You are on page 1of 28

PERENCANAAN SISTEM TENAGA LISTRIK

“EKONOMI TENAGA LISTRIK”

KELOMPOK 7

ABDUL ANAS NASUTION 5152131013


A.Perencanaan Eknomi Tenaga Listrik
1. Pembangunan Sektor Ketenagalistrikan dalam Rencana Pembangunan
Nasional
Pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah tahun 2015-2019,
sektor ketenagalistrikan menjadi bagian dari strategi pembangunan
nasional, yaitu menjadi salah satu dari tiga dimensi pembangunan nasional:
1. Dimensi pembangunan manusia dan masyarakat.
2. Dimensi pembangunan sektor unggulan dengan prioritas
3. Dimensi pemerataan dan kewilayahan.
Sektor ketenagalistrikan masuk dalam dimensi salah satu sektor
unggulan dan prioritas nasional selain pangan, energi, kemaritiman,
kelautan, pariwisata dan industri.
Pada tahun 2015 ini dengan jumlah penduduk yang diperkirakan sudah mencapai
257,9 juta jiwa, jumlah pelanggan listrik PLN baru mencapai 60,3 juta jiwa atau rasio
elektrifikasi sebesar 84%. Kebutuhan listrik saat ini sudah mencapai 219,1 TWH.
Tahun 2024 jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 284,8 juta jiwa
dengan jumlah pelanggan listrik mencapai 78,4 juta jiwa, bila pertumbuhan
ekonomi diperkirakan sebesar 6,1 hingga 7,1% maka pada tahun 2024 tambahan
kapasitas listrik nasional mencapai 70.400 MW dengan asumsi pertumbuhan
kebutuhan listrik sebesar 8,7% per tahun, rasio elektrifikasi mencapai 99,4% maka
kebutuhan listrik nasional akan mencapai 464,2 TWH.
Hasil penelitian yang dipublikasikan dalam Journal of the Asia Pasific Economy
2011,sektor ketenagalistrikan merupakan sektor yang memberikan pengaruh
signifikan terhadap peningkatan kualitas pembangunan manusia suatu daerah.
Setiap kenaikan 1% dari rumah tangga yang menggunakan listrik akan menaikkan
HDI (Human Development Index) sebesar 0,2% dalam jangka panjang. Kenaikan HDI
yang dihasilkan dari pembangunan listrik paling tinggi dibandingkan dengan
pembangunan infrastruktur lainnya seperti 1% kenaikan di infrastruktur air dan jalan
hanya akan menaikkan HDI sebesar masing-masing 0,03% dan 0,01%. Hal ini
menunjukkan betapa pentingnya sektor ketenagalistrikan bagi peningkatan kualitas
pembangunan manusia di Indonesia.
Pada tahun 2014, kapasitas pembangkit listrik nasional baru mencapai 50,7 Giga
Watt, selama masa pembangunan lima tahun saat ini (2015-2019) peningkatan
kapasitas pembangkit listrik nasional diharapkan mampu mencapai peningkatan
sebesar 35,9 Giga Watt atau listrik paling tinggi dibandingkan dengan
pembangunan infrastruktur lainnya seperti 1% kenaikan di infrastruktur air dan
jalan hanya akan menaikkan HDI sebesar masing-masing 0,03% dan 0,01%. Hal ini
menunjukkan betapa pentingnya sektor ketenagalistrikan bagi peningkatan kualitas
pembangunan manusia di Indonesia.
mencapai 86,6 Giga Watt pada akhir tahun 2019. Kondisi ini diharapkan
mampu mendorong rasio elektrifikasi nasional hingga mencapai 96,6 % pada akhir
tahun 2019, atau mengalami peningkatan sebesar 15,1% dari yang saat ini sudah
dicapai. Saat ini masih ada 18,5 % penduduk Indonesia belum menikmati layanan
energi listrik. Dari tingkat rasio elektrifikasi tersebut, pelayanan dasar bagi
