You are on page 1of 103

FORMULASI BISKUIT DENGAN SUBSTITUSI TEPUNG IKAN

LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DAN ISOLAT PROTEIN


KEDELAI (Glycine max) SEBAGAI MAKANAN POTENSIAL
UNTUK ANAK BALITA GIZI KURANG

MERVINA

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
ABSTRACT
MERVINA. Biscuit Formulation with Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Fish Flour
and Isolate Soy (Glicine max) Protein Substitution as Potential Food for
Undernourished Children. Under direction of SRI ANNA MARLIYATI and CLARA
M. KUSHARTO

Fish is protein source, which good for enhance nutrition status because it
is categorized as high quality food. Fish flour is one of fish product that has not
been optimally developed especially as food. The objective of this research was
to make biscuit formulation with lele dumbo (Clarias gariepinus) fish flour and
isolate soy (Glicine max) protein as high protein food for children especially under
five years old children that have undernourished status. The objective of addition
isolate soy protein beside to increase protein content also for produce a better
biscuit texture. The method to make the fish flour is based on thermal process
using drum dryer. The fish flour made separately from body part and head part.
Then physical and chemical properties were analyzed. Biscuit was formulated by
using fish flour and isolate soy protein with trial and error method. Formula was
determined based on panelist preference. Acceptance of preferred formula was
examined by children and childrens mother using hedonic test. Then biscuit
properties determined by physical and chemical analysis. The protein biscuit
contribution were counted based on Recommended Daily Allowance for under
five years old children. As the result formula F4 was preferred formula that made
by 3.5% body fish flour, 1.5% head fish flour, and 10% isolate soy protein.
Chemical properties for formula F4 is 4,13% (db) for water content, 2.52% (db)
for ash content, 19.55% (db) for protein content, 21.99% (db) for fat content and
55.94% (db) for carbohydrate content. The formula contains 480 Cal energy per
100 grams biscuit. Digestibility of protein biscuit measure by enzymatic method
and the result is 89.34%. The formula fulfills 20% children protein from four piece
biscuit or equals to 50 grams biscuit.
MERVINA. Formulasi Biskuit dengan Substitusi Tepung Ikan Lele Dumbo
(Clarias gariepinus) dan Isolat Protein Kedelai (Glycine max) sebagai Makanan
Potensial untuk Anak Balita Gizi Kurang. Pembimbing SRI ANNA MARLIYATI
dan CLARA M. KUSHARTO

RINGKASAN
Menurut Soekirman (2000), KEP merupakan masalah yang masih
memprihatinkan khususnya bagi anak dibawah usia lima tahun (balita). Pangan
hewani seperti ikan merupakan sumber gizi yang dapat diandalkan untuk
mendukung perbaikan gizi masyarakat karena tergolong sebagai pangan
bermutu tinggi. Tepung ikan merupakan salah satu pangan hewani yang
merupakan produk hasil olahan ikan belum dikembangkan secara maksimal.
Produk biskuit dapat dipandang sebagai media yang baik sebagai pangan yang
dapat memenuhi kebutuhan khusus manusia. Tujuan dari penelitian ini adalah
melakukan formulasi biskuit dengan substitusi tepung ikan lele dumbo dan isolat
protein kedelai sebagai pangan tinggi protein bagi anak-anak. Tujuan
penambahan isolat protein kedelai selain sebagai penambah kandungan protein
juga untuk memperbaiki tekstur biskuit.
Penelitian dibagi menjadi dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan
penelitian utama. Pada penelitian pendahuluan dilakukan pembuatan tepung
ikan lele dumbo yang terpisah antara pembuatan tepung badan dan kepalanya,
lalu dianalisis sifat fisik dan kimianya. Pada penelitian utama, dilakukan formulasi
biskuit menggunakan tepung ikan lele dumbo dan isolat protein kedelai. Setelah
didapatkan 4 formulasi berdasarkan trial and error dilakukan pemilihan formula
berdasarkan kesukaan panelis. Formula terpilih diujikan kembali kepada anak
balita gizi kurang dan ibu balita untuk mengetahui kesukaan dari balita dan ibu
balita. Setelah itu formula terpilih dianalisis sifat fisik dan sifat kimianya serta
dihitung kontribusinya terhadap AKG balita.
Proses pembuatan tepung ikan dibagi menjadi dua bagian yaitu
pembuatan tepung kepala dan tepung badan ikan lele dumbo. Pembuatan
tepung dimulai dari sortasi ikan, lalu dilanjutkan dengan pemasakan dengan
tekanan tinggi (presto), pengepresan, pengeringan dengan drum dryer dan
penggilingan dengan willey mill.
Berdasarkan pengukuran aw menggunakan aw-meter diketahui aw tepung
badan ikan adalah 0.71, sedangkan aw tepung kepala ikan adalah 0.66.
Pengukuran densitas kamba menunjukan bahwa tepung kepala ikan mempunyai
densitas kamba yang tebih tinggi daripada tepung badan ikan. Densitas kamba
tepung kepala ikan adalah 0.45 g/ml sedangkan densitas kamba tepung badan
ikan adalah 0.37 g/ml. Hasil pengukuran derajat putih tepung menunjukan bahwa
tepung ikan memiliki derajat putih yang lebih rendah daripada tepung terigu.
Tepung kepala ikan memiliki derajat putih yang lebih rendah daripada tepung
badan ikan. Derajat putih tepung kepala ikan adalah 29.00%, sedangkan derajat
putih tepung badan ikan adalah sebesar 30.96%. Analisis sifat kimia tepung ikan
lele dumbo didapat hasil, untuk tepung kepala ikan kadar air 8.72% (bb), kadar
abu 18.10% (bk), kadar protein 56.04 % (bk), kadar lemak 9.39% (bk) dan kadar
karbohidrat 7.84% (bk), sedangkan hasil analisis untuk tepung badan ikan
adalah kadar air 7.99% (bb), kadar abu 4.83% (bk) kadar protein 63.83% (bk),
kadar lemak 10.83% (bk) dan kadar karbohidrat 11.83% (bk).
Pembuatan formula didasarkan pada estimasi protein yang dihasilkan
biskuit. Pemilihan formula dilakukan melalui uji organoleptik pada biskuit. Hasil uji
organoleptik menentukan bahwa formula F4 yang memiliki penerimaan paling
tinggi. Formula F4 memiliki frekuensi penerimaan panelis paling tinggi untuk
atribut warna, aroma, rasa, dan tekstur. Formula F4 juga menunjukkan nilai beda
nyata dengan selang kepercayaan 95% untuk atribut warna, rasa, dan tekstur
setelah diuji dengan uji kergaman Kruskal Wallis Formula F4 mensubstitusi 15%
tepung terigu (dari jumlah adonan) oleh 3.5% tepung badan ikan, 1.5% tepung
kepala ikan dan 10% isolat protein kedelai.
Hasil uji organoleptik oleh panelis balita terhadap formula F4 dan biskuit
balita komersil yang terdapat dipasaran menunjukan penerimaan balita terhadap
kedua biskuit tersebut tidak beda nyata ketika dianalisis menggunakan statistik
Paired Samples T-Test pada taraf signifikansi 5%. Hasil uji organoleptik terhadap
ibu balita menunjukan bahwa lebih dari 70% ibu balita menyukai biskuit formula
F4 untuk atribut warna, aroma, rasa dan tekstur.
Analisis biskuit formula terpilih (F4) adalah kadar air 4.13% (bk), kadar
abu 2.52% (bk), kadar protein 19.55% (bk), kadar lemak 21.99% (bk) dan kadar
karbohidrat 55.94% (bk). Biskuit formula terpilih mengandung 480 kkal energi per
100 gram biskuit. Protein biskuit diukur daya cernanya menggunakan metode
enzimatik secara in vitro dan didapat daya cerna biskuit adalah sebesar 89.34%.
Sifat fisik biskuit diukur rendemen, daya serap air dan analisis tekstur.
Rendemen biskuit adalah 84,29%. Daya serap air biskuit adalah 1.79 ml/g.
Sedangkan hasil uji tekstur menunjukkan nilai untuk parameter kerenyahan
246.6 N/mm.
Berdasarkan analisis kontribusi zat gizinya, formula terpilih dapat
dikatakan sebagai pangan tinggi protein karena dapat memenuhi target 20%
protein berdasarkan AKG balita. Untuk memenuhi target tersebut, jumlah yang
harus dikonsumsi balita setiap harinya adalah 4 keping biskuit atau setara
dengan 50 gram biskuit. 50 gram biskuit dapat memberikan 240 kkal energi, 9.8
gram protein, 26.9 gram karbohidrat dan 10.6 gram lemak.
FORMULASI BISKUIT DENGAN SUBSTITUSI TEPUNG IKAN
LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DAN ISOLAT PROTEIN
KEDELAI (Glycine max) SEBAGAI MAKANAN POTENSIAL
UNTUK ANAK BALITA GIZI KURANG

MERVINA

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL : FORMULASI BISKUIT DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG


IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DAN ISOLAT
PROTEIN KEDELAI (Glycine max) SEBAGAI MAKANAN
POTENSIAL UNTUK ANAK BALITA GIZI KURANG
Nama : Mervina
NRP : I14051221

Disetujui:

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Sri Anna Marliati, MS Prof. Dr. Clara M. Kusharto, M. Sc


NIP: 19600205 198903 2 002 NIP: 19510719 198403 2 001

Diketahui,
Ketua Departemen Gizi Masyarakat

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS


NIP. 19621218 198703 1 001

Tanggal Pengesahan:
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus atas berkat-Nya
yang berlimpah sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis juga
hendak menyampaikan terima kasih pada pihak-pihak yang telah banyak
membantu dalam pembuatan skripsi ini.

1. Papi, mami, koko kodok atas dukungan dan doa yang terus-menerus.

2. Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M. Si selaku dosen pembimbing I yang telah banyak
memberikan pembelajaran, bimbingan, dan pengarahan selama pembuatan
skripsi. Senang sekali bisa mendapat bimbingan ibu.

3. Prof. Dr. drh. Clara M. Kusharto, M. Sc selaku dosen pembimbing II dan


ketua Hibah Kemitraan Studi Efikasi Makanan Fungsional Berbasis Tepung
Ikan dan Probiotik untuk Meningkatkan daya Tahan Tubuh Anak Balita
Rawan Gizi yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, dan
pengalaman bagi penulis.

4. Seluruh tim Hibah Kemitraan: Dr. Ir. Inggrid Surono, M. Sc; Dr. Ir. Sri Anna
Marliyati, M. Si; Prof. Dr. Ir. Made Astawan; Leily Amalia. STP, MS; dr. Mira
Dewi, S. Ked; Ir. Annis Catur Adi, M. Si; Rini Harianti, S. Si; Astrisia Artanti,
STP; Saad Bakery (Kunciran-Tangerang); DeJee Fish (Cibaraja, Sukabumi);
dan Pemerintah Kabupaten Sukabumi atas kerjasama dalam penelitian ini.

5. Dr. Ir. Lilik Kustiyah, M.Si selaku dosen penguji skripsi yang telah bersedia
dan meluangkan waktu untuk menguji.

6. Keluarga besar Sukamto dan Kengsiswoyo atas dukungan baik secara moril
dan materiil sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di IPB.

7. My roommate Veronica Gunawan STP, Teresia Tandean STP, dan Vidya


H. Simarmata SKPM, atas banyak semangat, motivasi, dan perhatian.

8. Franz never stress Sahidi atas kesabaran yang tidak berkesudahan.

9. Beatrice Bennita, Stella Alvina Gunawan dan Catherine Haryasyah yang


menjadi inspirasi penulis dalam menyelesaikan skipsi.

10. Herviana Ferazuma, Natalia Dessy W, Ervina, dan seluruh mahasiswa Gizi
Masyarakat angkatan 42 atas kekompakan dan hari-hari perkuliahan yang
menyenangkan We are cream of the cream.
11. Yoanita Santoso (isopit), Rina Kisaragi, Kabuto, dan Kotaro Minami yang
memberikan penghiburan kepada penulis setiap saat dalam pembuatan
skripsi.

12. Keluarga Besar Perwira 45 ank. 42: Fransisca Eka, Lisa Noviani, Aninda
Puspasari, Stella Belinda, Eveline Septiana, Kalista R. Putri, Leo Adi W.,
Anthony Demas, Pratiwi, dan lain-lain yang tidak dapat disebutkan satu per
satu, atas kebersamaan dan kekeluargaan yang menyenangkan sampai
tahun terakhir.

13. Teman-teman satu bimbingan: Herviana Ferazuma, Neysa Rucita, Mega


Pramudita, Ganes T Widha, Nien Adji, Fitriah Rahayu, Wasilla T.

14. Para Laboran yang dengan sabar mendampingi dan membantu penelitian:
khususnya Pak Mashudi (terima kasih banyak pak), Ibu Rizki, dan Ibu Nina,
Pak Nurwanto, Pak Wahid, Ibu Rubiah, dan Pak Rojak.

15. Teman-teman penelitian laboratorium: Herviana Ferazuma, Neysa Rucita,


Pramadya Alfitra, Mega Pramudita, Yulan Isnaharani, Tri Purnamasari,
Ganes T. Widha, Ervina, Hana Fitriah N, Inda Ragil dan Kokom Setiamanah.

16. Indah Lestari; Martha Clarissa R, Vina Lyana, Edwin, Ferry Gracyano, Jimmy
Effendi, dr. Claudia Tiwow, Kezia Winie dan Timotius atas persahabatan
yang luar biasa.

17. Mr. Manahat Sitorus dan Ms. Devie atas dorongan dan semangatnya
sehingga penulis berkuliah di IPB

18. Keluarga besar Kemaki (Keluarga Mahasiswa Katolik IPB), yang memberikan
keluarga sejak pertama penulis diterima di IPB.

Serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima
kasih.

Bogor, Oktober 2009

Penulis
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 Mei 1987


dari pasangan Gerald Benyamin Benny Sukamto dan
Giokatarina Wanny Kengsiswoyo. Penulis merupakan anak
kedua dari dua bersaudara.
Penulis menyelesaikan pendidikan di SMU Dian
Harapan Lippo Cikarang pada tahun 2005 dan pada tahun yang
sama melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor melalui ujian Seleksi
Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Setelah melalui Tahap Persiapan
Bersama (TPB), penulis memilih dan diterima di mayor Ilmu Gizi, Departemen
Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Penulis juga mengambil minor Ilmu
dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian.
Selama menjalankan studi di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di
beberapa organisasi, seperti Keluarga Mahasiswa Katolik (KEMAKI) dan
Himpunan Mahasiswa Ilmu Gizi (HIMAGIZI). Penulis juga aktif dalam kepanitiaan
berbagai acara diantaranya Natal CIVA tahun 2006 dan 2007, Pelatihan
Organoleptik, dan lain-lain. Penulis pernah menjadi pelatih dalam Pelatihan
Makanan Berbasis Ubi Jalar untuk kelompok tani Cikarawang pada tahun 2009.
Selain itu penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Kelurahan Pasir
Putih dan Kelurahan Bedahan, Kecamatan Sawangan, Kota Depok dan
melaksanakan internship bidang Dietetika di Rumah Sakit Kanker Dharmais,
Jakarta.
Penulis menyelesaikan tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi
pada Departemen Gizi Masyarakat, dengan melakukan penelitian yang berjudul
Formulasi Biskuit dengan Substitusi Tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias
gariepinus) dan Isolat Protein Kedelai (Glycine max) sebagai Makanan Potensial
untuk Anak Balita Gizi Kurang, yang merupakan bagian dari Hibah Kemitraan
Studi Efikasi Makanan Fungsional Berbasis Tepung Ikan dan Probiotik untuk
Meningkatkan Daya Tahan Tubuh Anak Balita Rawan Gizi.
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ....................................................................................................... i


DAFTAR TABEL ................................................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... v
PENDAHULUAN
Latar Belakang....................................................................................... 1
Tujuan .................................................................................................... 3
Kegunaan Penelitian.............................................................................. 3
TINJAUAN PUSTAKA
Lele Dumbo (Clarias gariepinus) ........................................................... 4
Protein Ikan............................................................................................ 6
Tepung Ikan ........................................................................................... 7
Kedelai ................................................................................................... 9
Isolat Protein Kedelai ............................................................................. 11
Protein ................................................................................................... 12
Mutu Protein .......................................................................................... 13
Daya Cerna Protein ............................................................................... 13
Makanan Balita ...................................................................................... 14
Biskuit .................................................................................................... 15
METODE
Waktu dan Tempat ................................................................................ 21
Alat dan Bahan ...................................................................................... 21
Metode Penelitian .................................................................................. 21
Pengolahan dan Analisis Data............................................................... 27
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tepung Ikan
1. Pembuatan Tepung Ikan ................................................................... 28
2. Sifat Fisik Tepung Ikan
a. aw .................................................................................................. 30
b. Densitas Kamba ........................................................................... 31
c. Derajat Putih ................................................................................. 32
3. Sifat Kimia Tepung Ikan
a. Kadar Air ....................................................................................... 33
b. Kadar Abu ..................................................................................... 33
c. Kadar Protein ................................................................................ 34
d. Kadar Lemak ................................................................................ 35
e. Kadar Karbohidrat ........................................................................ 36
Biskuit Balita dengan Substitusi Tepung Ikan Lele Dumbo dan Isolat
Protein Kedelai
1. Formulasi Biskuit ............................................................................... 37
2. Sifat Organoleptik Biskuit
a. Uji pada Panelis Semi-Terlatih ..................................................... 41
b. Uji pada Panelis Anak Balita ........................................................ 43
c. Uji pada Panelis Ibu Balita ............................................................ 44
3. Sifat Fisik Biskuit
a. Penetapan Rendemen Biskuit ...................................................... 45
b. Daya serap Air .............................................................................. 45
c. Tekstur Biskuit .............................................................................. 46
4. Sifat Kimia Biskuit
a. Analisis Proksimat Biskuit ............................................................. 47
b. Kandungan Energi Biskuit ............................................................ 51
c. Daya Cerna Protein Biskuit .......................................................... 51
5. Kontribusi Zat Gizi Biskuit Terhadap AKG Balita .............................. 52
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ............................................................................................ 55
Saran ..................................................................................................... 56
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 58
DAFTAR TABEL

1 Komposisi gizi ikan lele ................................................................................. 5


2 susunan asam amino esensial ikan lele ........................................................ 6
3 Komposisi kimia kedelai ................................................................................ 10
4 Komposisi proksimat bagian biji kedelai ........................................................ 10
5 Mutu cerna protein beberapa protein pangan pada manusia ....................... 13
6 Komposisi zat gizi formula makanan tambahan ............................................ 14
7 Angka kecukupan zat gizi rata-rata yang dianjurkan untuk bayi dan anak
balita (per orang per hari) .............................................................................. 15
8 Syarat mutu biskuit ........................................................................................ 16
9 Jenis-jenis penyimpangan yang dapat terjadi dan penyebabnya pada
pembuatan biskuit ......................................................................................... 17
10 Formula biskuit balita dengan substitusi tepung ikan dan isolat
protein kedelai ............................................................................................. 24
11 Hasil pengukuran derajat putih tepung ikan lele dumbo.............................. 32
12 Formula biskuit dengan penambahan konsentrat protein ikan .................... 37
13 Jumlah panelis yang dapat menerima biskuit.............................................. 41
14 Rekapitulasi penerimaan biskuit .................................................................. 44
15 Presentasi ibu balita yang menyukai biskuit ............................................... 45
16 Hasil analisis sifat kimia dan perhitungan energi biskuit formula terpilih ..... 48
17 Kandungan zat gizi dan energi per takaran penyajian (50 gram) ................ 53
18 Angka kecukupan zat gizi per takaran penyajian (50 gram)........................ 54
19 Spesifikasi probe dan setting untuk produk biskuit....................................... 65
DAFTAR GAMBAR

1 Karakteristik Morfologi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)....................... 5


2 Diagram alir pembuatan tepung ikan dan tepung kepala
ikan lele dumbo ............................................................................................. 23
3 Diagram alir pembuatan biskuit balita dengan penambahan tepung
ikan dan isolat protein kedelai ....................................................................... 25
4 Ikan lele dumbo yang telah dikuliti dan dibuang isi perutnya ........................ 28
5 (A) Tepung badan ikan lele dumbo ................................................................ 30
5 (B) tepung kepala ikan lele dumbo ................................................................ 30
6 Hasil pengukuran Aw tepung badan ikan dan tepung kepala ikan ................ 31
7 Hasil pengukuran densitas kamba tepung badan ikan dan tepung
kepala ikan .................................................................................................. 31
8 Hasil analisis kadar air tepung badan ikan dan tepung kepala ikan .............. 33
9 Hasil analisis kadar abu tepung badan ikan dan tepung kepala ikan ............ 34
10 Hasil analisis kadar protein tepung badan ikan dan tepung kepala ikan ..... 35
11 Hasil analisis kadar lemak tepung badan ikan dan tepung kepala ikan ...... 35
12 Hasil analisis kadar karbohidrat tepung badan ikan dan tepung
kepala ikan .................................................................................................. 36
13 Biskuit formula terpilih (F4) .......................................................................... 43
14 Profil kerenyahan dan kekerasan yang diuji dengan Texture Analyzer....... 47
15 Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) .......................................................... 62
16 Ikan lele dumbo yang telah dipisahkan kepala, kulit dan badannya............. 62
17 Badan ikan lele dumbo dalam box berisi es batu selama pengangkutan..... 62
18 Kepala ikan lele dumbo dalam box berisi es batu selama pengangkutan .... 62
19 Ikan lele dumbo dalam autoklaf untuk proses pemasakan........................... 62
20 Badan ikan lele dumbo matang .................................................................... 62
21 Kepala ikan lele dumbo matang ................................................................... 62
22 Pengepresan dengan hidrolik pres ............................................................... 62
23 Ikan yang telah dipress ................................................................................ 63
24 Ikan yang sedang dikeringkan menggunakan drum dryer............................ 63
DAFTAR LAMPIRAN

