You are on page 1of 17

PUBLICATION MANUSCRIPT NASKAH PUBLIKASI

FACTORS RELATED TO THE INCIDENT PULMONARY TB IN SUNGAI MARIAM COMMUNITY HEALTH CENTER WORKING AREA ANGGANA DISCTRICT, KUTAI KERTANEGARA REGION FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN TB PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUNGAI MARIAM KECAMATAN ANGGANA KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA

DISUSUN OLEH Rasmalia Barbasari NIM.11.11.3082.3.0383

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH SAMARINDA 2013

LEMBAR PENGESAHAN

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN TB PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUNGAI MARIAM KECAMATAN ANGGANA KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA

NASKAH PUBLIKASI

DISUSUN OLEH Rasmalia Barbasari NIM.11.11.3082.3.0383

Diseminarkan dan diujikan Pada tanggal, 26 Juli 2013

Penguji I

Penguji II

Penguji III

Rini Ernawati,S.Pd.M.Kes NBP. 960509

Dr.Hj.Nunung Herlina,S.Kp.,M.Pd NIP. 19580331 198111 2 001

Ns.Dwi Rahmah Fitriani,S.Kep. NBP. 971205

Mengetahui, Ketua Program Studi Sarjana Ilmu Keperawatan

Rusni Masnina, S.Kp. NBP. 971222

ABSTRACT

FACTORS RELATED TO THE INCIDENT PULMONARY TB IN SUNGAI MARIAM COMMUNITY HEALTH CENTER WORKING AREA ANGGANA DISCTRICT, KUTAI KERTANEGARA REGION
Rasmalia Barbasari , Nunung Herlina , Dwi Rahmah Fitriani
1 2 3

Background: Pulmonary tuberculosis is often called the lung is a contagious infection caused by the bacteria mycobacterium tuberculosis. Pulmonary tuberculosis is a health problem, both in terms of mortality and morbidity, as well as diagnosis and treatment. Together with HIV/ AIDS, malaria and tuberculosis is a disease control into a global commitment. Pulmonary tuberculosis is a contagious disease that is still a public health problem, and one of the causes of death that need to be implemented pulmonary tuberculosis control program on an ongoing basis. Objective: This study aimed to determine what factors are associated with the incidence of pulmonary tuberculosis in Sungai Mariam Community Health Center Working Area Anggana Disctrict, Kutai Kertanegara Region. Methods: This study was a descriptive correlational study with cross-sectional design. The study population was all patients with both pulmonary tuberculosis smear positive pulmonary tuberculosis and suspected tuberculosis in Sungai Mariam Community Health Center Working Area Anggana Disctrict, 66 people. Sampling in this study were calculated using nonprobability sampling with purposive sampling technique sampling with a sample size of 57 people. Research instruments used questionnaires and observation sheets were analyzed with univariate techniques (mean and percentages), bivariate analysis with the chi-square test and multivariate analysis with logistic regression. Results: Characteristics of survey respondents identified that the majority of the age group 15-64 years, male, high school educated and worked as a fisherman, most of the respondents had high knowledge about pulmonary tuberculosis disease; was a heavy smoker; dwelling house is not crowded and is mostly a patient with suspected pulmonary tuberculosis. Also obtained a significant association between knowledge (p = 0.028), smoking status (p = 0.002) and the density residential homes (p = 0.001) and the incidence of pulmonary tuberculosis as well as the most dominant variable is the smoking status. Conclusion: There is a significant relationship between knowledge, smoking status and the density of residential homes with pulmonary tuberculosis incidence as well as the most dominant variable is the variable smoking status. Keywords: knowledge, smoking status, residential density houses, the incidence of pulmonary tuberculosis _________________________________________________________________________
1 2

Undergaduate students of nursing program STIKES Muhammadiyah Samarinda RSUD A. Wahab Sjahranie Samarinda 3 STIKES Muhammadiyah Samarinda

INTISARI

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN TB PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUNGAI MARIAM KECAMATAN ANGGANA KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA
Rasmalia Barbasari , Nunung Herlina , Dwi Rahmah Fitriani
1 2 3

Latar Belakang: Tuberkolusis Paru atau yang sering disebut TB Paru adalah infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tubercolusis. TB Paru merupakan masalah kesehatan, baik dari sisi angka kematian (mortalitas), angka kejadian penyakit (morbiditas), maupun diagnosis dan terapinya. Bersama dengan HIV/AIDS, Malaria dan TB Paru merupakan penyakit yang pengendaliannya menjadi komitmen global. Penyakit TB Paru merupakan penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, dan salah satu penyebab kematian sehingga perlu dilaksanakan program penanggulangan TB Paru secara berkesinambungan. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kejadian TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Sungai Mariam Kecamatan Anggana Kabupaten Kutai Kartanegara. Metode: Penelitian ini adalah penelitian deskriptif korelasional dengan rancangan cross sectional. Populasi penelitian adalah seluruh penderita TB Paru baik yang TB Paru BTA Positif maupun suspek TB di Puskesmas Sungai Mariam Kecamatan Anggana sebanyak 66 orang. Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode nonprobability sampling dengan teknik sampling purposive sampling dengan jumlah sampel sebanyak 57 orang. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner dan lembar observasi. Data yang terkumpul dianalisis dengan teknik analisa univariat (mean dan persentase), analisa bivariat dengan uji chi square dan analisa multivariat dengan uji regresi logistik. Hasil Penelitian: Teridentifikasi karakteristik responden penelitian yaitu sebagian besar kelompok umur 15-64 tahun, laki-laki, berpendidikan SMA dan bekerja sebagai nelayan; sebagian besar responden mempunyai pengetahuan tinggi tentang penyakit TB Paru; merupakan perokok berat; hunian rumah tidak padat serta sebagian besar merupakan penderita suspek TB Paru. Diperoleh pula hubungan yang bermakna antara pengetahuan (p=0,028), status merokok (p=0,002) dan kepadatan hunian rumah (p=0,001) dengan kejadian TB Paru serta variabel yang paling dominan berhubungan adalah variabel status merokok. Kesimpulan: Ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan, status merokok dan kepadatan hunian rumah dengan kejadian TB Paru serta variabel yang paling dominan berhubungan adalah variabel status merokok. Kata kunci: pengetahuan, status merokok, kepadatan hunian rumah, kejadian TB Paru
1 2

Mahasiswa Program Sarjana Keperawatan STIKES Muhammadiyah Samarinda RSUD A. Wahab Sjahranie Samarinda 3 STIKES Muhammadiyah Samarinda

