You are on page 1of 69

ASUHAN KEPERAWATAN

KEGAWATDARURATAN
PSIKIATRI

HASMILA SARI
Sejarah majunya kesehatan
Jiwa di Aceh
 Kesadaran akan pentingnya pengembangan di bidang kesehatan
jiwa terjadi pascabencana gempa bumi dan tsunami tahun 2004,
partisipasi dari berbagai non-government organizations (NGO)
internasional dalam memberikan pendanaan yang besar untuk
pelayanan kesehatan jiwa.

 Program ini lahir dari latar belakang lumpuhnya pelayanan


kesehatan jiwa di masyarakat selama bencana di Aceh. Tiga
bulan setelah tsunami program pelatihan perawat kesehatan jiwa
masyarakat (Community Mental Health Nurse) di Puskesmas
dilaksanakan di 23 Kabupaten/kota di Aceh, termasuk Aceh
Besar dan Banda Aceh, pelatihan ini dicanangkan atas
rekomendasi WHO dengan tujuan mendekatkan pelayanan
kepada masyarakat (DinKes Aceh, 2012).
TATANAN PELAYANAN KESEHATAN
JIWA DI INDONESIA MASA DEPAN
 Adanya policy yang berpihak pada kesehatan jiwa
 Tatanan pelayanan dengan pendekatan komunitas
 Tenaga kesehatan dan masyarakat bersama-sama
melaksanakan upaya kesehatan jiwa
 Hak asasi, undang-undang dan peraturan yang
berpihak pada kesehatan jiwa
DATA EPIDEMIOLOGI KESWA
Riskesdas 2013, populasi 236 juta
MASALAH KESWA PREVALENSI
Gangguan Mental Emosional 6% = > 16 juta
(Ansietas dan Depresi) populasi
Gangguan Jiwa Berat 1,7/1000  400.000
(Psikotik/Skizofrenia)
14,3% 57.000
Pernah Dipasung
 Prevalensi ggn jiwa berat di Aceh 2,7 % populasi
(Riskesdas, 2013)

 Ggn Mental emosional di Aceh 6,6% populasi


(Riskesdas, 2013)
KEDARURATAN
 Ancaman segera terhadap kehidupan, kesehatan,
harta benda atau lingkungan
 Kehilangan kehidupan, gangguan kesehatan,
kerusakan harta benda dan lingkungan
 Cenderung peningkatan bahaya yang tinggi dan segera
terhadap kehidupan, kesehatan, harta benda atau
lingkungan
KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI
 Kedaruratan psikiatrik adalah suatu gangguan akut
pada pikiran, perasaan, perilaku, atau hubungan sosial
yang membutuhkan suatu intervensi segera (Allen,
Forster, Zealberg & Currier, 2002).

 Kaplan dan Sadock (1993) : kedaruratan psikiatrik


adalah gangguan alam pikiran, perasaan atau perilaku
yang membutuhkan intervensi terapeutik segera.
 Dari pengertian tersebut, kedaruratan psikiatri adalah
gangguan pikiran, perasaan, perilaku dan atau sosial
yang membahayakan diri sendiri atau orang lain yang
membutuhkan tindakan intensif segera.
 Prinsip dari kedaruratan psikiatri adalah kondisi
darurat dan tindakan intensif yang segera.
 Berdasarkan prinsip tindakan intensif segera, maka
penanganan kedaruratan dibagi dalam fase intensif I
(24 jam pertama), fase intensif II (24-72 jam pertama),
dan fase intensif III (72 jam-10 hari).
 Fase intensif I adalah fase 24 jam pertama pasien
dirawat dengan observasi, diagnosa, treatmen dan
evaluasi yang ketat. Berdasarkan hasil evaluasi pasien
maka pasien memiliki tiga kemungkinan yaitu
dipulangkan, dilanjutkan ke fase intensif II, atau
dirujuk ke rumah sakit jiwa.
 Fase intensif II fase perawatan pasien dengan
observasi kurang ketat sampai dengan 72 jam.
Berdasarkan hasil evaluasi maka pasien pada fase ini
memiliki empat kemungkinan yaitu dipulangkan,
dipindahkan ke ruang fase intensif III, atau kembali ke
ruang fase intensif I.
 Pada fase intensif III pasien di kondisikan sudah mulai
stabil, sehingga observasi menjadi lebih berkurang
dan tindakan-tindakan keperawatan lebih diarahkan
kepada tindakan rehabilitasi. Fase ini berlangsung
sampai dengan maksimal 10 hari. Merujuk kepada
hasil evaluasi maka pasien pada fase ini dapat
dipulangkan, dirujuk ke rumah sakit jiwa atau unit
psikiatri di rumah sakit umum, ataupun kembali ke
ruang fase intensif I atau II
Pendahuluan
PICU adalah Pelayanan intensif psikiatri merupakan
bentuk pelayanan kesehatan jiwa dengan fokus
penanganan pasien yang perlu penanganan gawat
darurat psikiatri
PENGEMBANGAN PICU
 PICU: Psychiatric Intensive Care Unit adalah pelayanan
yang ditujukan untuk pasien gangguan jiwa yang dalam
kondisi krisis psikiatri.
 Merupakan gabungan pelayanan gawat darurat psikiatri
dan pelayanan intensif.
 Dapat diselenggarakan di rumah sakit jiwa atau unit
psikiatri rumah sakit umum
 Menerima rujukan dari masyarakat, puskesmas, ruangan
lain.
 Mengirim pasien yang telah melewati masa krisisnya ke
masyarakat (dirawat CMHN) atau ke ruangan lain (RSJ)
TINDAKAN INTENSIF
 Tindakan intensif adalah tindakan yang diberikan
secara terus menerus pada pasien dengan kondisi
darurat.
 Tindakan intensif diberikan sesuai dengan level
kedaruratan yang dialami pasien.
 Secara umum ada tiga fase tindakan intensif bagi
pasien yaitu: fase intensif I, II, dan III.
Alur Penanganan Pasien di UPIP
Intensif II
(RUFA 11-20)

