Professional Documents
Culture Documents
(ij)k
=Pengaruh galat dari satuan percobaan ke-k yang memperoleh
perlakuan tepung ikan lele dumbo pada taraf ke-i dan isolat protein
kedelai pada taraf ke-j
i =Banyaknya taraf penambahan tepung ikan lele dumbo
j =Banyaknya taraf penambahan isolat protein kedelai
k =Banyaknya ulangan (k=1)
Data sifat kimia dan sifat fisik ditabulasi dan dirata-ratakan menggunakan
Microsoft Excel, sedangkan data hasil uji organoleptik dianalisis secara deskriptif
menggunakan skor modus masing-masing perlakuan. Untuk mengetahui
pengaruh perlakuan terhadap daya terima panelis semi terlatih dilakukan analisis
statistik non-parametrik Kruskal Wallis. J ika hasil uji berbeda nyata di antara
perlakuan, maka dilanjutkan dengan Multiple Comparison Test. Sedangkan untuk
mengetahui penerimaan balita terhadap biskuit ikan dibandingkan dengan biskuit
komersial dilakukan analisis menggunakan uji perbandingan Paired Sample T-
Test.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tepung Ikan
1. Pembuatan Tepung Ikan
Persiapan utama dalam pembuatan biskuit pada penelitian ini adalah
pembuatan tepung ikan lele dumbo. Ikan lele dumbo yang digunakan berasal
dari DeJ ee Fish yang merupakan salah satu tempat budidaya ikan lele dumbo di
daerah Cibaraja, Kabupaten Sukabumi. Ikan lele yang digunakan berumur 3-4
bulan dan mempunyai panjang 40-60 cm. Pembuatan tepung ikan lele dumbo
diawali dengan sortasi ikan. Ikan yang telah dimatikan dikuliti dan dibuang isi
perutnya. Lalu dipisahkan antara bagian badan ikan dan kepala ikan. Menurut
LIPI (1999), pada pembuatan tepung ikan sebagai pakan ternak seluruh bagian
ikan digunakan terutama limbah ikan. Tapi pada pembuatan tepung ikan yang
digunakan pada penelitian ini kulit dan isi perut ikan dibuang. Pembuangan kulit
bertujuan agar tepung ikan yang dihasilkan memiliki warna yang lebih cerah,
sedangkan pembuangan isi perut bertujuan untuk menghambat kerusakan ikan
sebelum ditangani. Hal ini sesuai dengan Wibowo (2006) yang menyatakan
bahwa dalam pembuatan filet ikan isi perut yang menjadi sumber enzim dan
bakteri harus disiangi agar tidak mencemari daging ikan.
Gambar 4 Ikan lele dumbo yang telah dikuliti dan dibuang isi perutnya
Proses selanjutnya dalam pembuatan tepung ikan lele dumbo adalah
pemasakan. Ikan dikukus dengan tekanan tinggi (presto) dengan menggunakan
autoklaf. Menurut Moeljanto (1982b), tujuan utama proses pemanasan adalah
untuk menghentikan proses pembusukan, baik oleh bakteri, jamur, maupun
enzim. Proses pemanasan menurut Mendez dan Abuin (2006), dapat
menghindarkan terbentuknya off-flavor pada produk ikan. Selain itu, proses
pembusukan dapat dihentikan sama sekali bila waktu dan suhu yang digunakan
cukup sehingga pada pembuatan tepung ini digunakan suhu 121C selama 2
jam. Proses pemanasan dengan tekanan tinggi juga bertujuan untuk melunakkan
tulang ikan sehingga dapat meningkatkan rendemen tepung. Selain itu
diharapkan pula tulang ikan dapat memberikan sumbangan mineral pada tepung.
Proses pemasakan badan dan kepala ikan dilakukan secara terpisah agar
keempukan bahan yang dihasilkan seragam. Proses pemanasan menurut
Fennema (1996) juga memiliki efek yang menguntungkan, yaitu dalam hal
inaktifasi toksin dalam bentuk protein seperti toksin botulinum yang dihasilkan
oleh Clostridium botulinum dan enterotoksin yang dihasilkan oleh
Staphylococcus aureus. Fennema menambahkan bahwa proses pemanasan
dapat menyebabkan denaturasi protein yang akan meningkatkan daya cerna
pangan. Pemanasan juga dapat menginaktifkan beberapa enzim yang terkait
dengan kerusakan pangan seperti protease, lipase serta enzim yang bersifat
oksidatif dan hidrolisis.
Pembuatan tepung ikan didasarkan pada pengurangan kadar air pada
ikan. Menurut Moeljanto (1982b), kadar air pada daging ikan hal yang
menentukan pada proses pembusukan. Bila kadar airnya dikurangi maka proses
pembusukan dapat terhambat. Oleh karena itu, setelah dimasak daging dan
kepala ikan yang telah matang dipres untuk mengeluarkan sebagian besar air
dan sebagian minyak. Selain itu Moeljanto juga menyatakan bahwa bila proses
pengeringannya berjalan terus menerus, maka proses pembusukannya akan
berhenti, sehingga setelah pengepresan dilakukan pengeringan lebih lanjut
dengan menggunakan drum dryer.
Menurut J uming et al (2003) di dalam Fernando (2008), penggunaan
drum dryer memiliki beberapa keuntungan, antara lain produk yang dihasilkan
memiliki porositas dan rehidrasi yang baik, alat yang digunakan bersih dan
higienis karena suhu alat yang tinggi dapat menginaktifkan mikroorganisme, dan
mudah dioperasikan. Menurut Brennan (1974), alat pengering drum memiliki
kecepatan pengeringan yang tinggi dan penggunaan panas yang ekonomis.
Selain itu Bluestein dan Labuza (1988) mengatakan bahwa drum dryer
merupakan salah satu metode pengeringan yang relatif murah. Penggunaan
pengering drum pada penelitian ini juga didasarkan pada bentuk bahan. Ikan
setelah dipres akan berbentuk pure agak kering yang dapat ditaburkan dari atas
drum.
Pada pembuatan tepung ikan, drum dryer yang digunakan bersuhu 80
o
C
dengan tekanan 3 bar. Pengeringan dengan pemanas drum menghasilkan
serpihan ikan kering yang sangat tipis yang kemudian dihaluskan menggunakan
willey mill. Tepung yang dihasilkan setelah penggilingan berukuran sekitar 60
mesh. Tepung daging atau tubuh ikan berwarna cokelat muda, sedangkan
tepung kepala berwarna agak gelap (Gambar 5) karena pada proses pembuatan
tepung kepala, lapisan kulit yang berwarna hitam pada kepala ikan lele tidak
dibuang. Selain itu, warna tepung kepala yang lebih gelap daripada tepung
badan ikan diduga karena reaksi pencoklatan yang terjadi pada tepung kepala
ikan lebih tinggi. Pada proses pengeringan, suhu dan waktu yang digunakan
pada tepung badan dan kepala sama, sedangkan pada kepala ikan kandungan
airnya lebih sedikit daripada badan ikan sehingga kecepatan mengeringnya
berbeda.
A B
Gambar 5 Tepung badan (A) dan kepala (B) ikan lele dumbo
2. Sifat Fisik Tepung Ikan
Selain analisis sifat kimia, dilakukan pula analisis sifat fisik tepung.
Analisis sifat fisik tepung yang dilakukan dalam penelitian ini adalah kadar a
w
,
densitas kamba tepung dan derajat putih tepung. Data analisis sifat fisik tepung
ikan dapat dilihat pada Lampiran 6 sampai 8.
a. a
w
Menurut Bluestein dan Labuza (1988), air terdistribusi dalam bahan
pangan walaupun pangan telah dikeringkan. Kandungan air dalam bahan
pangan mempengaruhi daya tahan makanan terhadap serangan mikroorganisme
yang dinyatakan dengan a
w
. Menurut Winarno (1997), a
w
adalah jumlah air bebas
yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Berbagai
mikroorganisme mempunyai a
w
minimum agar dapat tumbuh. Hasil pengukuran
a
w
tepung badan dan kepala ikan lele dumbo disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6 a
w
tepung badan ikan dan tepung kepala ikan
Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat a
w
tepung badan (0.71) ikan
lebih besar daripada tepung kepala ikan (0.66). Menurut Bluestein dan Labuza
(1988), mikroorganisme yang mungkin tumbuh kisaran a
w
tersebut adalah
kapang.
b. Densitas Kamba
Densitas kamba merupakan perbandingan antara berat bahan dengan
volume bahan itu sendiri dengan satuan g/ml. Semakin tinggi densitas kamba
menunjukkan produk semakin ringkas atau padat. Nilai densitas juga
menunjukkan porositas bahan. Bahan yang lebih ringkas memiliki porositas yang
lebih sedikit karena lebih sedikit rongga antar partikel. Banyaknya rongga antar
partikel dan besarnya ukuran partikel akan menyebabkan banyak ruang kosong
tersisa yang seharusnya terisi oleh partikel tersebut. Hal ini menyebabkan jumlah
partikel yang menempati suatu volume ruang lebih sedikit (Khalil 1999).
Gambar 7 Densitas kamba tepung badan ikan dan tepung kepala ikan
Berdasarkan hasil pengukuran (gambar 7), diketahui bahwa densitas
kamba tepung badan ikan (0.3710) lebih kecil daripada tepung kepala ikan
(0.4537). Densitas kamba menunjukan kepadatan partikel yang menempati
ruang pada volume tertentu. Nilai densitas kamba yang lebih rendah
menunjukkan pada volume yang sama jumlah partikel yang menempati ruang
pada volum tersebut adalah lebih ringan daripada tepung dengan densitas yang
lebih tinggi. Berarti dalam berat yang sama, volume tepung badan ikan dengan
densitas kamba lebih rendah adalah lebih besar daripada volume tepung kepala
ikan dengan densitas kamba yang lebih tinggi.
Wirakartakusumah et al (1999) menyatakan bahwa densitas kamba
makanan pada umumnya adalah antara 0.3-0.8 g/ml. Berdasarkan rentang
tersebut, densitas kamba tepung ikan, baik tepung kepala maupun tepung badan
berada dalam kisaran densitas kamba pangan secara umum.
c. Derajat Putih
Derajat putih merupakan tingkat keputihan suatu bahan yang erat
kaitanya dengan mutu penerimaan konsumen. Bahan pangan yang memiliki
warna cerah umumnya lebih disukai oleh konsumen. Tepung ikan lele dumbo
diukur derajat putihnya untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh
penambahan tepung ikan terhadap warna biskuit yang dihasilkan. Menurut
Faridah et al. (2008), prinsip pengukuan Whiteness Meter adalah melalui
pengukuran indeks refleksi dari permukaan contoh dengan sensor foto dioda.
Semakin putih contoh, maka cahaya yang dipantulkan semakin banyak dan
semakin tinggi derajat putih contoh. Berdasarkan pengukuran dengan Whiteness
Meter, derajat putih tepung dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Hasil pengukuran derajat putih tepung ikan lele dumbo
J enis Tepung Derajat Putih (%)
Tepung badan ikan lele 30.9575
Tepung kepala ikan lele 28.9975
Tepung Terigu* 74.7*
Keterangan: *Antarlina (1998)
Hasil diatas menunjukkan bahwa tepung ikan yang dihasilkan memiliki
derajat putih jauh dibawah tepung terigu. Derajat putih tepung kepala ikan lele
memiliki nilai yang lebih rendah daripada tepung badan ikan lele. Hal ini
menunjukkan tepung kepala ikan lele memiliki warna yang lebih gelap
dibandingkan tepung badan ikan lele. Penambahan tepung badan dan tepung
kepala ikan lele pada produk biskuit akan menyebabkan warna biskuit menjadi
lebih gelap.
3. Sifat kimia tepung ikan
Tepung ikan yang digunakan pada pembuatan biskuit dibedakan menjadi
2 bagian yaitu tepung badan ikan lele dumbo dan tepung kepala ikan lele dumbo.
Sifat kimia yang dianalisis dari tepung ikan yaitu kadar air, kadar abu, kadar
protein, kadar karbohidrat, dan kadar lemak tepung. Data analisis sifat kimia
tepung ikan dapat dilihat pada Lampiran 9 sampai 13.
a. Kadar Air
Gambar 8 menunjukkan hasil analisis kadar air tepung. Kadar air tepung
badan ikan sebesar 7.99% bb dan kadar air tepung kepala ikan sebesar 8.72%
bb. Kadar air ini menunjukkan bahwa tepung ikan yang dihasilkan adalah tepung
ikan berkualitas tinggi. Hal ini sesuai dengan LIPI (1999) yang menyatakan
bahwa tepung ikan yang berkualitas tinggi memiliki kandungan air antara 6%
sampai dengan 10%. Kadar air tepung yang dihasilkan juga sesuai dengan
Moeljanto (1982a) yang menyatakan jarang dijumpai tepung ikan dengan kadar
air kurang dari 6% sebab pada tingkat ini tepung ikan bersifat higroskopis.
Apabila kadar air tepung terlalu rendah, maka akan terjadi keseimbangan
dengan kelembaban tempat penyimpanan.
Gambar 8 Kadar air tepung badan ikan dan tepung kepala ikan
4.83
14.1
0
2
4
6
8
10
12
14
16
Kadar Abu
%
Tepung badan
ikan
Tepung kepala
ikan
b. Kadar Abu
Menurut Winarno (1997), abu merupakan unsur mineral atau zat
anorganik yang terkandung dalam bahan pangan. Abu juga merupakan zat
dalam bahan pangan selain air dan bahan organik. Gambar 9 merupakan grafik
hasil analisis kadar abu tepung ikan.
Gambar 9 Kadar abu tepung badan ikan dan tepung kepala ikan
Berdasarkan hasil uji kadar abu berbasis kering didapat kadar abu tepung
badan ikan adalah sebesar 4.83% bk sedangkan kadar abu tepung kepala ikan
adalah 14.1% bk. Kadar abu tepung kepala ikan lebih tinggi daripada kadar abu
tepung badan ikan. Hal ini dikarenakan kepala ikan lebih banyak mengandung
tulang sehingga sesuai dengan Moeljono (1982) yang menyatakan bahwa
sebagian besar abu dan mineral dalam tepung ikan berasal dari tulang-tulang
ikan. Pada tepung badan ikan, tulang hanya berasal dari tulang tengah ikan saja
sehingga kandungan abu pada tepung badan adalah lebih rendah.
c. Kadar Protein
Hasil analisis kadar protein tepung menunjukkan bahwa kadar protein
tepung badan ikan sebesar 63.83% bk lebih besar daripada kadar protein tepung
kepala ikan sebesar 56.04% bk (Gambar 10). Perbedaan ini dikarenakan badan
ikan mengandung lebih banyak daging ikan. Daging ikan sebagian besar
tersusun atas protein miofibrilar yang digunakan untuk pergerakan ikan. Menurut
Mendez dan Albuin (2006), protein miofibrilar menyusun 60-75% total protein
dalam otot yang merupakan kombinasi dari protein kontraktil (aktin dan myosin),
protein pengatur (troponin dan tropomiosin), serta beberapa protein dalam
jumlah minor. Daging ikan juga mengandung sekitar 3% protein jaringan ikat
yang membentuk tekstur daging.
