Professional Documents
Culture Documents
MERVINA
Fish is protein source, which good for enhance nutrition status because it
is categorized as high quality food. Fish flour is one of fish product that has not
been optimally developed especially as food. The objective of this research was
to make biscuit formulation with lele dumbo (Clarias gariepinus) fish flour and
isolate soy (Glicine max) protein as high protein food for children especially under
five years old children that have undernourished status. The objective of addition
isolate soy protein beside to increase protein content also for produce a better
biscuit texture. The method to make the fish flour is based on thermal process
using drum dryer. The fish flour made separately from body part and head part.
Then physical and chemical properties were analyzed. Biscuit was formulated by
using fish flour and isolate soy protein with trial and error method. Formula was
determined based on panelist preference. Acceptance of preferred formula was
examined by children and childrens mother using hedonic test. Then biscuit
properties determined by physical and chemical analysis. The protein biscuit
contribution were counted based on Recommended Daily Allowance for under
five years old children. As the result formula F4 was preferred formula that made
by 3.5% body fish flour, 1.5% head fish flour, and 10% isolate soy protein.
Chemical properties for formula F4 is 4,13% (db) for water content, 2.52% (db)
for ash content, 19.55% (db) for protein content, 21.99% (db) for fat content and
55.94% (db) for carbohydrate content. The formula contains 480 Cal energy per
100 grams biscuit. Digestibility of protein biscuit measure by enzymatic method
and the result is 89.34%. The formula fulfills 20% children protein from four piece
biscuit or equals to 50 grams biscuit.
MERVINA. Formulasi Biskuit dengan Substitusi Tepung Ikan Lele Dumbo
(Clarias gariepinus) dan Isolat Protein Kedelai (Glycine max) sebagai Makanan
Potensial untuk Anak Balita Gizi Kurang. Pembimbing SRI ANNA MARLIYATI
dan CLARA M. KUSHARTO
RINGKASAN
Menurut Soekirman (2000), KEP merupakan masalah yang masih
memprihatinkan khususnya bagi anak dibawah usia lima tahun (balita). Pangan
hewani seperti ikan merupakan sumber gizi yang dapat diandalkan untuk
mendukung perbaikan gizi masyarakat karena tergolong sebagai pangan
bermutu tinggi. Tepung ikan merupakan salah satu pangan hewani yang
merupakan produk hasil olahan ikan belum dikembangkan secara maksimal.
Produk biskuit dapat dipandang sebagai media yang baik sebagai pangan yang
dapat memenuhi kebutuhan khusus manusia. Tujuan dari penelitian ini adalah
melakukan formulasi biskuit dengan substitusi tepung ikan lele dumbo dan isolat
protein kedelai sebagai pangan tinggi protein bagi anak-anak. Tujuan
penambahan isolat protein kedelai selain sebagai penambah kandungan protein
juga untuk memperbaiki tekstur biskuit.
Penelitian dibagi menjadi dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan
penelitian utama. Pada penelitian pendahuluan dilakukan pembuatan tepung
ikan lele dumbo yang terpisah antara pembuatan tepung badan dan kepalanya,
lalu dianalisis sifat fisik dan kimianya. Pada penelitian utama, dilakukan formulasi
biskuit menggunakan tepung ikan lele dumbo dan isolat protein kedelai. Setelah
didapatkan 4 formulasi berdasarkan trial and error dilakukan pemilihan formula
berdasarkan kesukaan panelis. Formula terpilih diujikan kembali kepada anak
balita gizi kurang dan ibu balita untuk mengetahui kesukaan dari balita dan ibu
balita. Setelah itu formula terpilih dianalisis sifat fisik dan sifat kimianya serta
dihitung kontribusinya terhadap AKG balita.
Proses pembuatan tepung ikan dibagi menjadi dua bagian yaitu
pembuatan tepung kepala dan tepung badan ikan lele dumbo. Pembuatan
tepung dimulai dari sortasi ikan, lalu dilanjutkan dengan pemasakan dengan
tekanan tinggi (presto), pengepresan, pengeringan dengan drum dryer dan
penggilingan dengan willey mill.
Berdasarkan pengukuran aw menggunakan aw-meter diketahui aw tepung
badan ikan adalah 0.71, sedangkan aw tepung kepala ikan adalah 0.66.
Pengukuran densitas kamba menunjukan bahwa tepung kepala ikan mempunyai
densitas kamba yang tebih tinggi daripada tepung badan ikan. Densitas kamba
tepung kepala ikan adalah 0.45 g/ml sedangkan densitas kamba tepung badan
ikan adalah 0.37 g/ml. Hasil pengukuran derajat putih tepung menunjukan bahwa
tepung ikan memiliki derajat putih yang lebih rendah daripada tepung terigu.
Tepung kepala ikan memiliki derajat putih yang lebih rendah daripada tepung
badan ikan. Derajat putih tepung kepala ikan adalah 29.00%, sedangkan derajat
putih tepung badan ikan adalah sebesar 30.96%. Analisis sifat kimia tepung ikan
lele dumbo didapat hasil, untuk tepung kepala ikan kadar air 8.72% (bb), kadar
abu 18.10% (bk), kadar protein 56.04 % (bk), kadar lemak 9.39% (bk) dan kadar
karbohidrat 7.84% (bk), sedangkan hasil analisis untuk tepung badan ikan
adalah kadar air 7.99% (bb), kadar abu 4.83% (bk) kadar protein 63.83% (bk),
kadar lemak 10.83% (bk) dan kadar karbohidrat 11.83% (bk).
Pembuatan formula didasarkan pada estimasi protein yang dihasilkan
biskuit. Pemilihan formula dilakukan melalui uji organoleptik pada biskuit. Hasil uji
organoleptik menentukan bahwa formula F4 yang memiliki penerimaan paling
tinggi. Formula F4 memiliki frekuensi penerimaan panelis paling tinggi untuk
atribut warna, aroma, rasa, dan tekstur. Formula F4 juga menunjukkan nilai beda
nyata dengan selang kepercayaan 95% untuk atribut warna, rasa, dan tekstur
setelah diuji dengan uji kergaman Kruskal Wallis Formula F4 mensubstitusi 15%
tepung terigu (dari jumlah adonan) oleh 3.5% tepung badan ikan, 1.5% tepung
kepala ikan dan 10% isolat protein kedelai.
Hasil uji organoleptik oleh panelis balita terhadap formula F4 dan biskuit
balita komersil yang terdapat dipasaran menunjukan penerimaan balita terhadap
kedua biskuit tersebut tidak beda nyata ketika dianalisis menggunakan statistik
Paired Samples T-Test pada taraf signifikansi 5%. Hasil uji organoleptik terhadap
ibu balita menunjukan bahwa lebih dari 70% ibu balita menyukai biskuit formula
F4 untuk atribut warna, aroma, rasa dan tekstur.
