You are on page 1of 14

SOSIOHUMANIORA:

Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial dan Humaniora


SOSIOHUMANIORA, 9(2), Agustus 2023, pp. 155-168
2579-4728 (E-ISSN) | 2443-180X (P-ISSN)

Spirit kebersihan masyarakat penglipuran Bali: Konvergensi


nilai keberagamaan dan kearifan lokal
Fathorrahman1*, Muh. Syamsuddin2
1Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Jl. Laksda Adisucipto, Sleman, Indonesia
2Badan Riset dan Inovasi Nasional, Jl. M.H. Thamrin No.8, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Indonesia
Correspondance: fathorrahman@uin-suka.ac.id

Received: 25 January 2023; Reviewed: 15 March 2023; Accepted: 7 April 2023


Abstract: This paper explains the spirit of cleanliness which is constructed in the life of the people of
Penglipuran Bali. By synergizing local wisdom and religious spirit, the Penglipuran community manifests a
culture of clean behavior and good environmental care. Various religious concepts that refer to the Hindu
belief system, Penglipuran people derive transcendental concepts such as Tri Hita Karana in their daily
lives and in their sphere of life. This paper poses two important questions as the basis for the analysis of
the problem. First, What is the concept of environmental cleanliness according to the Penglipuran
community. Second, is there a meeting point for the value of local wisdom and the spirit of religion in
guiding public awareness in realizing environmental cleanliness. The writer analyzed this problem using a
sociological approach in the perspective of interpretive understanding. From the research process
carried out, the authors found that the meaning of cleanliness constructed by the Penglipuran community
is based on value of religiousity. Through Hindu teachings that emphasize the concept of Tri Hita Karana,
the people derive it from various spheres of their lives in protecting the environment and building a
culture of clean behavior. On the other hand, Penglipuran community also uses local wisdom as a way of
looking at, how to behave, and how to act in maintaining the cleanliness and beuty of the Penglipuran
environment
Keywords: Penglipuran, local wisdom, Tri Hita Karana, cleanliness
Abstrak: Tulisan ini menjelaskan spirit kebersihan yang dikonstruksi dalam kehidupan masyarakat
Penglipuran Bali. Dengan menyinergikan kearifan lokal dan spirit keberagamaan, masyarakat
penglipuran memanifestasikan budaya perilaku bersih dan merawat lingkungan dengan baik. Berbagai
konsep keberagamaan yang mengacu pada sistem kepercayaan Hindu, masyarakat Penglipuran
menderivasi konsep transendental seperti Tri Hita Karana dalam keseharian dan di lingkup
kehidupannya. Ada dua pertanyaan penting sebagai pijakan analisis masalahnya. Pertama, Bagaimana
konsep kebersihan lingkungan menurut masyarakat Penglipuran. Kedua, Adakah titik temu nilai kearifan
lokal dan spirit keberagamaan dalam memandu kesadaran masyarakat dalam mewujudkan kebersihan
lingkungan. Untuk menganalisis pertanyaan tersebut, penulis menggunakan pendekatan sosiologis dalam
perspektif interpretative understanding. Dari proses telaah yang dilakukan, penulis menemukan bahwa
spirit kebersihan yang dikonstruksi oleh masyarakat penglipuran berbasis pada nilai keberagamaan.
Melalui ajaran Hindu yang menekankan pada konsep Tri Hita Karana, masyarakatnya
menderivasikannya ke berbagai lingkup kehidupan mereka dalam menjaga lingkungan dan membangun
budaya perilaku bersih. Selain itu, masyarakat penglipuran juga menggunakan kearifan lokal sebagai cara
pandang, cara bersikap, dan cara bertindak dalam menjaga kebersihan dan keasrian lingkungan
penglipuran.
Kata Kunci: penglipuran, kearifan lokal, Tri Hita Karana, kebersihan

© 2023 The Authors This work is licensed under a Creative


https://doi.org/10.30738/sosio.v9i2.14180 Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License

155
Spirit kebersihan masyarakat penglipuran Bali: Konvergensi nilai keberagamaan dan
kearifan lokal

PENDAHULUAN
Pada tahun 2016, Executive Director World Tourism Organization (UNWTO)
Shanzhong Zhu merilis hasil survey tentang desa paling bersih di dunia. Peringkat
pertama diduduki oleh desa Giethoorn yang terletak di Overijssel, Belanda. Peringkat
kedua diraih desa Mawlynnong Meghalaya india. Adapun peringkat ketiga diduduki oleh
desa Penglipuran Bali. Prestasi kebersihan lingkungan yang diraih oleh ketiga desa
tersebut, terutama desa Penglipuran Bali tentu menjadi kebanggaan semua masyarakat.
Desa Penglipuran Bali yang secara administratif berada di kabupaten Bangli Bali
dan secara geografis berada dalam negara kesatuan Indonesia tentu akan
mengharumkan nama Indonesia di kancah dunia (Wibowo, 2019). Meskipun tak dapat
dipungkiri, keberadaan Bali sudah terkenal dan meluas citra baiknya, terutama di bidang
pariwisata, sudah mengharumkan nama Indonesia sejak puluhan tahun yang lalu.
Namun, predikat kebersihan lingkungan peringkat tiga yang diperoleh desa Penglipuran
Bali akan menambah deretan prestasi dan prestisius negara Indonesia. Apalagi torehan
prestasi ini diulas detail oleh sebuah situs terkemuka di dunia maya seperti situs
www.bombastis.com.
Dalam kaitan ini, torehan prestasi kebersihan lingkungan yang diraih desa
Penglipuran bukan diperoleh secara tiba-tiba. Akan tetapi ada pengkondisian ekosistem
yang memadai dan sistemik yang dilakukan oleh masyarakat Penglipuran hingga
akhirnya dicatat sebagai desa terbersih (Sudiarta & Nurjaya, 2017). Pengkondisian ini
meliputi keinginan bersama dan kepedulian berbagai lapisan masyarakat untuk
merawat infrastruktur papan yang diwarnai corak kediaman tradisional yang antik dan
dilingkupi oleh taman-taman yang eksotis (Doherty, 2005). Bahkan sarana mobilitas
masyarakat banyak ditempuh dengan alat transportasi yang ramah lingkungan dan
melarang keberadaan yang memicu polusi udara (Adi, 2004). Ditambah lagi kesadaran
masyarakat yang melestarikan nilai-nilai kearifan lokal dengan menggunakan bambu
sebagai bahan utama dalam pembuatan rumah, tempat belanja, dan ruang publik lainnya
(Pitana, 2002).
Di samping itu, partisipasi masyarakat dalam mengkondisikan corak kehidupan
yang harmonis, budaya lokal dan pola kohesi sosial seperti hubungan kekerabatan,
kekeluargaan, dan interrelasi sosial antar anggota masyarakat di desa yang
mencerminkan katakter keindonesiaan berpengaruh besar terhadap penciptaan iklim
kehidupan yang rukun, damai, saling menghormati, dan penuh toleransi (Park, 2012).
Perpaduan antara ekosistem lingkungan yang dibuat secara natural dan
pelestarian interrelasi sosial yang dikondisikan secara harmonis semakin memperkuat
keseimbangan kosmologis desa Penglipuran (Paramita & Naba, 2022) hingga diakui
sebagai desa terbersih ketiga di dunia. Hadirnya keterlibatan warga ini tentu dilatari
kesadaran bersama bagaimana menumbuhkan spirit kebersihan lingkungan dengan cara

