You are on page 1of 26

Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi ISSN : 2442 - 9708 (Online)

Vol. 23 No. 1 April 2023 : 39-64 ISSN : 1411 - 8831 (Print)


Doi: http://dx.doi.org/10.25105/mraai.v23i1.12566

KEARIFAN RELIGIUS DALAM IMPLEMENTASI SISTEM


PENGENDALIAN MANAJEMEN PENCEGAHAN FRAUD
Andajani1
Akhmad Riduwan2*
1
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya
*akhmadriduwan@stiesia.ac.id

Abstract
This study aims to understand the phenomenon of religious wisdom that appears in the
practice of praying within the framework of implementing a management control system
for fraud prevention at Bank BBI Surabaya. Nine participants as key informants were
involved in this study. Based on the framework of the critical-interpretive paradigm, this
study analyzes the dimensions of Edmund Husserl's Phenomenology with the main
objective of understanding the consciousness of bank employees behind the prayer
activity. Research data were collected through observation, documentation, and in-depth
interviews. The results of this Husserlian Phenomenology study reveal the consciousness
behind the participants' actions, that: (a) praying is a transcendental power that is
believed to be able to encourage participants to continuously do good in order to prevent
fraud. Prayer is also a transcendental power that is believed to be able to protect
participants from the threat of fraud; (b) praying is a scientific activity for people who
believe in the existence and power of God. Therefore, although it is transcendent, the
activity of praying deserves to be included as a formal element of the management
control system for fraud prevention.

Keywords : Anti-Fraud Policy; Anti-Fraud Strategy; Management Control System;


Religious Wisdom.

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk memahami fenomena kearifan religius yang tampak
dalam bentuk praktik berdoa bersama dalam kerangka implementasi sistem
pengendalian manajemen pencegahan fraud pada Bank BBI Surabaya. Sembilan
partisipan sebagai informan kunci dilibatkan dalam penelitian ini. Berlandaskan
rerangka paradigma critical-interpretive, penelitian ini menganalisis dimensi
Fenomenologi Edmund Husserl dengan tujuan utama memahami kesadaran
(consciousness) pegawai bank di balik aktivitas berdoa bersama yang dilakukan.
Data penelitian dikumpulkan melalui observasi, dokumentasi, dan wawancara
mendalam. Hasil studi Fenomenologi Husserlian ini mengungkapkan kesadaran di
balik tindakan partisipan, bahwa: (a) doa adalah kekuatan transendental yang
diyakini mampu mendorong partisipan untuk terus-menerus melakukan kebaikan
dalam rerangka mencegah fraud. Doa juga merupakan kekuatan transendental yang
diyakini mampu melindungi partisipan dari ancaman fraud; (b) berdoa adalah

39
Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 23 No.1 April 2023

aktivitas ilmiah bagi orang yang beriman atas keberadaan dan kekuasaan Tuhan.
Oleh karena itu, meskipun bersifat transenden, aktivitas berdoa bersama layak
dimasukkan sebagai elemen formal sistem pengendalian manajemen pencegahan
fraud.

Kata Kunci: Kebijakan Anti-Fraud; Kearifan Religius; Sistem Pengendalian


Manajemen; Strategi Anti-Fraud,

JEL Classification : G40, M14, M41, G38

Submission date: December 2021 Accepted date: April 2023


*Corresponding Author

PENDAHULUAN

Pemberitaan media massa tentang perilaku curang (fraud) yang terjadi di


perusahaan-perusahaan Indonesia terus marak, baik pada perusahaan milik pemerintah
maupun swasta, serta perusahaan sektor keuangan maupun non-keuangan. Pemberitaan
fraud yang terus marak tersebut menimbulkan kesan bahwa perilaku fraud merupakan
hal yang biasa, sehingga terjadi berulang-ulang, dimanapun dan kapanpun. Di Indonesia,
survei yang dilakukan oleh Association of Certified Fraud Examiner (ACFE) pada tahun
2016 menunjukkan bahwa industri jasa keuangan dan perbankan merupakan industri
kedua yang paling dirugikan oleh segala bentuk kegiatan fraud, baik yang dilakukan oleh
pihak-pihak di dalam maupun di luar organisasi. Kerugian yang dialami oleh sektor
industri jasa keuangan dan perbankan menurut laporan ACFE (2016) tersebut mencapai
16,8%, terbesar kedua di bawah tingkat kerugian fraud yang dialami oleh negara sebesar
58,1%. Bahkan laporan oleh AppsFlyer tahun 2019 yang diunggah oleh Liputan 6 (2019)
mengungkapkan bahwa tingkat kecurangan Indonesia di sektor jasa keuangan dan
perbankan mencapai 43,1%, tertinggi kedua di Asia Tenggara setelah Vietnam yang
mencapai 58,2%.
Fakta tersebut di atas menunjukkan bahwa strategi anti-fraud yang dijalankan
oleh industri jasa keuangan dan perbankan di Indonesia belum cukup efektif untuk
mengeliminasi perilaku fraud., sebagaimana harapan Bank Indonesia kepada bank
umum yang tertuang dalam Surat Edaran No.13/28/DPNP tanggal 9 Desember 2011.
Substansi SE BI tersebut adalah bahwa bank wajib memiliki dan menerapkan strategi
anti-fraud yang disesuaikan dengan lingkungan internal dan eksternal, kompleksitas
kegiatan usaha, potensi, jenis, dan risiko fraud serta didukung oleh sumberdaya yang
memadai. Berkaitan dengan hal tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan
Peraturan No.39/POJK.03/2019 tanggal 19 Desember 2019 tentang Penerapan
Strategi Anti-Fraud Bagi Bank Umum sebagai bentuk sistem pengendalian intern
untuk meminimalisir terjadinya fraud. Pokok-pokok Peraturan OJK tersebut adalah
bahwa (a) bank wajib menerapkan strategi anti-fraud dan melaporkannya kepada
OJK secara komprehensif; (b) penerapan strategi anti-fraud paling sedikit mencakup
empat pilar, yaitu pencegahan, deteksi, pelaporan, serta sanksi dan tindak lanjut.
Peraturan OJK tersebut berlaku efektif mulai bulan Januari 2020.

40
Kearifan Religius Dalam Implementasi Sistem Pengendalian Manajemen Pencegahan Fraud

Diakui oleh Verschoor (2015) bahwa perilaku fraud di organisasi apapun terkesan
sulit untuk diberantas, terus bermunculan dengan berbagai bentuk dan cara yang berbeda,
seperti pepatah “mati satu tumbuh seribu”. Mengingat bahwa perilaku fraud
menimbulkan dampak keuangan dan non-keuangan yang sangat besar bagi organisasi,
maka tidak ada cara lain untuk menghadapi fraud kecuali dengan cara melawan perilaku
fraud tersebut (Frimpong, 2015). Salah satu cara yang dipandang efektif oleh White
(2010) untuk melawan fraud adalah penegakan hukum, yaitu keberadaan undang-undang
atau peraturan anti-fraud yang menetapkan ancaman hukuman berat bagi fraudster
(pelaku fraud), serta menerapkan undang- undang tersebut secara konsekuen dan
konsisten. Meskipun pendapat White (2010) dipandang benar karena diharapkan dapat
menimbulkan efek jera bagi fraudstesr, tetapi Newman dan Neier (2014) berpendapat
bahwa pemberian hukuman berat bagi fraudsters merupakan tindakan reaktif, dimana
fraud dan kerugian telah terjadi. Dalam pandangan Newman & Neier (2014), program
anti-fraud dan anti-korupsi seharusnya bersifat proaktif, bukan reaktif. Program anti-
fraud dan anti-korupsi yang bersifat proaktif sebagaimana dimaksud oleh Newman &
Neier (2014) adalah penetapan kebijakan dan strategi yang jelas oleh organisasi untuk
mencegah terjadinya fraud dan korupsi.
Gagasan Newman & Neier (2014) tersebut sesungguhnya telah dilakukan oleh
Bank Indonesia (BI) sejak tahun 2011 untuk mengantisipasi dan mencegah terjadinya
fraud di sektor usaha jasa keuangan dan perbankan, yang pada tahun 2019 diperkuat lagi
oleh Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). BI dan OJK telah mewajibkan seluruh
bank umum untuk menetapkan sekaligus mengimplementasikan strategi anti-fraud.
Tetapi, sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa strategi anti-fraud yang dijalankan
oleh industri jasa keuangan dan perbankan di Indonesia belum cukup efektif untuk
mengeliminasi perilaku fraud, yang tercermin dari fenomena fraud perbankan yang terus
berlanjut. Seperti berita yang dilansir oleh CNN Indonesia (2016), selama tahun 2014-
2015 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah memproses 108 kasus fraud perbankan. Fraud
perbankan yang terkait dengan kredit sangat dominan, antara lain pembobolan data kartu
kredit, dan salah pencatatan. Berdasarkan statistik OJK, kejahatan perbankan yang
terjadi sejak 2014 tersebut meliputi kasus kredit (55%), rekayasa pencatatan (21%),
penggelapan dana (15%), transfer dana (5%), dan pengadaan aset (4%). Indonesia
Satu (2017) juga melansir pernyataan salah satu Direktur Pengawasan Bank OJK
bahwa 90% kasus fraud perbankan terjadi karena adanya peran orang dalam yang
mengetahui celah sistem perbankan.
Fakta di atas menunjukkan bahwa walaupun berbagai strategi anti-fraud (seperti
pencegahan, deteksi, investigasi dan sanksi) telah dijalankan, tetapi fraud perbankan di
Indonesia terus terjadi dan terkesan resisten. Demikian pula, sanksi dan hukuman berat
yang telah dijatuhkan kepada para fraudster juga terkesan tidak membuat jera bagi
fraudster berikutnya. Fakta ini konsisten dengan pernyataan Kearney (2006), bahwa para
fraudster adalah orang-orang jahat yang tidak akan pernah menyerah, karena mereka
adalah orang-orang yang cerdas dan rajin berfikir untuk menghindari sanksi dan
hukuman; mereka adalah orang- orang yang kreatif dan inovatif untuk mencari celah dan
cara baru melakukan kejahatan. Marks (2012) juga berpendapat bahwa fraudster adalah
orang-orang berpengetahuan dan cerdas. Fraudster belum tentu orang-orang yang
kekurangan dari aspek finansial, tetapi mereka adalah orang-orang cerdas yang akan
merasa bangga jika mampu mengelabui orang lain dengan kecerdasannya. Dengan
demikian, kata Marks (2012), perilaku fraud, termasuk white collar crime, bukanlah
sekedar dipicu oleh fraud triangle (tekanan kebutuhan, kesempatan, dan rasionalisasi),