1. Pendahuluan Tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat tahun 2015-2025 adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal (Depkes, 2009). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat diantaranya tingkat ekonomi, pendidikan, keadaan lingkungan, kesehatan dan budaya sosial. Menurut Bloom (dalam Notoatmodjo, 2005) derajat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh empat faktor yaitu, lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan. Dari keempat faktor tersebut menurut Bloom faktor lingkungan dan perilaku adalah faktor yang paling besar mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Tuberkolusis Paru atau yang sering disebut TB Paru adalah infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tubercolusis. TB Paru merupakan masalah kesehatan, baik dari sisi angka kematian ( mortalitas), angka kejadian penyakit (morbiditas), maupun diagnosis dan terapinya. Bersama dengan HIV/AIDS, Malaria dan TB Paru merupakan penyakit yang pengendaliannya menjadi komitmen global dalam program Millennium Depelovment Goals atau MDGs (Depkes, 2009). Penyakit Tuberkulosis Paru (TB) merupakan penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, dan salah satu penyebab kematian sehingga perlu dilaksanakan program penanggulangan TB Paru secara berkesinambungan (Depkes, 2009) . Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium Tuberculosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB Paru baru dan 3 juta kematian akibat TB Paru diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB paru dan 98% kematian akibat TB paru didunia, terjadi pada negara-negara berkembang. Sekitar 75% pasien TB paru adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB Paru dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB Paru, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB Paru juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat. Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB Paru antara lain kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara-negara yang sedang berkembang, kegagalan program TB Paru selama ini. Situasi TB Paru di dunia semakin memburuk, jumlah kasus TB Paru meningkat dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan, terutama pada negara yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah TB Paru besar. Menyikapi hal tersebut, WHO mencanangkan TB Paru sebagai kedaruratan dunia . Pada saat yang sama, kekebalan ganda kuman TB Paru terhadap obat anti TB Paru (Multi Drug Resistance=MDR) semakin menjadi masalah akibat kasus yang tidak berhasil disembuhkan. Keadaan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya epidemi TB Paru yang sulit ditangani (Depkes, 2009). Diperkirakan setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang dengan Insidensi kasus TB Paru BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk. Pada tahun 1995, program nasional penanggulangan TB Paru mulai menerapkan strategi DOTS dan dilaksanakan di Puskesmas secara bertahap. Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara nasional di seluruh sarana pelayanan kesehatan terutama Puskesmas yang di integrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar (Depkes, 2009). Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Kartanegara penderita TB Paru dengan BTA positif yang terdeteksi Tahun 2004 ada 131 penderita dengan jumlah sembuh 88 penderita atau 67,2% dan Tahun 2005 ada 220 penderita dengan jumlah sembuh 116 penderita atau 52,7%. Tahun 2006 jumlah penderita diobati 184 penderita dengan jumlah sembuh 135 penderita atau 73.37% (Dinkes Kukar, 2007).

Puskesmas Sungai Mariam merupakan unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Kartanegara yang bertanggungjawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di wilayah kecamatan Anggana. Berdasarkan data program pemberantasan penyakit menular di Puskesmas Sungai Mariam, penyakit TB Paru tahun 2010 yaitu penderita TB Paru Positif sebanyak 48 orang dan suspek TB Paru sebanyak 24 orang. Tahun 2011 penderita TB Paru Positif sebanyak 55 orang dan suspek TB Paru sebanyak 29 orang, sedangkan data bulan Januari sampai Oktober 2012 penderita TB Paru Positif sebanyak 40 orang dan suspek TB Paru sebanyak 26 orang. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Chandra, dkk. (2004) di Poliklinik Paru Rumah Sakit Umum Manado, terdapatnya dalam sputum sumber kontak BTA Positif secara bermakna akan meningkatkan resiko terjadinya TB Paru 36,5 kali lebih besar dibandingkan kontak dengan sumber BTA Negatif. Dalam penelitian tersebut terdapat faktor resiko yang paling berperan terhadap kejadian TB Paru pada kasus kontak adalah usia, jenis kelamin, status gizi, status ekonomi, kondisi sanitasi rumah, perilaku, dan pekerjaan. Peneliti selanjutnya melakukan survei awal pada tanggal 23 Oktober 2012 dengan teknik wawancara terhadap Bapak M, petugas program TB Paru Puskesmas Sungai Mariam yang mengatakan bahwa beberapa penderita tidak tahu tentang penyakit TB Paru, memiliki kebiasaan merokok dan kondisi hunian rumah yang padat. Kemudian peneliti mewawancarai 7 orang penderita TB Paru yang sedang berobat di Puskesmas Sungai Mariam diperoleh hasil bahwa 5 orang penderita tidak tahu tentang pengertian penyakit dan penyebab TB Paru, 4 orang adalah perokok atau pernah merokok, dan 6 penderita mengatakan hunian rumahnya cukup padat dengan jumlah penghuni rumah lebih banyak dibandingkan luas rumah. Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk meneliti tentang Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian TB Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Sungai Mariam Kecamatan Anggana Kabupaten Kutai Kartanegara. 2. Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian deskriptif korelasional dengan rancangan cross sectional. Populasi penelitian adalah seluruh penderita TB Paru baik yang TB Paru BTA Positif maupun suspek TB di Puskesmas Sungai Mariam Kecamatan Anggana sebanyak 66 orang. Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode nonprobability sampling dengan teknik sampling purposive sampling dengan jumlah sampel sebanyak 57 orang. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner dan lembar observasi. Data yang terkumpul dianalisis dengan teknik analisa univariat (mean dan persentase), analisa bivariat dengan uji chi square dan analisa multivariat dengan uji regresi logistik. 3. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Karakteristik Responden a. Umur Berdasarkan karakteristik umur responden diperoleh hasil bahwa responden kelompok umur 15-64 tahun merupakan proporsi terbanyak yaitu 51 orang (89,5%), yang berarti bahwa mayoritas responden berada dalam rentang usia produktif. Menurut Elisabeth (dalam Wawan 2010), umur adalah usia individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang tahun. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Niko (2011), yang meneliti tentang hubungan perilaku dan kondisi sanitasi rumah dengan kejadian TB Paru di kota Solok yang menunjukan bahwa karakteristik umur responden penderita TB Paru berada dalam rentang 40-49 tahun yaitu sebanyak 14 responden (31,8%). Penelitian Ratnasari (2004) tentang hubungan dukungan sosial dengan kualitas hidup penderita TB Paru di Balai Pengobatan Penyakit Paru (BP4) Yogyakarta juga menunjukan hasil yang sama yaitu karakteristik responden TB Paru berada pada rentang usia produktif yaitu 21-30 tahun sebanyak 26 orang (52%). Hasil penelitian ini sesuai dengan laporan Riskesdas tahun 2010 tentang survey