1 Dokumentasi Pembuatan Tepung Ikan .......................................................... 62


2 Analisis Sifat Kimia dan Fisik ........................................................................ 64
3 Kuesioner Uji Organoleptik Biskuit untuk Panelis Dewasa............................ 69
4 Kuesioner Uji Kuesioner Uji Organoleptik Biskuit Pada anak Balita.............. 70
5 Kuesioner Uji Organoleptik Biskuit untuk Panelis Ibu Balita.......................... 71
6 Aw Tepung Ikan ............................................................................................ 72
7 Densitas Kamba Tepung Ikan ....................................................................... 72
8 Derajat Putih Tepung Ikan ............................................................................. 72
9 Kadar Air Tepung Ikan .................................................................................. 73
10 Kadar Abu Tepung Ikan .............................................................................. 73
11 Kadar Protein Tepung Ikan.......................................................................... 73
12 Kadar Lemak Tepung Ikan .......................................................................... 74
13 Kadar Karbohidrat Tepung Ikan .................................................................. 74
14 Kadar Air ISP (Isolat Protein Kedelai) dan Susu ......................................... 74
15 Kadar Abu ISP (Isolat Protein Kedelai) dan Susu ....................................... 74
16 Kadar Protein ISP (Isolat Protein Kedelai) dan Susu .................................. 75
17 Kadar Lemak ISP (Isolat Protein Kedelai) dan Susu ................................... 75
18 Kadar Karbohidrat ISP (Isolat Protein Kedelai) dan Susu ........................... 75
19 Perhitungan estimasi zat gizi biskuit formula F1 ......................................... 76
20 Perhitungan estimasi zat gizi biskuit formula F2 ......................................... 77
21 Perhitungan estimasi zat gizi biskuit formula F3 ......................................... 78
22 Perhitungan estimasi zat gizi biskuit formula F4 ......................................... 79
23 Rekapitulasi uji hedonik biskuit.................................................................... 80
24 Hasil Uji Kruskal Wallis organleptik biskuit .................................................. 81
25 Uji lanjut Tukey atribut warna organoleptik biskuit ...................................... 82
26 Uji lanjut Tukey atribut warna organoleptik biskuit ...................................... 82
27 Uji lanjut Tukey atribut rasa organoleptik biskuit ......................................... 82
28 Rekapitulasi uji penerimaan organoleptik balita ......................................... 83
29 Hasil uji Paired-Samples T-Test penerimaan organoleptik balita ............... 84
30 Rekapitulasi uji penerimaan organoleptik ibu balita .................................... 85
31 Rendemen Biskuit ....................................................................................... 86
32 Daya Serap Air Biskuit ................................................................................ 86
33 Analisis Tekstur Biskuit................................................................................ 86
34 Kadar Air Biskuit .......................................................................................... 86
35 Kadar Abu Biskuit ........................................................................................ 86
36 Kadar Protein Biskuit ................................................................................... 87
37 Kadar Lemak Biskuit ................................................................................... 87
38 Kadar Karbohidrat Biskuit ............................................................................ 87
39 Kandungan Energi Biskuit ........................................................................... 87
40 Daya Cerna Protein Biskuit ......................................................................... 87
41 Perhitungan Takaran Saji tanpa Memperhitungkan Daya Cerna Protein
Biskuit .......................................................................................................... 88
42 Perhitungan Takaran Saji dengan Memperhitungkan Daya Cerna Protein
Biskuit .......................................................................................................... 88
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Masalah gizi makro terutama masalah kurang energi protein telah
mendominasi perhatian para pakar gizi selama puluhan tahun. KEP (Kurang
Energi Protein) adalah salah satu masalah gizi kurang akibat konsumsi makanan
yang tidak cukup mengandung energi dan protein serta karena gangguan
kesehatan. Sejak sebelum merdeka sampai sekitar tahun 1960-an, masalah KEP
adalah masalah yang cukup besar di Indonesia. Saat ini masalah KEP pada
orang dewasa tidak sebesar masa lalu, kecuali pada wanita terutama di daerah
miskin. Namun pada anak-anak khususnya anak dibawah usia lima tahun
(balita), sampai sekarang KEP merupakan masalah yang masih memprihatinkan
(Soekirman 2000).
Menurut Khomsan (2004), pangan hewani merupakan sumber gizi yang
dapat diandalkan untuk mendukung perbaikan gizi masyarakat. Pangan hewani
mempunyai keunikan yang menyebabkan kelompok pangan ini tergolong
sebagai pangan bermutu tinggi. Keunikan tersebut dikarenakan pangan hewani
memiliki kandungan asam amino esensial yang lengkap, mengandung zat besi
heme yang mudah diserap, dan mempunyai nilai cerna protein yang tinggi. Ikan
sebagai bahan pangan hewani memiliki beberapa keunggulan dibandingkan
sumber protein lainnya diantaranya kandungan protein yang cukup tinggi (sekitar
20%) dalam tubuh ikan tersusun oleh asam-asam amino yang berpola mendekati
kebutuhan asam amino dalam tubuh manusia. Daging ikan juga mengandung
asam-asam lemak tak jenuh dengan kadar kolesterol yang sangat rendah yang
dibutuhkan oleh tubuh manusia. Selain itu, daging ikan mengandung sejumlah
mineral dan vitamin yang diperlukan tubuh (Adawyah 2007).
Menurut Azhar (2006), ikan lele adalah salah satu ikan air tawar yang
paling banyak diminati serta dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia dari berbagai
lapisan. Harganya yang terjangkau membuat ikan lele terdistribusi secara merata
hampir di seluruh pelosok tanah air. Salah satu jenis ikan lele yang populer di
masyarakat adalah lele dumbo (Clarias gariepinus). Lele dumbo memiliki
berbagai kelebihan sehingga lele dumbo termasuk ikan yang paling mudah
diterima masyarakat. Kelebihan tersebut diantaranya adalah pertumbuhannya
cepat, memiliki kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan yang tinggi,
rasanya enak dan kandungan gizinya cukup tinggi (Annonymous 2006).
Di samping keunggulan-keunggulan yang dimiliki, ikan juga memiliki
beberapa kekurangan, yaitu kandungan air yang tinggi (80%) dan pH tubuh ikan
yang mendekati netral menyebabkan daging ikan mudah rusak. Selain itu
kandungan asam lemak tak jenuh menyebabkan daging ikan mudah mengalami
proses oksidasi sehingga menyebabkan bau tengik. Hal-hal tersebut dapat
menghambat penggunaannya sebagai bahan pangan. Oleh karena itu diperlukan
proses pengolahan untuk menambah nilai, baik dari segi gizi, rasa, bau, bentuk,
maupun daya awetnya (Adawyah 2007).
Tepung ikan merupakan salah satu produk pengolahan hasil samping
ikan. Usaha pengolahan tepung ikan memerlukan banyak bahan baku ikan segar
dengan harga murah karena rendemennya relatif kecil. Sampai saat ini
penggunaan tepung ikan belum dilakukan secara maksimal. Kegunaan utama
tepung ikan masih sebatas bahan campuran pakan ternak (Moeljanto 1992).
Pembuatan tepung ikan berbahan dasar ikan lele dumbo dapat menjadi
suatu bentuk alternatif bahan pangan. Selain memiliki daya simpan yang cukup
lama dibandingkan dengan ikan segar, bentuk yang berupa tepung diharapkan
menjadikan tepung ikan lebih fleksibel dalam pemanfaatannya. Penggunaan
tepung ikan sebagai bahan substitusi tepung terigu pada pembuatan biskuit
merupakan salah satu alternatif penggunaan yang menjanjikan, terutama dari
segi kualitas zat gizi yang dihasilkan.
Menurut Manley (2000), biskuit merupakan makanan yang cukup populer.
Biskuit merupakan pangan praktis karena dapat dimakan kapan saja dan dengan
pengemasan yang baik, biskuit memiliki daya simpan yang relatif panjang.
Biskuit dapat dipandang sebagai media yang baik sebagai salah satu jenis
pangan yang dapat memenuhi kebutuhan khusus manusia. Berbagai jenis biskuit
telah dikembangkan untuk menghasilkan biskuit yang tidak hanya enak tapi juga
menyehatkan. Dengan menambahkan bahan pangan tertentu seperti tepung ikan
lele ke dalam proses pembuatan biskuit, dapat dihasilkan biskuit dengan nilai
tambah yang baik untuk kesehatan.
Tepung kedelai biasa digunakan sebagai komponen utama dalam
pembuatan biskuit yang tinggi protein. Penggunaan tepung kedelai juga dapat
dikatakan memperbaiki tekstur biskuit. Kedelai juga biasa digunakan sebagai
bahan baku industri pangan. Salah satu bahan baku industri dari kedelai adalah
isolat protein. Fungsi utama isolat protein kedelai dalam bahan pangan adalah
untuk memperbaiki kandungan gizi produk makanan yang diproduksi (Manley
2000).
Tujuan
Tujuan umum dari penelitian ini adalah melakukan formulasi biskuit
dengan substitusi tepung ikan lele dumbo dan isolat protein kedelai sebagai
pangan tinggi protein, sedangkan tujuan khususnya adalah:
1. Membuat tepung badan dan tepung kepala ikan lele dumbo.
2. Menganalisis sifat fisik (aw, densitas kamba dan derajat putih) dan sifat kimia
(kadar karbohidrat, kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein) tepung
ikan lele dumbo.
3. Melakukan formulasi biskuit dengan substitusi tepung ikan lele dumbo dan
tepung isolat protein kedelai.
4. Melakukan uji organoleptik untuk menentukan formula biskuit terpilih pada
panelis semi terlatih.
5. Melakukan uji organoleptik biskuit formula terpilih pada anak dan ibu balita.
6. Menganalisis sifat fisik (rendemen, densitas kamba, daya ikat air, tekstur)
dan sifat kimia (kadar karbohidrat, kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar
protein, serta daya cerna protein) formula biskuit terpilih.
7. Menganalisis kontribusi zat gizi yang dapat diberikan biskuit dengan
substitusi tepung ikan lele dan tepung isolat protein kedelai terhadap AKG
anak balita.

Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
masyarakat mengenai makanan anak balita dengan menggunakan bahan baku
ikan lele dan isolat protein kedelai yang bukan saja disukai rasanya tetapi juga
merupakan sumber protein yang sangat dibutuhkan oleh balita untuk
pertumbuhan dan perkembangan. Selain itu dengan memproduksi biskuit ini
diharapkan dapat masyarakat dapat diberdayakan.
Produk yang dihasilkan diharapkan dapat digunakan sebagai alternatif
produk pangan yang dapat berfungsi untuk memperbaiki status gizi anak. Selain
itu, penelitian ini juga dapat bermanfaat untuk meningkatkan pemanfaatan
tepung ikan dan isolat protein kedelai menjadi makanan yang mengandung
protein tinggi.
TINJAUAN PUSTAKA

Lele Dumbo (Clarias gariepinus)


Lele merupakan salah satu komoditas unggulan air tawar yang penting
dalam rangka pemenuhan peningkatan gizi masyarakat. Komoditas ini mudah
dibudidayakan dan harganya terjangkau. Oleh karena itu, produksi lele ukuran
konsumsi secara nasional mengalami kenaikan. Seperti pada tahun 2003,
kenaikan tersebut terjadi mencapai 18.3%. Ikan lele yang banyak dibudidayakan
dan dijumpai dipasaran saat ini adalah lele dumbo (Clarias gariepinus).
Sementara itu lele lokal (Clarias batracus) sudah langka dan jarang ditemukan
karena pertumbuhannya sangat lambat dibandingkan dengan lele dumbo.
Secara umum lele dumbo mirip dengan lele lokal, hanya saja ukuran lele dumbo
lebih besar dibandingkan dengan lele lokal. Lele dumbo cenderung lebih panjang
dan lebih gemuk dibandingkan lele lokal. Pada tahun 2005, lele dumbo juga
menjadi salah satu komoditi perikanan yang dijadikan komoditas unggulan pada
Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan yang dicanangkan
oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Mahyuddin 2007).
Lele dumbo termasuk ke dalam:filum Chordata, kelas Pisces, subkelas
Teleostei, ordo Ostariophysi, subordo Siluroidea, dan genus Clarias. Salah satu
Beberapa literature menyebutkan lele dumbo merupakan hasil perkawinan silang
dua spesies, yaitu antara lele betina Clarias fuscus dari Taiwan dan lele jantan
Clarias mossambicus dari Afrika. Lele dumbo memiliki ukuran yang besar,
sehingga dikenal sebagai king catfish. Salah satu varietas unggulan lele dumbo
adalah lele sangkuriang. Lele sangkuriang merupakan hasil rekayasa dari Balai
Besar Pengembangan Budi Daya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi dan talah
dilepas kepasaran melalui Keputusan Menteri No. KEP.26/MEN/2004
(Mahyuddin 2007).
Lele dumbo memiliki bentuk tubuh memanjang, agak bulat, kepala
gepeng, tidak bersisik, mulut besar, warna kelabu sampai hitam. Di sekitar mulut
terdapat bagian nasal, maksila, mandibula luar dan mandibula dalam, masing-
masing terdapat sepasang kumis. Hanya kumis bagian mandibula yang dapat
digerakkan untuk meraba makanannya. Kulit lele dumbo berlendir tidak bersisik,
berwarna hitam pada bagian punggung (dorsal) dan bagian samping (lateral).
Sirip punggung, sirip ekor, dan sirip dubur merupakan sirip tunggal, sedangkan
sirip perut dan sirip dada merupakan sirip ganda. Pada sirip dada terdapat duri
yang keras dan runcing yang disebut patil. Patil lele dumbo tidak beracun
(Suyanto 2007). Gambar morfologi ikan lele dumbo dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Karakteristik Morfologi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)


Ikan lele termasuk jenis ikan karnivora dan karena menyukai makanan
yang busuk maka digolongkan juga sebagai scavenger. Ikan lele bersifat
nocturnal karena aktif mencari mangsa pada malam hari atau lebih menyukai
tempat gelap. Pada siang hari ikan lele lebih suka diam dalam lubang-lubang
atau tempat-tempat yang terlindung (Suyanto 2007).
Menurut Astawan (2008) lele dumbo banyak ditemukan di rawa-rawa dan
sungai di Afrika, terutama di dataran rendah sampai sedikit payau. Ikan ini
mempunyai alat pernapasan tambahan yang disebut abrorescent, sehingga
mampu hidup dalam air yang oksigennya rendah.
Protein ikan adalah protein yang istimewa karena bukan hanya berfungsi
sebagai penambah jumlah protein yang dikonsumsi, tetapi juga sebagai
pelengkap mutu protein dalam menu. Komposisi gizi ikan lele disajikan pada
Tabel 1 Komposisi gizi ikan lele
Zat Gizi Kandungan
Protein (%) 17,7
Lemak (%) 4,8
Mineral (%) 1,2
Air (%) 76
Karbohidrat (%) 0,3
Sumber: Vaas 1956 dalam Astawan 2008
Protein ikan lele juga mengandung semua asam amino esensial dalam
jumlah yang cukup. Susunan asam amino ikan lele disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Susunan asam amino esensial ikan lele
Asam amino % protein
Arginin 6,3
Histidin 2,8
Asoleusin 4,3
Leusin 9,5
Lisin 10,5
Metionin 1,4
Fenilalanin 4,8
Treonin 4,8
Valin 4,7
Triptofan 0,8
Total esensial 49,9
Nonesensial 50,1
Sumber: FAO 1972 dalam Astawan 2008

Protein Ikan
Menurut Hadiwiyoto (1993), protein yang terdapat pada daging ikan,
berdasarkan sifat kelarutannya dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu protein
sarkoplasma yang larut dalam air, protein miofibrillar yang larut dalam air garam
dan protein stoma yang larut dalam alkali. Jumlah masing-masing kelompok
akan berbeda berdasarkan spesiesnya. Lebih jauh lagi jumlah yang dapat
diekstraksi bergantung pada proses penghancuran, pencampuran, pH, dan
tingkat denaturasi selama penyimpanan dan pengolahan (Sikorski et al. 1990).
Protein sarkoplasma merupakan penamaan terhadap protein yang
terdapat dalam sarkolema. Sarkolema merupakan kompleks cairan yang
terdapat dalam endomisium yang memisahkan antara satu miofibril dengan
miofibril lainnya (Pearrson dan Young 1989). Di samping mengandung asam
nukleat, lipoprotein dan darah, kebanyakan protein sarkolema ini merupakan
enzim (Sikorski et al. 1990). Pada waktu ikan masih hidup, enzimenzim tersebut
berfungsi dalam sintesa senyawasenyawa yang diperlukan tubuh. Setelah ikan
mati, fungsi enzimenzim tersebut berubah menjadi perusak tubuh ikan
(Hadiwijoyoto 1993). Walaupun tidak lebih rendah nilai gizinya dibanding dengan
protein miofibrillar namun karena sifatnya yang dapat merugikan, protein ini
dibuang selama penyucian daging lumat pada pembuatan surimi (Suzuki 1991).
Protein miofibrillar adalah protein yang menyusun miofibril dan
merupakan unit struktur dasar yang bertanggung jawab terhadap kontraksi
selama pergerakan (Pearson dan Young 1989). Protein ini terutama sekali terdiri
dari miosin aktin, dan protein pengatur seperti troponin, tropomiosin, dan aktinin.
Miosin merupakan komponen utama protein miofibrillar dan menyusun antara 50-
56% dari keseluruhan protein miofibrillar. Kandungan aktin lebih sedikit yaitu
antara 15-20%, sedangkan troponin, tropomiosin, dan aktinin hanya menyusun
sekitar 10% (Sikorski et al. 1990). Miofibril juga disusun oleh protein sitoskeletal,
namun persentasenya lebih kecil (Pearson dan Young 1989).
Residu setelah semua protein sarkoplasma dan miofibrillar diekstrak
adalah stroma yang merupakan jaringan pengikat. Komponen stroma terdiri dari
kolagen dan elastin (Sikorski et al. 1990). Disamping terdapat dalam urat daging,
protein ini terikat juga pada tulang, gigi, jaringan mukosa, lapisan luar organ
dalam, dan pada sistem kardiovaskular (Pearson dan Young 1989).
Kandungan protein ikan erat kaitannya dengan kandungan lemak dan
airnya. Ikan yang mengandung lemak rendah rata-rata memiliki protein dalam
jumlah besar, sedangkan pada ikan gemuk sebaliknya. Kandungan protein ikan
umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan hewan darat yang akan
menghasilkan kalori lebih tinggi. Dalam tubuh manusia protein memegang
peranan penting dalam pembentukan jaringan. Kandungan asam amino esensial
pada daging ikan dapat dikatakan sempurna, artinya semua jenis asam amino
esensial terdapat pada daging ikan, tetapi perlu diperhatikan beberapa asam
amino tidak mencukupi kebutuhan manusia diantaranya fenilalanin, triptofan, dan
metionin. Kandungan protein pada daging ikan cukup tinggi dan berpola
mendekati pola kebutuhan asam amino di dalam tubuh manusia. Iakn
mempunyai nilai biologis yang tinggi. Berdasarkan hasil penelitian daging ikan
mempunyai nilai biologis sebesar 90% (Adawyah 2007).
Tepung Ikan
Ilyas (2003) menyatakan, tepung ikan adalah produk padat yang
dihasilkan dengan jalan mengeluarkan sebagian besar air dan sebagian atau
seluruh lemak dalam ikan atau sisa ikan. Tepung ikan merupakan salah satu
hasil pengawetan ikan dalam bentuk kering untuk kemudian digiling menjadi
tepung. Cara pengolahan yang paling mudah dan praktis adalah dengan
mencincang ikan kemudian mengeringkannya dengan sinar matahari atau
dengan mengeringan mekanis.
Pembuatan tepung ikan didasarkan pada pengurangan kadar air pada
daging ikan. Kadar air pada daging ikan hal yang menentukan pada proses
pembusukan. Bila kadar airnya dikurangi maka proses pembusukan dapat
terhambat. Bila proses pengeringannya berjalan terus menerus, maka proses
pembusukannya akan berhenti. Pada pembuatan tepung ikan selain
menggunakan metode pengeringan dapat didahului dengan pemanasan suhu
tinggi. Hal ini digunakan untuk menghentikan proses pembusukan, baik oleh
bakteri, jamur, maupun enzim. Proses pembusukan dapat dihentikan sama sekali
bila waktu dan suhu yang digunakan cukup (Moeljanto 1982b).
Menurut Departemen Perdagangan (1982), tepung ikan memiliki nilai gizi
yang tinggi terutama kandungan proteinnya yang kaya akan asam amino
essensial, terutama lisin dan metionin. Disamping itu tepung ikan juga kaya akan
vitamin B, mineral, serta memiliki kandungan serat yang rendah. Tepung ikan
merupakan juga merupakan sumber kalsium (Ca) dan phospor (P). Tepung ikan
juga mengandung trace element seperti seng (Zn), yodium (I), besi (Fe), mangan
(Mn) dan kobalt (Co) (Moeljanto 1982a).
Usaha pembuatan tepung ikan dapat menggunakan limbah ikan karena
relatif murah dan mudah didapat, juga menggunakan peralatan yang sederhana
(LIPI 1999). Sebagian produksi tepung ikan dunia digunakan untuk makanan
ternak. Karena banyak pabrik tepung ikan dibangun di negara-negara yang telah
maju industri perikanannya, biasanya tepung ikan dijual dalam bentuk siap pakai.
Tepung ikan yang bermutu baik harus mempunyai sifat-sifat berikut: butiran-
butirannya agak seragam, bebas dari sisa-sisa tulang, mata ikan dan benda-
benda asing lainnya.
Menurut Ilyas (1993), urutan pengolahan tepung ikan adalah
pencincangan, pemasakan, pengpresan, pengeringan, dan penggilingan.Tepung
ikan yang baru selesai diolah biasanya berwarna abu-abu kehijauan. Setelah
disimpan, terutama dalam suhu tinggi, warnanya berubah menjadi cokelat
kekuningan. Akan tetapi perubahan ini tidak mempengaruhi nilai gizinya. Baunya
seperti ikan yang lama-kelamaan menjadi tengik (Moeljanto 1982a).
Komposisi kimia yang ada dalam tepung ikan tidak jauh berbeda dengan
yang ada dalam ikan sebagai bahan bakunya, yaitu air, protein, lemak, mineral
dan vitamin serta senyawa-senyawa nitrogen lainnya. Namun setelah mengalami
pengolahan, komposisi kimia dalam tepung ikan menjadi berubah, terutama
akibat terjadinya pengurangan kadar minyak, kadar air dan kerusakan
(perubahan) senyawa kimia tertentu terutama dalam pemanasan (thermo
processing) (Sunarya 1990). Komposisi kimia tepung ikan juga ditentukan oleh
jenis ikan, mutu bahan baku yang digunakan dan cara pengolahannya (Brody di
dalam Hapsari 2002).
Menurut LIPI (1999), komposisi kimia tepung ikan ditentukan oleh jenis
ikan yang digunakan. Sebagai pedoman, tepung ikan yang bermutu harus
mempunyai komposisi sebagai berikut:
- air (moisture) 6%-10%
- lemak 5%-12%
- protein 60%-75%
- abu 10%-20%
Menurut Moljanto (1982), jarang dijumpai tepung ikan dengan kadar air
kurang dari 6% sebab pada tingkat ini tepung ikan bersifat higroskopis. Brody di
dalam Hapsari (2002) mengatakan kadar air tepung ikan rata-rata 18% dengan
selang terendah 6 sampai 10%. Sejenis jamur (mold) dapat tumbuh pada kadar
air tepung ikan.
Tepung ikan dengan kadar protein tinggi menghasilkan kadar mineral
sekitar 12% dan 33% untuk kadar protein yang rendah. Sebagian besar abu dan
mineral dalam tepung ikan berasal dari tepung-tepung ikan. Kadar mineral
tepung akan tinggi bila bahan mentahnya berasal dari sisa-sisa ikan berupa
kepala dan tulang-tulang ikan. Sebagian besar abu berupa kalsium fosfat.
Tepung ikan juga mengandung trace element, diantaranya Zn, I, Fe, Cu, Mn, dan
Co (Moljanto 1982).
Menurut Ilyas (2003) tepung akan lebih baik mutunya bila bahan mentah
yang dipakai terdiri dari ikan yang tidak berlemak (lean fish). Jika bahan mentah
berasal dari ikan yang berlemak, tepung yang dihasilkan akan banyak
mengandung lemak. Kebanyakan tepung ikan mengandung lemak 5-10% dan
protein sebesar 60-65%.
Kedelai
Kedelai (Glysine max (L.) Merr) termasuk ordo Polypetales, famili
Leguminosae, sub famili Papilionaceae dan genus Glysin L. (Bunasor 1988).
Secara umum, biji kedelai terdiri dari kulit biji (hull) dan dua keping biji
(cotyledons). Keping biji merupakan bagian utama biji dan di bagian inilah
minyak dan protein kedelai tersimpan. Kulit biji menyatukan kedua keping biji dan
sekaligus memberikan perlindungan. Selanjutnya kulit biji dapat dipisahkan dari
biji dengan menggunakan prinsip aspirasi.
Matthews (1989), menyatakan bahwa kedelai merupakan salah satu
sumber protein nabati yang cukup potensial untuk dikembangkan karena
kandungan protein dan lemaknya yang tinggi, yaitu 40% dan 21%. Komposisi
kimia biji kedelai dan bagiannya diperlihatkan pada Tabel 3 dan Tabel 4.
Tabel 3 Komposisi kimia kedelai
Komponen Komposisi
Kalori (Kal) 331.0
Air (%) 7.5

Protein (%) 34.9

Lemak (%) 18.1

Karbohidrat (%) 34.8


Kalsium (mg/100 g) 227.0
Fosfor (mg/100 g) 585.0

Besi (mg/100 g) 8.0


Vitamin A (SI/100 g) 110.0
Vitamin B (SI/100 g) 1.07

Sumber: Direktorat Gizi Depkes RI 1972 dalam Koswara 1995

Tabel 4 Komposisi proksimat bagian biji kedelai


Persen berat kering (%bk)
Bagian biji Proporsi berat biji
Protein Lemak Karbohidrat Abu
Kotiledon 90 43 32 43 5
Kulit biji 8 9 86 86 4.3
Hipokotil 2 1 43 43 4.4
Sumber: Cheftel et al. 1985