41
Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 23 No.1 April 2023

tetapi juga dipicu oleh etika yang rendah. Oleh karena itu, seperti diungkapkan oleh Tifen
(2015), bahwa anti-fraud tidak cukup dicapai dengan kebijakan dan strategi manajerial
seperti pencegahan, deteksi, investigasi dan sanksi, tetapi perlu didukung oleh adanya
lingkungan dan budaya organisasi yang mampu mengarahkan perilaku individu menuju
anti-fraud (lihat juga Pergola dan Sprung, 2005). Pemikiran tersebut sejalan dengan
Tarek et al. (1018) yang memandang lingkungan dan budaya organisasi sebagai faktor
penting untuk mempengaruhi dan mengarahkan perilaku individu menuju pada
kebaikan.
Lingkungan dan budaya organisasi sebagaimana dimaksud oleh Tifen (2015),
Pergola dan Sprung (2005), dan Tarek et al. (2018) tersebut di atas teramati pada
Bank Baratayuda Indonesia (bukan nama bank sebenarnya). Fenomena budaya
organisasi tersebut secara spesifik tampak dari kebiasaan seluruh pimpinan dan
pegawai bank dalam mengawali pekerjaan pada pagi hari dan mengakhiri pekerjaan
pada sore hari. Pada pagi hari, sebelum melaksanakan pekerjaan masing-masing,
pimpinan dan pegawai Bank Baratayuda Indonesia (BBI) berdoa bersama memohon
kebaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa; sedangkan pada sore hari, pimpinan dan
pegawai BBI kembali berdoa bersama untuk memohon hal yang sama. Pengamatan
atas fenomena berdoa bersama sebelum mengawali dan mengakhiri pekerjaan
tersebut menimbulkan persepsi bahwa BBI memiliki lingkungan dan budaya
organisasi yang menjunjung kearifan religius sebagai salah satu elemen dari sistem
pengendalian formal untuk mencegah dan menghindari perilaku buruk yang dapat
merugikan organisasi. “Agar kami selalu mampu berbuat yang baik dan benar dalam
menjalankan tugas masing-masing”, demikian tanggapan seorang teller pada suatu
hari ketika dipuji betapa senangnya bekerja di BBI jika semua pegawai terbiasa
berdoa bersama sebelum memulai pekerjaan. “Agar kami terhindar dari perbuatan
jahat orang lain yang dapat merugikan kami, baik kejahatan yang tampak maupun
yang tidak tampak”, kata seorang teller yang lain pada hari yang berbeda.
Berdasarkan pendekatan kualitatif dalam rerangka paradigma critical-
interpretive, penelitian ini bertujuan untuk mendalami dan memahami berbagai fakta
di balik fenomena berdoa bersama yang merefleksikan praktik religius pada Bank
Baratayuda Indonesia (BBI). Fakta di balik fenomena praktik religius yang ingin
didalami dan dipahami dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, manfaat
dan tujuan doa bersama, baik bagi pegawai bank secara individu maupun bagi
organisasi BBI secara kolektif. Kedua, kekuatan doa bersama sebagai salah satu
elemen sistem pengendalian manajemen pencegahan fraud di lingkungan BBI.
Ketiga, persepsi dan keyakinan individu tentang efek doa bersama pada perilaku
anti-fraud serta efek pada kinerja BBI secara umum. Penelitian ini berbeda dengan
penelitian-penelitian organisasional yang sebelumnya pernah dilakukan dengan
melibatkan variabel religiosity dan spirituality. Misalnya, penelitian tentang pengaruh
religiosity dan spirituality pada perilaku pegawai di tempat kerja (Long dan Mills, 2010;
Majeed et al., 2018; Vasconcelos, 2013 dan 2018); pengaruh religiosity dan spirituality
pada kinerja pegawai (Osman-Gani et al., 2013; Fox et al., 2018); pengaruh religiosity
dan spirituality pada kualitas keputusan manajer (Fernando dan Jackson, 2006;
Ananthram dan Chan, 2016; Chan dan Ananthram, 2019). Penelitian-penelitian tersebut
dilakukan dengan pendekatan kuantitatif, dimana indikator-indikator setiap variabel
penelitian disusun dalam bentuk kuisioner dan diukur berdasarkan skala likert.

42
Kearifan Religius Dalam Implementasi Sistem Pengendalian Manajemen Pencegahan Fraud

METODE PENELITIAN

Situs Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada Bank Baratayuda Indonesia (bukan nama bak
yang sebenarnya – selanjutnya disingkat BBI). BBI adalah bank milik negara yang
telah go pubic sejak tahun 1996 dengan kepemilikan saham 60% pemerintah
Republik Indonesia, dan 40% masyarakat, baik individu maupun institusi. BBI yang
menjadi situs penelitian ini adalah BBI Kantor Cabang Utama yang terletak pada satu
sisi Kota Surabaya (selanjutnya disebut BBI KCU Surabaya I). BBI KCU Surabaya
I memiliki 14 kantor cabang pembantu (KCP) yang tersebar di wilayah Surabaya I.
Total karyawan BBI KCU Surabaya I adalah 135 orang, yang mencakup 51 orang
pada KCU dan 84 orang pada seluruh KCP.
BBI KCU Surabaya I dipilih sebagai situs penelitian dengan memertimbangkan
beberapa alasan. Pertama, BBI KCU Surabaya I mengimplementasikan praktik berdoa
bersama bagi seluruh pimpinan dan karyawan untuk memohon kebaikan kepada Tuhan
Yang Maha Esa sebelum memulai dan mengakhiri pekerjaan pada pagi dan sore hari.
Kedua, dalam beberapa kali pengamatan, praktik berdoa bersama tersebut dilakukan
secara konsisten, sebagai refleksi adanya kearifan religius yang dipegang teguh di
lingkungan BBI KCU Surabaya I.
Untuk tujuan penelitian ini, identitas dan lokasi bank yang sebenarnya sengaja
disamarkan berdasarkan permintaan Kepala KCU BBI Surabaya I dan kesepakatan
beberapa orang pejabat di bawahnya. Beberapa pertimbangan untuk menyamarkan
identitas dan lokasi bank adalah sebagai berikut. Pertama, praktik berdoa bersama yang
dilakukan pada BBI KCU Surabaya I kemungkinan tidak dilakukan pada BBI KCU
Surabaya yang lain atau bahkan tidak dilakukan oleh BBI di kota-kota lain di Indonesia.
Praktik berdoa bersama di BBI KCU Surabaya I kemungkinan dianggap oleh masyarakat
sebagai praktik yang tidak lazim, tidak ilmiah, tidak toleran karena menonjolkan agama
tertentu, bahkan mungkin dianggap praktik yang menyimpang dari peraturan perbankan.
Kedua, kesepakatan tentang kebebasan untuk mengungkap hasil penelitian sebagai
pengetahuan bagi publik, baik dari aspek-aspek positif maupun negatif. Kesepakatan
untuk menyamarkan identitas dan lokasi bank dimaksudkan agar hasil penelitian yang
diungkapkan tidak membawa dampak sosial negatif bagi bank, atau agar penelitian tidak
membawa pra-konsepsi untuk mengungkapkan fakta-fakta yang hanya dipandang baik
dan berdampak positif bagi bank.
Kesepakatan untuk menyamarkan identitas dan lokasi bank dalam penelitian
ini merupakan bagian dari etika penelitian. Greenwood (2016) menyatakan bahwa
hasil-hasil penelitian akademik (academic research) yang dimaksudkan untuk
dipublikasi wajib memperhatikan etika penelitian, terutama terkait dengan dampak
negatif yang mungkin timbul di masyarakat. Menurut Greenwood (2016), salah satu
aspek etika yang perlu dipertimbangkan dalam penelitian adalah menyamarkan
identitas subjek (responden) penelitian, terutama jika hasil penelitian
mengungkapkan temuan yang tidak menguntungkan bagi subjek (lihat juga Wray-
Bliss, 2003; dan Jackson, 2013).

Pendekatan dan Dimensi Penelitian


Penelitian ini dilakukan berdasarkan pendekatan kualitatif dalam rerangka
paradigma critical-interpretive. Dimensi yang menjadi fokus pemahaman dalam
penelitian ini adalah dimensi fenomenologi berdasarkan konsep Edmund Husserl (1859-

43
Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 23 No.1 April 2023

1938) seorang psikolog dan filsuf Jerman. Sejalan dengan konsep Edmund Husserl,
tujuan dari studi fenomenologi ini adalah mengungkap dan memahami kesadaran
(consciousness) para partisipan penelitian secara individual tentang perasaan serta
keyakinan mereka atas manfaat, kekuatan, dan dampak doa bersama pada perilaku anti-
fraud.
DeHart (2020) menyatakan bahwa studi fenomenologi (phenomenological
study) berfokus pada kesadaran atau perasaan partisipan yang terlihat melalui
fenomena tindakan. Ziakas & Boukas (2014) menegaskan bahwa studi fenomenologi
adalah studi yang bertujuan untuk memahami kesadaran (pikiran dan perasaan) orang
secara personal yang terlihat dalam tindakan atau perilaku: mengapa bertindak
seperti itu, apa yang dipikirkan ketika bertindak, bagaimana perasaan ketika
bertindak, mengapa memiliki perasaan seperti itu, dan bagaimana ia memaknai
perasaannya.

Informan (Partisipan)
Untuk mencapai tujuan penelitian, informan (partisipan) yang dilibatkan dalam
penelitian ini mencakup 9 (sembilan) orang informan kunci, yaitu: (1) Kepala BBI
Kantor Cabang Utama Surabaya I, yang bertanggungjawab atas tata kelola BBI KCU
dan KCP Surabaya I secara keseluruhan, termasuk penetapan kebijakan dan strategi
anti-fraud; (2) Kepala Divisi Keuangan; (3) Kepala Divisi Kepatuhan (Ketua Komite
Anti-Fraud) yang bertanggungjawab atas implementasi kebijakan dan strategi anti-
fraud; (4) Kepala Divisi Manajemen Human Capital; (5) Kepala Divisi Audit
Internal; (6) Kepala Divisi Manajemen Risiko; (7) Kepala Divisi Penyelamatan dan
Penyelesaian Kredit; (8) Kepala Unit Pembinaan Mental; dan (9) Petugas Teller dan
Pelayanan Pelanggan (Customer Service). Para informan tersebut dipilih karena
dipandang sebagai individu-individu yang dapat memberikan informasi secara tepat
dan akurat sesuai dengan posisi atau jabatan mereka dalam organisasi BBI KCU
Surabaya I.

Metode Pengumpulan Data


Data penelitian ini dikumpulkan melalui 3 (tiga) cara, yaitu: (1) wawancara
semi-terstruktur dengan para informan; daftar pertanyaan pokok sesuai tema
penelitian disiapkan sebagai panduan wawancara (sebagai pegangan peneliti), tetapi
untuk mendalami informasi, proses wawancara dapat berkembang di luar panduan,
sepanjang masih relevan dengan tema penelitian; (2) dokumentasi atas catatan dan
laporan yang relevan dengan tema penelitian; (3) observasi, yaitu pengamatan
aktivitas fisik secara langsung untuk melengkapi informasi yang telah diperoleh
melalui wawancara maupun dokumentasi, termasuk pengamatan aktivitas pada kantor
cabang pembantu yang berada di bawah koordinasi kantor cabang utama.
Wawancara dengan para informan dilakukan secara bertahap dan terjadwal.
Periode dan waktu (jadwal) yang diperlukan untuk wawancara disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1
Informan dan Pelaksanaan Wawancara
No. Nama Jabatan Agama Jadwal Wawancara Waktu

1 Taufan Ka KCU BBI Surabaya I Islam Minggu 1 – Pebr. 2021 2 jam (2 hari @ 1 jam)
2 Yurike Kadiv Keuangan Kristen Minggu 2 – Pebr 2021 2 jam (2 hari @ 1 jam)

44
Kearifan Religius Dalam Implementasi Sistem Pengendalian Manajemen Pencegahan Fraud

No. Nama Jabatan Agama Jadwal Wawancara Waktu


3 Supaat Kadiv kepatuhan Islam Minggu 3 – Pebr 2021 4,5 jam (3 hari @ 1,5 jam)
4 Nyoman Kadiv SDM Hindu Minggu 1 – Maret 2021 1,5 jam (1 hari @ 1,5 jam)
5 Aditya Kadiv Audit Internal Islam Minggu 2 – Maret 2021 1,5 jam (1 hari @ 1,5 jam)
6 Henriko Kadiv Manajemen Risiko Kristen Minggu 3 – Maret 2021 1,5 jam (1 hari @ 1,5 jam)
7 Didit Kadiv Kredit Islam Minggu 4 – Maret 2021 1,5 jam (1 hari @ 1,5 jam)
8 Suminto Kanit Pembinaan Mental Islam Minggu 4 – Maret 2021 4,5 jam (3 hari @ 1,5 jam)
9 Ni Ketut Teller & Customer Service Hindu Minggu 2 – Maret 2021 1 jam (1hari @ 1 jam)
Sumber: Daftar Rekapitulasi Transkrip Wawancara

Dalam penelitian ini, nama-nama informan yang sebenarnya juga disamarkan


berdasarkan permintaan Kepala KCU BBI Surabaya I dan kesepakatan informan
lainnya. Kesepakatan untuk menyamarkan identitas informan dalam penelitian ini
merupakan bagian dari etika penelitian sebagaimana dijelaskan oleh Jackson (2013)
dan Greenwood (2016).

