You are on page 1of 36

SISTEM NEUROBEHAVIOUR

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN MIASTENIA GRAVIS

OLEH:
KELOMPOK 4
B10-A

1. I MADE WIDANA (173222782)


2. I NYOMAN ADI WIRASTAWAN (173222783)
3. LUH GEDE WIDYA PUTRI LESTARI (173222784)
4. LUH MADE SRI ARISTAWATI (173222785)
5. NI LUH MADE YUDIANI (173222792)
6. NI LUH SUARTINI (173222793)
7. NI MADE CINTIA PRATIWI (173222794)
8. NI MADE CHYNTHIA RINI ARYANA (173222795)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA PPNI BALI


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Ida Sang hyang Widhi Wasa, yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayahnya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Asuhan
Keperawatan Pada Pasien Dengan Miastenia Gravis ini tepat pada waktunya. Makalah ini
disusun dalam rangka memenuhi tugas makalah mata ajar Sistem Neurobihaviour.
Dalam penyusunan makalah ini, kami mengalami beberapa kesulitan, namun berkat
bantuan, dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak, maka makalah ini dapat diselesaikan
dengan baik. Dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kritik
dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi perbaikan dan kesempurnaan
makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
bermanfaat bagi profesi keperawatan.

Denpasar, April 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ............................................................................................................... i


KATA PENGANTAR ............................................................. Error! Bookmark not defined.
DAFTAR ISI............................................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ............................................................................................................. 2
D. Manfaat Penulisan ........................................................................................................... 2
E. Metode Penulisan ........................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................... 3
A. Konsep Miastenia Gravis ............................................................................................... 3
B. Konsep Asuhan Keperawatan Miastenia Gravis ............................................................ 4
BAB III PENUTUP ................................................................................................................. 32
A. Simpulan ....................................................................................................................... 32
B. Saran ............................................................................................................................. 32
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 36

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Miastenia gravis adalah kelemahan otot yang cukup berat dimana terjadi kelelahan
otot-otot secara cepat dengan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10 hingga 20
kali lebih lama dari normal). Myasthenia gravis mempengaruhi sekitar 400 per 1 juta
orang. Kelemahan otot yang parah yang disebabkan oleh penyakit tersebut membawa
sejumlah komplikasi lain, termasuk kesulitan bernapas, kesulitan mengunyah dan
menelan, bicaracadel, kelopak mata murung dan kabur atau penglihatan ganda.
Myasthenia gravis dapat mempengaruhi orang-orang dari segala umur. Namun lebih
sering terjadi pada para wanita, yaitu wanita berusia antara 20 dan 40 tahun. Pada laki-laki
lebih dari 60 tahun. Dan jarang terjadi selama masa kanak-kanak. Siapapun bisa mewarisi
kecenderungan terhadap kelainan autoimun ini. Sekitar 65% orang yang mengalami
myasthenia gravis mengalami pembesaran kelenjar thymus, dan sekitar 10% memiliki
tumor pada kelenjar thymus (thymoma). Sekitar setengah thymoma adalah kanker
(malignant). Beberapa orang dengan gangguan tersebut tidak memiliki antibodi untuk
reseptor acetylcholine tetapi memiliki antibodi terhadap enzim yang berhubungan dengan
pembentukan persimpangan neuromuskular sebagai pengganti. Orang ini bisa memerlukan
pengobatan berbeda.
Pada 40% orang dengan myasthenia gravis, otot mata terlebih dahulu terkena, tetapi
85% segera mengalami masalah ini. Pada 15% orang, hanya otot-otot mata yang terkena,
tetapi pada kebanyakan orang, kemudian seluruh tubuh terkena, kesulitan berbicara dan
menelan dan kelemahan pada lengan dan kaki yang sering terjadi. Pegangan tangan bisa
berubah-ubah antara lemah dan normal. Otot leher bisa menjadi lemah. Sensasi tidak
terpengaruh.
Ketika orang dengan myasthenia gravis menggunakan otot secara berulang-ulang,
otot tersebut biasanya menjadi lemah. Misalnya, orang yang dahulu bisa menggunakan
palu dengan baik menjadi lemah setelah memalu untuk beberapa menit. Meskipun begitu,
kelemahan otot bervariasi dalam intensitas dari jam ke jam dan dari hari ke hari, dan
rangkaian penyakit tersebut bervariasi secara luas. Sekitar 15% orang mengalami peristiwa
berat (disebut myasthenia crisis), kadangkala dipicu oleh infeksi. Lengan dan kaki menjadi
sangat lemah, tetapi bahkan kemudian, mereka tidak kehilangan rasa. Pada beberapa orang,
otot diperlukan untuk pernafasan yang melemah. Keadaan ini dapat mengancam nyawa.
1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep miastenia gravis?
2. Bagaimana konsep proses keperawatan pada miastenia gravis?

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan instruksional umum
Menjelaskan konsep dan proses keperawatan miastenia gravis.
2. Tujuan instruksional khusus
a. Mengetahui definisi miastenia gravis
b. Mengetahui epidomiologi miastenia gravis
c. Mengetahui anatomi dan fisiologi neuromuscular junction
d. Mengetahui klasifikasi miaatenia gravis
e. Mengetahui etiologi miastenia gravis
f. Mengetahui patofisiologi miastenia gravis
g. Mengetahui pathway miastenia gravis
h. Mengetahui gejala klinis miastenia gravis
i. Mengetahui diagnosis miastenia gravis
j. Mengetahui penatalaksanaan miastenia gravis
k. Mengetahui komplikasi miastenia gravis
l. Mengetahui asuhan keperawatan pada miastenia gravis

D. Manfaat Penulisan
1. Mahasiswa mampu dan mengerti tentang miastenia gravis
2. Mahasiswa mampu menerapkan asuhan keperawatan pada pasien miastenia gravis

E. Metode Penulisan
Adapun metode penulisan yang kami lakukan dalam penulisan makalah ini, yaitu:
1. Pengumpulan sumber data melalui studi perpustakaan.
2. Mencari literatur di internet.
3. Diskusi kelompok.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. KONSEP PENYAKIT MIASTENIA GRAVIS


A. Definisi Miastenia Gravis
Myasthenia Gravis (MG) adalah penyakit autoimun kronis dari transmisi
neuromuskular yang menghasilkan kelemahan otot. Istilah Myasthenia adalah bahasa
Latin untuk kelemahan otot, dan Gravis untuk berat atau serius.
Miastenia gravis merupakan bagian dari penyakit neuromuskular. Miastenia gravis
adalah gangguang yang memengaruhi transmisi neuromuskular pada otot tubuh yang
kerjanya di bawah kesadaran seseorang (volunter). Miastenia gravis merupakan kelemahan
otot yang parah dan satu-satunya penyakit neuromuskular dengan gabungan antara
cepatnya terjadi kelelahan otot-otot volunter dan lambatnya pemulihan (dapat memakan
waktu 10-20 kali lebih lama dari normal) (Price dan Wilson, 1995).
Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan umumnya terjadi
kelelahan pada otot-otot volunter yang dipengaruhi oleh fungsi saraf kranial. Serangan
dapat terjadi pada beberapa usia, ini terlihat paling sering pada wanita antara 15-35 tahun
dan pada pria sampai 40 tahun.