penduduk rentan dan kurang mampu (40% penduduk yang berpendapatan
terendah), peningkatan akses penerangan ditargetkan mencapai 100% dari yang saat
ini dicapai (52,3%) atau meningkat 47,7% untuk kurun waktu 5 tahun kedepan.
2. Kapasitas Ketenagalistrikan Indonesia
Kapasitas ketenagalistrikan di Indonesia ditinjau berdasarkan daya tersambung.
Daya tersambung, energi terjual, jumlah pelanggan dan kapasitas terpasang
merupakan gambaran umum dari kemampuan Indonesia dalam menyediakan
energi listrik saat ini. Daya tersambung yang merupakan besaran daya yang
disepakati oleh PLN dan pelanggan dalam perjanjian jual beli tenaga listrik,
daya tersambung ini yang menjadi dasar penghitungan beban.
Daya tersambung listrik di Indonesia totalnya mencapai 100.030,53 MVA.
Pembagian berdasarkan kelompok pelanggan di Indonesia, untuk rumah tangga
mencapai 48,374,47 MVA atau 48, 36% dari total daya tersambung, untuk
industri mencapai 23.541,96 MVA atau 23,53%, untuk bisnis sebesar 21,22%
atau mencapai 21.223,71 MVA. Sedangkan sisanya untuk kebutuhan sosial,
gedung kantor pemerintahan dan penerangan jalan umum.
Daya tersambung untuk Pulau Jawa pada tahun 2014 mencapai 69.874,20 MVA
atau mencapai 69,85% dari total nasional, dengan tingkat pemanfaatan daya
tersambung terbesar pada kelompok pelanggan rumah tangga yang mencapai
30.414,07 MVA atau mencapai 43,16% dari total daya tersambung di Pulau
Jawa. Sedangkan jumlah energi yang terjual kepada pelanggan adalah energi
(kWh) yang terjual kepada pelanggan TT (tegangan tinggi), TM (tegangan
menengah) dan TR (tegangan rendah) sesuai dengan jumlah kWh yang dibuat
rekening.
Jumlah energi listrik terjual pada tahun 2014 sebesar 198.601,78 GWh
meningkat 5,90% dibandingkan tahun sebelumnya. Kelompok pelanggan Industri
mengkonsumsi 65.908,68 GWh (33,19%), Rumah Tangga 84.086,46 GWh
(42,34%), Bisnis 36.282,42 GWh (18,27%), dan Lainnya (sosial, gedung
pemerintah dan penerangan jalan umum) 12.324,21 GWh (6,21%). Penjualan
energi listrik untuk semua jenis kelompok pelanggan yaitu industri, rumah
tangga, bisnis dan lainnya mengalami peningkatan masing-masing sebesar
2,37%, 8,90%, 5,17% dan 7,63%. Sedangkan jumlah pelanggan pada akhir tahun
2014 baru mencapai 57.493.234 pelanggan atau meningkat 6,48% dari akhir
tahun 2013. Harga jual listrik rata-rata per kWh selama tahun 2014 sebesar Rp
939,74 lebih tinggi dari tahun sebelumnya sebesar Rp 818,41.
Kapasitas terpasang dan unit pembangkit PLN (holding dan anak perusahaan)
pada akhir Desember 2014 mencapai 39.257,53 MW dan 5.007 unit, dengan
31.062,19 MW (79,12%) berada di Pulau Jawa. Total kapasitas terpasang
meningkat 14,77% dibandingkan dengan akhir Desember 2013.
Persentase kapasitas terpasang per jenis pembangkit sebagai berikut : PLTU
20.451,67 MW (52,10%), PLTGU 8.886,11 MW (22,64%), PLTD 2.798,55 (7,13%),
PLTA 3.526,89 MW (8,98%), PLTG 3.012,10 MW (7,67%), PLTP 573 MW (1,46%),
PLT Surya dan PLT Bayu 9,20 MW (0,02%). Adapun total kapasitas terpasang
nasional termasuk sewa dan IPP adalah 51.620,58 MW.
Dibandingkan tahun sebelumnya penggunaan bahan bakar minyak untuk
pembangkit listrik di Indonesia mengalami peningkatan, sedangkan pangsa gas