Metode Analisis Data


Dengan bingkai paradigma critical-interpretive, data penelitian ini dianalisis
secara kualitatif. Paradigma critical-interpretive mengarahkan tujuan penelitian
untuk menemukan secara kritis kebenaran suatu praktik sosial yang teralienasi atau
terepresi dan dianggap menyimpang dari asumsi-asumsi kebenaran yang telah
menjadi common sense dalam masyarakat (Wray-Bliss, 2003), dan pembenaran
praktik yang dianggap menyimpang tersebut dilakukan melalui proses interpretasi
berdasarkan konteksnya (Whiteley, 2012).
Analisis data dalam penelitian ini diarahkan pada penemuan kebenaran praktik
berdoa bersama sebagai elemen sistem pengendalian manajemen pencegahan fraud, yang
secara formal mungkin tidak akan ditemukan dalam dokumen kebijakan dan strategi
anti-fraud. Hasil wawancara, dokumentasi dan observasi diklasifikasikan dan dibahas
sesuai tema-tema yang ditemukan dalam penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Fenomena Fraud
Fraud dapat terjadi di organisasi apapun, organisasi nirlaba maupun organisasi
pencari laba. “Organisasi itu kumpulan manusia, dan pelaku fraud itu manusia. Jadi,
sepanjang masih melibatkan manusia, kemungkinan terjadi fraud dalam suatu organisasi
itu selalu terbuka”, demikian kata Taufan, Kepala BBI KCU Surabaya I ketika berdiskusi
tentang fenomena fraud. Dengan bahasa yang cukup filosofis, Taufan melanjutkan:
“...termasuk di bank ini, kemungkinan terjadinya perilaku fraud itu selalu terbuka,
baik yang dilakukan oleh pegawai, nasabah, maupun orang luar yang bukan pegawai
dan bukan nasabah. Setiap manusia itu kan memiliki perilaku macam-macam. Ada
yang baik, ada juga yang tidak baik. Ada yang jujur, ada juga yang tidak jujur. Ada
yang patuh pada peraturan, tapi ada juga yang tidak patuh. Jadi, selama kita
berinteraksi dengan sesama manusia, kita pasti akan menjumpai perilaku-perilaku
yang berbeda itu...” (Taufan, Kepala BBI KCU Surabaya I)
Pernyataan Taufan tersebut secara implisit menegaskan bahwa perilaku fraud
berkaitan erat dengan psikologi pelaku, dan secara eksplisit memberi informasi
bahwa perilaku fraud juga terjadi di BBI KCU Surabaya I, baik fraudster yang
berasal dari pegawai, nasabah, maupun pihak lain yang bukan pegawai dan bukan

45
Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 23 No.1 April 2023

nasabah. Pernyataan Kepala BBI KCU Surabaya I tersebut konsisten dengan hasil
penelitian Ramamoorti (2008) yang mengungkapkan bahwa perilaku fraud berkaitan
erat dengan masalah psikologi manusia. Menurut Ramamoorti (2008) penyimpangan
perilaku manusia (dalam hal ini perilaku curang atau fraud) dirangsang oleh kondisi
psikologis manusia, khususnya gangguan yang terkait dengan kepribadian. Manusia
yang berkepribadian buruk, pikirannya akan terdorong untuk melakukan hal-hal
buruk, demikian sebaliknya (lihat juga Ramamoorti dan Olsen, 2007).
Taufan menegaskan bahwa setiap tahun fraud selalu terjadi di BBI KCU
Surabaya I, dengan berbagai bentuk, berbagai pelaku, dan berbagai modus operandi.
“Selalu terjadi di bank kami, meskipun kami terus berupaya mencegah dengan
menutup peluangnya. Pelaku fraud itu cerdik dan kreatif”, kata Taufan. Taufan secara
terbuka memberikan gambaran tentang fraud yang pernah terjadi di BBI KCU
Surabaya I. Fraud perbankan yang dimaksud oleh Taufan mencakup berbagai bidang
transaksi perbankan, yaitu: transaksi penghimpunan dana, penyaluran dana,
penyalahgunaan aset bank. Taufan menjelaskan lebih rinci:
“...fraud transaksi penghimpunan dana pernah dilakukan oleh beberapa pegawai bank
ini (sambil tersenyum dan menggeser tempat duduknya). Fraud itu dilakukan oleh orang
dalam, maksud saya pegawai. Misalnya, pencatatan tabungan dan deposito fiktif,
penarikan tabungan tanpa sepengetahuan nasabah, penarikan dana dari tabungan pasif,
pencairan deposito tanpa diketahui nasabah, pembukaan rekening fiktif untuk
menampung penarikan dana nasabah, petugas teller dan customer service meminta
nasabah menandatangani slip penarikan kosong, dan lain- lain. Petugas teller dan
customer service melakukan kecurangan dengan menerbitkan bilyet deposito ganda juga
pernah.” (Taufan, Kepala BBI KCU Surabaya I)
Pada kesempatan terpisah, Didit (Kepala Divisi Kredit) membenarkan pernyataan
Kepala BBI KCU Surabaya I tersebut. Didit juga menjelaskan tentang bentuk-bentuk
kecurangan yang pernah dilakukan oleh pegawai BBI yang berkaitan dengan perkreditan
atau penyaluran dana yang menjadi tanggungjawabnya. Didit menjelaskan:
“...bukan hanya transaksi penghimpunan dana yang dicurangi, tetapi juga transaksi
penyaluran dana, maksud saya perkreditan. Kecurangan yang pernah dilakukan
untuk transaksi perkreditan di bank kami, misalnya jaminan kredit tidak dikuasai
bank atau tidak diminta dari debitur, jaminan sengaja dinilai tinggi, merekayasa nilai
kredit, jaminan diserahkan kembali kepada debitur walaupun kredit belum lunas,
angsuran kredit tidak disetor oleh pegawai, pencairan kredit tidak sesuai dengan
offering letter, usia debitur dimanipulasi, pegawai meminta fee tertentu kepada
debitur, dan lain-lain..” (Didit, Kepala Divisi Kredit)
Baik Taufan (Kepala BBI KCU Surabaya I) maupun Didit (Kepala Divisi
Kredit) mengakui bahwa kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh pegawai BBI
tersebut terjadi sejak keduanya belum menduduki jabatannya saat ini, tetapi
kecurangan-kecurangan tersebut masih juga terjadi sampai sekarang. Mereka juga
mengakui bahwa frekuensi perilaku fraud terus mengalami penurunan dari tahun ke
tahun.Di samping fraud yang dilakukan oleh orang dalam (pegawai bank), Taufan
juga menjelaskan adanya kejahatan perbankan yang pernah dilakukan oleh pihak luar
perbankan pada BBI KCU Surabaya I. Kejahatan tersebut berupa pembobolan
(hacking) rekening nasabah BBI melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM). Taufan
bercerita:
“... kerugian keuangan bank kami bukan hanya disebabkan oleh kecurangan pegawai,
tapi juga oleh orang-orang jahat di luar bank. Rekening beberapa nasabah kami pernah

46
Kearifan Religius Dalam Implementasi Sistem Pengendalian Manajemen Pencegahan Fraud

dibobol lewat ATM oleh orang luar, tapi hal itu ya karena kesalahan nasabah yang kurang
hati-hati dan kurang memahami risiko atas kelalaiannya. Misalnya, kartu ATM hilang
tapi tidak segera lapor kepada kami, sehingga tidak segera kami blokir. Nasabah baru
lapor setelah uang di rekeningnya hilang karena orang yang menemukan kartu ATM tadi,
dengan kecerdikannya, sudah menyalin informasi, termasuk PIN, yang ada pada strip
magnetik kartu ATM. Di dunia perbankan, kejahatan seperti itu disebut skimming, yaitu
mencuri data pelanggan.” (Taufan, Kepala BBI KCU Surabaya I)
Taufan melanjutkan ceritanya bahwa bukan hanya skimming yang dilakukan
oleh penjahat keuangan di luar bank, tetapi juga social engineering. Menurut cerita
Taufan, social engineering dilakukan oleh para penjahat untuk manipulasi psikologi
nasabah, yaitu menipu agar nasabah melakukan hal tertentu secara halus menuruti
kehendak penjahat, pada umumnya melalui telepon atau bisa juga melalui media
komunikasi elektronik lain seperti e-mail, SMS, atau penyebaran link palsu di
internet. Taufan menjelaskan lebih lanjut:
“... modus kejahatan dengan social engineering itu macam-macam. Misalnya, penjahat
memanipulasi mesin ATM agar korban gagal bertransaksi dan kartu seolah-olah tertelan
di mesin, padahal tidak tertelan. Pada saat bersamaan, salah satu anggota komplotan
penjahat berjaga di sekitar ATM untuk mengarahkan korban menghubungi nomor
call center palsu. Penjahat yang bertugas sebagai call center palsu kemudian
memberitahu nasabah bahwa rekening sudah aman karena telah diblokir, dan
meminta nasabah memberikan identitas pribadi termasuk PIN kartu ATM. Pelaku
yang berada di sekitar mesin ATM kemudian mengambil kartu ATM milik nasabah
yang seolah-olah tertelan mesin tadi... Contoh yang lain, penjahat mengirim SMS
yang berisi iming-iming hadiah, pinjaman online, dan lainnya. Dengan dalih
mencairkan hadiah, nasabah dipancing untuk pergi mencari mesin ATM terdekat dan
diarahkan untuk mengikuti instruksi yang diberikan penjahat seperti memasukkan
nomor-nomor kode tertentu dan menekan tombol-tombol tertentu, padahal yang
dilakukan nasabah adalah melakukan transfer dana ke rekening penjahat atau top-up
saldo e-commerce milik penjahat.” (Taufan, Kepala BBI KCU Surabaya I)
Penjelasan Taufan (Kepala BBI KCU Surabaya I) tersebut konsisten dengan
temuan penelitian Shein (2017) yang mengungkapkan bahwa kejahatan keuangan
perbankan yang dilakukan oleh orang luar pada umumnya memanfaatkan media-
media elektronik untuk memanipulasi psikologi dan perilaku nasabah bank sebagai
korban. Menurut Shein (2017), penjahat bersifat spekulatif dalam memilih sasaran,
dan hanya nasabah yang tidak hati-hati dan tidak sadar risiko yang berhasil ditipu.
Fakta yang diceritakan oleh Taufan (Kepala BBI KCU Surabaya I) tersebut juga
sejalan dengan pernyataan Kearney (2006), bahwa para fraudster adalah orang-
orang yang cerdas dan rajin berfikir untuk mencari cara melakukan kejahatan;
mereka adalah orang-orang yang kreatif dan inovatif untuk terus mencari celah dan
cara melakukan kejahatan. Marks (2012) juga berpendapat bahwa fraudster adalah
orang-orang berpengetahuan dan cerdas, dan akan merasa bangga jika mampu
mengelabuhi orang lain dengan kecerdasannya. Untuk mencegah kejahatan
perbankan dengan modus social engineering tersebut, Schulaka (2017)
mengemukakan tentang pentingnya teknologi untuk melindungi data nasabah,
melacak pencurian data nasabah melalui komunikasi elektronik (phising scams), dan
encrypting devices.

47
Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 23 No.1 April 2023

Sistem Pengendalian Manajemen


Kepala BBI KCU Surabaya I mengungkapkan bahwa jauh sebelum terbit Surat
Edaran Bank Indonesia (BI) No.13/28/DPNP tanggal 9 Desember 2011 yang
mewajibkan bank umum untuk menetapkan kebijakan dan strategi anti-fraud, BBI sejak
didirikan kurang-lebih 75 tahun yang lalu sebenarnya telah menetapkan kebijakan dan
strategi anti-fraud tersebut. “Ya, faktanya seperti itu; dan bagi BBI, kebijakan dan
strategi anti-fraud itu terus dikoreksi dan diperbaiki sesuai dengan dinamika lingkungan
perbankan”, kata Taufan, Kepala BBI KCU Surabaya I sambil meyakinkan bahwa tidak
mungkin BBI tidak memiliki kebijakan dan strategi anti-fraud seperti yang dikehendaki
oleh BI. Taufan menambahkan:
“...sejak awal didirikan, bank kami telah merencanakan sistem pengendalian manajemen
secara internal. Pertama, bank ini kan ingin memastikan bahwa data-data keuangan
tercatat dengan benar. Kedua, memastikan bahwa semua peraturan bank ditaati dan
dilaksanakan oleh seluruh pegawai. Ketiga, memastikan semua aset bank, apapun
bentuknya, aman dari risiko salah kelola dan penyalahgunaan. Keempat, memastikan
agar operasi bank dilaksanakan sesuai aturan. Jadi, menurut saya, sistem pengendalian
manajemen yang dimiliki oleh bank sejak didirikan, secara substantif tidak berbeda
dengan kebijakan dan strategi anti-fraud yang dimaksud oleh Bank Indonesia...” (Taufan,
Kepala BBI KCU Surabaya I)
Kepala BBI KCU Surabaya I tersebut juga menegaskan bahwa kebijakan dan
strategi anti-fraud yang dimaksud oleh BI tersebut sebenarnya sudah melekat pada
sistem pengendalian manajemen yang telah ditetapkan BBI. Menurut Taufan, Surat
Edaran BI memang mengharuskan semua bank umum, termasuk BBI, untuk
menyatakan secara eksplisit dalam suatu dokumen formal yang berisi pernyataan
tentang strategi anti-fraud, sehingga BBI juga wajib membuatnya. Tetapi, untuk BBI
KCU Surabaya I tidak perlu lagi menetapkan strategi anti-fraud tersebut, karena
sudah ditetapkan oleh Kantor Pusat BBI di Jakarta. Sambil menunjukkan dokumen
strategi anti-fraud yang telah ditetapkan oleh Kantor Pusat, Taufan menyatakan:
“... kami di sini tinggal mengimplementasikan kebijakan dan strategi anti-fraud
kantor pusat. Kami juga sudah membentuk komite anti-fraud sejak tahun 2012 sesuai
instruksi kantor pusat, ketuanya Pak Supaat. Sebelum tahun 2012, tidak ada komite
anti-fraud di BBI, yang ada komite audit, komite pemantau risiko dan komite tata
kelola terintegrasi. Sejak tahun 2012, sesuai surat edaran BI tahun 2011, tugas-tugas
yang khusus berkaitan dengan implementasi strategi anti-fraud ditangani oleh komite
anti-fraud, meskipun harus tetap berkoordinasi dengan komite yang lain...” (Taufan,
Kepala BBI KCU Surabaya I)
Pernyataan Taufan tersebut diungkapkan sambil menunjukkan SK Pembentukan
Komite Anti-Fraud yang baru saja disampaikan oleh staf bank ke ruang kerjanya,
yaitu SK No.411/SKEP-DIR/VIII/2012 tertanggal 1 Agustus 2012. Berdasarkan SK
tersebut, Komite Anti-Fraud secara ex-officio dipimpin oleh Committee Executive
(berasal dari Kepala Divisi Kepatuhan) dengan anggota Committee Staff yang terdiri
dari Kepala Divisi Keuangan, Divisi MSDM, Divisi Audit Internal, Divisi Manajemen
Risiko, dan Kepala Divisi Kredit.
Pada kesempatan terpisah, Supaat (kepala Divisi Kepatuhan dan Eksekutif
Komite Anti-Fraud) membenarkan semua penjelasan Kepala BBI KCU Surabaya I.
Supaat menjelaskan bahwa dengan adanya surat edaran BI tahun 2011, BBI KCU
Surabaya I harus menyusun laporan implementasi strategi anti-fraud yang mencakup
pencegahan; deteksi; investigasi, pelaporan, dan sanksi; serta pemantauan, evaluasi,