Gambar 10 Kadar protein tepung badan ikan dan tepung kepala ikan
Pada bagian kepala ikan yang digunakan dalam pembuatan tepung,
daging dalam jumlah kecil yang menempel pada kepala tidak dipisahkan. Hal ini
menyebabkan kandungan protein pada tepung kepala ikan masih cukup tinggi.
Pembersihan daging dari kepala ikan tidak dilakukan karena membutuhkan
waktu yang cukup lama sehingga dikhawatirkan akan menurunkan mutu ikan.
d. Kadar Lemak
Pada pembuatan tepung ikan, kandungan lemak direduksi pada saat
pengepresan menggunakan hidrolik press. Berdasarkan hasil analisis lemak
pada tepung badan ikan lele adalah sebesar 10.83% bk dan pada tepung kepala
ikan lele adalah sebesar 9.93% bk (Gambar 11). Hasil ini sesuai dengan LIPI
(1999) yang menyatakan bahwa tepung ikan bermutu baik memiliki kadar lemak
antara 5-12%.
Gambar 11 Kadar lemak tepung badan ikan dan tepung kepala ikan
Hasil analisis kadar lemak menunjukkan tepung badan ikan memiliki
kandungan lemak yang lebih tinggi daripada tepung kepala ikan. Hal ini
disebabkan badan ikan mengandung lebih banyak daging dibandingkan bagian
kepala ikan, dimana Mendez dan Albuin (2006), menjelaskan bahwa kandungan
asam lemak tak jenuh pada daging ikan cukup tinggi sehingga tepung ikan yang
dihasilkan dari daging ikan akan menunjukkan kadar lemak yang lebih tinggi dari
tepung yang dibuat dari kepala dan tulang ikan.
e. Kadar Karbohidrat
Menurut Adawyah (2007), kandungan karbohidrat dalam daging ikan
berupa polisakarida, yaitu yang terdapat di dalam sarkoplasma diantara miofibril-
miofibril. Kadar karbohidrat tepung ikan cukup tinggi dibandingkan pada ikan
segar. Hal ini dikarenakan terjadi pengurangan sejumlah besar air dan lemak
pada proses pengepresan ikan sehingga kadar karbohidrat meningkat.
Gambar 12 Hasil analisis kadar karbohidrat tepung badan ikan
dan tepung kepala ikan
Kadar karbohidrat tepung ikan pada penelitian ini ditentukan dengan
metode by difference yang merupakan penghitungan kadar karbohidrat secara
kasar. Menurut LIPI (1999), tepung ikan (campuran antara kepala dan badan)
kualitas baik memiliki kandungan air minimal 6%, lemak minimal 5%, protein
minimal 60%, dan abu minimal 10%. Bila dihitung menggunakan metode by
difference nilai karbohidrat tepung ikan berkualitas baik menurut LIPI maksimal
sebesar 19%. Dari Gambar 12, diketahui kadar karbohidrat pada tepung badan
ikan sebesar 20.51% bk dan pada tepung kepala ikan sebesar 16.47% bk atau
setelah dirata-ratakan antara tepung badan ikan dan kepala ikan adalah sebesar
18.49%. Karena nilai kadar karbohidrat masih berada dibawah 19%, maka
tepung ikan yang dihasilkan memenuhi syarat LIPI (1999).
Biskuit Balita dengan Substitusi Tepung Ikan Lele Dumbo dan
Isolat Protein Kedelai
Biskuit dalam penelitian ini ditujukan untuk anak balita dengan usia antara
1 sampai 5 tahun. Menurut Khomsan (2004), bayi sampai anak usia 5 tahun
yang lazim disebut balita termasuk sebagai golongan penduduk yang rawan
terhadap kekurangan zat gizi termasuk KEP. Selain itu menurut Winarno (1997),
usia dua tahun merupakan usia yang sangat rawan karena masa ini merupakan
masa peralihan dari ASI (air susu ibu) ke PASI (pengganti air susu ibu) atau ke
makanan sapihan. Makanan sapihan pada umumnya mengandung karbohidrat
dalam jumlah besar tetapi sangat sedikit kandungan protein atau sangat rendah
mutu proteinnya. Padahal pada usia tersebut protein sangat diperlukan bagi
pertumbuhan anak.
1. Formulasi Biskuit
Bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit adalah tepung terigu
protein rendah, gula bubuk, tepung susu, telur, mentega, margarin, baking
powder dan soda kue. Formulasi awal didasarkan pada hasil penelitian Wiyati
(2004) dalam pembuatan biskuit dengan penambahan konsentrat protein ikan
teri (Stolephorus sp.) pada biskuit untuk anak balita yang dapat dilihat pada
Tabel 12.
Tabel 12 Formula biskuit dengan penambahan konsentrat protein ikan
Komposisi Gram
Konsentrat protein ikan 200
Tepung terigu 350
Gula bubuk 200
Tepung susu 90
Telur 40
Margarin 120
Baking powder 1
Sumber: Wiyati 2004
Formula pada Tabel 12 setelah diujikan dengan mengganti konsentrat
protein ikan dengan menggunakan tepung ikan lele dumbo didapatkan hasil yang
berbeda karakteristiknya sehingga tidak sesuai untuk anak balita. Dengan
menggunakan formula diatas, biskuit dengan tepung ikan lele dumbo lebih keras
dan basah. Oleh karena itu, dilakukan formulasi lebih lanjut.
Formulasi lebih lanjut dilakukan dengan menambahkan jumlah lemak dan
telur di dalam adonan. Menurut Matz dan Matz (1978), lemak pada pembuatan
biskuit berfungsi sebagai bahan pengemulsi sehingga menghasilkan tekstur
produk yang renyah. Lemak yang ditambahkan dalam formula adalah mentega.
Tujuan penggunaan mentega ini adalah untuk memberikan aroma khas biskuit
yang lebih kuat. Penambahan jumlah telur ditujukan untuk melembutkan biscuit,
sehingga diperoleh biskuit yang renyah dan lembut.
Seiring dengan penambahan lemak dan telur ada komponen-komponen
dalam formula yang dikurangi, yaitu gula, susu dan tepung terigu. Kemudian,
konsentrat protein ikan pada penelitian Wiyati (2004), diganti dengan tepung ikan
lele dumbo dan isolat protein kedelai. Penggunaan isolat protein kedelai, selain
untuk memperbaiki tekstur yang kasar akibat penambahan tepung ikan juga
untuk meningkatkan kandungan protein dari biskuit yang dihasilkan.
Sumber protein yang digunakan dalam pembuatan biskuit adalah tepung
ikan lele dumbo (kombinasi antara tepung badan dan tepung kepala ikan lele
dumbo), isolat protein kedelai, dan susu. Tepung ikan dan isolat protein kedelai
digunakan sebagai bahan substitusi tepung terigu pada adonan, sehingga
kandungan protein biskuit meningkat sesuai yang diharapkan, sedangkan susu
merupakan variabel tetap yang tidak diubah dalam formula.
Selain berdasarkan pada karakteristik fisik biskuit, formula juga
didasarkan pada kebutuhan energi dan protein balita. Kecukupan energi dan
protein untuk anak balita menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004),
umur 1 sampai 3 tahun (berat badan 12 kg) adalah 1000 kkal energi dan 25 gram
protein per hari. Pada usia yang lebih tinggi yaitu 4-6 tahun, kebutuhan energi
dan protein meningkat sejalan dengan peningkatan berat badan yaitu menjadi
1550 kkal energi per hari dan 39 gram protein per hari. Biskuit diharapkan dapat
menjadi pangan potensial sumber protein untuk anak balita. Selain itu biskuit
diharapkan juga memenuhi syarat formula makanan tambahan yang telah
ditetapkan FAO, kriteria biskuit menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), dan
dapat diterima oleh anak balita. BPOM (2004), menyatakan bahwa makanan
dapat dikatakan sebagai sumber protein yang sangat baik bila mengandung
sedikitnya 20% dari Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan per saji. J adi untuk
memenuhi kriteria tersebut, biskuit yang dihasilkan minimal mengandung 5 gram
protein per sajian. Selain berdasarkan aspek gizi diatas, WHO menganjurkan
kriteria makanan tambahan dimana per 100 gram makanan tambahan harus
mengandung minimal 400 kkal energi dan 15 gram protein.
Setelah dilakukan langkah-langkah trial and error ditetapkan empat
formula biskuit. Formula tersebut merupakan hasil pengembangan formula dasar
yang telah dilakukan sebelumnya. Faktor perlakuan yang digunakan pada
rancangan formula adalah perbedaan jumlah substitusi tepung badan ikan,
tepung kepala ikan dan isolat protein kedelai. Banyaknya tepung ikan dan isolat
protein kedelai yang digunakan adalah sebesar 15% dari jumlah adonan atau
maksimal menggantikan 37.5% dari jumlah tepung terigu. J umlah ini merupakan
jumlah dari penambahan ketiga tepung diatas dimana setiap jenis tepung yang
ditambahkan maksimal 10% dari jumlah adonan. Penambahan tepung kepala
ikan diatas 5% menyebabkan tekstur biskuit keras dan warna biskuit menjadi
gelap, karena menurut Manley (1998) semakin tinggi kadar abu pada tepung
maka warna tepung akan semakin gelap dan produk yang dihasilkan akan
semakin gelap pula. Penambahan tepung badan ikan diatas 10% akan membuat
tekstur biskuit menjadi kasar sehingga sulit dilumat oleh anak-anak. Hal ini
dikarenakan perbedaan ukuran partikel antara tepung terigu (100 mesh) dan
tepung ikan (60 mesh). Tepung ikan yang memiliki partikel lebih besar daripada
tepung terigu memiliki densitas kamba yang lebih kecil daripada tepung terigu
sehingga memberikan banyak ruang dalam biskuit yang dihasilkan sehingga
biskuit bersifat poros dan akan terasa kasar. Penambahan isolat protein kedelai
diatas 10% akan menyebabkan adonan menjadi lengket dan sulit dicetak.
Perbandingan tepung badan ikan, tepung kepala, dan isolat protein kedelai yang
digunakan adalah: F1 (5:5:5), F2 (7.5:2.5:5), F3 (2.5:2.5:10), dan F4 (3.5:1.5:10).
Perbandingan diatas merupakan persentase penggunaan tepung badan ikan,
tepung kepala ikan dan isolat protein kedelai terhadap 1000 gram adonan.
Komposisi zat gizi bahan yang digunakan diperoleh dari hasil analisis dan
dari Daftar Komposisi Bahan Makanan (2004). Bahan yang dianalisis adalah
bahanbahan sumber protein yang memberikan kontribusi besar terhadap
kandungan protein biskuit antara lain tepung badan ikan lele, tepung kepala ikan
lele, isolat protein kedelai dan tepung susu. Bahan lain seperti tepung terigu,
gula, margarin, mentega, dan telur diperoleh dari DKBM. Perhitungan zat gizi
biskuit tiap formula dapat dlihat pada Lampiran 19 sampai 22.
Biskuit yang dibuat pada penelitian ini adalah jenis short dough dimana
menurut Manley (1998) short dough biscuits dicirikan oleh pembentukan adonan
yang tidak elastis. Pembentukan gluten pada pembuatan adonan diminimalkan
sehingga menghasilkan adonan kalis.
Tahapan pertama dalam pembuatan biskuit adalah proses mixing atau
pencampuran dan pengadukan bahan. Proses mixing dibagi menjadi dua tahap,
yaitu tahap pembentukan krim dan pencampuran bahan kering. Pada tahap
pembentukan krim, gula, lemak (margarin dan mentega), dan telur diaduk
dengan kecepatan yang cukup tinggi selama beberapa menit sehingga
membentuk krim yang mengembang dan berwarna pucat. Selanjutnya bahan-
bahan kering seperti tepung terigu, tepung ikan, isolat protein kedelai, tepung
susu, baking powder dan soda kue dimasukkan ke dalam adonan krim lalu
diaduk kembali sebentar sampai terbentuk dispersi krim yang seragam pada
tepung. Pengadukan yang terlalu lama menurut Manley (1998) dapat
memungkinkan pembentukan matriks gluten. Oleh karena itu untuk
menghasilkan biskuit yang berkualitas, setelah dimasukkan tepung terigu
pengadukan dilakukan seminimal mungkin. Matz dan matz (1978) juga
menyatakan bahwa pengadukan dua tahap yang didahului oleh pembentukan
krim baik digunakan pada pembuatan biskuit yang dicetak karena menghasilkan
adonan yang bersifat membatasi pengembangan matriks gluten yang berlebihan.
Setelah itu, adonan diistirahatkan didalam lemari es selama 15 menit. Tujuan
dari penyimpanan ini adalah untuk mengeringkan adonan agar lebih mudah
dicetak. Menurut Manley (1998), tahap pencampuran yang dilakukan dalam
waktu singkat akan menyebabkan adonan lembut dan agak lengket sehingga
sulit dicetak, oleh sebab itu diperlukan tahap pengistirahatan agar air dalam
adonan menguap ke atmosfer sehingga adonan menjadi tidak terlalu lengket.
Proses berikutnya adalah proses pemipihan dan pencetakan. Adonan
digiling menggunakan rolling pin menjadi lembaran dan memiliki ketebalan yang
seragam yaitu 0.5 cm. Setelah berbentuk lembaran, adonan dicetak. Menurut
Manley (1998) prinsip pencetakan adalah adonan mendapat tekanan dari alat
pencetak. Cetakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cetakan
berbentuk lingkaran dengan diameter 5 cm.
Tahap selanjutnya adalah pemanggangan. Pemanggangan dilakukan
menggunakan oven. Pada penelitian ini pemanggangan dilakukan selama 20
menit dengan suhu awal 140
0
C dan suhu akhir 160
0
. Menurut Matz (1992), suhu
dan waktu pemanggangan di dalam oven tergantung pada jenis oven dan jenis
produk. Menurut Manley (1998), pemanggangan menyebabkan perubahan
terhadap tekstur menjadi yang diinginkan, membentukan warna permukaan dan
pengurangan kadar air. Ukuran biskuit setelah pemanggangan berubah dimana
terjadi pengembangan selama pemanggangan. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi pengembangan antara lain ukuran partikel tepung, ukuran
partikel gula, pengadukan adonan, dan penggunaan pelumas pada loyang.
