fikih. Selanjutnya, tidak ada pembuatan kitab dari murid beliau
sebagai bentuk pelestarian mazhabnya.
Meski tidak ada peninggalan kitab, pendapat fikih beliau sebenarnya masih
dapat ditemukan di beberapa kitab Fikih. Karena dalam kitab-kitab ulama fikih
sesudahnya banyak yang menyantumkan pendapat-pendapatnya. Salah
satunya yang tercantum dalam kitab Bidayah Al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd
yang membahas tentang doa qunut berikut:
ما قنت منذ أربعين عاما أو خمسة وأربعين عاما إال وراء إمام يقنت:وقال الليث بن سعد
“Imam Laits bin Sa’ad berkata: Aku tidak membaca doa qunut sejak 40 atau
45 tahun kecuali di belakang imam yang membaca doa qunut.”
Kedua, murid beliau lebih sedikit dari murid imam-imam lain di sekitarnya.
Pelestarian mazhab Liats pun begitu minim melihat sedikitnya jumlah murid
beliau tersebut. Di samping, beliau dinilai terlalu dekat dengan pemimpin
dinasti Abbasiyyah saat itu. Hal tersebut membuat para ulama enggan
mendekat pada beliau.
Adalah Abu Amru Abdurrahman bin Amru bin Muhammad Al-Auza’i Ad-Dimasyqi, ulama
ahli fiqh besar dari Syam yang melahirkan dan mengembangkan madzhab tersebut.
Madzhab yang didirikan ulema yang akrab disebut Imam Abdurrahman Al-Auza’i itu sempat
bertahan selama 220 tahun sebelum tergusur oleh madzhab lain yang lebih populer.
Dalam menetapkan hukum, menurut Syaikh Muhammad Fauzi, guru besar ilmu fiqih
kontemporer d Damaskus, Imam Al-Auza’i termasuk tokoh yang mengedepankan nash
(hadits) dan menolak penggunaan logika dalam bentuk qiyas. Demikian juga yang
diceritakan oleh Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm-nya.
Dalam salah satu nasehat kepadanya kepada Baqiyah bin Al-Walid, Imam Abdurrahman Al-
Auz’ai mengatakan, “Wahai Baqiyah, janganlah kamu membicarakan salah seorang
sahabat Nabi kecuali mengani kebaikannya. Sesungguhnya ilmu itu adalah apa yang
datang dari sahabat Nabi, maka yang datang dari selain mereka bukan merupakan ilmu….”
Kata “yang bukan dari sahabat nabi” tersebut ditujukan kepada fatwa berdasarkan qiyas.
Dalam penguasaan ilmu hadits, Imam Abdurrahman Al-Auza’i memang sangat menonjol.
Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, pendiri madzhab Syafi’i, mengatakan, “Saya tidak
pernah melihat seorang laki-laki yang ilmu fiqihnya seluas ilmu haditsnya seperti Al-Auza’i.”
Contoh beberapa fatwa Imam Al-Auza’i adalah sebagai berikut : Apabila air –baik sedikit
maupun banyak– terkena sesuatu yang mengandung najis lalu air itu tidak berubah warna,
rasa maupun baunya, maka ia tidak najis. Dasar pendapat ini adalah hadits tentang badui
yang kencing di masjid yang belakangan diriwayatkan oleh jamaah kecuali Imam Muslim
dan hadits tentang kesucian air sumur yang belakangan diriwayatkan oleh Imam Ahmad,
Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Asy-Syafi’i)
B. HASIL IJTIHAD FIQIH DARI MAZHAB
terdapat banyak pendapat dari para kalangan Ulama, yaitu Ulama 4 Madzhab dalam
Perkara ini. Berikut adalah penjelasan singkat tentang pandangan ulama 4 Madzhab
tentang perkara ini:
Dalam pandangan Imam Malik, tidak membatalkan kecuali apabila dibarengi dengan
syahwat. Dengan berlandaskan pada hadist ‘Aisyah, dimana Rasulullah saw pernah
mencium kening ‘Aisyah r.a, sedangkan beliau dalam keadaan berwudhu.