48
Kearifan Religius Dalam Implementasi Sistem Pengendalian Manajemen Pencegahan Fraud

dan tindak lanjut. Laporan tersebut disusun setiap semester untuk dikirim ke kantor
pusat di Jakarta, dan kantor pusat yang akan membuat laporan komprehensif kepada
Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Supaat menyatakan, bahwa selama tahun 2012-2019
belum ada pedoman standar bagaimana format dan isi laporan, dan baru pada akhir
tahun 2019 OJK menerbitkan peraturan tentang format dan isi laporan implementasi
strategi anti-fraud tersebut. Peraturan OJK tersebut berlaku efektif per 1 Januari 2020.
Supaat bercerita lebih lanjut:
“... mulai Januari 2020 kami akan menyesuaikan format dan laporan implementasi
strategi anti-fraud sesuai dengan peraturan OJK. Tapi perlu kami tegaskan lagi bahwa
startegi anti-fraud itu sebetulnya telah kami implementasikan sejak lama, melalui
sistem pengendalian manajemen yang telah ditetapkan dan menjadi pedoman bagi
seluruh insan BBI dalam melaksanakan tugasnya. Untuk menghindari kesalahan,
kekeliruan, ketidaktepatan, dan penyimpangan-penyimpangan dalam pekerjaan,
bank kami sudah menetapkan struktur organisasi yang memisahkan tanggung jawab
fungsional secara jelas. Sistem wewenang dan prosedur pencatatan yang jelas juga
sudah ada. Kami punya aturan dan kebijakan tentang praktik-praktik yang sehat
dalam pelaksanaan tugas fungsional, dan yang sangat penting juga, bank kami
menetapkan pedoman tentang sumberdaya manusia, di antaranya adalah kualitas
pegawai harus sesuai dengan tanggungjawabnya. Kode etik pegawai dan sanksi-
sanksinya juga telah disiapkan sejak lama...” (Supaat, Kepala Divisi Kepatuhan dan
Eksekutif Komite Anti-Fraud)
Supaat menambahkan bahwa sistem pengendalian manajemen sesungguhnya
telah dirancang sedemikian rupa sehingga penyimpangan-penyimpangan
pelaksanaan tugas, termasuk fraud, dapat dihindari. Menurut Supaat, perancangan
sistem pengendalian manajemen BBI telah memertimbangan prosedur-prosedur
pencegahan, deteksi, pemantauan, serta evaluasi berbagai potensi terjadinya fraud
serta tindak lanjutnya. Sistem pengendalian manajemen untuk mencegah,
mendeteksi, memantau, dan mengevaluasi berbagai potensi terjadinya fraud tersebut
ditetapkan untuk setiap divisi dan lintas divisi. Penjelasan Supaat (Kepala Divisi
Kepatuhan dan Eksekutif Komite Anti-Fraud) tersebut mencerminkan bahwa
corporate governance yang diimplementasikan oleh BBI telah mempertimbangkan
risiko-risiko bisnis yang mungkin timbul, sehingga sistem pengendalian manajemen
telah dirancang dengan baik untuk meminimalisir risiko tersebut. Praktik corporate
governance di BBI tersebut sejalan dengan hasil penelitian Sarens & Joe (2010),
bahwa perusahaan-perusahaan yang sadar risiko akan mengimplementasikan sistem
pengendaliaan intern yang baik sebagai bagian dari corporate governance. Hal yang
sama diungkapkan oleh Shin & Park (2017), bahwa sistem pengendalian manajemen
menjadi baik jika telah mengintegrasikan manajemen risiko di dalamnya. Penelitian
Shin & Park (2017) memperoleh bukti bahwa integrasi manajemen risiko ke dalam
sistem pengendalian manajemen merupakan pemicu (driver) kinerja keuangan
perusahaan, baik kinerja keuangan maupun non-keuangan.
Walaupun manajemen risiko telah terintegrasi dalam sistem pengendalian
manajemen, BBI tetap membentuk Komite Anti-Fraud untuk memenuhi surat edaran BI
yang kemudian diperkuat dengan peraturan OJK. Tugas kepemimpinan Komite Anti-
Fraud BBI KCU Surabaya I mengikuti aturan kantor pusat, yaitu dilaksanakan secara
kolektif oleh Committee Executive (berasal dari Kepala Divisi Kepatuhan) bersama
dengan Committee Staff yang terdiri dari Kepala Divisi Keuangan, Divisi MSDM, Divisi
Audit Internal, Divisi Manajemen Risiko, dan Kepala Divisi Kredit. Supaat menyatakan:

49
Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 23 No.1 April 2023

“... Komite Anti-Fraud dibentuk sebagai komitmen BBI untuk meningkatkan efektivitas
sistem pengendalian manajemen yang sudah ada, khususnya mencegah fraud. Komite
Anti-Fraud punya tugas untuk menumbuhkan budaya dan kepedulian anti-fraud pada
seluruh jajaran organisasi BBI...” (Supaat, Eksekutif Komite Anti- Fraud)
Untuk memenuhi persyaratan tentang kompetensi, seluruh anggota komite anti-
fraud BBI telah diikutsertakan dalam pendidikan profesi fraud examiner. Supaat
menegaskan bahwa saat ini seluruh anggora komite anti-fraud BBI telah memiliki
sertifikat keahlian di bidang anti-fraud, dan mereka memiliki sebutan profesional sebagai
Certified Fraud Examiner (CFE). “Kalau tidak ada surat edaran BI tahun 2011, mungkin
anggota komite anti-fraud tidak ada yang bersedia mengikuti pendidikan profesi fraud
examiner, termasuk saya”, kata Supaat sambil menahan tawa dan menunjukkan salinan
(copy) surat tugas dirinya untuk mengikuti CFE Exam Preparation Course yang
diselenggarakan oleh ACFE Indonesia Chapter (Surat Tugas No.21/STU-DIR/XII/
2012) tertanggal 5 Desember 2012. Sambil menoleh ke dinding di belakang tempat
duduknya, Supaat juga menunjukkan Piagam Certified Fraud Examiner (CFE) yang
diperolehnya pada bulan Februari 2013 setelah ia lulus ujian sertifikasi yang
diselenggarakan oleh ACFE International.

Whistleblowing System
Sebagai bagian dari sistem pengendalian manajemen pencegahan fraud pada pilar
deteksi, BBI KCU Surabaya I mengimplementasikan whistleblowing system yang
disebut “Report to Chief Executive Officer” (RTC). RTC menjadi sarana pelaporan
(pengaduan) fraud baik laporan dari kalangan pegawai maupun dari pihak luar. BBI KCU
Surabaya I mengimplementasikan whistleblowing system atau RTC sesuai Pedoman
whistleblowing yang telah ditetapkan oleh kantor pusat Jakarta, yang tertuang dalam SK
tentang Pedoman WBS (RTC) No.57/RTC/PDM-DIR/09.02/II/2005 tertanggal 5
Februari 2005. Substansi Pedoman WBS (RTC) tersebut adalah bahwa BBI mendorong
partisipasi semua pihak, baik internal maupun eksternal bank untuk memanfaatkan jalur
pelaporan melalui WBS (RTC) dugaan pelanggaran di BBI secara rahasia tetapi
bertanggungjawab. Pedoman tersebut memberikan beberapa alternatif jalur pelaporan,
yaitu (a) nomor telepon khusus; (b) website http://bbi-transparan.tipoffs.com
(disamarkan); (c) email bbi-transparan/tipoffs.com (disamarkan); (d) surat ke BBI
Transparan PO BOX 1234 JKP (disamarkan); dan (e) SMS ke nomor yang telah
ditentukan.
Pedoman WBS (RTC) Bank BBI menegaskan bahwa untuk mempermudah dan
mempercepat proses tindak lanjut, pelaporan harus disertai sekurang-kurangnya: (a)
identitas pelapor, tetapi diperbolehkan menggunakan anonim; (b) uraian pelanggaran
yang dilakukan terlapor; (c) nama terlapor, pihak lain yang terlibat, dan unit kerjanya;
(d) tempat dan waktu kejadian; (e) dokumen pendukung dan bukti-bukti lainnya. Sesuai
dengan pedoman, pengaduan dapat disampaikan kepada Grup CEO yang mencakup para
kepala divisi, untuk dilanjutkan kepada Divisi Audit Internal sebagai unit yang
bertanggungjawab untuk mengelola pengaduan. Aditya, Kepala Divisi Audit Internal
BBI KCU Surabaya I menjelaskan:
“... RTC memang salah satu bentuk implementasi strategi anti-fraud. Tujuan RTC
adalah untuk mendeteksi fraud atau indikasi fraud melalui pengaduan pegawai atau
bisa juga pihak luar... RTC juga dimaksudkan untuk menumbuhkan sikap peduli
pegawai untuk ikut serta menjaga bank ini dari tindakan yang merugikan... merasa
ikut memiliki, begitulah... ” (Aditya, Kepala Divisi Audit Internal)