B. Epidemiologi Miastenia Gravis


Prevalensi penderita dengan Miastenia gravis di Amerika Serikat pada tahun 2004
diperkirakan mencapai 20 per 100.000 penduduk. Prevalensi pasti mungkin lebih tinggi
karena kebanyakan kasus Miastenia gravis tidak terdiagnosis. Insiden Miastenia gravis
mencapai 1 dari 7500 penduduk, menyerang semua kelompok umur. Penelitian
epidemiologi telah menunjukkan kecenderungan peningkatan prevalensi penyakit
Miastenia gravis dan angka kematian yang meningkat di atas umur 50 tahun. Pada umur
20-30 tahun Miastenia gravis lebih banyak dijumpai pada wanita. Sementara itu diatas 60
tahun lebih banyak pada pria (perbandingan ratio wanita dan pria adalah 3:2).

C. Anatomi dan Fisiologi Neuromuscular Junction


Sebelum memahami tentang Miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi dan
fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Potensial aksi di neuron
motorik merambat cepat dari badan sel di dalam SSP ke otot rangka di sepanjang akson
bermielin besar (serat eferen) neuron. Sewaktu mendekati otot, akson membentuk
3
banyak cabang terminal dan kehilangan selubung mielinnya. Masing-masing dari
terminal akson ini membentuk persambungan khusus, neuromuscular junction, dengan
satu dari banyak sel otot yang membentuk otot secara keseluruhan. Sel otot, disebut juga
serat otot, berbentuk silindris dan panjang. Terminal akson membesar membentuk
struktur mirip tombol, terminal button yang pas masuk ke cekungan dangkal, atau
groove , di serat otot dibawahnya. Sebagian ilmuwan menyebut neuromuscular junction
sebagai “motor end plate”.
Pada neuromuscular junction, sel saraf dan sel otot sebenarnya tidak berkontak
satu sama lain. Celah antara kedua struktur ini terlalu besar untuk memungkinkan
transmisi listrik suatu impuls antara keduanya. Karenanya, seperti di sinaps saraf,
terdapat suatu pembawa pesan kimiawi yang mengangkut sinyal antara ujung saraf dan
serat otot. Neurotransmitter ini disebut sebagai asetilkolin (ACh).
Membran Pre Synaptic mengandung asetilkolin (ACh) yang disimpan dalam
bentuk vesikel-vesikel. Jika terjadi potensial aksi, maka Ca+ Voltage Gated Channel
akan teraktivasi. Terbukanya channel ini akan mengakibatkan terjadinya influx
Calcium. Influx ini akan mengaktifkan vesikel-vesikel tersebut untuk bergerak ke tepi
membran. Vesikel ini akan mengalami docking pada tepi membran. Karena proses
docking ini, maka asetilkolin yang terkandung di dalam vesikel tersebut akan dilepaskan
ke dalam celah synaptic. ACh yang dilepaskan tadi, akan berikatan dengan reseptor
asetilkolin (AChR) yang terdapat pada membran post-synaptic. AChR ini terdapat pada
lekukanlekukan pada membran post-synaptic. AChR terdiri dari 5 subunit protein, yaitu
2 alpha, dan masing-masing satu beta, gamma, dan delta. Subunit-subunit ini tersusun
membentuk lingkaran yang siap untuk mengikat ACh. Ikatan antara ACh dan AChR
akan mengakibatkan terbukanya gerbang Natrium pada sel otot, yang segera setelahnya
akan mengakibatkan influx Na+. Influx Na+ ini akan mengakibatkan terjadinya
depolarisasi pada membran post-synaptic. Jika depolarisasi ini mencapai nilai ambang
tertentu (firing level), maka akan terjadi potensial aksi pada sel otot tersebut. Potensial
aksi ini akan dipropagasikan (dirambatkan) ke segala arah sesuai dengan karakteristik
sel eksitabel, dan akhirnya akan mengakibatkan kontraksi. ACh yang masih tertempel
pada AChR kemudian akan dihidrolisis oleh enzim Asetilkolinesterase (AChE) yang
terdapat dalam jumlah yang cukup banyak pada celah synaptic. ACh akan dipecah
menjadi Kolin dan Asam Laktat. Kolin kemudian akan kembali masuk ke dalam
membran pre-synaptic untuk membentuk ACh lagi. Proses hidrolisis ini dilakukan

4
untuk dapat mencegah terjadinya potensial aksi terus menerus yang akan
mengakibatkan kontraksi terus menerus.

Gambar 1. Anatomi Neuromuskular Junction


Dikutip dari kepustakaan

D. Klasifikasi Miastania Gravis


Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), Miastenia gravis
dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Kelas I Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup
mata, dan kekuatan otot-otot lain normal.
Kelas II Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya
kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular.
Kelas IIa Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. juga
terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.

5
Kelas IIb Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau
keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot
aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa.
Kelas III Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan
otototot lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat
sedang.
Kelas Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
IIIa keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot
orofaringeal yang ringan.
Kelas Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau
IIIb keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot
anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat ringan.
Kelas IV Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam
derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami
kelemahan dalam berbagai derajat.
Kelas Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan
IVa atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan
dalam derajat ringan.
Kelas Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau
IVb keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan
pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya
dengan derajat ringan.
Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi.
Kelas V Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.

Untuk menilai tingkat respon terhadap terapi dan prognosis, Osserman membuat
klasifikasi klinis sebagai berikut:
1. Kelompok I Miastenia Okular: hanya menyerang otot-otot okular, disertai ptosis
dan diplopia. Sangat ringan dan tidak ada kasus kematian.
2. Kelompok II A: Miastenia umum ringan : progres lambat, biasanya pada mata,
lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar. Sistem pernafasan tidak
terkena, respon terhadap terapi obat baik angka kematian rendah.

6
3. Kelompok II B: Miastenia umum sedang : progres bertahap dan sering disertai
gejala-gejala okular, lalau berlanjut semakin berat dengan terserangnya otot-otot
rangka dan bulbar. Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan dan aktivitas
pasien terbatas.
4. Kelompok III: Miastenia fulminan akut : progres yang cepat dengan kelemahan
otot-otot rangka dan bulbar yang berat disertai mulai terserangnya otot-otot
pernafasan. Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam waktu 6 bulan. Dalam
kelompok ini, persentase thymoma paling tinggi. Respon terhadap obat bururk dan
angka kematian tinggi.
5. Kelompok IV: Miastenia Berat lanjut : timbul paling sedikit 2 tahun sesudah
progress gejala-gejala kelompok I atau II. Respon terhadap obat dan prognosis
buruk.