alam, batubara, panas bumi dan air mengalami penurunan. Produksi total PLN
(termasuk pembelian dari luar PLN) pada tahun 2014 sebesar 228.554,91 GWh,
mengalami peningkatan sebesar 12.366,36 GWh atau 5,72% dari tahun
sebelumnya. Dari produksi total PLN tersebut, energi listrik yang dibeli dari luar
PLN sebesar 53.257,93 GWh (23,30%). Pembelian energi listrik tersebut
meningkat 1.035,14 GWh atau 1,98% dibandingkan tahun 2013. Dari total energi
listrik yang dibeli, pembelian terbesar sebanyak 8.434 GWh (21,31%) berasal dari
PT Jawa Power, dan 7.435 GWh (18,79%) berasal dari PT Paiton Energy Company.
Pada akhir tahun 2014, total panjang jaringan transmisi mencapai 39.909,80
kms, yang terdiri atas jaringan 500 kV sepanjang 5.053,00 kms, 275 kV sepanjang
1.374,30 kms, 150 kV sepanjang 29.352,85 kms, 70 kV sepanjang 4.125,49 kms
dan 25 & 30 kV sepanjang 4,16 kms. Total panjang jaringan distribusi sepanjang
925.311,61 kms, terdiri atas JTM sepanjang 339.558,24 kms dan JTR sepanjang
585.753,37 kms. Kapasitas terpasang trafo gardu induk sebesar 86.472 MVA,
meningkat 6,30% dari tahun sebelumnya. Jumlah trafo gardu induk sebanyak
1.429 unit, terdiri atas trafo sistem 500 kV sebanyak 52 unit, sistem 275 kV
sebanyak 5 unit, sistem 150 kV sebanyak 1.179 unit, sistem 70 kV sebanyak 192
unit, dan sistem < 30 kV sebanyak 1 unit. Kapasitas terpasang dan jumlah trafo
gardu distribusi menjadi 46.779 MVA dan 389.302 unit. Kapasitas terpasang dan
jumlah trafo mengalami peningkatan masing-masing sebesar 8,32% dan 7,32%.
3. Kebutuhan listrik Indonesia
Pertumbuhan perekonomian Indonesia selama 10 tahun terakhir yang dinyatakan
dalam Produk Domestik Bruto (PDB) dengan harga konstan tahun 2000 mengalami
kenaikan rata-rata 5,8% per tahun. Pertumbuhan 4 tahun terakhir mencapai nilai
tertinggi 6,5% seperti diperlihatkan pada tabel di bawah ini:
Berdasarkan angka pertumbuhan ekonomi pada RPJMN tahun 2015-2019 yang
dikeluarkan oleh BAPPENAS, ekonomi Indonesia untuk tahun 2015-2019 diperkirakan
akan tumbuh antara 6,1%-7,1%, dan untuk periode tahun 2020-2024 mengacu pada
RUKN 2015-2034, yaitu rata-rata 7,0% per tahun.
Berdasarkan hal tersebut maka kebutuhan tenaga listrik selanjutnya diproyeksikan
pada tahun 2024 akan menjadi 464 TWh, atau tumbuh rata-rata dari tahun 2015-2024
sebesar 8,7% per tahun. Sedangkan beban puncak non coincident pada tahun 2024
akan menjadi 74.536 MW atau tumbuh rata-rata 8,2% per tahun.
Jumlah pelanggan pada tahun 2014 sebesar 57,3 juta akan bertambah menjadi78,4
juta pada tahun 2024 atau bertambah rata-rata 2,2 juta per tahun.
Pada periode tahun 2015-2024 kebutuhan listrik diperkirakan akan meningkat dari
219,1 TWh pada tahun 2015 menjadi 464,2TWh pada tahun 2024, atau tumbuh rata-rata
8,7% per tahun. Untuk wilayah Sumatera pada periode yang sama, kebutuhan listrik akan
meningkat dari 31,2TWh pada tahun 2015 menjadi 82,8 TWh pada tahun 2024 atau tumbuh
rata-rata 11,6% per tahun. Wilayah Jawa-Bali tumbuh dari 165,4 TWh pada tahun2015
menjadi 324,4 TWh pada tahun 2024 atau tumbuh rata-rata 7,8% pertahun. Wilayah
Indonesia Timur tumbuh dari 22,6 TWh menjadi 57,1 TWh atau tumbuh rata-rata 11,1% per
tahun.

