You are on page 1of 9

TUGAS AKHIR SEMESTER GASAL 2023/2024

MATA KULIAH: PANCASILA

OLEH: AHMAD ALFARISI

NIM: 30502300053

EMAIL: aalfarisi222@gmail.com

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG


A. MACAM-MACAM MAZHAB DALAM ILMU FIQIH

1. Madzhab Hanafi Dinamakan Hanafi, karena pendirinya Imam Abu Hanifah An-
Nu’man bin Tsabit. Beliau lahir pada tahun 80 H di Kufah dan wafat pada tahun
150 H. Madzhab ini dikenal madzhab Ahli Qiyas (akal) karena hadits yang sampai
ke Irak sedikit, sehingga beliau banyak mempergunakan Qiyas.

Beliau termasuk ulama yang cerdas, pengasih dan ahli tahajud dan
fasih membaca Al-Qur’an. Beliau ditawari untuk menjadi hakim pada zaman bani
Umayyah yang terakhir, tetapi beliau menolak. Madzhab ini berkembang karena
menjadi madzhab pemerintah pada saat Khalifah Harun Al-Rasyid. Kemudian
pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur beliau diminta kembali untuk
menjadi Hakim tetapi beliau menolak, dan memilih hidup berdagang, madzhab
ini lahir di Kufah.

2. Madzhab Maliki Pendirinya adalah Al-Imam Maliki bin Anas Al-Ashbahy. Ia


dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H dan wafat pada tahun 179 H. Beliau
sebagai ahli hadits di Madinah dimana Rasulullah SAW hidup di kota tersebut.
Madzhab ini dikenal dengan madzhab Ahli Hadits, bahkan beliau mengutamakan
perbuatan ahli Madinah daripada Khabaril Wahid (Hadits yang diriwayatkan
oleh perorangan). Karena bagi beliau mustahil ahli Madinah akan berbuat
sesuatu yang bertentangan dengan perbuatan Rasul, beliau lebih banyak
menitikberatkan kepada hadits, karena menurut beliau perbuatan ahli Madinah
termasuk hadits mutawatir. Madzhab ini lahir di Madinah kemudian berkembang
ke negara lain khususnya Maroko. Beliau sangat hormat kepada Rasulullah dan
cinta, sehingga beliau tidak pernah naik unta di kota Madinah karena hormat
kepada makam Rasul.

3. Madzhab Syafi’i Tokoh utamanya adalah Al-Imam Muhammad bin Idris As-
Syafi’i Al-Quraisyi. Beliau dilahirkan di Ghuzzah pada tahun 150 H dan wafat di
Mesir pada tahun 204 H. Beliau belajar kepada Imam Malik yang dikenal dengan
madzhabul hadits, kemudian beliau pergi ke Irak dan belajar dari ulama Irak
yang dikenal sebagai madzhabul qiyas. Beliau berikhtiar menyatukan madzhab
terpadu yaitu madzhab hadits dan madzhab qiyas. Itulah keistimewaan madzhab
Syafi’i.

Di antara kelebihan asy-Syafi’i adalah beliau hafal Al-Qur’an umur 7 tahun,


pandai diskusi dan selalu menonjol. Madzhab ini lahir di Mesir kemudian
berkembang ke negeri-negeri lain.
4. Madzhab Hanbali Dinamakan Hanbali, karena pendirinya Al-Imam Ahmad bin

Hanbal As-Syaebani, lahir di Baghdad Th 164 H dan wafat Th 248 H. Beliau

adalah murid Imam Syafi’i yang paling istimewa dan tidak pernah pisah sampai

Imam Syafi’i pergi ke Mesir. Menurut beliau hadits dla’if dapat dipergunakan

untuk perbuatan-perbuatan yang afdal (fadlailul a'mal) bukan untuk

menentukan hukum. Beliau tidak mengaku adanya Ijma’ setelah sahabat karena

ulama sangat banyak dan tersebar luas.