156 | SOSIOHUMANIORA, 9(2), Agustus 2023, pp. 155-168


2579-4728 (E-ISSN) | 2443-180X (P-ISSN)
Fathorrahman & Muh. Syamsuddin

mengkonvergensikan antara kearifan lokal dan spirit keberagamaan hingga tercipta


iklim kehidupan yang nyaman (Bramwel, 1989; Tucker & Grim, 2003).
Perpaduan antara ekosistem lingkungan dan pelestarian interrelasi sosial ini
menjadi penopang utama hingga bisa menggerakkan berbagai lapisan masyarakat
Penglipuran untuk peduli dan berpartisipasi secara rerata dalam mewujudkan
kebersihan lingkungan secara berkelanjutan (Faturrahman, 2020). Dalam hal ini,
prestasi kebersihan lingkungan desa Penglipuran yang sudah mengharumkan nama
Indonesia, tentu perlu dikaji dan diteliti dengan masif agar semua masyarakat di
Indonesia bisa mewarisi nilai-nilai keteladanan yang dilakukan masyarakat Penglipuran
dalam menciptakan desa yang sangat bersih.
Melalui perpaduan tersebut, desa penglipuran mempunyai keunikan dan ke-
khasan dengan berbagai desa lainnya (Sudiarta & Nurjaya, 2017). Karakter
lingkungannya yang masih asri dan sejuk, karakter warganya yang masih menampilkan
peradaban asli Bali, sistem sosialnya yang diatur oleh adat, dan keramahan warganya
yang begitu hangat bertemu dengan siapapun. Kesemua ini mencerminkan modal sosial
yang menjadi titik tolak bagi setiap warga untuk meneguhkan komitmen diri sebagai
warga yang peduli kepada lingkungan. Oleh karena itu, menjadi wajar bila pada tahun
2005 desa penglipuran pernah diganjar Kalpataru oleh pemerintah dan pada tahun
2018 dinobatkan sebagai desa terbersih ketiga di dunia oleh situs bombastic magazine.
Torehan prestasi baik yang dimiliki oleh penglipuran tersebut, baik yang diberikan
dari pihak eksternal maupun eksotisme dan kebersihan penglipuran yang begitu terjaga,
tentu tidak lepas dari peran serta pemangku adat yang sejak berpuluh tahun tahun
menjadi garda terdepan dalam melestarikan nilai-nilai kearifan di Penglipuran.
Keberadaan bendesa adat (Ketua Adat) menjadi unsur sangat penting dalam
memelihara aturan-aturan palemahan yang bisa diikuti oleh warga penglipuran. Seruan
moral tentang betapa pentingnya menjaga kebersihan dan merawat lingkungan di
semua kawasan penglipuran dijadikan sebagai pegangan dan pedoman oleh setiap
warganya untuk membiasakan diri berperilaku bersih.
Dalam kaitan ini, di satu sisi kearifan lokal yang begitu dijaga oleh ketua adat dan di
sisi lain spirit keberagamaan yang berbasis pada keyakinan Hindu dilestarikan, maka
lambat laun dua sisi tersebut menjadi sebuah entitas yang saling menafasi dan mewarnai
tumbuhnya kesadaran ekologi masyarakat penglipuran. Perjumpaan dua sisi yang saling
bersimetri tersebut, menciptakan sebuah tapak keteladanan bagi masyarakat
Penglipuran bahwa untuk menjaga kebersihan di lingkungan bisa ditegakkan dengan
dua langkah sekaligus (Taylor, 2010). Satu sisi memanifestasikan nilai-nilai
keberagamaannya dan sisi lain diperkuat dengan nilai-nilai kearifan lokal. Dampaknya,
antara ajaran agama dan kearifan saling berpadu menjadi role model dalam memantik
dan mendorong masyarakat agar saling berlomba-lomba peduli terhadap lingkungan.