Analisis biskuit formula terpilih (F4) adalah kadar air 4.13% (bk), kadar
abu 2.52% (bk), kadar protein 19.55% (bk), kadar lemak 21.99% (bk) dan kadar
karbohidrat 55.94% (bk). Biskuit formula terpilih mengandung 480 kkal energi per
100 gram biskuit. Protein biskuit diukur daya cernanya menggunakan metode
enzimatik secara in vitro dan didapat daya cerna biskuit adalah sebesar 89.34%.
Sifat fisik biskuit diukur rendemen, daya serap air dan analisis tekstur.
Rendemen biskuit adalah 84,29%. Daya serap air biskuit adalah 1.79 ml/g.
Sedangkan hasil uji tekstur menunjukkan nilai untuk parameter kerenyahan
246.6 N/mm.
Berdasarkan analisis kontribusi zat gizinya, formula terpilih dapat
dikatakan sebagai pangan tinggi protein karena dapat memenuhi target 20%
protein berdasarkan AKG balita. Untuk memenuhi target tersebut, jumlah yang
harus dikonsumsi balita setiap harinya adalah 4 keping biskuit atau setara
dengan 50 gram biskuit. 50 gram biskuit dapat memberikan 240 kkal energi, 9.8
gram protein, 26.9 gram karbohidrat dan 10.6 gram lemak.
FORMULASI BISKUIT DENGAN SUBSTITUSI TEPUNG IKAN
LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DAN ISOLAT PROTEIN
KEDELAI (Glycine max) SEBAGAI MAKANAN POTENSIAL
UNTUK ANAK BALITA GIZI KURANG
MERVINA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat
Disetujui:
Diketahui,
Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Tanggal Pengesahan:
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus atas berkat-Nya
yang berlimpah sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis juga
hendak menyampaikan terima kasih pada pihak-pihak yang telah banyak
membantu dalam pembuatan skripsi ini.
1. Papi, mami, koko kodok atas dukungan dan doa yang terus-menerus.
2. Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M. Si selaku dosen pembimbing I yang telah banyak
memberikan pembelajaran, bimbingan, dan pengarahan selama pembuatan
skripsi. Senang sekali bisa mendapat bimbingan ibu.
4. Seluruh tim Hibah Kemitraan: Dr. Ir. Inggrid Surono, M. Sc; Dr. Ir. Sri Anna
Marliyati, M. Si; Prof. Dr. Ir. Made Astawan; Leily Amalia. STP, MS; dr. Mira
Dewi, S. Ked; Ir. Annis Catur Adi, M. Si; Rini Harianti, S. Si; Astrisia Artanti,
STP; Saad Bakery (Kunciran-Tangerang); DeJee Fish (Cibaraja, Sukabumi);
dan Pemerintah Kabupaten Sukabumi atas kerjasama dalam penelitian ini.
5. Dr. Ir. Lilik Kustiyah, M.Si selaku dosen penguji skripsi yang telah bersedia
dan meluangkan waktu untuk menguji.
6. Keluarga besar Sukamto dan Kengsiswoyo atas dukungan baik secara moril
dan materiil sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di IPB.
10. Herviana Ferazuma, Natalia Dessy W, Ervina, dan seluruh mahasiswa Gizi
Masyarakat angkatan 42 atas kekompakan dan hari-hari perkuliahan yang
menyenangkan We are cream of the cream.
11. Yoanita Santoso (isopit), Rina Kisaragi, Kabuto, dan Kotaro Minami yang
memberikan penghiburan kepada penulis setiap saat dalam pembuatan
skripsi.
12. Keluarga Besar Perwira 45 ank. 42: Fransisca Eka, Lisa Noviani, Aninda
Puspasari, Stella Belinda, Eveline Septiana, Kalista R. Putri, Leo Adi W.,
Anthony Demas, Pratiwi, dan lain-lain yang tidak dapat disebutkan satu per
satu, atas kebersamaan dan kekeluargaan yang menyenangkan sampai
tahun terakhir.
14. Para Laboran yang dengan sabar mendampingi dan membantu penelitian:
khususnya Pak Mashudi (terima kasih banyak pak), Ibu Rizki, dan Ibu Nina,
Pak Nurwanto, Pak Wahid, Ibu Rubiah, dan Pak Rojak.
16. Indah Lestari; Martha Clarissa R, Vina Lyana, Edwin, Ferry Gracyano, Jimmy
Effendi, dr. Claudia Tiwow, Kezia Winie dan Timotius atas persahabatan
yang luar biasa.
17. Mr. Manahat Sitorus dan Ms. Devie atas dorongan dan semangatnya
sehingga penulis berkuliah di IPB
18. Keluarga besar Kemaki (Keluarga Mahasiswa Katolik IPB), yang memberikan
keluarga sejak pertama penulis diterima di IPB.
Serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima
kasih.
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Latar Belakang
Masalah gizi makro terutama masalah kurang energi protein telah
mendominasi perhatian para pakar gizi selama puluhan tahun. KEP (Kurang
Energi Protein) adalah salah satu masalah gizi kurang akibat konsumsi makanan
yang tidak cukup mengandung energi dan protein serta karena gangguan
kesehatan. Sejak sebelum merdeka sampai sekitar tahun 1960-an, masalah KEP
adalah masalah yang cukup besar di Indonesia. Saat ini masalah KEP pada
orang dewasa tidak sebesar masa lalu, kecuali pada wanita terutama di daerah
miskin. Namun pada anak-anak khususnya anak dibawah usia lima tahun
(balita), sampai sekarang KEP merupakan masalah yang masih memprihatinkan
(Soekirman 2000).
Menurut Khomsan (2004), pangan hewani merupakan sumber gizi yang
dapat diandalkan untuk mendukung perbaikan gizi masyarakat. Pangan hewani
mempunyai keunikan yang menyebabkan kelompok pangan ini tergolong
sebagai pangan bermutu tinggi. Keunikan tersebut dikarenakan pangan hewani
memiliki kandungan asam amino esensial yang lengkap, mengandung zat besi
heme yang mudah diserap, dan mempunyai nilai cerna protein yang tinggi. Ikan
sebagai bahan pangan hewani memiliki beberapa keunggulan dibandingkan
sumber protein lainnya diantaranya kandungan protein yang cukup tinggi (sekitar
20%) dalam tubuh ikan tersusun oleh asam-asam amino yang berpola mendekati
kebutuhan asam amino dalam tubuh manusia. Daging ikan juga mengandung
asam-asam lemak tak jenuh dengan kadar kolesterol yang sangat rendah yang
dibutuhkan oleh tubuh manusia. Selain itu, daging ikan mengandung sejumlah
mineral dan vitamin yang diperlukan tubuh (Adawyah 2007).
Menurut Azhar (2006), ikan lele adalah salah satu ikan air tawar yang
paling banyak diminati serta dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia dari berbagai
lapisan. Harganya yang terjangkau membuat ikan lele terdistribusi secara merata
hampir di seluruh pelosok tanah air. Salah satu jenis ikan lele yang populer di
masyarakat adalah lele dumbo (Clarias gariepinus). Lele dumbo memiliki
berbagai kelebihan sehingga lele dumbo termasuk ikan yang paling mudah
diterima masyarakat. Kelebihan tersebut diantaranya adalah pertumbuhannya
cepat, memiliki kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan yang tinggi,
rasanya enak dan kandungan gizinya cukup tinggi (Annonymous 2006).