Sebagaiman pada hadist berikut:
عن حبيب ابن أبي ثابت عن عروة عن عائشة رضي هللا عنها أن النبي صلى هللا عليه وسلم قبل بعض نسائه ثم
خرج إلى الصالة ولم يتوضأ
Dari Hubaib bin Abi Tsabit dari Urwah dari Aisyah RA. Sesungguhnya Nabi SAW
pernah mencium istrinya kemudian keluar untuk shalat dan tidak berwudhu lagi.
(HR. at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Dawud & Al-Baihaqi).
Selain dari pada hadist di atas, Imam Maliki juga berlandaskan pada hadsit yang
artinya adalah sebagai berikut:
“Tidaklah wajib berwudhu karena mencium istri atau menyentuhnya baik dengan
syahwat atau tidak misalnya. Ini adalah pendapat Sayyidina Ali Ra dan Ibnu Abbas Ra.
Menurut Imam Syafi’i, wajib wudhu. Ini adalah pendapat Sayyidina Umar Ra dan Ibnu
Mas’ud. Persoalan ini dasarnya adalah persoalan yang diperselisihkan pada masa
awal sehingga dikatakan sebaiknya bagi orang yang menjadi imam bagi orang lain
untuk berhati-hati dalam masalah ini. Sedang menurut Imam Malik, wajib wudhu jika
diiringi syahwat, lain halnya jika tanpa syahwat,”
Dalam hal ini, Mazhab Imam Hanafi r.a berpendapat bahwa sentuhan kulit antara
laki-laki dan perempuan tidak membatalkan wudhu. Dalam masalah ini, Mazhab
Hanafi menggunakan dalil shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam
Muslim dengan sanad yang shahih:
كان يصلي وهي معترضة بينه وبين القبلة فإذا أراد أن يسجد غمز: وعن عائشة أن النبي صلى هللا عليه وسلم
رواه البخاري ومسلم. فقبضتها,رجلها.
Dari Aisyah RA, sesungguhnya Nabi SAW melakukan salat. Sementara Aisyah tidur di
antara beliau dan arah kiblat, apabila Nabi SAW hendak sujud beliau geser kaki
Aisyah. (HR.Bukhari dan Muslim).
Adapun Pendapat Madzhab Imam Hambali r.a, beliau berpendapat bahwa bahwa
sentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan jika disertai dengan sahwat maka
membatalkan wudhu, namun jika tidak disertai sahwat maka tidak membatalkan
wudhu. Pendapat Madzhab Hanbali ini sama seperti pendapat Mazhab Maliki.
Dalam masalah ini, Mazhab Hanbali menggunakan dalil shahih yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dengan sanad yang shahih:
كان يصلي وهي معترضة بينه وبين القبلة فإذا أراد أن يسجد غمز: وعن عائشة أن النبي صلى هللا عليه وسلم
رواه البخاري ومسلم. فقبضتها,رجلها.
Dari Aisyah RA, sesungguhnya Nabi SAW melakukan salat. Sementara Aisyah tidur di
antara beliau dan arah kiblat, apabila Nabi SAW hendak sujud beliau geser kaki
Aisyah. (HR.Bukhari dan Muslim)
Juga menggunakan dalil yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Dawud
& Al-Baihaqi:
عن حبيب ابن أبي ثابت عن عروة عن عائشة رضي هللا عنها أن النبي صلى هللا عليه وسلم قبل بعض نسائه ثم
رواه الترمذي وابن ماجه وداود والبيهقي.خرج إلى الصالة ولم يتوضأ.
Dari Hubaib bin Abi Tsabit dari Urwah dari Aisyah RA. Sesungguhnya Nabi SAW
pernah mencium istrinya kemudian keluar untuk salat dan tidak berwudhu lagi.
(HR.at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Dawud dan Al-Baihaqi).