157 | SOSIOHUMANIORA, Vol. 9 (1), Februari 2023, hal. 155-168


2579-4728 (E-ISSN) | 2443-180X (P-ISSN)
Spirit kebersihan masyarakat penglipuran Bali: Konvergensi nilai keberagamaan dan
kearifan lokal

Untuk mengetahui lebih mendalam tentang peran masyarakat penglipuran dalam


menjaga kebersihannya, ada dua pokok masalah yang menjadi pintu masuk dalam
penelitian ini. Yaitu, pertama, bagaimana konsep kebersihan lingkungan menurut
masyarakat Penglipuran. Kedua, Adakah titik temu nilai kearifan lokal dan spirit
keberagamaan dalam memandu kesadaran masyarakat dalam mewujudkan kebersihan
lingkungan.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan jenis penelitian lapangan
(field research). Melalui penelitian ini, penulis mencermati, mengkaji, dan melihat
langsung bagaimana keterlibatan masyarakat Penglipuran Bangli, Bali secara proaktif
dalam mewujudkan kebersihan lingkungan secara sistemik. Untuk memperoleh data-
data yang dibutuhkan, penelitian ini menggunakan wawancara secara mendalam
terhadap ketua adat atau bendesa adat dan masyarakat Penglipuran Bali. Metode
analisa data yang digunakan adalah tahapan analisis data yang direkomendasikan
Huberman dan Miles yaitu reduksi data, penyajian data, verifikasi data untuk menarik
kesimpulan (Miles & Huberman, 1994).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Spirit kebersihan
Kebersihan yang dipahami sebagai fenomena higienitas satu sisi dikaitkan
dengan kebersihan personal (personal clienship) dan kebersihan lingkungan
(environmental clienship). Keduanya merupakan entitas yang saling berkaitan
sekaligus menentukan corak kebersihan yang melingkupi kehidupan. Dalam konteks
personal, kebersihan berhubungan erat dengan tata cara seseorang dalam
memperlakukan tubuh dengan sarana yang bisa membersihkan. Misalnya, aturan
mandi minimal dua kali dalam sehari, menjaga panca indera dari berbagai noda luar
yang menjangkiti dalam keseharian, mengatur pola sajian makanan yang bisa
menunjang kebersihan dan kesehatan tubuh, dan lain sebagainya (Kementrian
Kesehatan repblik Indonesia, 2011).
Secara sistemik, ada berbagai panduan yang dibuat oleh pemerintah, seperti
kementerian kesehatan yang merumuskan pola hidup bersih yang harus dilakukan oleh
setiap orang. Bahkan, di luar pemerintah, banyak pula berbagai lembaga yang membuat
rumusan hidup bersih yang agak berbeda yang disertai dengan tip-tip praktis untuk
membentuk pribadi yang bersih. Namun semua itu mempunyai tujuan yang sama
bagaimana memberi kontribusi penting perihal menciptakan pola hidup bersih pada
tingkat personal.
Adapun dalam konteks lingkungan tentu terdapat pola yang agak berbeda perihal
bagaimana memperlakukan kebersihan. Meskipun ada spirit dan definisi yang serupa
tentang seperti apa kebersihan yang harus diciptakan dan bagaimana kebersihan itu
158 | SOSIOHUMANIORA, 9(2), Agustus 2023, pp. 155-168
2579-4728 (E-ISSN) | 2443-180X (P-ISSN)
Fathorrahman & Muh. Syamsuddin

diperuntukan bagi kehidupan yang sesuai dengan selera kebanyakan, tentu perlu ada
aturan yang menjadi pijakan bersama untuk menyepakati corak kebersihan yang
memadai bagi semua pihak. Oleh karena itu, untuk mewujudkan kebersihan lingkungan
tidak seperti merealisasi kebersihan pada tingkat personal, melainkan ada prosedur dan
ketetapan yang bisa digunakan berdasarkan aturan masyarakat.
Semisal membuat aturan bersama perihal menciptakan kebersihan di sebuah
lahan yang menjadi hunian bersama. Menentukan model kerja dalam melakukan
kebersihan antar satu dengan yang lain. Bekerjasama dengan berbagai pihak, baik
pemerintah maupun swasta untuk mendukung kegiatan kebersihan lingkungan.
Merumuskan pendekatan budaya agar tertanam dalam diri setiap orang perihal
pentingnya kepedulian terhadap kebersihan lingkungan. Kesemua itu menjadi sebuah
perangkat nilai yang bila dijalankan dengan baik akan bisa menciptakan kebersihan
lingkungan dengan baik pula.
Dalam kaitan ini, untuk mewujudkan kebersihan lingkungan tentu harus
dilaksanakan dengan berbagai cara dan terobosan yang inovatif agar bisa memantik
kesadaran dan bisa bersama sama menjalan tugas kolektif-kolegialnya di dalam
kebersihan lingkungan. Bahkan, bila dimungkinkan ada sebuah sistem yang mengatur
adanya sanksi yang diperuntukkan bagi setiap orang yang tidak mendukung dan tidak
menjalankan tugasnya. Sebab, bila kegiatan kebersihan lingkungan tidak ditunjang
secara bersama-sama dan hanya mengandalkan segelintir orang, maka akan banyak
kendala yang dihadapi untuk mewujudkan kebersihan lingkungan (Tim MKU PLH,
2014).
Selain dalam lingkungan personal dan lingkungan, makna kebersihan juga
diperluas dalam konteks spiritual. Sebagai contoh penjabaran makna kebersihan di
lingkup spiritual adalah menarasikan kesucian sebagai sebuah cara pandang dalam
menjalankan ritual keagamaan. Dalam praktek keagamaan, kesucian dijelaskan secara
luas dan beragam sekaligus disesuaikan dengan aturan internal agamanya (Sujana,
2018).
Dalam kaitan ini, di masing-masing agama biasanya menggunakan pandangan
normatifnya untuk mengatur bentuk kebersihan yang mensucikan. Dengan kata lain,
kebersihan personal dan lingkungan yang dimaknai sebagai bebas dari noda juga
dilingkupi oleh sistem kepercayaan yang bisa menghubungkan dengan aspek
transendentalnya. Sebab, dalam konteks spiritual, kebersihan tidak hanya berkaitan
dengan interaksi antar individu maupun alam, akan tetapi kebersihan itu menjadi refleksi
kedirian yang dipersembahkan kepada Tuhan yang diyakini dalam sistem
keberagamannya.