Di samping keunggulan-keunggulan yang dimiliki, ikan juga memiliki
beberapa kekurangan, yaitu kandungan air yang tinggi (80%) dan pH tubuh ikan
yang mendekati netral menyebabkan daging ikan mudah rusak. Selain itu
kandungan asam lemak tak jenuh menyebabkan daging ikan mudah mengalami
proses oksidasi sehingga menyebabkan bau tengik. Hal-hal tersebut dapat
menghambat penggunaannya sebagai bahan pangan. Oleh karena itu diperlukan
proses pengolahan untuk menambah nilai, baik dari segi gizi, rasa, bau, bentuk,
maupun daya awetnya (Adawyah 2007).
Tepung ikan merupakan salah satu produk pengolahan hasil samping
ikan. Usaha pengolahan tepung ikan memerlukan banyak bahan baku ikan segar
dengan harga murah karena rendemennya relatif kecil. Sampai saat ini
penggunaan tepung ikan belum dilakukan secara maksimal. Kegunaan utama
tepung ikan masih sebatas bahan campuran pakan ternak (Moeljanto 1992).
Pembuatan tepung ikan berbahan dasar ikan lele dumbo dapat menjadi
suatu bentuk alternatif bahan pangan. Selain memiliki daya simpan yang cukup
lama dibandingkan dengan ikan segar, bentuk yang berupa tepung diharapkan
menjadikan tepung ikan lebih fleksibel dalam pemanfaatannya. Penggunaan
tepung ikan sebagai bahan substitusi tepung terigu pada pembuatan biskuit
merupakan salah satu alternatif penggunaan yang menjanjikan, terutama dari
segi kualitas zat gizi yang dihasilkan.
Menurut Manley (2000), biskuit merupakan makanan yang cukup populer.
Biskuit merupakan pangan praktis karena dapat dimakan kapan saja dan dengan
pengemasan yang baik, biskuit memiliki daya simpan yang relatif panjang.
Biskuit dapat dipandang sebagai media yang baik sebagai salah satu jenis
pangan yang dapat memenuhi kebutuhan khusus manusia. Berbagai jenis biskuit
telah dikembangkan untuk menghasilkan biskuit yang tidak hanya enak tapi juga
menyehatkan. Dengan menambahkan bahan pangan tertentu seperti tepung ikan
lele ke dalam proses pembuatan biskuit, dapat dihasilkan biskuit dengan nilai
tambah yang baik untuk kesehatan.
Tepung kedelai biasa digunakan sebagai komponen utama dalam
pembuatan biskuit yang tinggi protein. Penggunaan tepung kedelai juga dapat
dikatakan memperbaiki tekstur biskuit. Kedelai juga biasa digunakan sebagai
bahan baku industri pangan. Salah satu bahan baku industri dari kedelai adalah
isolat protein. Fungsi utama isolat protein kedelai dalam bahan pangan adalah
untuk memperbaiki kandungan gizi produk makanan yang diproduksi (Manley
2000).
Tujuan
Tujuan umum dari penelitian ini adalah melakukan formulasi biskuit
dengan substitusi tepung ikan lele dumbo dan isolat protein kedelai sebagai
pangan tinggi protein, sedangkan tujuan khususnya adalah:
1. Membuat tepung badan dan tepung kepala ikan lele dumbo.
2. Menganalisis sifat fisik (aw, densitas kamba dan derajat putih) dan sifat kimia
(kadar karbohidrat, kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein) tepung
ikan lele dumbo.
3. Melakukan formulasi biskuit dengan substitusi tepung ikan lele dumbo dan
tepung isolat protein kedelai.
4. Melakukan uji organoleptik untuk menentukan formula biskuit terpilih pada
panelis semi terlatih.
5. Melakukan uji organoleptik biskuit formula terpilih pada anak dan ibu balita.
6. Menganalisis sifat fisik (rendemen, densitas kamba, daya ikat air, tekstur)
dan sifat kimia (kadar karbohidrat, kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar
protein, serta daya cerna protein) formula biskuit terpilih.
7. Menganalisis kontribusi zat gizi yang dapat diberikan biskuit dengan
substitusi tepung ikan lele dan tepung isolat protein kedelai terhadap AKG
anak balita.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
masyarakat mengenai makanan anak balita dengan menggunakan bahan baku
ikan lele dan isolat protein kedelai yang bukan saja disukai rasanya tetapi juga
merupakan sumber protein yang sangat dibutuhkan oleh balita untuk
pertumbuhan dan perkembangan. Selain itu dengan memproduksi biskuit ini
diharapkan dapat masyarakat dapat diberdayakan.
Produk yang dihasilkan diharapkan dapat digunakan sebagai alternatif
produk pangan yang dapat berfungsi untuk memperbaiki status gizi anak. Selain
itu, penelitian ini juga dapat bermanfaat untuk meningkatkan pemanfaatan
tepung ikan dan isolat protein kedelai menjadi makanan yang mengandung
protein tinggi.
TINJAUAN PUSTAKA
Protein Ikan
Menurut Hadiwiyoto (1993), protein yang terdapat pada daging ikan,
berdasarkan sifat kelarutannya dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu protein
sarkoplasma yang larut dalam air, protein miofibrillar yang larut dalam air garam
dan protein stoma yang larut dalam alkali. Jumlah masing-masing kelompok
akan berbeda berdasarkan spesiesnya. Lebih jauh lagi jumlah yang dapat
diekstraksi bergantung pada proses penghancuran, pencampuran, pH, dan
tingkat denaturasi selama penyimpanan dan pengolahan (Sikorski et al. 1990).
Protein sarkoplasma merupakan penamaan terhadap protein yang
terdapat dalam sarkolema. Sarkolema merupakan kompleks cairan yang
terdapat dalam endomisium yang memisahkan antara satu miofibril dengan
miofibril lainnya (Pearrson dan Young 1989). Di samping mengandung asam
nukleat, lipoprotein dan darah, kebanyakan protein sarkolema ini merupakan
enzim (Sikorski et al. 1990). Pada waktu ikan masih hidup, enzimenzim tersebut
berfungsi dalam sintesa senyawasenyawa yang diperlukan tubuh. Setelah ikan
mati, fungsi enzimenzim tersebut berubah menjadi perusak tubuh ikan
(Hadiwijoyoto 1993). Walaupun tidak lebih rendah nilai gizinya dibanding dengan
protein miofibrillar namun karena sifatnya yang dapat merugikan, protein ini
dibuang selama penyucian daging lumat pada pembuatan surimi (Suzuki 1991).
Protein miofibrillar adalah protein yang menyusun miofibril dan
merupakan unit struktur dasar yang bertanggung jawab terhadap kontraksi
selama pergerakan (Pearson dan Young 1989). Protein ini terutama sekali terdiri
dari miosin aktin, dan protein pengatur seperti troponin, tropomiosin, dan aktinin.