Citarasa langu (beany flavor) merupakan hambatan utama dalam usaha


introduksi makanan asal kedelai. Menurut Wilkens et al., (1967) fenomena ini
timbul disebabkan oleh adanya reaksi enzim lipoksigenase yang dapat
menghidrolisa asam lemak tidak jenuh menghasilkan senyawa volatil. Kelanguan
pada kedelai timbul bila terdapat tiga kondisi yaitu adanya air, udara, dan sel
kedelai yang pecah. Untuk mencegah senyawa volatil tersebut Spata et al.,
(1974) melakukan inaktivasi enzim lipoksigenase secara in situ dengan
perendaman dan perebusan yang disebut parboiling. Aktivitas enzim ini juga
terhambat pada pH rendah, sehingga bila kedelai digiling pada pH rendah
lipoksigenase tidak dapat mengkatalisa oksidasi asam tidak jenuh ganda (PUFA)
sehingga pembentukkan senyawa volatil menjadi terhambat. Usaha lain untuk
mendapatkan produk kedelai yang bebas langu ialah mengekstrak semua lipid
yang terkandung pada kedelai. Akan tetapi hal ini tidak mudah sebab walaupun
sebagian besar lemak dapat diekstrak dengan pelarut lemak masih tersisa
bound lipid yang merupakan residu lipid yang sulit diekstrak karena terikat pada
protein kedelai.
Isolat Protein Kedelai
Isolat protein kedelai merupakan bentuk protein kedelai yang paling
murni, karena kadar protein minimumnya 95% dalam berat kering. Produk ini
hampir bebas dari karbohidrat, serat, dan lemak sehingga sifat fungsionalnya
jauh lebih baik dibandingkan dengan konsentrat protein maupun tepung atau
bubuk kedelai. Isolat protein kedelai dapat dibuat dari tepung kedelai bebas
lemak maupun biji kedelai utuh. Isolat protein baik sekali digunakan dalam
formulasi makanan, karena dapat berfungsi sebagai pengikat dan pengemulsi
Selain itu, isolat protein kedelai juga dapat berfungsi sebagai zat additif untuk
memperbaiki penampakan produk, tekstur, serta flavor produk. Penggunaan
isolat protein kedelai sangatlah luas, diantaranya dapat dipakai dalam
pembuatan keju, susu, es krim, daging sintetik, roti, dan biscuit (Koswara 1995).
Protein kedelai dapat membantu pembentukan emulsi minyak dalam air
dan bila emulsi ini telah terbentuk, protein kedelai akan menstabilkanya.
Stabilitas emulsi penting, karena emulsifier yang baik tergantung kemampuannya
memelihara sistem emulsi pada saat mengalami pemanasan atau pemasakan.
Isolat protein kedelai banyak digunakan sebagai emulsifier pada sosis, produk
bakery, dan sup (Koswara 1995).
Isolat protein kedelai mempunyai kemampuan dalam menyerap lemak
atau minyak. Kemampuan ini digunakan untuk dua tujuan. Pertama, untuk
meningkatkan penyerapan lemak hingga dapat mengurangi kehilangan sari
karena pemasakan dan menjaga stabilitas dimensinya. Tujuan kedua adalah
untuk mencegah penyerapan minyak yang berlebihan. Hal ini disebabkan isolat
protein kedelai dapat terdenaturasi oleh panas membentuk semacam lapisan
(coating) pada permukaan bahan sehingga menghalangi penetrasi lemak
(Koswara 1995).
Isolat protein kedelai juga memiliki kemampuan daya serap air yang
tinggi. Hal ini disebabkan protein kedelai bersifat hidrofilik (suka air) dan
mempunyai celah-celah polar seperti gugus karboksil dan amino yang dapat
mengion. Adanya kemampuan mengion ini menyebabkan daya serap air isolat
protein kedelai dipengaruhi oleh pH makanan. Daya serap air isolat protein
kedelai sangat penting peranannya dalam makanan panggang (baked goods)
karena dapat meningkatkan rendemen adonan dan memudahkan
penanganannya. Disamping itu, sifat menahan air akan memperlama kesegaran
makanan, misalnya pada biskuit dan roti (Koswara 1995).
Protein
Protein adalah molekul makro yang mempunyai berat molekul antara lima
ribu hingga beberapa juta. Semua enzim, berbagai hormon, pengangkut zat-zat
gizi, dan darah, matriks intraseluler dan sebagainya adalah protein. Di samping
itu asam amino yang membentuk protein bertindak sebagai precursor sebagian
besar koenzim, hormon, asam nukleat, dan molekul-molekul esensial untuk
kehidupan. Protein terdiri atas rantai-rantai panjang asam amino, tang terikat
satu sama lain dalam ikatan peptide. Asam amino terdiri atas unsur-unsur
karbon, hidrogen, oksigen, dan nitrogen; beberapa asam amino disamping itu
mengandung unsur-unsur fosfor, besi, iodium, dan kobalt. Unsur nitrogen adalah
unsur utama protein, karena terdapat didalam semua protein akan tetapi tidak
terdapat didalam karbohidrat dan lemak (Almatsier 2003).
Menurut Lehningher (1992), secara umum tingkat organisasi protein
dikategorikan dalam empat kelas, yaitu :
1. Struktur primer. Ini adalah urutan asam amino dalam rantai polipeptida dan
letak suatu jembatan disulfida di dalam rantai protein. Struktur protein
diselenggarakan ikatan-ikatan peptida yang kovalen.
2. Struktur sekunder. Hal ini mengacu pada banyaknya struktur -heliks atau
lembaran berlipatan- setempat yang beraturan dan berhubungan dengan
struktur protein secara keseluruhan. Struktur sekunder protein
diselenggarakan oleh ikatan hidrogen dengan oksigen karbonil dan nitrogen
amida dari rantai polipeptida.
3. Struktur tersier. Hal ini mengacu pada cara protein globolar dilekuk dan dilipat
untuk membentuk struktur tiga dimensi. Struktur tersier diselenggrakan oleh
interaksi antara gugus-gugus R dari asam amino.
4. Struktur kuarterner. Banyak protein yang terdiri dari oligomeratau molekul
besar terbentuk dari pengumpulan khas dari subsatuan yang identik atau
berlainan yang dikenal dengan protomer. Penyusunan protomer dalam
protein oligomer merupakan struktur kuarterner. Protein yang memiliki bobot
molekul lebih dari 50.000 sering terkait dua atau lebih rantai polipeptida,
misalnya hemoglobin.
Mutu Protein
Menurut Almatsier (2003) mutu protein ditentukan oleh jenis dan proporsi
asam amino yang dikandungnya. Protein komplet atau protein dengan nilai
biologis tinggi atau bermutu tinggi adalah protein yang mengandung semua jenis
asam amino esensial dalam proporsi yang sesuai untuk keperluan pertumbuhan.
Semua protein hewani, kecuali gelatin merupakan protein komplit.
Protein tidak komplit, atau protein bermutu rendah adalah protein yang
tidak mengandung atau mengandung dalam jumlah kurang satu atau lebih asam
amino esensial. Sebagian besar protein nabati kecuali kacang kedelai dan
kacang-kacangan lain merupakan protein tidak komplit.
Daya Cerna Protein
Nilai gizi dari suatu bahan pangan ditentukan bukan saja oleh kadar
nutrien yang dikandungnya, tetapi juga oleh dapat tidaknya nutrien tersebut
digunakan oleh tubuh. Protein yang mudah dicerna menunjukkan tingginya
jumlah asam-asam amino yang dapat diserap oleh tubuh dan begitu juga
sebaliknya. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi daya cerna protein
dalam tubuh adalah kondisi fisik dan kimia bahan. Makin keras bahan, maka
akan menurunkan daya cernanya dalam tubuh karena adanya ikatan kompleks
yang terdapat di dalam bahan yang sifatnya semakin kuat. Ikatan ini dapat
berupa ikatan antar molekul protein, ikatan protein-fitat, dan sebaginya.
Sedangkan kondisi kimia yaitu adanya senyawa anti gizi seperti tripsin inhibitor
dan fitat (Muchtadi 1989).
Adapun mutu cerna protein dari beberapa protein pangan pada manusia
disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Mutu cerna protein beberapa protein pangan pada manusia
Sumber Protein Mutu Cerna (%) Sumber Protein Mutu Cerna (%)
Telur 97 Susu, keju 95
Daging, ikan 94 Rice (polished) 88
Kacang tanah 94 Tepung kedelai 86
Jagung, sereal 70 Beans 78
Millet 79 Isolat protein kedelai 95
Wheat whole 86 Oatmeal 86
Wheat flour, white 96 Gluten gandum 99
Rice cereal 75 Wheat,cereal 77
Maize 85 Peas 88
Sumber : FAO/WHO/UNU 1995

Mutu cerna protein hewani seperti daging, ikan dan susu umumnya
sekitar 90-100%, karena proteinya mudah dicerna oleh tubuh, sedangkan mutu
cerna bahan pangan nabati seperti sayuran antara 60-80%. Perbedaan ini bukan
disebabkan oleh perbedaan kandungan asam amino yang dikandungnya tetapi
karena perbedaan kandungan selulosa dan bahan lain yang melindungi protein
(Khumaidi 1987).
Makanan Balita
Menurut Khomsan (2004) bayi sampai anak berusia 5 tahun yang lazim
disebut balita termasuk sebagai golongan penduduk yang rawan terhadap
kekurangan zat gizi termasuk KEP. Terjadinya gizi kurang pada anak balita tidak
selalu didahului dengan terjadinya bencana kurang pangan dan keaparan
sehingga upaya penangulangannya memerlukan pendekatan. Salah satunya
adalah dengan memperbaiki aspek makanan.
Menurut Wiyati (2004), anak balita atau disebut juga anak prasekolah
adalah anak-anak yang berumur di bawah 5 tahun. Anak balita merupakan salah
satu sasaran utama program gizi. Sejak usia tertentu, disamping ASI (air susu
ibu) anak balita juga diberi makanan tambahan. Makanan tambahan adalah
makanan yang diberikan untuk membantu mencukupi kebutuhan akan zat gizi
yang diperlukan. Agar dapat memenuhi fungsinya, makanan tambahan bermutu
baik (Hermana 1985 dalam Wiyati 2004).
FAO/WHO (1994) telah menerbitkan petunjuk mengenai pengembangan
formula makanan bagi anak balita. Disebutkan bahwa energi yang dapat
disajikan tiap 100 gram produk, minimal sebanyak 400 Kal. Komposisi zat gizi
dari formula makanan tambahan untuk anak balita dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Komposisi zat gizi formula makanan tambahan
Zat Gizi Jumlah per 100 g
Energi (kal) 400
Protein (g) 15
Lemak (g) 10-25
Vitamin A (g RE) 266.7
Vitamin D (g) 6.7
Vitamin E (mg) 3.3
Vitamin C (mg) 13.3
Tiamin (mg) 0.3
Riboflavin (mg) 0.5
Niasin (mg) 6
Vitamin B6 (g) 0.6
Asam Folat (g) 33.3
Vitamin B12 (g) 0.7
Kalsium (mg) 533.3
Besi (mg) 8
Zink (mg) 6.67
Sumber: FAO/WHO 1994
Semakin meningkat usia anak balita, semakin meningkat meningkat pula
kebutuhan akan zat-zat gizi yang harus tersedia dalam makanan. Angka
kecukupan zat gizi rata-rata yang dianjurkan untuk bayi dan anak balita terlihat
pada Tabel 7.
Tabel 7 Angka kecukupan zat gizi rata-rata yang dianjurkan untuk bayi dan anak
balita (per orang per hari)
Golongan Umur
0-6 bulan 7-11 bulan 1-3 tahun 4-6 tahun
Berat Badan (kg) 6.0 8.5 12 18
Tinggi Badan (cm) 60 71 90 110
Energi (kkal) 550 650 1000 1550
Protein (g) 10 16 25 39
Vitamin A (RE, g) 375 400 400 450
Tiamin (mg) 0.2 0.4 0.5 0.8
Riboflavin (mg) 0.3 0.4 0.5 0.6
Piridoksin (mg) 0.1 0.3 0.5 0.6
Niacin (mg) 2 4 6 8
Vitamin B12 (mg) 0.4 0.5 0.9 1.2
Asam Folat (mg) 65 80 150 200
Vitamin C (mg) 40 50 40 45
Kalsium (mg) 200 400 500 500
Fosfor (mg) 100 225 400 400
Besi (mg) 0.3 10 7 8
Seng (mg) 5.5 7.5 8.2 9.7
Iodium (g) 90 120 90 120
Sumber: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII 2004

Biskuit
Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), biskuit adalah sejenis
makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan
lain, dengan proses pemanasan dan pencetakan. Biskuit diproses dengan
pemanggangan sampai kadar air tidak lebih dari 5%. Biskuit sifatnya mudah
dibawa karena volume dan beratnya yang kecil dan umur simpannya yang relatif
lama. Biskuit dapat dikarakterisasi dari tingginya kandungan gula dan shortening
serta rendahnya kandungan air di dalam adonan (Faridi dan Faubion 1990).
Biskuit yang baik harus memenuhi syarat mutu yang ditetapkan SNI 01-
2973-1992 seperti yang terdapat pada tabel 8. Selain itu biskuit umumnya
berwarna cokelat keemasan, permukaan agak licin, bentuk dan kuran seragam,
kering, renyah dan ringan serta aroma yang menyenangkan (Matz dan Matz
1978).
Tabel 8 Syarat mutu biskuit
Komponen Syarat Mutu
Air Maksimum 5%
Protein Minimum 9%
Lemak Minimum 9.5%
Karbohidrat Minimum 70%
Abu Maksimum 1.5%
Logam Berbahaya Negatif
Serat Kasar Maksimum 0.5%
Kalori (per 100 gr) Minimum 400
Jenis Tepung Terigu
Bau dan Rasa Normal, tidak tengik
Warna Normal
Sumber: Standar Nasional Indonesia 1992

Menurut Manley (1983), biskuit diklasifikasikan berdasarkan beberapa


sifat, yaitu: (1) tekstur dan kekerasan; (2) perubahan bentuk akibat
pemanggangan; (3) ekstensibilitas adonan; dan (4) pembentukan produk. Biskuit
digolongkan juga menurut sifat adonannya, yaitu adonan pendek atau lunak,
adonan keras, dan adonan fermentasi. Pada adonan lunak, gluten tidak sampai
mengembang akibat shortening efek dari lemak dan efek pelunakan dari gula
atau kristal sukrosa. Pada adonan keras gluten mengembang sampai batas
tertentu dengan penambahan air. Pada adonan fermentasi gluten mengembang
penuh karena air yang ditambahkan, sehingga memungkinkan kondisi tersebut
yang berakibat pada perubahan bentuk akhir dengan penyusutan panjang
setelah pencetakan dan pembakaran (Sunaryo 1985).
Jenis adonan lunak memiliki kadar gula 25-40% dan kadar lemak 15%,
contohnya adalah biskuit glukosa, biskuit krim, biskuit jahe, biskuit buah, dan
biskuit kacang. Pada adonan keras terjadi pengikatan pati dengan protein,
pelarutan gula, garam, pengembang, dan dispersi lemak ke seluruh bagian
adonan. Mengandung kadar gula 20% dan kadar lemak 12-15%, contohnya
adalah biskuit marie dan rich tea. Pada adonan fermentasi produk akhir memiliki
kerenyahan tertentu. Kadar gula rendah dan kadar lemak 25-30%, contohnya
adalah biskuit krekers (Sunaryo 1985).
Bahan baku utama untuk pembuatan biskuit adalah terigu, gula, minyak
dan lemak, sedangkan bahan bahan pembantu yang digunakan adalah garam,
susu, flavor, pewarna, pengembang, ragi, air, dan pengemulsi. Bahan
pembentuk biskuit dapat dikelompokan menjadi dua jenis, yaitu bahan pengikat
dan bahan perapuh. Bahan pengikat berfungsi membentuk adonan yang
kompak. Sedangkan bahan perapuh terdiri dari gula, shortening, bahan
pengembang dan kuning telur (Matz dan Matz 1978).
Menurut Veil et al., (1978) mutu biskuit tergantung pada komponen
pembentuknya dan penanganan bahan sebelum dan sesudah proses produksi.
Penyimpangan mutu akhir dapat terjadi akibat penggunaan bahan-bahan tidak
dalam proporsi dan cara pembuatan yang tepat (Tabel 9).
Tabel 9 Jenis-jenis penyimpangan yang dapat terjadi dan penyebabnya pada
pembuatan biskuit
Jenis Penyimpangan Penyebab
Kurang lemak
Keras
Kurang air
Warna pucat
Proporsi bahan kurang tepat
Oven kurang panas
Pencampuran tidak rata
Bentuk tidak rata Penanganan tidak hati-hati
Panas tidak merata
Bentuk tidak rata
Warna tidak rata
Panas tidak rata
Hambar Proporsi bahan pembentuk tidak seimbang
Keras dan poros Pencampuran tidak tepat
Adonan terlalu keras dan kenyal
Keras dan kering
Penanganan terlalu lama
Sumber: Vail et al. 1978

Bahan Baku Biskuit


Tepung. Menurut Sultan (1983), tepung merupakan komponen
pembentuk struktur dalam pembuatan biskuit, juga memegang peran penting
dalam citarasa. Selainitu menurut Matz dan Matz (1978) tepung terigu juga
berfungsi untuk mengikat bahan lain dan mendistribusikannya secara merata.
Untuk membuat biskuit yang baik, maka tepung terigu yang paling sesuai adalah
tepung terigu lunak dengan kadar protein sekitar 8% dan kadar gluten yang tidak
terlalu banyak (Vail et al. 1978).
Lemak. Lemak merupakan komponen penting dalam pembuatan biskuit
karena berfungsi sebagai bahan pengemulsi sehingga menghasilkan tekstur
produk yang renyah. Lemak juga perperan dalam pembentukan citarasa khas
biskuit. Lemak alami yang banyak digunakan dalam pembuatan biskuit antara
lain adalah lard, lemak sapi, butter, minyak kedelai, dan minyak kelapa. Selain
pengunaan lemak alami, lemak yang telah dimodifikasi seperti hidrogenasi
minyak dan interesterifikasi lemak juga biasa digunakan sebagai pengemulsi
dalam pembuatan biskuit.(Matz dan Matz 1978).
Telur. Fungsi telur dalam penyelenggaraan gizi kuliner adalah sebagai
pengental, perekat atau pengikat. Telur juga berfungsi sebagai pelembut atau
pengempuk dan pengembang suatu masakan, di samping sebagai penambah
aroma dan zat gizi (Tarwotjo 1998). Dalam pembuatan biskuit, fungsi utama
telur adalah sebagai pengemulsi untuk mempertahankan kestabilan adonan.
Selain itu, telur juga berperan meningkatkan dan menguatkan flavor, warna, dan
kelembutan biskuit. (Matz dan Matz 1978). Menurut Winarno (1997), senyawa
yang berfungsi sebagai emulsifier adalah lesitin dan cephalin yang merupakan
lemak telur, khususnya fosfolipida.
Gula. Gula dalam pembuatan biskuit berfungsi sebagai pemberi rasa
manis, pelunak gluten, membentuk flavor dan membentuk warna coklat pada
biskuit melalui reaksi pencoklatan non-enzimatis. Jumlah gula yang ditambahkan
harus tepat, bila terlalu banyak maka adonan biskuit akan menjadi lengket dan
menempel pada cetakan, biskuit menjadi keras, dan rasanya akan terlalu manis.
Jenis gula yang biasa digunakan dalam pembuatan biskuit adalah sukrosa. Gula
yang digunakan biasanya berbentuk gula halus atau gula pasir (Matz dan Matz
1978).
Susu. Fungsi susu dalam pembuatan biskuit adalah dalam pembentukan
warna, pembentuk flavor, bahan pengisi dan pengikat air. Susu bubuk lebih
banyak digunakan karena leih mudah penanganannya dan mempunyai daya
simpan yang cukup lama. Susu dapat meningkatkan kandungan energi biskuit
karena adanya lemak dan gula alami (laktosa) (Matz dan Matz 1978)
Bahan Pengembang. Menurut Manley (1983), fungsi bahan pengembang
(leavening agent) adalah untuk mengembangkan produk yang pada prinsipnya
adalah menghasilkan gas karbondioksida. Bahan pengembang yang umumnya
digunakan dalam pembuatan biskuit adalah baking powder dan ammonium
bikarbonat (soda kue). Menurut Wheat Associates (1981) dalam Rieuwpassa
(2005) fungsi baking powder adalah melepaskan gas hingga jenuh dengan gas
CO2 lalu dengan teratur melepaskan gas selama pemanggangan agar adonan
mengembang sempurna, menjaga penyusutan, dan untuk menyeragamkan
remah. Baking powder adalah bahan peragi hasil reaksi antara asam dan sodium
bikarbonat. Asam yang biasanya digunakan adalah tartrat, fosfat dan sulfat.
Menurut Manley (2000), penggunaan amonium bikarbonat (baking powder)
ditemukan dalam 93% resep biskuit, dimana rata-rata digunakan sebesar 0.47%
dan dengan rentang antara 0.04% sampai dengan 1.77%. Sedangkan Sodium
bikarbonat (soda kue) ditemukan dalam 96% resep biskuit, dan rata-rata
digunakan antara 0.18% sampai dengan 1.92%.

Proses Pembuatan Biskuit


Menurut Sunaryo (1985), pembuatan biskuit terdiri dari persiapan bahan,
pencampuran dan pengadukan, pembuatan lembar adonan, dan
pemanggangan. Proses pembuatan biskuit secara umum dikategorikan dalam
dua cara, yaitu metode krim dan metode all-in. Pada metode krim, gula dan
lemak dicampur sampai terbentuk krim homogen. Selanjutnya dilakukan
penambahan susu ke dalam krim dn pencampurannya dilakukan secara singkat.
Pada tahap akhir tepung dan sisa air kemudian dilakukan pengadukan sampai
terbentuk adonan yang cukup mengembang dan mudah dibentuk. Metode kedua
yaitu all-in, pada metode ini semua bahan dicampur secara bersamaan. Metode
ini lebih cepat namun adonan yang dihasilkan lebih padat dan keras daripada
adonan pada metode krim (Whiteley 1971).
Bahan baku biskuit yang digunakan dalam persiapan bahan harus bebas
dari kotoran, batu, komponen mikroba, serangga, dan tikus. Setelah bahan siap
dilakukan pencampuran dilanjutkan dengan pengadukan. Faktor-faktor yang
harus diperhatikan dalam pencampuran adalah jumlah adonan, lama
pencampuran, dan kecepatan pengadukan. Pengadukan yang berlebihan akan
merusak susunan gluten dan akan membuat adonan menjadi panas sehingga
merusak tekstur biskuit serta menyebabkan retak pada permukaan biskuit saat
pemanggangan. Sebaliknya jika waktu pengadukan kurang makaadonan akan
kurang menyerap air sehingga adonan kurang elastis (Sunaryo 1985).
Tahap yang dilakukan setelah adonan jadi adalah pembuatan lembaran
adonan dan pencetakan. Pembuatan lembaran adonan dilakukan dengan
menggunakan kayu penggiling (rolling pin). Hal ini bertujuan untuk mengubah
bentuk adonan hingga lebih mudah untuk dicetak dan seragam ketebalannya.
Pembuatan lembaran sebaiknya dilakukan sesegera mungkin setelah proses
pencampuran adonan agar adonan dapat dibentuk menjadi lembaran pada saat
pengembangan yang optimal. Pelempengan berlangsung secara berulang-ulang
agar dihasilkan lembaran adonan yang halus dan kompak (Sunaryo 1985).
Menurut Sultan (1992), ukuran biskuit yang telah dicetak haruslah sama,
agar ketika dioven biskuit matang secara merata dan tidak hangus.Untuk
mencegah lengketnya biskuit pada loyang, biasanya pada loyang dileskan sedikit
lemak atau dilapisi dengan kertas roti.
Banyak faktor yang mempengaruhi pemanggangan biskuit, diantaranya
tipe oven yang digunakan, metode pemanasan, dan tipe bahan yang digunakan.
Pada proses pemanggangan kadar air adonan berkurang dari 20% menjadi lebih
kecil dari 5%. Pemanggangan biskuit dilakukan selama 2.5 sampai 30 menit.
Makin sedikit kandungan gula dan lemak dalam adonan, biskuit dapat dibakar
pada suhu yang lebih tinggi (Sunaryo 1985).
METODE

Waktu dan Tempat


Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2009 sampai bulan
Agustus 2009 yang merupakan bagian dari penelitian Hibah Kemitraan Studi
Efikasi Makanan Fungsional Berbasis Tepung Ikan dan Probiotik untuk
Meningkatkan daya Tahan Tubuh Anak Balita Rawan Gizi. Pembuatan tepung
ikan dilakukan di Laboratorium Pilot plant, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor, sedangkan pembuatan biskuit bertempat di Laboratorium
Pengolahan Pangan, dan untuk analisis kimia dan fisik tepung ikan dan biskuit
bertempat di Laboratorium Analisis Makanan. Keduanya berada dibawah
Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian
Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam pembuatan tepung ikan lele dumbo adalah
ikan lele dumbo segar dan air. Ikan lele dumbo yang digunakan adalah lele
dumbo varietas sangkuriang. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan dalam
pembuatan biskuit antara lain tepung ikan lele dumbo, tepung kepala ikan lele
dumbo, tepung terigu, isolat protein kedelai, gula bubuk atau gula halus, telur,
margarin, mentega, tepung susu, baking powder, dan soda kue. Selain bahan-
bahan untuk pembuatan tepung ikan dan biskuit, juga digunakan bahan-bahan
untuk analisis kimia. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis kimia
diantaranya n-hexane, HCl, Selenium-mix, H2SO4 pekat, NaOH, asam borat, dan
indikator (merah metil dan metil biru).
Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan tepung ikan adalah ember,
autoklaf, kain kasa, hidrolik press, drum dryer, dan mesin penggiling (willey mill).
Sedangkan alat-alat yang digunakan dalam pembuatan biskuit antara lain
timbangan, baskom, mixer, loyang, rolling pin, cetakan biskuit, dan oven. Alat-
alat yang digunakan dalam analisis adalah oven vakum, cawan alumunium,
cawan porselin, tanur, pengaduk magnetik, sentrifus, gelas ukur labu Kjedahl,
alat ekstraksi Soxhlet, inkubator, pH-meter, termometer, Texture Analyzer, dan
alat untuk pengujian organoleptik.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap yaitu tahap penelitian
pendahuluan dan tahap penelitian utama. Pada penelitian pendahuluan
dilakukan pembuatan tepung badan ikan lele dumbo dan tepung kepala ikan lele
dumbo sebagai bahan baku pembuatan biskuit. Lalu dilakukan uji sifat fisik dan
kimia tepung badan ikan lele dumbo dan tepung kepala ikan lele dumbo.
Penelitian utama dilakukan dengan mengaplikasikan tepung badan ikan
dan tepung kepala ikan lele dumbo dan isolat protein kedelai dalam formula
biskuit. Biskuit dengan formula terpilih kemudian diuji sifat fisik dan kimianya.
Selain itu juga dilakukan uji organoleptik untuk melihat penerimaan biskuit oleh
anak balita.
Penelitian Pendahuluan
Pada tahap pendahuluan, dilakukan pembuatan tepung badan ikan lele
dumbo dan tepung kepala ikan lele dumbo. Lele dumbo yang telah dibersihkan,
dibuang jeroannya, dikuliti, dan dipisahkan antara bagian kepala dengan
badannya. Pembuangan kulit dan jeroan dimaksudkan agar tepung yang
dihasilkan warnanya lebih cerah. Setelah itu badan ikan lele dan kepala ikan lele
masing-masing dimasak dengan tekanan tinggi (presto) dengan autoklaf pada
suhu 121oC selama 2 jam. Penggunaan autoklaf dimaksudkan untuk
menghancurkan tulang ikan lele sehingga dapat dikeringkan dan digiling
bersama daging ikan. Selain itu penggunaan autoklaf sangat penting dalam
pembuatan tepung kepala ikan agar kepala ikan menjadi lebih lunak.
Proses selanjutnya, badan ikan dan kepala ikan yang telah matang
masing-masing dibungkus dengan kain kasa dan dipress dengan hidrolik press.
Tujuan dari pengepressan adalah untuk menurunkan kandungan air dari ikan
sehingga memudahkan dalam proses pengeringan. Ikan yang telah agak kering
kemudian dikeringkan dengan drum dryer pada suhu 80oC dengan tekanan 3
bar. Lalu serpihan ikan yang telah kering digiling dengan willey mill sehingga
menghasilkan tepung badan ikan dan tepung kepala ikan lele dumbo yang
merupakan bahan baku pembuatan biskuit. Dokumentasi pembuatan tepung ikan
dapat dilihat pada Lampiran 1
Diagram alir pembuatan tepung badan ikan dan tepung kepala ikan lele
dumbo dapat dilihat pada Gambar 2. Tepung badan ikan dan tepung kepala ikan
yang telah jadi dianalisis sifat fisik dan kimianya. Sifat fisik yang diujikan antara
lain densitas kamba tepung, aw tepung, dan derajat putih tepung. Sifat kimia yang
dianalisis meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar
karbohidrat tepung.
Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