5. Mazhab Imam Laits

Sebagai mujtahid mustaqil, tentu beliau memiliki mazhab sendiri dan memiliki
penngikutnya sendiri. Sayangnya mazhab beliau tidak terdokumentasi dengan
baik hingga lenyap tak berbekas. Kita pun sulit untuk menemukan bagaimana
pola pikir beliau dalam merumuskan hukum fikih.

Dalam kitab Muhadlarat Dirasat Fiqhiyyah fi Madzhab Al-Imam Asy-


Syafi’i disebutkan ada dua faktor penyebab mazhab Imam Laits tidak
bertahan sampai sekarang.

Pertama, tidak ada pendokumentasian pola pikir Imam Laits oleh murid-
muridnya. Beliau hanya memiliki satu kitab fikih yang membahas sebagian
masalah fikih. Selanjutnya, tidak ada pembuatan kitab dari murid beliau
sebagai bentuk pelestarian mazhabnya.

Meski tidak ada peninggalan kitab, pendapat fikih beliau sebenarnya masih
dapat ditemukan di beberapa kitab Fikih. Karena dalam kitab-kitab ulama fikih
sesudahnya banyak yang menyantumkan pendapat-pendapatnya. Salah
satunya yang tercantum dalam kitab Bidayah Al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd
yang membahas tentang doa qunut berikut:

‫ ما قنت منذ أربعين عاما أو خمسة وأربعين عاما إال وراء إمام يقنت‬:‫وقال الليث بن سعد‬

“Imam Laits bin Sa’ad berkata: Aku tidak membaca doa qunut sejak 40 atau
45 tahun kecuali di belakang imam yang membaca doa qunut.”
Kedua, murid beliau lebih sedikit dari murid imam-imam lain di sekitarnya.
Pelestarian mazhab Liats pun begitu minim melihat sedikitnya jumlah murid
beliau tersebut. Di samping, beliau dinilai terlalu dekat dengan pemimpin
dinasti Abbasiyyah saat itu. Hal tersebut membuat para ulama enggan
mendekat pada beliau.

Sebenarnya sangat disayangkan mazhab beliau tidak bertahan hingga


sekarang. Padahal, beliau di masanya terkenal sebagai mujtahid besar di
bidang fikih yang pikirannya cemerlang. Seperti yang diungkapkan oleh Ibnu
Hajar Al-Atsqalani, bahwa beliau mewarisi
pemikiran ahlurra’yi dan ahlulhadits yang menjadi inspirasi Imam Syafi’i
dalam merintis mazhab Syafi’i.

6. Mazhab Imam Al Auzai

Adalah Abu Amru Abdurrahman bin Amru bin Muhammad Al-Auza’i Ad-Dimasyqi, ulama
ahli fiqh besar dari Syam yang melahirkan dan mengembangkan madzhab tersebut.
Madzhab yang didirikan ulema yang akrab disebut Imam Abdurrahman Al-Auza’i itu sempat
bertahan selama 220 tahun sebelum tergusur oleh madzhab lain yang lebih populer.

Dalam menetapkan hukum, menurut Syaikh Muhammad Fauzi, guru besar ilmu fiqih
kontemporer d Damaskus, Imam Al-Auza’i termasuk tokoh yang mengedepankan nash
(hadits) dan menolak penggunaan logika dalam bentuk qiyas. Demikian juga yang
diceritakan oleh Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm-nya.

Dalam salah satu nasehat kepadanya kepada Baqiyah bin Al-Walid, Imam Abdurrahman Al-
Auz’ai mengatakan, “Wahai Baqiyah, janganlah kamu membicarakan salah seorang
sahabat Nabi kecuali mengani kebaikannya. Sesungguhnya ilmu itu adalah apa yang
datang dari sahabat Nabi, maka yang datang dari selain mereka bukan merupakan ilmu….”