159 | SOSIOHUMANIORA, Vol. 9 (1), Februari 2023, hal. 155-168


2579-4728 (E-ISSN) | 2443-180X (P-ISSN)
Spirit kebersihan masyarakat penglipuran Bali: Konvergensi nilai keberagamaan dan
kearifan lokal

Kebersihan dalam ajaran Hindu


Kebersihan merupakan sebuah ajaran yang ditegaskan dalam berbagai agama.
Dalam Islam, terdapat al qur’an dan dalil dalil naqli yang menjelaskan petingnya menjaga
kebrsihan lingkungan serta menyerukan kepada ummat Islam untuk melestarikan
lngkungan dengan pendekatan tauhid. Demikian pula dengan agama kristiani yang
melalui kitab-kitab perjanjiannya secara gamblang mengulas teologis-ekologis sebagai
landasan spiritual dalam menyikapi kebersihan lingkungan. Tak terkecuali dalam agama
Hindu juga menekankan pentingnya menjaga kebersihan.
Dalam ajaran agama Hindu terdapat sloka-sloka Upanisad yang menjadi sumber
ajaran kelestarian kebersihan lingkungan yang dihayati oleh ummat Hindu sekaligus
dimanifestasikan dalam kehidupannya. Dalam kaitan ini, sloka upanisad menguraikan
dzat Brahman sebagai landasan teologis yang dipersonifikasi pada segala zat seperti
manusia, tetumbuhan, hewan, dan atman (Benawa, 2018). Keberadaan semua zat di
dunia ini yang dipersonifikasi sebagi Brahman bertujuan untuk menyadarkan manusia
bahwa semua makhluk harus diperlakukan dengan baik dan sesuai dengan kodrat.
Semisal bumi dan alam yang menjadi tempat kehidupan dan sumber penghidupan
semua makhluk hidup, terutama manusia harus dikelola secara alami. Sebab, ketika
manusia menyikapi bumi dan alam secara alami serta melestarikan kebersihan sebagai
bagian penting bagi keseimbangan kosmologis, maka secara tidak langsung manusia
menerapkan ajaran pantheisme yang menekankan pentingnya menghargai lingkungan
yang di dalam zatnya dilingkupi oleh dzat Brahman.
Selain itu, ketika manusia menginginkan sebuah kebahagiaan dalam hidupnya
maka sikap paling elementer yang harus dilakukan terdapat alam adalah bagaimana
menerapkan rasa cinta dan penghormatan kepada bumi dan alam (Benawa, 2018).
Dengan sikap simbiosis mutualis demikian, maka menjadi keniscayaan bagi manusia
untuk tidak bersikap semena mena dan eksploitatif terhadap bumi dan alam. Sebab, bila
perlakuan manusia terhadap bumi dalam alam berlebihan dan berakibat pada kerusakan
ekosistem yang ada pada bumi dan alam, maka kerusakan dan kesengsaraan yang
dialami oleh bumi dan alam karena ditimbulkan oleh perilaku tak bertanggung jawab,
akan berdampak pula pada manusia.
Dalam konteks ini, ajaran Hindu yang tertuang dalam sloka Upanisad yang
menggambarkan Brahman sebagai dzat yang menafasi semua zat dan bahkan menubuh
di setiap makhluk seperti bumi, alam, hewan, dan manusia. Bahkan, secara eksplisit pula
dzat Brahman dijadikan sebagai landasan kepercayaan pantheisme sebagai spirit
mutualisme yang menjelaskan nilai kearifan lokal bahwa “barang siapa yang menanam
dia akan mengetam.” Dengan kata lain, tiada kebahagian maupun kesengsaraan akan
menimpa manusia, terkecuali manusia bisa memahami dan menghayati bagaimana
memperlakukan bumi dan alam dengan benar.

160 | SOSIOHUMANIORA, 9(2), Agustus 2023, pp. 155-168


2579-4728 (E-ISSN) | 2443-180X (P-ISSN)
Fathorrahman & Muh. Syamsuddin

Selain itu, dalam ajaran sloka Upanisad ada sebuah dictum Tat Twam Asi yang
tertuang dalam Cadigya Upanisad yang menjelaskan makna “Itu adalah Kamu” (Benawa,
2018). Secara semiotic, diktum ini menjelaskan sebah konsekwensi logis tentang sikap
dan perilaku manusia terhadap alam. Untuk memahami diktum ini tentu membutuhkan
interpretasi dan refleksi yang mendalam agar memberikan petunjuk kepada manusia
bagaimana memperlakukan alam sebagaimana memperlakukan dirinya sendiri. Dalam
hal ini, dictum ini sebuah ajaran tentang kehidupan dan penghidupan yang menjadi sifat
alami manusia. Selain itu, dictum ini menjadi nafas hidup yang bisa menggerakkan
kehidupan dan penghidupan manusia.
Spirit Kebersihan Berbasis Tri Hita Karana
Ajaran kebersihan yang dijelaskan dalam agama Hindu membentuk sebuah
spiritual ekologi yang terbangun dalam masyarakat Penglipuran. Lingkungan
penglipuran yang sejak dahulu hingga saat ini menampakkan wajah keasrian dan
kesejukan menjadi kawasan yang strategis untuk menyatukan diri dengan alam yang
dilapisi dengan nuansa sakralitas (Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Republik
Indonesia., 2004). Konsep Tri Hita Karana yang mendedahkan keseimbangan antara
manusia, alam, dan Tuhan menjadi sebuah tuntunan moral masyarakat penglipuran
dalam melakoni kehidupannya. Bahkan, dalam perilaku yang lebih konkrit dan sangat
dibutuhkan masyarakat luas ketika masyarakat luas sedang kebingungan menemukan
solusi terbaik dan tepat dalam menyikapi dan mengatasi ancaman kerusakan
lingkungan, di kalangan masyarakat penglipuran sudah terbiasa dengan upaya untuk
menjadikan diri masing-masing sebagai “manusia solutif” dalam menyikapi lingkungan
melalui konsep Tri Hita Karana. (wawancara dengan I Wayan 3/9/2019)
Dalam keseharian masyarakat penglipuran, konsep Tri Hita Karana menjadi titik
tolak untuk menumbuhkan kesadaran transcendental dalam memanifestasikan nilai-
nilai spiritualitas dalam tigas aspek paling elementer yaitu, pertama, menjaga kebersihan
lingkungannya. Kedua, melestarikan hutan desa. Ketiga, melestarikan pura desa.
(wawancara dengan I Wayan 3/9/2019) Ketiga aspek ini menjadi sebuah consensus
bersama yang tidak hanya dirumuskan secara top down, melainkan berawal dari
partisipasi kewargaan yang menyepakati secara bottom up agar eko sistem
pengluipuran terpelihara dengan baik. Konsekwensinya, setiap orang tidak boleh
melakukan aktifitas ekonomi di sepanjang jalan kawasan penglipuran. Adapun batas
area jual-belinya hanya di dalam pekarangan agar tidak mengganggu jalan dan merusak
pemandangan kawasan penglipuran yang tertib.
Secara detail, ketiga aspek yang menjadi semacam kepakatan bersama di
penglipuran sama-sama dinafasi oleh konsep Tri Hita Karana dalam perjalinan ekologi
spiritualitasnya. Semisal pada aspek pertama yaitu menjaga kebersihan lingkungannya,
maka lingkungan yang dimaksud adalah ketiga unsur yang terdiri dari Parhyangan,
pawongan, dan pelemahan. Secara esetorik, ketiga unsur ini menjadi turunan filosofis

