Professional Documents
Culture Documents
155
Spirit kebersihan masyarakat penglipuran Bali: Konvergensi nilai keberagamaan dan
kearifan lokal
PENDAHULUAN
Pada tahun 2016, Executive Director World Tourism Organization (UNWTO)
Shanzhong Zhu merilis hasil survey tentang desa paling bersih di dunia. Peringkat
pertama diduduki oleh desa Giethoorn yang terletak di Overijssel, Belanda. Peringkat
kedua diraih desa Mawlynnong Meghalaya india. Adapun peringkat ketiga diduduki oleh
desa Penglipuran Bali. Prestasi kebersihan lingkungan yang diraih oleh ketiga desa
tersebut, terutama desa Penglipuran Bali tentu menjadi kebanggaan semua masyarakat.
Desa Penglipuran Bali yang secara administratif berada di kabupaten Bangli Bali
dan secara geografis berada dalam negara kesatuan Indonesia tentu akan
mengharumkan nama Indonesia di kancah dunia (Wibowo, 2019). Meskipun tak dapat
dipungkiri, keberadaan Bali sudah terkenal dan meluas citra baiknya, terutama di bidang
pariwisata, sudah mengharumkan nama Indonesia sejak puluhan tahun yang lalu.
Namun, predikat kebersihan lingkungan peringkat tiga yang diperoleh desa Penglipuran
Bali akan menambah deretan prestasi dan prestisius negara Indonesia. Apalagi torehan
prestasi ini diulas detail oleh sebuah situs terkemuka di dunia maya seperti situs
www.bombastis.com.
Dalam kaitan ini, torehan prestasi kebersihan lingkungan yang diraih desa
Penglipuran bukan diperoleh secara tiba-tiba. Akan tetapi ada pengkondisian ekosistem
yang memadai dan sistemik yang dilakukan oleh masyarakat Penglipuran hingga
akhirnya dicatat sebagai desa terbersih (Sudiarta & Nurjaya, 2017). Pengkondisian ini
meliputi keinginan bersama dan kepedulian berbagai lapisan masyarakat untuk
merawat infrastruktur papan yang diwarnai corak kediaman tradisional yang antik dan
dilingkupi oleh taman-taman yang eksotis (Doherty, 2005). Bahkan sarana mobilitas
masyarakat banyak ditempuh dengan alat transportasi yang ramah lingkungan dan
melarang keberadaan yang memicu polusi udara (Adi, 2004). Ditambah lagi kesadaran
masyarakat yang melestarikan nilai-nilai kearifan lokal dengan menggunakan bambu
sebagai bahan utama dalam pembuatan rumah, tempat belanja, dan ruang publik lainnya
(Pitana, 2002).
Di samping itu, partisipasi masyarakat dalam mengkondisikan corak kehidupan
yang harmonis, budaya lokal dan pola kohesi sosial seperti hubungan kekerabatan,
kekeluargaan, dan interrelasi sosial antar anggota masyarakat di desa yang
mencerminkan katakter keindonesiaan berpengaruh besar terhadap penciptaan iklim
kehidupan yang rukun, damai, saling menghormati, dan penuh toleransi (Park, 2012).
Perpaduan antara ekosistem lingkungan yang dibuat secara natural dan
pelestarian interrelasi sosial yang dikondisikan secara harmonis semakin memperkuat
keseimbangan kosmologis desa Penglipuran (Paramita & Naba, 2022) hingga diakui
sebagai desa terbersih ketiga di dunia. Hadirnya keterlibatan warga ini tentu dilatari
kesadaran bersama bagaimana menumbuhkan spirit kebersihan lingkungan dengan cara
diperuntukan bagi kehidupan yang sesuai dengan selera kebanyakan, tentu perlu ada
aturan yang menjadi pijakan bersama untuk menyepakati corak kebersihan yang
memadai bagi semua pihak. Oleh karena itu, untuk mewujudkan kebersihan lingkungan
tidak seperti merealisasi kebersihan pada tingkat personal, melainkan ada prosedur dan
ketetapan yang bisa digunakan berdasarkan aturan masyarakat.