Intensif I Intensif III


(RUFA 1-10) (RUFA 21-30)

Pulang
(RUFA > 30)

Intensif I
(RUFA 1-10)

YA
(RUFA 1-30) UPIP Intensif II Intensif III
(RUFA 11-20) (RUFA 21-30)

TRIASE:
UGD/Poliklinik Psikiatri Pengkajian Pulang
RUFA/Rapid (RUFA >30)
assessment

Intensif I
(RUFA 1-10)
TIDAK Pulang Intensif III
(RUFA 21-30)
Intensif II
(RUFA 11-20)

Pulang
(RUFA >30)
PROSES KEPERAWATAN
Pengkajian

Evaluasi Diagnosis

Implementasi Perencanaan
PROSES PERAWATAN INTENSIF
Pengkajian Diagnosis Tindakan Monitoring
• Demografi • Rufa 1-10 • Intensif 1 & Evaluasi
• PANSS EC • Rufa 11-20 • Intensif 2 • Intensif 1
• RUFA • Rufa 21-30 • Intensif 3 • Intensif 2
• Intensif 3
Triage
 Rapid assessment/screening assessment
 Identitas pasien
 Kondisi pasien yaitu tanda vital dan keluhan utama
dengan skor RUFA (perawat) dan PANSS EC (dokter
dan perawat)
PENGKAJIAN PASIEN INTENSIF
 Riwayat perawatan yang lalu
 Psikiater/perawat jiwa yang baru-baru ini menangani pasien (bila
memungkinkan)
 Diagnosa gangguan jiwa di waktu yang lalu dengan tanda dan gejala yang
dialami pasien saat ini
 Stresor sosial, lingkungan, dan kultural yang menimbulkan masalah
pasien saat ini
 Kemampuan dan keinginan pasien untuk bekerjasama dalam proses
pengobatan
 Riwayat pengobatan dan respons terhadap terapi, mencakup jenis obat
yang didapat, dosis, respons terhadap obat, efek samping dan kepatuhan
minum obat, serta daftar obat terakhir yg diresepkan dan nama dokter
yang meresepkan.
 Pemeriksaan kognitif untuk mendeteksi kerusakan kognitif atau neuro
psikiatrik
 Tes kehamilan untuk semua pasien perempuan usia subur
Intensif I
 Prinsip tindakan
 Life saving
 Mencegah cedera pada pasien, orang lain dan
lingkungan
 Indikasi :
 Pasien dengan skor 1-10 skala RUFA
 Pasien dengan skor 6-7 PANSS EC
Intervensi: Intensif I
 Intervensi untuk fase ini adalah:
 Observasi ketat
 Bantuan pemenuhan kebutuhan dasar (makan, minum, perawatan
diri)
 Manajemen pengamanan pasien yang efektif (jika dibutuhkan).
 Terapi modalitas yang dapat diberikan pada fase ini adalah terapi
musik.
 Psikofarmakoterapi intensif: titrasi psikofarmaka (dosis maksimal
kemudian diturunkan secara bertahap s.d. Optimal)
 Evaluasi
 Evaluasi dilakukan setiap shift untuk menentukan apakah kondisi
pasien memungkinkan untuk dipindahkan ke ruang intensif II.
Intensif II
 Prinsip tindakan
 Observasi lanjutan dari fase krisis (Intensif I)
 Mempertahankan pencegahan cedera pada pasien,
orang lain dan lingkungan
 Indikasi :
 Pasien dengan skor 11-20 skala RUFA
 Panss EC 4-5
Intervensi & Evaluasi Intensif II
 Intervensi untuk fase ini adalah:
 Observasi frekuensi dan intensitas yang lebih rendah dari
fase intensif I
 Terapi modalitas yang dapat diberikan pada fase ini adalah
terapi musik dan terapi olah raga.
 Psikofarmaka dengan dosis optimal, mungkin masih perlu
parenteral
 Evaluasi dilakukan setiap shift untuk menentukan apakah
kondisi pasien memungkinkan untuk dipindahkan ke ruang
intensif III.
 Bila kondisi pasien diatas skor 20 skala RUFA maka pasien dapat
dipindahkan ke intensif III. Bila dibawah skor 11 skala RUFA
maka pasien dikembalikan ke fase intensif I
Intensif III
 Prinsip tindakan
 Observasi lanjutan dari fase akut (Intensif II)
 Memfasilitasi perawatan mandiri pasien
 Indikasi :
 Pasien dengan skor 21-30 skala RUFA
 Panss EC skor 2-3
Intervensi & Evaluasi Intensif III
 Intervensi untuk fase ini adalah:
 Observasi dilakukan secara minimal
 Pasien lebih banyak melakukan aktivitas secara mandiri
 Terapi modalitas yang dapat diberikan pada fase ini adalah terapi
musik, terapi olah raga dan life skill therapy.
 Psikofarmaka: dosis optimal, per oral.
 Evaluasi
 Evaluasi dilakukan setiap shift untuk menentukan apakah kondisi
pasien memungkinkan untuk dipulangkan.
 Bila kondisi pasien diatas skor 30 skala RUFA maka pasien dapat
dipulangkan dengan mengontak perawat CMHN terlebih dahulu. Bila
dibawah skor 20 skala RUFA pasien dikembalikan ke fase intensif II,
dan dibawah skor 11 skala RUFA pasien dikembalikan ke fase intensif I.
Skala Respons Adaptasi Umum
 Skala kategorial untuk menentukan tingkat intensitas
gangguan jiwa pasien
 Terdiri 3 kategori:
 Intensif I: nilai RUFA 1-10
 Intensif 2: nilai RUFA 11-20
 Intensif 3: nilai RUFA 21-30