Miosin merupakan komponen utama protein miofibrillar dan menyusun antara 50-
56% dari keseluruhan protein miofibrillar. Kandungan aktin lebih sedikit yaitu
antara 15-20%, sedangkan troponin, tropomiosin, dan aktinin hanya menyusun
sekitar 10% (Sikorski et al. 1990). Miofibril juga disusun oleh protein sitoskeletal,
namun persentasenya lebih kecil (Pearson dan Young 1989).
Residu setelah semua protein sarkoplasma dan miofibrillar diekstrak
adalah stroma yang merupakan jaringan pengikat. Komponen stroma terdiri dari
kolagen dan elastin (Sikorski et al. 1990). Disamping terdapat dalam urat daging,
protein ini terikat juga pada tulang, gigi, jaringan mukosa, lapisan luar organ
dalam, dan pada sistem kardiovaskular (Pearson dan Young 1989).
Kandungan protein ikan erat kaitannya dengan kandungan lemak dan
airnya. Ikan yang mengandung lemak rendah rata-rata memiliki protein dalam
jumlah besar, sedangkan pada ikan gemuk sebaliknya. Kandungan protein ikan
umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan hewan darat yang akan
menghasilkan kalori lebih tinggi. Dalam tubuh manusia protein memegang
peranan penting dalam pembentukan jaringan. Kandungan asam amino esensial
pada daging ikan dapat dikatakan sempurna, artinya semua jenis asam amino
esensial terdapat pada daging ikan, tetapi perlu diperhatikan beberapa asam
amino tidak mencukupi kebutuhan manusia diantaranya fenilalanin, triptofan, dan
metionin. Kandungan protein pada daging ikan cukup tinggi dan berpola
mendekati pola kebutuhan asam amino di dalam tubuh manusia. Iakn
mempunyai nilai biologis yang tinggi. Berdasarkan hasil penelitian daging ikan
mempunyai nilai biologis sebesar 90% (Adawyah 2007).
Tepung Ikan
Ilyas (2003) menyatakan, tepung ikan adalah produk padat yang
dihasilkan dengan jalan mengeluarkan sebagian besar air dan sebagian atau
seluruh lemak dalam ikan atau sisa ikan. Tepung ikan merupakan salah satu
hasil pengawetan ikan dalam bentuk kering untuk kemudian digiling menjadi
tepung. Cara pengolahan yang paling mudah dan praktis adalah dengan
mencincang ikan kemudian mengeringkannya dengan sinar matahari atau
dengan mengeringan mekanis.
Pembuatan tepung ikan didasarkan pada pengurangan kadar air pada
daging ikan. Kadar air pada daging ikan hal yang menentukan pada proses
pembusukan. Bila kadar airnya dikurangi maka proses pembusukan dapat
terhambat. Bila proses pengeringannya berjalan terus menerus, maka proses
pembusukannya akan berhenti. Pada pembuatan tepung ikan selain
menggunakan metode pengeringan dapat didahului dengan pemanasan suhu
tinggi. Hal ini digunakan untuk menghentikan proses pembusukan, baik oleh
bakteri, jamur, maupun enzim. Proses pembusukan dapat dihentikan sama sekali
bila waktu dan suhu yang digunakan cukup (Moeljanto 1982b).
Menurut Departemen Perdagangan (1982), tepung ikan memiliki nilai gizi
yang tinggi terutama kandungan proteinnya yang kaya akan asam amino
essensial, terutama lisin dan metionin. Disamping itu tepung ikan juga kaya akan
vitamin B, mineral, serta memiliki kandungan serat yang rendah. Tepung ikan
merupakan juga merupakan sumber kalsium (Ca) dan phospor (P). Tepung ikan
juga mengandung trace element seperti seng (Zn), yodium (I), besi (Fe), mangan
(Mn) dan kobalt (Co) (Moeljanto 1982a).
Usaha pembuatan tepung ikan dapat menggunakan limbah ikan karena
relatif murah dan mudah didapat, juga menggunakan peralatan yang sederhana
(LIPI 1999). Sebagian produksi tepung ikan dunia digunakan untuk makanan
ternak. Karena banyak pabrik tepung ikan dibangun di negara-negara yang telah
maju industri perikanannya, biasanya tepung ikan dijual dalam bentuk siap pakai.
Tepung ikan yang bermutu baik harus mempunyai sifat-sifat berikut: butiran-
butirannya agak seragam, bebas dari sisa-sisa tulang, mata ikan dan benda-
benda asing lainnya.
Menurut Ilyas (1993), urutan pengolahan tepung ikan adalah
pencincangan, pemasakan, pengpresan, pengeringan, dan penggilingan.Tepung
ikan yang baru selesai diolah biasanya berwarna abu-abu kehijauan. Setelah
disimpan, terutama dalam suhu tinggi, warnanya berubah menjadi cokelat
kekuningan. Akan tetapi perubahan ini tidak mempengaruhi nilai gizinya. Baunya
seperti ikan yang lama-kelamaan menjadi tengik (Moeljanto 1982a).
Komposisi kimia yang ada dalam tepung ikan tidak jauh berbeda dengan
yang ada dalam ikan sebagai bahan bakunya, yaitu air, protein, lemak, mineral
dan vitamin serta senyawa-senyawa nitrogen lainnya. Namun setelah mengalami
pengolahan, komposisi kimia dalam tepung ikan menjadi berubah, terutama
akibat terjadinya pengurangan kadar minyak, kadar air dan kerusakan
(perubahan) senyawa kimia tertentu terutama dalam pemanasan (thermo
processing) (Sunarya 1990). Komposisi kimia tepung ikan juga ditentukan oleh
jenis ikan, mutu bahan baku yang digunakan dan cara pengolahannya (Brody di
dalam Hapsari 2002).
Menurut LIPI (1999), komposisi kimia tepung ikan ditentukan oleh jenis
ikan yang digunakan. Sebagai pedoman, tepung ikan yang bermutu harus
mempunyai komposisi sebagai berikut:
- air (moisture) 6%-10%
- lemak 5%-12%
- protein 60%-75%
- abu 10%-20%
Menurut Moljanto (1982), jarang dijumpai tepung ikan dengan kadar air
kurang dari 6% sebab pada tingkat ini tepung ikan bersifat higroskopis. Brody di
dalam Hapsari (2002) mengatakan kadar air tepung ikan rata-rata 18% dengan
selang terendah 6 sampai 10%. Sejenis jamur (mold) dapat tumbuh pada kadar
air tepung ikan.
Tepung ikan dengan kadar protein tinggi menghasilkan kadar mineral
sekitar 12% dan 33% untuk kadar protein yang rendah. Sebagian besar abu dan
mineral dalam tepung ikan berasal dari tepung-tepung ikan. Kadar mineral
tepung akan tinggi bila bahan mentahnya berasal dari sisa-sisa ikan berupa
kepala dan tulang-tulang ikan. Sebagian besar abu berupa kalsium fosfat.
Tepung ikan juga mengandung trace element, diantaranya Zn, I, Fe, Cu, Mn, dan
Co (Moljanto 1982).