Dibersihkan dari jeroan dan kulitnya

Dipisahkan bagian badan dengan kepalanya

Badan ikan lele dumbo Kepala ikan lele dumbo

Dimasak dengan autoklaf dengan suhu Dimasak dengan autoklaf dengan suhu
121oC selama 2 jam 121oC selama 2 jam

Badan ikan matang Kepala ikan matang

Dipress dengan pengepres hidrolik Dipress dengan pengepres hidrolik

Daging ikan agak kering Kepala ikan agak kering

Dikeringkan dengan drum dryer Dikeringkan dengan drum dryer


dengan suhu 80oC dan tekanan 3 bar dengan suhu 80oC dan tekanan 3 bar

Daging ikan kering Kepala ikan kering

Penghalusan dengan willey mill Penghalusan dengan willey mill

Tepung badan ikan lele dumbo Tepung kepala ikan lele dumbo

Gambar 2 Diagram alir pembuatan tepung ikan dan tepung kepala


ikan lele dumbo
Penelitian Utama
Pada penelitian utama dilakukan formulasi biskuit dengan substitusi tepung
badan ikan, tepung kepala ikan, dan isolat protein kedelai terhadap tepung terigu
yang dimaksudkan untuk meningkatkan kandungan protein dari biskuit.
Perbandingan tepung badan ikan, tepung kepala ikan, dan isolat protein kedelai
yang digunakan adalah: F1 (5:5:5), F2 (7.5:2.5:5), F3 (2.5:2.5:10), dan F4
(3.5:1.5:10). Perbandingan diatas merupakan persentase penggunaan tepung
ikan, tepung kepala ikan dan isolat protein kedelai terhadap 1000 gram adonan.
Misalnya pada F2 jumlah tepung badan ikan, tepung kepala ikan, dan isolat
protein kedelai yang digunakan masing-masing sebanyak 75, 25, dan 50 gram.
Demikian pula pada perbandingan F1, F3, dan F4. Sedangkan bahan lain
seperti tepung terigu, gula bubuk, telur, margarin, mentega, tepung susu, baking
powder, dan soda kue yang ditambahkan untuk setiap formula sama. Formula
biskuit dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Formula biskuit balita dengan substitusi tepung ikan dan isolat
protein kedelai
Formulasi
Komponen (g)
F1 F2 F3 F4
Tepung badan ikan lele 50 75 25 35
Tepung kepala ikan lele 50 25 25 15
Isolat Protein Kedelai 50 50 100 100
Tepung terigu 250 250 250 250
Gula bubuk 180 180 180 180
Telur 180 180 180 180
Margarin 90 90 90 90
Mentega 90 90 90 90
Tepung susu 60 60 60 60
Total 1000 1000 1000 1000
Baking powder 8 8 8 8
Soda Kue 4 4 4 4

Proses pembuatan biskuit diawali dengan mencampur gula bubuk,


margarin, dan mentega, lalu diaduk dengan menggunakan mixer dengan
kecepatan tinggi sampai warnanya memucat. Kemudian ditambahkan telur dan
diaduk kembali sampai agak mengembang. Lalu tepung badan ikan, tepung
kepala ikan, isolat protein kedelai, tepung terigu, dan tepung susu dimasukkan ke
dalam adonan. Adonan diaduk dengan kecepatan rendah sampai kalis. Adonan
yang telah kalis dimasukkan ke dalam lemari es selama 15 menit, fungsinya agar
adonan lebih mudah dibentuk dan dicetak. Setelah itu, adonan dipipihkan setebal
0.5 cm, lalu dicetak. Pemanggangan dilakukan selama 20 menit dengan suhu
150oC sampai warna biskuit cokelat keemasan. Diagram alir pembuatan biskuit
dapat dilihat pada Gambar 3.

Margarin, mentega dan gula bubuk

Diaduk dengan mixer denan kecepatan tinggi 5 menit

Ditambahkan telur

Diaduk dengan kecepatan tinggi selama 10 menit

Adonan berwarna kuning pucat

Ditambahkan tepung ikan, isolat protein kedelai,


tepung terigu, gula bubuk, dan tepung susu

Diaduk dengan kecepatan rendah selama 5 menit sampai kalis

Adonan kalis

Didinginkan dalam lemari es selama 15 menit

Adonan dingin

Dipipihkan dengan rolling pin setebal 0.5 cm,


lalu dicetak

Dipanggang dalam oven dengan suhu 150oC selama 20 menit

Biskuit balita dengan penambahan tepung ikan dan


isolat protein kedelai

Gambar 3 Diagram alir pembuatan biskuit balita dengan penambahan tepung


ikan dan isolat protein kedelai
Biskuit yang dihasilkan dianalisis sifat fisik yang meliputi analisis daya ikat
air, aw, dan kekerasan biskuit. Selain sifat fisik, juga diuji sifat kimia yang meliputi
analisis kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat, cerna protein dan perhitungan
kandungan energi biskuit. Prosedur analisis sifat fisik dan kimia dapat dilihat
pada Lampiran 2.
Pemilihan formula dilakukan dengan uji hedonik terhadap 30 orang panelis
semi-terlatih. Nilai yang diberikan berada pada rentang 1 sampai 5, dimana nilai 1 untuk
penilaian sangat tidak suka dan 5 untuk penilaian sangat suka. Panelis dianggap
menerima sampel bila nilai yang diberikan berkisar antara 3, 4 dan 5. Kuesioner uji
organoleptik pada panelis semi-terlatih dapat dilihat pada Lampiran 3.

Setelah didapatkan formula terpilih, untuk mengetahui daya terima biskuit


dilakukan uji organoleptik berupa uji kesukaan terhadap 30 anak balita gizi kurang yang
berusia antara 2-5 tahun balita berasal dari Kecamatan Cikakak dan Kadu Dampit,
Kabupaten Sukabumi. Penilaian dilakukan hanya untuk atribut keseluruhan dan nilai
dikategorikan menjadi 3 yaitu suka, biasa, dan tidak suka. Pengujian dilakukan pada
biskuit dengan substitusi tepung percobaan dan biskuit komersial yang banyak dijual
dipasaran sebagai pembanding. Kuesioner uji kesukaan pada balita dapat dilihat pada
Lampiran 4.

Uji organoleptik juga dilakukan pada ibu balita terhadap formula terpilih. Uji ini
dilakukan terhadap 30 ibu balita gizi kurang yang berasal dari Kecamatan Cikakak dan
Kadu Dampit, Kabupaten Sukabumi. Penilaian dilakukan terhadap atribut warna, aroma,
rasa dan tekstur biskuit. Nilai yang diberikan berada pada rentang 1 sampai 5, dimana
nilai 1 untuk penilaian sangat tidak suka dan 5 untuk penilaian sangat suka. Kuesioner uji
organoleptik pada panelis ibu balita dapat dilihat pada Lampiran 5.
Pengolahan dan Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian utama adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial yang terdiri dari dua faktor, yaitu
substitusi tepung ikan lele dumbo dan substitusi isolat protein kedelai. Faktor
substitusi tepung ikan lele dumbo terdiri dari 2 taraf (substitusi tepung ikan
sebanyak 100 gram dan substitusi sebanyak 50 gram), faktor tepung isolat
protein kedelai juga terdiri dari dua taraf (penambahan 100 gram dan
penambahan 50 gram). Oleh karena itu, ada empat kombinasi perlakuan. Model
matematisnya (Sudjana 1995) adalah sebagai berikut :
Yijk = + Ai + Bj + ABij + (ij)k
Keterangan :
Yijk = Nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-k akibat taraf ke-i faktor
tepung ikan lele dumbo dan taraf ke-j faktor isolat protein kedelai
= Nilai tengah populasi
Ai = Pengaruh penambahan taraf ke-i dari faktor tepung ikan lele dumbo
Bj = Pengaruh penambahan taraf ke-j dari faktor isolat protein kedelai
ABij = Pengaruh interaksi taraf ke-i tepung ikan lele dumbo dan taraf ke-j isolat
protein kedelai
(ij)k = Pengaruh galat dari satuan percobaan ke-k yang memperoleh
perlakuan tepung ikan lele dumbo pada taraf ke-i dan isolat protein
kedelai pada taraf ke-j
i = Banyaknya taraf penambahan tepung ikan lele dumbo
j = Banyaknya taraf penambahan isolat protein kedelai
k = Banyaknya ulangan (k= 1)
Data sifat kimia dan sifat fisik ditabulasi dan dirata-ratakan menggunakan
Microsoft Excel, sedangkan data hasil uji organoleptik dianalisis secara deskriptif
menggunakan skor modus masing-masing perlakuan. Untuk mengetahui
pengaruh perlakuan terhadap daya terima panelis semi terlatih dilakukan analisis
statistik non-parametrik Kruskal Wallis. Jika hasil uji berbeda nyata di antara
perlakuan, maka dilanjutkan dengan Multiple Comparison Test. Sedangkan untuk
mengetahui penerimaan balita terhadap biskuit ikan dibandingkan dengan biskuit
komersial dilakukan analisis menggunakan uji perbandingan Paired Sample T-
Test.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Tepung Ikan
1. Pembuatan Tepung Ikan
Persiapan utama dalam pembuatan biskuit pada penelitian ini adalah
pembuatan tepung ikan lele dumbo. Ikan lele dumbo yang digunakan berasal
dari DeJee Fish yang merupakan salah satu tempat budidaya ikan lele dumbo di
daerah Cibaraja, Kabupaten Sukabumi. Ikan lele yang digunakan berumur 3-4
bulan dan mempunyai panjang 40-60 cm. Pembuatan tepung ikan lele dumbo
diawali dengan sortasi ikan. Ikan yang telah dimatikan dikuliti dan dibuang isi
perutnya. Lalu dipisahkan antara bagian badan ikan dan kepala ikan. Menurut
LIPI (1999), pada pembuatan tepung ikan sebagai pakan ternak seluruh bagian
ikan digunakan terutama limbah ikan. Tapi pada pembuatan tepung ikan yang
digunakan pada penelitian ini kulit dan isi perut ikan dibuang. Pembuangan kulit
bertujuan agar tepung ikan yang dihasilkan memiliki warna yang lebih cerah,
sedangkan pembuangan isi perut bertujuan untuk menghambat kerusakan ikan
sebelum ditangani. Hal ini sesuai dengan Wibowo (2006) yang menyatakan
bahwa dalam pembuatan filet ikan isi perut yang menjadi sumber enzim dan
bakteri harus disiangi agar tidak mencemari daging ikan.

Gambar 4 Ikan lele dumbo yang telah dikuliti dan dibuang isi perutnya
Proses selanjutnya dalam pembuatan tepung ikan lele dumbo adalah
pemasakan. Ikan dikukus dengan tekanan tinggi (presto) dengan menggunakan
autoklaf. Menurut Moeljanto (1982b), tujuan utama proses pemanasan adalah
untuk menghentikan proses pembusukan, baik oleh bakteri, jamur, maupun
enzim. Proses pemanasan menurut Mendez dan Abuin (2006), dapat
menghindarkan terbentuknya off-flavor pada produk ikan. Selain itu, proses
pembusukan dapat dihentikan sama sekali bila waktu dan suhu yang digunakan
cukup sehingga pada pembuatan tepung ini digunakan suhu 121C selama 2
jam. Proses pemanasan dengan tekanan tinggi juga bertujuan untuk melunakkan
tulang ikan sehingga dapat meningkatkan rendemen tepung. Selain itu
diharapkan pula tulang ikan dapat memberikan sumbangan mineral pada tepung.
Proses pemasakan badan dan kepala ikan dilakukan secara terpisah agar
keempukan bahan yang dihasilkan seragam. Proses pemanasan menurut
Fennema (1996) juga memiliki efek yang menguntungkan, yaitu dalam hal
inaktifasi toksin dalam bentuk protein seperti toksin botulinum yang dihasilkan
oleh Clostridium botulinum dan enterotoksin yang dihasilkan oleh
Staphylococcus aureus. Fennema menambahkan bahwa proses pemanasan
dapat menyebabkan denaturasi protein yang akan meningkatkan daya cerna
pangan. Pemanasan juga dapat menginaktifkan beberapa enzim yang terkait
dengan kerusakan pangan seperti protease, lipase serta enzim yang bersifat
oksidatif dan hidrolisis.
Pembuatan tepung ikan didasarkan pada pengurangan kadar air pada
ikan. Menurut Moeljanto (1982b), kadar air pada daging ikan hal yang
menentukan pada proses pembusukan. Bila kadar airnya dikurangi maka proses
pembusukan dapat terhambat. Oleh karena itu, setelah dimasak daging dan
kepala ikan yang telah matang dipres untuk mengeluarkan sebagian besar air
dan sebagian minyak. Selain itu Moeljanto juga menyatakan bahwa bila proses
pengeringannya berjalan terus menerus, maka proses pembusukannya akan
berhenti, sehingga setelah pengepresan dilakukan pengeringan lebih lanjut
dengan menggunakan drum dryer.
Menurut Juming et al (2003) di dalam Fernando (2008), penggunaan
drum dryer memiliki beberapa keuntungan, antara lain produk yang dihasilkan
memiliki porositas dan rehidrasi yang baik, alat yang digunakan bersih dan
higienis karena suhu alat yang tinggi dapat menginaktifkan mikroorganisme, dan
mudah dioperasikan. Menurut Brennan (1974), alat pengering drum memiliki
kecepatan pengeringan yang tinggi dan penggunaan panas yang ekonomis.
Selain itu Bluestein dan Labuza (1988) mengatakan bahwa drum dryer
merupakan salah satu metode pengeringan yang relatif murah. Penggunaan
pengering drum pada penelitian ini juga didasarkan pada bentuk bahan. Ikan
setelah dipres akan berbentuk pure agak kering yang dapat ditaburkan dari atas
drum.
Pada pembuatan tepung ikan, drum dryer yang digunakan bersuhu 80oC
dengan tekanan 3 bar. Pengeringan dengan pemanas drum menghasilkan
serpihan ikan kering yang sangat tipis yang kemudian dihaluskan menggunakan
willey mill. Tepung yang dihasilkan setelah penggilingan berukuran sekitar 60
mesh. Tepung daging atau tubuh ikan berwarna cokelat muda, sedangkan
tepung kepala berwarna agak gelap (Gambar 5) karena pada proses pembuatan
tepung kepala, lapisan kulit yang berwarna hitam pada kepala ikan lele tidak
dibuang. Selain itu, warna tepung kepala yang lebih gelap daripada tepung
badan ikan diduga karena reaksi pencoklatan yang terjadi pada tepung kepala
ikan lebih tinggi. Pada proses pengeringan, suhu dan waktu yang digunakan
pada tepung badan dan kepala sama, sedangkan pada kepala ikan kandungan
airnya lebih sedikit daripada badan ikan sehingga kecepatan mengeringnya
berbeda.

A B
Gambar 5 Tepung badan (A) dan kepala (B) ikan lele dumbo

2. Sifat Fisik Tepung Ikan


Selain analisis sifat kimia, dilakukan pula analisis sifat fisik tepung.
Analisis sifat fisik tepung yang dilakukan dalam penelitian ini adalah kadar aw,
densitas kamba tepung dan derajat putih tepung. Data analisis sifat fisik tepung
ikan dapat dilihat pada Lampiran 6 sampai 8.

a. aw
Menurut Bluestein dan Labuza (1988), air terdistribusi dalam bahan
pangan walaupun pangan telah dikeringkan. Kandungan air dalam bahan
pangan mempengaruhi daya tahan makanan terhadap serangan mikroorganisme
yang dinyatakan dengan aw. Menurut Winarno (1997), aw adalah jumlah air bebas
yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Berbagai
mikroorganisme mempunyai aw minimum agar dapat tumbuh. Hasil pengukuran
aw tepung badan dan kepala ikan lele dumbo disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6 aw tepung badan ikan dan tepung kepala ikan
Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat aw tepung badan (0.71) ikan
lebih besar daripada tepung kepala ikan (0.66). Menurut Bluestein dan Labuza
(1988), mikroorganisme yang mungkin tumbuh kisaran aw tersebut adalah
kapang.

b. Densitas Kamba
Densitas kamba merupakan perbandingan antara berat bahan dengan
volume bahan itu sendiri dengan satuan g/ml. Semakin tinggi densitas kamba
menunjukkan produk semakin ringkas atau padat. Nilai densitas juga
menunjukkan porositas bahan. Bahan yang lebih ringkas memiliki porositas yang
lebih sedikit karena lebih sedikit rongga antar partikel. Banyaknya rongga antar
partikel dan besarnya ukuran partikel akan menyebabkan banyak ruang kosong
tersisa yang seharusnya terisi oleh partikel tersebut. Hal ini menyebabkan jumlah
partikel yang menempati suatu volume ruang lebih sedikit (Khalil 1999).

Gambar 7 Densitas kamba tepung badan ikan dan tepung kepala ikan
Berdasarkan hasil pengukuran (gambar 7), diketahui bahwa densitas
kamba tepung badan ikan (0.3710) lebih kecil daripada tepung kepala ikan
(0.4537). Densitas kamba menunjukan kepadatan partikel yang menempati
ruang pada volume tertentu. Nilai densitas kamba yang lebih rendah
menunjukkan pada volume yang sama jumlah partikel yang menempati ruang
pada volum tersebut adalah lebih ringan daripada tepung dengan densitas yang
lebih tinggi. Berarti dalam berat yang sama, volume tepung badan ikan dengan
densitas kamba lebih rendah adalah lebih besar daripada volume tepung kepala
ikan dengan densitas kamba yang lebih tinggi.
Wirakartakusumah et al (1999) menyatakan bahwa densitas kamba
makanan pada umumnya adalah antara 0.3-0.8 g/ml. Berdasarkan rentang
tersebut, densitas kamba tepung ikan, baik tepung kepala maupun tepung badan
berada dalam kisaran densitas kamba pangan secara umum.

c. Derajat Putih
Derajat putih merupakan tingkat keputihan suatu bahan yang erat
kaitanya dengan mutu penerimaan konsumen. Bahan pangan yang memiliki
warna cerah umumnya lebih disukai oleh konsumen. Tepung ikan lele dumbo
diukur derajat putihnya untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh
penambahan tepung ikan terhadap warna biskuit yang dihasilkan. Menurut
Faridah et al. (2008), prinsip pengukuan Whiteness Meter adalah melalui
pengukuran indeks refleksi dari permukaan contoh dengan sensor foto dioda.
Semakin putih contoh, maka cahaya yang dipantulkan semakin banyak dan
semakin tinggi derajat putih contoh. Berdasarkan pengukuran dengan Whiteness
Meter, derajat putih tepung dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Hasil pengukuran derajat putih tepung ikan lele dumbo
Jenis Tepung Derajat Putih (%)

Tepung badan ikan lele 30.9575

Tepung kepala ikan lele 28.9975

Tepung Terigu* 74.7*

Keterangan: *Antarlina (1998)

Hasil diatas menunjukkan bahwa tepung ikan yang dihasilkan memiliki


derajat putih jauh dibawah tepung terigu. Derajat putih tepung kepala ikan lele
memiliki nilai yang lebih rendah daripada tepung badan ikan lele. Hal ini
menunjukkan tepung kepala ikan lele memiliki warna yang lebih gelap
dibandingkan tepung badan ikan lele. Penambahan tepung badan dan tepung
kepala ikan lele pada produk biskuit akan menyebabkan warna biskuit menjadi
lebih gelap.

3. Sifat kimia tepung ikan


Tepung ikan yang digunakan pada pembuatan biskuit dibedakan menjadi
2 bagian yaitu tepung badan ikan lele dumbo dan tepung kepala ikan lele dumbo.
Sifat kimia yang dianalisis dari tepung ikan yaitu kadar air, kadar abu, kadar
protein, kadar karbohidrat, dan kadar lemak tepung. Data analisis sifat kimia
tepung ikan dapat dilihat pada Lampiran 9 sampai 13.

a. Kadar Air
Gambar 8 menunjukkan hasil analisis kadar air tepung. Kadar air tepung
badan ikan sebesar 7.99% bb dan kadar air tepung kepala ikan sebesar 8.72%
bb. Kadar air ini menunjukkan bahwa tepung ikan yang dihasilkan adalah tepung
ikan berkualitas tinggi. Hal ini sesuai dengan LIPI (1999) yang menyatakan
bahwa tepung ikan yang berkualitas tinggi memiliki kandungan air antara 6%
sampai dengan 10%. Kadar air tepung yang dihasilkan juga sesuai dengan
Moeljanto (1982a) yang menyatakan jarang dijumpai tepung ikan dengan kadar
air kurang dari 6% sebab pada tingkat ini tepung ikan bersifat higroskopis.
Apabila kadar air tepung terlalu rendah, maka akan terjadi keseimbangan
dengan kelembaban tempat penyimpanan.

Gambar 8 Kadar air tepung badan ikan dan tepung kepala ikan
b. Kadar Abu
Menurut Winarno (1997), abu merupakan unsur mineral atau zat
anorganik yang terkandung dalam bahan pangan. Abu juga merupakan zat
dalam bahan pangan selain air dan bahan organik. Gambar 9 merupakan grafik
hasil analisis kadar abu tepung ikan.

% 16
14.1
14
12
10
Tepung badan
8 ikan
6 4.83 Tepung kepala
4 ikan

2
0
Kadar Abu

Gambar 9 Kadar abu tepung badan ikan dan tepung kepala ikan
Berdasarkan hasil uji kadar abu berbasis kering didapat kadar abu tepung
badan ikan adalah sebesar 4.83% bk sedangkan kadar abu tepung kepala ikan
adalah 14.1% bk. Kadar abu tepung kepala ikan lebih tinggi daripada kadar abu
tepung badan ikan. Hal ini dikarenakan kepala ikan lebih banyak mengandung
tulang sehingga sesuai dengan Moeljono (1982) yang menyatakan bahwa
sebagian besar abu dan mineral dalam tepung ikan berasal dari tulang-tulang
ikan. Pada tepung badan ikan, tulang hanya berasal dari tulang tengah ikan saja
sehingga kandungan abu pada tepung badan adalah lebih rendah.

c. Kadar Protein
Hasil analisis kadar protein tepung menunjukkan bahwa kadar protein
tepung badan ikan sebesar 63.83% bk lebih besar daripada kadar protein tepung
kepala ikan sebesar 56.04% bk (Gambar 10). Perbedaan ini dikarenakan badan
ikan mengandung lebih banyak daging ikan. Daging ikan sebagian besar
tersusun atas protein miofibrilar yang digunakan untuk pergerakan ikan. Menurut
Mendez dan Albuin (2006), protein miofibrilar menyusun 60-75% total protein
dalam otot yang merupakan kombinasi dari protein kontraktil (aktin dan myosin),
protein pengatur (troponin dan tropomiosin), serta beberapa protein dalam
jumlah minor. Daging ikan juga mengandung sekitar 3% protein jaringan ikat
yang membentuk tekstur daging.