 Menentukan tindakan yang harus diberikan kepada
pasien
Tatalaksana Gaduh Gelisah
Gunakan Positive And Negative
Syndromes Scale – Excitement
Component (PANSS- EC)
untuk menilai tingkat kegelisahan
D P
O E
K R
T A
E W
R A
T
27
Komponen PANSS- EC
1. Gaduh gelisah
2. Permusuhan
3. Ketegangan
4. Ketidakkooperatifan
5. Pengendalian impuls yang buruk
SKORING
 Skor 1: Tidak ada
 Skor 2: Minimal
 Skor 3: Ringan
 Skor 4: Sedang
 Skor 5: Agak berat
 Skor 6: Berat
 Skor 7: Sangat berat
P4 Gaduh Gelisah
Nilai
1 Tidak ada
2 Diragukan,
3 Cendrung sedikit agitasi, waspada berlebihan, atau sedikit mudah
terangsang selama wawancara, pembicaraan sedikit mendesak
4 Agitasi atau mudah terangsang selama wawancara,
mempengaruhi pembicaraan dan mobilitas umum atau adanya
ledakan- ledakan
5 Tampak hiperaktif itas yang bermakna atau sering terjadi
ledakan- ledakan atau aktifitas motorik yang menyebabkan
kesulitan bagi pasien tetap duduk untuk waktu yang lebih lama
dari beberapa menit dalam setiap kesempatan
6 Gaduh gelisah yang mencolok mendominasi wawancara,
membatasi perhatian sehingga mempengaruhi fungsi sehari- hari
seperti makan dan tidur
7 Gaduh gelish yang mencolok , secara serius mempengaruhi
kegiatan makan, tidur , tidak memungkinkan interkasi
interpersonal, bicara cepat, aktifitas motorik menimbulkan
P7 Permusuhan
Nilai
1 Tidak ada
2 Diragukan,
3 Melampiaskan kemarahan secara tidak langsung atau ditahan
seperti sarkasme, sikap tidak sopan, ekspresi bermusuhan dan
kadang- kadang iritabilitas.
4 Adanya sikap permusuhan yang nyata, sering memperlihatkan
iritabilitas dan ekspresi kemarahan atau kebencian yang
langsung.
5 Pasien sangat mudah marah dan kadang- kadang memaki
dengan kata- kata kasar dan mengancam
6 Mencaci maki dengan kasar atau mengancam , pasien beringas
dan merusak tetapi tidak menyerang orang lain secara fisik.
7 Kemarahan yang hebat , sangat tidak kooperatif, menghalangi
interaksi, melakukan penyerangan fisik terhadap orang lain.
G 4 Ketegangan
Nilai
1 Tidak ada
2 Diragukan,
3 Postur dan gerakan menunjukan kekhawatiran ringan seperti
rigiditas ringan , ketidak tenangan sekali-kali, perubahan posisi,
atau tremor tangan yang halus dan cepat.
4 Penampilan yang nyata- nyata gelisah dengan perilaku seperti
tidak tenang, tremor tangan yang nyata, keringat berlebihan, atau
menerisme karena gugup.
5 Ketegangan yang berat seperti gemetar karena gugup, keringat
sangat berlebihan dan ketidak tenangan, tetapi perilaku selama
wawancara tidak terpengaruh secara bermakna.
6 Ketegangan berat sedemikian rupa sehingga interaksi
interpersonal terganggu.
7 Ketegangan sangat mencolok dengan tanda- tanda panik atau
percepatan gerakan motorik kasar
G 8 Ketidak kooperatifan
Nilai
1 Tidak ada
2 Diragukan,
3 Patuh tetapi disertai sikap marah, tidak sabar atau sarkasme, ada
penolakan yang tidak mengganggu, sensitif selama wawancara.
4 Kadang- kadang ada penolakan untuk patuh terhadap tuntutan
sosial seperti mengikuti kegiatan yang sudah dijadwalkan, sikap
defensif, bersikap negatif, tetapi biasanya masih dapat diatasi.
5 Tidak patuh terhadap tuntutan lingkungan, tidak kooperatif,
defensif, iritabilitas, tidak menjawab banyak pertanyaan.
6 Sangat tidak kooperatif, negativistik , dan mungkin juga suka
membangkang, menolak untuk patuh terhadap sebagian tuntutan
sosial , tidak mau memulai atau mengikuti wawancara.
7 Menolak ikut dalam aktifitas sosial, tidak mengurus kebersihan
diri, tidak bercakapa- cakap dengan keluarga atau staf RS
bahkan dalam wawancara sekalipun
G 14 Pengendalian impuls yang buruk
Nilai
1 Tidak ada
2 Diragukan,
3 Pasien cendrung mudah marah dan frustasi bila menghadapi
stress atau jika ditolak, tetapi jarang bersikap impulsif.
4 Dengan provokasi yang minimal pasien menjadi marah, dan
mencaci maki, mengancam, merusak, adanya konfrontasi fisik
atau perselisihan ringan.
5 Memperlihatkan impulsif yang berulang- ulang, mencaci maki,
merusak harta benda atau ancaman fisik, adanya serangan.
6 Sering agresif, impulsif, mengancam, menuntut, merusak,
perilaku menyerang.
7 Serangan yang dapat membunuh orang lain, penyerangan
seksual, perilaku merusak diri sendiri
TINDAKAN
PADA PERILAKU AGITASI
• PHYSICAL RESTRAINTS = PENGIKATAN FISIK