Menurut Ilyas (2003) tepung akan lebih baik mutunya bila bahan mentah
yang dipakai terdiri dari ikan yang tidak berlemak (lean fish). Jika bahan mentah
berasal dari ikan yang berlemak, tepung yang dihasilkan akan banyak
mengandung lemak. Kebanyakan tepung ikan mengandung lemak 5-10% dan
protein sebesar 60-65%.
Kedelai
Kedelai (Glysine max (L.) Merr) termasuk ordo Polypetales, famili
Leguminosae, sub famili Papilionaceae dan genus Glysin L. (Bunasor 1988).
Secara umum, biji kedelai terdiri dari kulit biji (hull) dan dua keping biji
(cotyledons). Keping biji merupakan bagian utama biji dan di bagian inilah
minyak dan protein kedelai tersimpan. Kulit biji menyatukan kedua keping biji dan
sekaligus memberikan perlindungan. Selanjutnya kulit biji dapat dipisahkan dari
biji dengan menggunakan prinsip aspirasi.
Matthews (1989), menyatakan bahwa kedelai merupakan salah satu
sumber protein nabati yang cukup potensial untuk dikembangkan karena
kandungan protein dan lemaknya yang tinggi, yaitu 40% dan 21%. Komposisi
kimia biji kedelai dan bagiannya diperlihatkan pada Tabel 3 dan Tabel 4.
Tabel 3 Komposisi kimia kedelai
Komponen Komposisi
Kalori (Kal) 331.0
Air (%) 7.5
Mutu cerna protein hewani seperti daging, ikan dan susu umumnya
sekitar 90-100%, karena proteinya mudah dicerna oleh tubuh, sedangkan mutu
cerna bahan pangan nabati seperti sayuran antara 60-80%. Perbedaan ini bukan
disebabkan oleh perbedaan kandungan asam amino yang dikandungnya tetapi
karena perbedaan kandungan selulosa dan bahan lain yang melindungi protein
(Khumaidi 1987).
Makanan Balita
Menurut Khomsan (2004) bayi sampai anak berusia 5 tahun yang lazim
disebut balita termasuk sebagai golongan penduduk yang rawan terhadap
kekurangan zat gizi termasuk KEP. Terjadinya gizi kurang pada anak balita tidak
selalu didahului dengan terjadinya bencana kurang pangan dan keaparan
sehingga upaya penangulangannya memerlukan pendekatan. Salah satunya
adalah dengan memperbaiki aspek makanan.
Menurut Wiyati (2004), anak balita atau disebut juga anak prasekolah
adalah anak-anak yang berumur di bawah 5 tahun. Anak balita merupakan salah
satu sasaran utama program gizi. Sejak usia tertentu, disamping ASI (air susu
ibu) anak balita juga diberi makanan tambahan. Makanan tambahan adalah
makanan yang diberikan untuk membantu mencukupi kebutuhan akan zat gizi
yang diperlukan. Agar dapat memenuhi fungsinya, makanan tambahan bermutu
baik (Hermana 1985 dalam Wiyati 2004).
FAO/WHO (1994) telah menerbitkan petunjuk mengenai pengembangan
formula makanan bagi anak balita. Disebutkan bahwa energi yang dapat
disajikan tiap 100 gram produk, minimal sebanyak 400 Kal. Komposisi zat gizi
dari formula makanan tambahan untuk anak balita dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Komposisi zat gizi formula makanan tambahan
Zat Gizi Jumlah per 100 g
Energi (kal) 400
Protein (g) 15
Lemak (g) 10-25
Vitamin A (g RE) 266.7
Vitamin D (g) 6.7
Vitamin E (mg) 3.3
Vitamin C (mg) 13.3
Tiamin (mg) 0.3
Riboflavin (mg) 0.5
Niasin (mg) 6
Vitamin B6 (g) 0.6
Asam Folat (g) 33.3
Vitamin B12 (g) 0.7
Kalsium (mg) 533.3
Besi (mg) 8
Zink (mg) 6.67
Sumber: FAO/WHO 1994
Semakin meningkat usia anak balita, semakin meningkat meningkat pula
kebutuhan akan zat-zat gizi yang harus tersedia dalam makanan. Angka
kecukupan zat gizi rata-rata yang dianjurkan untuk bayi dan anak balita terlihat
pada Tabel 7.
Tabel 7 Angka kecukupan zat gizi rata-rata yang dianjurkan untuk bayi dan anak
balita (per orang per hari)
Golongan Umur
0-6 bulan 7-11 bulan 1-3 tahun 4-6 tahun
Berat Badan (kg) 6.0 8.5 12 18
Tinggi Badan (cm) 60 71 90 110
Energi (kkal) 550 650 1000 1550
Protein (g) 10 16 25 39
Vitamin A (RE, g) 375 400 400 450
Tiamin (mg) 0.2 0.4 0.5 0.8
Riboflavin (mg) 0.3 0.4 0.5 0.6
Piridoksin (mg) 0.1 0.3 0.5 0.6
Niacin (mg) 2 4 6 8
Vitamin B12 (mg) 0.4 0.5 0.9 1.2
Asam Folat (mg) 65 80 150 200
Vitamin C (mg) 40 50 40 45
Kalsium (mg) 200 400 500 500
Fosfor (mg) 100 225 400 400
Besi (mg) 0.3 10 7 8
Seng (mg) 5.5 7.5 8.2 9.7
Iodium (g) 90 120 90 120
Sumber: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII 2004
Biskuit
Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), biskuit adalah sejenis
makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan
lain, dengan proses pemanasan dan pencetakan. Biskuit diproses dengan
pemanggangan sampai kadar air tidak lebih dari 5%. Biskuit sifatnya mudah
dibawa karena volume dan beratnya yang kecil dan umur simpannya yang relatif
lama. Biskuit dapat dikarakterisasi dari tingginya kandungan gula dan shortening
serta rendahnya kandungan air di dalam adonan (Faridi dan Faubion 1990).
Biskuit yang baik harus memenuhi syarat mutu yang ditetapkan SNI 01-
2973-1992 seperti yang terdapat pada tabel 8. Selain itu biskuit umumnya
berwarna cokelat keemasan, permukaan agak licin, bentuk dan kuran seragam,
kering, renyah dan ringan serta aroma yang menyenangkan (Matz dan Matz
1978).
Tabel 8 Syarat mutu biskuit
Komponen Syarat Mutu
Air Maksimum 5%
Protein Minimum 9%
Lemak Minimum 9.5%
Karbohidrat Minimum 70%
Abu Maksimum 1.5%
Logam Berbahaya Negatif
Serat Kasar Maksimum 0.5%
Kalori (per 100 gr) Minimum 400
Jenis Tepung Terigu
Bau dan Rasa Normal, tidak tengik
Warna Normal
Sumber: Standar Nasional Indonesia 1992
Dimasak dengan autoklaf dengan suhu Dimasak dengan autoklaf dengan suhu
121oC selama 2 jam 121oC selama 2 jam
Tepung badan ikan lele dumbo Tepung kepala ikan lele dumbo
Ditambahkan telur
Adonan kalis
Adonan dingin
Uji organoleptik juga dilakukan pada ibu balita terhadap formula terpilih. Uji ini
dilakukan terhadap 30 ibu balita gizi kurang yang berasal dari Kecamatan Cikakak dan
Kadu Dampit, Kabupaten Sukabumi. Penilaian dilakukan terhadap atribut warna, aroma,
rasa dan tekstur biskuit. Nilai yang diberikan berada pada rentang 1 sampai 5, dimana
nilai 1 untuk penilaian sangat tidak suka dan 5 untuk penilaian sangat suka. Kuesioner uji
organoleptik pada panelis ibu balita dapat dilihat pada Lampiran 5.