prevalensi TB Paru yang menyatakan bahwa sebagian besar penderita TB Paru berada dalam rentang umur produktif sebanyak 82,6% (Kemenkes RI 2010). Peneliti berasumsi bahwa banyaknya penderita TB Paru yang berada dalam rentang umur produktif diwilayah kerja Puskesmas Sungai Mariam Kecamatan Anggana dikarenakan kondisi demografi penduduk sebagian besar merupakan penduduk umur produktif dimana berdasarkan data proyeksi penduduk sasaran program kesehatan kabupaten Kutai Kartanegara tahun 2013 menyebutkan bahwa mayoritas penduduk berada dalam umur produktif. Terkait dengan hasil penelitian tersebut, diharapkan bagi petugas Puskesmas Sungai Mariam untuk lebih memfokuskan sasaran kegiatan penjaringan TB Paru pada penduduk kelompok umur produktif. b. Jenis Kelamin Berdasarkan karakteristik jenis kelamin responden diperoleh hasil bahwa responden laki-laki merupakan proporsi terbanyak yaitu 44 orang (77,2%). Menurut Echols dan Sadhily (2003) mendefinisikan jenis kelamin adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari nilai dan tingkah laku, perbedaan tersebut juga terkait keadaan biologis seseorang sejak lahir. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Niko (2011), yang menunjukan bahwa karakteristik jenis kelamin pada penderita TB Paru lebih banyak 63,6% laki-laki. Penelitian Ratnasari (2004), juga menyebutkan jumlah penderita TB Paru mayoritas laki-laki 27 orang (54%), Namun laporan Riskesdas tahun 2010 mendapatkan hal yang berbeda dimana lebih banyak penderita yang berjenis kelamin perempuan (51,4%). Peneliti berasumsi bahwa banyaknya penderita TB Paru yang berjenis kelamin laki-laki di wilayah kerja Puskesmas Sungai Mariam Kecamatan Anggana dikarenakan kondisi demografi penduduk sebagian besar merupakan penduduk berjenis kelamin laki-laki dimana berdasarkan data proyeksi penduduk Kecamatan Anggana menyebutkan bahwa penduduk berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dari pada perempuan. Selain itu disebabkan pula seorang perempuan cenderung kurang berminat pergi ke pelayanan kesehatan untuk memeriksakan kesehatannya. Nakagawa et al. (2001) mengemukakan bahwa pada perempuan lebih banyak kurang terdiagnosis sehingga dilaporkan menderita tuberculosis sering terlambat akibat adanya rasa malu dan takut dikucilkan masyarakat serta stigma penyakit tuberkulosis. c. Pendidikan Berdasarkan karakteristik pendidikan responden di dapatkan hasil bahwa responden yang berpendidikan SMA merupakan proporsi terbanyak yaitu 26 orang (45,6%). Menurut Notoatmojo (2005) Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal yang terakhir berdasarkan penggolongan data atau tingkat terakhir yang diakui pemerintah (Notoatmodjo, 2005). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ratnasari (2004), yang mendapatkan pendidikan responden sebanyak 23 orang (46%) tamat SMA, Namun penelitian Nurhayati (2012) tentang gambaran karakteristik penderita TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Pagimana Kabupaten Banggai mendapatkan hasil yang berbeda dimana lebih banyak penderita yang berpendidikan SMP yaitu 33, 5%. Peneliti berasumsi bahwa banyaknya responden penelitian yang berpendidikan SMA disebabkan fasilitas pendidikan di Kecamatan Anggana sudah ada sampai tingkat SMA. Hal ini diperkuat dengan adanya data dari Dinas Pendidikan Kecamatan Anggana yang menyebutkan bahwa terdapat dua SMA di wilayah tersebut. Pendidikan responden pada tingkat SMA tersebut juga dapat diasumsikan menjadi faktor yang dapat meningkatkan pemahaman penderita TB

paru terhadap penyakit TB Paru. Notoatmojo (2005) menyebutkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin mudah menerima informasi. d. Pekerjaan Berdasarkan karakteristik pekerjaan responden diperoleh hasil bahwa responden yang bekerja sebagai nelayan merupakan proporsi terbanyak yaitu 16 orang (28,1%). Depkes RI, (2001) mendefinisikan pekerjaan adalah sesuatu yang dikerjakan untuk mendapatkan nafkah atau pencaharian. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Nurhayati (2011) yang mendapatkan bahwa mayoritas responden bekerja sebagai nelayan 35,6%. Peneliti berasumsi bahwa letak geografis Kecamatan Anggana yang berada dipesisir pantai mendukung banyaknya responden yang bekerja sebagai nelayan. Terkait dengan hasil penelitian tersebut, diharapkan bagi petugas Puskesmas Sungai Mariam untuk lebih memfokuskan sasaran kegiatan penjaringan TB Paru pada penduduk di wilayah pesisir pantai seperti desa-desa laut yang termasuk wilayah kerja Puskesmas Sungai Mariam. 2. Analisa Univariat a. Pengetahuan Berdasarkan hasil analisis variabel pengetahuan tentang TB Paru diperoleh hasil bahwa responden yang berpengetahuan tinggi merupakan proporsi terbanyak yaitu 32 orang (56,1%). Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, penciuman rasa dan raba. Pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan telinga (Notoatmodjo, 2005). Pengetahuan yang lebih menekankan pengamatan dan pengalaman inderawi dikenal sebagai pengetahuan empiris atau pengetahuan aposteriori. Pengetahuan ini bisa didapatkan dengan melakukan pengamatan dan observasi yang dilakukan secara empiris dan rasional. Hasil pengetahuan ini menunjukkan bahwa sebagian besar penderita TB Paru (baik positif maupun suspek) di kecamatan Anggana sudah mengetahui tentang pengetahuan penyakit TB Paru. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan Niko (2011) yang mendapatkan bahwa mayoritas responden berpengetahuan rendah yaitu (63,6%). Peneliti berasumsi tingginya tingkat pengetahuan responden pada penelitian ini terkait dengan banyaknya responden yang berpendidikan SMA. Hal ini sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2005) menyebutkan salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan adalah pendidikan dimana makin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan semakin mudah menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimilkinya. Diharapkan bagi responden TB Paru untuk dapat mempertahankan dan menambah pengetahuannya tentang penyakit TB Paru dengan cara bertanya kepada petugas kesehatan, mencari informasi terbaru tentang TB Paru di Puskesmas, artikel atau majalah. Bagi Petugas Puskesmas khususnya petugas TB Paru diharapkan dapat memberikan informasi secara berkala tentang penyakit TB Paru melalui pendidikan kesehatan, penyuluhan TB Paru dan pemberian leaflet kepada penderita yang sedang berobat ke Puskesmas. b. Status Merokok Berdasarkan hasil analisis variabel status merokok diperoleh hasil bahwa responden perokok berat merupakan proporsi terbanyak yaitu 30 orang (52,6%), sedangkan responden perokok ringan berjumlah 27 orang (47,4%). Merokok