50
Kearifan Religius Dalam Implementasi Sistem Pengendalian Manajemen Pencegahan Fraud

Whistleblowing system (RTC) di BBI sebenarnya sudah diimplementasikan jauh


sebelum adanya kewajiban implementasi strategi anti-fraud dari Bank Indonesia
atau Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yaitu sejak tahun 2005 melalui Pedoman WBS
(RTC) No.57/RTC/PDM-DIR/09.02/II/2005 tertanggal 5 Februari 2005. RTC sudah
menjadi bagian dari sistem pengendalian manajemen BBI yang dievaluasi dan
dikembangkan secara berkala sejalan dengan perubahan lingkungan pengendalian.
Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran untuk mencegah penyimpangan atau fraud
telah ada di BBI tanpa digerakkan oleh aturan yang mewajibkannya. Hal ini sejalan
dengan pemikiran Senekal & Uys (2013), bahwa kebijakan untuk mengembangkan
dan mengimplementasikan whistleblowing system merupakan sebuah kebutuhan,
bukan karena keterpaksaan. Whistleblowing system sangat diperlukan bagi ethogenic
organisation, yaitu organisasi-organisasi yang sadar, cinta, dan selalu ingin
menjunjung tinggi etika dalam menjalankan aktivitasnya.
Berkaitan dengan mekanisme pelaporan fraud oleh whistleblower di lingkungan
BBI, Aditya (Kepala Divisi Audit Internal BBI KCU Surabaya I) menjelaskan lebih
lanjut, bahwa pengaduan pegawai berkaitan dengan fraud atau indikasi fraud dapat
disampaikan kepada Grup CEO melalui surat elektronik (e-mail), Short Message Service
(SMS), Kotak Surat, atau melalui intranet-website. Setiap pelapor akan diberikan
jaminan perlindungan dari BBI dengan cara menjaga kerahasiaan identitas pelapor
seperti nama, alamat, nomor telepon, email dan unit kerja di BBI. Walaupun demikian,
pelapor juga dibolehkan untuk tidak mencantumkan identitas. RTC juga membuka
kesempatan bagi pelapor (whistleblower) untuk melaporkan fraud atau penyimpangan
lain secara langsung kepada Grup CEO tanpa melalui media whistleblowing. Aditya
melanjutkan:
“...bank kami tidak hanya menjamin kerahasiaan identitas pelapor, tetapi juga jaminan
keamanan dan perlindungan terhadap tindakan balasan dari terlapor, yang berupa
ancaman keselamatan fisik, teror psikologis, keselamatan keluarga, keselamatan harta,
keamanan pekerjaan dan segala bentuk tindakan lain yang mengancam pelapor. BBI juga
memberikan bantuan dan perlindungan hukum kepada pelapor atas tindakan balasan dari
terlapor berupa tuntutan hukum...” (Aditya, Kepala Divisi Audit Internal)
Sebelum ditindaklanjuti, setiap pengaduan yang masuk selalu dievaluasi
kebenarannya, meskipun pelapor tidak menyebutkan identitas. Grup CEO melakukan
validasi laporan. Laporan yang tidak terkait dengan penyimpangan atau fraud, dianggap
sebagai “sampah” dan akan dihapuskan dari whistleblowing system, sedangkan laporan
yang valid akan ditindaklanjuti. Aditya menuturkan lebih lanjut, bahwa pelapor yang
memberikan laporan langsung dan terbukti dapat mencegah atau mengurangi terjadinya
fraud yang merugikan BBI diberikan penghargaan. Sebaliknya, jika laporan yang
disampaikan tanpa dilandasi itikad baik, tidak memiliki dasar, mengandung unsur bukti
palsu, fitnah, pencemaran nama baik, maka pelapor tersebut dapat dikenakan sanksi
sesuai ketentuan yang berlaku di BBI.
Mekanisme whistleblowing system (RTC) yang diimplementasikan di BBI KCU
Surabaya I, didukung dengan jaminan kerahasiaan identitas serta jaminan keselamatan
pribadi whistleblower, telah menumbuhkan sikap peduli pegawai untuk menjaga BBI
dari tindakan yang merugikan. Seperti diceritakan oleh Aditya, bahwa RTC cukup
menumbuhkan keberanian pegawai BBI untuk melaporkan fraud atau indikasi fraud
yang dilakukan oleh pegawai lainnya, meskipun tidak semua pegawai memiliki
keberanian. Data laporan whistleblower yang dapat dicatat dari wawancara dengan
Aditya (Kepala Divisi Audit Internal) memberikan gambaran tentang manfaat RTC

51
Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 23 No.1 April 2023

sebagai elemen sistem pengendalian manajemen pencegahan fraud, seperti tampak pada
tabel 2 berikut.

Tabel 2
Bentuk Whistleblowing, Indikasi Fraud, Hasil Investigasi dan Tindakan
Tahun Media Laporan Indikasi Fraud Hasil Investigasi Tindakan
2018 Website-Intranet Menyetujui dan Fraud terbukti Sanksi: pengembalian dana
mencairkan kredit kepada debitur, skorsing,
dengan meminta pelepasan jabatan, dan pindah
sejumlah imbalan unit kerja
kepada debitur
Website-Intranet Menutup rekening Fraud terbukti Sanksi: membuka kembali
pasif nasabah tanpa rekening nasabah dan
melalui prosedur mengembalikan dana,
pengendalian internal skorsing, dan pindah unit kerja
2019 Website-Intranet Mencairkan deposito Fraud terbukti Sanksi: pemberhentian sebagai
nasabah tanpa pegawai secara tidak hormat
sepengetahuan
nasabah (upaya
lapping, sebagai
pinjaman sementara)
Laporan langsung Mengembalikan Fraud terbukti Sanksi: mengembalikan dana
sertifikat tanah dan kepada nasabah, menarik
bangunan jaminan kembali sertifikat tanah dan
kredit kepada debitur bangunan jaminan kredit,
untuk kredit yang skorsing, pelepasan jabatan,
belum lunas, dengan dan pindah unit kerja.
meminta imbalan
2020 Laporan langsung Melakukan mark-up Fraud terbukti Sanksi: mengembalikan dana
nilai jaminan untuk kepada nasabah, skorsing,
menyetujui pelepasan jabatan, dan pindah
permohonan kredit unit kerja.
nasabah dengan
meminta sejumlah
imbalan
Website-Intranet Menerbitkan bilyet Fraud terbukti Sanksi: Pemberhentian sebagai
giro ganda atas nama pegawai secara tidak hormat
nasabah yang
memiliki hubungan
kekerabatan
Sumber: Arsip Direktur Kepatuhan dan Risiko Perusahaan

Tabel 2 menunjukkan bahwa whistleblowing system (RTC) sebagai elemen sistem


pengendalian manajemen di BBI memperlihatkan kekuatannya untuk membantu
mengungkap perilaku fraud melalui laporan whistleblower, baik laporan secara langsung
maupun melalui website-intranet. Tabel 2 juga menunjukkan bahwa fraudster adalah
orang-orang yang cerdik dan kreatif. Hal ini tercermin dari modus operandi fraud yang
berbeda dari waktu ke waktu. Jika suatu modus operasi fraud dapat diketahui oleh orang
lain, maka fraudster mencari celah untuk melakukan fraud dengan cara yang berbeda.
Situasi ini konsisten dengan Kearney (2006) yang menyatakan bahwa fraudster tidak
akan menyerah untuk mencari celah melakukan kejahatan keuangan, dan kreatif mencari
cara agar kejahatannya tidak diketahui oleh orang lain. Kearney (2006) juga menyatakan
bahwa fraudster adalah orang-orang pandai dan cerdas, tetapi secara psikologis

52
Kearifan Religius Dalam Implementasi Sistem Pengendalian Manajemen Pencegahan Fraud

mengalami gangguan kepribadian atau kejiwaan. Gangguan kejiwaan tersebut


mendorong fraudster untuk memanfaatkan kecerdasannya dalam upaya memenuhi
hasrat jahatnya.
Fakta lain yang dapat dipersepsi berada di balik perilaku dan modus operandi fraud
sebagaimana tampak dalam tabel 2 adalah, bahwa sistem pengendalian manajemen
pencegahan fraud di BBI masih mengandung kelemahan. Jika sistem pengendalian
manajemen kuat, maka perilaku fraud tidak akan terjadi. Atas persepsi ini, Aditya
(Kepala Divisi Audit Internal) menyatakan sependapat, tetapi di sisi lain juga tidak
sependapat:
“... Tidak salah juga jika ada persepsi demikian. Oleh karena itu, kami terus mengevaluasi
kekuatan dan kelemahan sistem pengendalian secara berkelanjutan. Tetapi, saya
berpendapat bahwa sekuat apapun sistem pengendalian, akan jebol juga oleh kejahatan,
jika kejahatan itu dilakukan secara berjamaah... maaf, maksud saya dilakukan secara
bersama-sama melalui kolusi yang bisa saling menutupi. Logikanya kan begitu...”
(Aditya, Kepala Divisi Audit Internal)
Pendapat Kepala Divisi Audit Internal tersebut konsisten dengan Albrecht &
Hoopes (2014) yang menyatakan bahwa audit tidak selalu dapat mendeteksi semua
fraud, terutama fraud yang dilakukan melalui kolusi oleh berbagai pihak yang
semula diberi tugas dan wewenang berbeda agar mereka dapat saling mengawasi.
Albrecht & Hoopes (2014) menjelaskan lebih lanjut, bahwa jika pihak-pihak yang
diharapkan dapat saling mengawasi melakukan kolusi untuk menyembunyikan fraud,
audit tidak akan mampu mendeteksinya, dan kolusi akan merusak sistem
pengendalian intern yang telah dirancang sebaik apapun.
Ketika ditanya apakah whistleblowing system (RTC) di BBI mampu mengurangi
perilaku fraud pegawai atau pihak luar bank, Aditya dengan gaya bahasa diplomatis
menjawab:
“... Saya tidak dapat memastikan hal itu, karena kenyataannya, meskipun ada RTC, ada
saja kecurangan yang dilakukan pegawai setiap tahun. Karena ada whistleblower yang
berani lapor, maka kejahatan yang tidak terdeteksi melalui sistem pengendalian
manajemen dapat kami ketahui dari laporan itu untuk ditindaklanjuti. Seandainya tidak
ada laporan, mungkin kami tidak mengetahui ada kecurangan, karena tertutup oleh
kolusi. Menurut saya, kalau ada penurunan jumlah fraud, bukan berarti perilaku fraud
benar-benar berkurang, sebab ada beberapa kemungkinan. Mungkin fraud memang
berkurang, atau mungkin fraud meningkat tapi tidak terdeteksi akibat kolusi. Jadi,
dengan adanya RTC, kami berharap semua pegawai BBI peduli untuk menjaga bank ini
dari perbuatan yang merugikan, kami berharap ada whistleblower yang peduli untuk
melaporkan fraud tersembunyi yang mereka ketahui... ” (Aditya, Kepala Divisi Audit
Internal)
Aditya juga bercerita bahwa cara yang dilakukan BBI dalam rangka
menumbuhkan kepedulian pegawai untuk melawan fraud bukan hanya dengan
whistleblowing system (RTC), tetapi juga mengikutsertakan setiap pegawai dalam
pelatihan anti-fraud. Tetapi, Aditya berpendapat bahwa pelatihan anti-fraud bukan
jaminan setiap orang dapat berubah menjadi sadar dan peduli untuk melawan fraud,
terutama melawan niat jahat yang ada dalam dirinya. Pendapat Aditya tersebut sejalan
dengan Hauser (2019) yang memperoleh bukti empirik bahwa pelatihan-pelatihan
anti-korupsi yang melibatkan pegawai tidak mempengaruhi kuantitas maupun
kualitas korupsi yang terjadi. Berdasarkan fakta tersebut, Hauser (2019) menduga
bahwa pelatihan-pelatihan anti-korupsi belum menyentuh substansi pelatihan, yaitu

53
Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 23 No.1 April 2023

merubah pikiran manusia menjadi bersih dari niat jahat. Sehubungan dengan hal
tersebut, Aditya (Kepala Divisi Audit Internal) menyatakan bahwa walaupun
pelatihan anti-fraud bukan jaminan terbentuknya kejujuran setiap orang, tetapi
setidaknya setiap orang mengetahui bagaimana modus terjadinya fraud, bagaimana
cara mendeteksinya, serta bagaimana cara mencegahnya.

Doa Sebagai Ikhtiar Melawan Fraud


Berbagai upaya telah dilakukan oleh BBI Kepala BBI KCU Surabaya I dalam
melawan fraud, mulai dari perancangan sistem pengendalian manajemen, formulasi
kebijakan dan strategi anti-fraud, pembentukan komite anti-fraud, hingga
pengimplementasian whistleblowing system. Taufan (Kepala BBI KCU Surabaya I)
memandang bahwa semua kebijakan dan strategi anti-fraud tersebut merupakan ikhtiar
secara realistis berdasarkan logika dan rasio untuk menghindarkan BBI dari perilaku
menyimpang yang merugikan bank. Namun demikian, Taufan menyatakan bahwa
melawan fraud hanya dengan ikhtiar melakukan tindakan-tindakan logis dan realistis
tidak cukup. Dengan menggunakan kosa-kata dan ungkapan bahasa filosofis, Taufan
melanjutkan:
“...sistem pengendalian manajemen, kebijakan dan strategi anti-fraud, komite anti-
fraud, dan whistleblowing system, semua hanyalah ikhtiar untuk mencegah fraud.
Ikhtiar itu dilakukan secara rasional berdasarkan logika ilmu pengetahuan. Semua
upaya itu hanya menyentuh aspek materialnya, atau hanya bersifat materialistik.
Yang saya maksud materialistik di sini adalah bahwa semua upaya tersebut hanya
menyentuh aspek luarnya, yaitu mengutamakan tindakan-tindakan yang dapat
dirasionalisasi oleh akal. Ikhtiar itu hanya mengandalkan cara-cara yang dianggap
ilmiah dan dapat dijelaskan rasionalitasnya dengan ilmu pengetahuan. Tetapi, kami
menyadari bahwa melawan fraud tidak cukup dengan ikhtiar yang rasional menurut
pikiran manusia. Kami menyadari bahwa semua ikhtiar memiliki keterbatasan, dan
kami juga menyadari bahwa keberhasilan setiap ikhtiar ada dalam kehendak Tuhan
Yang Maha Esa. Oleh karena itu, kami merasa wajib melengkapi setiap ikhtiar
dengan berdoa meminta pertolongan kepada Tuhan Yang Maha Esa...” (Taufan,
Kepala BBI KCU Surabaya I)
Melengkapi doa dalam ikhtiar melawan fraud sebagaimana diungkapkan oleh
Taufan tersebut dapat diamati dalam praktik sehari-hari di lingkungan BBI KCU
Surabaya I. BBI mengimplementasikan praktik berdoa bersama secara rutin setiap
hari, yaitu pada pagi hari sebelum memulai pekerjaan, dan pada sore hari sebelum
mengakhiri pekerjaan. Doa bersama dilakukan oleh seluruh pimpinan dan pegawai
pada berbagai tingkatan organisasi tanpa kecuali. Taufan mengatakan:
“...kami masukkan praktik berdoa bersama itu sebagai bagian dari sistem
pengendalian manajemen, khususnya dalam memulai dan mengakhiri pekerjaan.
Praktik berdoa bersama itu sebetulnya sudah berlangsung sangat lama, sudah
berjalan kurang lebih 35 tahun yang lalu, sejak saya belum bertugas di sini.
Sesungguhnya, tujuan kami berdoa bersama adalah memohon pertolongan Tuhan
Yang Maha Esa untuk melawan fraud dalam arti luas, yaitu melawan kemalasan,
kecerobohan, kelalaian, keserakahan, hingga kecurangan yang dapat merugikan
bank, baik yang bersumber dari orang dalam maupun dari orang luar...” (Taufan,
Kepala BBI KCU Surabaya I)
Pernyataan Taufan tersebut merefleksikan sebuah prinsip, bahwa organisasi
sebagai representasi aktivitas sekumpulan manusia, pencapaian tujuan organisasi tidak