Semisal membuat aturan bersama perihal menciptakan kebersihan di sebuah
lahan yang menjadi hunian bersama. Menentukan model kerja dalam melakukan
kebersihan antar satu dengan yang lain. Bekerjasama dengan berbagai pihak, baik
pemerintah maupun swasta untuk mendukung kegiatan kebersihan lingkungan.
Merumuskan pendekatan budaya agar tertanam dalam diri setiap orang perihal
pentingnya kepedulian terhadap kebersihan lingkungan. Kesemua itu menjadi sebuah
perangkat nilai yang bila dijalankan dengan baik akan bisa menciptakan kebersihan
lingkungan dengan baik pula.
Dalam kaitan ini, untuk mewujudkan kebersihan lingkungan tentu harus
dilaksanakan dengan berbagai cara dan terobosan yang inovatif agar bisa memantik
kesadaran dan bisa bersama sama menjalan tugas kolektif-kolegialnya di dalam
kebersihan lingkungan. Bahkan, bila dimungkinkan ada sebuah sistem yang mengatur
adanya sanksi yang diperuntukkan bagi setiap orang yang tidak mendukung dan tidak
menjalankan tugasnya. Sebab, bila kegiatan kebersihan lingkungan tidak ditunjang
secara bersama-sama dan hanya mengandalkan segelintir orang, maka akan banyak
kendala yang dihadapi untuk mewujudkan kebersihan lingkungan (Tim MKU PLH,
2014).
Selain dalam lingkungan personal dan lingkungan, makna kebersihan juga
diperluas dalam konteks spiritual. Sebagai contoh penjabaran makna kebersihan di
lingkup spiritual adalah menarasikan kesucian sebagai sebuah cara pandang dalam
menjalankan ritual keagamaan. Dalam praktek keagamaan, kesucian dijelaskan secara
luas dan beragam sekaligus disesuaikan dengan aturan internal agamanya (Sujana,
2018).
Dalam kaitan ini, di masing-masing agama biasanya menggunakan pandangan
normatifnya untuk mengatur bentuk kebersihan yang mensucikan. Dengan kata lain,
kebersihan personal dan lingkungan yang dimaknai sebagai bebas dari noda juga
dilingkupi oleh sistem kepercayaan yang bisa menghubungkan dengan aspek
transendentalnya. Sebab, dalam konteks spiritual, kebersihan tidak hanya berkaitan
dengan interaksi antar individu maupun alam, akan tetapi kebersihan itu menjadi refleksi
kedirian yang dipersembahkan kepada Tuhan yang diyakini dalam sistem
keberagamannya.
Selain itu, dalam ajaran sloka Upanisad ada sebuah dictum Tat Twam Asi yang
tertuang dalam Cadigya Upanisad yang menjelaskan makna “Itu adalah Kamu” (Benawa,
2018). Secara semiotic, diktum ini menjelaskan sebah konsekwensi logis tentang sikap
dan perilaku manusia terhadap alam. Untuk memahami diktum ini tentu membutuhkan
interpretasi dan refleksi yang mendalam agar memberikan petunjuk kepada manusia
bagaimana memperlakukan alam sebagaimana memperlakukan dirinya sendiri. Dalam
hal ini, dictum ini sebuah ajaran tentang kehidupan dan penghidupan yang menjadi sifat
alami manusia. Selain itu, dictum ini menjadi nafas hidup yang bisa menggerakkan
kehidupan dan penghidupan manusia.