Ketika pemanggangan selesai, biskuit segera didinginkan untuk menurunkan
suhu dan mengeraskan produk akibat memadatnya gula dan lemak (Matz dan
Matz, 1978).
2. Sifat Organoleptik Biskuit
Pengujian sifat organoleptik digunakan untuk memilih formula terbaik,
melihat daya terima serta kesukaan panelis. Sifat organoleptik biskuit diuji
sebanyak 2 kali yaitu dengan panelis semi terlatih dan panelis balita.
a. Uji pada Panelis Semi-Terlatih
Data pada Tabel 13 memperlihatkan hasil penerimaan panelis semi-
terlatih pada uji organoleptik. Atribut (warna, aroma, tekstur dan rasa) formula F4
merupakan formula yang paling dapat diterima oleh panelis. Uji keragaman
Kruskal Wallis menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05)
antar formula untuk atribut aroma, tetapi untuk atribut warna, tekstur dan rasa
terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05).
Tabel 13 J umlah panelis yang dapat menerima biskuit
Atribut Uji
Formula
F1 F2 F3 F4
Presentase Presentase Presentase Presentase
Warna
23 76.67 18 60.00 26 86.67 30 100.00
Aroma
25 83.33 25 83.33 28 93.33 29 96.67
Tekstur
15 50.00 26 86.67 24 80.00 30 100.00
Rasa
19 63.33 23 76.67 25 83.33 30 100.00
Keseluruhan
24 80.00 25 83.33 27 90.00 30 100.00
Keterangan:
F1 =tepung badan ikan : tepung kepala : isolat protein kedelai =5 : 5 : 5
F2 =tepung badan ikan : tepung kepala : isolat protein kedelai =7.5 : 2.5 : 5
F3 =tepung badan ikan : tepung kepala : isolat protein kedelai =2.5 : 2.5 : 10
F4 =tepung badan ikan : tepung kepala : isolat protein kedelai =3.5 : 1.5 : 10
Warna memegang peranan penting dalam menentukan penerimaan
konsumen karena merupakan kesan pertama yang diperoleh oleh konsumen.
Menurut Meilgaard et al. (1999), warna merupakan salah satu atribut penampilan
produk yang sering menentukan tingkat penerimaan konsumen terhadap produk
secara keseluruhan. Warna biskuit dipengaruhi oleh bahan-bahan dalam
pembuatan biskuit. Pada umumnya warna biskuit berkisar antara warna coklat
muda sampai coklat. Warna biskuit pada penelitian ini dipengaruhi oleh
penambahan tepung ikan. Formula yang memiliki presentase penerimaan paling
rendah untuk atribut warna adalah formula F2. Menurut uji lanjut Tukey, formula
F2 untuk atribut warna tidak berbeda nyata dengan formula F1 pada selang
kepercayaan 95%. Hal ini diduga karena pada formula F2 dan formula F1 tepung
ikan yang digunakan lebih banyak daripada formula F3 dan F4 yaitu 10% dari
jumlah adonan sedangkan pada formula F3 dan F4 tepung ikan yang digunakan
adalah 5%. Berdasarkan pengukuran derajat keputihan tepung, tepung ikan
mempunyai nilai derajat keputihan yang lebih rendah daripada terigu, berarti
semakin banyak penambahan tepung ikan semakin gelap biskuit yang
dihasilkan.
Menurut Winarno (1997), aroma atau bau yang menguap merupakan
atribut suatu produk yang diterima oleh sel-sel olfaktori yang terdapat di dalam
hidung dan diteruskan ke otak dalam bentuk impuls lisrik. Aroma juga ikut
menentukan penerimaan sebuah produk. Aroma biskuit dipengaruhi oleh bahan-
bahan penyusunnya. Data pada Tabel 13 menunjukan penerimaan aroma biskuit
untuk semua formula berada diatas 80%, yang berarti mayoritas panelis dapat
menerima aroma biskuit. Uji keragaman Kruskal Wallis menunjukan tidak ada
perbedaan yang nyata antar formula untuk atribut aroma pada selang
kepercayaan 95%. Formula yang mendapat nilai tertinggi untuk atribut aroma
adalah formula F4 dimana 96.67% panelis menerima aroma biskuit.
Atribut tekstur merupakan salah satu atribut yang paling penting dalam
penerimaan biskuit. Formula yang memiliki presentase penerimaan paling
rendah untuk atribut tekstur adalah formula F1. Berdasarkan uji lanjut Tukey
diketahui bahwa formula F1 memiliki perbedaan yang nyata dengan formula F2,
F3 dan F4 dengan selang kepercayaan 95%. Formula F1 merupakan formula
yang paling banyak menggunakan tepung kepala ikan lele yaitu 5%. Hal ini
mengindikasikan adanya kecenderungan seiring penambahan jumlah tepung
kepala ikan lele tekstur biskuit menjadi kurang baik. Selain itu, jumlah isolat
protein kedelai yang ditambahkan pada formula F1 lebih sedikit dibandingkan
dengan formula F3 dan F4. Menurut Koswara (1995), isolat protein kedelai dalam
bahan pangan dapat berperan sebagai zat aditif untuk memperbaiki tekstur
produk. Adapun menurut Manley (1998), kedelai mempunyai lesitin sehingga
penambahan isolat protein kedelai dalam produk bakery berperan sebagai
emulsifier dan dapat memperbaiki tekstur produk.
Rasa makanan merupakan atribut penilaian makanan yang melibatkan
panca indra lidah. Rasa makanan dapat dikenali dibedakan oleh kuncup cecap
yang terletak pada papilla. Pada biskuit rasa yang dominan adalah rasa manis.
Berdasarkan hasil uji organoleptik formula F1 mempunyai penerimaan atribut
rasa yang paling rendah, yaitu sebesar 63.33%, diikuit oleh formula F2 sebesar
76.67%, dan formula F3 sebesar 83.33%. Formula F4 merupakan formula yang
dapat diterima oleh seluruh panelis. Seluruh panelis memberikan penilaian 3 dan
atau di atas 3 pada rasa formula F4. Menurut hasil uji keragaman Kruskal Wallis,
terdapat perbedaan nyata antar formula untuk atribut rasa dengan selang
kepercayaan 95%. Uji lanjut Tukay menunjukkan bahwa formula F1 berbeda
nyata dengan formula F2 dan F3 dan berbeda nyata dengan formula F4 dengan
selang kepercayaan 95%.
Berdasarkan penjabaran diatas dapat diambil kesimpulan bahwa formula
F4 merupakan formula yang paling baik penerimaannya dalam semua atribut
yang diujikan. Oleh karena itu formula F4 merupakan formula terpilih yang akan
dianalisis lebih lanjut. Gambar 14 berikut merupakan gambar biskuit formula F4.
Gambar 13 Biskuit formula terpilih (F4)
b. Uji pada Panelis Anak Balita
Setelah diperoleh formula terpilih, dilakukan uji kesukaan terhadap anak
balita. Menurut Winarno (1987) dalam Muchtadi (1994), salah satu kriteria yang
dapat digunakan untuk menguji apakah suatu formula makanan tambahan untuk
anak kecil dapat diterima atau tidak adalah kriteria penerimaan anak. Kriteria
penerimaan anak terdiri dari: (1) J umlah presentase anak yang menolak
makanan tambahan harus kurang dari 25% dan (2) anak-anak harus mampu
mengkonsumsi makanan tambahan tersebut. Untuk memudahkan penilaian,
penilaian dilakukan hanya untuk atribut keseluruhan dan nilai hanya
dikategorikan menjadi 3 yaitu suka, biasa, dan tidak suka. Pengujian dilakukan 2
kali yaitu biskuit dengan substitusi tepung ikan lele dan isolat protein kedelai dan
biskuit komersil yang banyak dijual dipasaran sebagai kontrol. Pengujian
dilakukan dengan memperlihatkan gambar wajah kepada anak dan setelah anak
mencicipi anak diminta untuk memberikan penilaian sesuai gambar sambil
diilustrasikan. Lembar pengujian dapat dilihat pada Lampiran 4.
Tabel 14 Rekapitulasi kesukaan biskuit
J enis Biskuit
Biskuit Ikan +
Isolat Protein Kedelai
Biskuit komersial
n % n %
Suka 26 86.66 26 86.66
Biasa 2 6.66 1 3.33
Tidak Suka 2 6.66 3 6.66
Berdasarkan Tabel 14 dapat dilihat bahwa jumlah anak yang menyukai
biskuit dengan substitusi tepung ikan lele dan isolat protein kedelai sama dengan
jumlah anak yang menyukai biskuit komersial, yaitu sebesar 86.66%. Setelah
dianalisis menggunakan statistik Paired Samples T-Test tingkat kesukaan anak
terhadap biskuit percobaan tidak berbeda nyata dengan biskuit komersial pada
taraf signifikansi 5%. Selain itu berdasarkan presentase anak yang menyukai
biskuit percobaan (86.66%), maka biskuit percobaan dapat dikatakan sebagai
makanan tambahan yang dapat diterima oleh anak.
c. Uji pada Panelis Ibu Balita
Uji organoleptik juga dilakukan pada ibu balita terhadap biskuit formula
F4. Menurut Winarno (1987) di dalam Muchtadi (2002), makanan tambahan anak
kecil dapat dilihat penerimaannya berdasarkan kriteria ibu. Salah satu Kriteria
menyebutkan bahwa makanan tambahan anak kecil dapat diterima apabila ibu
menyenangi rasa makanan tambahan tersebut. Tabel 15 merupakan presentasi
jumlah ibu balita yang menyukai biskuit substitusi (memberikan nilai 4 dan 5).
Penilaian diberikan pada 4 aspek yaitu warna, aroma, rasa dan tekstur biskuit.
Tabel 15 Presentasi ibu balita yang menyukai biskuit
Warna Aroma Rasa Tekstur
% % % %
% Kesukaan 26 86.67 22 73.33 21 70 23 76.67
Berdasarkan uji dapat dilihat bahwa ibu balita menyukai seluruh atribut
biskuit yang diujikan. Hal ini dapat dilihat dari ibu balita yang memberikan
penilaian menyukai biskuit substitusi untuk semua atribut berada di kisaran 70-
86.67% dari 30 orang ibu yang menjadi responden. Sehingga berdasarkan
kriteria ibu, biskuit substitusi yang dihasilkan dapat diterima sebagai makanan
tambahan anak.
3. Sifat Fisik Biskuit
Biskuit formula terpilih dianalisis sifat fisiknya yang meliputi analsis
rendemen, daya serap air, dan tekstur biskuit. Data hasil analisis fisik biskuit
dapat dilihat pada Lampiran 31 sampai 33.
a. Penetapan Rendemen Biskuit
Penetapan rendemen dilakukan dengan membandingkan berat produk
yang diperoleh dengan adonan awal. Berdasarkan perhitungan, nilai rendemen
biskuit adalah sebesar 84.29 % dari berat bahan awal. Pengurangan berat ini
disebabkan oleh bahan tepung-tepungan yang terbang ketika diaduk dengan
menggunakan mixer, adonan yang menempel pada alat pengaduk dan
penguapan air yang terjadi pada proses pemanggangan, sehingga berat akhir
yang didapat pada pembuatan biskuit lebih kecil daripada berat bahan yang
digunakan. Berat satu buah biskuit kurang lebih 12.5 gram dengan diameter 5
cm.
b. Daya Serap Air
Fennema (1996) menyatakan bahwa daya serap air adalah istilah untuk
mendeskripsikan kemampuan dari molekul matriks untuk secara fisik menjebak
air dalam jumlah besar tetapi tidak sampai menetes. Menurut Zayas (1997), daya
serap air didefinisikan sebagai kemampuan pangan untuk menahan air yang
ditambahkan dan yang ada dalam bahan pangan itu sendiri selama proses yang
dilakukan terhadap pangan tersebut. Zayas menambahkan protein
mempengaruhi daya serap air. Interaksi antara protein dan air terjadi pada gugus
asam amino polar seperti karbonil, hidroksil, amino, karboksil, dan sulfhidril.
Faktor lain yang berpengaruh terhadap mekanisme interaksi protein air adalah
bentuk protein yang tidak melipat atau berbentuk serabut akan mengikat air lebih
banyak daripada bentuk protein globular. Tetapi Hutton dan Campbel (1981)
menyatakan karbohidrat juga mempengaruhi daya serap air pangan. Molekul
karbohidrat memiliki kemampuan menyerap air enam hingga tujuh kali lebih
besar daripada protein.
Berdasarkan penjelasan diatas maka penyerapan air biskuit akan
menurun dengan semakin meningkatnya kandungan protein biskuit. Dengan kata
lain, semakin banyak tepung ikan dan isolat protein kedelai yang mensubstitusi
tepung terigu dalam pembuatan biskuit, semakin berkurang kadar karbohidrat
biskuit, maka semakin kecil daya serap air biskuit. Inayati (1991), menyatakan
bahwa penyerapan air oleh biskuit mempengaruhi tekstur biskuit di dalam mulut
pada waktu dimakan. Berdasarkan hasil pengujian daya serap air, daya serap air
formula terpilih adalah 1.79 ml/g. Semakin rendah daya serap air, maka
diasumsikan lebih sedikit air liur yang dibutuhkan untuk melunakkan biskuit,
sehingga lebih mudah ketika dimakan. Hasil penelitian Fernando (2008) pada
produk bubur susu kacang tanah instan, daya serap air bubur susu adalah 1.99-
3.47 ml/g. Biskuit formula terpilih memiliki daya serap air yang lebih rendah
daripada bubur susu. Fernando menambahkan semakin rendah daya serap air
pada makanan balita semakin baik, karena menyebabkan bayi tidak mudah
kenyang dan rehidrasinya lebih mudah.
c. Tekstur Biskuit
Menurut Peleg dan Bagley (1983), produk pangan yang bersifat padat
bervariasi bentuk, ukuran, dan responsnya terhadap gaya yang mengenainya.
Ditinjau dari sifat reologinya, produk pangan dapat dikelompokkan menjadi
produk yang bersifat padat, semi padat, dan viskoelastis. Biskuit termasuk ke
dalam produk yang bersifat padat. Produk pangan yang padat adalah produk
yang tidak mengalami perubahan bentuk (deformasi) apabila dikenakan gaya
tarik atau gaya tekan.