E. Etiologi Miastania Gravis


Penyebab miastenia gravis masih belum diketahui secara pasti, diduga kemungkinan
terjadi karena gangguan atau destruksi reseptor asetilkolin (Acetyl Choline Receptor
(AChR)) pada persimpangan neoromuskular akibat reaksi autoimun. Etiologi dari penyakit
ini adalah:
1. Kelainan autoimun: direct mediated antibody, kekurangan AChR, atau kelebihan
kolinesterase
2. Genetik: bayi yang dilahirkan oleh ibu miastenia gravis
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya miastenia gravis adalah:
1. Infeksi (virus)
2. Pembedahan
3. Stress
4. Perubahan hormonal
5. Alkohol
6. Tumor mediastinum
7. Obat-obatan (Antikolinesterase; Laksative atau enema; Sedatif; Antibiotik
(Aminoglycosides, ciprofloxacin, ampicillin, erythromycin); Potassium depleting
diuretic; Narkotik analgetik; Diphenilhydramine; B-blocker (propranolol); Lithium;
Magnesium; Procainamide; Verapamil; Chloroquine; Prednisone)

7
F. Patofisiologi Miastania Gravis
Dalam kasus Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah Acetyl Choline Receptor
(AChR). Kondisi ini mengakibakan Acetyl Choline (ACh) yang tetap dilepaskan dalam
jumlah normal tidak dapat mengantarkan potensial aksi menuju membran post-synaptic.
Kekurangan reseptor dan kehadiran ACh yang tetap pada jumlah normal akan
mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang diaktifkan oleh impuls tertentu, inilah
yang kemudian menyebabkan rasa sakit pada pasien. Pengurangan jumlah AChR ini
dipercaya disebabkan karena proses auto-immun di dalam tubuh yang memproduksi anti-
AChR bodies, yang dapat memblok AChR dan merusak membran post-synaptic.
Etipatogenesis proses autoimun pada Miastenia gravis tidak sepenuhnya diketahui,
walaupun demikian diduga kelenjar timus turut berperan pada patogenesis Miastenia
gravis. Sekitar 75 % pasien Miastenia gravis menunjukkan timus yang abnormal, 65%
pasien menunjukan hiperplasi timus yang menandakan aktifnya respon imun dan 10 %
berhubungan dengan timoma.

G. Pathway Miastenia Gravis


(Terlampir)

H. Gejala Klinis Miastania Gravis


Penyakit Miastenia gravis ditandai dengan adanya kelemahan dan kelelahan.
Kelemahan otot terjadi seiring dengan penggunaan otot secara berulang, dan semakin berat
dirasakan di akhir hari. Gejala ini akan menghilang atau membaik dengan istirahat.
Kelompok otot-otot yang melemah pada penyakit miastenis gravis memiliki pola yang
khas. Pada awal terjadinya Miastenia gravis, otot kelopak mata dan gerakan bola mata
terserang lebih dahulu. Akibat dari kelumpuhan otot-otot tersebur, muncul gejala berupa
penglihatan ganda (melihat benda menjadi ada dua atau disebut diplopia) dan turunnya
kelopak mata secara abnormal (ptosis).

8
Gambar 2. Ptosis Pada Miastenia gravis Generalisata
A. Kelopak mata tidak simetris,kiri lebih rendah dari kanan.
B. B Setelah menatap 30 detik ptosis semakin bertambah.

Miastenia gravis dapat menyerang otot-otot wajah, dan menyebabkan penderita


menggeram saat berusaha tersenyum serta penampilan yang seperti tanpa ekspresi.
Penderita juga akan merasakan kelemahan dalam mengunyah dan menelan makanan
sehingga berisiko timbulnya regurgitasi dan aspirasi. Selain itu, terjadi gejala gangguan
dalam berbicara, yang disebabkan kelemahan dari langit-langit mulut dan lidah.
Sebagian besar penderita Miastenia gravis akan mengalami kelemahan otot di seluruh
tubuh, termasuk tangan dan kaki. Kelemahan pada anggota gerak ini akan dirasakan
asimetris. Bila seorang penderita Miastenia gravis hanya mengalami kelemahan di
daerah mata selama 3 tahun, maka kemungkinan kecil penyakit tersebut akan
menyerang seluruh tubuh. Penderita dengan hanya kelemahan di sekitar mata disebut
Miastenia gravis okular. Penyakit Miastenia gravis dapat menjadi berat dan
membahayakan jiwa. Miastenia gravis yang berat menyerang otot-otot pernafasan
sehingga menimbulkan gejala sesak nafas. Bila sampai diperlukan bantuan alat
pernafasan, maka penyakit Miastenia gravis tersebut dikenal sebagai krisis Miastenia
gravis atau krisis miastenik. Umumnya krisis miastenik disebabkan karena adanya
infeksi pada penderita Miastenia gravis
Secara umum, gambaran klinis Miastenia yaitu:
9
1. Kelemahan otot ekstra okular atau EOM yang menyebabkan Ptosis (turunnya kelopak
mata), penglihatan ganda (diplopia);
2. Kelemahan otot wajah (otot mimik);
3. Kelemahan otot bulbar (otot-otot lidah) yang mengakibatkan regurgitasi cairan hidung
dan kesulitan mengunyah dan menelan;
4. Kelemahan otot leher dan tenggorokan yang menyebabkan kesulitan makan dan
menelan;
5. Kelemahan otot pada jari-jari, tangan, dan kaki (seperti gejala stroke tapi tidak disertai
gejala stroke lainnya);
6. Gangguan bicara (disfonia) dan
7. Gejala berat berupa kelemahan otot pernapasan (respiratory paralysis) seperti
kelemahan otot interkostal dan diafragma progresif yang menyebabkan retensi CO2
dan hipoventilasi yang akhirnya mengakibatkan gagal napas serta kelemahan pada
otot faring yang menyebabkan saluran pernapasan atas terganggu. Pasien sering
mengeluhkan tidak dapat melakukan batuk efektif saat banyak sekret yang tertahan.

I. Diagnosis Miastania Gravis


Diagnosis Miastenia gravis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang khas, tes antikolinesterase, EMG, serologi untuk antibodi AchR
dan CT-Scan atau MRI toraks untuk melihat adanya timoma.
1. Anamnesis
Adanya kelemahan/kelumpuhan otot yang berulang setelah aktivitas dan membaik
setelah istirahat. Tersering menyerang otot-otot mata (dengan manifestasi: diplopi
atau ptosis), dapat disertai kelumpuhan anggota badan (terutama triceps dan ekstensor
jari-jari), kelemahan/kelumpuhan otot-otot yang dipersarafi oleh nervi cranialis, dapat
pula mengenai otot pernafasan yang menyebabkan penderita bisa sesak.
2. Tes Klinik Sederhana
a. Tes watenberg/simpson test: memandang objek di atas bidang antara kedua bola
mata > 30 detik, lama-kelamaan akan terjadi ptosis (tes positif).
b. Tes pita suara: penderita disuruh menghitung 1-100, maka suara akan menghilang
secara bertahap (tes positif).
3. Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Endrofonium merupakan antikolinesterase kerja pendek yang memperpanjang
kerja acetilkolin pada nerumuscular juction dalam beberapa menit. Untuk uji tensilon,
10
disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena selama 15 detik, bila dalam 30 detik tidak
terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8-9 mg tensilon secara intravena.
Segera setelah tensilon disuntikkan kita harus memperhatikan otot-otot yang lemah
seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan adanya ptosis. Bila kelemahan
itu benar disebabkan oleh Miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada
uji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena
efektivitas tensilon sangat singkat. Efek sampingnya dapat menyebabkan bradikardi
dan untuk mengatasinya dapat digunakan atropin.