Spirit Kebersihan Berbasis Tri Hita Karana
Ajaran kebersihan yang dijelaskan dalam agama Hindu membentuk sebuah
spiritual ekologi yang terbangun dalam masyarakat Penglipuran. Lingkungan
penglipuran yang sejak dahulu hingga saat ini menampakkan wajah keasrian dan
kesejukan menjadi kawasan yang strategis untuk menyatukan diri dengan alam yang
dilapisi dengan nuansa sakralitas (Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Republik
Indonesia., 2004). Konsep Tri Hita Karana yang mendedahkan keseimbangan antara
manusia, alam, dan Tuhan menjadi sebuah tuntunan moral masyarakat penglipuran
dalam melakoni kehidupannya. Bahkan, dalam perilaku yang lebih konkrit dan sangat
dibutuhkan masyarakat luas ketika masyarakat luas sedang kebingungan menemukan
solusi terbaik dan tepat dalam menyikapi dan mengatasi ancaman kerusakan
lingkungan, di kalangan masyarakat penglipuran sudah terbiasa dengan upaya untuk
menjadikan diri masing-masing sebagai “manusia solutif” dalam menyikapi lingkungan
melalui konsep Tri Hita Karana. (wawancara dengan I Wayan 3/9/2019)
Dalam keseharian masyarakat penglipuran, konsep Tri Hita Karana menjadi titik
tolak untuk menumbuhkan kesadaran transcendental dalam memanifestasikan nilai-
nilai spiritualitas dalam tigas aspek paling elementer yaitu, pertama, menjaga kebersihan
lingkungannya. Kedua, melestarikan hutan desa. Ketiga, melestarikan pura desa.
(wawancara dengan I Wayan 3/9/2019) Ketiga aspek ini menjadi sebuah consensus
bersama yang tidak hanya dirumuskan secara top down, melainkan berawal dari
partisipasi kewargaan yang menyepakati secara bottom up agar eko sistem
pengluipuran terpelihara dengan baik. Konsekwensinya, setiap orang tidak boleh
melakukan aktifitas ekonomi di sepanjang jalan kawasan penglipuran. Adapun batas
area jual-belinya hanya di dalam pekarangan agar tidak mengganggu jalan dan merusak
pemandangan kawasan penglipuran yang tertib.
Secara detail, ketiga aspek yang menjadi semacam kepakatan bersama di
penglipuran sama-sama dinafasi oleh konsep Tri Hita Karana dalam perjalinan ekologi
spiritualitasnya. Semisal pada aspek pertama yaitu menjaga kebersihan lingkungannya,
maka lingkungan yang dimaksud adalah ketiga unsur yang terdiri dari Parhyangan,
pawongan, dan pelemahan. Secara esetorik, ketiga unsur ini menjadi turunan filosofis
sekitar palemahan, yang menjadi kawasan bersama masyarakat, yaitu selokan maupun
jalan.
Adapun unsur terakhir yang menjadi kerangka persambungan kesadaran ekologis
adalah palemahan, yaitu lingkungan ada di penglipuran. Dalam hal ini, lingkungan
menjadi pondasi penting terjalinnya sebuah interaksi yang harmonis antar sesame (Dita
et al., 2019). Oleh karena itu, ketika dalam sebuah palemahan menentukan sebuah
kesepakatan bersama untuk menajalankan sebuah aturan hidup yang bersandar pada
Sang Hyang Widi dan menjadi hamba yang bertanggung jawab pada lingkungan
sosialnya, maka konsekwensi logis yang harus dilakukan adalah, bagaimana
mempertanggung jawabkan komitmen tersebut dalam kesehariannya.
Nilai-nilai Kearifan Lokal
Kearifan lokal merupakan sebuah cara pandang, cara bersikap, dan cara bertindak
yang dilakukan oleh seseorang maupun komunitas atau masyarakat dalam menanggapi
dan mengelola perubahan sosial dan perkembangan zaman yang terjadi dalam
kehidupannya. (I Ketut Ngurah Salibra, “revitalisasi kearifan lokal di Bali” makalah tidak
diterbitkan) Ketika, sebuah masyarakat tetap melestarikan otentisitas lingkungannya
dan dipagari dengan berbagai tradisi agar masyarakat terdorong untuk merasa memiliki
terhadap otentisitas lingkungannya tersebut, maka bisa dikatakan mempunyai sadar
budaya. Bahkan melalui sadar budaya tersebut akan tumbuh sebuah gagasan menjaga
peradaban yang hidup dalam masyarakat hingga kapan pun baik peradaban yang
berkaitan dengan sakral maupun yang profan sekalipun (Sartini, 2004).