161 | SOSIOHUMANIORA, Vol. 9 (1), Februari 2023, hal. 155-168


2579-4728 (E-ISSN) | 2443-180X (P-ISSN)
Spirit kebersihan masyarakat penglipuran Bali: Konvergensi nilai keberagamaan dan
kearifan lokal

dari konsep Tri Hitarana yang mendedahkan keterjalinan emosional-batiniyah antara


manusia, alam, dan Tuhan (Benawa, 2018).
Bagi masyarakat Penglipuran, Parhyangan adalah sebentuk bangunan fisik yang
dijadikan tempat suci dan digunakan untuk ibadah. Dan menariknya, di tiap-tiap rumah
yang ada di kawasan penglipuran terdapat parhyangan atau dalam istilah lain pura,
sanggah, atau pamrajan. Secara implisit, keberadaan parhyangan yang berada dalam
satu kawasan dengan tempat tinggal menjelaskan sebuah titik sambung kasalehan
personal melalui cara pengagungan sang Hyang Widi dan sekaligus menjadikan
parhayangan sebagai manifestasi atma atau paramatma dan sekaligus simbol pengingat
agar selalu peduli terhadap alam sebagaimana mengekspresikan kepedulian kepada
sesame manusia. Konsekwensinya, setiap orang harus memanifestasikan kepedulian
lingkungannya dengan cara menjaga kebersihan dan merawat lingkungan agar selalu
asri dan tidak tercemar oleh kotoran. Apalagi, kebersihan menjadi salah satu bentuk
sesembahan yang diyakini oleh masyarakat penglipuran sebagai perantara
ketersambungan batin antara manusia dengan sang Hyang Widi. Maka tak heran, bila di
penglipuran ada semacam ritus harian yang dilakukan di pagi hari oleh setiap warga,
yaitu mengawali aktifitas hariannya dengan membersihkan parhyangan lalu pawongan
dan terakhir palemahan (Benawa, 2018).
Unsur lain yang menjadi derivasi spiritualitas masyarakat penglipuran dalam
menjaga kebesihan adalah pawongan, yaitu tempat tinggal atau rumah (bale banjar).
Letak pawongan yang secara geoghrafis berada di belakang parhyangan, satu sisi
menjadi gambar ketundukan warga penglipuran terhadap titah sang Hyang Widi untuk
menjalankan tugas dan kewajibannya di dunia. Di sisi lain, pawongan menjadi semacam
prana atau tempat yang menjadi salah satu sumber tumbuhnya energi seorang manusia
bisa hidup. Di mana, melalui energ yang diperoleh dari pawongan atau rumah tersebut
setiap orang akan bisa melakukan banyak rupa baik untuk kemasalahatan dirinya atau
kemaslahatan pihak lain. (Wawancara dengan ibu ketut 3/9/2019)
Dalam hal ini, bagi masyarakat penglipuran, keberadaan pawongan yang terletak
di belakangan parhyangan dan meskipun menjadi sebuah prana yang bisa memberikan
energi untuk melakukan apapun saja yang terkait dengan keberlangsungan hidupnya,
setiap warga harus menyinergikan dampak kesalehan yang dipancarkan dari sang hyang
widi untuk kebajikan bersama. Maka, ketika setiap warga yang memperoleh energi baru
dari lingkup pawongannya, namun energi tersebut harus diperuntukkan oleh kewajiban
sosial lain seperti pelestarian lingkungan yang ramah dan merawat kebersihan. Oleh
karena itu, menjadi wajar bila dalam keseharian, yang begtiu tampak di kawasan
penglipuran adalah ada kehendak bersama antar masing warga untuk mengawali
aktifitas pagi harinya dengan melakukan bersih-bersih di lingkungan. dan bersih-bersih
dimulai dari parhyangan hingga pawongan. Bahkan, bersih-bersih juga merambah ke