Gambar 14 Profil kerenyahan dan kekerasan yang diuji dengan Texture Analyzer
Prinsip pegukuran tekstur bahan pangan dengan teksturometer adalah
dengan memberikan gaya pada bahan pangan dengan besaran tertentu
sehingga profil tekstur bahan pangan tersebut dapat diukur. Pengukuran
parameter reologi dapat dilakukan dengan instrument Tekstur Analyzer seperti
yang digunakan dalam penelitian ini. Parameter reologi yang diukur pada produk
biskuit adalah kekerasan dan kerapuhan. Kekerasan ditentukan dari gaya
maksimum (nilai puncak), sedangkan kerenyahan ditentukan dari puncak yang
pertama kali terbaca pada tekanan yang pertama (Faridah et al. 2008). Profil
perbedaan kerenyahan dan kekerasan pada sampel secara umum juga dapat
dilihat pada Gambar 15. Hasil uji menunjukan, untuk parameter kerenyahan nilai
rata-rata yang diperoleh adalah 246.6 N/mm, dimana berdasarkan hasil
penelitian Sulaeman (1993) pada makanan balita, nilai kekerasan antara 237-
299 masuk dalam kategori renyah.
4. Sifat Kimia Biskuit
Biskuit formula terpilih dianalisis sifat kimianya yang meliputi analisis
proksimat, perhitungan kandungan energi dan daya cerna protein biskuit. Data
hasil analisis sifat kimia biskuit dapat dilihat pada Lampiran 34 sampai 40.
G
a
y
a
J arak
a. Analisis Proksimat Biskuit
Kandungan gizi pada biskuit diuji dengan melakukan analisis proksimat
dan daya cerna protein. Analisis proksimat yang dilakukan meliputi kadar air,
kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar karbohidrat. Selain itu dilakukan
juga penghitungan energi yang terkandung dalam biskuit. Hasil analisis
proksimat biskuit dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16 Hasil analisis sifat kimia dan perhitungan energi biskuit formula terpilih
Komponen J umlah
Basis Basah Basis Kering
Air 3.96 4.13
Abu 2.42 2.52
Protein 18.77 19.55
Lemak 21.12 21.99
Karbohidrat 53.72 55.94
Energi 480
Menurut Winarno (1997), kandungan air dalam bahan pangan ikut
menentukan penerimaan, kesegaran dan daya tahan pangan tersebut. Pada
proses pemanggangan biskuit, terjadi proses pemanasan dan proses
pengurangan kadar air. Kandungan air pada biskuit akan mempengaruhi
penerimaan konsumen terutama pada atribut tekstur (kerenyahan). Biskuit
dengan kadar air tinggi cenderung tidak renyah sehingga teksturnya kurang
disukai.
Kadar air biskuit yang dihasilkan adalah 3.96% (bb). Syarat mutu biskuit
berdasarkan SNI 01-2973-1992 menyatakan kadar air maksimum yang terdapat
pada biskuit adalah 5% (bb). Kadar air biskuit yang dihasilkan masih berada di
bawah persyaratan SNI, sehingga dapat dikatakan bahwa kadar air biskuit
dengan substitusi tepung ikan lele dan isolat protein kedelai memenuhi
persyaratan mutu biskuit berdasarkan SNI.
Menurut Soebito (1988), kadar abu merupakan unsur mineral sebagai
sisa yang tertinggal setelah bahan dibakar sampai bebas unsur karbon. Kadar
abu juga dapat diartikan sebagai komponen yang tidak mudah menguap, tetap
tinggal dalam pembakaran dan pemijaran senyawa organik. Syarat mutu biskuit
berdasarkan SNI 01-2973-1992, kadar abu maksimum pada biskuit adalah 1.5%
(bb). Kadar abu biskuit yang dihasilkan pada penelitian ini adalah 2.42% (bb).
Kadar abu biskuit percobaan berada di atas persyaratan mutu biskuit SNI. Hal ini
disebabkan oleh tepung ikan yang ditambahkan dalam formula. Kadar abu
tepung kepala ikan adalah 16.52% (bb), kadar abu tepung badan ikan 4.44%
(bb), dan kadar abu isolat protein kedelai adalah 4.36% (bb) sedangkan menurut
SNI kadar abu tepung terigu maksimal 0.6% (bb). Oleh sebab itu substitusi
tepung ikan dan isolat protein kedelai terhadap terigu pada formula biskuit akan
meningkatkan kandungan abu dalam biskuit yang dihasilkan.
Winarno (1997) menyatakan, protein merupakan suatu zat gizi yang amat
penting bagi tubuh, karena zat ini selain berfungsi sebagai penghasil energi
dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Sifat protein
sebagai zat pengatur dimiliki oleh enzim. Sebagai zat pembangun, protein
merupakan bahan pembentuk jaringan baru dalam tubuh. Tetapi bila asupan
energi tubuh tidak dipenuhi oleh karbohidrat, maka protein akan berperan
sebagai energi. Hal ini menyebabkan perannya sebagai zat pengatur dan
pembangun akan terganggu. Selain itu bila terjadi kekurangan konsumsi protein
pertumbuhan juga akan terganggu, terutama pada anak yang sedang dalam
masa pertumbuhan. Oleh sebab itu, pada biskuit yang ditujukan untuk anak
balita gizi kurang ini, penambahan jumlah protein pada biskuit menjadi prioritas
yang utama.
Menurut Winarno (1997), protein adalah sumber asam amino yang
mengandung unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak dan
karbohidrat. Pengukuran kadar protein biskuit mengunakan metode Kjeldhal
yang didasarkan pada pengukuran kadar nitrogen total. Kandungan protein dapat
dihitung dengan mengasumsikan rasio tertentu antara protein terhadap nitrogen
untuk contoh biskuit. Karena unsur nitrogen bukan hanya berasal dari protein,
maka metode ini mendasarkan pada asumsi kandungan nitrogen adalah protein
adalah 16%. Untuk mengubah dari kadar nitrogen ke dalam kadar protein maka
digunakan angka faktor konversi sebesar 100/16 atau 6.25.
Protein yang terdapat dalam biskuit sebagian besar berasal dari tepung
ikan, isolat protein kedelai, telur, susu dan tepung terigu. Menurut syarat mutu
biskuit berdasarkan SNI 01-2973-1992, kadar protein minimum dalam biskuit
adalah 9.00% (bb). kadar protein biskuit yang dihasilkan pada penelitian adalah
18.77% (bb). J ika dibandingkan dengan persyaratan kadar protein minimum
biskuit dengan bahan dasar tepung terigu saja (SNI), kadar protein biskuit
penelitian berada diatas kadar minimum protein pada SNI biskuit. Peningkatan
kadar protein ini dikarenakan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai
yang merupakan bahan makanan tinggi protein. Tujuan utama dari substitusi
adalah untuk meningkatkan kandungan protein biskuit, sehingga dengan kadar
protein biskuit sebesar 18.77%, penggunaan tepung ikan dan isolat protein
kedelai dapat dikatakan berhasil meningkatkan kadar protein biskuit.
Menurut Manley (1998), lemak merupakan bahan baku paling penting
dalam pembuatan biskuit. Lemak merupakan komponen terbesar selain tepung
dan gula. Pada pembuatan biskuit, digunakan dua jenis sumber lemak, yaitu
margarine dan mentega. Fungsi utama lemak dalam pembuatan biskuit adalah
sebagai pengemulsi, tetapi selain itu lemak juga berfungsi sebagai pembentuk
cita rasa dan memberikan tekstur pada biskuit. Semakin banyak lemak yang
ditambahkan pada adonan, semakin rapuh biskuit yang dihasilkan.
Kandungan lemak biskuit yang dihasilkan adalah 21,99% (bk), sedangkan
menurut SNI 01-2973-1992, kadar lemak minimum dalam biskuit adalah 9.5%.
J ila dibandingkan dengan persyaratan kadar lemak minimum pada SNI, kadar
lemak produk berada di atas persyaratan kadar lemak minimum pada SNI,
sehingga dapat dikatakan bahwa berdasarkan kadar lemaknya, biskuit yang
dihasilkan telah memenuhi persyaratan mutu biskuit jika mengacu pada
persyaratan mutu biskuit pada SNI.
Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi manusia. Menurut
Fennema (1996), 90% karbohidrat berasal dari tumbuh-tumbuhan. Karbohidrat
merupakan sumber energi yang sangat banyak ditemui, ketersediaannya amat
luas dan murah. Karbohidrat juga memiliki peranan penting dalam menentukan
karakteristik bahan makanan, misalnya rasa, warna, tekstur dan lain-lain
(Winarno 1997).
Bahan yang menjadi sumber karbohidrat pada pembuatan biskuit antara
lain tepung terigu, gula, dan susu. Kadar karbohidrat pada biskuit dihitung
dengan penentuan kadar karbohidrat secara kasar menggunakan metode by
difference. Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar karbohidrat biskuit yang
dihasilkan adalah 53.72% (bb). J ika dibandingkan dengan persyaratan minimum
kadar karbohidrat biskuit terigu yang tercantum pada SNI (70%), kadar
karbohidrat biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai lebih
rendah. Pengurangan kadar karbohidrat ini dikarenakan terjadi penggantian
sebagian tepung terigu yang menjadi sumber utama karbohidrat pada biskuit
dengan tepung ikan dan isolat protein kedelai yang tinggi protein dan rendah
karbohidrat.
J ika dibandingkan dengan persyaratan mutu biskuit terigu pada SNI,
kandungan gizi yang dimiliki biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolat
protein kedelai memang berbeda. Hal ini disebabkan perbedaan kandungan gizi
yang dimiliki bahan baku penyusunnya, yaitu tepung ikan dan isolat protein
kedelai. Pada dasarnya perbedaan nilai gizi bukan suatu permasalahan. Menurut
Manley (2000), biskuit merupakan produk yang tepat untuk dijadikan pangan
sehat atau pangan fungsional yang menyediakan zat gizi tertentu yang
dibutuhkan oleh tubuh. Dalam pembuatan biskuit ini zat gizi yang dimaksud
adalah protein. Biskuit yang diperkaya protein akan menurunkan proporsi
kandungan zat gizi lain. Dalam percobaan ini, zat gizi yang mengalami
penurunan adalah karbohidrat.
b. Kandungan Energi Biskuit
Kandungan energi pada biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolat
protein kedelai diperoleh dengan mengkonversikan protein, lemak, dan
karbohidrat menjadi energi. Lemak merupakan sumber energi yang paling besar,
dimana 1 gram lemak dapat dikonversi menjadi 9 kkal. Sedangkan protein dan
karbohidrat menghasilkan energi 4 kkal per gram (Fennema 1996).
Berdasarkan hasil perhitungan, rata-rata nilai energy biskuit adalah
sebesar 480 kkal per 100 gram biskuit. Menurut SNI 01-2973-1992, syarat
kandungan energi pada biskuit terigu minimal 400 kkal per 100 gram. Demikian
pula menurut FAO/WHO (1994), energi pada komposisi makanan tambahan
untuk balita minimal mengandung 400 kkl per 100 gram makanan. J ika mengacu
pada persyaratan diatas, maka nilai energi biskuit yang dihasilkan berada di atas
persyaratan minimum nilai energi.
c. Daya Cerna Protein Biskuit
Daya cerna menurut Fennema (1996) adalah proporsi nitrogen pangan
yang dapat diserap setelah proses pencernaan. Ditambahkan pula bahwa daya
cerna protein yang berasal dari pangan hewani lebih tinggi daripada daya cerna
protein yang berasal dari pangan nabati. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi daya cerna protein, antara lain: (1) konformasi protein, (2) faktor
antinutrisi, (3) ikatan dengan senyawa lain seperti polipeptida dan serat, serta (4)
proses pengolahan. Proses pemanasan dengan pemanggangan pada biskuit
menurut Ranhotra dan Bock (1988) dapat menyebabkan denaturasi protein dan
meningkatkan daya cerna. Tetapi ditambahkan pula, dengan pemanggangan
daya cerna dapat menurun karena asam amino bebas dapat berikatan dengan
gugus karboksil gula pereduksi seperti fruktosa, laktosa, dan maltosa
membentuk reaksi nonensimatik Maillard. Reaksi Maillard bertanggung jawab
dalam pembentukan aroma dan cita rasa produk yang melalui proses
pemanggangan. Produk dari reaksi Maillard tidak mempunyai nilai gizi pada
mamalia.
Analisis daya cerna protein dapat dilakukan secara biologis,
mikrobiologis, kimiawi, dan enzimatik. Pada penelitian ini digunakan metode
enzimatik secara in vitro untuk melihat bioavailabilitas protein pada biskuit. Hsu
et al. (1977) menyatakan prinsip dasar pengukuran daya cerna secara in vitro
dengan teknik multienzim adalah dengan menghidrolisis sampel protein dengan
larutan multienzim, proses hidrolisis ini akan membebaskan gugus karboksil
asam amino yang menyebabkan penurunan pH. pH suspensi protein pada menit
ke-10 setelah hidrolisis berkorelasi baik dengan daya cerna protein secara
biologis. Analisis in vitro dipilih karena menurut Fennema (1996), analisis dengan
metode biologis atau secara in vivo membutuhkan biaya yang besar dan waktu
yang lama.
Menurut Muchtadi (1989), protein yang mudah dicerna menunjukkan
tingginya jumlah asam-asam amino yang dapat diserap oleh tubuh dan begitu
juga sebaliknya. Berdasarkan hasil pengukuran daya cerna protein biskuit
dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai adalah sebesar 89.34%.
Daya cerna ini dapat dikatakan sedang, karena nilainya menyerupai daya cerna
kacang-kacangan dan nasi menurut FAO/WHO/UNU (1995).
5. Analisis Kontribusi Zat Gizi Biskuit Terhadap AKG Balita
Menurut Almatsier (2001), angka kecukupan gizi (AKG) atau biasa juga
dikenal dengan recommended daily allowance (RDA) merupakan taraf konsumsi
zat-zat gizi esensial yang berdasarkan pengetahuan ilmiah dinilai cukup untuk
memenuhi kebutuhan hampir semua orang sehat. Kecukupan nilai energi
ditetapkan dengan cara berbeda daripada kecukupan untuk zat gizi lain. AKG
untuk energi mencerminkan rata-rata kebutuhan tiap kelompok penduduk,
sedangkan angka kecukupan protein dan zat gizi lainnya dinyatakan sebagai
taraf asupan yang aman (safe level of intake). Suatu produk dapat memberikan
kontribusi sejumlah zat gizi tertentu dengan menghitung kontribusinya terhadap
AKG. Untuk itu diperlukan penentuan jumlah saji sehingga angka kecukupan gizi
per saji dan kontribusinya terhadap AKG dapat dihitung.