Di tengah kuatnya arus modernisasi yang mulai merambah ke berbagi sendi
kehidupan masyarakat, tidak sedikit dari berbagai kalangan yang mulai terjebak dalam
kubangan modernisasi dan melakukan pembongkaran baik secara materiel maupun
immaterial dengan mengatasnamakan kemajuan zaman. (David Ray Griffin; 2005). Oleh
karena itu, ketika sebuah komunitas dan masyarakat selalu terdorong untuk menjaga
peradaban otentisitasnya dengan berbagai cara, apalagi dinafasi dengan praktik
keberagamaan untuk meniupkan ruh sakralisme dalam berbagai unsur peradabannya,
maka komunitas tersebut akan selalu mempunyai daya tarik dan keunikan yang akan
disenangi dan disukai banyak pihak (Fajarini, 2014).
Dalam kaitan ini, penglipuran merupakan desa yang sangat mumpuni menjaga
kearifan lokal. Meskipun di banyak sisi, desa penglipuran dihadapkan dengan berbagai
tantangan untuk melakukan pembenahan dan perubahan, namun ada kehendak
bersama di kalangan warganya untuk merespon setiap perubahan dan perkembangan
tanpa mengurangi nilai-nilai otentisitas desa Penglipuran yang sangat unik dan khas
(Muliawan, 2017). Selain itu, warga penglipuran menyesuaikan dengan berbagai barang-
barang modern seperti motor, mesin cuci, televisi, handphone, dan semacamnya bukan
berarti merubah cara pandang dan gaya hidupnya yang dapat mempengaruhi sistem
sosialnya (Kasuma & Suprijanto, 2012). Oleh karena itu, karena kegigihan dan
Kearifan lokal yang sangat kental dalam kehidupan masyarakat penglipuran akan
menjadi pengikat sosial bagi semua warga (I Ketut Ngurah Salibra, “revitalisasi…makalah
tidak diterbitkan) untuk menjalankan berbagai aturan yang disepakatai bersama.
Bahkan dalam menghadapi berbagai perkembanagn zaman dan perubahan sosial
sekalipuan, kearifan akan menjadi tuntunan (Harirah et al., 2021) yang selalu melandasi
sikap aproriasi dalam memenuhi ruang gerak perkembangan dan perubahan tersebut.
Sebab, bagi masyrakat penglipuran, kearifan lokal sudah menjadi pandangan hidup,
pengetahuan, dan strategi dalam memenuhi kebutuhan mereka (Alfian, 2013).
Dampaknya, tidak berlebihan bila melalui kearifan lokal selalu memperkuat
identitas diri (Alfian, 2013) mereka sebagai warga yang satu sisi memanifestasikan spirit
keberagamaan dan secara bersamaan melestarikan pula nilai-nilai kearifan dalam
kesehariannya (Williams, 1983).
KESIMPULAN
Dari berbagai uraian tentang makna kebersihan yang diimplementasikan
masyarakat penglipuran dengan mengacu kepada spirit keberagamaan dan kearifan
lokal, ada dua kesimpulan yang bisa dijabarkan di bawah ini:
Pertama, Pola pengelolaan kebersihan dan pelestarian lingkungan yang
berlangsung dalam masyarakat penglipuran Bali berlangsung secara kolektif kolegial.
Antar warga saling terlibat dalam melaksanakan kewajiban sosial dalam membudayakan
perilaku bersih setiap hari. Bahkan, dalam keseharian mereka, melakukan kebersihan di
berbagai area, baik di dalam pekarangan rumah maupun di lingkungan seklitar menjadi
tugas pertama sebelum mereka menjalankan berbagai aktifitas lainnya. Dampaknya,
lingkungan desa penglipuran selalu tampak bersih dan aura lingkungannya
menunjukkan keasrian yang menyejukkan. Dampak lanjutannya, menjadi wajar bila
penglipuran diganjar berbagai prestasi seperti raihan kalpataru pada tahun 2015 dan
dinobatkan sebagai desa terbersih ketiga di dunia setelah Belanda dan India yang
dikeluarga oleh magazine bombastic. Prestasi ini tentu terwujud berkat konsistensi dan
kegigihan warga penglipuran dalam membangun komitmen diri dalam menjaga
lingkungan.