Kata “yang bukan dari sahabat nabi” tersebut ditujukan kepada fatwa berdasarkan qiyas.
Dalam penguasaan ilmu hadits, Imam Abdurrahman Al-Auza’i memang sangat menonjol.
Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, pendiri madzhab Syafi’i, mengatakan, “Saya tidak
pernah melihat seorang laki-laki yang ilmu fiqihnya seluas ilmu haditsnya seperti Al-Auza’i.”

Contoh beberapa fatwa Imam Al-Auza’i adalah sebagai berikut : Apabila air –baik sedikit
maupun banyak– terkena sesuatu yang mengandung najis lalu air itu tidak berubah warna,
rasa maupun baunya, maka ia tidak najis. Dasar pendapat ini adalah hadits tentang badui
yang kencing di masjid yang belakangan diriwayatkan oleh jamaah kecuali Imam Muslim
dan hadits tentang kesucian air sumur yang belakangan diriwayatkan oleh Imam Ahmad,
Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Asy-Syafi’i)
B. HASIL IJTIHAD FIQIH DARI MAZHAB

1. Dalam perkara menyentuh perempuan, apakah membatalkan wudhu atau tidak?

terdapat banyak pendapat dari para kalangan Ulama, yaitu Ulama 4 Madzhab dalam
Perkara ini. Berikut adalah penjelasan singkat tentang pandangan ulama 4 Madzhab
tentang perkara ini:

Dalam Madzhab Imam Syafi’i, menyentuh perempuan yang bukan mahromnya


(wanita yang boleh di nikahi) membatalkan wudhu, yaitu dengan lima syarat: laki dan
perempuan, sudah sama mencapai batas dewasa, tidak ada pembatas-nya walaupun
tipis dan lawan jenis.

Dalam pandangan Imam Malik, tidak membatalkan kecuali apabila dibarengi dengan
syahwat. Dengan berlandaskan pada hadist ‘Aisyah, dimana Rasulullah saw pernah
mencium kening ‘Aisyah r.a, sedangkan beliau dalam keadaan berwudhu.
Sebagaiman pada hadist berikut:

‫عن حبيب ابن أبي ثابت عن عروة عن عائشة رضي هللا عنها أن النبي صلى هللا عليه وسلم قبل بعض نسائه ثم‬
‫خرج إلى الصالة ولم يتوضأ‬

Dari Hubaib bin Abi Tsabit dari Urwah dari Aisyah RA. Sesungguhnya Nabi SAW
pernah mencium istrinya kemudian keluar untuk shalat dan tidak berwudhu lagi.
(HR. at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Dawud & Al-Baihaqi).

Selain dari pada hadist di atas, Imam Maliki juga berlandaskan pada hadsit yang
artinya adalah sebagai berikut:

“Tidaklah wajib berwudhu karena mencium istri atau menyentuhnya baik dengan
syahwat atau tidak misalnya. Ini adalah pendapat Sayyidina Ali Ra dan Ibnu Abbas Ra.
Menurut Imam Syafi’i, wajib wudhu. Ini adalah pendapat Sayyidina Umar Ra dan Ibnu
Mas’ud. Persoalan ini dasarnya adalah persoalan yang diperselisihkan pada masa
awal sehingga dikatakan sebaiknya bagi orang yang menjadi imam bagi orang lain
untuk berhati-hati dalam masalah ini. Sedang menurut Imam Malik, wajib wudhu jika
diiringi syahwat, lain halnya jika tanpa syahwat,”

Dalam hal ini, Mazhab Imam Hanafi r.a berpendapat bahwa sentuhan kulit antara
laki-laki dan perempuan tidak membatalkan wudhu. Dalam masalah ini, Mazhab
Hanafi menggunakan dalil shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam
Muslim dengan sanad yang shahih:

‫كان يصلي وهي معترضة بينه وبين القبلة فإذا أراد أن يسجد غمز‬: ‫وعن عائشة أن النبي صلى هللا عليه وسلم‬
‫ رواه البخاري ومسلم‬.‫ فقبضتها‬,‫رجلها‬.