54
Kearifan Religius Dalam Implementasi Sistem Pengendalian Manajemen Pencegahan Fraud

hanya cukup bersandar pada sebuah sistem pengendalian manajemen yang rasional
berdasarkan logika manusia. Sebagai representasi aktivitas sekumpulan manusia,
organisasi BBI menyadari bahwa rasionalitas manusia memiliki keterbatasan, dan
meyakini bahwa keberhasilan sistem pengendalian manajemen, pada tingkatan
rasionalitas apapun, tidak terlepas dari ijin atau ridha Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh
karena itu, ketika BBI menyadari bahwa tercapainya tujuan tidak terlepas dari ijin atau
ridha Tuhan Yang Maha Kuasa, BBI merasa wajib untuk meminta pertolongan dan
berserah kepada-Nya. Permintaan pertolongan tersebut disampaikan melalui praktik
berdoa bersama.
Pada kesempatan terpisah, Suminto (Kepala Unit Pembinaan Mental BBI KCU
Surabaya I) membenarkan semua pernyataan Taufan (Kepala BBI KCU Surabaya I).
Suminto menyatakan bahwa berdoa bersama di lingkungan BBI KCU Surabaya I
merupakan suatu upaya seluruh pegawai untuk memohon pertolongan kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa. Suminto menyarankan lebih lanjut bahwa,
“… doa bersama ini penting untuk dilakukan karena sesungguhnya tidak ada
keberhasilan yang dicapai oleh manusia tanpa pertolongan dan kehendak Tuhan
Yang Maha Kuasa. Ilmu manajemen mungkin saja bisa dirancang secara rasional
untuk menghindari kecurangan manusia, tetapi jika Tuhan tidak memberikan ridho-
Nya, semua tentu akan sia-sia…”
Suminto (Kepala Unit Pembinaan Mental) mengungkapkan rasa senangnya
melihat rutinitas pegawai BBI KCU Surabaya I pada setiap pagi dan sore hari melakukan
doa bersama dengan sepenuh hati meminta pertolongan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Diungkapkan oleh Suminto, bahwa sejak seseorang ingin melakukan sesuatu, niatkan
usaha tersebut untuk Tuhan YME, serta berharap pada kemurahan hati-Nya agar
diberikan pertolongan. Untuk membiasakan hati dan pikiran berlaku seperti itu, setiap
manusia harus istiqamah meskipun berat. Usaha yang dilakukan jika tidak dibarengi
dengan keteguhan hati, niat tulus, permohonan ridho kepada Tuhan YME maka bisa saja
berhenti di tengah jalan. Seluruh pegawai harus selalu siap atas segala keputusan Tuhan
YME dengan ridha dan berbaik sangka kepada-Nya, kata Suminto.

Implementasi Doa Bersama Pencegahan Fraud


Suminto (Kepala Unit Pembinaan Mental) memiliki keyakinan bahwa setiap
agama membimbing umatnya untuk tidak menjadi makhluk yang terlalu percaya diri.
Islam misalnya, mendidik umatnya untuk menjadi orang yang gigih dan tidak lemah,
tetapi juga tidak menjadi orang sombong dan congkak. Suminto menyatakan,
“… berusaha, berdoa, dan memasrahkan diri kepada apa yang menjadi ketetapan Allah
subhanahu wa ta’ala, Tuhan Yang Maha Esa, merupakan salah satu bentuk dari tawakal.
Tawakal memiliki arti menyandarkan hati sepenuhnya kepada Allah dalam meraih
maslahat atau menghindari mudharat, baik untuk urusan duniawi maupun akhirat…”
Dijelaskan oleh Suminto, bahwa doa bersama kepada Tuhan YME untuk meraih
kemaslahatan dan menghindari kemudharatan di lingkungan BBI KCU Surabaya I
dilakukan oleh seluruh pegawai, apapun agamanya. Diungkapkan pula oleh Suminto
bahwa agama yang dianut oleh pegawai BBI KCU Surabaya I saat ini beragam, yaitu
Islam, Kristen, Katolik, dan Hindu. Walaupun agama yang dianut beragam, tetapi doa
tetap dilakukan secara bersama- sama. Dalam hal ini, Suminto menjelaskan,
“… karena mayoritas, kira-kira 80%, pegawai BBI KCU Surabaya I beragama Islam,
maka doa bersama dilaksanakan secara Islam. Bagi pegawai yang beragama non-Islam
dapat memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agamanya masing-

55
Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 23 No.1 April 2023

masing… bagi kami hal itu bukan masalah, yang penting hakikat doa yang dipanjatkan
adalah memohon pertolongan dan petunjuk-Nya agar kami semua mampu berbuat
kebaikan, baik bagi diri sendiri maupun bagi organisasi…”
Ketika ditanyakan bentuk doa yang secara rutin dipanjatkan kepada Tuhan YME
pada setiap pagi dan sore hari, Suminto menyodorkan dua lembar naskah doa. Pada
lembar pertama, tertulis teks doa untuk pagi hari sebelum memulai pekerjaan, sedangkan
pada lembar kedua, tertulis teks doa untuk sore hari sebelum mengakhiri pekerjaan dan
meninggalkan kantor.
Secara teknis, Suminto (Kepala Unit Pembinaan Mental) menjelaskan bahwa
bacaan dari teks doa bersama tersebut telah direkam dalam format Motion Pictures
Expert Group-1 Layer- 3 (MPEG-3) yang secara umum dikenal dengan singkatan MP3.
Rekaman suara MP3 tersebut diputar melalui audio-system yang didistribusikan ke
seluruh ruang kerja. Pemutaran rekaman doa tersebut dilakukan pada pukul 07.55 WIB
(sebelum jam kerja dimulai pukul 08.00 WIB) dan pukul 15.55 WIB (sebelum akhir jam
kerja pukul 16.00 WIB).
Nasabah yang telah berada dalam ruang pelayanan nasabah (customer service),
sambil menunggu dimulainya pelayanan pada pagi hari, dapat mengikuti doa
bersama tersebut. Demikian pula pada sore hari, nasabah yang masih berada dalam
ruang pelayanan, dapat mengikuti doa bersama. Suasana hening dan khidmat sangat
terasa ketika berlangsung doa bersama tersebut. Seluruh pegawai dan nasabah
tertunduk khidmat mendengar dan meresapi ungkapan doa, serta sesekali terlihat
bergumam meng”amin”kan bacaan doanya.

Doa Sebagai Sumber Kekuatan Pencegahan Fraud


“Doa merupakan sumber kekuatan dan harapan dalam pencegahan fraud”,
demikian kesimpulan yang dapat dirangkum dari pernyataan-pernyataan informan
(partisipan) dalam penelitian ini. Para partisipan meyakini bahwa doa memiliki
kekuatan untuk mewujudkan harapan manusia dalam perjalanan hidupnya. Manusia
menjalani kehidupan dunia dalam skenario kekuasaan Allah, dan dengan demikian,
manusia seharusnya selalu ingat dan rindu kepada Allah SWT yang maha kuasa
memberi pertolongan dan perlindungan. Dalam konteks pencegahan fraud, Taufan
(Kepala Bank BBI KCU Surabaya I) mengungkapkan keyakinannya bahwa,
“…sebagai seorang muslim saya sangat meyakini bahwa di balik setiap kejadian, ada
Allah SWT yang mengaturnya. Untuk mencegah fraud, semua elemen organisasi
Bank BBI memang harus berusaha secara sungguh-sungguh, karena tanpa kesungguhan,
mustahil pencegahan fraud akan berhasil… tetapi harus ingat bahwa ada Allah SWT
yang maha menentukan. Oleh karena itu, saya yakin bahwa doa dari seluruh elemen
organisasi Bank BBI itu penting, memohon pertolongan dan perlindungan kepada Allah
SWT…”
Sambil menggeser tempat duduknya dan merapikan kertas-kertas yang ada di
atas meja kerjanya, Taufan melanjutkan:
“… Fraud perbankan itu bersumber dari manusia, ditujukan juga kepada manusia.
Kita ini bisa menjadi pelaku fraud, dan untuk menghindarinya, kita berdoa mohon
pertolongan dan petunjuk kepada Allah agar tidak sampai melakukannya… Kita ini
juga dapat menjadi sasaran fraud yang dilakukan oleh orang lain, baik dari dalam
bank maupun dari luar bank… Untuk menghindari agar kita tidak menjadi korban
fraud, kita perlu berdoa memohon perlindungan kepada Allah… Bagi saya, doa
dapat menjadi salah satu kekuatan untuk mencegah fraud, melengkapi sistem

56
Kearifan Religius Dalam Implementasi Sistem Pengendalian Manajemen Pencegahan Fraud

perbankan yang telah didesain oleh manajemen berdasarkan logika ilmu


pengetahuan…”
Pernyataan Taufan sebagai pimpinan tertinggi pada Bank BBI KCU Surabaya I
tersebut tidak terbantahkan oleh pernyataan-pernyataan pegawai Bank BBI pada
tingkatan Kepala Divisi maupun tingkatan Pelayanan Nasabah. Yurike (Kepala Divisi
Keuangan) misalnya, menyatakan bahwa doa adalah nafas hidup orang yang percaya
akan keberadaan dan kekuasaan Tuhan. Yurike (Kepala Divisi Keuangan) adalah
penganut agama Kristen. Ia menegaskan bahwa,
“… saya senang ada doa bersama yang dilaksanakan secara formal di Bank BBI ini.
Tidak masalah dengan adanya doa bersama yang dilaksanakan secara Islam karena
mayoritas pegawai Bank BBI ini beragama Islam, meskipun saya sendiri beragama
Kristen… saya enjoy saja mendengar dan mengikuti doa secara Islam, toh saya dapat
berdoa sendiri secara Kristen. Tujuan doanya sama yaitu minta pertolongan dan
perlindungan Tuhan supaya kita mampu berbuat kebaikan dan terhindar sebagai pihak
yang menjadi korban perbuatan jahat…”
Yurike (Kadiv Keuangan) mengakui bahwa doa kepada Tuhan merupakan
kebutuhan dalam kehidupan manusia sebagai makhluk yang lemah. Dengan bahasa
filosofi Kristiani, ia menyatakan bahwa doa adalah nafas hidup orang Kristen. “Jika
tidak bernafas, maka kita akan mati. Artinya, jika saya tidak berdoa, maka berarti
kerokhanian saya sebagai kristiani sudah mati. Hidup tanpa percaya keberadaan dan
kekuasaan Tuhan adalah hidup yang mati”, kata Yurike. Dalam konteks pencegahan
fraud, Yurike (Kadiv Keuangan) mengungkapkan keyakinannya bahwa,
“… secara pribadi saya ingin selalu berbuat baik dan bermanfaat, bagi diri sendiri
maupun bagi orang lain. Untuk itu saya selalu berdoa memohon pertolongan Tuhan agar
saya dilindungi dari godaan untuk berbuat jahat dalam menjalankan pekerjaan ini, atau
yang disebut berbuat fraud itu ya… saya juga selalu berdoa supaya Tuhan melindungi
saya dari perbuatan jahat orang lain… jadi, menurut saya, doa bersama itu juga penting…
Sejauh ini, doa bersama yang dilakukan dua kali dalam satu hari kerja itu selalu
mengingatkan saya untuk selalu berbuat baik… dan sejauh ini saya percaya bahwa
karena saya berdoa, maka Tuhan melindungi saya dari perbuatan jahat orang lain… jadi,
bagi yang percaya, jangan remehkan kekuatan doa” (Yurike, Kadiv Keuangan)
Yurike juga mengungkapkan keyakinannya bahwa doa adalah komunikasi dua
arah antara manusia dengan Tuhan. “Dengan makin sering saya berkomunikasi dengan
Tuhan, maka telinga saya akan semakin peka mendengar suara-Nya. Mungkin Tuhan
tidak langsung berbicara secara audible, tetapi Tuhan juga bisa berbicara lewat berbagai
hal yang saya alami. Saya makin bisa merasakan bahwa Tuhan memberikan balasan dan
peringatan melalui suatu kejadian”, katanya.
Ungkapan Taufan (Kepala KCU Bank BBI Surabaya I) dan Yurike (Kadiv
Keuangan) tentang kekuatan doa dalam pencegahan fraud sebagaimana diuraikan di atas
juga tidak terbantahkan oleh pernyataan Nyoman (Kepala Divisi SDM), seorang
penganut agama Hindu. Dalam pandangan Nyoman, setiap orang pasti menginginkan
hidup damai. Sambil belajar memahami dan bersahabat dengan diri sendiri, ada satu hal
penting yang harus dilakukan agar bisa menjalani hidup damai, yaitu berdoa. Nyoman
menyatakan, bahwa:
“… saya mengapresiasi aktivitas doa bersama yang dilakukan di Bank BBI ini.
Tujuannya adalah memohon pertolongan dan perlindungan kepada Tuhan demi
kebaikan untuk semua… bagi saya no problem jika doa dilakukan dengan cara Islam.
Karena tujuannya sama, maka saya bisa berdoa dengan cara Hindu… doa adalah