• PENGALAMAN NEGATIF BAGI PASIEN DAN STAF


(TRAUMA)
• TIDAK TERAPEUTIK
• PELANGGARAN HAM
PATIENT SAFETY PADA KONDISI Agitasi
 PERLUKAH PENGIKATAN?
 APAKAH ADA TINDAKAN YANG LEBIH BAIK??
 APA YANG HARUS DILAKUKAN JIKA TERJADI
PENGIKATAN??
Langkah-Langkah Intervensi Pasien
Gaduh Gelisah
Evaluasi Awal
Tanda-tanda vital, Pemeriksaan fisik, DS/ (delirium, psikosis,
intoksikasi, dll)

Intervensi Awal
Berbicara kepada pasien, berikan bantuan
Bila memungkinkan atau diperlukan berikan obat oral

Bila Tidak Memungkinkan


Obat injeksi, pengikatan atau seklusi (bila perilaku berbahaya
menetap)
37
PANSS EC 2-3
 Tempatkan pasien di ruang yang tenang
 Ajak pasien berbicara dengan empati dan jangan
melakukan konfrontasi
 Sediakan diri untuk lebih banyak mendengar
 Ajak pasien untuk membuat kontrak agar tidak gelisah
PANSS EC 4-5

 Persuasi dalam 2-5 menit


 Pemberian obat
 Fiksasi hanya untuk membantu
PANSS EC 6-7
 Persuasi dalam 2-5 menit
 Fiksasi
 Pemberian obat
 Fiksasi dapat dilakukan hanya untuk membantu
pemberian obat atau boleh dilakukan oleh perawat
untuk sementara sambil menunggu instruksi DPJP
Definisi Fiksasi
 Pengikatan fisik secara umum mengacu pada
suatu bentuk tindakan menggunakan tali untuk
mengekang atau membatasi gerakan ekstremitas
individu yang berperilaku di luar kendali (lepas
kontrol) dengan tujuan untuk memberikan
keamanan fisik dan psikologis bagi individu
tersebut.
 Pengikatan fisik merupakan alternatif intervensi
terakhir jika dengan intervensi verbal (persuasi),
mengalami kegagalan
Beberapa aturan jika Restraint dijalankan
 Ada instruksi dokter
 Ada inform concent lisan yang tertuang dalam catatan
dokumen medik
 Ada edukasi yang diberikan kepada pasien dan atau
keluarga
 Tim harus dilatih
 Max 4 jam untuk dewasa > 18 tahun
 2 jam untuk anak- anak (9-17 thn) dan Geriatri
 1 jam < 9 thn
 Monitoring face to face terus menerus
 Evaluasi indikasi tiap 30 menit dengan PANS EC
 Penuhi kebutuhan dasar: makan, minum, eliminasi,
kebersihan
Protokol Pelaksanaan Fiksasi
• Pasien memenuhi kriteria untuk difiksasi
• Kriteria pasien untuk difiksasi fisik adalah salah satu
skor PANSS EC lebih dari 3 dan persuasi singkat gagal
• Pengikatan fisik dapat dilakukan tanpa instruksi dari
dokter, namun sesegera mungkin (< 1 jam) perawat
melaporkan pada dokter untuk mendapatkan
legalitas tindakan baik secara verbal maupun tertulis
• Lakukan pengkajian fisik pasien apakah ada cedera
pada pasien
• Berikan penjelasan kepada pasien (informed
consent) secara lisan sebelum pengikatan dan
dituliskan pada dokumn medik
Protokol Pelaksanaan
• Lakukan edukasi pada pasien dan atau keluarga
• Jelaskan perilaku klien ( kejadian )sebelum pengikatan
• Jelaskan bahwa saudara membantu mengontrol perilaku
klien
 Pilih alat pengikat yang aman dan nyaman,
terbuat dari bahan katun
 Pengikatan dilakukan oleh min. 4 orang: 2 orang
memegang ekstremitas atas dan 2 orang
memegang ekstremitas bawah (situasional)
Protokol Pelaksanaan
• Pengikatan dilakukan di tempat tidur bukan di
sisi tempat tidur dengan posisi terlentang, kedua
kaki lurus, satu lengan di samping badan, satu
lengan ke arah kepala (situasional)
• Ikatan sebaiknya tidak terlalu kencang, juga tidak
longgar untuk mencegah cedera
• Beri bantal di daerah kepala
• Lakukan observasi dengan menggunakan lembar
monitoring pada semua pasien yang difiksasi
(kasus piskiatrik atau kasus non psikiatrik)
• Dokter harus menginstrusikan pengisian lembar
monitoring pada perawat

45
Protokol Pelaksanaan
• Observasi setiap 30-120 menit, fokus observasi:
• tanda-tanda vital
• tanda-tanda cedera yang berhubungan dengan proses
pengikatan
• nutrisi dan hidrasi
• rentang gerak ekstremitas (kuat lemahnya ikatan)
• higiene dan eliminasi
• status fisik dan psikologis
• kesiapan klien untuk dilepaskan dari pengikatan

46
Protokol Pelaksanaan
• Lakukan latihan anggota gerak setiap 2 jam
termasuk untuk mengubah posisi lengan secara
bergantian
• Lakukan persuasi untuk melepaskan ikatan setiap 2
jam
• Beri makan dan minum secara teratur serta obat-
obatan sesuai program
• Atur posisi tubuh klien saat makan atau minum
• Bantu BAK, BAB dan kebersihan diri
Protokol Pelepasan Fiksasi
 Dokter menginstruksikan perawat untuk melepaskan
ikatan
 Fiksasi fisik dilepaskan bila semua item pada PANSS
EC kurang dari 3
 Perawat melepaskan ikatan didampingi oleh
dokter/perawat lain
 Jelaskan pada pasien bahwa ikatan akan dilepas jika
pasien tidak mengulangi perbuatan atau dapat
mengontrol perilakunya
Protokol Pelepasan Fiksasi
• Buat kontrak dengan klien bahwa perawat akan
melakukan pengikatan kembali apabila klien
mengulang perbuatannya atau perilakunya tidak
terkontrol kembali
• Katakan dengan suara lembut, hindari nada yang
bersifat ancaman
• Melepaskan ikatan secara bertahap dimulai dengan
melepaskan satu ikatan, bila pasien tidak berontak
lepaskan ikatan lainnya dan seterusnya. Ikatan dilepas
dari tangan kanan, tangan kiri, kaki kanan, lalu kaki
kiri