Gambar 3. Tes Edrophonium dan EMG pada myasthenia gravis

4. Uji Prostigmin (neostigmin)


Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara
intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin 0,8 mg). Bila kelemahan itu benar
disebabkan oleh Miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis,
strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.
5. Laboratorium
a. Anti striated muscle (anti-SM) antibody
11
Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 85% pasien yang menderita
timoma dalam usia kurang dari 40 tahun.Sehingga merupakan salah satu tes yang
penting pada penderita Miastenia gravis. Pada pasien tanpa timoma anti-SM
Antibodi dapat menunjukkan hasil positif pada pasien dengan usia lebih dari 40
tahun.
b. Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita Miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab
negatif (Miastenia gravis seronegatif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-
MuSK Ab.
c. Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu Miastenia
gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 70%-95% dari penderita
Miastenia gravis generalisata dan 50%-75% dari penderita dengan Miastenia
okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang
positif. Pada pasien timoma tanpa Miastenia gravis sering kali terjadi false
positive anti-AChR antibody.
6. Elektrodiagnostik
Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi
neuro muscular melalui 2 teknik:
a. Single-fiber Electromyography (SFEMG)
SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa
peningkatan titer dan fiber density yang normal. Karena menggunakan jarum
single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita,
sehingga SFEMG dapat mendeteksi suatu titer (variabilitas pada interval
interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama)
dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat
direkam oleh jarum perekam).
b. Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
Pada penderita Miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin,
sehingga pada RNS terdapat adanya penurunan suatu potensial aksi.
7. Gambaran Radiologi
Chest x-ray (foto roentgen thorak)

12
Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen
thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior
mediastinum.
• Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya thymoma
ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan untuk
mengidentifikasi thymoma pada semua kasus Miastenia gravis, terutama pada
penderita dengan usia tua.
• MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin.
MRI dapat digunakan apabila diagnosis Miastenia gravis tidak dapat ditegakkan
dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada
saraf otak.

J. Penatalaksanaan Miastenia Gravis


Menurut Corwin (2009), penatalaksanaan pada pasien dengan miastenia gravis
adalah:
1. Periode istirahat yang sering selama siang hari untuk menghemat kekuatan. Dengan
istirahat, banyaknya ACh dengan rangsangan saraf akan bertambah sehingga serat-
serat otot yang kekurangan AChR di bawah ambang rangsang dapat berkontraksi.
2. Timektomi (pengangkatan timus melalui pembedahan)
Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan pasca operasi dan
kontrol jalan napas harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya penderita beberapa
hari pasca operasi dan tidak bermanfaatnya pemberian antikolinesterase sering kali
merupakan tanda adanya infeksi paru-paru. Hal ini harus segera diatasi dengan
fisioterapi dan antibiotik.
3. Plasmaferesis (dialisis darah dengan pengeluaran antibodi IgG)
Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis 50 ml/kg BB.
Plasmaferesis mungkin efektif pada krisis miastenik karena kemampuannya untuk
membuang antibodi pada reseptor asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat pada
penanganan kasus kronik.
4. Terapi farmakologi
a. Antikolinesterase (piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin
bromida 15-45 mg per oral tiap 3 jam) untuk memperpanjang waktu paruh
asetilkolin di taut neuromuskular. Pemberian antikolinesterase sangat bermanfaat
pada miastenia gravis golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian
13
antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi parasimpatis, termasuk konstriksi
pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi
bronkial berlebihan.
b. Steroid (prednisolon sekali sehari secara selang-seling/alternate days dengan
dosis awal kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap (5-10 mg/minggu).
Apabila sudah ada perbaikan klinis maka dosis diturunkan secara perlahan-lahan
(5 mg/bulan) dengan tujuan memperoleh dosis minimal yang efektif. Perubahan
pemberian prednisolon secara mendadak harus dihindari.
c. Azatioprin (merupakan obat imunosupresif dengan efek samping lebih sedikit
jika dibandingkan dengan steroid, yaitu berupa gangguan saluran cerna,
peningkatan enzim hati, dan leukopenia). Obat ini diberikan dengan dosis 2,5
mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan
darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan
setiap bulan sekali.
d. Obat anti-inflamasi untuk membatasi serangan autoimun

K. Komplikasi Miastenia Gravis


Miastenia gravis dikatakan berada dalam krisis jika ia tidak dapat menelan,
membersihkan sekret, atau bernapas secara adekuat tanpa bantuan alat-alat. Ada dua jenis
krisis yang terjadi sebagai komplikasi dari miastenia gravis (Corwin, 2009), yaitu:
1. Krisis miastenik
Ditandai dengan perburukan berat fungsi otot rangka yang memuncak pada
gawat napas dan kematian karena diafragma dan otot interkostal menjadi lumpuh.
Dalam kondisi ini, dibutuhkan antikolinesterase yang lebih banyak. Keadaan ini
dapat terjadi pada kasus yang tidak memperoleh obat secara cukup, terjadi setelah
pengalaman yang menimbulkan stres seperti penyakit, gangguan emosional,
pembedahan, atau selama kehamilan, serta infeksi. Tindakan terhadap kasus ini
adalah:
a. Kontrol jalan napas
b. Pemberian antikolinesterase
c. Bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis
Bila pada krisis miastenik pasien tetap mendapat pernapasan buatan (respirator),
obat-obat antikolinesterase tidak diberikan terlebih dahulu, karena obat-obat ini dapat
memperbanyak sekresi saluran pernapasan dan dapat mempercepat terjadinya krisis
14
kolinergik. Setelah krisis terlampaui, obat-obat dapat mulai diberikan secara bertahap,
dan seringkali dosis dapat diturunkan.
2. Krisis kolinergik
Krisis kolinergik yaitu respons toksik akibat kelebihan obat-obat
antikolinesterase. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien tidak sengaja telah
minum obat berlebihan, atau mungkin juga dosis menjadi berlebihan karena terjadi
remisi spontan. Golongan ini sulit dikontrol dengan obat-obatan dan batas terapeutik
antara dosis yang terlalu sedikit dan dosis yang berlebihan sempit sekali. Respons
mereka terhadap obat-obatan seringkali hanya parsial. Status hiperkolinergik ditandai
dengan peningkatan motilitas usus, konstriksi pupil, bradikardia, mual dan muntah,
berkeringat, diare, serta dapat pula timbul gawat napas. Tindakan terhadap kasus ini
adalah:
a. Kontrol jalan napas
Penghentian antikolinesterase untuk sementara waktu, dan dapat diberikan
atropine 1 mg intravena dan dapat diulang bila perlu. Jika diberikan atropine,
pasien harus diawasi secara ketat, karena sekret saluran napas dapat menjadi
kental sehingga sulit dihisap atau mungkin gumpalan lender dapat menyumbat
bronkus, menyebabkan atelektasis. Kemudian, antikolinesterase dapat diberikan
lagi dengan dosis yang lebih rendah
b. Bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis.
Untuk membedakan kedua tipe krisis tersebut dapat diberikan tensilon 2-5 mg
intravena. Obat ini akan memberikan perbaikan sementara pada krisis miastenik,
tetapi tidak akan memberikan perbaikan atau bahkan memperberat gejala-gejala
krisis kolinergik.
Perbedaan kedua krisis di atas adalah sebagai berikut:
Krisis miastenia Krisis kolinergik
1. Meningkatnya tekanan 1. Menurunnya tekanan darah
darah 2. Bradikardia
2. Takikardia 3. Gelisah
3. Gelisah 4. Ketakutan
4. Ketakutan 5. Meningkatnya sekresi
bronkhial, air mata dan
keringat