Dari Aisyah RA, sesungguhnya Nabi SAW melakukan salat. Sementara Aisyah tidur di
antara beliau dan arah kiblat, apabila Nabi SAW hendak sujud beliau geser kaki
Aisyah. (HR.Bukhari dan Muslim).

Adapun Pendapat Madzhab Imam Hambali r.a, beliau berpendapat bahwa bahwa
sentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan jika disertai dengan sahwat maka
membatalkan wudhu, namun jika tidak disertai sahwat maka tidak membatalkan
wudhu. Pendapat Madzhab Hanbali ini sama seperti pendapat Mazhab Maliki.

Dalam masalah ini, Mazhab Hanbali menggunakan dalil shahih yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dengan sanad yang shahih:

‫كان يصلي وهي معترضة بينه وبين القبلة فإذا أراد أن يسجد غمز‬: ‫وعن عائشة أن النبي صلى هللا عليه وسلم‬
‫ رواه البخاري ومسلم‬.‫ فقبضتها‬,‫رجلها‬.
Dari Aisyah RA, sesungguhnya Nabi SAW melakukan salat. Sementara Aisyah tidur di
antara beliau dan arah kiblat, apabila Nabi SAW hendak sujud beliau geser kaki
Aisyah. (HR.Bukhari dan Muslim)

Juga menggunakan dalil yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Dawud
& Al-Baihaqi:

‫عن حبيب ابن أبي ثابت عن عروة عن عائشة رضي هللا عنها أن النبي صلى هللا عليه وسلم قبل بعض نسائه ثم‬
‫ رواه الترمذي وابن ماجه وداود والبيهقي‬.‫خرج إلى الصالة ولم يتوضأ‬.

Dari Hubaib bin Abi Tsabit dari Urwah dari Aisyah RA. Sesungguhnya Nabi SAW
pernah mencium istrinya kemudian keluar untuk salat dan tidak berwudhu lagi.
(HR.at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Dawud dan Al-Baihaqi).

2. Menyentuh istri apakah membatalkan wudhu?


Menyentuh isteri merupakan salah satu permasalahan yang sering terjadi
perselisihan pendapat dikalangan para fuqaha dari mazhab yang terkemuka, karena
terdapat beberapa dalil yang nyata-nyata bertentangan, sehingga masing-masing
kelompok berpegang pada apa yang mereka pahami dari Kitab Allah dan Sunnah.
Rasulullah, semoga Tuhan memberkati dia dan memberinya kedamaian, dan mereka
semua rajin dan pahala.
Adapun para ahli hukum mazhab kita – mazhab Syafi’i – mengatakan bahwa seorang
laki-laki yang menyentuh kulit istrinya dan wanita asing yang bukan mahram,
termasuk yang membatalkan wudhu, meskipun sentuhan itu tidak sah. tanpa hawa
nafsu, dan mereka mencontohkan firman Tuhan Yang Maha Kuasa: (Dan jika kamu
dalam keadaan najis, bersucilah; dan jika kamu sakit, atau dalam perjalanan, atau
datangnya seseorang, ada di antara kamu yang buang air besar, atau kamu
menyentuh wanita namun tidak mendapat air, maka bertayamumlah di bumi yang
bersih.” (Al-Ma’idah: 6).
Imam Syafi'i radhiyallahu 'anhu menafsirkan sabda Yang Mahakuasa: "Kamu telah
menyentuh wanita" yang berarti kontak kulit, bahkan tanpa hubungan seksual,
dengan alasan antara lain:
Pertama: Tuhan Yang Maha Esa menyebutkan najis di awal ayat, kemudian
disambung dengan menyentuh kotoran perempuan setelahnya, yang menandakan
bahwa menyentuh perempuan itu sama saja dengan najis kecil, seperti kotoran, dan
itu bukan najis, lalu apa? Maksudnya adalah sentuhan dengan tangan, bukan
persetubuhan.
Kedua: Kemudian jelas dalam bahasa Arab, bahwa itu (lamas) artinya (menyentuh)
sebagaimana disebutkan dalam bacaan yang lain, dan kesemuanya berarti kulit
bertemu kulit. Allah SWT berfirman: (Dan mereka menyentuhnya dengan tangan
mereka) Al-An'am/7.
Ketiga: Mereka mencont…