50
Protokol Pelepasan Fiksasi
• Bantu pasien menggerakkan anggota gerak
• Dudukkan pasien secara perlahan
• Tanya pasien apakah merasa pusing atau penglihatan
berkunang-kunang.
• Kontrol tanda vital (tekanan darah, denyut nadi,
frekuensi nafas)
• Anjurkan pasien untuk mulai berdiri dan berjalan, bila
tidak pusing atau mata berkunang-kunang
DIAGNOSIS KEPERAWATAN DI
PSYCHIATRIC INTENSIVE CARE UNIT
 Perilaku Kekerasan dan Risiko Perilaku Kekerasan
 Halusinasi
 Waham
 Risiko Bunuh Diri
 Isolasi Sosial
 Ansietas Berat – Panik
 Putus Zat/ Over dosis
 Defisit Perawatan Diri
RESPONS UMUM FUNGSI ADAPTASI (RUFA)
N Diagnosa Skor RUFA 1-10 Skor RUFA 11-20 Skor RUFA 21-30
o Keperawatan (Intensif I) (Intensif II) (Intensif III)

1 Gangguan 1. Setiap saat mengalami 1. Sering mengalami 1. Halusinasi sesekali


persepsi sensori: halusinasi halusinasi muncul
halusinasi 2. Halusinasi tidak terkendali 2. Seringkali tidak bisa 2. Perilaku masih bisa
3. Perilaku dikendalikan oleh mengendalikan dikendalikan
isi halusinasi halusinasi 3. Isi halusinasi tidak
4. Halusinasi berisi ancaman 3. Halusinasi mengancam mengancam
terhadap diri atau orang tetapi masih bisa 4. Perilaku kadang kacau
lain dikendalikan
5. Risiko tinggi bunuh diri 4. Perilaku sering kacau
atau membunuh orang lain
2 Perilaku 1. Perilaku kacau 1. Perilaku kadang kacau 1. Perilaku kadang kacau
kekerasan 2. Sedang melakukan tindak 2. Sedang melakukan 2. Ada riwayat
kekerasan fisik dan verbal kekerasan verbal melakukan tindakan
3. Berisiko tinggi mencederai 3. Risiko sedang kekerasan
orang lain dan diri sendiri mencederai diri dan 3. Sesekali melakukan
orang lain tindakan kekerasan
verbal, tidak fisik