Kedua, Terciptanya iklim desa penglipuran yang bersih dan suasanya yang begtiu
asri, ditiopang berbagai unsure yang terlibat di dalamya. Namun yang lebih utama dalam
menumbuhkan kesadaran lingkungan bersih adalah kuatnya masyarakat dalam
memanifestasikan spirit kearifan lokal dalam cara pandang, cara bersikap, dan cara
bertindak. Berkaitan dengan cara pandang yang tumbuh di kalangan masyarakat
penglipuran beririsan pula dengan spirit keagamaan Hindu. Di mana, dalam sistem
kepercayaan mereka terdapat konsep Tri Hita Karana yang terdiri dari Parahyangan,
Pawongan, dan Palemahan. Ketiga unsure ini membangun hubungan simbiosis-mutulis
yang setara dan dapat merekatkan hubungan antara manusia dengan manusia, manusia
dengan alam, dan manusia dengan Tuhan. Secara derivasional, konsep Tri Hitarana juga
dijadikan sebagai tuntunan oleh masing-maisng warga dalam mengelola ruang geraknya
baik di ruang desa maupun ruang rumah tangga. Di mana melalui Tri Hita Karana
dimanifestasikn dalam tiga unsure berikutnya yang dikenal dengan konsep Tri Mandala.
melalui Tri Mandala ini warga penglipuran membangun harmonisasi kosmologis dalam
menjalankan tugas hariannya. Terutama yang berkaitan erat dengan tugas memelihara
lingkungan agar selalu bersih.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, P. N. (2004). Desa Wisata Penglipuran: Menuju Pemberdayaan Warga Desa.
Dalam Majalah Ilmiah Analisis Pariwisata, 6.
Alfian, M. (2013). Potensi kearifan lokal dalam pembentukan jati diri dan karakter
bangsa. Prociding the 5th International Confference on Indonesian Studies:
Etnicity and Globalization.
Benawa, A. (2018). EKO-SPIRITUAL Dimensi Iman yang Lama Terabaikan. Jurnal
PASUPATI, 5(2), 153–177.
https://doi.org/https://doi.org/10.37428/pspt.v5i2.119
Bramwel, A. (1989). Ecology in The 20 century A History. Yale Press.
Cahyono, H., Miartha, I. W., & Sujana, I. W. (2018). Strategi Prajuru Hulu Apad
dalam mengimplementasikan ajaran Tri Hita Karanadi desa Pakraman
Penglipuran Kabupaten Bangli. Jurnal Penelitian Agama Hindu, 2(1), 214.
https://doi.org/10.25078/jpah.v2i1.472
Dita, M. A. D. P., Wiranata, I. M. R. A., Sari, K., & Sujana, I. W. (2019). Penglipuran
sebagai desa edukasi berbasis Tri Hita Karana dalam pengembangan
karakter SD. Indonesian Values and Character Education Journal , 2(2), 97–
105.
Doherty, B. (2005). Ideas and Actions in the Green Movement. Routledge.
https://doi.org/10.4324/9780203994108
Fajarini, U. (2014). Peran kearifan lokal dalam pendidikan karakter. SOSIO
DIDAKTIKA: Social Science Education Journal, 1(2).
https://doi.org/10.15408/SD.V1I2.1225
Faturrahman, F. (2020). Budaya perilaku bersih di Desa Penglipuran Bali. Jurnal
Sosiologi Reflektif, 15(1), 149. https://doi.org/10.14421/jsr.v15i1.1960
Harirah, Z., Azwar, W., & Isril, I. (2021). Melacak eksistensi kearifan lokal dalam
kebijakan pengembangan pariwisata kabupaten Siak di era globalisasi. Jurnal
Ilmu Sosial Dan Humaniora, 10(1), 70. https://doi.org/10.23887/jish-
undiksha.v10i1.26629