162 | SOSIOHUMANIORA, 9(2), Agustus 2023, pp. 155-168


2579-4728 (E-ISSN) | 2443-180X (P-ISSN)
Fathorrahman & Muh. Syamsuddin

sekitar palemahan, yang menjadi kawasan bersama masyarakat, yaitu selokan maupun
jalan.
Adapun unsur terakhir yang menjadi kerangka persambungan kesadaran ekologis
adalah palemahan, yaitu lingkungan ada di penglipuran. Dalam hal ini, lingkungan
menjadi pondasi penting terjalinnya sebuah interaksi yang harmonis antar sesame (Dita
et al., 2019). Oleh karena itu, ketika dalam sebuah palemahan menentukan sebuah
kesepakatan bersama untuk menajalankan sebuah aturan hidup yang bersandar pada
Sang Hyang Widi dan menjadi hamba yang bertanggung jawab pada lingkungan
sosialnya, maka konsekwensi logis yang harus dilakukan adalah, bagaimana
mempertanggung jawabkan komitmen tersebut dalam kesehariannya.
Nilai-nilai Kearifan Lokal
Kearifan lokal merupakan sebuah cara pandang, cara bersikap, dan cara bertindak
yang dilakukan oleh seseorang maupun komunitas atau masyarakat dalam menanggapi
dan mengelola perubahan sosial dan perkembangan zaman yang terjadi dalam
kehidupannya. (I Ketut Ngurah Salibra, “revitalisasi kearifan lokal di Bali” makalah tidak
diterbitkan) Ketika, sebuah masyarakat tetap melestarikan otentisitas lingkungannya
dan dipagari dengan berbagai tradisi agar masyarakat terdorong untuk merasa memiliki
terhadap otentisitas lingkungannya tersebut, maka bisa dikatakan mempunyai sadar
budaya. Bahkan melalui sadar budaya tersebut akan tumbuh sebuah gagasan menjaga
peradaban yang hidup dalam masyarakat hingga kapan pun baik peradaban yang
berkaitan dengan sakral maupun yang profan sekalipun (Sartini, 2004).
Di tengah kuatnya arus modernisasi yang mulai merambah ke berbagi sendi
kehidupan masyarakat, tidak sedikit dari berbagai kalangan yang mulai terjebak dalam
kubangan modernisasi dan melakukan pembongkaran baik secara materiel maupun
immaterial dengan mengatasnamakan kemajuan zaman. (David Ray Griffin; 2005). Oleh
karena itu, ketika sebuah komunitas dan masyarakat selalu terdorong untuk menjaga
peradaban otentisitasnya dengan berbagai cara, apalagi dinafasi dengan praktik
keberagamaan untuk meniupkan ruh sakralisme dalam berbagai unsur peradabannya,
maka komunitas tersebut akan selalu mempunyai daya tarik dan keunikan yang akan
disenangi dan disukai banyak pihak (Fajarini, 2014).
Dalam kaitan ini, penglipuran merupakan desa yang sangat mumpuni menjaga
kearifan lokal. Meskipun di banyak sisi, desa penglipuran dihadapkan dengan berbagai
tantangan untuk melakukan pembenahan dan perubahan, namun ada kehendak
bersama di kalangan warganya untuk merespon setiap perubahan dan perkembangan
tanpa mengurangi nilai-nilai otentisitas desa Penglipuran yang sangat unik dan khas
(Muliawan, 2017). Selain itu, warga penglipuran menyesuaikan dengan berbagai barang-
barang modern seperti motor, mesin cuci, televisi, handphone, dan semacamnya bukan
berarti merubah cara pandang dan gaya hidupnya yang dapat mempengaruhi sistem
sosialnya (Kasuma & Suprijanto, 2012). Oleh karena itu, karena kegigihan dan

163 | SOSIOHUMANIORA, Vol. 9 (1), Februari 2023, hal. 155-168


2579-4728 (E-ISSN) | 2443-180X (P-ISSN)
Spirit kebersihan masyarakat penglipuran Bali: Konvergensi nilai keberagamaan dan
kearifan lokal

konsistensi masyarakat penglipuran untuk menjaga tradisinya, pada tahun 1993


penglipuran secara resmi dijadikan sebagai desa wisata. Melalui pengakuan ini maka
Penglipuran termasuk kategori desa yang mandiri, desa tanpa golongan dan tanpa
ikatan, serta tidak ada sistem kasta dalam kehidupan warganya. (Wawancara dengan
ketua adat I Wayan Supat, 3/9/2019)
Menguatnya cara pandang warga penglipuran dalam menjaga kearifan lokal
berpengaruh dalam berbagai bentuk penyikapan. Di antaranya cara menentukan bentuk
pekarangan yang memuat unsur lokalitas dan otentisitas peradaban Bali yang
dipengaruhi sistem kepercayaan Hindu. Dimana konsep Tri Hita Karana yang
menguraikan tiga elemen dasar dalam kehidupan masyarakat Bali yaitu, Parahyangan,
pawongan, dan palemahan menjadi pandangan dunia (world view) yang dilestarikan dan
diderivasi hingga ke dalam praktik kesehariannya (Cahyono et al., 2018). Di antara
contoh penyikapan yang sangat berperanguh dalam tata ruang pekarangannya adalah
dilandasi oleh tri mandala. Di mana corak tri mandala yang dijadikan rujukan dalam
menata pekarangannya dipengaruhi oleh konsep Tri Hita Karana yang satu sisi
menghubungan sesama manusia (pawongan) dan menghubungkan dengan alam
(palemahan) dan Tuhan (parahyangan). (Wawancara dengan Klih Eka, 3/9/2019 , baca pula,
(Sahidah, 2017))
Dalam konsep Tri Mandala ada tiga ranah yang mempunyai nilai dan peruntukan
yang berbeda-beda (Suryada, n.d.), yaitu. Pertama, utara mandala yang digunakan oleh
warga penglipuran sebagai tempat sembahyang kepada sang Hyang Widi. Kedua,
Madya Mandala yang digunakan sebagai tempat pemukiman atau rumah keluarga oleh
warga penglipuran. Bahkan dalam ranah madya mandala ini terdapat beberapa ruang
yang diatur oleh sedemikian rupa dengan mengikuti aturan main adat. Dalam tata ruang
ini tempat tidur berada di sebelah utara, tempat keluarga atau kongkow berada di
wilayah tengah, dan untuk berbagai kepentingan pembuangan hajat kotor berada di
sebelah timur. Ketiga, nista mandala yang berada di bagian belakang yang berisi berbagai
kebutuhan lain yang dianggap tempat yang paling cela seperti jemuran, garasi,
penyimpanan barang-barang dan semacamnya.
Dalam kaitan ini, untuk menjaga konsistensi warga penglipuran dalam mengikuti
aturan adat dalam menata dan mengelola berbagai dimensi teosofisme dan humanism di
ruang desa maupun ruang pekarangannya, bendesa adat selalu mengingatkan setiap
warga bahwa agar selalu mematuhi aturan adat dan kearifan lokal yang dijunjung tinggi
di kawasan penglipuran. Sebab, secara historis-filosofis, desa penglipuran merupakan
desa yang paling kuat dalam mempertahankan tradisi nenek moyang secara turun
menurun. Dengan komitmen sosial warga penglipuran dalam menjaga adat dan kearifan
menjadi wajar bila warga mempunyai kesadaran tinggi dalam merawat lingkungan
dengan baik dan selalu siaga dalam menjaga kebersihan wilayahnya.