Gambar 10 Kadar protein tepung badan ikan dan tepung kepala ikan
Pada bagian kepala ikan yang digunakan dalam pembuatan tepung,
daging dalam jumlah kecil yang menempel pada kepala tidak dipisahkan. Hal ini
menyebabkan kandungan protein pada tepung kepala ikan masih cukup tinggi.
Pembersihan daging dari kepala ikan tidak dilakukan karena membutuhkan
waktu yang cukup lama sehingga dikhawatirkan akan menurunkan mutu ikan.

d. Kadar Lemak
Pada pembuatan tepung ikan, kandungan lemak direduksi pada saat
pengepresan menggunakan hidrolik press. Berdasarkan hasil analisis lemak
pada tepung badan ikan lele adalah sebesar 10.83% bk dan pada tepung kepala
ikan lele adalah sebesar 9.93% bk (Gambar 11). Hasil ini sesuai dengan LIPI
(1999) yang menyatakan bahwa tepung ikan bermutu baik memiliki kadar lemak
antara 5-12%.

Gambar 11 Kadar lemak tepung badan ikan dan tepung kepala ikan
Hasil analisis kadar lemak menunjukkan tepung badan ikan memiliki
kandungan lemak yang lebih tinggi daripada tepung kepala ikan. Hal ini
disebabkan badan ikan mengandung lebih banyak daging dibandingkan bagian
kepala ikan, dimana Mendez dan Albuin (2006), menjelaskan bahwa kandungan
asam lemak tak jenuh pada daging ikan cukup tinggi sehingga tepung ikan yang
dihasilkan dari daging ikan akan menunjukkan kadar lemak yang lebih tinggi dari
tepung yang dibuat dari kepala dan tulang ikan.

e. Kadar Karbohidrat
Menurut Adawyah (2007), kandungan karbohidrat dalam daging ikan
berupa polisakarida, yaitu yang terdapat di dalam sarkoplasma diantara miofibril-
miofibril. Kadar karbohidrat tepung ikan cukup tinggi dibandingkan pada ikan
segar. Hal ini dikarenakan terjadi pengurangan sejumlah besar air dan lemak
pada proses pengepresan ikan sehingga kadar karbohidrat meningkat.

Gambar 12 Hasil analisis kadar karbohidrat tepung badan ikan


dan tepung kepala ikan
Kadar karbohidrat tepung ikan pada penelitian ini ditentukan dengan
metode by difference yang merupakan penghitungan kadar karbohidrat secara
kasar. Menurut LIPI (1999), tepung ikan (campuran antara kepala dan badan)
kualitas baik memiliki kandungan air minimal 6%, lemak minimal 5%, protein
minimal 60%, dan abu minimal 10%. Bila dihitung menggunakan metode by
difference nilai karbohidrat tepung ikan berkualitas baik menurut LIPI maksimal
sebesar 19%. Dari Gambar 12, diketahui kadar karbohidrat pada tepung badan
ikan sebesar 20.51% bk dan pada tepung kepala ikan sebesar 16.47% bk atau
setelah dirata-ratakan antara tepung badan ikan dan kepala ikan adalah sebesar
18.49%. Karena nilai kadar karbohidrat masih berada dibawah 19%, maka
tepung ikan yang dihasilkan memenuhi syarat LIPI (1999).
Biskuit Balita dengan Substitusi Tepung Ikan Lele Dumbo dan
Isolat Protein Kedelai
Biskuit dalam penelitian ini ditujukan untuk anak balita dengan usia antara
1 sampai 5 tahun. Menurut Khomsan (2004), bayi sampai anak usia 5 tahun
yang lazim disebut balita termasuk sebagai golongan penduduk yang rawan
terhadap kekurangan zat gizi termasuk KEP. Selain itu menurut Winarno (1997),
usia dua tahun merupakan usia yang sangat rawan karena masa ini merupakan
masa peralihan dari ASI (air susu ibu) ke PASI (pengganti air susu ibu) atau ke
makanan sapihan. Makanan sapihan pada umumnya mengandung karbohidrat
dalam jumlah besar tetapi sangat sedikit kandungan protein atau sangat rendah
mutu proteinnya. Padahal pada usia tersebut protein sangat diperlukan bagi
pertumbuhan anak.

1. Formulasi Biskuit
Bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit adalah tepung terigu
protein rendah, gula bubuk, tepung susu, telur, mentega, margarin, baking
powder dan soda kue. Formulasi awal didasarkan pada hasil penelitian Wiyati
(2004) dalam pembuatan biskuit dengan penambahan konsentrat protein ikan
teri (Stolephorus sp.) pada biskuit untuk anak balita yang dapat dilihat pada
Tabel 12.
Tabel 12 Formula biskuit dengan penambahan konsentrat protein ikan
Komposisi Gram
Konsentrat protein ikan 200
Tepung terigu 350
Gula bubuk 200
Tepung susu 90
Telur 40
Margarin 120
Baking powder 1
Sumber: Wiyati 2004

Formula pada Tabel 12 setelah diujikan dengan mengganti konsentrat


protein ikan dengan menggunakan tepung ikan lele dumbo didapatkan hasil yang
berbeda karakteristiknya sehingga tidak sesuai untuk anak balita. Dengan
menggunakan formula diatas, biskuit dengan tepung ikan lele dumbo lebih keras
dan basah. Oleh karena itu, dilakukan formulasi lebih lanjut.
Formulasi lebih lanjut dilakukan dengan menambahkan jumlah lemak dan
telur di dalam adonan. Menurut Matz dan Matz (1978), lemak pada pembuatan
biskuit berfungsi sebagai bahan pengemulsi sehingga menghasilkan tekstur
produk yang renyah. Lemak yang ditambahkan dalam formula adalah mentega.
Tujuan penggunaan mentega ini adalah untuk memberikan aroma khas biskuit
yang lebih kuat. Penambahan jumlah telur ditujukan untuk melembutkan biscuit,
sehingga diperoleh biskuit yang renyah dan lembut.
Seiring dengan penambahan lemak dan telur ada komponen-komponen
dalam formula yang dikurangi, yaitu gula, susu dan tepung terigu. Kemudian,
konsentrat protein ikan pada penelitian Wiyati (2004), diganti dengan tepung ikan
lele dumbo dan isolat protein kedelai. Penggunaan isolat protein kedelai, selain
untuk memperbaiki tekstur yang kasar akibat penambahan tepung ikan juga
untuk meningkatkan kandungan protein dari biskuit yang dihasilkan.
Sumber protein yang digunakan dalam pembuatan biskuit adalah tepung
ikan lele dumbo (kombinasi antara tepung badan dan tepung kepala ikan lele
dumbo), isolat protein kedelai, dan susu. Tepung ikan dan isolat protein kedelai
digunakan sebagai bahan substitusi tepung terigu pada adonan, sehingga
kandungan protein biskuit meningkat sesuai yang diharapkan, sedangkan susu
merupakan variabel tetap yang tidak diubah dalam formula.
Selain berdasarkan pada karakteristik fisik biskuit, formula juga
didasarkan pada kebutuhan energi dan protein balita. Kecukupan energi dan
protein untuk anak balita menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004),
umur 1 sampai 3 tahun (berat badan 12 kg) adalah 1000 kkal energi dan 25 gram
protein per hari. Pada usia yang lebih tinggi yaitu 4-6 tahun, kebutuhan energi
dan protein meningkat sejalan dengan peningkatan berat badan yaitu menjadi
1550 kkal energi per hari dan 39 gram protein per hari. Biskuit diharapkan dapat
menjadi pangan potensial sumber protein untuk anak balita. Selain itu biskuit
diharapkan juga memenuhi syarat formula makanan tambahan yang telah
ditetapkan FAO, kriteria biskuit menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), dan
dapat diterima oleh anak balita. BPOM (2004), menyatakan bahwa makanan
dapat dikatakan sebagai sumber protein yang sangat baik bila mengandung
sedikitnya 20% dari Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan per saji. Jadi untuk
memenuhi kriteria tersebut, biskuit yang dihasilkan minimal mengandung 5 gram
protein per sajian. Selain berdasarkan aspek gizi diatas, WHO menganjurkan
kriteria makanan tambahan dimana per 100 gram makanan tambahan harus
mengandung minimal 400 kkal energi dan 15 gram protein.
Setelah dilakukan langkah-langkah trial and error ditetapkan empat
formula biskuit. Formula tersebut merupakan hasil pengembangan formula dasar
yang telah dilakukan sebelumnya. Faktor perlakuan yang digunakan pada
rancangan formula adalah perbedaan jumlah substitusi tepung badan ikan,
tepung kepala ikan dan isolat protein kedelai. Banyaknya tepung ikan dan isolat
protein kedelai yang digunakan adalah sebesar 15% dari jumlah adonan atau
maksimal menggantikan 37.5% dari jumlah tepung terigu. Jumlah ini merupakan
jumlah dari penambahan ketiga tepung diatas dimana setiap jenis tepung yang
ditambahkan maksimal 10% dari jumlah adonan. Penambahan tepung kepala
ikan diatas 5% menyebabkan tekstur biskuit keras dan warna biskuit menjadi
gelap, karena menurut Manley (1998) semakin tinggi kadar abu pada tepung
maka warna tepung akan semakin gelap dan produk yang dihasilkan akan
semakin gelap pula. Penambahan tepung badan ikan diatas 10% akan membuat
tekstur biskuit menjadi kasar sehingga sulit dilumat oleh anak-anak. Hal ini
dikarenakan perbedaan ukuran partikel antara tepung terigu (100 mesh) dan
tepung ikan (60 mesh). Tepung ikan yang memiliki partikel lebih besar daripada
tepung terigu memiliki densitas kamba yang lebih kecil daripada tepung terigu
sehingga memberikan banyak ruang dalam biskuit yang dihasilkan sehingga
biskuit bersifat poros dan akan terasa kasar. Penambahan isolat protein kedelai
diatas 10% akan menyebabkan adonan menjadi lengket dan sulit dicetak.
Perbandingan tepung badan ikan, tepung kepala, dan isolat protein kedelai yang
digunakan adalah: F1 (5:5:5), F2 (7.5:2.5:5), F3 (2.5:2.5:10), dan F4 (3.5:1.5:10).
Perbandingan diatas merupakan persentase penggunaan tepung badan ikan,
tepung kepala ikan dan isolat protein kedelai terhadap 1000 gram adonan.
Komposisi zat gizi bahan yang digunakan diperoleh dari hasil analisis dan
dari Daftar Komposisi Bahan Makanan (2004). Bahan yang dianalisis adalah
bahanbahan sumber protein yang memberikan kontribusi besar terhadap
kandungan protein biskuit antara lain tepung badan ikan lele, tepung kepala ikan
lele, isolat protein kedelai dan tepung susu. Bahan lain seperti tepung terigu,
gula, margarin, mentega, dan telur diperoleh dari DKBM. Perhitungan zat gizi
biskuit tiap formula dapat dlihat pada Lampiran 19 sampai 22.
Biskuit yang dibuat pada penelitian ini adalah jenis short dough dimana
menurut Manley (1998) short dough biscuits dicirikan oleh pembentukan adonan
yang tidak elastis. Pembentukan gluten pada pembuatan adonan diminimalkan
sehingga menghasilkan adonan kalis.
Tahapan pertama dalam pembuatan biskuit adalah proses mixing atau
pencampuran dan pengadukan bahan. Proses mixing dibagi menjadi dua tahap,
yaitu tahap pembentukan krim dan pencampuran bahan kering. Pada tahap
pembentukan krim, gula, lemak (margarin dan mentega), dan telur diaduk
dengan kecepatan yang cukup tinggi selama beberapa menit sehingga
membentuk krim yang mengembang dan berwarna pucat. Selanjutnya bahan-
bahan kering seperti tepung terigu, tepung ikan, isolat protein kedelai, tepung
susu, baking powder dan soda kue dimasukkan ke dalam adonan krim lalu
diaduk kembali sebentar sampai terbentuk dispersi krim yang seragam pada
tepung. Pengadukan yang terlalu lama menurut Manley (1998) dapat
memungkinkan pembentukan matriks gluten. Oleh karena itu untuk
menghasilkan biskuit yang berkualitas, setelah dimasukkan tepung terigu
pengadukan dilakukan seminimal mungkin. Matz dan matz (1978) juga
menyatakan bahwa pengadukan dua tahap yang didahului oleh pembentukan
krim baik digunakan pada pembuatan biskuit yang dicetak karena menghasilkan
adonan yang bersifat membatasi pengembangan matriks gluten yang berlebihan.
Setelah itu, adonan diistirahatkan didalam lemari es selama 15 menit. Tujuan
dari penyimpanan ini adalah untuk mengeringkan adonan agar lebih mudah
dicetak. Menurut Manley (1998), tahap pencampuran yang dilakukan dalam
waktu singkat akan menyebabkan adonan lembut dan agak lengket sehingga
sulit dicetak, oleh sebab itu diperlukan tahap pengistirahatan agar air dalam
adonan menguap ke atmosfer sehingga adonan menjadi tidak terlalu lengket.
Proses berikutnya adalah proses pemipihan dan pencetakan. Adonan
digiling menggunakan rolling pin menjadi lembaran dan memiliki ketebalan yang
seragam yaitu 0.5 cm. Setelah berbentuk lembaran, adonan dicetak. Menurut
Manley (1998) prinsip pencetakan adalah adonan mendapat tekanan dari alat
pencetak. Cetakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cetakan
berbentuk lingkaran dengan diameter 5 cm.
Tahap selanjutnya adalah pemanggangan. Pemanggangan dilakukan
menggunakan oven. Pada penelitian ini pemanggangan dilakukan selama 20
menit dengan suhu awal 1400C dan suhu akhir 1600. Menurut Matz (1992), suhu
dan waktu pemanggangan di dalam oven tergantung pada jenis oven dan jenis
produk. Menurut Manley (1998), pemanggangan menyebabkan perubahan
terhadap tekstur menjadi yang diinginkan, membentukan warna permukaan dan
pengurangan kadar air. Ukuran biskuit setelah pemanggangan berubah dimana
terjadi pengembangan selama pemanggangan. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi pengembangan antara lain ukuran partikel tepung, ukuran
partikel gula, pengadukan adonan, dan penggunaan pelumas pada loyang.
Ketika pemanggangan selesai, biskuit segera didinginkan untuk menurunkan
suhu dan mengeraskan produk akibat memadatnya gula dan lemak (Matz dan
Matz, 1978).

2. Sifat Organoleptik Biskuit


Pengujian sifat organoleptik digunakan untuk memilih formula terbaik,
melihat daya terima serta kesukaan panelis. Sifat organoleptik biskuit diuji
sebanyak 2 kali yaitu dengan panelis semi terlatih dan panelis balita.

a. Uji pada Panelis Semi-Terlatih


Data pada Tabel 13 memperlihatkan hasil penerimaan panelis semi-
terlatih pada uji organoleptik. Atribut (warna, aroma, tekstur dan rasa) formula F4
merupakan formula yang paling dapat diterima oleh panelis. Uji keragaman
Kruskal Wallis menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05)
antar formula untuk atribut aroma, tetapi untuk atribut warna, tekstur dan rasa
terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05).
Tabel 13 Jumlah panelis yang dapat menerima biskuit
Formula

Atribut Uji F1 F2 F3 F4

Presentase Presentase Presentase Presentase



Warna
23 76.67 18 60.00 26 86.67 30 100.00
Aroma
25 83.33 25 83.33 28 93.33 29 96.67
Tekstur
15 50.00 26 86.67 24 80.00 30 100.00
Rasa
19 63.33 23 76.67 25 83.33 30 100.00
Keseluruhan
24 80.00 25 83.33 27 90.00 30 100.00
Keterangan:
F1 = tepung badan ikan : tepung kepala : isolat protein kedelai = 5 : 5 : 5
F2 = tepung badan ikan : tepung kepala : isolat protein kedelai = 7.5 : 2.5 : 5
F3 = tepung badan ikan : tepung kepala : isolat protein kedelai = 2.5 : 2.5 : 10
F4 = tepung badan ikan : tepung kepala : isolat protein kedelai = 3.5 : 1.5 : 10
Warna memegang peranan penting dalam menentukan penerimaan
konsumen karena merupakan kesan pertama yang diperoleh oleh konsumen.
Menurut Meilgaard et al. (1999), warna merupakan salah satu atribut penampilan
produk yang sering menentukan tingkat penerimaan konsumen terhadap produk
secara keseluruhan. Warna biskuit dipengaruhi oleh bahan-bahan dalam
pembuatan biskuit. Pada umumnya warna biskuit berkisar antara warna coklat
muda sampai coklat. Warna biskuit pada penelitian ini dipengaruhi oleh
penambahan tepung ikan. Formula yang memiliki presentase penerimaan paling
rendah untuk atribut warna adalah formula F2. Menurut uji lanjut Tukey, formula
F2 untuk atribut warna tidak berbeda nyata dengan formula F1 pada selang
kepercayaan 95%. Hal ini diduga karena pada formula F2 dan formula F1 tepung
ikan yang digunakan lebih banyak daripada formula F3 dan F4 yaitu 10% dari
jumlah adonan sedangkan pada formula F3 dan F4 tepung ikan yang digunakan
adalah 5%. Berdasarkan pengukuran derajat keputihan tepung, tepung ikan
mempunyai nilai derajat keputihan yang lebih rendah daripada terigu, berarti
semakin banyak penambahan tepung ikan semakin gelap biskuit yang
dihasilkan.
Menurut Winarno (1997), aroma atau bau yang menguap merupakan
atribut suatu produk yang diterima oleh sel-sel olfaktori yang terdapat di dalam
hidung dan diteruskan ke otak dalam bentuk impuls lisrik. Aroma juga ikut
menentukan penerimaan sebuah produk. Aroma biskuit dipengaruhi oleh bahan-
bahan penyusunnya. Data pada Tabel 13 menunjukan penerimaan aroma biskuit
untuk semua formula berada diatas 80%, yang berarti mayoritas panelis dapat
menerima aroma biskuit. Uji keragaman Kruskal Wallis menunjukan tidak ada
perbedaan yang nyata antar formula untuk atribut aroma pada selang
kepercayaan 95%. Formula yang mendapat nilai tertinggi untuk atribut aroma
adalah formula F4 dimana 96.67% panelis menerima aroma biskuit.
Atribut tekstur merupakan salah satu atribut yang paling penting dalam
penerimaan biskuit. Formula yang memiliki presentase penerimaan paling
rendah untuk atribut tekstur adalah formula F1. Berdasarkan uji lanjut Tukey
diketahui bahwa formula F1 memiliki perbedaan yang nyata dengan formula F2,
F3 dan F4 dengan selang kepercayaan 95%. Formula F1 merupakan formula
yang paling banyak menggunakan tepung kepala ikan lele yaitu 5%. Hal ini
mengindikasikan adanya kecenderungan seiring penambahan jumlah tepung
kepala ikan lele tekstur biskuit menjadi kurang baik. Selain itu, jumlah isolat
protein kedelai yang ditambahkan pada formula F1 lebih sedikit dibandingkan
dengan formula F3 dan F4. Menurut Koswara (1995), isolat protein kedelai dalam
bahan pangan dapat berperan sebagai zat aditif untuk memperbaiki tekstur
produk. Adapun menurut Manley (1998), kedelai mempunyai lesitin sehingga
penambahan isolat protein kedelai dalam produk bakery berperan sebagai
emulsifier dan dapat memperbaiki tekstur produk.
Rasa makanan merupakan atribut penilaian makanan yang melibatkan
panca indra lidah. Rasa makanan dapat dikenali dibedakan oleh kuncup cecap
yang terletak pada papilla. Pada biskuit rasa yang dominan adalah rasa manis.
Berdasarkan hasil uji organoleptik formula F1 mempunyai penerimaan atribut
rasa yang paling rendah, yaitu sebesar 63.33%, diikuit oleh formula F2 sebesar
76.67%, dan formula F3 sebesar 83.33%. Formula F4 merupakan formula yang
dapat diterima oleh seluruh panelis. Seluruh panelis memberikan penilaian 3 dan
atau di atas 3 pada rasa formula F4. Menurut hasil uji keragaman Kruskal Wallis,
terdapat perbedaan nyata antar formula untuk atribut rasa dengan selang
kepercayaan 95%. Uji lanjut Tukay menunjukkan bahwa formula F1 berbeda
nyata dengan formula F2 dan F3 dan berbeda nyata dengan formula F4 dengan
selang kepercayaan 95%.
Berdasarkan penjabaran diatas dapat diambil kesimpulan bahwa formula
F4 merupakan formula yang paling baik penerimaannya dalam semua atribut
yang diujikan. Oleh karena itu formula F4 merupakan formula terpilih yang akan
dianalisis lebih lanjut. Gambar 14 berikut merupakan gambar biskuit formula F4.

Gambar 13 Biskuit formula terpilih (F4)


b. Uji pada Panelis Anak Balita
Setelah diperoleh formula terpilih, dilakukan uji kesukaan terhadap anak
balita. Menurut Winarno (1987) dalam Muchtadi (1994), salah satu kriteria yang
dapat digunakan untuk menguji apakah suatu formula makanan tambahan untuk
anak kecil dapat diterima atau tidak adalah kriteria penerimaan anak. Kriteria
penerimaan anak terdiri dari: (1) Jumlah presentase anak yang menolak
makanan tambahan harus kurang dari 25% dan (2) anak-anak harus mampu
mengkonsumsi makanan tambahan tersebut. Untuk memudahkan penilaian,
penilaian dilakukan hanya untuk atribut keseluruhan dan nilai hanya
dikategorikan menjadi 3 yaitu suka, biasa, dan tidak suka. Pengujian dilakukan 2
kali yaitu biskuit dengan substitusi tepung ikan lele dan isolat protein kedelai dan
biskuit komersil yang banyak dijual dipasaran sebagai kontrol. Pengujian
dilakukan dengan memperlihatkan gambar wajah kepada anak dan setelah anak
mencicipi anak diminta untuk memberikan penilaian sesuai gambar sambil
diilustrasikan. Lembar pengujian dapat dilihat pada Lampiran 4.
Tabel 14 Rekapitulasi kesukaan biskuit

Jenis Biskuit

Biskuit Ikan +
Biskuit komersial
Isolat Protein Kedelai

n % n %

Suka 26 86.66 26 86.66

Biasa 2 6.66 1 3.33

Tidak Suka 2 6.66 3 6.66

Berdasarkan Tabel 14 dapat dilihat bahwa jumlah anak yang menyukai


biskuit dengan substitusi tepung ikan lele dan isolat protein kedelai sama dengan
jumlah anak yang menyukai biskuit komersial, yaitu sebesar 86.66%. Setelah
dianalisis menggunakan statistik Paired Samples T-Test tingkat kesukaan anak
terhadap biskuit percobaan tidak berbeda nyata dengan biskuit komersial pada
taraf signifikansi 5%. Selain itu berdasarkan presentase anak yang menyukai
biskuit percobaan (86.66%), maka biskuit percobaan dapat dikatakan sebagai
makanan tambahan yang dapat diterima oleh anak.
c. Uji pada Panelis Ibu Balita
Uji organoleptik juga dilakukan pada ibu balita terhadap biskuit formula
F4. Menurut Winarno (1987) di dalam Muchtadi (2002), makanan tambahan anak
kecil dapat dilihat penerimaannya berdasarkan kriteria ibu. Salah satu Kriteria
menyebutkan bahwa makanan tambahan anak kecil dapat diterima apabila ibu
menyenangi rasa makanan tambahan tersebut. Tabel 15 merupakan presentasi
jumlah ibu balita yang menyukai biskuit substitusi (memberikan nilai 4 dan 5).
Penilaian diberikan pada 4 aspek yaitu warna, aroma, rasa dan tekstur biskuit.
Tabel 15 Presentasi ibu balita yang menyukai biskuit
Warna Aroma Rasa Tekstur
% % % %
% Kesukaan 26 86.67 22 73.33 21 70 23 76.67

Berdasarkan uji dapat dilihat bahwa ibu balita menyukai seluruh atribut
biskuit yang diujikan. Hal ini dapat dilihat dari ibu balita yang memberikan
penilaian menyukai biskuit substitusi untuk semua atribut berada di kisaran 70-
86.67% dari 30 orang ibu yang menjadi responden. Sehingga berdasarkan
kriteria ibu, biskuit substitusi yang dihasilkan dapat diterima sebagai makanan
tambahan anak.