adalah tindakan seseorang menghisap rokok (tembakau). Tembakau diperkenalkan di Indonesia oleh bangsa Belanda sekitar dua abad yang lalu dan penggunaannya pertama kali oleh masyarakat Indonesia ketika elit lokal Indonesia meniru kebiasaan merokok bangsa Belanda yang kemudian diikuti oleh masyarakat kelas bawah hingga menggantikan mengunyah sirih yang menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia/ PDPI, 2011). Rokok adalah silinder kertas yang berisi daun tembakau cacah. Dalam sebatang rokok, terkandung berbagai zat-zat kimia berbahaya yang berperan seperti racun (Beyer, 2004). Menurut Aditama (2002), perilaku merokok adalah aktivitas menghisap atau menghirup asap rokok dengan menggunakan pipa atau rokok. Seperti halnya perilaku lain, perilaku merokok pun muncul karena adanya faktor internal (faktor biologis dan faktor psikologis, seperti perilaku merokok dilakukan untuk mengurangi stres) dan faktor eksternal (lingkungan sosial, seperti terpengaruh teman sebaya). Merokok merupakan penyebab utama penyakit paru-paru yang bersifat kronis dan obstruktif, misalnya bronchitis dan empisema. Merokok juga terkait dengan influenza dan radang paru-paru lainnya. Pada penderita asma, merokok akan memperparah gejala asma sebab asap rokok akan lebih menyempitkan saluran pernafasan. Selain itu efek merugikan dari merokok dapat timbul pada masa remaja. Efek merugikan tersebut mencakup meningkatnya kerentanan terhadap batuk kronis, produksi dahak dan serak (Sitepoe, 2000). Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan risiko untuk mendapatkan kanker paru-paru, penyakit jantung koroner, bronchitis kronik dan kanker kandung kemih. Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali (Sitepoe, 2000). Tembakau telah disebut sebagai penyebab kematian secara global karena membunuh lebih dari 5 juta orang di seluruh dunia setiap tahunnya. Hasil penelitian ini di dukung dengan hasil penelitian Zainul (2009) tentang hubungan kebiasaan merokok dengan konversi sputum penderita TB Paru di klinik Jemadi Medan yang mendapatkan bahwa jumlah responden yang merokok lebih banyak dibandingkan responden yang tidak merokok sebesar 50,65%. Peneliti berasumsi bahwa banyaknya responden yang merupakan perokok berat terkait dengan karakteristik jenis kelamin responden yang lebih banyak laki-laki. Diharapkan bagi tenaga kesehatan perlu lebih aktif menginformasikan tentang bahaya TB Paru dan merokok pada masyarakat umumnya, dan penderita TB Paru khususnya agar penderita TB Paru yang punya kebiasaan merokok mau berhenti merokok. sosialisasi di atas harus dilakukan secara aktif dan lebih gencar, misalnya melalui media massa (televisi, radio, koran, majalah, leaflet, poster, ceramah-ceramah kesehatan di sekolah, kantor, organisasi wanita, fasilitas kesehatan dan sebagainya). c. Kepadatan Hunian Rumah Berdasarkan hasil analisis variabel kepadatan hunian rumah diperoleh hasil bahwa kepadatan hunian rumah responden yang tidak padat merupakan proporsi terbanyak yaitu 32 orang (56,1%), sedangkan yang padat sebanyak 25 orang (43,9%). Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal (Lubis, 1989). Rumah yang ruangan terlalu sempit atau terlalu banyak penghuninya akan kekurangan oksigen menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh yang memudahkan terjadinya penyakit sehingga penularan penyakit saluran pernapasan seperti TB paru akan mudah terjadi di antara penghuni rumah (Soemirat, 2009).

Hasil penelitian ini sejalan dengan Niko (2011) yang mendapatkan bahwa mayoritas responden memiliki hunian yang tidak padat yaitu 56,82%. Peneliti berasumsi bahwa banyaknya hunian yang tidak padat pada responden di kecamatan Anggana ini dikarenakan sebagian wilayah transmigrasi sehingga kebanyakan penduduk memiliki luas tanah yang cukup besar. Berdasarkan observasi langsung yang peneliti dapatkan rata-rata luas tanah penduduk 2 transmigran 400m hal ini mendukung penduduk tersebut membangun hunian yang cukup besar. d. Kejadian TB Paru Berdasarkan hasil analisis variabel kejadian TB Paru diperoleh hasil bahwa responden yang merupakan penderita suspek TB Paru adalah proporsi terbanyak yaitu 31 orang (54,4%), sedangkan responden yang merupakan penderita TB paru berjumlah 26 orang (45,6%). TB Paru merupakan salah satu penyakit yang telah lama dikenal dan sampai saat ini masih menjadi penyebab utama kematian di dunia. Prevalensi TB Paru di Indonesia dan negara-negara sedang berkembang lainnya cukup tinggi. Pada tahun 2006, kasus baru di Indonesia berjumlah lebih dari 600.000 dan sebagian besar diderita oleh masyarakat yang berada dalam usia produktif (15-55 tahun). Angka kematian karena infeksi TB Paru berjumlah sekitar 300 orang per hari dan terjadi lebih dari 100.000 kematian per tahun. Hal tersebut merupakan tantangan bagi semua pihak untuk terus berupaya mengendalikan infeksi ini. Salah satu upaya penting untuk menekan penularan TB Paru di masyarakat adalah dengan melakukan diagnosis dini yang definitif (Saptawati, dkk. 2012). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil Riskesdas (2010) yang mendapatkan bahwa penderita suspek TB Paru berbanding 4:1 dengan penderita TB Paru dimana penderita suspek TB Paru tercatat sebesar 2.728 per 100.000 penduduk dan sedangkan penderita TB Paru adalah tercatat sebesar 725 per 100.000 penduduk. Bagi petugas puskesmas diharapkan meningkatkan deteksi dini penderita TB Paru melalui kegiatan penemuan pasien yang terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan program penanggulangan TB Paru. Penemuan dan penyembuhan pasien TB Paru menular, secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB Paru, penularan TB Paru di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB Paru yang paling efektif di masyarakat. 3. Analisa Bivariat a. Hubungan Pengetahuan Dengan Kejadian TB Paru Berdasarkan hasil analisa bivariat hubungan pengetahuan dengan kejadian TB Paru diperoleh hasil bahwa terdapat sebanyak 16 orang (28,1%) responden yang berpengetahuan rendah merupakan penderita TB Paru dan ada sebanyak 22 orang (38,6%) responden yang berpengetahuan tinggi merupakan penderita suspek TB Paru. Hasil uji statistik dipero leh nilai p=0,028 yang berarti p< (0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan kejadian TB Paru. Diperoleh pula nilai OR=3,911 artinya orang yang berpengetahuan rendah tentang TB Paru beresiko 3,9 kali menderita penyakit TB Paru. Hasil ini sejalan dengan penelitian Niko (2011) yang mendapatkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan responden dengan kejadian TB Paru di Kota Solok. Bloom (dalam Notoatmodjo, 2005) tentang pembagian perilaku kesehatan dalam tiga domain, yaitu pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan (cognitive) yaitu hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu, sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh

melalui mata dan telinga. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam pembentukan tindakan seseorang. Sikap (attitude) merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek. Sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan akan tetapi merupakan predisposisi tindakan. Tindakan (practice) dimana setelah seseorang mengetahui stimulasi atau objek kesehatan, kemudian mengadakan penilaian atau pendapatan terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia akan mempraktekkan apa yang diketahuinya. Tiga domain perilaku menurut Bloom tersebut dapat menjelaskan tentang hubungan pengetahuan dengan kejadian TB Paru. Pengetahuan penderita TB Paru menjadi domain pengetahuan (cognitive) dimana sebagian besar telah memiliki pengetahuan yang tinggi tentang penyakit TB Paru. Sedangkan kejadian TB Paru merupakan salah satu bentuk hasil dari tindakan (practice) penderita TB Paru untuk memperhatikan kesehatannya. Hubungan keduanya merupakan bagian dari hubungan domain perilaku kesehatan seseorang. Notoatmodjo, (2005) menambahkan bahwa pengetahuan tentang keadaan sehat dan sakit adalah pengalaman seseorang tentang keadaan sehat dan sakitnya seseorang yang menyebabkan seseorang tersebut bertindak untuk mengatasi masalah sakitnya dan bertindak untuk mempertahankan kesehatannya atau bahkan meningkatkan status kesehatannya. Terkait dengan adanya hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan kejadian TB Paru ini, beberapa hal yang dapat disarankan yaitu bagi petugas Puskesmas diharapkan dapat meningkatkan program pemberian pengetahuan berupa informasi tentang penyakit TB Paru melalui penjelasan secara langsung, tingkat rumah tangga dan pemberian leaflet kepada penderita TB Paru ketika sedang berobat di Puskesmas. Sedangkan bagi penderita TB Paru juga diharapkan dapat meningkatkan pemahamannya tentang pengobatan penyakit TB Paru. b. Hubungan Status Merokok Dengan Kejadian TB Paru Berdasarkan hasil analisa bivariat hubungan status merokok dengan kejadian TB Paru diperoleh hasil bahwa ada sebanyak 20 orang (35,1%) responden perokok berat merupakan penderita TB Paru dan sebanyak 21 orang (36,8%) responden perokok ringan merupakan penderita suspek TB Paru. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,002 yang berarti p< (0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara status merokok dengan kejadian TB Paru. Rokok telah menunjukkan dampak yang luas terhadap mekanisme kekebalan inangnya (Wijaya, 2012). Terdapat banyak penelitian kontroversi karena perbedaan dalam hal riwayat merokok, kerentanan genetik, sosial ekonomi, olah raga, nutrisi, kelembaban udara dan pekerjaan yang dapat memodifikasi penyakit. Epitel pernapasan merupakan pertahanan pertama melawan agen lingkungan yang merugikan dan melindungi dengan cara menyapu partikel keluar dalam lapisan mukus, memfagositosis juga merekrut sel imun lain. Merokok secara langsung membahayakan integritas barier fisik, meningkatkan permeabilitas epitel pernapasan dan mengganggu bersihan mukosilier. Pajanan asap rokok akut mengakibatkan supresi epitel pernapasan dan secara kronik dapat mengakibatkan inflamasi dan kerusakan sehingga menyebabkan perubahan bentuk sel epitel. Merokok berpengaruh terhadap kemampuan makrofag alveolar untuk memfagositosis bakteri dan sel apoptosis. Pada saat yang sama, rokok juga mengganggu mekanisme pertahanan alamiah yang dimediasi oleh makrofag, sel epitel, sel dendritik (DCs), dan sel Natural Killer (NK) sehingga meningkatkan risiko infeksi.