164 | SOSIOHUMANIORA, 9(2), Agustus 2023, pp. 155-168


2579-4728 (E-ISSN) | 2443-180X (P-ISSN)
Fathorrahman & Muh. Syamsuddin

Kearifan lokal yang sangat kental dalam kehidupan masyarakat penglipuran akan
menjadi pengikat sosial bagi semua warga (I Ketut Ngurah Salibra, “revitalisasi…makalah
tidak diterbitkan) untuk menjalankan berbagai aturan yang disepakatai bersama.
Bahkan dalam menghadapi berbagai perkembanagn zaman dan perubahan sosial
sekalipuan, kearifan akan menjadi tuntunan (Harirah et al., 2021) yang selalu melandasi
sikap aproriasi dalam memenuhi ruang gerak perkembangan dan perubahan tersebut.
Sebab, bagi masyrakat penglipuran, kearifan lokal sudah menjadi pandangan hidup,
pengetahuan, dan strategi dalam memenuhi kebutuhan mereka (Alfian, 2013).
Dampaknya, tidak berlebihan bila melalui kearifan lokal selalu memperkuat
identitas diri (Alfian, 2013) mereka sebagai warga yang satu sisi memanifestasikan spirit
keberagamaan dan secara bersamaan melestarikan pula nilai-nilai kearifan dalam
kesehariannya (Williams, 1983).

KESIMPULAN
Dari berbagai uraian tentang makna kebersihan yang diimplementasikan
masyarakat penglipuran dengan mengacu kepada spirit keberagamaan dan kearifan
lokal, ada dua kesimpulan yang bisa dijabarkan di bawah ini:
Pertama, Pola pengelolaan kebersihan dan pelestarian lingkungan yang
berlangsung dalam masyarakat penglipuran Bali berlangsung secara kolektif kolegial.
Antar warga saling terlibat dalam melaksanakan kewajiban sosial dalam membudayakan
perilaku bersih setiap hari. Bahkan, dalam keseharian mereka, melakukan kebersihan di
berbagai area, baik di dalam pekarangan rumah maupun di lingkungan seklitar menjadi
tugas pertama sebelum mereka menjalankan berbagai aktifitas lainnya. Dampaknya,
lingkungan desa penglipuran selalu tampak bersih dan aura lingkungannya
menunjukkan keasrian yang menyejukkan. Dampak lanjutannya, menjadi wajar bila
penglipuran diganjar berbagai prestasi seperti raihan kalpataru pada tahun 2015 dan
dinobatkan sebagai desa terbersih ketiga di dunia setelah Belanda dan India yang
dikeluarga oleh magazine bombastic. Prestasi ini tentu terwujud berkat konsistensi dan
kegigihan warga penglipuran dalam membangun komitmen diri dalam menjaga
lingkungan.
Kedua, Terciptanya iklim desa penglipuran yang bersih dan suasanya yang begtiu
asri, ditiopang berbagai unsure yang terlibat di dalamya. Namun yang lebih utama dalam
menumbuhkan kesadaran lingkungan bersih adalah kuatnya masyarakat dalam
memanifestasikan spirit kearifan lokal dalam cara pandang, cara bersikap, dan cara
bertindak. Berkaitan dengan cara pandang yang tumbuh di kalangan masyarakat
penglipuran beririsan pula dengan spirit keagamaan Hindu. Di mana, dalam sistem
kepercayaan mereka terdapat konsep Tri Hita Karana yang terdiri dari Parahyangan,
Pawongan, dan Palemahan. Ketiga unsure ini membangun hubungan simbiosis-mutulis
yang setara dan dapat merekatkan hubungan antara manusia dengan manusia, manusia

165 | SOSIOHUMANIORA, Vol. 9 (1), Februari 2023, hal. 155-168


2579-4728 (E-ISSN) | 2443-180X (P-ISSN)
Spirit kebersihan masyarakat penglipuran Bali: Konvergensi nilai keberagamaan dan
kearifan lokal

dengan alam, dan manusia dengan Tuhan. Secara derivasional, konsep Tri Hitarana juga
dijadikan sebagai tuntunan oleh masing-maisng warga dalam mengelola ruang geraknya
baik di ruang desa maupun ruang rumah tangga. Di mana melalui Tri Hita Karana
dimanifestasikn dalam tiga unsure berikutnya yang dikenal dengan konsep Tri Mandala.
melalui Tri Mandala ini warga penglipuran membangun harmonisasi kosmologis dalam
menjalankan tugas hariannya. Terutama yang berkaitan erat dengan tugas memelihara
lingkungan agar selalu bersih.