Produk biskuit pada penelitian ini hanya menekankan kontribusi protein
yang diberikan biskuit terhadap pemenuhan AKG balita. Menurut Widya Karya
Pangan dan Gizi (2004), AKG untuk energi dan protein balita umur 1 sampai 3
tahun (berat badan 12 kg) adalah 1000 kkal energi dan 25 gram protein per hari.
Pada usia yang lebih tinggi yaitu 4-6 tahun, kebutuhan energi dan protein
meningkat sejalan dengan peningkatan berat badan yaitu menjadi 1550 kkal
energi per hari dan 39 gram protein per hari. Menurut BPOM (2004), pangan
dapat dikatakan tinggi protein bila memenuhi sedikitnya 20% dari AKG yang
dianjurkan per saji. Bila AKG untuk balita yang digunakan adalah AKG untuk
anak usia 4-6 tahun maka, 20% dari 39 gram protein adalah 7.8 gram protein
yang harus dipenuhi dari sajian.
Biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai,
berdasarkan hasil proksimat dan penghitungan energi, per 100 gram sajian
menyumbangkan 480 kkal energi dan 18.8 gram (bb) protein. Berarti untuk
memenuhi target tinggi protein jumlah biskuit yang harus dikonsumsi adalah
41.56 gram biskuit (perhitungan disajikan pada lampiran 41). Dengan kata lain,
untuk memenuhi 20% AKG protein, balita harus mengkonsumsi biskuit sebanyak
41.56 gram biskuit.
Apabila memperhitungkan daya cerna protein produk sebesar 89.34%,
maka biskuit yang harus dikonsumsi untuk memenuhi 20% AKG adalah
sebanyak 46.52 gram (perhitungan disajikan pada Lampiran 40). Bila satu keping
biskuit beratnya sekitar 12.5 gram, untuk memenuhi target, balita harus
mengkonsumsi 4 keping biskuit atau 50 gram biskuit. Dengan asumsi jumlah
biskuit yang dikonsumsi sebanyak 50 gram, maka diperoleh kandungan zat gizi
per takaran penyajian yang disajikan pada Tabel 17.
Tabel 17 Kandungan zat gizi dan energi per takaran penyajian (50 gram)
Energi & Zat Gizi J umlah per sajian (gram)
Energi (kkal) 240
Protein (gram) 9.8
Karbohidrat (gram) 26.9
Lemak (gram) 10.6
Setelah diketahui kandungan energi dan zat gizi per takaran penyajian,
maka dapat dibuat penentuan AKG per takaran penyajian. Perhitungan AKG
didasarkan pada kecukupan energi dan protein balita menurut WNPG (2004)
yang dibagi menjadi 2 golongan, yaitu usia 1-3 tahun dan usia 4-6 tahun.
Perhitungan AKG per sajian disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18 Angka kecukupan zat gizi per takaran penyajian (50 gram)
Zat Gizi Zat gizi per takaran saji
AKG (%)
Usia 1-3 tahun Usia 4-6 tahun
Protein 9.8 gram 39.20 25.12
Energi 240 kkal 24 15.48
Biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai memiliki
kontribusi yang cukup terhadap pemenuhan zat gizi, terutama protein dan energi.
Dengan memberikan kontribusi protein 25.12% dan 39.20% dari AKG, produk
biskuit dapat dikatakan biskuit tinggi protein. Selain itu biskuit juga memenuhi
kriteria WHO sebagai makanan tambahan karena per 100 gram biskuit
mengandung lebih dari 400 kkal energi dan 15 gram protein. Oleh karena itu,
biskuit balita dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai dapat
dikatakan makanan tambahan untuk balita yang tinggi protein.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Proses pembuatan tepung ikan dibagi menjadi dua bagian yaitu pembuatan
tepung kepala dan tepung badan ikan lele dumbo. Pembuatan tepung dimulai
dari sortasi ikan, lalu dilanjutkan dengan pemasakan dengan tekanan tinggi
(presto), pengepresan, pengeringan dengan drum dryer dan penggilingan
dengan willey mill.
2. Analisis sifat kimia tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) didapat hasil,
untuk tepung kepala ikan kadar air 8.72% (bb), kadar abu 18.10% (bk),
kadar protein 56.04 % (bk), kadar lemak 9.39% (bk) dan kadar karbohidrat
7.84% (bk), sedangkan hasil analisis untuk tepung badan ikan adalah kadar
air 7.99% (bb), kadar abu 4.83% (bk) kadar protein 63.83% (bk), kadar lemak
10.83% (bk) dan kadar karbohidrat 11.83% (bk). Berdasarkan pengukuran a
w
menggunakan a
w
-meter diketahui Aw tepung badan ikan adalah 0.7068,
sedangkan a
w
tepung kepala ikan adalah 0.6612. Pengukuran densitas
kamba menunjukan bahwa tepung kepala ikan mempunyai densitas kamba
yang tebih tinggi daripada tepung badan ikan. Densitas kamba tepung kepala
ikan adalah 0.45 g/ml sedangkan densitas kamba tepung badan ikan adalah
0.37 g/ml. Hasil pengukuran derajat putih tepung menunjukan bahwa tepung
ikan memiliki derajat putih yang lebih rendah daripada tepung terigu. Tepung
kepala ikan memiliki derajat putih yang lebih rendah daripada tepung badan
ikan. Derajat putih tepung kepala dan tepung badan ikan masing-masing
adalah 29.00% dan 30.96%.
3. Biskuit yang dibuat dalam penelitian ini adalah jenis short dough. Tahapan
dalam pembuatan biskuit diawali dengan pencampuran bahan, pemipihan,
pencetakan dan pemanggangan. Pencampuran bahan dibagi menjadi tahap
creaming dan pencampuran bahan kering. Pemipihan dilakukan dengan
rolling pin sehingga didapat ketebalan adonan 0.5 cm. Pencetakan dilakukan
dengan cetakkan lingkaran berdiameter 5 cm. Suhu awal pemanggangan
adalah 140
o
C dan suhu akhir 160
o
C.
4. Pemilihan formula dilakukan melalui uji organoleptik pada biskuit dengan
penambahan sumber protein. Hal ini didasarkan pada sasaran pembuatan
biskuit ini adakah bagi anak yang menderita KEP (Kekurangan Energi
Protein). Hasil uji organoleptik menentukan bahwa formula F4 yang memiliki
penerimaan paling tinggi. Formula F4 memiliki frekuensi penerimaan panelis
paling tinggi untuk atribut warna, aroma, rasa, dan tekstur. Formula F4 juga
menunjukkan nilai beda nyata dengan selang kepercayaan 95% untuk atribut
warna, rasa, dan tekstur setelah diuji dengan uji kergaman Kruskal Wallis
Formula F4 mensubstitusi 15% tepung terigu (dari jumlah adonan) oleh 3.5%
tepung badan ikan, 1.5% tepung kepala ikan dan 10% isolat protein kedelai.
5. Hasil uji organoleptik oleh panelis balita terhadap formula F4 dan biskuit
balita komersil yang terdapat dipasaran menunjukan penerimaan balita
terhadap kedua biskuit tersebut tidak beda nyata ketika dianalisis
menggunakan statistik Paired Samples T-Test pada taraf signifikansi 5%.
Hasil organoleptik oleh panelis ibu balita terhadap formula F4 menunjukan
bahwa 70% ibu menyukai biskuit formula F4.
6. Analisis biskuit formula F4 adalah kadar air 4.13% (bk), kadar abu 2.52%
(bk), kadar protein 19.55% (bk), kadar lemak 21.99% (bk) dan kadar
karbohidrat 55.94% (bk). Biskuit formula terpilih mengandung 480 kkal energi
per 100 gram biskuit. Protein biskuit diukur daya cernanya menggunakan
metode enzimatik secara in vitro dan didapat daya cerna biskuit adalah
sebesar 89.34%. Sifat fisik biskuit diukur rendemen, daya serap air dan
analisis tekstur. Rendemen biskuit adalah 84,29%. Daya serap ait biskuit
adalah 1.79 ml/g. Sedangkan hasil uji tekstur menunjukan nilai untuk
parameter kerenyahan 246.60.
7. Berdasarkan analisis kontribusi zat gizinya, formula terpilih dapat dikatakan
sebagai pangan tinggi protein karena dapat memenuhi target 20% protein
berdasarkan AKG balita. Untuk memenuhi target tersebut, jumlah yang harus
dikonsumsi balita setiap harinya adalah 4 keping biskuit atau 50 gram biskuit.
50 gram biskuit dapat memberikan 240 kkal energi, 9.8 gram protein, 26.9
gram karbohidrat dan 10.6 gram lemak.
Saran
Tepung ikan belum terlalu dikembangkan, padahal dengan kandungan
gizi yang tinggi tepung ikan sangat berpotensi diaplikasikan dalam makanan.
Oleh karena itu pengembangan aneka ragam pangan berbasis tepung ikan
sangat disarankan.
Tepung ikan yang dihasilkan memiliki ukuran partikel tepung ikan juga
kurang halus, oleh sebab itu disarankan untuk mencari metode penggilingan lain
untuk mendapatkan tepung ikan yang lebih halus. Selain itu disarankan juga
untuk dilakukan uji daya cerna protein dan pengukuran asam amino pada tepung
ikan untuk melengkapi informasi mengenai tepung ikan lele dumbo.
Saran untuk penelitian lanjutan mengenai pengaruh lama penyimpanan
terhadap nilai gizi, keamanan dan daya terima biskuit dengan substitusi tepung
ikan dan isolat protein kedelai. Hal ini dibutuhkan karena balita adalah kelompok
umur yang sensitif terhadap cemaran.
DAFTAR PUSTAKA
Annonymous. 2006. Pembenihan Ikan Lele Dumbo. http://viewtopic.ptp.htm/lele
dumbo/ Pembenihan_Ikan_Lele_Dumbo [13 September 2008].
Adawyah R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. J akarta: Bumi Aksara.
Almatsier S. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. J akarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Antarlina SS. 1998. Teknolohi Pengolahan Tepung Komposit Terigu-Ubi J alar
sebagai Bahan Baku Industri Pangan. Di dalam: Winarno FG, W Lukito,
Abdurrahman, MM Ardana dan B Wijaya. 2003. Kumpulan Hasil Peneliti
Terbaik Bogasari Nugraha 1998-2001. J akarta: Bogasari Flour Mills.
Apriantono A, D Fardiaz & N Puspitasari, S Budiyanto. 1989. Analisis Pangan.
Bogor: IPB Press.
Astawan M. Lele bantu pertumbuhan janin. http://wilystra2007.multiply.com/
journal/item/62/Lele_Bantu_Pertumbuhan_J anin [13 September 2008]
Azhar TN, dkk. 2006. Rekayasa kadar omega-3 pada ikan lele melalui modifikasi
pakan. http://animaldiversity.ummz.umich.edu /site/accounts/
information/Clarias_gariepinus [13 September 2008]
Bluestein PM & TP Labuza. 1988. Effect of Moisture Removal on Nutriens.
Dalam E. Kermas dan RS Harris (ed.) Nutritional Evaluation of Food
Processing 3
th
Edition. New York: Van Nostrand Reinhold.
Brennan J G. 1974. Food Engineering Operations. London: Applied Science Publ.
Ltd.
Cheftel J C, J L Cuq & D Lorient. 1985. Proteines Alimentaries. Paris: Tech and
Doc., Lavoisier.
[DKBM] Daftar Komposisi Bahan Makanan. 2004. J akarta: LIPI
FAO/WHO. 1994. Guidelines on Formulated Suplementary Food for Older Infants
and Young Children. Roma: FAO/WHO.
Faridah DN et al. 2008. Penuntun Praktikum Analisis Pangan. Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Faridi H & J M Faubion. 1990. Dough Reology and Baked Product Texture.
Nostrand Reinhold, USA.
Fennema. 1996. Food Chemistry. 3
th
Edition. New York: Marcel Dekker, Inc.
Fernando ER. 2008. Formulasi susu kacang tanah instan sebagai alternatif
makanan pendamping ASI. [skripsi]. Program Studi Gizi Masyarakat dan
Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Hasil Perikanan. Yogyakarta: Liberty.
Ilyas S. 1993. Kemungkinan Membuat Makanan dengan Kadar Protein Ikan
Tinggi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. J akarta:
Departemen Pertanian.
Inayati I. 1991. Biskuit berprotein tinggi dari campuran tepung terigu, singkong
dan tempe kedelai. [skripsi]. Program Studi Teknologi Pangan dan Gizi,
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Khomsan A. 2004. Peran Pangan dan Gizi untuk Kuaitas Hidup. J akarta: PT
Grasindo.
Khumaidi M. 1987. Angka kecukupan energi dan protein, nilai dan
penggunaanya. Media Gizi dan Keluarga. XI (1-2):16-21.
Koswara, S. 1995. Teknologi Pengolahan Kedelai Menjadi Makanan Bermutu.
J akarta: Pustaka Sinar Harapan.
Lehninger. 1992. Dasar Dasar Biokimia. Maggy Thenawijaya, penerjemah.
J akarta: PT Gramedia Pustaka Utama
LIPI. 2004. Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII. J akarta: Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia.
___. 1999. Tepung Ikan. J akarta: Proyek Sistem Informasi Nasional Guna
Menunjang Pembangunan.
Mahyuddin K. 2007. Panduan Lengkap Agribisnis Lele. J akarta: Penebar
Swadaya.
Manley D. 1998. Technology of Biscuit, Cracker, and Cookies Third Edition.
Washington: CRC Press
. 2000. Biscuit, Cracker, and Cookie Recipes for the Food Industry.
Washington: CRC Press
Matthews RH. 1989. Legumes (Chemistry, Technology and Human Nutrition).
New York: Marcel Dekker Inc.,.
Matz SA & T. D. Matz. 1978. Cookies and Crackers Technology. Texas: The AVI
Publishing Co., Inc.
Meilgaard M, GV Civille & BT Carr. 1999. Sensory Evaluation Techniques New
York: CRC Press.
Mendez IM & J MG Abuin. 2006. Thermal Processing of Fishery Product. Dalam
Sun DW (ed.) Thermal Food Processing: New Technologies and Quality
Issues. New York: CRC Press.
Moeljanto. 1982a. Pengolahan Hasil-Hasil Samping Ikan. J akarta: PT Penebar
Swadaya.
. 1982b. Penanganan Ikan Segar. J akarta: PT Penebar Swadaya.
. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. J akarta:
Penebar Swadaya.
Muchtadi D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat J enderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
_________. 1993. Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein. Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Direktorat J enderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
_________. 1994. Gizi untuk Bayi: ASI, Susu Formula dan Makanan Tambahan.
J akarta: Pustaka Sinar Harapan.
Pearson AM & RB Young. 1989. Muscle and Meat Biochemistry. San Diego:
Acad. Press Inc.