Pengolahan dan Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian utama adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial yang terdiri dari dua faktor, yaitu
substitusi tepung ikan lele dumbo dan substitusi isolat protein kedelai. Faktor
substitusi tepung ikan lele dumbo terdiri dari 2 taraf (substitusi tepung ikan
sebanyak 100 gram dan substitusi sebanyak 50 gram), faktor tepung isolat
protein kedelai juga terdiri dari dua taraf (penambahan 100 gram dan
penambahan 50 gram). Oleh karena itu, ada empat kombinasi perlakuan. Model
matematisnya (Sudjana 1995) adalah sebagai berikut :
Yijk = + Ai + Bj + ABij + (ij)k
Keterangan :
Yijk = Nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-k akibat taraf ke-i faktor
tepung ikan lele dumbo dan taraf ke-j faktor isolat protein kedelai
= Nilai tengah populasi
Ai = Pengaruh penambahan taraf ke-i dari faktor tepung ikan lele dumbo
Bj = Pengaruh penambahan taraf ke-j dari faktor isolat protein kedelai
ABij = Pengaruh interaksi taraf ke-i tepung ikan lele dumbo dan taraf ke-j isolat
protein kedelai
(ij)k = Pengaruh galat dari satuan percobaan ke-k yang memperoleh
perlakuan tepung ikan lele dumbo pada taraf ke-i dan isolat protein
kedelai pada taraf ke-j
i = Banyaknya taraf penambahan tepung ikan lele dumbo
j = Banyaknya taraf penambahan isolat protein kedelai
k = Banyaknya ulangan (k= 1)
Data sifat kimia dan sifat fisik ditabulasi dan dirata-ratakan menggunakan
Microsoft Excel, sedangkan data hasil uji organoleptik dianalisis secara deskriptif
menggunakan skor modus masing-masing perlakuan. Untuk mengetahui
pengaruh perlakuan terhadap daya terima panelis semi terlatih dilakukan analisis
statistik non-parametrik Kruskal Wallis. Jika hasil uji berbeda nyata di antara
perlakuan, maka dilanjutkan dengan Multiple Comparison Test. Sedangkan untuk
mengetahui penerimaan balita terhadap biskuit ikan dibandingkan dengan biskuit
komersial dilakukan analisis menggunakan uji perbandingan Paired Sample T-
Test.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tepung Ikan
1. Pembuatan Tepung Ikan
Persiapan utama dalam pembuatan biskuit pada penelitian ini adalah
pembuatan tepung ikan lele dumbo. Ikan lele dumbo yang digunakan berasal
dari DeJee Fish yang merupakan salah satu tempat budidaya ikan lele dumbo di
daerah Cibaraja, Kabupaten Sukabumi. Ikan lele yang digunakan berumur 3-4
bulan dan mempunyai panjang 40-60 cm. Pembuatan tepung ikan lele dumbo
diawali dengan sortasi ikan. Ikan yang telah dimatikan dikuliti dan dibuang isi
perutnya. Lalu dipisahkan antara bagian badan ikan dan kepala ikan. Menurut
LIPI (1999), pada pembuatan tepung ikan sebagai pakan ternak seluruh bagian
ikan digunakan terutama limbah ikan. Tapi pada pembuatan tepung ikan yang
digunakan pada penelitian ini kulit dan isi perut ikan dibuang. Pembuangan kulit
bertujuan agar tepung ikan yang dihasilkan memiliki warna yang lebih cerah,
sedangkan pembuangan isi perut bertujuan untuk menghambat kerusakan ikan
sebelum ditangani. Hal ini sesuai dengan Wibowo (2006) yang menyatakan
bahwa dalam pembuatan filet ikan isi perut yang menjadi sumber enzim dan
bakteri harus disiangi agar tidak mencemari daging ikan.
Gambar 4 Ikan lele dumbo yang telah dikuliti dan dibuang isi perutnya
Proses selanjutnya dalam pembuatan tepung ikan lele dumbo adalah
pemasakan. Ikan dikukus dengan tekanan tinggi (presto) dengan menggunakan
autoklaf. Menurut Moeljanto (1982b), tujuan utama proses pemanasan adalah
untuk menghentikan proses pembusukan, baik oleh bakteri, jamur, maupun
enzim. Proses pemanasan menurut Mendez dan Abuin (2006), dapat
menghindarkan terbentuknya off-flavor pada produk ikan. Selain itu, proses
pembusukan dapat dihentikan sama sekali bila waktu dan suhu yang digunakan
cukup sehingga pada pembuatan tepung ini digunakan suhu 121C selama 2
jam. Proses pemanasan dengan tekanan tinggi juga bertujuan untuk melunakkan
tulang ikan sehingga dapat meningkatkan rendemen tepung. Selain itu
diharapkan pula tulang ikan dapat memberikan sumbangan mineral pada tepung.
Proses pemasakan badan dan kepala ikan dilakukan secara terpisah agar
keempukan bahan yang dihasilkan seragam. Proses pemanasan menurut
Fennema (1996) juga memiliki efek yang menguntungkan, yaitu dalam hal
inaktifasi toksin dalam bentuk protein seperti toksin botulinum yang dihasilkan
oleh Clostridium botulinum dan enterotoksin yang dihasilkan oleh
Staphylococcus aureus. Fennema menambahkan bahwa proses pemanasan
dapat menyebabkan denaturasi protein yang akan meningkatkan daya cerna
pangan. Pemanasan juga dapat menginaktifkan beberapa enzim yang terkait
dengan kerusakan pangan seperti protease, lipase serta enzim yang bersifat
oksidatif dan hidrolisis.
Pembuatan tepung ikan didasarkan pada pengurangan kadar air pada
ikan. Menurut Moeljanto (1982b), kadar air pada daging ikan hal yang
menentukan pada proses pembusukan. Bila kadar airnya dikurangi maka proses
pembusukan dapat terhambat. Oleh karena itu, setelah dimasak daging dan
kepala ikan yang telah matang dipres untuk mengeluarkan sebagian besar air
dan sebagian minyak. Selain itu Moeljanto juga menyatakan bahwa bila proses
pengeringannya berjalan terus menerus, maka proses pembusukannya akan
berhenti, sehingga setelah pengepresan dilakukan pengeringan lebih lanjut
dengan menggunakan drum dryer.