15
5. Meningkatnya sekresi 6. Kelemahan otot umum
bronkhial, air mata dan 7. Kesultan bernapas, menelan
keringat dan bicara
6. Kelemahan otot umum 8. Mual, muntah
7. Kehilangan refleks batuk 9. Diare
8. Kesulitan bernafas, menelan 10. Kram abdomen
dan bicara
9. Penurunan output urine

Selain kedua krisis tersebut, komplikasi lainnya yaitu:


1. Gagal nafas
2. Disfagia
3. Pneumonia
4. Komplikasi sekunder dari terapi obat (terutama penggunaan steroid yang lama), yaitu:
osteoporosis, katarak, hiperglikemi, gastritis, penyakit peptic ulcer, dan pneumocystis
carinii.

II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN MIASTENIA GRAVIS


A. Pengkajian
1. Anamnesa
a. Identitas pasien : Meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, status
b. Keluhan utama
Yang sering menyebabkan pasien miastenia gravis minta pertolongan
kesehatan sesuai kondisi dari adanya penurunan atau kelemahan otot-otot dengan
manifestasi diplopia (penglihatan ganda), ptosis (jatuhnya kelopak mata, dapat
gambar 8-4) merupakan keluhan utama dari 90% pasien miestenia gravis, disfonia
(gangguan suara), masalah menelan, dan menguyah makanan. Pada kondisi berat
keluhan utama biasanya adalah ketidakmampuan menutup rahang,
ketidakmampuan batuk efektif, dan dispenia.
c. Riwayat Penyakit Saat Ini
Miastenia gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring.
Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba
menelan (otot-otot palatum) menimbulkan suara yang abnormal atau suara nasal,

16
dan pasien tidak mampu menutup mulut yang dinamakan sebagi tanda rahang
menggantung.
Terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang lemah
dan akhirnya dapat berupa serangan dispenea dan pasien tak lagi mampu
membersihkan lendir dari trakea dan cabang-cabangnya. Pada kasus lanjut,
gelang bahu dan panggul dapat terserang dan terjadi kelemahan semua otot-otot
rangka. Biasanya gejala-gejala miastenia gravis dapat diredakan dengan
beristirahat dan memberikan obat antikolinesterase.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Kaji faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit yang memperberat kondisi
miastenia grafis seperti hipertensi dan diabetes militus.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Kaji kemungkinan dari generasi terdahulu yang mempunyai persamaan dengan
keluhan pasien saat ini.
2. Pola Kebutuhan Dasar (Gordon)
a. Pola persepsi kesehatan dan penanganan kesehatan
Pada pola ini dikaji tentang gambaran pasien merasakan kondisi kesehatan dan
bagaimana cara menangani penyakitnya.
b. Pola nutrisi/metabolic
Pada pola ini dikaji tentang gambaran pola makan dan kebutuhan cairan. Pada
pasien miastenia gravis merasakan kelemahan dalam mengunyah dan menelan
makanan sehingga berisiko timbulnya regurgitasi dan aspirasi.
c. Pola eliminasi
Pada pola ini dikaji tentang gambaran fungsi pembuangan (BAB dan BAK).
d. Pola aktifitas/olah raga
Pada pola ini dikaji tentang gambaran pola aktifitas, olahraga, santai, rekreasi.
Adanya kelemahan/kelumpuhan otot yang berulang setelah aktivitas dan
membaik setelah istirahat dapat disertai kelumpuhan anggota badan (terutama
triceps dan ekstensor jari-jari), kelemahan/kelumpuhan otot-otot yang dipersarafi
oleh nervi cranialis, dapat pula mengenai otot pernafasan yang menyebabkan
penderita bisa sesak.
e. Pola tidur-istirahat
Pada pola ini dikaji tentang gambaran pola tidur, istirahat, dan relaksasi.
f. Pola kognitif dan perceptual
17
Pada pola ini dikaji tentang gambaran konsep diri pasien dan persepsi terhadap
dirinya.
g. Pola persepsi diri - konsep diri
Pada pola ini dikaji tentang gambaran pasien memandang dirinya terhadap
penyakit yang dialaminya. Adanya kelemahan pada kelopak mata (ptosis),
dilopia, dan kerusakan dalam komunikasi verbal menyebabkan pasien sering
mengalami gangguan citra diri.
h. Pola peran / hubungan
Pada pola ini dikaji gambaran peran pasien dalam berpartisipasi / berhubungan
dengan orang lain.
i. Pola seksualitas / reproduksi
Pada pola ini dikaji tentang gambaran pola kenyamanan/tidak nyaman dengan
pola seksualitas dan gambaran pola reproduksi.
j. Pola koping / toleransi stress
Pada pola ini dikaji tentang gambaran pola koping pasien secara umum dan
efektifitas dalam toleransi terhadap stress. Ansietas, stress yang berhubungan
dengan penyakit. Pasien miastenia gravis sering mengalami gangguan emosi dan
kelemahan otot apabila mereka berada dalam keadan tegang.
k. Pola nilai/ keyakinan
Pada pola ini dikaji tentang gambaran pola nilai-nilai, keyakinan-keyakinan
(termasuk aspek spiritual), dan tujuan yang dapat mengarahkan menentukan
pilihan/keputusan.
3. Pemeriksaan Fisik
Seperti telah disebutkan sebelumnya, miastenia gravis diduga merupakan gangguan
autoimun yang merusak fungsi reseptor asetilkolin dan mengurangi efisiensi hubungan
neuromuskular. Keadaan ini sering bermanifestasi sebagai penyakit yang berkembang
progresif lambat. Tetapi penyakit ini dapat tetap terlokalisasi pada sekelompok otot
tertentu saja. Karena perjalanan penyakitnya sangat berbeda pada masing-masisng
pasien, maka prognosisnya sulit ditentukan
a. B1 (breathing)
Inspeksi apakah pasien mengalami kemampuan atau penurunan batuk efektif,
produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dispnea, resiko
terjadi aspirasi dan gagal pernafasan akut dan peningkatan frekuensi pernafasan
sering didapatkan pada pasien yang disertai adanya kelemahan otot-otot
18
pernapasan. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi dan stridor pada
pasien menandakan adanya akumulasi sekret pada jalan napas dan penurunan
kemampuan otot-otot pernapasan.
b. B2 (blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler terutama dilakukan untuk memantau
perkembangan status kardiovaskuler, terutama denyut nadi dan tekanan darah
yang secara progresif akan berubah sesuai dengan kondisi tidak membaikya status
pernapasan.
c. B3 (brain)
Pengkajian B3 (brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya. Kelemahan otot ektraokular yang
menyebabkan palsi ocular, jatuhnya kelopak mata atau dislopia intermien, bicara
pasien mungkin disatrik.
Tingkat kesadaran
Biasanya pada kondisi awal kesadaran pasien masih baik.
Fungsi serebral
Status mental: observasi penampilan pasien dan tingkah lakunya,nilai gaya bicara
dan observasi ekspresi wajah, aktifitas motorik yang mengalami perubhan seperti
adanya gangguan perilaku, alam perasaan, dan persepsi.
Pemeriksaan syaraf cranial
1. Saraf I : Biasanya pada pasien epilepsi tidak ada kelainan dan fungsi
penciuman tidak ada kelainan
2. Saraf II : Penurunan pada tes ketajaman penglihatan, pasien sering
mengeluh adanya penglihatan ganda
3. Saraf III, IV dan VI : Sering didapatkan adanya ptosis. Adanya
oftalmoglegia, mimik dari pseudointernuklear oftalmoglegia akibat
gangguan motorik pada saraf VI
4. Saraf V : Didapatkan adanya paralisis pada otot wajah akibat kelumpuhan
pada otot-otot wajah.
5. Saraf VII : Persepsi pengecapan teganggu akibat adanya gangguan motorik
lidah/triple-furrowed lidah
6. Saraf VIII : Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
7. Saraf IX dan X : Ketidakmampuan dalam menelan
8. Saraf XI : Tidak ada atrofi otot sternoklidomastoideus dan trapezius
19
9. Saraf XII : Lidah tidak simetris, adanya deviasi pada satu sisi akibat
kelemahan otot motorik pada lidah/triple-furrowed lidah
Sistem motorik
Karakteristik utama miastenia gravis adalah kelemahan dari sistem motorik.
Adanya kelemahan umum pada otot-otot rangka memberikan manifestasi pada
hambatan mobilitas dan intoleransi aktivitas pasien.
Pemeriksaan refleks
Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau
periosteum derajat refleks pada respon normal.
Sistem sensorik
Pemeriksaan sensorik pada epilepsi biasanya didapatkan perasaan raba normal,
perasaan suhu normal, tidak ada perasaan abnormal di permukaan tubuh.
d. B4 (bladder)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya volume
output urine, ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah
jantung ke ginjal.
e. B5 (bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung.
Pemenuhan nutrisi pada pasien miastenia gravis menurun karena
ketidakmampuan menelan maknan sekunder dari kelemahan otot-otot menelan.
f. B6 (bone)
Adanya kelemahan otot-otot volunter memberikan hambatan pada mobilitas dan
mengganggu aktifitas perawatan diri. Pemeriksaan lainnya berhubungan dengan
Gangguan aktifitas/ mobilitas fisik, kelemahan otot yang berlebihan.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan produksi
mucus dan penurunan kemampuan batuk efektif
3. Gangguan menelan berhubungan dengan kelemahan otot palatum
4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan otot volunter
5. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia, gangguan pengucapan
kata, gangguan neuromuscular, kehilangan kontrol tonus otot fasial atau oral