Peleg M & EB Bagley. 1983. Physical Properties of Food. Connecticut: AVi
Publishing Company, Inc.
Rieuwpassa F. 2005. Biskuit konsentrat protein ikan dan prebiotik sebagai
makanan tambahan untuk meningkatkan antibodi IgA dan status gizi
anak balita. [tesis] Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Setiawati. 1984. Pembuatan biskuit konsentrat dedak padi. [skripsi]. Program
Studi Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Soebito S. 1988. Analisis Farmasi. Yogyakarta: UGM Prss.
Sikorski ZE, A Kalakowski & B Pan. 1990. The Nutritive Composition of The
Major Groups of Marine Food Organism. Di dalam Z. E. Sikorski (ed.).
Seafood : Resources, Nutritional Composition and Preservation. Florida:
CRC Press Inc.
Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil
Pertanian. J akarta: Bhatara Karya Aksara.
Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya: untuk Keluarga dan Masyarakat.
Direktorat J endral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 1992. Mutu dan Cara Uji Biskuit. J akarta:
Dewan Standarisasi Nasional.
Sunaryo E. 1985. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-bijian. Bogor: Fakultas
Teknologi Pertanian IPB.
Sultan WJ . 1983. Modern Pastry Chef Vol.1. Connecticut: The AVI Publishing,
Westport.
Suyanto S & NY Rachmatun. 2007. Budidaya Ikan Lele. J akarta: Penebar
Swadaya.
Suzuki T. 1981 Fish & Krill Proteins. Processing Technology. London: Appl. Sci
Publ.
Tarwotjo CS. 1998. Dasar-dasar Gizi Kuliner. J akarta: Gramedia Widiasarana
Vail GE, J A Philips, LO Rust, RM Griswold & M J ustin. 1978. Foods. 7
th
edition.
Boston: Houghton Mifflin Company.
Winarno. 1995. Kimia Pangan dan Gizi. J akarta: PT Gramedia.
Wirakartakusumah MA, K Abdullah & AM Syarief. 1992. Sifat Fisik Pangan.
Bogor. PAU Pangan dan Gizi IPB.
Whiteley PR. 1971. Biscuit Manufacture Fundamental of in-live Production.
London: Applied Science Publishers.
Wiyati D. 2004. Pengaruh Penambahan Konsentrat Protein Ikan Teri
(Stolephorus sp.) Terhadap Karakteristik dan Daya Terima Biskuit untuk
Anak Balita. Skripsi Sarjana J urusan Teknologi Panagan dan Gizi,
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Wilkens WF et al. 1967. Effect of Processing Method on Oxidative Off Flavour of
Soybean Milk. Food Technol. 21:1630.
Soekirman et al. 2004. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. J akarta: LIPI.
Zayas J F. 1997. Functionality of Protein in Food. New York: Springer.
Lampiran 1 Dokumentasi Pembuatan Tepung Ikan
Gambar 15 Ikan Lele Dumbo
(Clarias gariepinus)
Gambar 16 Ikan lele dumbo yang
telah dipisahkan kepala, kulit dan
badannya
Gambar 18 Kepala ikan lele dumbo
dalam box berisi es batu selama
pengangkutan
Gambar 17 Badan ikan lele dumbo
dalam box berisi es batu selama
pengangkutan
Gambar 19 Ikan lele dumbo dalam
autoklaf untuk proses pemasakan
Gambar 20 Badan ikan lele dumbo
matang
Gambar 21 Kepala ikan lele dumbo
matang
Gambar 22 Pengepresan dengan
hidrolik pres
Gambar 23 Ikan yang telah dipress Gambar 24 Ikan yang sedang
dikeringkan menggunakan drum
dryer
Lampiran 2 Analisis sifat kimia dan fisik
1. Analisis Derajat Putih Tepung dengan Whiteness Meter (Faridah et al. 2008)
Whiteness Meter Model C-100 digunakan untuk mengukur tingkat warna
putih (derajat putih) dari contoh tepung-tepungan. Alat ini dikalibrasi dengan
standar derajat putih yang diperoleh dari asap pembakaran pita MgO.
Pengukuran dimulai dengan persiapan (kalibrasi) alat. Pertama pastikan alat
dalam kondisi mati, lalu penutup contoh dibuka dan dipastikan filter telah
terpasang pada tempatnya. Plat kalibrasi dimasukkan ke dalam cawan contoh
dengan warna putih menghadap keatas, kemudian ditutup. Alat dinyalakan
dengan menekan tombol on, lalu ditunggu selama 6 menit hingga tandaWAIT
hilang. LED akan menampilkan nilai derajat putih dari plat kalibrasi tersebut. Alat
siap digunakan.
Sebelum pengukuran, filter gelas dari wadah contoh harus dibersihkan
dengan lap dan kuas khusus yang telah disediakan. Contoh ditempatkan ke
cawan contoh dengan jumlah sedikit melebihi bibir cawan. Lalu cawan yang
berisi contoh dimasukkan ke wadah contoh. Kemudian suhu contoh
diseimbangkan dengan menekan wadah contoh ke atas tempat pengukuran. Lalu
masukkan wadah contoh ke tempat pengukuran hingga alat menyala. LED akan
menampilkan nilai derajat putih. Nilai derajat putih diukur dengan
membandingkan nilai derajat putih yang dibaca pada alat dengan nilai derajat
putih BaSO
4
sebagai standar yaitu sebesar 110.8.
Nilai derajat putih contoh = Nilai derajat putih
2. Uji Densitas Kamba (Wiyati 2004)
x 100%
Nilai derajat putih BaSO
4
Pengukuran densitas kamba dilakukan dengan menggunakan gelas ukur.
Bahan yang akan diukur ditimbang sebanyak 10 gram, kemudian dimasukkan ke
dalam gelas ukur 50 ml dan dibaca volumenya. Adapun densitas kamba dihitung
sebagai perbandingan antara berat bahan dengan volume bahan yang dibaca
pada gelas ukur dengan satuan gram per ml.
Densitas Kamba =Berat Bahan (gram)
Volume Bahan (ml)
3. Uji Daya Serap Air (Wiyati 2004)
Sebanyak 1 gram contoh dicampur dengan 10 ml aquades menggunakan
pengaduk magnetik. Campuran didiamkan selama 30 menit pada suhu kamar
lalu disentrifus dengan kecepatan 3000 rpm selama 30 menit. Selanjutnya
volume supernatan diukur.
J umlah air yang diserap (g/g)=berat air awal berat supernatant
berat contoh
4. Uji Kekerasan (Wiyati 2004)
Kekerasan berhubungan dengan kerenyahan biskuit, yaitu mudah
tidaknya biskuit menjadi remuk (pecah) ataupun membelah. Kekerasan biskuit
ditentukan secara objektif menggunakan Texture Analyzer. Alat diset terlebih
dahulu khusus untuk biskuit.
Nilai kekerasan merupakan tinggi puncak pada saat biscuit pecah atau
belah dengan menggunakan alat seperti pisau (blade). Nilai deformasi (mm)
merupakan jarak horizontal awal silinder menyentuh biskuit sampai titik tengah
puncak kurva. Perhitungan nilai kekerasan dinyatakan dengan satuan force.
Spesifikasi probe dan setting untuk produk biskuit dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19 Spesifikasi probe dan setting untuk produk biskuit
Type Plain Dough Biscuits
Objective Hardness Measurement of Biscuit by Probing TA- XT2
Mode Measure Force in Compression
Option Return to Start
Pre- test Speed 2.0 mm/s
Test Speed 0.5 mm/s
Post - test Speed 10.0 mm/s
Distance 4 mm
Trigger type Auto - 5 g
Data Acquistion 200 pps
Rate Probe 2 mm cylinder Probe (P/2)
5. Nilai a
w
(Wiyati 2004)
Pengukuran a
w
dilakukan dengan a
w
-meter. Mula-mula alat distandarisasi
dengan NaCl jenuh, yang memiliki a
w
0.7547; 0.7529; 0.7509 pada suhu 20, 25,
dan 29
o
C, lalu ditempatkan di dalam wadah yang terbuka dan dimasukkan ke
tempat pengukuran a
w
lalu ditutup rapat. Nilai a
w
dapat dibaca beberapa lama
setelah tertulis completed. Bila a
w
kurang dari 0.750 maka swich diputar sampai
mencapai 0.750. Setelah itu diukur lagi sampai tertulis completed. Pengukuran
a
w
sample dilakukan dengan cara yang sama yaitu dengan menempatkan
sample pada wadah dan diletakan di dalam a
w
-meter sampai tertulis completed.
6. Penentuan Kadar Air (Apriyantono et al. 1989)
Cawan aluminium dikeringkan dalam oven pada suhu 100
o
C selama 15
menit, lalu didinginkan dalam desikator selama 10 menit. Ditimbang cawan
dengan neraca analitik (a gram). Ditimbang sampel dengan neraca analitik
sebanyak 5 gram (b gram). Dikeringkan dalam oven pada suhu 100
o
C selama
kurang lebih 6 jam, didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang (c gram).
Dikeringkan kembali dalam oven selama 15-30 menit, lalu ditimbang kembali.
Pengeringan diulangi hingga diperoleh berat sampel yang relatif konstan (berat
dianggap konstan jika selish berat sampel kering yang ditimbang 0.0003 gram).
Kadar air (basis kering) = b (c-a)
7. Penentuan Kadar Abu (Apriyantono et al. 1989)
x 100 %
c-a
Keterangan :
b=bobot sampel (g)
c=bobot sampel dan cawan sesudah dikeringkan (g)
a=bobot cawan kosong (g)
Sampel ditimbang 2.0-3.0 gram, lalu dimasukkan ke dalam cawan
porselen dan dipanaskan dalam oven selama 30 menit. Setelah itu dimasukkan
ke dalam tanur pada suhu 600 C selama 4-5 jam. Sampel lalu dimasukkan ke
dalam desikator dan ditimbang. Pengabuan diulangi hingga diperoleh berat
sampel yang relatif konstan (berat dianggap konstan jika selisih berat sampel
kering yang ditimbang 0.0003 gram).
% kadar abu =
8. Penentuan Kadar Protein (AOAC 1995)
berat abu x 100 %
berat sampel
Penentuan kadar protein sampel menggunakan metode mikro Kjeldhal.
Sampel ditimbang 0.2 g. Sampel dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl lalu
ditambahkan 10 gram selenium mix dan 7 ml H
2
SO
4
pekat kemudian didestruksi
selama 1 jam (sampai larutan berwarna jernih). Labu Kjeldhal didinginkan dan
dipindahkan ke labu didihsambil ditambah air (250-300 ml) lalu diberi indicator
mm-mb sebanyak 3 tetes. Setelah itu, sampel ditambahkan larutan NaOH 30%
sampai berubah warna menjadi hijau, lalu dimasukkan ke dalam alat destilasi.
Digunakan asam borat yang telah ditambahkan indikator campuran merah metil
dan metil biru 3 tetes. Destilasi sampai mendapatkan 75 ml destilat. Hasil ini
kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N sampai titik akhir dari titrasi. Titik akhir
titrasi ketika warna titrat berubah dari hijau menjadi ungu. Kadar protein dihitung
dengan rumus;
9. Penentuan Kadar Lemak (SNI 01-2891-1992)
Penentuan kadar lemak sampel menggunakan metode ekstraksi
langsung dengan alat Soxhlet. Sampel ditimbang 5 gram kemudian
dimasukkan kedalam selongsong kertas yang dialasi dengan kapas dan
disumbat dengan kapas. Setelah itu, dimasukkan ke dalam alat soxhlet yang
telah dihubungkan dengan labu lemak yang telah diketahui bobotnya. Ekstraksi
dilakukan selama 6 jam dengan menggunakan pelarut heksan. Setelah diperoleh
labu lemak berisi lemak hasil ekstraksi dan pelarut, labu dikeringkankan dengan
oven 105C. Labu lemak dimasukkan dalam desikator dan setelah itu ditimbang
berat labu berisi lemak. Kadar lemak dihitung dengan rumus;
10. Penentuan Kadar Karbohidrat (by difference)
Penentuan kadar karbohidrat dilakukan dengan menggunakan
perhitungan Carbohydrate by Difference. Perhitungan ini bukan berdasarkan
analisis tetapi berdasarkan perhitungan sebagai berikut:
% Karbohidrat =100% - %(protein +lemak +abu +air)
11. Uji Daya Cerna Protein Teknik Multienzim (Hsu et al. 1977 dalam Muchtadi
1993)
Sampel digiling halus, lalu sampel disuspensikan dalam air destilata
sampai diperoleh 6.25 mg protein/ml. Sebanyak 50 ml suspense dituang ke
dalam gelas piala, kemudian diatur pH-nya menjadi 8.0 dengan menambahkan
HCl atau NaOH 0.1N. Letakkan gelas piala dalam penangas air bersuhu 37
o
C
dan diaduk dengan magnetic stirrer selama 5 menit. Lalu tambahkan 5 ml larutan
% 100 (%) x
sampel bobot
lemak bobot
lemak Kadar =
( )
contoh
blanko contoh
mg
x HClx xN HCl ml HCl ml
N
100 007 . 14
%
=
Kadar Protein =6.25 x %N
multienzim (saat penambahan enzim dicatat sebagai waktu ke nol, stopwatch
dijalankan) kedalam suspense sampel protein sambil tetap diaduk dalam
penangas air 37
o
C. Kemudian catat pH suspense sampel pada menit ke 10.
12. Perhitungan J umlah Energi
J umlah energi dapat dihitung dengan mengkonfersikan kandungan kimia
(kadar karbohidrat, kadar protein, dan kadar lemak) biskuit dengan faktor konfersi
masing-masing kandungan. Karbohidrat dan protein memiliki faktor konfersi
sebesar 4 kkal/g, sedangkan faktor konfersi lemak adalah 9 kkal/g. Hasil konversi
dijumlah dan hasil penjumlahan tersebut merupakan kandungan energi dari
biskuit. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut.
J umlah Energi/100gram =(4xA)+(4xB)+(9xC)
Keterangan: A =kadar karbohidrat
B =kadar protein
C =kadar lemak
13. Uji Organoleptik
Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji penerimaan untuk menilai daya
terima konsumen terhadap biskuit. Daya terima konsumen dimulai dari skor 1
(tidak suka) sampai 5 (sangat suka).