3. Sifat Fisik Biskuit


Biskuit formula terpilih dianalisis sifat fisiknya yang meliputi analsis
rendemen, daya serap air, dan tekstur biskuit. Data hasil analisis fisik biskuit
dapat dilihat pada Lampiran 31 sampai 33.

a. Penetapan Rendemen Biskuit


Penetapan rendemen dilakukan dengan membandingkan berat produk
yang diperoleh dengan adonan awal. Berdasarkan perhitungan, nilai rendemen
biskuit adalah sebesar 84.29 % dari berat bahan awal. Pengurangan berat ini
disebabkan oleh bahan tepung-tepungan yang terbang ketika diaduk dengan
menggunakan mixer, adonan yang menempel pada alat pengaduk dan
penguapan air yang terjadi pada proses pemanggangan, sehingga berat akhir
yang didapat pada pembuatan biskuit lebih kecil daripada berat bahan yang
digunakan. Berat satu buah biskuit kurang lebih 12.5 gram dengan diameter 5
cm.
b. Daya Serap Air
Fennema (1996) menyatakan bahwa daya serap air adalah istilah untuk
mendeskripsikan kemampuan dari molekul matriks untuk secara fisik menjebak
air dalam jumlah besar tetapi tidak sampai menetes. Menurut Zayas (1997), daya
serap air didefinisikan sebagai kemampuan pangan untuk menahan air yang
ditambahkan dan yang ada dalam bahan pangan itu sendiri selama proses yang
dilakukan terhadap pangan tersebut. Zayas menambahkan protein
mempengaruhi daya serap air. Interaksi antara protein dan air terjadi pada gugus
asam amino polar seperti karbonil, hidroksil, amino, karboksil, dan sulfhidril.
Faktor lain yang berpengaruh terhadap mekanisme interaksi protein air adalah
bentuk protein yang tidak melipat atau berbentuk serabut akan mengikat air lebih
banyak daripada bentuk protein globular. Tetapi Hutton dan Campbel (1981)
menyatakan karbohidrat juga mempengaruhi daya serap air pangan. Molekul
karbohidrat memiliki kemampuan menyerap air enam hingga tujuh kali lebih
besar daripada protein.
Berdasarkan penjelasan diatas maka penyerapan air biskuit akan
menurun dengan semakin meningkatnya kandungan protein biskuit. Dengan kata
lain, semakin banyak tepung ikan dan isolat protein kedelai yang mensubstitusi
tepung terigu dalam pembuatan biskuit, semakin berkurang kadar karbohidrat
biskuit, maka semakin kecil daya serap air biskuit. Inayati (1991), menyatakan
bahwa penyerapan air oleh biskuit mempengaruhi tekstur biskuit di dalam mulut
pada waktu dimakan. Berdasarkan hasil pengujian daya serap air, daya serap air
formula terpilih adalah 1.79 ml/g. Semakin rendah daya serap air, maka
diasumsikan lebih sedikit air liur yang dibutuhkan untuk melunakkan biskuit,
sehingga lebih mudah ketika dimakan. Hasil penelitian Fernando (2008) pada
produk bubur susu kacang tanah instan, daya serap air bubur susu adalah 1.99-
3.47 ml/g. Biskuit formula terpilih memiliki daya serap air yang lebih rendah
daripada bubur susu. Fernando menambahkan semakin rendah daya serap air
pada makanan balita semakin baik, karena menyebabkan bayi tidak mudah
kenyang dan rehidrasinya lebih mudah.

c. Tekstur Biskuit
Menurut Peleg dan Bagley (1983), produk pangan yang bersifat padat
bervariasi bentuk, ukuran, dan responsnya terhadap gaya yang mengenainya.
Ditinjau dari sifat reologinya, produk pangan dapat dikelompokkan menjadi
produk yang bersifat padat, semi padat, dan viskoelastis. Biskuit termasuk ke
dalam produk yang bersifat padat. Produk pangan yang padat adalah produk
yang tidak mengalami perubahan bentuk (deformasi) apabila dikenakan gaya
tarik atau gaya tekan.

Gaya

Jarak

Gambar 14 Profil kerenyahan dan kekerasan yang diuji dengan Texture Analyzer
Prinsip pegukuran tekstur bahan pangan dengan teksturometer adalah
dengan memberikan gaya pada bahan pangan dengan besaran tertentu
sehingga profil tekstur bahan pangan tersebut dapat diukur. Pengukuran
parameter reologi dapat dilakukan dengan instrument Tekstur Analyzer seperti
yang digunakan dalam penelitian ini. Parameter reologi yang diukur pada produk
biskuit adalah kekerasan dan kerapuhan. Kekerasan ditentukan dari gaya
maksimum (nilai puncak), sedangkan kerenyahan ditentukan dari puncak yang
pertama kali terbaca pada tekanan yang pertama (Faridah et al. 2008). Profil
perbedaan kerenyahan dan kekerasan pada sampel secara umum juga dapat
dilihat pada Gambar 15. Hasil uji menunjukan, untuk parameter kerenyahan nilai
rata-rata yang diperoleh adalah 246.6 N/mm, dimana berdasarkan hasil
penelitian Sulaeman (1993) pada makanan balita, nilai kekerasan antara 237-
299 masuk dalam kategori renyah.

4. Sifat Kimia Biskuit


Biskuit formula terpilih dianalisis sifat kimianya yang meliputi analisis
proksimat, perhitungan kandungan energi dan daya cerna protein biskuit. Data
hasil analisis sifat kimia biskuit dapat dilihat pada Lampiran 34 sampai 40.
a. Analisis Proksimat Biskuit
Kandungan gizi pada biskuit diuji dengan melakukan analisis proksimat
dan daya cerna protein. Analisis proksimat yang dilakukan meliputi kadar air,
kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar karbohidrat. Selain itu dilakukan
juga penghitungan energi yang terkandung dalam biskuit. Hasil analisis
proksimat biskuit dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16 Hasil analisis sifat kimia dan perhitungan energi biskuit formula terpilih
Komponen Jumlah
Basis Basah Basis Kering
Air 3.96 4.13
Abu 2.42 2.52
Protein 18.77 19.55
Lemak 21.12 21.99
Karbohidrat 53.72 55.94
Energi 480

Menurut Winarno (1997), kandungan air dalam bahan pangan ikut


menentukan penerimaan, kesegaran dan daya tahan pangan tersebut. Pada
proses pemanggangan biskuit, terjadi proses pemanasan dan proses
pengurangan kadar air. Kandungan air pada biskuit akan mempengaruhi
penerimaan konsumen terutama pada atribut tekstur (kerenyahan). Biskuit
dengan kadar air tinggi cenderung tidak renyah sehingga teksturnya kurang
disukai.
Kadar air biskuit yang dihasilkan adalah 3.96% (bb). Syarat mutu biskuit
berdasarkan SNI 01-2973-1992 menyatakan kadar air maksimum yang terdapat
pada biskuit adalah 5% (bb). Kadar air biskuit yang dihasilkan masih berada di
bawah persyaratan SNI, sehingga dapat dikatakan bahwa kadar air biskuit
dengan substitusi tepung ikan lele dan isolat protein kedelai memenuhi
persyaratan mutu biskuit berdasarkan SNI.
Menurut Soebito (1988), kadar abu merupakan unsur mineral sebagai
sisa yang tertinggal setelah bahan dibakar sampai bebas unsur karbon. Kadar
abu juga dapat diartikan sebagai komponen yang tidak mudah menguap, tetap
tinggal dalam pembakaran dan pemijaran senyawa organik. Syarat mutu biskuit
berdasarkan SNI 01-2973-1992, kadar abu maksimum pada biskuit adalah 1.5%
(bb). Kadar abu biskuit yang dihasilkan pada penelitian ini adalah 2.42% (bb).
Kadar abu biskuit percobaan berada di atas persyaratan mutu biskuit SNI. Hal ini
disebabkan oleh tepung ikan yang ditambahkan dalam formula. Kadar abu
tepung kepala ikan adalah 16.52% (bb), kadar abu tepung badan ikan 4.44%
(bb), dan kadar abu isolat protein kedelai adalah 4.36% (bb) sedangkan menurut
SNI kadar abu tepung terigu maksimal 0.6% (bb). Oleh sebab itu substitusi
tepung ikan dan isolat protein kedelai terhadap terigu pada formula biskuit akan
meningkatkan kandungan abu dalam biskuit yang dihasilkan.
Winarno (1997) menyatakan, protein merupakan suatu zat gizi yang amat
penting bagi tubuh, karena zat ini selain berfungsi sebagai penghasil energi
dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Sifat protein
sebagai zat pengatur dimiliki oleh enzim. Sebagai zat pembangun, protein
merupakan bahan pembentuk jaringan baru dalam tubuh. Tetapi bila asupan
energi tubuh tidak dipenuhi oleh karbohidrat, maka protein akan berperan
sebagai energi. Hal ini menyebabkan perannya sebagai zat pengatur dan
pembangun akan terganggu. Selain itu bila terjadi kekurangan konsumsi protein
pertumbuhan juga akan terganggu, terutama pada anak yang sedang dalam
masa pertumbuhan. Oleh sebab itu, pada biskuit yang ditujukan untuk anak
balita gizi kurang ini, penambahan jumlah protein pada biskuit menjadi prioritas
yang utama.
Menurut Winarno (1997), protein adalah sumber asam amino yang
mengandung unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak dan
karbohidrat. Pengukuran kadar protein biskuit mengunakan metode Kjeldhal
yang didasarkan pada pengukuran kadar nitrogen total. Kandungan protein dapat
dihitung dengan mengasumsikan rasio tertentu antara protein terhadap nitrogen
untuk contoh biskuit. Karena unsur nitrogen bukan hanya berasal dari protein,
maka metode ini mendasarkan pada asumsi kandungan nitrogen adalah protein
adalah 16%. Untuk mengubah dari kadar nitrogen ke dalam kadar protein maka
digunakan angka faktor konversi sebesar 100/16 atau 6.25.
Protein yang terdapat dalam biskuit sebagian besar berasal dari tepung
ikan, isolat protein kedelai, telur, susu dan tepung terigu. Menurut syarat mutu
biskuit berdasarkan SNI 01-2973-1992, kadar protein minimum dalam biskuit
adalah 9.00% (bb). kadar protein biskuit yang dihasilkan pada penelitian adalah
18.77% (bb). Jika dibandingkan dengan persyaratan kadar protein minimum
biskuit dengan bahan dasar tepung terigu saja (SNI), kadar protein biskuit
penelitian berada diatas kadar minimum protein pada SNI biskuit. Peningkatan
kadar protein ini dikarenakan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai
yang merupakan bahan makanan tinggi protein. Tujuan utama dari substitusi
adalah untuk meningkatkan kandungan protein biskuit, sehingga dengan kadar
protein biskuit sebesar 18.77%, penggunaan tepung ikan dan isolat protein
kedelai dapat dikatakan berhasil meningkatkan kadar protein biskuit.
Menurut Manley (1998), lemak merupakan bahan baku paling penting
dalam pembuatan biskuit. Lemak merupakan komponen terbesar selain tepung
dan gula. Pada pembuatan biskuit, digunakan dua jenis sumber lemak, yaitu
margarine dan mentega. Fungsi utama lemak dalam pembuatan biskuit adalah
sebagai pengemulsi, tetapi selain itu lemak juga berfungsi sebagai pembentuk
cita rasa dan memberikan tekstur pada biskuit. Semakin banyak lemak yang
ditambahkan pada adonan, semakin rapuh biskuit yang dihasilkan.
Kandungan lemak biskuit yang dihasilkan adalah 21,99% (bk), sedangkan
menurut SNI 01-2973-1992, kadar lemak minimum dalam biskuit adalah 9.5%.
Jila dibandingkan dengan persyaratan kadar lemak minimum pada SNI, kadar
lemak produk berada di atas persyaratan kadar lemak minimum pada SNI,
sehingga dapat dikatakan bahwa berdasarkan kadar lemaknya, biskuit yang
dihasilkan telah memenuhi persyaratan mutu biskuit jika mengacu pada
persyaratan mutu biskuit pada SNI.
Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi manusia. Menurut
Fennema (1996), 90% karbohidrat berasal dari tumbuh-tumbuhan. Karbohidrat
merupakan sumber energi yang sangat banyak ditemui, ketersediaannya amat
luas dan murah. Karbohidrat juga memiliki peranan penting dalam menentukan
karakteristik bahan makanan, misalnya rasa, warna, tekstur dan lain-lain
(Winarno 1997).
Bahan yang menjadi sumber karbohidrat pada pembuatan biskuit antara
lain tepung terigu, gula, dan susu. Kadar karbohidrat pada biskuit dihitung
dengan penentuan kadar karbohidrat secara kasar menggunakan metode by
difference. Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar karbohidrat biskuit yang
dihasilkan adalah 53.72% (bb). Jika dibandingkan dengan persyaratan minimum
kadar karbohidrat biskuit terigu yang tercantum pada SNI (70%), kadar
karbohidrat biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai lebih
rendah. Pengurangan kadar karbohidrat ini dikarenakan terjadi penggantian
sebagian tepung terigu yang menjadi sumber utama karbohidrat pada biskuit
dengan tepung ikan dan isolat protein kedelai yang tinggi protein dan rendah
karbohidrat.
Jika dibandingkan dengan persyaratan mutu biskuit terigu pada SNI,
kandungan gizi yang dimiliki biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolat
protein kedelai memang berbeda. Hal ini disebabkan perbedaan kandungan gizi
yang dimiliki bahan baku penyusunnya, yaitu tepung ikan dan isolat protein
kedelai. Pada dasarnya perbedaan nilai gizi bukan suatu permasalahan. Menurut
Manley (2000), biskuit merupakan produk yang tepat untuk dijadikan pangan
sehat atau pangan fungsional yang menyediakan zat gizi tertentu yang
dibutuhkan oleh tubuh. Dalam pembuatan biskuit ini zat gizi yang dimaksud
adalah protein. Biskuit yang diperkaya protein akan menurunkan proporsi
kandungan zat gizi lain. Dalam percobaan ini, zat gizi yang mengalami
penurunan adalah karbohidrat.

b. Kandungan Energi Biskuit


Kandungan energi pada biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolat
protein kedelai diperoleh dengan mengkonversikan protein, lemak, dan
karbohidrat menjadi energi. Lemak merupakan sumber energi yang paling besar,
dimana 1 gram lemak dapat dikonversi menjadi 9 kkal. Sedangkan protein dan
karbohidrat menghasilkan energi 4 kkal per gram (Fennema 1996).
Berdasarkan hasil perhitungan, rata-rata nilai energy biskuit adalah
sebesar 480 kkal per 100 gram biskuit. Menurut SNI 01-2973-1992, syarat
kandungan energi pada biskuit terigu minimal 400 kkal per 100 gram. Demikian
pula menurut FAO/WHO (1994), energi pada komposisi makanan tambahan
untuk balita minimal mengandung 400 kkl per 100 gram makanan. Jika mengacu
pada persyaratan diatas, maka nilai energi biskuit yang dihasilkan berada di atas
persyaratan minimum nilai energi.

c. Daya Cerna Protein Biskuit


Daya cerna menurut Fennema (1996) adalah proporsi nitrogen pangan
yang dapat diserap setelah proses pencernaan. Ditambahkan pula bahwa daya
cerna protein yang berasal dari pangan hewani lebih tinggi daripada daya cerna
protein yang berasal dari pangan nabati. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi daya cerna protein, antara lain: (1) konformasi protein, (2) faktor
antinutrisi, (3) ikatan dengan senyawa lain seperti polipeptida dan serat, serta (4)
proses pengolahan. Proses pemanasan dengan pemanggangan pada biskuit
menurut Ranhotra dan Bock (1988) dapat menyebabkan denaturasi protein dan
meningkatkan daya cerna. Tetapi ditambahkan pula, dengan pemanggangan
daya cerna dapat menurun karena asam amino bebas dapat berikatan dengan
gugus karboksil gula pereduksi seperti fruktosa, laktosa, dan maltosa
membentuk reaksi nonensimatik Maillard. Reaksi Maillard bertanggung jawab
dalam pembentukan aroma dan cita rasa produk yang melalui proses
pemanggangan. Produk dari reaksi Maillard tidak mempunyai nilai gizi pada
mamalia.
Analisis daya cerna protein dapat dilakukan secara biologis,
mikrobiologis, kimiawi, dan enzimatik. Pada penelitian ini digunakan metode
enzimatik secara in vitro untuk melihat bioavailabilitas protein pada biskuit. Hsu
et al. (1977) menyatakan prinsip dasar pengukuran daya cerna secara in vitro
dengan teknik multienzim adalah dengan menghidrolisis sampel protein dengan
larutan multienzim, proses hidrolisis ini akan membebaskan gugus karboksil
asam amino yang menyebabkan penurunan pH. pH suspensi protein pada menit
ke-10 setelah hidrolisis berkorelasi baik dengan daya cerna protein secara
biologis. Analisis in vitro dipilih karena menurut Fennema (1996), analisis dengan
metode biologis atau secara in vivo membutuhkan biaya yang besar dan waktu
yang lama.
Menurut Muchtadi (1989), protein yang mudah dicerna menunjukkan
tingginya jumlah asam-asam amino yang dapat diserap oleh tubuh dan begitu
juga sebaliknya. Berdasarkan hasil pengukuran daya cerna protein biskuit
dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai adalah sebesar 89.34%.
Daya cerna ini dapat dikatakan sedang, karena nilainya menyerupai daya cerna
kacang-kacangan dan nasi menurut FAO/WHO/UNU (1995).

5. Analisis Kontribusi Zat Gizi Biskuit Terhadap AKG Balita


Menurut Almatsier (2001), angka kecukupan gizi (AKG) atau biasa juga
dikenal dengan recommended daily allowance (RDA) merupakan taraf konsumsi
zat-zat gizi esensial yang berdasarkan pengetahuan ilmiah dinilai cukup untuk
memenuhi kebutuhan hampir semua orang sehat. Kecukupan nilai energi
ditetapkan dengan cara berbeda daripada kecukupan untuk zat gizi lain. AKG
untuk energi mencerminkan rata-rata kebutuhan tiap kelompok penduduk,
sedangkan angka kecukupan protein dan zat gizi lainnya dinyatakan sebagai
taraf asupan yang aman (safe level of intake). Suatu produk dapat memberikan
kontribusi sejumlah zat gizi tertentu dengan menghitung kontribusinya terhadap
AKG. Untuk itu diperlukan penentuan jumlah saji sehingga angka kecukupan gizi
per saji dan kontribusinya terhadap AKG dapat dihitung.
Produk biskuit pada penelitian ini hanya menekankan kontribusi protein
yang diberikan biskuit terhadap pemenuhan AKG balita. Menurut Widya Karya
Pangan dan Gizi (2004), AKG untuk energi dan protein balita umur 1 sampai 3
tahun (berat badan 12 kg) adalah 1000 kkal energi dan 25 gram protein per hari.
Pada usia yang lebih tinggi yaitu 4-6 tahun, kebutuhan energi dan protein
meningkat sejalan dengan peningkatan berat badan yaitu menjadi 1550 kkal
energi per hari dan 39 gram protein per hari. Menurut BPOM (2004), pangan
dapat dikatakan tinggi protein bila memenuhi sedikitnya 20% dari AKG yang
dianjurkan per saji. Bila AKG untuk balita yang digunakan adalah AKG untuk
anak usia 4-6 tahun maka, 20% dari 39 gram protein adalah 7.8 gram protein
yang harus dipenuhi dari sajian.
Biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai,
berdasarkan hasil proksimat dan penghitungan energi, per 100 gram sajian
menyumbangkan 480 kkal energi dan 18.8 gram (bb) protein. Berarti untuk
memenuhi target tinggi protein jumlah biskuit yang harus dikonsumsi adalah
41.56 gram biskuit (perhitungan disajikan pada lampiran 41). Dengan kata lain,
untuk memenuhi 20% AKG protein, balita harus mengkonsumsi biskuit sebanyak
41.56 gram biskuit.
Apabila memperhitungkan daya cerna protein produk sebesar 89.34%,
maka biskuit yang harus dikonsumsi untuk memenuhi 20% AKG adalah
sebanyak 46.52 gram (perhitungan disajikan pada Lampiran 40). Bila satu keping
biskuit beratnya sekitar 12.5 gram, untuk memenuhi target, balita harus
mengkonsumsi 4 keping biskuit atau 50 gram biskuit. Dengan asumsi jumlah
biskuit yang dikonsumsi sebanyak 50 gram, maka diperoleh kandungan zat gizi
per takaran penyajian yang disajikan pada Tabel 17.
Tabel 17 Kandungan zat gizi dan energi per takaran penyajian (50 gram)
Energi & Zat Gizi Jumlah per sajian (gram)

Energi (kkal) 240


Protein (gram) 9.8

Karbohidrat (gram) 26.9

Lemak (gram) 10.6


Setelah diketahui kandungan energi dan zat gizi per takaran penyajian,
maka dapat dibuat penentuan AKG per takaran penyajian. Perhitungan AKG
didasarkan pada kecukupan energi dan protein balita menurut WNPG (2004)
yang dibagi menjadi 2 golongan, yaitu usia 1-3 tahun dan usia 4-6 tahun.
Perhitungan AKG per sajian disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18 Angka kecukupan zat gizi per takaran penyajian (50 gram)
AKG (%)
Zat Gizi Zat gizi per takaran saji
Usia 1-3 tahun Usia 4-6 tahun
Protein 9.8 gram 39.20 25.12
Energi 240 kkal 24 15.48

Biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai memiliki
kontribusi yang cukup terhadap pemenuhan zat gizi, terutama protein dan energi.
Dengan memberikan kontribusi protein 25.12% dan 39.20% dari AKG, produk
biskuit dapat dikatakan biskuit tinggi protein. Selain itu biskuit juga memenuhi
kriteria WHO sebagai makanan tambahan karena per 100 gram biskuit
mengandung lebih dari 400 kkal energi dan 15 gram protein. Oleh karena itu,
biskuit balita dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai dapat
dikatakan makanan tambahan untuk balita yang tinggi protein.
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
1. Proses pembuatan tepung ikan dibagi menjadi dua bagian yaitu pembuatan
tepung kepala dan tepung badan ikan lele dumbo. Pembuatan tepung dimulai
dari sortasi ikan, lalu dilanjutkan dengan pemasakan dengan tekanan tinggi
(presto), pengepresan, pengeringan dengan drum dryer dan penggilingan
dengan willey mill.
2. Analisis sifat kimia tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) didapat hasil,
untuk tepung kepala ikan kadar air 8.72% (bb), kadar abu 18.10% (bk),
kadar protein 56.04 % (bk), kadar lemak 9.39% (bk) dan kadar karbohidrat
7.84% (bk), sedangkan hasil analisis untuk tepung badan ikan adalah kadar
air 7.99% (bb), kadar abu 4.83% (bk) kadar protein 63.83% (bk), kadar lemak
10.83% (bk) dan kadar karbohidrat 11.83% (bk). Berdasarkan pengukuran aw
menggunakan aw-meter diketahui Aw tepung badan ikan adalah 0.7068,
sedangkan aw tepung kepala ikan adalah 0.6612. Pengukuran densitas
kamba menunjukan bahwa tepung kepala ikan mempunyai densitas kamba
yang tebih tinggi daripada tepung badan ikan. Densitas kamba tepung kepala
ikan adalah 0.45 g/ml sedangkan densitas kamba tepung badan ikan adalah
0.37 g/ml. Hasil pengukuran derajat putih tepung menunjukan bahwa tepung
ikan memiliki derajat putih yang lebih rendah daripada tepung terigu. Tepung
kepala ikan memiliki derajat putih yang lebih rendah daripada tepung badan
ikan. Derajat putih tepung kepala dan tepung badan ikan masing-masing
adalah 29.00% dan 30.96%.
3. Biskuit yang dibuat dalam penelitian ini adalah jenis short dough. Tahapan
dalam pembuatan biskuit diawali dengan pencampuran bahan, pemipihan,
pencetakan dan pemanggangan. Pencampuran bahan dibagi menjadi tahap
creaming dan pencampuran bahan kering. Pemipihan dilakukan dengan
rolling pin sehingga didapat ketebalan adonan 0.5 cm. Pencetakan dilakukan
dengan cetakkan lingkaran berdiameter 5 cm. Suhu awal pemanggangan
adalah 140oC dan suhu akhir 160oC.
4. Pemilihan formula dilakukan melalui uji organoleptik pada biskuit dengan
penambahan sumber protein. Hal ini didasarkan pada sasaran pembuatan
biskuit ini adakah bagi anak yang menderita KEP (Kekurangan Energi
Protein). Hasil uji organoleptik menentukan bahwa formula F4 yang memiliki
penerimaan paling tinggi. Formula F4 memiliki frekuensi penerimaan panelis
paling tinggi untuk atribut warna, aroma, rasa, dan tekstur. Formula F4 juga
menunjukkan nilai beda nyata dengan selang kepercayaan 95% untuk atribut
warna, rasa, dan tekstur setelah diuji dengan uji kergaman Kruskal Wallis
Formula F4 mensubstitusi 15% tepung terigu (dari jumlah adonan) oleh 3.5%
tepung badan ikan, 1.5% tepung kepala ikan dan 10% isolat protein kedelai.
5. Hasil uji organoleptik oleh panelis balita terhadap formula F4 dan biskuit
balita komersil yang terdapat dipasaran menunjukan penerimaan balita
terhadap kedua biskuit tersebut tidak beda nyata ketika dianalisis
menggunakan statistik Paired Samples T-Test pada taraf signifikansi 5%.
Hasil organoleptik oleh panelis ibu balita terhadap formula F4 menunjukan
bahwa 70% ibu menyukai biskuit formula F4.
6. Analisis biskuit formula F4 adalah kadar air 4.13% (bk), kadar abu 2.52%
(bk), kadar protein 19.55% (bk), kadar lemak 21.99% (bk) dan kadar
karbohidrat 55.94% (bk). Biskuit formula terpilih mengandung 480 kkal energi
per 100 gram biskuit. Protein biskuit diukur daya cernanya menggunakan
metode enzimatik secara in vitro dan didapat daya cerna biskuit adalah
sebesar 89.34%. Sifat fisik biskuit diukur rendemen, daya serap air dan
analisis tekstur. Rendemen biskuit adalah 84,29%. Daya serap ait biskuit
adalah 1.79 ml/g. Sedangkan hasil uji tekstur menunjukan nilai untuk
parameter kerenyahan 246.60.
7. Berdasarkan analisis kontribusi zat gizinya, formula terpilih dapat dikatakan
sebagai pangan tinggi protein karena dapat memenuhi target 20% protein
berdasarkan AKG balita. Untuk memenuhi target tersebut, jumlah yang harus
dikonsumsi balita setiap harinya adalah 4 keping biskuit atau 50 gram biskuit.
50 gram biskuit dapat memberikan 240 kkal energi, 9.8 gram protein, 26.9
gram karbohidrat dan 10.6 gram lemak.