3 Gangguan proses 1. Perilaku kacau 1. Perilaku sering kacau 1. Perilaku cukup


pikir: waham 2. Waham terjadi setiap saat 2. Waham sering terjadi terorganisir
3. Komunikasi sangat kacau 3. Komunikasi kadang 2. Waham jarang terjadi
kacau 3. Komunikasi kacau jika
terjadi waham
RUFA RISIKO BUNUH DIRI
(Skor: 1-10 Skala (Skor: 11-20 Skala (Skor: 21-30 Skala
RUFA) RUFA RUFA
Percobaan Bunuh Diri Ancaman Bunuh Diri Isyarat Bunuh Diri
 Aktif mencoba bunuh diri  Aktif memikirkan rencana  Mungkin sudah memiliki
dengan cara: bunuh diri, namun tidak ide untuk mengakhiri
 gantung diri disertai dengan percobaan hidupnya, namun tidak
 minum racun bunuh diri disertai dengan ancaman
 memotong urat nadi  Mengatakan ingin bunuh dan percobaan bunuh diri
 menjatuhkan diri dari diri namun tanpa rencana  Mengungkapkan perasaan
tempat yang tinggi yang spesifik seperti rasa bersalah / sedih
 Mengalami depresi  Menarik diri dari pergaulan / marah / putus asa / tidak
 Mempunyai rencana bunuh sosial berdaya
diri yang spesifik  Mengungkapkan hal-hal
 Menyiapkan alat untuk negatif tentang diri sendiri
bunuh diri (pistol, pisau, yang menggambarkan
silet, dll) harga diri rendah
 Mengatakan: “Tolong jaga
anak-anak karena saya akan
pergi jauh!” atau “Segala
sesuatu akan lebih baik
tanpa saya.”
RESPONS UMUM FUNGSI ADAPTASI (RUFA)
6 Gejala Lihat Nilai CINA Lihat Nilai CINA CIWA Lihat Nilai CINA CIWA
putus zat CIWA
7 Over dosis Lihat Nilai CINA Lihat Nilai CINA CIWA Lihat Nilai CINA CIWA
zat adiktif CIWA
8 Defisit 1. Sama sekali Mampu melakukan 1. Mau berinisiatif
perawatan tidak mau dan kebersihan diri tetapi melakukan perawatan
diri mampu tidak mau diri hanya dengan
melakukan Perilaku masih bisa bimbingan
perawatan diri diarahkan 2. Perilaku masih bisa
2. Perilaku kacau Praktek kebersihan diri diarahkan
3. Tidak mampu hanya jika diingatkan 3. Kadang-kadang tidak
mengikuti melakukan kebersihan
perintah diri dengan rutin
9 Isolasi 1. Kontak sosial 1. Kontak sosial sangat 1. Kontak verbal masih
sosial sangat kurang terbatas, hanya dengan sangat terbatas
2. Katatonia orang yang sangat dekat 2. Sudah mau berinteraksi
3. Sama sekali atau 2. Komunikasi verbal walaupun sangat terbatas
kurang sekali sangat terbatas 3. Aktifitas fisik sudah
dalam kontak 3. Aktivitas fisik hanya makin sering dilakukan
verbal terbatas untuk
kebutuhan dasar fisik
RUFA PUTUS ZAT
Domain Intensif I ( 1 – 10) Intensif II (11 – 20) Intensif III (21 – 30)
Pikiran Keinginan memakai zat sangat Keinginan memakai zat kuat Keinginan memakai untuk memakai zat kembali
kuat (sugesti) jarang atau tidak ada
Perasaan Putus asa Putus asa Putus asa
Irritabilitas Irritabilitas
Tindakan Mual menetap kadang-kadang Mual ringan tanpa muntah Tidak mual dan tidak muntah atau Mual
muntah yang hilang timbul
Goose flesh jelas pada tubuh dan Goose flesh jelas dan dapat diraba Kadang-kadang ada goose flesh tapi tidak teraba