DAFTAR PUSTAKA
Adi, P. N. (2004). Desa Wisata Penglipuran: Menuju Pemberdayaan Warga Desa.
Dalam Majalah Ilmiah Analisis Pariwisata, 6.
Alfian, M. (2013). Potensi kearifan lokal dalam pembentukan jati diri dan karakter
bangsa. Prociding the 5th International Confference on Indonesian Studies:
Etnicity and Globalization.
Benawa, A. (2018). EKO-SPIRITUAL Dimensi Iman yang Lama Terabaikan. Jurnal
PASUPATI, 5(2), 153–177.
https://doi.org/https://doi.org/10.37428/pspt.v5i2.119
Bramwel, A. (1989). Ecology in The 20 century A History. Yale Press.
Cahyono, H., Miartha, I. W., & Sujana, I. W. (2018). Strategi Prajuru Hulu Apad
dalam mengimplementasikan ajaran Tri Hita Karanadi desa Pakraman
Penglipuran Kabupaten Bangli. Jurnal Penelitian Agama Hindu, 2(1), 214.
https://doi.org/10.25078/jpah.v2i1.472
Dita, M. A. D. P., Wiranata, I. M. R. A., Sari, K., & Sujana, I. W. (2019). Penglipuran
sebagai desa edukasi berbasis Tri Hita Karana dalam pengembangan
karakter SD. Indonesian Values and Character Education Journal , 2(2), 97–
105.
Doherty, B. (2005). Ideas and Actions in the Green Movement. Routledge.
https://doi.org/10.4324/9780203994108
Fajarini, U. (2014). Peran kearifan lokal dalam pendidikan karakter. SOSIO
DIDAKTIKA: Social Science Education Journal, 1(2).
https://doi.org/10.15408/SD.V1I2.1225
Faturrahman, F. (2020). Budaya perilaku bersih di Desa Penglipuran Bali. Jurnal
Sosiologi Reflektif, 15(1), 149. https://doi.org/10.14421/jsr.v15i1.1960
Harirah, Z., Azwar, W., & Isril, I. (2021). Melacak eksistensi kearifan lokal dalam
kebijakan pengembangan pariwisata kabupaten Siak di era globalisasi. Jurnal
Ilmu Sosial Dan Humaniora, 10(1), 70. https://doi.org/10.23887/jish-
undiksha.v10i1.26629

166 | SOSIOHUMANIORA, 9(2), Agustus 2023, pp. 155-168


2579-4728 (E-ISSN) | 2443-180X (P-ISSN)
Fathorrahman & Muh. Syamsuddin

Kasuma, I. P. A. W., & Suprijanto, I. (2012). Karakteristik Ruang Tradisional pada


Desa Adat Penglipuran, Bali. Jurnal Permukiman, 7(1), 40.
https://doi.org/10.31815/jp.2012.7.40-50
Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2004). Wawasan
budaya untuk pembangunan: menoleh kearifan lokal. Pilar Politika.
Kementrian Kesehatan repblik Indonesia. (2011). Pedoman Pembinaan Perilaku
Hidup Bersih Sehat (PHBS).
Miles, M. B., & Huberman, A. M. (1994). Data Management and Analysis
Methods”, dalam Norman K. Denzim & Yvona S. Lincoln (eds.), Handbook of
Qualitative and Quantitative Research. London: SAGE Publication.
Muliawan, I. W. (2017). Kearifan Masyarakat Desa Penglipuran Kabupaten Bangli
dalam Melestarikan Tanaman Bambu dan Aplikasinya sebagai Bahan
Bangunan. PADURAKSA: Jurnal Teknik Sipil Universitas Warmadewa, 6(1),
34–43.
Paramita, I. B. G., & Naba, I. B. (2022). Studi ekplorasi pada desa wisata
Penglipuran Kabupaten Bangli. Cultoure: Jurnal Ilmiah Pariwisata Budaya
Hindu, 3(2), 104–113.
Park, P. J. (2012). The Green Movementi. Refremce point press.
https://doi.org/10.1186/1687-1812-2012-146
Pitana, I. G. (2002). Pariwisata, Wahana Pelestarian Kebudayaan dan Dinamika
Masyarakat Bali. Denpasar: Universitas Udayana.
Sahidah, A. (2017). Hubungan Antara Tuhan, Manusia dan Alam dalam al-Quran:
Aplikasi Semantik Toshihiko Izutsu. FIKRAH, 5(2), 287.
https://doi.org/10.21043/fikrah.v5i2.2722
Sartini, S. (2004). Menggali Kearifan Lokal Nusantara: Sebuah Kajian Filsafati.
Jurnal Filsafat, 14(2), 111–120.
Sudiarta, M., & Nurjaya, I. W. (2017). Keunikan Desa Penglipuran Sebagai
Pendorong Menjadi Desa Wisata Berbasis Kerakyatan. Soshum: Jurnal Sosial
Dan Humaniora, 5(3), 183.
Sujana, I. M. P. (2018). Strategi Konservasi Bhisama Kesucian Pura Pada Kawasan
Cagar Budaya Taman Narmada Dalam Merespons Perkembangan Pariwisata
Budaya di Lombok Barat. Widya Sandhi, 9(2), 1760–1782.
Suryada, I. G. A. B. (n.d.). Konsepsi Tri Mandala Dan Sanga Mandala Dalam
Tatanan Arsitektur Tradisional Bali.
Taylor, B. R. (2010). Dark green religion: Nature spirituality and the planetary
future. Univ of California Press. https://doi.org/10.1525/9780520944459

167 | SOSIOHUMANIORA, Vol. 9 (1), Februari 2023, hal. 155-168


2579-4728 (E-ISSN) | 2443-180X (P-ISSN)
Spirit kebersihan masyarakat penglipuran Bali: Konvergensi nilai keberagamaan dan
kearifan lokal

Tim MKU PLH. (2014). Pendidikan Lingkungan Hidup. Universitas Negeri


Semarang.
Tucker, M. E., & Grim, J. A. (2003). Agama, Filsafat dan Lingkungan Hidup.
Yogyakarta: Kanisius.
Wibowo, I. N. A. (2019). Strategi Pengelolaan Desa Wisata Penglipuran
Kabupaten Bangli. Public Inspiration: Jurnal Administrasi Publik, 4(2), 91–96.
Williams, R. (1983). Culture and society. Columbia University Press.

168 | SOSIOHUMANIORA, 9(2), Agustus 2023, pp. 155-168


2579-4728 (E-ISSN) | 2443-180X (P-ISSN)

You might also like