1=sangat tidak suka
2=tidak suka
3=biasa/netral
4=suka
5=sangat suka
APD (%) =210,46 -18,10 pH
akhir
(10 menit)
Lampiran 3 Kuesioner Uji Organoleptik Biskuit untuk Panelis Dewasa
Lembar Uji Kesukaan Biskuit
Nama Panelis : Tanggal Pengujian:
Nama Produk : Biskuit balita dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein
kedelai
Di hadapan anda terdapat empat buah biskuit balita dengan
penambahan tepung ikan dan isolat protein kedelai. Anda diminta untuk
memberikan penilaian terhadap rasa, aroma, warna, tekstur, dan keseluruhan
dari produk ini berdasarkan skala yang diberikan berikut ini :
1 : Sangat tidak suka
2 : Tidak suka
3 : Biasa
4 : Suka
5 : Sangat suka
Kode Rasa Aroma Warna Tekstur Keseluruhan
555
735
221
311
Komentar :
..........................................................................................................................
Terima Kasih
Lampiran 4 Kuesioner Uji Organoleptik Biskuit Pada anak Balita
Nama Panelis : Tanggal Pengujian:
J enis Kelamin : L / P
Nama Produk : Biskuit dengan penambahan tepung ikan lele dan
isolat protein kedelai
Dihadapan adik telah disajikan biskuit dengan penambahan tepung ikan
lele dan isolat protein kedelai. Cicipilah sebagian biskuit, kunyak baik-baik, lalu
berikan penilaian sesuai bentuk wajah dibawah ini.
Tidak Suka
Netral/biasa
Suka
Lampiran 5 Kuesioner Uji Organoleptik Biskuit untuk Panelis Ibu Balita
Lembar Uji Kesukaan Biskuit
Nama Ibu : Tanggal Pengujian:
Nama Produk : Biskuit balita dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein
kedelai
Di hadapan anda terdapat empat buah biskuit balita dengan
penambahan tepung ikan dan isolat protein kedelai. Anda diminta untuk
memberikan penilaian terhadap rasa, aroma, warna, tekstur, dan keseluruhan
dari produk ini berdasarkan skala yang diberikan berikut ini :
1 : Sangat tidak suka
2 : Tidak suka
3 : Biasa
4 : Suka
5 : Sangat suka
Rasa Aroma Warna Tekstur Keseluruhan
Komentar :
..........................................................................................................................
Terima Kasih
Lampiran 6 a
w
Tepung Ikan
Sampel Ulangan a
w
x +SD
Tepung Daging
1
0.728
0.7068 +0.0252
0.729
2
0.683
0.687
Tepung Kepala
1
0.702
0.6612 +0.0477
0.703
2
0.617
0.623
Lampiran 7 Densitas Kamba Tepung Ikan
Sampel Ulangan Densitas Kamba (ml/g) x +SD
Tepung Daging
1
0.3800
0.3710 +0.0066
0.3711
2
0.3686
0.3644
Tepung Kepala
1
0.4579
0.4537 +0.0043
0.4516
2
0.4566
0.4488
Lampiran 8 Derajat Putih Tepung Ikan
Sampel Ulangan Derajat Putih x +SD
Tepung Daging
1
35.46
30.9575 +5.1543
35.38
2
26.35
26.64
Tepung Kepala
1
33.27
28.9975 +5.1514
33.64
2
24.72
24.36
Lampiran 9 Kadar Air Tepung Ikan
Sampel Ulangan
Kadar Air
(% BB)
x +SD
(% BB)
Tepung
Daging
1
9.1639
7.9936 +1.4682
9.3623
2
6.7040
6.7443
Tepung
Kepala
1
10.9855
8.7237 +2.7436
11.2100
2
6.2692
6.4303
Lampiran 10 Kadar Abu Tepung Ikan
Sampel Ulangan
Kadar Abu
(% BB)
x +SD
(% BB)
Kadar Abu
(% BK)
x +SD
(% BK)
Tepung
Daging
1
3.5739
4.4441 +
0.9940
3.8844
4.8303 +
1.0804
3.5928 3.9049
2
5.3127 5.7743
5.2971 5.7574
Tepung
Kepala
1
19.0131
16.5254 +
2.8767
20.8302
18.1048 +
3.1517
19.0204 20.8383
2
14.0345 15.3758
14.0337 15.3750
Lampiran 11 Kadar Protein Tepung Ikan
Sampel Ulangan
Kadar
Protein (%
BB)
x +SD
(% BB)
Kadar Protein
(% BK)
x +SD
(% BK)
Tepung
Daging
1
59.6565
58.7237 +
0.6478
64.8395524
63.8256 +
0.7040
58.6613 63.7578369
2
58.2349 63.2943604
58.3419 63.4107103
Tepung
Kepala
1
56.9189
51.1535 +
4.4089
62.3589406
56.0425 +
4.8303
51.6792 56.6184518
2
46.4253 50.8623443
49.5906 54.3302314
Lampiran 12 Kadar Lemak Tepung Ikan
Sampel Ulangan
Kadar
Lemak
(%BB)
x +SD
(% BB)
Kadar Lemak
(% BK)
x +SD
(% BK)
Tepung
Daging
1
11.9137
9.9636 +
2.2038
12.9488
10.8292 +
2.3953
11.8301 12.8579
2
8.0731 8.7745
8.0374 8.7357
Tepung
Kepala
1
5.9054
8.5672 +
3.4853
6.4698
9.3860 +
3.8184
5.2141 5.7124
2
11.6830 12.7996
11.4664 12.5623
Lampiran 13 Kadar Karbohidrat Tepung Ikan
Sampel Ulangan
Kadar
Karbohidrat
(%BB)
x +SD
(% BB)
Kadar
Karbohidrat (%
BK)
x +SD
(% BK)
Tepung
Daging
1
15.6920
18.8750 +
3.1976
17.0553
20.5149 +
3.4755
16.5535 17.9917
2
21.6753 23.5584
21.5792 23.4541
Tepung
Kepala
1
7.1771
15.0300 +
6.3513
7.8630
16.4665 +
6.9583
12.8763 14.1070
2
21.5572 23.6176
18.5093 20.2783
Lampiran 14 Kadar Air ISP (Isolat Protein Kedelai) dan Susu
Sampel
Kadar Air
(% BB) x +SD (% BB)
Kadar Air
(% BK) x +SD (% BK)
ISP
7.8281
7.7668 +0.0866
8.4929
8.4209 +0.1018
7.7056
8.3489
Susu
5.3155
5.4015 +0.1216
5.6139
5.7100 +0.1359
5.4875
5.8061
Lampiran 15 Kadar Abu ISP (Isolat Protein Kedelai) dan Susu
Sampel
Kadar Abu
(% BB)
x +SD (% BB)
Kadar Abu
(% BK)
x +SD (% BK)
ISP
4.3742
4.3635+0.0151
4.7425
4.7309 +0.0164
4.3528 4.7193
Susu
4.7532
4.7462 +0.0099
5.0246
5.0172 +0.0104
4.7393 5.0099
Lampiran 16 Kadar Protein ISP (Isolat Protein Kedelai) dan Susu
Sampel
Kadar Protein (%
BB) x +SD (% BB)
Kadar Protein (%
BK)
x +SD (%
BK)
ISP
80.8079
80.7770 +
0.0438
87.6126
87.5791 +
0.0475 80.7460 87.5455
Susu
50.4991
50.5472+
0.0681
53.3825
53.4334 +
0.0720 50.5953 53.4843
Lampiran 17 Kadar Lemak ISP (Isolat Protein Kedelai) dan Susu
Sampel
Kadar Lemak
(%BB)
x +SD (% BB)
Kadar Lemak (%
BK)
x +SD (% BK)
ISP
2.3452
2.3732 +
0.0396
2.5427
2.5731 +
0.0430
2.4012 2.6034
Susu
18.7534
18.8825 +
0.1826
19.8242
20.5230 +
0.1930
19.0116 20.0971
Lampiran 18 Kadar Karbohidrat ISP (Isolat Protein Kedelai) dan Susu
Sampel
Kadar Karbohidrat
(%BB)
x +SD
(% BB)
Kadar Karbohidrat
(% BK)
x +SD
(% BK)
ISP
4.6446
4.7195 +
0.1059
5.0357
5.1169 +
0.1148
4.7944 5.1981
Susu
20.6789
20.4226 +
0.3624
21.8596
21.5887+
0.3831
20.1663 21.3178
Lampiran 19 Perhitungan estimasi zat gizi biskuit formula F1
Bahan Baku
Formula
(g)
Komposisi (%) Kontribusi Zat Gizi
Harga/1
kg
Harga
Aktual
Air Abu Protein Lemak Karbohidrat Air Abu Protein Lemak Karbohidrat
Tepung Badan Ikan Lele 50 7.99 4.44 58.72 9.96 18.88 4.00 2.22 29.36 4.98 9.44 150000 7500
Tepung Kepala Ikan Lele 50 8.72 16.5 51.15 8.57 15.03 4.36 8.27 25.58 4.29 7.52 75000 3750
Isolat Protein Kedelai 50 7.77 4.36 80.24 2.37 5.26 3.89 2.18 40.12 1.19 2.63 55000 2750
Tepung Terigu 250 12 0.5 8.9 1.3 77.3 30.00 1.25 22.25 3.25 193.25 6008 1502
Gula Halus 180 5.4 0.6 0 0 94 9.72 1.08 0.00 0.00 169.20 8000 1440
Telur 180 74 1 12.8 11.5 0.7 133.20 1.80 23.04 20.70 1.26 16000 2880
Mentega 90 16.5 0.5 0.5 81.6 1.4 14.85 0.45 0.45 73.44 1.26 40000 3600
Margarin 90 15.5 2.5 0.6 81 0.4 13.95 2.25 0.54 72.90 0.36 30000 2700
Tepung susu 60 5.4 4.74 50.06 18.88 20.92 3.24 2.84 30.04 11.33 12.55 60000 3600
Total 1000 217.20 22.34 171.37 192.07 397.47
Baking Powder 4
0.00 0.00
30000 120
Soda Kue 2
12000 24
Kandungan Zat Gizi
Adonan (%) 21.72 2.23 17.1 19.21 39.747 21.72 2.23 17.14 19.21 39.75
Kandungan Zat Gizi
Biskuit(%) 4.2 2.73 21 23.51 48.642 3.85 2.73 20.97 23.51 48.64
Kontribusi Energi 0.00 0.00 83.89 211.55 194.57
Total Energi 490.01
Harga per resep 29866
Lampiran 20 Perhitungan estimasi zat gizi biskuit formula F2
Bahan Baku
Formula
(g)
Komposisi (%) Kontribusi Zat Gizi
Harga/1
kg
Harga
Aktual
Air Abu Protein Lemak Karbohidrat Air Abu Protein Lemak Karbohidrat
Tepung Badan Ikan Lele 70 7.99 4.44 58.72 9.96 18.88 5.59 3.11 41.10 6.97 13.22 150000 10500
Tepung Kepala Ikan Lele 30 8.72 16.5 51.15 8.57 15.03 2.62 4.96 15.35 2.57 4.51 75000 2250
Isolat Protein Kedelai 50 7.77 4.36 80.24 2.37 5.26 3.89 2.18 40.12 1.19 2.63 55000 2750
Tepung Terigu 250 12 0.5 8.9 1.3 77.3 30.00 1.25 22.25 3.25 193.25 6008 1502
Gula Halus 180 5.4 0.6 0 0 94 9.72 1.08 0.00 0.00 169.20 8000 1440
Telur 180 74 1 12.8 11.5 0.7 133.20 1.80 23.04 20.70 1.26 16000 2880
Mentega 90 16.5 0.5 0.5 81.6 1.4 14.85 0.45 0.45 73.44 1.26 40000 3600
Margarin 90 15.5 2.5 0.6 81 0.4 13.95 2.25 0.54 72.90 0.36 30000 2700
Tepung susu 60 5.4 4.74 50.06 18.88 20.92 3.24 2.84 30.04 11.33 12.55 60000 3600
Total 1000 217.05 19.92 172.89 192.35 398.24
Baking Powder 4
0.00 0.00
30000 120
Soda Kue 2
12000 24
Kandungan Zat Gizi Adonan (%) 21.7054 1.99 17.3 19.23 39.82 21.71 1.99 17.29 19.23 39.82
Kandungan Zat Gizi Biskuit(%) 4.2 2.44 21.2 23.54 48.73 4.20 2.44 21.15 23.54 48.73
Kontribusi Energi 0.00 0.00 84.62 211.82 194.91
Total Energi 491.34
Harga per resep 31366
Lampiran 21 Perhitungan estimasi zat gizi biskuit formula F3
Bahan Baku
Formula
(g)
Komposisi (%) Kontribusi Zat Gizi
Harga/1
kg
Harga
Aktual
Air Abu Protein Lemak Karbohidrat Air Abu Protein Lemak Karbohidrat
Tepung Badan Ikan Lele 25 7.99 4.44 58.72 9.96 18.88 2.00 1.11 14.68 2.49 4.72 150000 3750
Tepung Kepala Ikan Lele 25 8.72 16.5 51.15 8.57 15.03 2.18 4.13 12.79 2.14 3.76 75000 1875
Isolat Protein Kedelai 100 7.77 4.36 80.24 2.37 5.26 7.77 4.36 80.24 2.37 5.26 55000 5500
Tepung Terigu 250 12 0.5 8.9 1.3 77.3 30.00 1.25 22.25 3.25 193.25 6008 1502
Gula Halus 180 5.4 0.6 0 0 94 9.72 1.08 0.00 0.00 169.20 8000 1440
Telur 180 74 1 12.8 11.5 0.7
133.2
0 1.80 23.04 20.70 1.26 16000 2880
Mentega 90 16.5 0.5 0.5 81.6 1.4 14.85 0.45 0.45 73.44 1.26 40000 3600
Margarin 90 15.5 2.5 0.6 81 0.4 13.95 2.25 0.54 72.90 0.36 30000 2700
Tepung susu 60 5.4 4.74 50.06 18.88 20.92 3.24 2.84 30.04 11.33 12.55 60000 3600
Total 1000
216.9
1
19.2
8 184.02 188.62 391.62
Baking Powder 4
0.00 0.00
30000 120
Soda Kue 2
12000 24
Kandungan Zat Gizi
Adonan (%) 21.691
1.9
3
18.
4 18.86
39.16
2 21.25 2.03 17.55 19.36 39.85
Kandungan Zat Gizi
Biskuit(%) 4.2
2.3
6
22.