57
Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 23 No.1 April 2023

sumber kekuatan, sehingga tidak ada tempat lain bagi manusia untuk memohon
perlindungan selain kepada Tuhan…” (Nyoman, Kepala Divisi SDM)
Nyoman menyatakan bahwa ketika rekaman audio doa bersama secara Islam
dikumandangkan melalui audio-system, ia dengan khidmat mengikuti doa tersebut
dengan cara membaca doa sendiri berdasarkan ajaran agama Hindu. Ketika ditanya
apakah ada bahasa khusus terkait dengan doa dalam agama Hindu, Nyoman
menyodorkan selembar kertas yang berisi teks doa dalam agama Hindu, yang disebutnya
sebagai doa memohon bimbingan kepada Tuhan.
Dalam konteks pencegahan fraud, Nyoman (Kadiv SDM) mengungkapkan
keyakinannya bahwa doa tersebut sangat relevan dengan permohonan kepada Tuhan agar
dirinya dihindarkan dari perbuatan yang tidak benar, yaitu perbuatan curang (fraud). Doa
tersebut juga merupakan permohonan kepada Tuhan untuk menghancurkan musuh
(nafsu) yang ada dalam dirinya, yaitu sifat serakah yang menimbulkan niat untuk
melakukan perbuatan curang (fraud). Selain itu, menurut Nyoman, doa tersebut
mengungkapkan permohonan kepada Tuhan agar dirinya dilindungi dari marabahaya,
salah satunya adalah perbuatan curang (fraud) yang dilakukan oleh orang lain yang dapat
merugikan dirinya dan merugikan organisasi.

Doa dalam Implementasi Sistem Pencegahan Fraud: Sekadar Fashion?


Keberadaan aktivitas doa bersama yang dimasukkan sebagai bagian dari sistem
pencegahan fraud sebagaimana diimplementasikan pada Bank BBI KCU Surabaya I
memang tidak pernah ditemukan dalam buku-buku teks akademik. Hal ini terjadi karena
pengaruh positivisme dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam perspektif
positivisme, pengaruh doa terhadap keberhasilan pencapaian suatu tujuan tidak dapat
diukur dan sulit dibuktikan kebenarannya secara empiris. Efek keluaran (output) suatu
doa bersifat transendental, atau berada di luar jangkauan pikiran manusia. Oleh karena
itu, dalam perspektif positivisme, semua hal yang bersifat transendental harus
dikeluarkan dari objek kajian ilmu pengetahuan.
Berdasarkan karakteristik pemikirannya, positivisme memandang doa yang
dilakukan pada suatu aktivitas hanyalah “mode” yang bersifat fashion. Doa hanya
berjalan secara mekanistik yang tidak lebih dari sekadar formalitas mengikuti
“mode”. Implementasi doa dipandang sebagai fashion untuk menunjukkan
kereligiusan (religiousity) suatu lingkungan, bahkan hanya dianggap sebagai upaya
untuk membentuk brand suatu lingkungan. Benarkah praktik doa bersama pada Bank
BBI KCU Surabaya I berjalan secara mekanistik dan sekedar formalitas mengikuti
mode? Benarkah praktik doa bersama hanya sekedar aksi untuk membangun citra
religiousity dan membentuk brand Bank BBI KCU Surabaya I?
Taufan (Kepala KCU Bank BBI Surabaya I) tidak menolak adanya anggapan
dan pandangan seperti itu. Namun demikian, Taufan menyatakan pendapatnya
dengan bahasa filosofis bahwa:
“… Jika ada orang yang menganggap doa adalah hal yang tidak ilmiah untuk dimasukkan
secara formal sebagai bagian dari tatakelola organisasi, ya silahkan saja. Bagi saya, sifat
ilmiah atau tidak ilmiah itu hanya terletak pada kriteria yang disepakati. Jika orang
memaknai ilmiah dalam bingkai karakteristik objektif, logis, terbuka, terukur dan dapat
dibuktikan kebenarannya secara empirik, maka doa akan dipandang sebagai sesuatu yang
tidak ilmiah… menurut saya, sesuatu yang dikatakan ilmiah tidak harus selalu dapat
dibuktikan kebenarannya secara empirik oleh setiap orang, karena ilmiah itu dapat
bersifat personal… bagi saya, doa itu ilmiah karena secara personal saya dapat

58
Kearifan Religius Dalam Implementasi Sistem Pengendalian Manajemen Pencegahan Fraud

membuktikan kebenaran doa yang saya ucapkan… menurut saya, keilmiahan doa itu
terletak pada keyakinan personal…” (Taufan, Kepala KCU Bank BBI Surabaya I)
Berdasarkan pendapatnya tersebut, Taufan memandang bahwa memasukkan
aktivitas doa bersama secara formal dalam implementasi sistem pengendalian
manajemen pencegahan fraud di Bank BBI KCU Surabaya I merupakan keputusan yang
ilmiah. Pembuktian kebenaran doa memerlukan keyakinan personal. Sementara itu,
keyakinan personal memerlukan proses internalisasi, yaitu proses penghayatan,
pendalaman, penguasaan secara mendalam yang berlangsung melalui latihan,
pembiasaan, pembinaan, bimbingan dan sebagainya. Internalisasi adalah proses
menjadikan nilai (value) sebagai bagian dari diri seseorang. Taufan kembali menegaskan,
bahwa:
“… Aktivitas doa bersama di Bank ini sudah berlangsung lama, lebih kurang 35
tahun, sejak sebelum saya memimpin KCU BBI ini… proses internalisasi untuk
menumbuhkan keyakinan bahwa doa bermanfaat dalam upaya pencegahan fraud
telah berlangsung dari suatu generasi ke generasi berikutnya… saya secara pribadi
meyakini bahwa doa telah mengendalikan diri saya untuk selalu berbuat baik.
Demikian pula, saya yakin bahwa dengan doa yang saya lakukan terus-menerus, saya
terlindung dari perbuatan jahat yang datang dari luar…”
Pada kesempatan yang terpisah, Suminto (Kepala Unit Pembinaan Mental)
menyatakan perasaan yang sama dengan Taufan. Suminto menyatakan, bahwa doa dalam
implementasi sistem pencegahan fraud bukanlah sekedar fashion yang mengikuti mode.
Doa adalah kekuatan batin bagi orang-orang yang beriman, apapun agamanya. Doa
adalah kekuatan batin, pembuka pintu rezeki, jalan menuju keberkahan, dan kemenangan
dunia-akhirat. Dalam konteks pencegahan fraud perbankan, Suminto menyatakan
bahwa,
“…Meskipun manajemen bank telah mendesain sistem untuk mencegah
kecurangan..hm..hm.. fraud ya.., tidak tertutup takdir buruk bahwa fraud akan tetap
terjadi… Sebagai orang beriman, saya berkeyakinan bahwa tidak ada yang dapat
menolak takdir buruk selain doa kepada Allah SWT. Sebab, jika seorang hamba berdoa
dengan sungguh-sungguh, maka Allah berkenan menghapus daftar takdir menurut
kehendak-Nya. Apabila Allah sudah berkehendak, maka tidak ada yang bisa mengusik
selain memohon kepada-Nya dengan doa. Inilah hikmah mendalam dari dahsyatnya doa”
Perasaan yang sama diungkapkan oleh Henriko (Kepala Divisi Manajemen
Risiko). Sebagai penganut agama Kristen, ia merasa bahwa aktivitas doa dalam
upaya pencegahan fraud di Bank BBI KCU Surabaya I bukanlah sekadar fashion
yang mengikuti mode untuk menunjukkan religiusitas pegawai bank. Henriko
mengatakan,
“… Agama Kristen mengajarkan kami untuk berdoa dengan dua cara, yaitu secara
berjemaat atau bersama-sama dan secara pribadi. Jadi, berdoa bersama untuk memohon
kebaikan kepada Tuhan itu bukan fashion lah… Saya percaya dengan janji Tuhan Yesus
yang akan mengabulkan doa orang-orang yang percaya kepada-Nya. Tuhan Yesus sudah
berjanji: apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh kepercayaan, kamu akan
menerimanya… Oleh karena itu, saya selalu berdoa dengan sungguh-sungguh, tidak
sekedar formalitas, dan tidak pernah menganggap doa bersama hanya sekadar sebagai
seremoni” (Henriko, Kadiv Manajemen Risiko)
Sebagai Kepala Divisi Manajemen Risiko, Henriko mengungkapkan perasaannya
bahwa betapa berat tugas dan tanggung jawab divisi yang dipimpinnya. Ia menyatakan,
“…Saya tidak hanya mengandalkan manajemen risiko perbankan berdasarkan ilmu

59
Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 23 No.1 April 2023

manajemen yang saya pelajari atau berdasarkan pelatihan dan program sertifikasi. Saya
perlu pertolongan dan perlindungan Tuhan Yesus agar manajemen risiko yang saya
implementasikan berhasil… Doa bersama adalah salah satu cara yang saya ikuti secara
sungguh-sungguh, selebihnya saya berdoa secara pribadi… Walaupun saya telah
melakukan manajemen risiko sesuai dengan ilmu manajemen, tetapi saya terus berdoa
agar Tuhan Yesus melindungi saya dari perbuatan curang atau yang sering disebut fraud
itu… Betapa tenang hati dan pikiran saya setiap selesai berdoa, karena saya yakin Tuhan
Yesus akan menolong dan melindungi saya…” (Henriko, Kadiv Manajemen Risiko)
Tidak berbeda dengan keyakinan tentang pentingnya doa untuk meminta
pertolongan dan perlindungan Tuhan dalam perspektif Islam dan Kristen sebagaimana
telah dikemukakan di atas, Ni Ketut (pegawai pada Unit Pelayanan Nasabah) sebagai
penganut agama Hindu menyatakan apresiasinya terhadap aktivitas doa bersama di
lingkungan Bank BBI KCU Surabaya I. Ia mengungkapkan perasaannya, bahwa:
“…Saya senang mengikuti doa bersama setiap pagi dan sore, meskipun doanya
dilakukan secara Islam. Saya bisa berdoa sesuai agama saya, Hindu. Saya pribadi
tidak menganggap doa bersama itu sekadar formalitas, tapi sungguh-sungguh berdoa
kepada Tuhan meminta pertolongan dan kebaikan sebelum memulai dan mengakhiri
pekerjaan setiap hari…” (Ni Ketut, Unit Pelayanan Nasabah)
Sebagai pegawai yang sehari-hari berhadapan langsung dengan nasabah untuk
melayani berbagai macam transaksi perbankan, Ni Ketut merasa betapa pentingnya doa
kepada Tuhan untuk meminta pertolongan dan perlindungan. Pertolongan yang
diharapkan Ni Ketut dari Tuhan adalah kekuatan fisik yang bekerja mulai pukul 08.00-
16.00 WIB, ketenangan pikiran, ketelitian, dan kesabaran untuk melayani nasabah;
sedangkan perlindungan yang diharapkan Ni Ketut dari Tuhan adalah terhindar dari
kecerobohan perhitungan keuangan, verifikasi transaksi dan instruksi, serta terhindar dari
perilaku nasabah yang menyimpang dari peraturan perbankan. Dalam konteks
pengendalian pencegahan fraud, Ni Ketut mengungkapkan bahwa,
“… Sungguh saya merasa tenang setiap selesai berdoa di pagi hari sebelum memulai
pekerjaan. Tenang karena saya seolah-olah merasa bahwa Tuhan ada di samping saya
untuk membimbing dan melindungi saya sepanjang hari. Saya berharap Tuhan
membimbing saya untuk melakukan hal-hal yang baik dan benar, tidak melakukan
kesalahan, tidak melakukan kecurangan, bahkan juga tidak mengalami kecurangan
atau dicurangi… Saya pernah menghadapi hal-hal yang dapat menimbulkan risiko
buruk bagi saya, misalnya menerima setoran uang palsu, salah dalam penginputan
nominal dan nomor rekening pada saat transaksi, kekurangan atau kelebihan bayar
kepada nasabah, dan kekurangan atau kelebihan pada saat menerima setoran
nasabah…” (Ni Ketut, Unit Pelayanan Nasabah)
Ketika diajak berdiskusi apakah doa bersama yang dilakukan setiap pagi dan sore
hari di lingkungan kerjanya memiliki efek positif pada pekerjaan yang menjadi
tanggungjawabnya, wanita 27 tahun berparas cantik itu dengan semangat menyatakan,
“…Oh tentu, dari doa yang saya ungkapkan dengan sungguh-sungguh dan tulus, baik
secara bersama-sama maupun sendiri, saya yakin bahwa Tuhan telah menolong saya
dalam menjalankan tugas dan pekerjaan. Tuhan memberi saya kemudahan terhadap
apapun yang saya kerjakan, sehingga saya merasa tidak ada hal-hal sulit yang harus saya
selesaikan… Agama Hindu mengajarkan kepada saya bahwa Tuhan adalah juru selamat
bagi umat manusia, sehingga sudah selayaknya saya memohon perlindungan kepada-
Nya dari segala mara bahaya, tidak terkecuali bahaya yang berkaitan dengan risiko
keuangan yang menjadi tanggung jawab saya di sini…” (Ni Ketut, Unit Pelayanan