[14.21, 15/1/2024] Manusia: Dinyatakan dalam “Hashiyat al-Bujayrimi” (1/211):


“Ketahuilah bahwa sentuhan itu tidak sah dalam lima kondisi: Yang pertama: Itu
terjadi antara maskulinitas dan feminitas yang berbeda. Yang kedua: Itu terjadi pada
kulit dan tidak rambut, gigi, dan kuku. Yang ketiga: Tanpa penghalang. Yang
keempat: Bahwasanya baligh, Masing-masing ada batasannya yang dikehendaki.
Kelima: bukan mahram. Akhir kutipan.
Beliau berbeda pendapat dengan Hanafi dalam hal ini, dan mereka berkata:
Menyentuh seorang wanita tidak membatalkan wudhu sedikitpun, baik dia isteri,
orang asing, maupun mahram, baik sentuhan itu dengan atau tanpa syahwat.
Al-Sarkhasi berkata: “Tidak wajib berwudhu dari kiblat atau menyentuh seorang
wanita, dengan atau tanpa syahwat.” Akhir kutipan dari “Al-Mabsoot” (1/121).
Mereka mengutip banyak bukti, termasuk:
[14.22, 15/1/2024] Manusia: Pertama: Prinsip dasarnya adalah kesucian itu sah, dan
tidak dapat diandalkan kecuali dengan bukti yang jelas dan benar.
Kedua: Ada beberapa hadits shahih yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad
SAW tidak berwudhu setelah menyentuh Aisyah, termasuk sabdanya radhiyallahu
'anhu: (Saya biasa tidur di depan Rasulullah SAW, dan kakiku berada di kiblat, maka
ketika dia sujud, dia mengedipkan mata padaku) Setuju. Dan perkataannya
radhiyallahu 'anhu: (Aku kehilangan Rasulullah SAW, dari tempat tidur pada suatu
malam, dan aku mencarinya, dan tanganku jatuh ke telapak kakinya) Diriwayatkan
oleh Muslim (No. 486).
Ketiga: Adapun ayat yang dimaksud dengan sentuhan di dalamnya adalah
persetubuhan, sebagaimana difirmankan Tuhan Yang Maha Esa atas izin Maryam
yang saleh: (D…

Maliki dan Hambali menggabungkan dalil kedua kelompok tersebut, dan


mengatakan: Sentuhan yang membatalkan wudhu adalah kontak kulit dengan
syahwat, dan inilah yang dimaksud dalam ayat mulia. Aisyah radhiyallahu 'anhu,
pada dua hadits sebelumnya tidak membatalkan wudhu.
Pertimbangkan buku-buku mereka yang disetujui: “Hashiyat al-Dasuqi” (1/411),
“Sharh Muntaha al-Iradat” (1/73), “Al-Mughni” oleh Ibnu Qudamah (1/142).
Fatwa yang disetujui di Rumah Fatwa adalah mazhab Syafi'i, karena lebih berhati-
hati dari apa yang ditunjukkan oleh makna nyata dalam Al-Qur'an.Adapun hadits
Aisyah, Imam al-Nawawi menjawabnya dengan mengatakan : “Mereka mengartikan
hadits tersebut dengan maksud bahwa dia mengedipkan mata padanya melalui
sebuah penghalang, dan hal ini terlihat dari keadaan orang yang tidur, maka tidak
ada indikasi di dalamnya bahwa hal itu tidak terbantahkan.” Ah, Sharh Muslim (4
/230). Tuhan tahu.

You might also like