Saran
Tepung ikan belum terlalu dikembangkan, padahal dengan kandungan
gizi yang tinggi tepung ikan sangat berpotensi diaplikasikan dalam makanan.
Oleh karena itu pengembangan aneka ragam pangan berbasis tepung ikan
sangat disarankan.
Tepung ikan yang dihasilkan memiliki ukuran partikel tepung ikan juga
kurang halus, oleh sebab itu disarankan untuk mencari metode penggilingan lain
untuk mendapatkan tepung ikan yang lebih halus. Selain itu disarankan juga
untuk dilakukan uji daya cerna protein dan pengukuran asam amino pada tepung
ikan untuk melengkapi informasi mengenai tepung ikan lele dumbo.
Saran untuk penelitian lanjutan mengenai pengaruh lama penyimpanan
terhadap nilai gizi, keamanan dan daya terima biskuit dengan substitusi tepung
ikan dan isolat protein kedelai. Hal ini dibutuhkan karena balita adalah kelompok
umur yang sensitif terhadap cemaran.
DAFTAR PUSTAKA

Annonymous. 2006. Pembenihan Ikan Lele Dumbo. http://viewtopic.ptp.htm/lele


dumbo/ Pembenihan_Ikan_Lele_Dumbo [13 September 2008].

Adawyah R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Almatsier S. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.

Antarlina SS. 1998. Teknolohi Pengolahan Tepung Komposit Terigu-Ubi Jalar


sebagai Bahan Baku Industri Pangan. Di dalam: Winarno FG, W Lukito,
Abdurrahman, MM Ardana dan B Wijaya. 2003. Kumpulan Hasil Peneliti
Terbaik Bogasari Nugraha 1998-2001. Jakarta: Bogasari Flour Mills.

Apriantono A, D Fardiaz & N Puspitasari, S Budiyanto. 1989. Analisis Pangan.


Bogor: IPB Press.

Astawan M. Lele bantu pertumbuhan janin. http://wilystra2007.multiply.com/


journal/item/62/Lele_Bantu_Pertumbuhan_Janin [13 September 2008]

Azhar TN, dkk. 2006. Rekayasa kadar omega-3 pada ikan lele melalui modifikasi
pakan. http://animaldiversity.ummz.umich.edu /site/accounts/
information/Clarias_gariepinus [13 September 2008]

Bluestein PM & TP Labuza. 1988. Effect of Moisture Removal on Nutriens.


Dalam E. Kermas dan RS Harris (ed.) Nutritional Evaluation of Food
Processing 3th Edition. New York: Van Nostrand Reinhold.

Brennan JG. 1974. Food Engineering Operations. London: Applied Science Publ.
Ltd.

Cheftel JC, JL Cuq & D Lorient. 1985. Proteines Alimentaries. Paris: Tech and
Doc., Lavoisier.

[DKBM] Daftar Komposisi Bahan Makanan. 2004. Jakarta: LIPI

FAO/WHO. 1994. Guidelines on Formulated Suplementary Food for Older Infants


and Young Children. Roma: FAO/WHO.

Faridah DN et al. 2008. Penuntun Praktikum Analisis Pangan. Fakultas Teknologi


Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Faridi H & JM Faubion. 1990. Dough Reology and Baked Product Texture.
Nostrand Reinhold, USA.

Fennema. 1996. Food Chemistry. 3th Edition. New York: Marcel Dekker, Inc.

Fernando ER. 2008. Formulasi susu kacang tanah instan sebagai alternatif
makanan pendamping ASI. [skripsi]. Program Studi Gizi Masyarakat dan
Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Hasil Perikanan. Yogyakarta: Liberty.

Ilyas S. 1993. Kemungkinan Membuat Makanan dengan Kadar Protein Ikan


Tinggi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta:
Departemen Pertanian.

Inayati I. 1991. Biskuit berprotein tinggi dari campuran tepung terigu, singkong
dan tempe kedelai. [skripsi]. Program Studi Teknologi Pangan dan Gizi,
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Khomsan A. 2004. Peran Pangan dan Gizi untuk Kuaitas Hidup. Jakarta: PT
Grasindo.

Khumaidi M. 1987. Angka kecukupan energi dan protein, nilai dan


penggunaanya. Media Gizi dan Keluarga. XI (1-2):16-21.

Koswara, S. 1995. Teknologi Pengolahan Kedelai Menjadi Makanan Bermutu.


Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Lehninger. 1992. Dasar Dasar Biokimia. Maggy Thenawijaya, penerjemah.


Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

LIPI. 2004. Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta: Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia.

___. 1999. Tepung Ikan. Jakarta: Proyek Sistem Informasi Nasional Guna
Menunjang Pembangunan.

Mahyuddin K. 2007. Panduan Lengkap Agribisnis Lele. Jakarta: Penebar


Swadaya.

Manley D. 1998. Technology of Biscuit, Cracker, and Cookies Third Edition.


Washington: CRC Press

. 2000. Biscuit, Cracker, and Cookie Recipes for the Food Industry.
Washington: CRC Press

Matthews RH. 1989. Legumes (Chemistry, Technology and Human Nutrition).


New York: Marcel Dekker Inc.,.

Matz SA & T. D. Matz. 1978. Cookies and Crackers Technology. Texas: The AVI
Publishing Co., Inc.

Meilgaard M, GV Civille & BT Carr. 1999. Sensory Evaluation Techniques New


York: CRC Press.

Mendez IM & JMG Abuin. 2006. Thermal Processing of Fishery Product. Dalam
Sun DW (ed.) Thermal Food Processing: New Technologies and Quality
Issues. New York: CRC Press.

Moeljanto. 1982a. Pengolahan Hasil-Hasil Samping Ikan. Jakarta: PT Penebar


Swadaya.
. 1982b. Penanganan Ikan Segar. Jakarta: PT Penebar Swadaya.

. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta:


Penebar Swadaya.

Muchtadi D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Departemen Pendidikan dan


Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.

_________. 1993. Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein. Departemen Pendidikan


dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.

_________. 1994. Gizi untuk Bayi: ASI, Susu Formula dan Makanan Tambahan.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Pearson AM & RB Young. 1989. Muscle and Meat Biochemistry. San Diego:
Acad. Press Inc.

Peleg M & EB Bagley. 1983. Physical Properties of Food. Connecticut: AVi


Publishing Company, Inc.

Rieuwpassa F. 2005. Biskuit konsentrat protein ikan dan prebiotik sebagai


makanan tambahan untuk meningkatkan antibodi IgA dan status gizi
anak balita. [tesis] Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Setiawati. 1984. Pembuatan biskuit konsentrat dedak padi. [skripsi]. Program


Studi Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.

Soebito S. 1988. Analisis Farmasi. Yogyakarta: UGM Prss.

Sikorski ZE, A Kalakowski & B Pan. 1990. The Nutritive Composition of The
Major Groups of Marine Food Organism. Di dalam Z. E. Sikorski (ed.).
Seafood : Resources, Nutritional Composition and Preservation. Florida:
CRC Press Inc.

Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil
Pertanian. Jakarta: Bhatara Karya Aksara.

Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya: untuk Keluarga dan Masyarakat.
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 1992. Mutu dan Cara Uji Biskuit. Jakarta:
Dewan Standarisasi Nasional.

Sunaryo E. 1985. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-bijian. Bogor: Fakultas


Teknologi Pertanian IPB.

Sultan WJ. 1983. Modern Pastry Chef Vol.1. Connecticut: The AVI Publishing,
Westport.
Suyanto S & NY Rachmatun. 2007. Budidaya Ikan Lele. Jakarta: Penebar
Swadaya.

Suzuki T. 1981 Fish & Krill Proteins. Processing Technology. London: Appl. Sci
Publ.

Tarwotjo CS. 1998. Dasar-dasar Gizi Kuliner. Jakarta: Gramedia Widiasarana

Vail GE, JA Philips, LO Rust, RM Griswold & M Justin. 1978. Foods. 7th edition.
Boston: Houghton Mifflin Company.

Winarno. 1995. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia.

Wirakartakusumah MA, K Abdullah & AM Syarief. 1992. Sifat Fisik Pangan.


Bogor. PAU Pangan dan Gizi IPB.

Whiteley PR. 1971. Biscuit Manufacture Fundamental of in-live Production.


London: Applied Science Publishers.

Wiyati D. 2004. Pengaruh Penambahan Konsentrat Protein Ikan Teri


(Stolephorus sp.) Terhadap Karakteristik dan Daya Terima Biskuit untuk
Anak Balita. Skripsi Sarjana Jurusan Teknologi Panagan dan Gizi,
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Wilkens WF et al. 1967. Effect of Processing Method on Oxidative Off Flavour of


Soybean Milk. Food Technol. 21:1630.

Soekirman et al. 2004. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta: LIPI.

Zayas JF. 1997. Functionality of Protein in Food. New York: Springer.


Lampiran 1 Dokumentasi Pembuatan Tepung Ikan

Gambar 15 Ikan Lele Dumbo Gambar 16 Ikan lele dumbo yang


(Clarias gariepinus) telah dipisahkan kepala, kulit dan
badannya

Gambar 17 Badan ikan lele dumbo Gambar 18 Kepala ikan lele dumbo
dalam box berisi es batu selama dalam box berisi es batu selama
pengangkutan pengangkutan

Gambar 19 Ikan lele dumbo dalam Gambar 20 Badan ikan lele dumbo
autoklaf untuk proses pemasakan matang

Gambar 21 Kepala ikan lele dumbo Gambar 22 Pengepresan dengan


matang hidrolik pres
Gambar 23 Ikan yang telah dipress Gambar 24 Ikan yang sedang
dikeringkan menggunakan drum
dryer
Lampiran 2 Analisis sifat kimia dan fisik
1. Analisis Derajat Putih Tepung dengan Whiteness Meter (Faridah et al. 2008)
Whiteness Meter Model C-100 digunakan untuk mengukur tingkat warna
putih (derajat putih) dari contoh tepung-tepungan. Alat ini dikalibrasi dengan
standar derajat putih yang diperoleh dari asap pembakaran pita MgO.
Pengukuran dimulai dengan persiapan (kalibrasi) alat. Pertama pastikan alat
dalam kondisi mati, lalu penutup contoh dibuka dan dipastikan filter telah
terpasang pada tempatnya. Plat kalibrasi dimasukkan ke dalam cawan contoh
dengan warna putih menghadap keatas, kemudian ditutup. Alat dinyalakan
dengan menekan tombol on, lalu ditunggu selama 6 menit hingga tandaWAIT
hilang. LED akan menampilkan nilai derajat putih dari plat kalibrasi tersebut. Alat
siap digunakan.
Sebelum pengukuran, filter gelas dari wadah contoh harus dibersihkan
dengan lap dan kuas khusus yang telah disediakan. Contoh ditempatkan ke
cawan contoh dengan jumlah sedikit melebihi bibir cawan. Lalu cawan yang
berisi contoh dimasukkan ke wadah contoh. Kemudian suhu contoh
diseimbangkan dengan menekan wadah contoh ke atas tempat pengukuran. Lalu
masukkan wadah contoh ke tempat pengukuran hingga alat menyala. LED akan
menampilkan nilai derajat putih. Nilai derajat putih diukur dengan
membandingkan nilai derajat putih yang dibaca pada alat dengan nilai derajat
putih BaSO4 sebagai standar yaitu sebesar 110.8.
Nilai derajat putih contoh = Nilai derajat putih x 100%
Nilai derajat putih BaSO4

2. Uji Densitas Kamba (Wiyati 2004)


Pengukuran densitas kamba dilakukan dengan menggunakan gelas ukur.
Bahan yang akan diukur ditimbang sebanyak 10 gram, kemudian dimasukkan ke
dalam gelas ukur 50 ml dan dibaca volumenya. Adapun densitas kamba dihitung
sebagai perbandingan antara berat bahan dengan volume bahan yang dibaca
pada gelas ukur dengan satuan gram per ml.

Densitas Kamba = Berat Bahan (gram)


Volume Bahan (ml)
3. Uji Daya Serap Air (Wiyati 2004)
Sebanyak 1 gram contoh dicampur dengan 10 ml aquades menggunakan
pengaduk magnetik. Campuran didiamkan selama 30 menit pada suhu kamar
lalu disentrifus dengan kecepatan 3000 rpm selama 30 menit. Selanjutnya
volume supernatan diukur.
Jumlah air yang diserap (g/g)= berat air awal berat supernatant
berat contoh
4. Uji Kekerasan (Wiyati 2004)
Kekerasan berhubungan dengan kerenyahan biskuit, yaitu mudah
tidaknya biskuit menjadi remuk (pecah) ataupun membelah. Kekerasan biskuit
ditentukan secara objektif menggunakan Texture Analyzer. Alat diset terlebih
dahulu khusus untuk biskuit.
Nilai kekerasan merupakan tinggi puncak pada saat biscuit pecah atau
belah dengan menggunakan alat seperti pisau (blade). Nilai deformasi (mm)
merupakan jarak horizontal awal silinder menyentuh biskuit sampai titik tengah
puncak kurva. Perhitungan nilai kekerasan dinyatakan dengan satuan force.
Spesifikasi probe dan setting untuk produk biskuit dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19 Spesifikasi probe dan setting untuk produk biskuit
Type Plain Dough Biscuits
Objective Hardness Measurement of Biscuit by Probing TA- XT2
Mode Measure Force in Compression
Option Return to Start
Pre- test Speed 2.0 mm/s
Test Speed 0.5 mm/s
Post - test Speed 10.0 mm/s
Distance 4 mm
Trigger type Auto - 5 g
Data Acquistion 200 pps
Rate Probe 2 mm cylinder Probe (P/2)

5. Nilai aw (Wiyati 2004)


Pengukuran aw dilakukan dengan aw-meter. Mula-mula alat distandarisasi
dengan NaCl jenuh, yang memiliki aw 0.7547; 0.7529; 0.7509 pada suhu 20, 25,
dan 29oC, lalu ditempatkan di dalam wadah yang terbuka dan dimasukkan ke
tempat pengukuran aw lalu ditutup rapat. Nilai aw dapat dibaca beberapa lama
setelah tertulis completed. Bila aw kurang dari 0.750 maka swich diputar sampai
mencapai 0.750. Setelah itu diukur lagi sampai tertulis completed. Pengukuran
aw sample dilakukan dengan cara yang sama yaitu dengan menempatkan
sample pada wadah dan diletakan di dalam aw-meter sampai tertulis completed.
6. Penentuan Kadar Air (Apriyantono et al. 1989)
Cawan aluminium dikeringkan dalam oven pada suhu 100 oC selama 15
menit, lalu didinginkan dalam desikator selama 10 menit. Ditimbang cawan
dengan neraca analitik (a gram). Ditimbang sampel dengan neraca analitik
sebanyak 5 gram (b gram). Dikeringkan dalam oven pada suhu 100 oC selama
kurang lebih 6 jam, didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang (c gram).
Dikeringkan kembali dalam oven selama 15-30 menit, lalu ditimbang kembali.
Pengeringan diulangi hingga diperoleh berat sampel yang relatif konstan (berat
dianggap konstan jika selish berat sampel kering yang ditimbang 0.0003 gram).
Kadar air (basis kering) = b (c-a) x 100 %
c-a
Keterangan :
b= bobot sampel (g)
c= bobot sampel dan cawan sesudah dikeringkan (g)
a= bobot cawan kosong (g)

7. Penentuan Kadar Abu (Apriyantono et al. 1989)

Sampel ditimbang 2.0-3.0 gram, lalu dimasukkan ke dalam cawan


porselen dan dipanaskan dalam oven selama 30 menit. Setelah itu dimasukkan
ke dalam tanur pada suhu 600 C selama 4-5 jam. Sampel lalu dimasukkan ke
dalam desikator dan ditimbang. Pengabuan diulangi hingga diperoleh berat
sampel yang relatif konstan (berat dianggap konstan jika selisih berat sampel
kering yang ditimbang 0.0003 gram).
% kadar abu = berat abu x 100 %
berat sampel

8. Penentuan Kadar Protein (AOAC 1995)


Penentuan kadar protein sampel menggunakan metode mikro Kjeldhal.
Sampel ditimbang 0.2 g. Sampel dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl lalu
ditambahkan 10 gram selenium mix dan 7 ml H2SO4 pekat kemudian didestruksi
selama 1 jam (sampai larutan berwarna jernih). Labu Kjeldhal didinginkan dan
dipindahkan ke labu didihsambil ditambah air (250-300 ml) lalu diberi indicator
mm-mb sebanyak 3 tetes. Setelah itu, sampel ditambahkan larutan NaOH 30%
sampai berubah warna menjadi hijau, lalu dimasukkan ke dalam alat destilasi.
Digunakan asam borat yang telah ditambahkan indikator campuran merah metil
dan metil biru 3 tetes. Destilasi sampai mendapatkan 75 ml destilat. Hasil ini
kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N sampai titik akhir dari titrasi. Titik akhir
titrasi ketika warna titrat berubah dari hijau menjadi ungu. Kadar protein dihitung
dengan rumus;

%N =
(ml HCl contoh ml HClblanko )xN HClx14.007 x100
mg contoh
Kadar Protein = 6.25 x %N

9. Penentuan Kadar Lemak (SNI 01-2891-1992)


Penentuan kadar lemak sampel menggunakan metode ekstraksi
langsung dengan alat Soxhlet. Sampel ditimbang 5 gram kemudian
dimasukkan kedalam selongsong kertas yang dialasi dengan kapas dan
disumbat dengan kapas. Setelah itu, dimasukkan ke dalam alat soxhlet yang
telah dihubungkan dengan labu lemak yang telah diketahui bobotnya. Ekstraksi
dilakukan selama 6 jam dengan menggunakan pelarut heksan. Setelah diperoleh
labu lemak berisi lemak hasil ekstraksi dan pelarut, labu dikeringkankan dengan
oven 105C. Labu lemak dimasukkan dalam desikator dan setelah itu ditimbang
berat labu berisi lemak. Kadar lemak dihitung dengan rumus;

bobot lemak
Kadar lemak (%) = x100%
bobot sampel

10. Penentuan Kadar Karbohidrat (by difference)


Penentuan kadar karbohidrat dilakukan dengan menggunakan
perhitungan Carbohydrate by Difference. Perhitungan ini bukan berdasarkan
analisis tetapi berdasarkan perhitungan sebagai berikut:
% Karbohidrat = 100% - %(protein + lemak + abu + air)

11. Uji Daya Cerna Protein Teknik Multienzim (Hsu et al. 1977 dalam Muchtadi
1993)
Sampel digiling halus, lalu sampel disuspensikan dalam air destilata
sampai diperoleh 6.25 mg protein/ml. Sebanyak 50 ml suspense dituang ke
dalam gelas piala, kemudian diatur pH-nya menjadi 8.0 dengan menambahkan
HCl atau NaOH 0.1N. Letakkan gelas piala dalam penangas air bersuhu 37oC
dan diaduk dengan magnetic stirrer selama 5 menit. Lalu tambahkan 5 ml larutan
multienzim (saat penambahan enzim dicatat sebagai waktu ke nol, stopwatch
dijalankan) kedalam suspense sampel protein sambil tetap diaduk dalam
penangas air 37oC. Kemudian catat pH suspense sampel pada menit ke 10.

APD (%) = 210,46 -18,10 pH akhir (10 menit)

12. Perhitungan Jumlah Energi


Jumlah energi dapat dihitung dengan mengkonfersikan kandungan kimia
(kadar karbohidrat, kadar protein, dan kadar lemak) biskuit dengan faktor konfersi
masing-masing kandungan. Karbohidrat dan protein memiliki faktor konfersi
sebesar 4 kkal/g, sedangkan faktor konfersi lemak adalah 9 kkal/g. Hasil konversi
dijumlah dan hasil penjumlahan tersebut merupakan kandungan energi dari
biskuit. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut.
Jumlah Energi/100gram = (4xA)+(4xB)+(9xC)
Keterangan: A = kadar karbohidrat
B = kadar protein
C = kadar lemak

13. Uji Organoleptik


Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji penerimaan untuk menilai daya
terima konsumen terhadap biskuit. Daya terima konsumen dimulai dari skor 1
(tidak suka) sampai 5 (sangat suka).
1= sangat tidak suka
2= tidak suka
3= biasa/netral
4= suka
5= sangat suka
Lampiran 3 Kuesioner Uji Organoleptik Biskuit untuk Panelis Dewasa
Lembar Uji Kesukaan Biskuit

Nama Panelis : Tanggal Pengujian:


Nama Produk : Biskuit balita dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein
kedelai
Di hadapan anda terdapat empat buah biskuit balita dengan
penambahan tepung ikan dan isolat protein kedelai. Anda diminta untuk
memberikan penilaian terhadap rasa, aroma, warna, tekstur, dan keseluruhan
dari produk ini berdasarkan skala yang diberikan berikut ini :
1 : Sangat tidak suka
2 : Tidak suka
3 : Biasa
4 : Suka
5 : Sangat suka
Kode Rasa Aroma Warna Tekstur Keseluruhan
555
735
221
311

Komentar :
..........................................................................................................................

Terima Kasih
Lampiran 4 Kuesioner Uji Organoleptik Biskuit Pada anak Balita
Nama Panelis : Tanggal Pengujian:
Jenis Kelamin :L/P
Nama Produk : Biskuit dengan penambahan tepung ikan lele dan
isolat protein kedelai
Dihadapan adik telah disajikan biskuit dengan penambahan tepung ikan
lele dan isolat protein kedelai. Cicipilah sebagian biskuit, kunyak baik-baik, lalu
berikan penilaian sesuai bentuk wajah dibawah ini.

Tidak Suka

Netral/biasa

Suka
Lampiran 5 Kuesioner Uji Organoleptik Biskuit untuk Panelis Ibu Balita
Lembar Uji Kesukaan Biskuit

Nama Ibu : Tanggal Pengujian:


Nama Produk : Biskuit balita dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein
kedelai
Di hadapan anda terdapat empat buah biskuit balita dengan
penambahan tepung ikan dan isolat protein kedelai. Anda diminta untuk
memberikan penilaian terhadap rasa, aroma, warna, tekstur, dan keseluruhan
dari produk ini berdasarkan skala yang diberikan berikut ini :
1 : Sangat tidak suka
2 : Tidak suka
3 : Biasa
4 : Suka
5 : Sangat suka
Rasa Aroma Warna Tekstur Keseluruhan

Komentar :
..........................................................................................................................