20
6. Gangguan citra diri berhubungan dengan adanya ptosis, ketidakmampuan
komunikasi verbal
7. Resiko cedera berhubungan dengan fungsi indra penglihatan yang tidak optimal
(diplopia)

C. Rencana Keperawatan
No. Diagnosa NOC NIC
Keperawatan
1. Ketidakefektifan NOC Airway Management
pola nafas 1. Respiratory status: 1. Buka jalan nafas, gunakan
berhubungan Ventilation teknik chin lift atau jaw thrust
dengan 2. Respiratory status: bila perlu
kelemahan otot Airway patency 2. Posisikan pasien untuk
pernafasan 3. Vital sign status memaksimalkan ventilasi
Setelah diberikan asuhan 3. Identifikasi pasien perlunya
keperawatan selama … x pemasangan alat jalan nafas
24 jam, diharapkan pola buatan
nafas pasien efektif dengan 4. Pasang mayo bila perlu
kriteria hasil: 5. Lakukan fisioterapi dada jika
1. Mendemonstrasikan perlu
batuk efektif dan suara 6. Keluarkan sekret dengan
nafas yang bersih, tidak batuk atau suction
ada sianosis dan 7. Auskultasi suara nafas, catat
dyspnea (mampu adanya suara tambahan
mengeluarkan sputum, 8. Lakukan suction pada mayo
mampu bernafas 9. Berikan bronkodilator bila
dengan mudah, tidak perlu
ada pursed lips) 10. Monitor respirasi dan status
2. Menunjukkan jalan O2
nafas yang paten Oxygen Therapy
(pasien tidak merasa 1. Bersihkan mulut, hidung dan
tercekik, irama nafas, sekret trakea
frekuensi pernafasan

21
dalam rentang normal, 2. Pertahankan jalan nafas yang
tidak ada suara paten
abnormal) 3. Atur peralatan oksigenasi
3. Tanda-tanda vital 4. Monitor aliran oksigen
dalam rentang normal 5. Pertahankan posisi pasien
(TD: 120/80 mmHg; N: 6. Observasi adanya tanda-
60-100 x/menit; RR: tanda hipoventilasi
16-20 x/menit) 7. Monitor adanya kecemasan
pasien terhadap oksigenasi
Vital sign Monitoring
1. Monitor TD, nadi, suhu, dan
RR
2. Catat adanya fuktuasi
tekanan darah
3. Monitor TD, nadi, RR,
sebelum, selama, dan setelah
aktivitas
4. Monitor kualitas dari nadi
5. Monitor frekuensi dan irama
pernafasan
6. Monitor suara paru
7. Monitor pola pernafasan
abnormal
8. Monitor suhu, warna, dan
kelembaban kulit
9. Monitor sianosis perifer
10. Monitor adanya cushing triad
(tekanan nadi yang melebar,
bradikardi, peningkatan
sistolik)
11. Identifikasi penyebab dari
perubahan vital sign

22
2. Ketidakefektifan NOC Airway Suction
bersihan jalan 1. Respiratory status: 1. Pastikan kebutuhan oral /
nafas Ventilation tracheal suctioning
berhubungan 2. Respiratory status: 2. Auskultasi suara nafas
dengan Airway patency sebelum dan sesudah
peningkatan 3. Vital sign Status suctioning.
produksi mucus Setelah diberikan asuhan 3. Informasikan pada pasien dan
dan penurunan keperawatan selama … x keluarga tentang suctioning
kemampuan 24 jam, diharapkan 4. Minta pasien nafas dalam
batuk efektif bersihan jalan nafas efektif sebelum suction dilakukan.
dengan kriteria hasil: 5. Berikan O2 dengan
1. Mendemonstrasikan menggunakan nasal untuk
batuk efektif dan suara memfasilitasi suksion
nafas yang bersih, tidak nasotrakeal
ada sianosis dan 6. Gunakan alat yang steril
dyspnea (mampu sitiap melakukan tindakan
mengeluarkan sputum, 7. Anjurkan pasien untuk
mampu bernafas istirahat dan napas dalam
dengan mudah, tidak setelah kateter dikeluarkan
ada pursed lips) dari nasotrakeal
2. Menunjukkan jalan 8. Monitor status oksigen pasien
nafas yang paten 9. Ajarkan keluarga bagaimana
(pasien tidak merasa cara melakukan suksion
tercekik, irama nafas, 10. Hentikan suksion dan berikan
frekuensi pernafasan oksigen apabila pasien
dalam rentang normal, menunjukkan bradikardi,
tidak ada suara peningkatan saturasi O2, dan
abnormal) lain-lain.
3. Tanda-tanda vital
dalam rentang normal Airway Management
(TD: 120/80 mmHg; N: 1. Buka jalan nafas, gunakan
60-100 x/menit; RR: teknik chin lift atau jaw thrust
16-20 x/menit) bila perlu