tangan dan tidak jelas atau Tidak tampak goose flesh
Jarang keringat yang jelas,telapak tangan basah
Berkeringat basah di muka dan Butir-butir keringat jelas di dahi atau Keringat tidak kelihatan
dada Aktivitas lebih dari normal,gerakan kaki naik turun,
kadang-kadang berubah posisi atau Aktifitas
Sepanjang waktu melakukan Gelisah dan kurang istirahat yang
pergerakan atau berpindah atau moderat, sering bertukar posisi Tidak keluar air mata
bolak-balik Tremor tidak terlihat atau tremor tidak kelihatan
tapi dapat dirasakan dari ujung-ujung jari
Air mata mengalir ke muka Mata berair, air mata di sudut mata Ukuran pupil normal
Adanya tremor berat walaupun Adanya tremor yang moderat pada Tidak ada perubahan suhu
lengan tidak diekstensikan atau saat lengan diekstensikan atau
dilebarkan dilebarkan
Ukuran pupil Midriasis Ukuran pupil Midriasis Tidak ada penyumbatan hidung & bersin
Merasa kedinginan,tangan Adanya perubahan suhu yang tidak Tidak menguap
kedinginan dan berkeringat terkontrol Tidak ada rasa sakit, bowel sound normal

Bersin dengan konstan dan berair Kadang-kadang bersin


Sering menguap Kadang-kadang menguap Nyeri ringan
Adanya rasa sakit, abdominal Adanya gelombang rasa sakit, Sistolik ≤130 mmHg
cramp, diare,hiperaktivitas dan abdominal cramp Nadi Normal
bising usus meningkat
Nyeri berat Nyeri sedang
Sistolik ≥130 mmHg Sistolik ≥130 mmHg
Nadi Takikardi Nadi Takikardi
TINDAKAN KEPERAWATAN
PADA PUTUS ZAT
Intensif I Intensif II Intensif III

• Dengarkan • Dengarkan keluhan • Diskusikan rencana


ungkapan pasien pasien rehabilitasi yang
tentang keluhan akan dijalani oleh
putus zat • Diskusikan cara pasien
• Yakinkan pasien mengatasi gejala • Jelaskan cara –cara
dalam keadaan fisik muncul konstruktif
aman mengontrol
• Berikan keinginan untuk
• Beri psikofarmaka
psikofarmaka menggunakan zat
oral : analgesik dan
parenteral : kembali
obat simtomatik
analgesik, diazepam lainnya
atau anti psikotik • Pertahankan
pemberian
psikofarmaka oral
(Penurunan dosis)
RUFA PANIK
Domain Intensif I Intensif II Intensif III
1 - 10 11 - 20 21 - 30

Pikiran Tidak mampu berkonsentrasi Hanya berkonsentrasi Konsentrasi berkurang


sedikitpun pada hal tertentu

Perasaan Teror Khawatir berat Khawatir


Takut

Tindakan Napas pendek, rasa tercekik dan Napas pendek, napas pendek,mulut
palpitasi, nyeri dada, sakit berkeringat, tekanan kering, anoreksia,
kepala, pucat dan gemetar darah naik diare/konstipasi
Persepsi sangat kacau, takut Persepsi sangat sempit, Banyak bicara dan cepat
menjadi gila, takut kehilangan merasa tidak mampu Sering merasa gelisah,
kendali menyelesaikan masalah gerakan tersentak-
Bloking, berteriak Bicara cepat terkadang sentak (meremas
Ketakutan blocking tangan)
Agitasi, mengamuk, marah Tegang Adanya perasaan tidak
Gelisah, kurang atau aman
sama sekali tak mampu Hanya berfokus pada
berkonsentrasi masalahnya
TINDAKAN KEPERAWATAN
PADA PANIK
Intensif I Intensif II Intensif III