Terima Kasih
Lampiran 6 aw Tepung Ikan
Sampel Ulangan aw x + SD
0.728
1
0.729
Tepung Daging 0.7068 + 0.0252
0.683
2
0.687
0.702
1
0.703
Tepung Kepala 0.6612 + 0.0477
0.617
2
0.623

Lampiran 7 Densitas Kamba Tepung Ikan


Sampel Ulangan Densitas Kamba (ml/g) x + SD

0.3800
1
0.3711
Tepung Daging 0.3710 + 0.0066
0.3686
2
0.3644
0.4579
1
0.4516
Tepung Kepala 0.4537 + 0.0043
0.4566
2
0.4488

Lampiran 8 Derajat Putih Tepung Ikan


Sampel Ulangan Derajat Putih x + SD
35.46
1
35.38
Tepung Daging 30.9575 + 5.1543
26.35
2
26.64
33.27
1
33.64
Tepung Kepala 28.9975 + 5.1514
24.72
2
24.36
Lampiran 9 Kadar Air Tepung Ikan

Kadar Air x + SD
Sampel Ulangan (% BB) (% BB)
9.1639
1
Tepung 9.3623
7.9936 + 1.4682
Daging 6.7040
2
6.7443
10.9855
1
Tepung 11.2100
8.7237 + 2.7436
Kepala 6.2692
2
6.4303

Lampiran 10 Kadar Abu Tepung Ikan

Kadar Abu x + SD Kadar Abu x + SD


Sampel Ulangan
(% BB) (% BB) (% BK) (% BK)

3.5739 3.8844
1
Tepung 3.5928 4.4441 + 3.9049 4.8303 +
Daging 5.3127 0.9940 5.7743 1.0804
2
5.2971 5.7574
19.0131 20.8302
1
Tepung 19.0204 16.5254 + 20.8383 18.1048 +
Kepala 14.0345 2.8767 15.3758 3.1517
2
14.0337 15.3750

Lampiran 11 Kadar Protein Tepung Ikan


Kadar
x + SD Kadar Protein x + SD
Sampel Ulangan Protein (%
(% BB) (% BK) (% BK)
BB)
59.6565 64.8395524
1
Tepung 58.6613 58.7237 + 63.7578369 63.8256 +
Daging 58.2349 0.6478 63.2943604 0.7040
2
58.3419 63.4107103
56.9189 62.3589406
1
Tepung 51.6792 51.1535 + 56.6184518 56.0425 +
Kepala 46.4253 4.4089 50.8623443 4.8303
2
49.5906 54.3302314
Lampiran 12 Kadar Lemak Tepung Ikan
Kadar
x + SD Kadar Lemak x + SD
Sampel Ulangan Lemak
(% BB) (% BK) (% BK)
(%BB)
11.9137 12.9488
1
Tepung 11.8301 9.9636 + 12.8579 10.8292 +
Daging 8.0731 2.2038 8.7745 2.3953
2
8.0374 8.7357
5.9054 6.4698
1
Tepung 5.2141 8.5672 + 5.7124 9.3860 +
Kepala 11.6830 3.4853 12.7996 3.8184
2
11.4664 12.5623

Lampiran 13 Kadar Karbohidrat Tepung Ikan


Kadar Kadar
x + SD x + SD
Sampel Ulangan Karbohidrat Karbohidrat (%
(% BB) (% BK)
(%BB) BK)
15.6920 17.0553
1
Tepung 16.5535 18.8750 + 17.9917 20.5149 +
Daging 21.6753 3.1976 23.5584 3.4755
2
21.5792 23.4541
7.1771 7.8630
1
Tepung 12.8763 15.0300 + 14.1070 16.4665 +
Kepala 21.5572 6.3513 23.6176 6.9583
2
18.5093 20.2783

Lampiran 14 Kadar Air ISP (Isolat Protein Kedelai) dan Susu


Kadar Air Kadar Air
Sampel (% BB) x + SD (% BB) (% BK) x + SD (% BK)
7.8281 8.4929
7.7668 + 0.0866 8.4209 + 0.1018
ISP 7.7056 8.3489
5.3155 5.6139
5.4015 + 0.1216 5.7100 + 0.1359
Susu 5.4875 5.8061

Lampiran 15 Kadar Abu ISP (Isolat Protein Kedelai) dan Susu


Kadar Abu Kadar Abu
x + SD (% BB) x + SD (% BK)
Sampel (% BB) (% BK)
4.3742 4.7425
4.3635+ 0.0151 4.7309 + 0.0164
ISP 4.3528 4.7193
4.7532 5.0246
4.7462 + 0.0099 5.0172 + 0.0104
Susu 4.7393 5.0099
Lampiran 16 Kadar Protein ISP (Isolat Protein Kedelai) dan Susu
Kadar Protein (% Kadar Protein (% x + SD (%
Sampel BB) x + SD (% BB) BK) BK)
80.8079 80.7770 + 87.6126 87.5791 +
ISP 80.7460 0.0438 87.5455 0.0475
50.4991 50.5472+ 53.3825 53.4334 +
Susu 50.5953 0.0681 53.4843 0.0720

Lampiran 17 Kadar Lemak ISP (Isolat Protein Kedelai) dan Susu


Kadar Lemak Kadar Lemak (%
Sampel x + SD (% BB) x + SD (% BK)
(%BB) BK)
2.3452 2.3732 + 2.5427 2.5731 +
ISP
2.4012 0.0396 2.6034 0.0430
18.7534 18.8825 + 19.8242 20.5230 +
Susu
19.0116 0.1826 20.0971 0.1930

Lampiran 18 Kadar Karbohidrat ISP (Isolat Protein Kedelai) dan Susu


Kadar Karbohidrat x + SD Kadar Karbohidrat x + SD
Sampel
(%BB) (% BB) (% BK) (% BK)
4.6446 4.7195 + 5.0357 5.1169 +
ISP
4.7944 0.1059 5.1981 0.1148
20.6789 20.4226 + 21.8596 21.5887+
Susu
20.1663 0.3624 21.3178 0.3831
Lampiran 19 Perhitungan estimasi zat gizi biskuit formula F1
Komposisi (%) Kontribusi Zat Gizi
Formula Harga/1 Harga
Bahan Baku
(g) kg Aktual
Air Abu Protein Lemak Karbohidrat Air Abu Protein Lemak Karbohidrat
Tepung Badan Ikan Lele 50 7.99 4.44 58.72 9.96 18.88 4.00 2.22 29.36 4.98 9.44 150000 7500
Tepung Kepala Ikan Lele 50 8.72 16.5 51.15 8.57 15.03 4.36 8.27 25.58 4.29 7.52 75000 3750
Isolat Protein Kedelai 50 7.77 4.36 80.24 2.37 5.26 3.89 2.18 40.12 1.19 2.63 55000 2750
Tepung Terigu 250 12 0.5 8.9 1.3 77.3 30.00 1.25 22.25 3.25 193.25 6008 1502
Gula Halus 180 5.4 0.6 0 0 94 9.72 1.08 0.00 0.00 169.20 8000 1440
Telur 180 74 1 12.8 11.5 0.7 133.20 1.80 23.04 20.70 1.26 16000 2880
Mentega 90 16.5 0.5 0.5 81.6 1.4 14.85 0.45 0.45 73.44 1.26 40000 3600
Margarin 90 15.5 2.5 0.6 81 0.4 13.95 2.25 0.54 72.90 0.36 30000 2700
Tepung susu 60 5.4 4.74 50.06 18.88 20.92 3.24 2.84 30.04 11.33 12.55 60000 3600
Total 1000 217.20 22.34 171.37 192.07 397.47
Baking Powder 4 30000 120
12000 24
Soda Kue 2 0.00 0.00
Kandungan Zat Gizi
Adonan (%) 21.72 2.23 17.1 19.21 39.747 21.72 2.23 17.14 19.21 39.75
Kandungan Zat Gizi
Biskuit(%) 4.2 2.73 21 23.51 48.642 3.85 2.73 20.97 23.51 48.64
Kontribusi Energi 0.00 0.00 83.89 211.55 194.57
Total Energi 490.01
Harga per resep 29866
Lampiran 20 Perhitungan estimasi zat gizi biskuit formula F2
Komposisi (%) Kontribusi Zat Gizi
Formula Harga/1 Harga
Bahan Baku
(g) kg Aktual
Air Abu Protein Lemak Karbohidrat Air Abu Protein Lemak Karbohidrat
Tepung Badan Ikan Lele 70 7.99 4.44 58.72 9.96 18.88 5.59 3.11 41.10 6.97 13.22 150000 10500
Tepung Kepala Ikan Lele 30 8.72 16.5 51.15 8.57 15.03 2.62 4.96 15.35 2.57 4.51 75000 2250
Isolat Protein Kedelai 50 7.77 4.36 80.24 2.37 5.26 3.89 2.18 40.12 1.19 2.63 55000 2750
Tepung Terigu 250 12 0.5 8.9 1.3 77.3 30.00 1.25 22.25 3.25 193.25 6008 1502
Gula Halus 180 5.4 0.6 0 0 94 9.72 1.08 0.00 0.00 169.20 8000 1440
Telur 180 74 1 12.8 11.5 0.7 133.20 1.80 23.04 20.70 1.26 16000 2880
Mentega 90 16.5 0.5 0.5 81.6 1.4 14.85 0.45 0.45 73.44 1.26 40000 3600
Margarin 90 15.5 2.5 0.6 81 0.4 13.95 2.25 0.54 72.90 0.36 30000 2700
Tepung susu 60 5.4 4.74 50.06 18.88 20.92 3.24 2.84 30.04 11.33 12.55 60000 3600
Total 1000 217.05 19.92 172.89 192.35 398.24
Baking Powder 4 30000 120
12000 24
Soda Kue 2 0.00 0.00
Kandungan Zat Gizi Adonan (%) 21.7054 1.99 17.3 19.23 39.82 21.71 1.99 17.29 19.23 39.82
Kandungan Zat Gizi Biskuit(%) 4.2 2.44 21.2 23.54 48.73 4.20 2.44 21.15 23.54 48.73
Kontribusi Energi 0.00 0.00 84.62 211.82 194.91
Total Energi 491.34
Harga per resep 31366
Lampiran 21 Perhitungan estimasi zat gizi biskuit formula F3

Komposisi (%) Kontribusi Zat Gizi


Formula Harga/1 Harga
Bahan Baku
(g) kg Aktual

Air Abu Protein Lemak Karbohidrat Air Abu Protein Lemak Karbohidrat
Tepung Badan Ikan Lele 25 7.99 4.44 58.72 9.96 18.88 2.00 1.11 14.68 2.49 4.72 150000 3750
Tepung Kepala Ikan Lele 25 8.72 16.5 51.15 8.57 15.03 2.18 4.13 12.79 2.14 3.76 75000 1875
Isolat Protein Kedelai 100 7.77 4.36 80.24 2.37 5.26 7.77 4.36 80.24 2.37 5.26 55000 5500
Tepung Terigu 250 12 0.5 8.9 1.3 77.3 30.00 1.25 22.25 3.25 193.25 6008 1502
Gula Halus 180 5.4 0.6 0 0 94 9.72 1.08 0.00 0.00 169.20 8000 1440
133.2
Telur 180 74 1 12.8 11.5 0.7 0 1.80 23.04 20.70 1.26 16000 2880
Mentega 90 16.5 0.5 0.5 81.6 1.4 14.85 0.45 0.45 73.44 1.26 40000 3600
Margarin 90 15.5 2.5 0.6 81 0.4 13.95 2.25 0.54 72.90 0.36 30000 2700
Tepung susu 60 5.4 4.74 50.06 18.88 20.92 3.24 2.84 30.04 11.33 12.55 60000 3600
216.9 19.2
Total 1000 1 8 184.02 188.62 391.62
Baking Powder 4 30000 120
12000 24
Soda Kue 2 0.00 0.00
Kandungan Zat Gizi 1.9 18. 39.16
Adonan (%) 21.691 3 4 18.86 2 21.25 2.03 17.55 19.36 39.85
Kandungan Zat Gizi 2.3 22. 47.90
Biskuit(%) 4.2 6 5 23.07 9 4.20 2.36 22.51 23.07 47.91
Kontribusi Energi 0.00 0.00 90.05 207.67 191.64
Total Energi 489.36
Harga per resep 26991
Lampiran 22 Perhitungan estimasi zat gizi biskuit formula F4
Formula Komposisi (%) Kontribusi Zat Gizi Harga/1 Harga
Bahan Baku
(g) kg Aktual
Air Abu Protein Lemak Karbohidrat Air Abu Protein Lemak Karbohidrat
Tepung Badan Ikan Lele 35 7.99 4.44 58.72 9.96 18.88 2.80 1.55 20.55 3.49 6.61 150000 5250
Tepung Kepala Ikan Lele 15 8.72 16.5 51.15 8.57 15.03 1.31 2.48 7.67 1.29 2.25 75000 1125
Isolat Protein Kedelai 100 7.77 4.36 80.24 2.37 5.26 7.77 4.36 80.24 2.37 5.26 55000 5500
Tepung Terigu 250 12 0.5 8.9 1.3 77.3 30.00 1.25 22.25 3.25 193.25 6008 1502
Gula Halus 180 5.4 0.6 0 0 94 9.72 1.08 0.00 0.00 169.20 8000 1440
Telur 180 74 1 12.8 11.5 0.7 133.20 1.80 23.04 20.70 1.26 16000 2880
Mentega 90 16.5 0.5 0.5 81.6 1.4 14.85 0.45 0.45 73.44 1.26 40000 3600
Margarin 90 15.5 2.5 0.6 81 0.4 13.95 2.25 0.54 72.90 0.36 30000 2700
Tepung susu 60 5.4 4.74 50.06 18.88 20.92 3.24 2.84 30.04 11.33 12.55 60000 3600
Total 1000 216.83 18.07 184.78 188.76 392.00
Baking Powder 4 30000 120
12000 24
Soda Kue 2 0.00 0.00
Kandungan Zat Gizi Adonan
(%) 21.683 1.81 18.5 18.876 39.2 21.24 1.91 17.63 19.38 39.89
Kandungan Zat Gizi Biskuit(%) 4.2 2.21 22.6 23.09 47.95 4.20 2.21 22.60 23.09 47.95
Kontribusi Energi 0.00 0.00 90.41 207.81 191.81
Total Energi 490.03
Harga per resep 27741
Lampiran 23 Rekapitulasi uji hedonik biskuit
No Formula
Responden 555 735 221 311
W A T R K W A T R K W A T R K W A T R K
1 3 4 3 3 3 2 3 4 2 3 4 3 4 4 4 5 4 4 5 4
2 4 4 2 4 4 2 3 2 3 3 4 4 3 3 3 4 4 4 4 4
3 4 4 2 3 3 4 4 3 2 4 3 3 2 2 3 4 4 3 4 4
4 2 2 3 4 4 1 3 2 4 4 2 2 3 3 4 4 3 4 4 4
5 4 4 1 2 2 3 3 4 3 3 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4
6 3 4 3 2 3 3 4 3 3 4 4 3 4 3 3 4 4 4 3 4
7 3 3 2 4 3 3 3 4 3 3 3 3 3 4 3 4 3 4 4 4
8 5 5 5 5 5 3 4 4 4 4 4 4 5 5 4 5 4 3 4 4
9 4 3 3 4 3 3 4 3 2 3 4 4 4 5 4 4 4 4 3 3
10 4 2 2 2 4 2 2 4 4 2 4 3 4 2 4 4 3 4 4 3
11 2 4 2 2 2 4 3 4 2 2 2 4 2 1 2 4 3 4 4 4
12 4 4 4 4 3 4 3 4 4 4 3 3 4 4 4 4 3 3 5 3
13 3 4 2 3 4 2 4 5 4 2 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
14 4 5 4 4 2 3 3 3 3 4 4 3 3 4 2 4 4 4 3 4
15 2 4 2 4 4 4 3 4 4 3 3 4 3 4 3 4 3 4 3 3
16 4 3 4 4 4 4 4 3 2 4 4 5 4 3 4 5 4 4 3 4
17 4 4 4 2 2 5 3 4 2 2 4 3 3 4 4 4 3 4 4 4
18 2 4 2 3 3 2 4 4 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
19 4 4 3 2 4 3 2 3 4 3 4 4 4 3 4 4 4 4 4 3
20 4 4 3 3 4 2 4 3 3 3 4 4 3 4 4 4 3 4 4 4
21 5 4 2 2 2 2 3 3 3 3 4 2 4 3 3 5 3 5 4 4
22 1 3 2 4 4 3 4 3 3 3 2 3 2 5 5 4 5 4 3 3
23 3 4 3 4 3 4 3 2 4 3 5 4 4 2 2 3 4 4 4 4
24 3 4 2 4 5 2 4 2 5 5 2 4 2 4 4 4 4 4 5 3
25 3 5 2 5 2 3 5 3 4 4 3 5 5 4 4 3 3 5 5 5
26 3 4 3 3 3 4 4 4 4 4 4 4 2 2 3 5 2 5 5 5
27 3 3 2 5 4 2 2 4 4 4 4 3 3 4 4 5 3 4 4 4
28 2 2 4 2 3 2 3 4 2 2 4 4 4 4 4 4 3 3 4 3
29 2 3 2 3 3 2 2 4 3 3 3 4 2 4 4 4 3 5 3 4
30 3 2 3 3 3 3 2 3 4 4 4 3 4 3 4 4 3 4 4 4
1 1 0 1 3 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0
2 6 4 14 8 6 11 5 4 7 5 4 2 6 4 3 0 1 0 0 0
Skor
3 10 5 9 8 12 10 13 11 10 13 7 12 9 8 8 2 14 4 7 8
Modus
4 11 17 5 11 10 7 11 14 12 11 18 14 13 14 18 22 14 22 18 20
5 2 3 1 0 2 1 1 1 1 1 1 2 2 3 1 6 1 4 5 2
Menerima 23 25 15 19 24 18 25 26 23 25 29 28 28 26 29 30 29 30 30 30
Presentasi
Penerimaan
Panelis 76.67 83.33 50.00 63.33 80.00 60.00 83.33 86.67 76.67 83.33 96.67 93.33 93.33 86.67 96.67 100.00 96.67 100.00 100.00 100.00
Lampiran 24 Hasil Uji Kruskal Wallis organleptik biskuit

Ranking

Formula N Rataan Rangking


Warna 1 30 52.90
2 30 40.35
3 30 63.35
4 30 85.40
Total 120
Aroma 1 30 68.02
2 30 51.50
3 30 62.13
4 30 60.35
Total 120
Tekstur 1 30 37.07
2 30 60.98
3 30 60.12
4 30 83.83
Total 120
Rasa 1 30 53.95
2 30 51.12
3 30 60.62
4 30 76.32
Total 120

Statistik Ujia,b

Warna Aroma Tekstur Rasa

Chi-Square 31.222 4.116 30.827 10.762


df 3 3 3 3
Asymp. Sig. .000 .249 .000 .013
a. Uji Kruskal Wallis
b. Variabel kelompok: Formula
Lampiran 25 Uji lanjut Tukey atribut warna organoleptik biskuit

Warna

Tukey HSD

Subset untuk alpha = 0.05

Formula N 1 2 3

2 30 2.8667

1 30 3.2333 3.2333

3 30 3.5333

4 30 4.1333

Sig. .311 .490 1.000

Rataan grup dalam homogeneous subset ditampilkan.

Lampiran 26 Uji lanjut Tukey atribut warna organoleptik biskuit

Tekstur

Tukey HSD

Subset untuk alpha = 0.05

Formula N 1 2 3

1 30 2.7000

3 30 3.3667

2 30 3.4000

4 30 4.0000

Sig. 1.000 .998 1.000

Rataan grup dalam homogeneous subset ditampilkan.

Lampiran 27 Uji lanjut Tukey atribut rasa organoleptik biskuit


Rasa

Tukey HSD

Subset untuk alpha = 0.05

Formula N 1 2 3

1 30 2.7000

3 30 3.3667

2 30 3.4000

4 30 4.0000

Sig. 1.000 .998 1.000

Rataan grup dalam homogeneous subset ditampilkan.


Lampiran 28 Rekapitulasi uji penerimaan organoleptik balita
No Responden Biskuit Substitusi Biskuit Komersil
1 Suka Suka
2 Suka Suka
3 Suka Suka
4 Tidak Suka Suka
5 Suka Suka
6 Biasa Tidak Suka
7 Suka Suka
8 Suka Tidak Suka
9 Suka Suka
10 Biasa Biasa
11 Tidak Suka Tidak Suka
12 Suka Suka
13 Suka Suka
14 Suka Suka
15 Suka Suka
16 Suka Suka
17 Suka Suka
18 Suka Suka
19 Suka Suka
20 Suka Suka
21 Suka Suka
22 Suka Suka
23 Suka Suka
24 Suka Suka
25 Suka Suka
26 Suka Suka
27 Suka Suka
28 Suka Suka
29 Suka Suka
30 Suka Suka
Skor Tidak Suka 2 3
Modus Biasa 2 1
Suka 26 26
% Tidak Suka 6.67 10
% Biasa 6.67 3.33
% Suka 86.67 86.67
Lampiran 29 Hasil uji Paired-Samples T-Test penerimaan organoleptik balita
Statistik Sampel Berpasangan

Rataan N Std. Deviasi Std. Rataan Galat

Pasangan 1 Biskuit_Ikan_ISP 2.8000 30 .55086 .10057

Biskuit_Kontrol 2.7667 30 .62606 .11430

Uji Sampel Berpasangan

Perbedaan Pasangan

95% Interval
Kepercayaan dari
Perbedaan
Std.
Std. Rataan Batas Batas Sig. (2-
Rataan Deviasi galat Atas Bawah t df ekor)

Pasa Biskuit_Ikan_ISP -
ngan Biskuit_Kontrol .03333 .55605 .10152 -.17430 .24097 .328 29 .745
1
Lampiran 30 Rekapitulasi uji penerimaan organoleptik ibu balita
No Responden Rasa Aroma Warna Tekstur
1 3 4 4 4
2 4 4 4 4
3 4 4 4 4
4 4 4 4 4
5 4 4 4 4
6 4 4 4 4
7 3 4 5 3
8 3 4 5 3
9 3 3 4 4
10 4 4 4 4
11 2 2 3 3
12 4 4 4 4
13 4 4 4 4
14 4 4 4 4
15 2 3 4 2
16 4 4 4 4
17 4 4 4 4
18 3 3 3 3
19 3 2 3 4
20 4 4 4 4
21 4 4 4 4
22 4 4 4 4
23 4 3 4 4
24 4 2 4 4
25 4 4 4 3
26 4 4 4 4
27 3 3 3 3
28 4 4 4 4
29 4 4 4 4
30 4 4 4 4
Skor Sangat - - - -
Modus Tidak
Suka
Tidak 2 3 - 1
Suka
Biasa 7 5 4 6
Suka 21 22 24 23
Sangat - - 2 -
Suka
% Sangat Tidak - - - -
Suka
% Tidak Suka 6.67 10 - 3.33
% Biasa 23.33 16.67 13.33 20
% Suka 70 73.33 80 76.67
% Sangat Suka - - 6.67 -
Lampiran 31 Rendemen Biskuit
Sampel Ulangan Rendemen (%) x + SD
Biskuit 1 83.49901
84.2942 + 1.1246
2 85.08946

Lampiran 32 Daya Serap Air Biskuit


Sampel Ulangan Daya Serap Air (ml/g) x + SD (% BB)
1.7408
1
1.7393
Biskuit 1.7866 + 0.0544
1.8441
2
1.8222

Lampiran 33 Analisis Tekstur Biskuit


mean
first
Sampel Ulangan Distance x + SD
peak-
force
1.07 246.9
1
1.15 306.1 264.6 +
Biskuit
1.697 256.5 27.9740
2
1.505 248.9

Lampiran 34 Kadar Air Biskuit


Kadar Air (% x + SD (% Kadar Air (% x + SD (%
Sampel Ulangan
BB) BB) BK) BK)
3.9448 4.1068
1
3.8534 3.9620 + 4.0079 4.1265 +
Biskuit
4.4407 0.3491 4.6470 0.3792
2
3.6093 3.7445

Lampiran 35 Kadar Abu Biskuit

Kadar Abu x + SD (% Kadar Abu x + SD (%


Sampel Ulangan
(% BB) BB) (% BK) BK)

2.2071 2.2981
1
2.2727 2.4223 + 2.3665 2.5223 +
Biskuit
2.6090 0.2124 2.7167 0.2212
2
2.6005 2.7078
Lampiran 36 Kadar Protein Biskuit

Kadar Protein x + SD Kadar Protein x + SD


Sampel Ulangan
(% BB) (% BB) (% BK) (% BK)

18.3634 19.1209
1
18.0854 18.7712 + 18.8315 19.5456 +
Biskuit
19.1128 0.6631 19.9012 0.6905
2
19.5234 20.3289

Lampiran 37 Kadar Lemak Biskuit


Kadar Lemak x + SD Kadar Lemak x + SD
Sampel Ulangan
(%BB) (% BB) (% BK) (% BK)
21.4268 22.3108
1
21.3928 21.1195 + 22.2753 21.9908 +
Biskuit
20.7780 0.3381 21.6352 0.3520
2
20.8803 21.7417

Lampiran 38 Kadar Karbohidrat Biskuit

Kadar Kadar
x + SD x + SD
Sampel Ulangan Karbohidrat Karbohidrat (%
(% BB) (% BK)
(%BB) BK)

54.0580 56.2881
1
54.3956 53.7249 + 56.6397 55.9413 +
Biskuit
53.0595 0.6105 55.2485 0.6357
2
53.3863 55.5888

Lampiran 39 Kandungan Energi Biskuit


Zat gizi gram/ 100 gram Konversi (kkal/gram) Energi (kkal)/100gram
Karbohidrat 53.72 4 215
Protein 18.77 4 75
Lemak 21.12 9 190
Total 480

Lampiran 40 Daya Cerna Protein Biskuit


pH Daya Cerna Protein
Sampel Ulangan x + SD
akhir (%)
1 6.793 87.5067
Biskuit 89.3438 + 2.5981
2 6.59 91.181
Lampiran 41 PerhitunganTakaran Saji tanpa Memperhitungkan Daya Cerna
Protein Biskuit

Keterangan : X= jumlah biskuit yang harus dikonsumsi (gram)


A= protein yang harus dipenuhi (gram)
B= protein per 100 gram biskuit (gram)

Lampiran 42 PerhitunganTakaran Saji dengan Memperhitungkan Daya Cerna


Protein Biskuit

Keterangan : Y= jumlah biskuit yang harus dikonsumsi dengan


memperhitungkan daya cerna (gram)
C= daya cerna protein biskuit
X= jumlah biskuit yang dikonsumsi tanpa meperhitungkan
daya cerna (gram)

You might also like