60
Kearifan Religius Dalam Implementasi Sistem Pengendalian Manajemen Pencegahan Fraud

Nasabah)
Pernyataan dan ungkapan perasaan para partisipan sebagaimana diuraikan di
atas memberikan bukti bahwa memasukkan aktivitas berdoa bersama sebelum dan
sesudah melaksanakan pekerjaan pada umumnya, dan upaya pencegahan fraud pada
khususnya, bukanlah sekadar fashion dan formalitas. Doa adalah suatu kebutuhan
dalam hidup orang-orang yang beriman, apapun agamanya. Berdasarkan keimanan
yang dimiliki oleh seseorang, doa adalah ilmiah. Transendensi doa bukanlah kriteria
untuk menyatakan bahwa doa tidak ilmiah.

SIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN

Simpulan
Studi Fenomenologi Husserlian mengungkapkan kesadaran (consciousness)
dari para partisipan penelitian bahwa doa adalah kebutuhan hidup manusia yang
beriman. Doa merupakan kekuatan transendental yang diyakini mampu mendorong
partisipan untuk terus-menerus melakukan kebaikan dalam rerangka mencegah fraud.
Doa juga merupakan kekuatan transendental yang diyakini mampu melindungi
partisipan dari ancaman fraud dari luar. Studi Fenomenologi Husserlian juga
mengungkapkan kesadaran (perasaan dan pikiran) para partisipan dari agama yang
berbeda (Islam, Kristen, dan Hindu) bahwa berdoa adalah aktivitas ilmiah bagi orang
yang beriman atas keberadaan dan kekuasaan Tuhan. Oleh karena itu, meskipun
bersifat transenden, aktivitas berdoa bersama layak dimasukkan sebagai elemen
formal sistem pengendalian manajemen pencegahan fraud.

Keterbatasan
Sebagai bagian dari mekanisme sistem pengendalian manajemen pencegahan
fraud, mutasi pegawai Bank BBI antar cabang terjadi begitu cepat. Hal ini
menimbulkan keterbatasan penelitian untuk mengevaluasi apakah keyakinan atas
kekuatan doa bersama bagi setiap partisipan telah benar-benar terinternalisasi sebagai
nilai (value) yang melekat pada diri mereka. Proses internalisasi nilai (value) pada diri
seseorang umumnya terjadi melalui proses yang lama, sementara itu, tidak semua
cabang BBI mengimplementasikan aktivitas doa bersama seperti yang dilakukan
pada BBI KCU Surabaya I. Dampak yang mungkin terjadi atas keterbatasan tersebut
adalah bahwa para partisipan memberikan pernyataan-pernyataan yang bias terkait
dengan keyakinannya.

Saran Untuk Penelitian Selanjutnya


Dalam konteks penelitian dengan lingkup dan dimensi yang sama, yaitu
Fenomenologi Husserlian, penelitian lanjutan disarankan untuk melakukan evaluasi
atas internalisasi nilai-nilai religius (religiousity values) pada setiap partisipan
sebelum memahami kesadaran (consciousness) yang akan mereka ungkapkan.
Dengan demikian, bias atas pengungkapan kesadaran (consciousness) partisipan
dapat diantisipasi dan dikurangi.

61
Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 23 No.1 April 2023

DAFTAR PUSTAKA

ACFE (Association of Certified Fraud Examiner). (2016). Report to the Nations on


Occuptional Fraud and Abuse. Indonesia Chapter #111: Survei Fraud Indonesia,
1-62.
Albrecht, W.S., & Hoopes, J.L. (2014). Why Audits Cannot Detect All Fraud. The
CPA Journal, 84(10), 12-21.
Ananthram, S., & Chan, C. (2016). Religiosity, Spirituality and Ethical Decision-
Making: Perspectives From Executives In Indian Multinational Enterprises. Asia
Pacific Journal of Management, 33(3), 843-880.
Chan, C., & Ananthram, S. (2019). Religion-Based Decision Making in Indian
Multinationals: A Multi-faith Study of Ethical Virtues and Mindsets. Journal of
Business Ethics, 156(3), 651-677.
CNN Indonesia. (2016). Sejak 2014, OJK Tindak Tegas 108 Kasus Kejahatan
Perbankan.https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20161114120838-78-
172491/ sejak-2014-ojk-tindak-tegas-108-kasus-kejahatan-perbankan. (28
Februari 2021, 16:12).
DeHart, J.D. (2020). It Is What It Is": Literacy Studies and Phenomenology. The
Qualitative Report 25(3): 596-603
Fernando, M., & Jackson, B. (2006). The Influence of Religion-Based Workplace
Spirituality on Business Leaders' Decision-Making: An Inter-Faith Study. Journal
of Management and Organization, 12(1), 23-39.
Fox, C., Webster, B.D., & Casper, W.C. (2018). Spirituality, Psychological Capital
and Employee Performance: An Empirical Examination. Journal of
Managerial Issues, 30(2), 194-153.
Frimpong, K.,(2015). Back To Basics: Fighting Fraud and Austerity. Journal of
Financial Crime, 22(2), 219-227.
Greenwood, M. (2016). Approving or Improving Research Ethics in Management
Journals. Journal of Business Ethics, 137(3), 507-520.
Hauser, C. (2019). Fighting Against Corruption: Does Anti-Corruption Training
Make Any Difference? Journal of Business Ethics 159(1): 281-299.
Indonesia Satu (2017). OJK: Fraud Sektor Perbankan 90% Selalu Libatkan Orang
Dalam. http://indonesiasatu.co/detail/ojk---fraud--sektor-perbankan-90-persen-
selalu-libatkan- orang-dalam. (28 Februari 2021; 16:31)
Jackson, D. (2013). What Are Qualitative Research Ethics. Journal of Research
Administration 44(1): 93-95.
Kearney, M. (2006). The Fraudsters: Innovative, Industrious and Nefarious!
Accountancy Ireland 38(6): 54-55.
Liputan6 (2019). Tingkat Kecurangan Sektor Keuangan Indonesia Duduki Peringkat
2 di ASEAN. Liputan6.com 11 Oktober 2019. https://www.liputan6.
com/bisnis/read/4083650/tingkat-kecurangan-sektor-keuangan-indonesia-
duduki-peringkat-2-di-asean. Diunduh Rabu 26 Februari 2021, jam 19:49.
Long, B.S. & Mills, J.H. (2010). Workplace spirituality, contested meaning, and the
culture of organization: A critical sensemaking account. Journal of Organizational
Change Management 23(3): 325-341.
Majeed, N., Mustamil, N.M. & Nazri, M. (2018). Which Spirituality At The
Workplace? Is Corporate Spirituality The Answer? Journal of Business and
Management Review 7(1): 49-60.

62
Kearifan Religius Dalam Implementasi Sistem Pengendalian Manajemen Pencegahan Fraud

Marks, J.T. (2012). Matter of Ethics: Understanding the Mind of a White-Collar


Criminal. Financial Executive 28(9): 31-34.
Newman, C.J. & Neier, D.S. (2014). Become Proactive, Not Reactive, to Anti-Fraud and
Anti-Corruption Programs. Financial Executive 30(4): 14-16.
Osman-Gani, A.M., Hashim, J. & Yusof, I. (2013). Establishing Linkages Between
Religiosity and Spirituality On Employee Performance. Employee Relations
35(4): 360-376.
Otoritas Jasa Keuangan (2017). Laporan Tahunan Perbankan. www.ojk.go.id. (diunduh
pada 12 Februari 2020).
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 39/POJK.03/2019 Penerapan Strategi Anti
Fraud bagi Bank Umum. 19 Desember 2019.
Pergola, C.W. & Sprung, P.C. (2005). Developing a Genuine Anti-Fraud
Environment. Risk Management 53(3): 43-56.
Ramamoorti, S. & Olsen, W. (2007). Fraud: The Human Factor. Financial Executive
23(6): 53-55
Ramamoorti, S. (2008). The Psychology and Sociology of Fraud: Integrating the
Behavioral Sciences Component Into Fraud and Forensic Accounting
Curricula. Issues in Accounting Education 23(4): 521-533.
Sarens, G. & Joe, C. (2010). The Association Between Corporate Governance Guidelines
and Risk Management and Internal Control Practices: Evidence From A
Comparative Study. Managerial Auditing Journal 25(4): 288-308.
Schulaka, C. (2017). Steven Ryder on Protecting Client Data, Preventing Phishing
Scams, and Encrypting Devices. Journal of Financial Planning 30(8): 14-17.
Senekal, A. & Uys, T. (2013). Creating an Ethogenic Organisation: The Development
and Implementation of A Whistleblowing Policy. African Journal of Business
Ethics 7(1): 32- 39.
Shein, M.M. (2017). Fraud, Cybersecurity and Banking in Canada. Security 54(9): 72-
77.
Shin, I. & Park, S. (2017). Integration of Enterprise Risk Management and Management
Control System: Based on A Case Study. Investment Management & Financial
Innovations 14(1): 19-26.
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/28/DPNP Penerapan Strategi Anti Fraud bagi
Bank Umum. 9 Desember 2011.
Tarek,.A.A., Calgar, D. & Bayram, P. (2018). The Role of Corporate Culture and
Ethical Environment In Directing Individuals’ Behavior. Problems and
Perspectives in Management 16(4): 299-313.
Tiffen, R. (2015). How To Create an Anti-Fraud Culture. Public Finance (5): 44-45.
Vasconcelos, A.F. (2013). Examining Workers’ Perceptions of Spirituality In The
Workplace: An Exploratory Study. Management & Marketing 8(2): 231-260
Vasconcelos, A.F. (2018). Workplace Spirituality: Empirical Evidence Revisited.
Management Research Review 41(7): 789-821.
Verschoor, C.C. (2015). Fraud Continues to Cause Significant Losses. Strategic Finance
96(2): 11-15.
White, S. (2010). EU Anti-Fraud Enforcement: Overcoming Obstacles. Journal of
Financial Crime 17(1): 81-99.
Whiteley, A. (2012). Supervisory Conversations On Rigour and Interpretive Research.
Qualitative Research Journal 12(2): 251-271.

63
Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 23 No.1 April 2023

Wray-Bliss, E. (2003). Research Subjects/Research Subjections: Exploring The


Ethics and Politics of Critical Research. The Interdisciplinary Journal of
Organization, Theory and Society 10(2): 307-325.
Ziakas, V. & Boukas, N. (2014). Contextualizing Phenomenology In Event Management
Research: Deciphering The Meaning of Event Experiences. International Journal
of Event and Festival Management 5(1): 56-73.

64

You might also like