Pengaruh rokok dalam hubungannya dengan peningkatan penyakit hingga menjadi lebih berat ditandai dengan gangguan kemampuan makrofag untuk membunuh bakteri atau virus studi retrospektif yang dilakukan di Dublin pada 160 kasus antara bulan April 2007 hingga April 2008 didapatkan bahwa merokok berhubungan secara bermakna terhadap pemanjangan waktu konversi kuman TB Paru pada pasien yang sedang mendapat terapi obat anti TB Paru. Penelitian lain menunjukkan meningkatnya angka kekambuhan penderita yang merokok. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Setiarni, dkk. (2009) yang meneliti tentang hubungan tingkat pengetahuan, status ekonomi dan kebiasaan merokok dengan kejadian TB Paru pada orang dewasa di wilayah kerja Puskesmas TuanTuan Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat yang membuktikan bahwa ada hubungan bermakna antara kebiasaan merokok dengan kejadian TB Paru pada orang dewasa dengan nilai p=0,011. Peneliti berasumsi adanya hubungan antara status merokok dengan kejadian TB Paru ini dikarenakan seluruh responden pada penelitian ini merupakan perokok dan sebagian besar adalah perokok berat. Adapun saran yang dapat diberikan bagi penderita TB Paru yang memiliki kebiasaan merokok yaitu berhenti merokok, karena dengan menghentikan kebiasaan merokok bermanfaat bagi perokok jauh melampaui mengurangi risiko TB Paru, tetapi pengendalian tembakau yang baik dapat mempengaruhi tingkat kematian TB Paru dan mengurangi beban kesehatan masyarakat dan dengan berhenti merokok bisa mengurangi hampir sepertiga dari kematian. Diharapkan pula bagi petugas puskesmas untuk melaksanakan pengendalian TB paru yaitu mencegah agar tidak terjadi penularan maupun infeksi. Pencegahan TB paru pada dasarnya adalah mencegah penularan bakteri dari penderita yang terinfeksi dan menghilangkan atau mengurangi faktor risiko yang menyebabkan terjadinya penularan (Crofton, 2002). Tindakan mencegah terjadinya penularan dilakukan dengan berbagai cara, yang utama adalah memberikan obat anti tuberculosis yang benar dan cukup, serta dipakai dengan patuh sesuai ketentuan penggunaan obat. Pencegahan dilakukan dengan cara mengurangi atau menghilangkan faktor risiko yang pada dasarnya adalah mengupayakan kesehatan lingkungan dan perilaku, antara lain dengan pengaturan rumah agar memperoleh cahaya matahari, mengatur luas rumah, mengatur kepadatan penduduk, menghindari meludah sembarangan, batuk sembarangan, mengkonsumsi makanan yang bergizi yang baik dan seimbang. Dengan demikian salah satu upaya pencegahan adalah dengan penyuluhan (Jusuf, 2010). Menurut Depkes (2003), selain penyuluhan, pengobatan juga merupakan suatu hal yang penting dalam upaya pengendalian penyakit TB paru. c. Hubungan Kepadatan Hunian Rumah Dengan Kejadian TB Paru Berdasarkan hasil analisa bivariat kepadatan hunian rumah dengan kejadian TB Paru diperoleh hasil bahwa ada sebanyak 18 orang (31,6%) responden yang tinggal dalam hunian padat merupakan penderita TB Paru dan ada sebanyak 24 orang (42,1%) responden yang tinggal dalam hunian tidak padat merupakan penderita suspek TB Paru. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,001 yang berarti p< (0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian rumah dengan kejadian TB Paru. Diperoleh pula nilai OR=7,714 artinya orang yang berpenghuni padat akan beresiko 7,7 kali menderita TB paru. Kepadatan penghuni merupakan suatu proses penularan penyakit. Semakin padat maka perpindahan penyakit, khususnya penyakit menular melalui udara akan semakin mudah dan cepat, apalagi terdapat anggota keluarga yang menderita TB paru dengan BTA positif. Kuman TB paru cukup resisten terhadap

antiseptik tetapi dengan cepat akan menjadi inaktif oleh cahaya matahari, sinar ultraviolet yang dapat merusak atau melemahkan fungsi vital organisme dan kemudian mematikan. Kepadatan hunian ditempat tinggal penderita TB paru anak paling banyak ialah tingkat kepadatan rendah. Suhu di dalam ruangan erat kaitannya dengan kepadatan hunian dan ventilasi rumah (Behrman et al, 2003). Kepadatan hunian akan memudahkan terjadinya penularan penyakit TB paru di dalam rumah tangga. Bila dalam satu rumah tangga terdapat satu orang penderita TB paru aktif dan tidak diobati secara benar maka akan menginfeksi anggota keluarga terutama kelompok yang rentan seperti bayi dan balita, semakin padat hunian suatu rumah tangga maka semakin besar risiko penularan (Karyadi et al, 2006). Hasil ini sejalan dengan penelitian Niko (2011), yang mendapatkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kondisi kepadatan hunian rumah dengan kejadian TB Paru di Kota Solok. Penelitian Sugiharto (2004), juga menemukan ada hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian rumah dengan kejadian TB Paru. Hasil ini sejalan dengan penelitian Niko (2011), yang mendapatkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kondisi kepadatan hunian rumah dengan kejadian TB Paru di Kota Solok. Penelitian Sugiharto (2004) juga menemukan ada hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian rumah dengan kejadian TB Paru. Berdasarkan adanya hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian rumah dengan kejadian TB Paru ini, beberapa hal yang dapat disarankan yaitu bagi responden yang memiliki hunian padat sebaiknya memperbaiki kondisi lingkungan rumah agar lebih memenuhi syarat kesehatan seperti menambah luas lantai dan ruangan rumah sehingga cukup memadai dan seimbang dengan jumlah penghuni rumah. Dengan demikian kuman TB Paru tidak akan tumbuh dengan baik dan tidak dapat menginfeksi penghuni rumah. Disamping itu, diharapkan rumah responden dilengkapi dengan ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan agar udara dapat keluar masuk dengan bebas dan kuman tidak dapat berkembang. Mengurangi kelembaban ruangan juga merupakan bentuk perbaikan kondisi lingkungan rumah dengan cara ruang tidur sebagian atapnya memakai genteng kaca supaya sinar matahari dapat masuk ke ruangan. Bagi petugas puskesmas dapat melakukan kegiatan promosi kesehatan tentang sanitasi rumah sehat seperti ventilasi, pencahayaan, kebiasaan membuka jendela dan lebih meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat untuk menghindari penularan penyakit TB Paru. 4. Analisa Multivariat Berdasarkan hasil analisis multivariat menggunakan regresi logistik dengan metode enter, bahwa ketiga variabel independen yaitu pengetahuan (p=0,010); status merokok (p=0,008) dan kepadatan hunian rumah (p=0,009) dengan nilai p-value <0.05 sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan, status merokok dan kepadatan hunian rumah berhubungan secara signifikan dengan kejadian TB Paru. Untuk mengetahui variabel mana yang paling berhubungan dengan variabel dependen, dilihat dari nilai p-value dengan keputusan uji bahwa semakin kecil pvalue berarti semakin kuat hubungan variabel independen dengan variabel dependen. Berdasarkan hasil analisa regresi logistik berganda diatas tersebut diperoleh bahwa variabel status merokok adalah variabel yang paling berhubungan dengan kejadian TB Paru karena memiliki nilai p-value paling kecil yaitu 0,008. Dalam pembahasan ini, peneliti menggunakan teori Bloom (dalam Notoatmodjo, 2005) tentang pembagian perilaku kesehatan dalam tiga domain, yaitu pengetahuan, sikap dan tindakan. Tiga domain perilaku tersebut dapat menjelaskan tentang hubungan ketiga variabel independen yaitu pengetahuan, status merokok dan