23
2. Posisikan pasien untuk
memaksimalkan ventilasi
3. Identifikasi pasien perlunya
pemasangan alat jalan nafas
buatan
4. Pasang mayo bila perlu
5. Lakukan fisioterapi dada jika
perlu
6. Keluarkan sekret dengan
batuk atau suction
7. Auskultasi suara nafas, catat
adanya suara tambahan
8. Lakukan suction pada mayo
9. Berikan bronkodilator bila
perlu
10. Monitor respirasi dan status
O2
Oxygen Therapy
1. Bersihkan mulut, hidung dan
sekret trakea
2. Pertahankan jalan nafas yang
paten
3. Atur peralatan oksigenasi
4. Monitor aliran oksigen
5. Pertahankan posisi pasien
6. Observasi adanya tanda-
tanda hipoventilasi
7. Monitor adanya kecemasan
pasien terhadap oksigenasi
Vital sign Monitoring
1. Monitor TD, nadi, suhu, dan
RR

24
2. Catat adanya fuktuasi
tekanan darah
3. Monitor TD, nadi, RR,
sebelum, selama, dan setelah
aktivitas
4. Monitor kualitas dari nadi
5. Monitor frekuensi dan irama
pernafasan
6. Monitor suara paru
7. Monitor pola pernafasan
abnormal
8. Monitor suhu, warna, dan
kelembaban kulit
9. Monitor sianosis perifer
10. Monitor adanya cushing triad
(tekanan nadi yang melebar,
bradikardi, peningkatan
sistolik)
11. Identifikasi penyebab dari
perubahan vital sign
3. Gangguan NOC Aspiration Precaution
menelan 1. Pencegahan aspirasi 1. Memantau tingkat kesadaran,
berhubungan 2. Status menelan: fase oral: refleks batuk, refleks muntah
dengan persiapan, penahanan dan dan kemampuan menelan
kelemahan otot pergerakan cairan atau 2. Memonitor status paru
palatum partikel padat ke arah pelihara jalan nafas
posterior di mulut 3. Posisi tegak 90 derajat atau
Setelah diberikan asuhan sejauh mungkin
keperawatan selama … x 4. Menyuapkan makanan dalam
24 jam, diharapkan jumlah kecil
gangguan menelan teratasi 5. Penawaran makanan atau
dengan kriteria hasil: cairan yang dapat dibentuk
1. Kemampuan menelan

25
adekuat menjadi bolus sebelum
2. Tidak ada kerusakan otot menelan
tenggorong atau otot 6. Potong makanan menjadi
wajah, menelan, potongan-potongan kecil
menggerakan lidah atau 7. Haluskan obat sebelum
refleks muntah pemberian
4. Hambatan NOC Activity Therapy
mobilitas fisik 1. Joint movement: active 1. Kolaborasi dengan Tenaga
berhubungan 2. Mobility level Rehabilitasi Medik dalam
dengan 3. Self care: ADLs merencanakan program terapi
kelemahan otot 4. Transfer performance yang tepat
volunter Setelah diberikan asuhan 2. Bantu pasien untuk
keperawatan selama … x mengidentifikasi aktivitas
24 jam, diharapkan pasien yang mampu dilakukan
menunjukkan tingkat 3. Bantu untuk memilih
mobilitas optimal dengan aktivitas konsisten yang
kriteria hasil: sesuai dengan kemampuan
1. Klien meningkat dalam fisik, psikologi, dan social
aktivitas fisik 4. Bantu untuk mengidentifikasi
2. Mengerti tujuan dari dan mendapat sumber yang
peningkatan mobilitas diperlukan untuk aktivitas
3. Memverbalisasikan yang diinginkan
perasaan dalam 5. Bantu untuk mendapatkan
meningkatkan kekuatan alat bantuan aktivitas seperti
dan kemampuan kursi roda, krek
berpindah 6. Bantu untuk mengidentifikasi
4. Memperagakan aktivitas yang disukai
penggunaan alat bantu 7. Bantu pasien untuk membuat
untuk mobilisasi jadwal latihan diwaktu luang
(walker) 8. Bantu pasien/keluarga untuk
mengidentifikasi kekurangan
dalam beraktivitas

26
9. Bantu pasien untuk
mengembangkan motivasi
diri dan penguatan
10. Monitor respon fisik, emosi,
social, dan spiritual
5. Hambatan NOC Communication Enhancement:
komunikasi 1. Anxiety self control Speech Deficit
verbal 2. Coping 1. Gunakan penerjemah, jika
berhubungan 3. Sensory function: diperlukan
dengan disfonia, hearing & verbal 2. Beri satu kalimat simple
gangguan 4. Fear self control setiap bertemu, jika
pengucapan Setelah diberikan asuhan diperlukan
kata, gangguan keperawatan selama … x 3. Konsultasikan dengan dokter
neuromuscular, 24 jam, diharapkan pasien kebutuhan terapi wicara
kehilangan mampu berkomunikasi 4. Dorong pasien untuk
kontrol tonus dengan alternatif pilihan berkomunikasi secara
otot fasial atau pasien dengan kriteria perlahan dan untuk
oral hasil: mengulangi permintaan
1. Komunikasi: 5. Dengarkan dengan penuh
penerimaan, intrepretasi perhatian
dan ekspresi pesan lisan, 6. Berdiri didepan pasien ketika
tulisan dan non verbal berbicara
meningkat 7. Gunakan kartu baca, kertas,
2. Komunikasi ekspresif pensil, bahasa tubuh, gambar,
(kesulitan berbicara): daftar kosakata bahasa asing,
ekspresi pesan verbal computer, dan lain-lain untuk
dana tau non verbal memfasilitasi komunikasi dua
yang bermakna arah yang optimal
3. Gerakan terkoordinasi: 8. Ajarkan bicara dari
mampu mengkoordinasi esophagus, jika diperlukan
gerakan dalam 9. Beri anjuran kepada pasien
menggunakan isyarat dan keluarga tentang
penggunaan alat bantu bicara