Menurut Juming et al (2003) di dalam Fernando (2008), penggunaan
drum dryer memiliki beberapa keuntungan, antara lain produk yang dihasilkan
memiliki porositas dan rehidrasi yang baik, alat yang digunakan bersih dan
higienis karena suhu alat yang tinggi dapat menginaktifkan mikroorganisme, dan
mudah dioperasikan. Menurut Brennan (1974), alat pengering drum memiliki
kecepatan pengeringan yang tinggi dan penggunaan panas yang ekonomis.
Selain itu Bluestein dan Labuza (1988) mengatakan bahwa drum dryer
merupakan salah satu metode pengeringan yang relatif murah. Penggunaan
pengering drum pada penelitian ini juga didasarkan pada bentuk bahan. Ikan
setelah dipres akan berbentuk pure agak kering yang dapat ditaburkan dari atas
drum.
Pada pembuatan tepung ikan, drum dryer yang digunakan bersuhu 80oC
dengan tekanan 3 bar. Pengeringan dengan pemanas drum menghasilkan
serpihan ikan kering yang sangat tipis yang kemudian dihaluskan menggunakan
willey mill. Tepung yang dihasilkan setelah penggilingan berukuran sekitar 60
mesh. Tepung daging atau tubuh ikan berwarna cokelat muda, sedangkan
tepung kepala berwarna agak gelap (Gambar 5) karena pada proses pembuatan
tepung kepala, lapisan kulit yang berwarna hitam pada kepala ikan lele tidak
dibuang. Selain itu, warna tepung kepala yang lebih gelap daripada tepung
badan ikan diduga karena reaksi pencoklatan yang terjadi pada tepung kepala
ikan lebih tinggi. Pada proses pengeringan, suhu dan waktu yang digunakan
pada tepung badan dan kepala sama, sedangkan pada kepala ikan kandungan
airnya lebih sedikit daripada badan ikan sehingga kecepatan mengeringnya
berbeda.
A B
Gambar 5 Tepung badan (A) dan kepala (B) ikan lele dumbo
a. aw
Menurut Bluestein dan Labuza (1988), air terdistribusi dalam bahan
pangan walaupun pangan telah dikeringkan. Kandungan air dalam bahan
pangan mempengaruhi daya tahan makanan terhadap serangan mikroorganisme
yang dinyatakan dengan aw. Menurut Winarno (1997), aw adalah jumlah air bebas
yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Berbagai
mikroorganisme mempunyai aw minimum agar dapat tumbuh. Hasil pengukuran
aw tepung badan dan kepala ikan lele dumbo disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6 aw tepung badan ikan dan tepung kepala ikan
Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat aw tepung badan (0.71) ikan
lebih besar daripada tepung kepala ikan (0.66). Menurut Bluestein dan Labuza
(1988), mikroorganisme yang mungkin tumbuh kisaran aw tersebut adalah
kapang.
b. Densitas Kamba
Densitas kamba merupakan perbandingan antara berat bahan dengan
volume bahan itu sendiri dengan satuan g/ml. Semakin tinggi densitas kamba
menunjukkan produk semakin ringkas atau padat. Nilai densitas juga
menunjukkan porositas bahan. Bahan yang lebih ringkas memiliki porositas yang
lebih sedikit karena lebih sedikit rongga antar partikel. Banyaknya rongga antar
partikel dan besarnya ukuran partikel akan menyebabkan banyak ruang kosong
tersisa yang seharusnya terisi oleh partikel tersebut. Hal ini menyebabkan jumlah
partikel yang menempati suatu volume ruang lebih sedikit (Khalil 1999).
Gambar 7 Densitas kamba tepung badan ikan dan tepung kepala ikan
Berdasarkan hasil pengukuran (gambar 7), diketahui bahwa densitas
kamba tepung badan ikan (0.3710) lebih kecil daripada tepung kepala ikan
(0.4537). Densitas kamba menunjukan kepadatan partikel yang menempati
ruang pada volume tertentu. Nilai densitas kamba yang lebih rendah
menunjukkan pada volume yang sama jumlah partikel yang menempati ruang
pada volum tersebut adalah lebih ringan daripada tepung dengan densitas yang
lebih tinggi. Berarti dalam berat yang sama, volume tepung badan ikan dengan
densitas kamba lebih rendah adalah lebih besar daripada volume tepung kepala
ikan dengan densitas kamba yang lebih tinggi.
Wirakartakusumah et al (1999) menyatakan bahwa densitas kamba
makanan pada umumnya adalah antara 0.3-0.8 g/ml. Berdasarkan rentang
tersebut, densitas kamba tepung ikan, baik tepung kepala maupun tepung badan
berada dalam kisaran densitas kamba pangan secara umum.
c. Derajat Putih
Derajat putih merupakan tingkat keputihan suatu bahan yang erat
kaitanya dengan mutu penerimaan konsumen. Bahan pangan yang memiliki
warna cerah umumnya lebih disukai oleh konsumen. Tepung ikan lele dumbo
diukur derajat putihnya untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh
penambahan tepung ikan terhadap warna biskuit yang dihasilkan. Menurut
Faridah et al. (2008), prinsip pengukuan Whiteness Meter adalah melalui
pengukuran indeks refleksi dari permukaan contoh dengan sensor foto dioda.
Semakin putih contoh, maka cahaya yang dipantulkan semakin banyak dan
semakin tinggi derajat putih contoh. Berdasarkan pengukuran dengan Whiteness
Meter, derajat putih tepung dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Hasil pengukuran derajat putih tepung ikan lele dumbo
Jenis Tepung Derajat Putih (%)
a. Kadar Air
Gambar 8 menunjukkan hasil analisis kadar air tepung. Kadar air tepung
badan ikan sebesar 7.99% bb dan kadar air tepung kepala ikan sebesar 8.72%
bb. Kadar air ini menunjukkan bahwa tepung ikan yang dihasilkan adalah tepung
ikan berkualitas tinggi. Hal ini sesuai dengan LIPI (1999) yang menyatakan
bahwa tepung ikan yang berkualitas tinggi memiliki kandungan air antara 6%
sampai dengan 10%. Kadar air tepung yang dihasilkan juga sesuai dengan
Moeljanto (1982a) yang menyatakan jarang dijumpai tepung ikan dengan kadar
air kurang dari 6% sebab pada tingkat ini tepung ikan bersifat higroskopis.
Apabila kadar air tepung terlalu rendah, maka akan terjadi keseimbangan
dengan kelembaban tempat penyimpanan.
Gambar 8 Kadar air tepung badan ikan dan tepung kepala ikan
b. Kadar Abu
Menurut Winarno (1997), abu merupakan unsur mineral atau zat
anorganik yang terkandung dalam bahan pangan. Abu juga merupakan zat
dalam bahan pangan selain air dan bahan organik. Gambar 9 merupakan grafik
hasil analisis kadar abu tepung ikan.