5 23.07
47.90
9 4.20 2.36 22.51 23.07 47.91
Kontribusi Energi 0.00 0.00 90.05 207.67 191.64
Total Energi 489.36
Harga per resep 26991
Lampiran 22 Perhitungan estimasi zat gizi biskuit formula F4
Bahan Baku
Formula
(g)
Komposisi (%) Kontribusi Zat Gizi
Harga/1
kg
Harga
Aktual
Air Abu Protein Lemak Karbohidrat Air Abu Protein Lemak Karbohidrat
Tepung Badan Ikan Lele 35 7.99 4.44 58.72 9.96 18.88 2.80 1.55 20.55 3.49 6.61 150000 5250
Tepung Kepala Ikan Lele 15 8.72 16.5 51.15 8.57 15.03 1.31 2.48 7.67 1.29 2.25 75000 1125
Isolat Protein Kedelai 100 7.77 4.36 80.24 2.37 5.26 7.77 4.36 80.24 2.37 5.26 55000 5500
Tepung Terigu 250 12 0.5 8.9 1.3 77.3 30.00 1.25 22.25 3.25 193.25 6008 1502
Gula Halus 180 5.4 0.6 0 0 94 9.72 1.08 0.00 0.00 169.20 8000 1440
Telur 180 74 1 12.8 11.5 0.7 133.20 1.80 23.04 20.70 1.26 16000 2880
Mentega 90 16.5 0.5 0.5 81.6 1.4 14.85 0.45 0.45 73.44 1.26 40000 3600
Margarin 90 15.5 2.5 0.6 81 0.4 13.95 2.25 0.54 72.90 0.36 30000 2700
Tepung susu 60 5.4 4.74 50.06 18.88 20.92 3.24 2.84 30.04 11.33 12.55 60000 3600
Total 1000 216.83 18.07 184.78 188.76 392.00
Baking Powder 4
0.00 0.00
30000 120
Soda Kue 2
12000 24
Kandungan Zat Gizi Adonan
(%) 21.683 1.81 18.5 18.876 39.2 21.24 1.91 17.63 19.38 39.89
Kandungan Zat Gizi Biskuit(%) 4.2 2.21 22.6 23.09 47.95 4.20 2.21 22.60 23.09 47.95
Kontribusi Energi 0.00 0.00 90.41 207.81 191.81
Total Energi 490.03
Harga per resep 27741
Lampiran 23 Rekapitulasi uji hedonik biskuit
No
Responden
Formula
555 735 221 311
W A T R K W A T R K W A T R K W A T R K
1 3 4 3 3 3 2 3 4 2 3 4 3 4 4 4 5 4 4 5 4
2 4 4 2 4 4 2 3 2 3 3 4 4 3 3 3 4 4 4 4 4
3 4 4 2 3 3 4 4 3 2 4 3 3 2 2 3 4 4 3 4 4
4 2 2 3 4 4 1 3 2 4 4 2 2 3 3 4 4 3 4 4 4
5 4 4 1 2 2 3 3 4 3 3 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4
6 3 4 3 2 3 3 4 3 3 4 4 3 4 3 3 4 4 4 3 4
7 3 3 2 4 3 3 3 4 3 3 3 3 3 4 3 4 3 4 4 4
8 5 5 5 5 5 3 4 4 4 4 4 4 5 5 4 5 4 3 4 4
9 4 3 3 4 3 3 4 3 2 3 4 4 4 5 4 4 4 4 3 3
10 4 2 2 2 4 2 2 4 4 2 4 3 4 2 4 4 3 4 4 3
11 2 4 2 2 2 4 3 4 2 2 2 4 2 1 2 4 3 4 4 4
12 4 4 4 4 3 4 3 4 4 4 3 3 4 4 4 4 3 3 5 3
13 3 4 2 3 4 2 4 5 4 2 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
14 4 5 4 4 2 3 3 3 3 4 4 3 3 4 2 4 4 4 3 4
15 2 4 2 4 4 4 3 4 4 3 3 4 3 4 3 4 3 4 3 3
16 4 3 4 4 4 4 4 3 2 4 4 5 4 3 4 5 4 4 3 4
17 4 4 4 2 2 5 3 4 2 2 4 3 3 4 4 4 3 4 4 4
18 2 4 2 3 3 2 4 4 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
19 4 4 3 2 4 3 2 3 4 3 4 4 4 3 4 4 4 4 4 3
20 4 4 3 3 4 2 4 3 3 3 4 4 3 4 4 4 3 4 4 4
21 5 4 2 2 2 2 3 3 3 3 4 2 4 3 3 5 3 5 4 4
22 1 3 2 4 4 3 4 3 3 3 2 3 2 5 5 4 5 4 3 3
23 3 4 3 4 3 4 3 2 4 3 5 4 4 2 2 3 4 4 4 4
24 3 4 2 4 5 2 4 2 5 5 2 4 2 4 4 4 4 4 5 3
25 3 5 2 5 2 3 5 3 4 4 3 5 5 4 4 3 3 5 5 5
26 3 4 3 3 3 4 4 4 4 4 4 4 2 2 3 5 2 5 5 5
27 3 3 2 5 4 2 2 4 4 4 4 3 3 4 4 5 3 4 4 4
28 2 2 4 2 3 2 3 4 2 2 4 4 4 4 4 4 3 3 4 3
29 2 3 2 3 3 2 2 4 3 3 3 4 2 4 4 4 3 5 3 4
30 3 2 3 3 3 3 2 3 4 4 4 3 4 3 4 4 3 4 4 4
Skor
Modus
1 1 0 1 3 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0
2 6 4 14 8 6 11 5 4 7 5 4 2 6 4 3 0 1 0 0 0
3 10 5 9 8 12 10 13 11 10 13 7 12 9 8 8 2 14 4 7 8
4 11 17 5 11 10 7 11 14 12 11 18 14 13 14 18 22 14 22 18 20
5 2 3 1 0 2 1 1 1 1 1 1 2 2 3 1 6 1 4 5 2
Menerima 23 25 15 19 24 18 25 26 23 25 29 28 28 26 29 30 29 30 30 30
Presentasi
Penerimaan
Panelis 76.67 83.33 50.00 63.33 80.00 60.00 83.33 86.67 76.67 83.33 96.67 93.33 93.33 86.67 96.67 100.00 96.67 100.00 100.00 100.00
Lampiran 24 Hasil Uji Kruskal Wallis organleptik biskuit
Ranking
Formula N Rataan Rangking
Warna 1
30 52.90
2 30 40.35
3 30 63.35
4 30 85.40
Total 120
Aroma 1
30 68.02
2 30 51.50
3 30 62.13
4 30 60.35
Total 120
Tekstur 1
30 37.07
2 30 60.98
3 30 60.12
4 30 83.83
Total 120
Rasa 1
30 53.95
2 30 51.12
3 30 60.62
4 30 76.32
Total 120
Statistik Uji
a,b
Warna Aroma Tekstur Rasa
Chi-Square 31.222 4.116 30.827 10.762
df 3 3 3 3
Asymp. Sig. .000 .249 .000 .013
a. Uji Kruskal Wallis
b. Variabel kelompok: Formula
Lampiran 25 Uji lanjut Tukey atribut warna organoleptik biskuit
Rataan grup dalam homogeneous subset ditampilkan.
Lampiran 26 Uji lanjut Tukey atribut warna organoleptik biskuit
Lampiran 27 Uji lanjut Tukey atribut rasa organoleptik biskuit
Rasa
Tukey HSD
Formula N
Subset untuk alpha =0.05
1 2 3
1 30 2.7000
3 30
3.3667
2 30
3.4000
4 30
4.0000
Sig.
1.000 .998 1.000
Rataan grup dalam homogeneous subset ditampilkan.
Warna
Tukey HSD
Formula N
Subset untuk alpha =0.05
1 2 3
2 30 2.8667
1 30 3.2333 3.2333
3 30
3.5333
4 30
4.1333
Sig.
.311 .490 1.000
Tekstur
Tukey HSD
Formula N
Subset untuk alpha =0.05
1 2 3
1 30 2.7000
3 30
3.3667
2 30
3.4000
4 30
4.0000
Sig.
1.000 .998 1.000
Rataan grup dalam homogeneous subset ditampilkan.
Lampiran 28 Rekapitulasi uji penerimaan organoleptik balita
No Responden Biskuit Substitusi Biskuit Komersil
1 Suka Suka
2 Suka Suka
3 Suka Suka
4 Tidak Suka Suka
5 Suka Suka
6 Biasa Tidak Suka
7 Suka Suka
8 Suka Tidak Suka
9 Suka Suka
10 Biasa Biasa
11 Tidak Suka Tidak Suka
12 Suka Suka
13 Suka Suka
14 Suka Suka
15 Suka Suka
16 Suka Suka
17 Suka Suka
18 Suka Suka
19 Suka Suka
20 Suka Suka
21 Suka Suka
22 Suka Suka
23 Suka Suka
24 Suka Suka
25 Suka Suka
26 Suka Suka
27 Suka Suka
28 Suka Suka
29 Suka Suka
30 Suka Suka
Skor
Modus
Tidak Suka 2 3
Biasa 2 1
Suka 26 26
% Tidak Suka 6.67 10
% Biasa 6.67 3.33
% Suka 86.67 86.67
Lampiran 29 Hasil uji Paired-Samples T-Test penerimaan organoleptik balita
Statistik Sampel Berpasangan
Rataan N Std. Deviasi Std. Rataan Galat
Pasangan 1 Biskuit_Ikan_ISP 2.8000 30 .55086 .10057
Biskuit_Kontrol 2.7667 30 .62606 .11430
Uji Sampel Berpasangan
Perbedaan Pasangan
t df
Sig. (2-
ekor)
Rataan
Std.
Deviasi
Std.
Rataan
galat
95% Interval
Kepercayaan dari
Perbedaan
Batas
Atas
Batas
Bawah
Pasa
ngan
1
Biskuit_Ikan_ISP -
Biskuit_Kontrol .03333 .55605 .10152 -.17430 .24097 .328 29 .745
Lampiran 30 Rekapitulasi uji penerimaan organoleptik ibu balita
No Responden Rasa Aroma Warna Tekstur
1 3 4 4 4
2 4 4 4 4
3 4 4 4 4
4 4 4 4 4
5 4 4 4 4
6 4 4 4 4
7 3 4 5 3
8 3 4 5 3
9 3 3 4 4
10 4 4 4 4
11 2 2 3 3
12 4 4 4 4
13 4 4 4 4
14 4 4 4 4
15 2 3 4 2
16 4 4 4 4
17 4 4 4 4
18 3 3 3 3
19 3 2 3 4
20 4 4 4 4
21 4 4 4 4
22 4 4 4 4
23 4 3 4 4
24 4 2 4 4
25 4 4 4 3
26 4 4 4 4
27 3 3 3 3
28 4 4 4 4
29 4 4 4 4
30 4 4 4 4
Skor
Modus
Sangat
Tidak
Suka
- - - -
Tidak
Suka
2 3 - 1
Biasa 7 5 4 6
Suka 21 22 24 23
Sangat
Suka
- - 2 -
% Sangat Tidak
Suka
- - - -
% Tidak Suka 6.67 10 - 3.33
% Biasa 23.33 16.67 13.33 20
% Suka 70 73.33 80 76.67
% Sangat Suka - - 6.67 -
Lampiran 31 Rendemen Biskuit
Sampel
Ulangan Rendemen (%) x +SD
Biskuit
1 83.49901
84.2942 +1.1246
2 85.08946
Lampiran 32 Daya Serap Air Biskuit
Sampel Ulangan Daya Serap Air (ml/g) x +SD (% BB)
Biskuit
1
1.7408
1.7866 +0.0544
1.7393
2
1.8441
1.8222
Lampiran 33 Analisis Tekstur Biskuit
Sampel Ulangan Distance
mean
first
peak-
force
x +SD
Biskuit
1
1.07 246.9
264.6 +
27.9740
1.15 306.1
2
1.697 256.5
1.505 248.9
Lampiran 34 Kadar Air Biskuit
Sampel Ulangan
Kadar Air (%
BB)
x +SD (%
BB)
Kadar Air (%
BK)
x +SD (%
BK)
Biskuit
1
3.9448
3.9620 +
0.3491
4.1068
4.1265 +
0.3792
3.8534 4.0079
2
4.4407 4.6470
3.6093 3.7445
Lampiran 35 Kadar Abu Biskuit
Sampel Ulangan
Kadar Abu
(% BB)
x +SD (%
BB)
Kadar Abu
(% BK)
x +SD (%
BK)
Biskuit
1
2.2071
2.4223 +
0.2124
2.2981
2.5223 +
0.2212
2.2727 2.3665
2
2.6090 2.7167
2.6005 2.7078
Lampiran 36 Kadar Protein Biskuit
Sampel Ulangan
Kadar Protein
(% BB)
x +SD
(% BB)
Kadar Protein
(% BK)
x +SD
(% BK)
Biskuit
1
18.3634
18.7712 +
0.6631
19.1209
19.5456 +
0.6905
18.0854 18.8315
2
19.1128 19.9012
19.5234 20.3289
Lampiran 37 Kadar Lemak Biskuit
Sampel Ulangan
Kadar Lemak
(%BB)
x +SD
(% BB)
Kadar Lemak
(% BK)
x +SD
(% BK)
Biskuit
1
21.4268
21.1195 +
0.3381
22.3108
21.9908 +
0.3520
21.3928 22.2753
2
20.7780 21.6352
20.8803 21.7417
Lampiran 38 Kadar Karbohidrat Biskuit
Sampel Ulangan
Kadar
Karbohidrat
(%BB)
x +SD
(% BB)
Kadar
Karbohidrat (%
BK)
x +SD
(% BK)
Biskuit
1
54.0580
53.7249 +
0.6105
56.2881
55.9413 +
0.6357
54.3956 56.6397
2
53.0595 55.2485
53.3863 55.5888
Lampiran 39 Kandungan Energi Biskuit
Zat gizi gram/ 100 gram Konversi (kkal/gram) Energi (kkal)/100gram
Karbohidrat 53.72 4 215
Protein 18.77 4 75
Lemak 21.12 9 190
Total 480
Lampiran 40 Daya Cerna Protein Biskuit
Sampel Ulangan
pH
akhir
Daya Cerna Protein
(%)
x +SD
Biskuit
1 6.793 87.5067
89.3438 +2.5981
2 6.59 91.181
Lampiran 41 PerhitunganTakaran Saji tanpa Memperhitungkan Daya Cerna
Protein Biskuit
Keterangan : X=jumlah biskuit yang harus dikonsumsi (gram)
A=protein yang harus dipenuhi (gram)
B=protein per 100 gram biskuit (gram)
Lampiran 42 PerhitunganTakaran Saji dengan Memperhitungkan Daya Cerna
Protein Biskuit
Keterangan : Y=jumlah biskuit yang harus dikonsumsi dengan
memperhitungkan daya cerna (gram)
C=daya cerna protein biskuit
X=jumlah biskuit yang dikonsumsi tanpa meperhitungkan
daya cerna (gram)