kepadatan hunian rumah dengan kejadian TB Paru. Pengetahuan penderita TB Paru menjadi domain pengetahuan (cognitive), status merokok dan kepadatan hunian rumah menjadi domain tindakan (practice). Sedangkan kejadian TB Paru merupakan hasil dari domain tindakan. Peneliti berasumsi bahwa berdasarkan urutan perilaku (pengetahuan, sikap, tindakan) maka terlihat bahwa tindakan adalah faktor yang paling mendekati dengan hasil perilaku, artinya dibandingkan dengan variabel pengetahuan penderita TB Paru, maka variabel status merokok dan kepadatan hunian rumah merupakan faktor yang paling dekat mempengaruhi variabel kejadian TB Paru sehingga hasil analisa multivariat ini sudah sesuai dengan teori perilaku Bloom. Kemudian, peneliti berasumsi bahwa karakteristik responden yang lebih banyak berjenis kelamin laki-laki, semua responden merupakan perokok dengan mayoritas perokok berat memperkuat bukti bahwa variabel status merokok sebagai variabel yang paling dominan berhubungan dengan kejadian TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Sungai Mariam Kecamatan Anggana. Status merokok sebagai variabel yang paling dominan berhubungan dengan kejadian TB Paru semakin memperkuat pendapat Wijaya (2012) bahwa merokok dan tuberkulosis (TB) merupakan dua masalah besar kesehatan di dunia, walaupun TB lebih banyak ditemukan di negara berkembang. Setelah HIV dan AIDS meluas TB menjadi penyebab kematian yang terkemuka di seluruh dunia dan bertanggung jawab terhadap lebih dari satu juta kematian setiap tahunnya. Hasil ini juga sejalan dengan penelitian Setiarni, dkk. (2009) yang meneliti tentang hubungan tingkat pengetahuan, status ekonomi dan kebiasaan merokok dengan kejadian TB Paru pada orang dewasa dimana berdasarkan hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa status merokok merupakan faktor yang paling dominan berhubungan dengan kejadian TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Tuan-Tuan Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat. Dengan adanya hasil ini, maka penulis kembali menyarankan bagi penderita TB Paru sebaiknya menghentikan kebiasaan merokok karena hal tersebut terbukti sebagai faktor dominan penyebab kejadian TB Paru. Bagi pihak puskesmas perlu meningkatkan kegiatan promosi kesehatan berupa penyuluhan, konseling maupun pendekatan langsung ke individu atau keluarganya agar penderita TB Paru mau mengikuti saran untuk berhenti merokok. 4. Kesimpulan Telah teridentifikasi karakteristik responden penelitian ini yaitu responden kelompok umur 15-64 tahun merupakan proporsi terbanyak yaitu 51 orang (89,5%), responden lakilaki merupakan proporsi terbanyak yaitu 44 orang (77,2%), responden berpendidikan SMA merupakan proporsi terbanyak yaitu 26 orang (45,6%) serta proporsi responden yang tidak bekerja merupakan yang terbanyak yaitu 16 orang (28,1%). Telah teridentifikasi pengetahuan responden yaitu responden yang berpengetahuan tinggi merupakan proporsi terbanyak yaitu 32 orang (56,1%). Telah teridentifikasi status merokok responden yaitu responden perokok berat merupakan proporsi terbanyak yaitu 30 orang (52,6%). Telah teridentifikasi kepadatan hunian responden yaitu bahwa responden yang tinggal dalam hunian tidak padat merupakan proporsi terbanyak yaitu 32 orang (56,1%). Telah teridentifikasi kejadian TB Paru responden yaitu responden yang merupakan penderita suspek TB Paru adalah proporsi terbanyak yaitu 31 orang (54,4%). Telah teridentifikasi ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan kejadian TB Paru, dimana orang yang berpengetahuan rendah beresiko 3,9 kali menjadi penderita TB Paru. Telah teridentifikasi ada hubungan yang bermakna antara status merokok dengan kejadian TB Paru. Telah teridentifikasi adanya hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian rumah dengan kejadian TB Paru, dimana orang yang tinggal dalam hunian padat beresiko 7,7 kali menderita TB paru. Telah teridentifikasi variabel yang paling berhubungan dengan kejadian TB Paru yaitu variabel status merokok.

5. Saran a. Bagi penderita TB Paru 1). Diharapkan dapat mempertahankan dan menambah pengetahuannya tentang penyakit TB Paru dengan cara bertanya kepada petugas kesehatan, mencari informasi terbaru tentang TB Paru di Puskesmas, artikel atau majalah 2). Bagi penderita TB Paru perokok sebaiknya menghentikan kebiasaan merokok karena hal tersebut terbukti sebagai faktor dominan penyebab kejadian TB Paru. 3). Bagi responden yang memiliki hunian padat sebaiknya memperbaiki kondisi lingkungan rumah agar lebih memenuhi syarat kesehatan seperti menambah luas lantai dan ruangan rumah sehingga cukup memadai untuk penghuni rumah. b. Bagi petugas Puskesmas 1). Diharapkan dapat meningkatkan deteksi dini penderita TB Paru melalui kegiatan penemuan pasien yang terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan program penanggulangan TB Paru karena secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB Paru. 2). Diharapkan bagi petugas Puskesmas Sungai Mariam untuk lebih memfokuskan sasaran kegiatan deteksi dini penderita TB Paru pada penduduk kelompok umur produktif. 3). Bagi petugas Puskesmas khususnya petugas TB Paru diharapkan dapat meningkatkan pemberian informasi tentang penyakit TB Paru melalui pendidikan kesehatan, penyuluhan TB Paru dan pemberian leaflet kepada penderita yang sedang berobat ke Puskesmas. 4). Bagi petugas Puskesmas perlu meningkatkan pendekatan langsung ke individu atau keluarganya agar penderita TB Paru mau mengikuti saran untuk berhenti merokok. 5). Bagi petugas Puskesmas dapat melakukan kegiatan promosi kesehatan tentang sanitasi rumah sehat seperti kepadatan hunian. c. Bagi institusi pendidikan Hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi untuk penelitian berikutnya dengan sebagai bahan bacaan serta sebagai bahan masukkan dalam kegiatan proses belajar. d. Bagi peneliti selanjutnya Hasil penelitian ini sebagai bahan masukan untuk penelitian selanjutnya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan perawat yang berhubungan dengan kegiatan penelitian keperawatan, khususnya perawat yang bergerak di bidang Pemberantasan Penyakit Menular (P2M). 6. Ucapan Terima Kasih Kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terimakasih kepada: a. Ghozali MH, M.Kes selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Samarinda; b. drg. Sakka, selaku Pimpinan Puskesmas Sungai Mariam; c. Rusni Masnina, S.Kp, selaku Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES Muhammadiyah Samarinda; d. Dr. Hj. Nunung Herlina, S.Kp., M.Pd selaku pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingannya pada skripsi ini; e. Ns. Dwi Rahmah Fitriani, S.Kep selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingannya pada skripsi ini; f. Orang tua yang senantiasa mendoakan selama perjalanan pembuata n skripsi ini; g. Suami dan kedua buah hatiku yang terus memotivasi selama ini; h. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Demikian skripsi ini dibuat, semoga dapat bermanfaat bagi pelayanan keperawatan.