27
4. Pengolahan informasi: (misalnya, prostesi
pasien mampu untuk trakeoesofagus dan laring
memperoleh, mengatur buatan)
dan menggunakan 10. Berikan pujian positive, jika
informasi diperlukan
5. Mampu mengontrol 11. Anjurkan pada pertemuan
respon ketakutan dan kelompok
kecemasan terhadap 12. Anjurkan kunjungan keluarga
ketidakmampuan secara teratur untuk memberi
berbicara stimulus komunikasi
6. Mampu memanajemen 13. Anjurkan ekspresi diri dengan
kemampuan fisik yang cara lain dalam
dimiliki menyampaikan informasi
7. Mampu (bahasa isyarat)
mengkomunikasikan
kebutuhan dengan
lingkungan sosial
6. Gangguan citra NOC Body image enhacement
diri berhubungan 1. Body image 1. Kaji secara verbal dan non
dengan adanya 2. Self esteem verbal
ptosis, Setelah diberikan asuhan 2. Monitor frekuensi mengkritik
ketidakmampuan keperawatan selama … x dirinya
komunikasi 24 jam, diharapkan citra 3. Jelaskan tentang pengobatan,
verbal diri pasien meningkat perawatan, kemajuan dan
dengan kriteria hasil: prognosis penyakit
1. Body image positif 4. Dorong pasien
2. Mampu mengidentifikasi mengungkapkan perasaannya
kekuatan personal 5. Identifikasi arti pengurangan
3. Mendiskripsikan secara melalui pemakain alat bantu
faktual perubahan fungsi 6. Fasilitas kontak dengan
tubuh individu lain dalam kelompok
4. Mempertahankan kecil
interaksi sosial

28
7. Resiko cedera NOC Environment Management
berhubungan 1. Risk Kontrol 1. Sediakan lingkungan yang
dengan fungsi Setelah diberikan asuhan aman untuk pasien
indra keperawatan selama … x 24 2. Identifikasi kebutuhan
penglihatan yang jam, diharapkan tidak keamanan pasien, sesuai
tidak optimal terjadi cedera pada pasien dengan kondisi fisik dan
(diplopia) dengan kriteria hasil: fungsi kognitif pasien dan
1. Pasien terbebas dari riwayat penyakit terdahulu
cedera pasien
2. Pasien mampu 3. Menghindarkan lingkungan
menjelaskan yang berbahaya (misalnya
cara/metode untuk memindahkan perabotan)
mencegah injury/cedera 4. Memasang side rail tempat
3. Pasien mampu tidur
menjelaskan faktor 5. Menyediakan tempat tidur
resiko dari yang nyaman dan bersih
lingkungan/perilaku 6. Menempatkan saklar lampu
personal ditempat yang mudah
4. Mampu memodifikasi dijangkau pasien.
gaya hidup untuk 7. Membatasi pengunjung
mencegah injury 8. Menganjurkan keluarga
5. Menggunakan fasilitas untuk menemani pasien.
kesehatan yang ada 9. Mengontrol lingkungan dari
6. Mampu mengenali kebisingan
perubahan status 10. Memindahkan barang-
kesehatan barang yang dapat
membahayakan
11. Berikan penjelasan pada
pasien dan keluarga atau
pengunjung adanya
perubahan status kesehatan
dan penyebab penyakit.

29
D. Implementasi
Implementasi dilaksanakan sesuai dengan intervensi yang telah ditetapkan dari
diagnosa yang ditegakkan sesuai hasil pengkajian yang dilakukan kepada pasien.

E. Evaluasi
Dari intervensi yang ada dan implementasi yang dilakukan diharapkan:
1. Pola nafas efektif
2. Bersihan jalan nafas efektif
3. Gangguan menelan teratasi
4. Menunjukkan tingkat mobilitas optimal
5. Mampu berkomunikasi dengan alternatif pilihan pasien
6. Citra diri pasien meningkat
7. Tidak terjadi cedera

30
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Myasthenia Gravis (MG) adalah penyakit autoimun kronis dari transmisi
neuromuskular yang menghasilkan kelemahan otot. Istilah Myasthenia adalah bahasa
Latin untuk kelemahan otot, dan Gravis untuk berat atau serius. Miastenia gravis
merupakan bagian dari penyakit neuromuskular. Miastenia gravis adalah gangguang yang
memengaruhi transmisi neuromuskular pada otot tubuh yang kerjanya di bawah kesadaran
seseorang (volunter).
Penyebab miastenia gravis masih belum diketahui secara pasti, diduga kemungkinan
terjadi karena gangguan atau destruksi reseptor asetilkolin (Acetyl Choline Receptor
(AChR)) pada persimpangan neoromuskular akibat reaksi autoimun.
Dalam kasus Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah Acetyl Choline Receptor
(AChR). Kondisi ini mengakibakan Acetyl Choline (ACh) yang tetap dilepaskan dalam
jumlah normal tidak dapat mengantarkan potensial aksi menuju membran post-synaptic.
Kekurangan reseptor dan kehadiran ACh yang tetap pada jumlah normal akan
mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang diaktifkan oleh impuls tertentu, inilah
yang kemudian menyebabkan rasa sakit pada pasien.
Yang sering menyebabkan pasien miastenia gravis minta pertolongan kesehatan
sesuai kondisi dari adanya penurunan atau kelemahan otot-otot dengan manifestasi
diplopia (penglihatan ganda), ptosis (jatuhnya kelopak mata, dapat gambar 8-4) merupakan
keluhan utama dari 90% pasien miestenia gravis, disfonia (gangguan suara), masalah
menelan, dan menguyah makanan. Pada kondisi berat keluhan utama biasanya adalah
ketidak mampuan menutup rahang, ketidakmampuan batuk efektif, dan dispenia.

B. Saran
Diharapkan kepada para pembaca khususnya mahasiswa/i Stikes Wira Medika PPNI
Bali dapat memahami dan mengetahui konsep penyakit dan konsep asuhan keperawatan
pada pasien dengan Miastenia Gravis sehingga mampu mengaplikasikannya dalam
memberikan asuhan keperawatan yang sesuai dengan masalah yang dialami pasien.

31
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC


Doenges, Marlynn E. 2000. RencanaAsuhan Keperawatan, Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC
Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014.
Jakarta: EGC
Muttaqin, Arif. 2008. Pengantar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem Persarafan.
Jakarta: Salemba Medika
Nurarif, A. H. & Kusuma, H. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & Nanda NIC-NOC Jilid 1. Yogyakarta: Media Action Publishing
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth.Vol.3 Edisi 8. Jakarta: EGC
Sylvia A.Price, Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi.Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC

32
Cedera Autoimun, Gangguan sub imun
Pathway Miastenia Gravis
Simplifikasi region pasca sinaps

Gangguan konduksi neuromuskular

 jumlah reseptor asetilkolin pada membrane postsinaps

Hilangnya reseptor normal membrane postsinaps pada sambungan


neuromuskular
Kerusakan pada transmisi impuls saraf

Gangguan potensial aksi sel saraf

Gangguan kontraksi serabut otot

Energi yang diperlukan untuk bergerak  Kelemahan otot volunter

Keletihan Hambatan Mobilitas Fisik

Gangguan otot Gangguan otot wajah, Gangguan otot


okuler laring, faring pernafasan

Diplopia Ptosis Regurgitasi makanan ke Disfonia Kelemahan Kelemahan otot Ketidakmampuan


hidung saat menelan otot palatum pernafasan batuk efektif
Penglihatan Kelopak mata jatuh Kesulitan
ganda Resiko Aspirasi mengucapkan
kata-kata Ketidakmampuan Sesak nafas Sekresi mucus
Terlihat seperti orang tertidur menutup rahang
Resiko sepanjang waktu
Cedera Hambatan Ketidakefektifan Ketidakefektifan
Komunikasi Gangguan pola nafas bersihan jalan
Gangguan Citra Tubuh menelan nafas
Verbal

You might also like