• Yakinkan • Yakinkan • Dengarkan


pasien dalam pasien aman keluhan pasien
keadaan aman • Respons • Latih cara
• Reaksi tenang tenang mengendalikan
• Berikan anti • Berikan anti ansietas
ansietas ansietas oral dengan verbal
parenteral • Ajarkan dan spiritual.
tentang cara • Pertahankan
relaksasi: nafas pemberian
dalam psikofarmaka
oral: anti
ansietas
 Penghitungan Angka Pengekangan/fiksasi dan Isolasi
(Seclusion)

 Pengekangan diartikan pengontrolan perilaku pasien secara aman. Angka


pengekangan (fiksasi) adalah jumlah tindakan pembatasan gerak bagi pasien
karena membahayakan bagi diri pasien sendiri, lingkungan dan orang lain.
Indikator ini dapat juga menggambarkan mutu pelayanan yang diberikan pada
pasien.

Jumlah pasien dikekang


 Angka Pengekangan = --------------------------------- x 100%
Jumlah total pasien

 Jumlah waktu pengekangan semua pasien


 Rerata pengekangan = ------------------------------------------------------- x 100%
 Jumlah pasien dikekang
 Di UPIP pengukuran angka pengekangan dilakukan
oleh kepala ruangan yang dibuat setiap bulan dengan
cara menghitung jumlah pasien yang dilakukan
pengekangan fisik baik isolasi (seclusion) maupun
pengikatan (fiksasi) dalam satu periode waktu
tertentu disertai lama pelaksanaannya.
5 FASE SIKLUS AGRESI

1. FASE PEMICU
2. FASE ESKALASI
3. FASE KRISIS
4. FASE PEMULIHAN
5. FASE PASCAKRISIS
(Keltner, 1999 dlm Videbeck, 2008)
FASE PEMICU

Merupakan fase dimana terjadi peristiwa atau


keadaan di lingkungan yg memunculkan
respon klien. Seringkali dlm bentuk
kemarahan/permusuhan

Tanda & Gejala : gelisah, ansietas, iritabilitas,


berjalan mondar-mandir, otot tegang,
pernapasan cepat, berkeringat, suara keras,
marah
FASE ESKALASI

Merupakan fase dimana respon klien memperlihatkan


peningkatan perilaku yg mengindikasikan pergerakan
menuju kehilangan kendali

Tanda & Gejala : wajah pucat/kemerahan, berteriak,


agitasi, mengancam, menuntut, mengepalkan tangan,
gestur mengancam, sikap bermusuhan, kehilangan
kemampuan utk menyelesaikan masalah atau berpikir
jernih
FASE KRISIS

Merupakan periode krisis emosional & fisik


ketika klien kehilangan kendali

Tanda & Gejala : kehilangan kendali fisik dan


emosional, melemparkan benda2, menendang,
memukul, meludah, menggigit, mencakar,
menjerit, tidak mampu berkomunikasi dengan
jelas
FASE PEMULIHAN

Merupakan fase dimana klien mulai


memperoleh kembali kendali fisik dan
emosional

Tanda & Gejala : merendahkan suara,


ketegangan otot berkurang, komunikasi lebih
jelas & lebih rasional, relaksasi fisik
FASE PASCAKRISIS

Merupakan fase dimana klien berusaha


memperbaiki hubungan dgn orang lain &
kembali ke tingkat fungsi sebelum insiden
agresi & kembali seperti semula

Tanda & Gejala : menyesal, minta maaf,


menangis, perilaku menarik diri
SEKLUSI
Pengurungan involunter individu dalam ruangan
terkunci yg dibangun secara khusus serta
dilengkapi dgn jendela atau kamera pengaman utk
memantau klien secara langsung
Seklusi merupakan bagian dari restraint fisik yaitu
dengan menempatkan klien di sebuah ruangan
tersendiri untuk membatasi ruang gerak dengan
tujuan meningkatkan keamanan dan kenyamanan
klien
Tujuan : memberi klien kesempatan untuk
memperoleh kembali pengendalian diri secara fisik
& emosional
Seklusi membuat stimulasi berkurang, melindungi
orang lain dari klien, mencegah perusakan properti
& memberi privasi kpd klien

You might also like