Proyeksi penjualan tenaga listrik per kelompok pelanggan memperlihatkan bahwa pada
sistem Jawa Bali, kelompok pelanggan industri mempunyai porsi yang cukup besar, yaitu
rata-rata 41,4% dari total penjualan. Sedangkan di Indonesia Timur dan Sumatera rata-rata
porsi pelanggan industri adalah relatif kecil, yaitu masing-masing hanya 12% dan 14,7%.
Pelanggan residensial masih mendominasi penjualan hingga tahun 2024, yaitu 55% untuk
Indonesia Timur dan 59% untuk Sumatera.
B. PELUANG INVESTASI SEKTOR KETENAGALISTRIKAN DI
INDONESIA
1. Kebutuhan Investasi Sektor Ketenagalistrikan
Kebijakan harga energi (BBM dan listrik) dengan beban subsidi yang masih
sangat besar, mengakibatkan antara lain pengembangan infrastruktur energi yang
memanfaatkan gas maupun energi baru terbarukan (EBT) menjadi terkendala. Hal
ini mendorong pemanfaatan energi secara boros, dan tidak memberikan insentif
bagi pengembangan energi non-BBM untuk rumah tangga, transportasi, industri
maupun bisnis, serta tercermin dari tingkat elastisitas energi yang masih cukup
tinggi yaitu sekitar 1,63 (Thailand 1,4 dan Singapura 1,1, negara maju 0,1 hingga
0,6), tingkat intensitas energi pada indeks 400 (Amerika Utara 300, OECD sekitar
200, Thailand 350, dan Jepang 100). Sejak tahun 2010, subsidi BMM telah
meningkat hampir rata-rata sekitar 100 persen setiap tahun, sedangkan subsidi
listrik telah meningkat rata-rata hampir 20 persen setiap tahun.
2. PANDUAN INVESTASI
Isu lainnya yang dihadapi adalah masalah pengadaan lahan. Sifat yang khusus
dari sektor energi dan ketenagalistrikan menimbulkan berbagai kendala yang
belum diakomodasi secara memadai oleh peraturan yang ada saat ini. Misalnya
untuk memenuhi kewajiban penyediaan lahan di awal proses pengadaan / tender
pembangunan pembangkit listrik ternyata tidak dapat dilakukan dalam kasus
pembangunan pembangkit Mulut Tambang dimana lokasi pembangunan tidak
dapat ditentukan di awal. Selain itu, pengembangan panas bumi untuk
pembangkit listrik lebih banyak berada di area hutan lindung maupun di kawasan
konservasi. Demikian pula halnya dengan pembangunan jaringan transmisi baik
gas bumi maupun ketenagalistrikan yang membentang ratusan kilometer yang
membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk proses pengadaan lahannya.
Pembangunan infrastruktur dasar ketenagalistrikan dalam RPJMN 2015-
2019 diarahkan pada Penyediaan Listrik Untuk Rakyat. Total rasio
elektrifikasi pada tahun 2014 diperkirakan baru mencapai sekitar 81,51
persen atau masih ada sekitar 18,5 persen penduduk Indonesia belum
dapat menikmati layanan ketenagalistrikan. Aksesibilitas sarana
prasarana ketenagalistrikan sangat timpang, beberapa daerah yang
masih memiliki tingkat rasio elektrifikasi di bawah 60 persen pada
tahun 2013 yaitu NTT dan Papua, dimana masing-masing sebesar 57,58
persen, dan 35,55 persen. Tingkat layanan ketenagalistrikan yang masih
relatif rendah juga dapat ditunjukkan dari besarnya konsumsi tenaga
listrik per kapita dimana pada tahun 2012, tingkat konsumsi tenaga
listrik perkapita adalah 0.6 MWh/kapita dengan produksi tenaga
listriksebesar 173,51 ribu GWh.
Pembangunan kelistrikan di Indonesia untuk tahun 2015-2019 telah ditetapkan dalam
Kepmen 0074.K/21/MEM/2015 tentang rencana usaha penyediaan tenaga listrik 2015-
2024. Target pengembangan pembangkit listrik sebesar 35 GW akan dilaksanakan
dengan pembangunan 109 pembangkit listrik baru. Pengembangan pembangkit listrik
ini tidak hanya dilaksanakan oleh PT PLN (Persero) saja, tetapi juga akan melibatkan
pihak swasta. Keterlibatan pihak swasta dalam pengembangan listrik nasional
direncanakan mencapai 71% dari total pembangunan pembangkit listrik yang
direncanakan di Indonesia. Pengembangan listrik swasta mencapai 25.904 MW dari
rencana 36,6 MW, sedangkan sisanya sebesar 29% ( 10.681 MW) dilaksanakan oleh
pihak PT PLN (Persero).
Dari 109 pembangkit listrik yang akan dibangun di seluruh Indonesia, ada 24
rencana pembangunan pembangkit listrik yang akan dilaksanakan di regional Jawa-
Bali, 42 pembangkit listrik akan dibangun di regional Sumatera, 37 pembangkit listrik
yang akan dibangun di Indonesia Timur (termasuk Kalimantan) dan sisanya sebanyak
6 pembangkit listrik yang bersifat mobile yang dapat dipindah-pindahkan akan
dikembangkan juga di Indonesia.
C. Sifat Biaya Listrik
Dalam mengadakan perencanaan dan pengawasan biaya sangat perlu diketahui
sifat-sifat biaya. Pada dasarnya menurut sifatnya dikenal 3 (tiga) macam biaya
yakni:

1. Biaya tetap
2. Biaya Variabel
3. Biaya Semi Variabel
D. Pengaruh biaya listrik
Kebijakan kenaikan TDL yang dilakukan pemerintah baik dalam jangka pendek
maupun jangka panjang berdampak negatif terhadap kinerja ekonomi makro
dan sektoral di Indonesia. Secara makro, kebijakan tersebut akan
menyebabkan terjadinya penurunan PDB riil, penyerapan tenaga kerja
agregat, total konsumsi rumahtangga, dan investasi sekaligus menyebabkan
inflasi.
Secara sektoral, kebijakan kenaikan TDL juga berdampak negatiff terhadap
output, tenaga kerja, konsumsi rumahtangga dan tingkat harga. Penurunan
output dan penyerapan tenaga kerja paling besar terjadi pada industri yang
memgkonsumsi listrik dalam sekala besar.
Kebijakan kenaikan TDL juga berdampak pada penurunan total konsumsi
rumahtangga atas maupun rumahtangga bawah, dimana penurunan
rumahtangga atas jauh lebih besar daripada rumahtangga bawah. Pada jangka
panjang, dampak negatif kenaikan TDL terhadap penurunan total konsumsi
rumahtangga akan semakin besar karena upah riilnya tenaga kerja mengalami
penurunan.
Dampak kenaikan TDL akan lebih dirasakan dalam jangka panjang dibanding
jangka pendek. Ini dikarenakan pada jangka panjang kebijakan yang dilakukan
pemerintah tersebut akan menyebabkan terjadinya penurunan investasi yang
lebih besar, sehingga menghambat perkembangan sektor ekonomi.
E. Tarif Dasar
PLN memiliki golongan tarif pelanggan subsidi dan non-
subsidi. 2 golongan yang mendapatkan subsidi dari
pemerintah adalah golongan R1 450VA dan R1 900VA.
Sedangkan Golongan 1300VA ke atas sudah tidak
mendapatkan subsidi.
Tarif Dasar Listrik Subsidi

Golongan Kondisi Tarif (Rp /kWh)


R1 450VA subsidi 415
R1 900VA subsidi khusus bagi subsidi 605
rakyat miskin
R1 900VA penyesuaian Penyesuaian Naik 30% Tahap 1 791
Januari-Februari 2017
R1 900VA penyesuaian Penyesuaian Naik 30% Tahap 2 1034
Maret-April 2017
R1 900VA penyesuaian Mei- Penyesuaian Naik 30% Tahap 3 1352
Juni 2017
R1 900VA penyesuaian Juli non-subsidi sama dengan tarif 1300VA
2017 dst
Tarif Dasar Listrik Non-Subsidi April 2017

You might also like