7. Daftar Pustaka 1). Achmadi. (2008). Manajemen penyakit berbasis wilayah. Jakarta: Penerbit UI Press 2). Aditama. (2002). Tuberkulosis paru: masalah dan penanggulangannya. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press) 3). Arini. (2010). Faktor yang berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru di Puskesmas Pakis Kota Surabaya. Surabaya: Universitas Airlangga 4). Behrman, et.al. (2003). Nelson Texbook of Pediatrics. Edisi-16. Phildelphia: W.B. Saunders Company 5). Bustan. (2000). Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta. PT. Rineka Cipta. 6). Chandra W, dkk. (2004). Kasus kontak tuberkulosis paru di klinik paru Rumah Sakit Umum Pusat Manado. Majalah Kedokteran Indonesia 7). Crofton. (2002). Tembakau ancaman global. Jakarta: PT Elex Media Komputindo 8). Depkes RI. (1999). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.829/ MenKes/ SK/ VII/ 1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan. Jakarta: Depkes RI 9). _________. (2001). Petunjuk pelaksanaan indikator mutu pelayanan rumah sakit. Jakarta 10). _________. (2003). Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan Di Kabupaten/ Kota, Kepmenkes RI. Jakarta: Depkes 11). _________. (2009). Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB), Kepmenkes RI. Jakarta: Depkes 12). Dinkes Kukar. (2007). Profil Kesehatan Kabupaten Kutai Kartanegara. Tenggarong: 13). Echols dan Sadhily. (2003). Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia 14). Harahap. (2007). Karakteristik penderita dispepsia di RS. Martha Friska Medan. Skripsi, tidak dipublikasikan. Medan: Universitas Sumatera Utara 15). Hasan. (2008). Pokok-pokok materi statistik. Jakarta: Bumi Aksara 16). Hastono. (2010). Statistik kesehatan. Jakarta: Rajawali Pers 17). Jusuf. (2010). Buku ajar ilmu penyakit paru. Surabaya: Penerbit FK UNAIR 18). Karyadi, et.al. (2003). A double-blind, placebo-controlled study of vitamin A and Zinc Supplementation in persons with tuberculosis in Indonesia: Effects on clinical response and nutritional status (online) (http://www.ajcn.org) diakses pada 11 Desember 2012 19). Kemenkes, RI. (2010). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 20). Lubis. (1989). Perumahan sehat. Jakarta: Depkes RI 21). Nakagawa, et al. (2001). Gender Difference in Delays to Diagnosis and Health Care Seeking Behavior in A Rural Area of Nepal. Int. J. Tuberc. Lung Dis. 5: 24-31. 22). Niko. (2011). Hubungan perilaku dan kondisi sanitasi rumah dengan kejadian TB Paru di Kota Solok. Skripsi, tidak dipublikasikan. Padang: Universitas Andalas 23). Notoatmodjo. (2003). Ilmu kesehatan masyarakat, prinsip-prinsip dasar. Jakarta: Rineka Cipta 24). __________. (2005). Promosi kesehatan teori dan aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta 25). __________. (2010). Kesehatan masyarakat, ilmu dan seni. Jakarta: Rineka Cipta 26). __________. (2010). Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta 27). Nurhayati. (2012). Gambaran karakteristik penderita TBC Paru di wilayah kerja puskesmas Pagimana Kecamatan Pagimana Kabupaten Banggai. Skripsi. Tidak Dipublikasikan 28). Nursalam. (2008). Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan. Jakarta: Salemba Medika 29). Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). (2011). Berhenti merokok. Pedoman penatalaksanaan untuk dokter Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia 30). Puskesmas Sungai Mariam. (2012). Data penderita TB Paru program pemberantasan penyakit menular. Anggana

31). Ratnasari. (2012). Hubungan dukungan sosial dengan kualitas hidup pada penderita Tuberkulosis Paru (TB Paru) di Balai Pengobatan Penyakit Paru (BP4) Yogyakarta. Jurnal Tuberkulosis Indonesia. 8. (5). 7-11 32). Riduan. (2010). Belajar mudah penelitian untuk guru, karyawan dan peneliti muda. Bandung: Alfabeta 33). Saptawati, dkk. (2012). Evaluasi metode evaluasi metode fastplaquetb untuk mendeteksi mycobacterium tuberculosis pada sputum di beberapa unit pelayanan kesehatan di Jakarta-Indonesia. Jurnal Tuberkulosis Indonesia. 8. (5). 1-6 34). Setiarni, dkk. (2009). Hubungan tingkat pengetahuan, status ekonomi dan kebiasaan merokok dengan kejadian TB Paru pada orang dewasa di wilayah kerja Puskesmas Tuan-tuan Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat. Jurnal Kesmas Vol. 5, no. 3, September 2011: 162-232 35). Sitepoe. (2000). Kekhususan rokok di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Widya Sarana Indonesia 36). Soemirat. (2009). Kesehatan lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press 37). Sugiharto. (2004). Hubungan kepadatan hunian rumah dengan kejadian penyakit tuberkulosis paru di Puskesmas Jenggot Kota Pekalongan. Tesis. Tidak Dipublikasikan. Semarang: Universitas Diponegoro 38). Sugiyono. (2010). Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta 39). Supriyono. (2002). Lingkungan Fisik Rumah Sebagai Faktor Risiko Terjadinya TB Paru BTA Positif di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor. Tesis. Tidak dipublikasikan. Depok: FKM UI 40). Wawan. (2010). Teori dan pengukuran pengetahuan. sikap. dan perilaku manusia. Yogyakarta: Nuha Medika 41). Widyasari, dkk. (2008). Hubungan antara jenis kepribadian, riwayat diabetes mellitus dan riwayat paparan merokok dengan kejadian TB Paru Dewasa di wilayah Kecamatan Semarang Utara. Jurnal Kesehatan Masyarakat FKM UNDIP. 1. (2). 446453 42). Wijaya. (2012). Merokok dan tuberkulosis. Jurnal Tuberkulosis Indonesia. 8. (5). 1823 43). Zainul. (2009). Hubungan kebiasaan merokok dengan konversi sputum penderita TB Paru di klinik Jemadi Medan. Skripsi. Tidak Dipublikasikan. Medan: Universitas Sumatera Utara

You might also like