% 16
14.1
14
12
10
Tepung badan
8 ikan
6 4.83 Tepung kepala
4 ikan
2
0
Kadar Abu
Gambar 9 Kadar abu tepung badan ikan dan tepung kepala ikan
Berdasarkan hasil uji kadar abu berbasis kering didapat kadar abu tepung
badan ikan adalah sebesar 4.83% bk sedangkan kadar abu tepung kepala ikan
adalah 14.1% bk. Kadar abu tepung kepala ikan lebih tinggi daripada kadar abu
tepung badan ikan. Hal ini dikarenakan kepala ikan lebih banyak mengandung
tulang sehingga sesuai dengan Moeljono (1982) yang menyatakan bahwa
sebagian besar abu dan mineral dalam tepung ikan berasal dari tulang-tulang
ikan. Pada tepung badan ikan, tulang hanya berasal dari tulang tengah ikan saja
sehingga kandungan abu pada tepung badan adalah lebih rendah.
c. Kadar Protein
Hasil analisis kadar protein tepung menunjukkan bahwa kadar protein
tepung badan ikan sebesar 63.83% bk lebih besar daripada kadar protein tepung
kepala ikan sebesar 56.04% bk (Gambar 10). Perbedaan ini dikarenakan badan
ikan mengandung lebih banyak daging ikan. Daging ikan sebagian besar
tersusun atas protein miofibrilar yang digunakan untuk pergerakan ikan. Menurut
Mendez dan Albuin (2006), protein miofibrilar menyusun 60-75% total protein
dalam otot yang merupakan kombinasi dari protein kontraktil (aktin dan myosin),
protein pengatur (troponin dan tropomiosin), serta beberapa protein dalam
jumlah minor. Daging ikan juga mengandung sekitar 3% protein jaringan ikat
yang membentuk tekstur daging.
Gambar 10 Kadar protein tepung badan ikan dan tepung kepala ikan
Pada bagian kepala ikan yang digunakan dalam pembuatan tepung,
daging dalam jumlah kecil yang menempel pada kepala tidak dipisahkan. Hal ini
menyebabkan kandungan protein pada tepung kepala ikan masih cukup tinggi.
Pembersihan daging dari kepala ikan tidak dilakukan karena membutuhkan
waktu yang cukup lama sehingga dikhawatirkan akan menurunkan mutu ikan.
d. Kadar Lemak
Pada pembuatan tepung ikan, kandungan lemak direduksi pada saat
pengepresan menggunakan hidrolik press. Berdasarkan hasil analisis lemak
pada tepung badan ikan lele adalah sebesar 10.83% bk dan pada tepung kepala
ikan lele adalah sebesar 9.93% bk (Gambar 11). Hasil ini sesuai dengan LIPI
(1999) yang menyatakan bahwa tepung ikan bermutu baik memiliki kadar lemak
antara 5-12%.
Gambar 11 Kadar lemak tepung badan ikan dan tepung kepala ikan
Hasil analisis kadar lemak menunjukkan tepung badan ikan memiliki
kandungan lemak yang lebih tinggi daripada tepung kepala ikan. Hal ini
disebabkan badan ikan mengandung lebih banyak daging dibandingkan bagian
kepala ikan, dimana Mendez dan Albuin (2006), menjelaskan bahwa kandungan
asam lemak tak jenuh pada daging ikan cukup tinggi sehingga tepung ikan yang
dihasilkan dari daging ikan akan menunjukkan kadar lemak yang lebih tinggi dari
tepung yang dibuat dari kepala dan tulang ikan.
e. Kadar Karbohidrat
Menurut Adawyah (2007), kandungan karbohidrat dalam daging ikan
berupa polisakarida, yaitu yang terdapat di dalam sarkoplasma diantara miofibril-
miofibril. Kadar karbohidrat tepung ikan cukup tinggi dibandingkan pada ikan
segar. Hal ini dikarenakan terjadi pengurangan sejumlah besar air dan lemak
pada proses pengepresan ikan sehingga kadar karbohidrat meningkat.
1. Formulasi Biskuit
Bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit adalah tepung terigu
protein rendah, gula bubuk, tepung susu, telur, mentega, margarin, baking
powder dan soda kue. Formulasi awal didasarkan pada hasil penelitian Wiyati
(2004) dalam pembuatan biskuit dengan penambahan konsentrat protein ikan
teri (Stolephorus sp.) pada biskuit untuk anak balita yang dapat dilihat pada
Tabel 12.
Tabel 12 Formula biskuit dengan penambahan konsentrat protein ikan
Komposisi Gram
Konsentrat protein ikan 200
Tepung terigu 350
Gula bubuk 200
Tepung susu 90
Telur 40
Margarin 120
Baking powder 1
Sumber: Wiyati 2004
Atribut Uji F1 F2 F3 F4
Jenis Biskuit
Biskuit Ikan +
Biskuit komersial
Isolat Protein Kedelai
n % n %
Berdasarkan uji dapat dilihat bahwa ibu balita menyukai seluruh atribut
biskuit yang diujikan. Hal ini dapat dilihat dari ibu balita yang memberikan
penilaian menyukai biskuit substitusi untuk semua atribut berada di kisaran 70-
86.67% dari 30 orang ibu yang menjadi responden. Sehingga berdasarkan
kriteria ibu, biskuit substitusi yang dihasilkan dapat diterima sebagai makanan
tambahan anak.
c. Tekstur Biskuit
Menurut Peleg dan Bagley (1983), produk pangan yang bersifat padat
bervariasi bentuk, ukuran, dan responsnya terhadap gaya yang mengenainya.
Ditinjau dari sifat reologinya, produk pangan dapat dikelompokkan menjadi
produk yang bersifat padat, semi padat, dan viskoelastis. Biskuit termasuk ke
dalam produk yang bersifat padat. Produk pangan yang padat adalah produk
yang tidak mengalami perubahan bentuk (deformasi) apabila dikenakan gaya
tarik atau gaya tekan.
Gaya
Jarak
Gambar 14 Profil kerenyahan dan kekerasan yang diuji dengan Texture Analyzer
Prinsip pegukuran tekstur bahan pangan dengan teksturometer adalah
dengan memberikan gaya pada bahan pangan dengan besaran tertentu
sehingga profil tekstur bahan pangan tersebut dapat diukur. Pengukuran
parameter reologi dapat dilakukan dengan instrument Tekstur Analyzer seperti
yang digunakan dalam penelitian ini. Parameter reologi yang diukur pada produk
biskuit adalah kekerasan dan kerapuhan. Kekerasan ditentukan dari gaya
maksimum (nilai puncak), sedangkan kerenyahan ditentukan dari puncak yang
pertama kali terbaca pada tekanan yang pertama (Faridah et al. 2008). Profil
perbedaan kerenyahan dan kekerasan pada sampel secara umum juga dapat
dilihat pada Gambar 15. Hasil uji menunjukan, untuk parameter kerenyahan nilai
rata-rata yang diperoleh adalah 246.6 N/mm, dimana berdasarkan hasil
penelitian Sulaeman (1993) pada makanan balita, nilai kekerasan antara 237-
299 masuk dalam kategori renyah.
Biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai memiliki
kontribusi yang cukup terhadap pemenuhan zat gizi, terutama protein dan energi.
Dengan memberikan kontribusi protein 25.12% dan 39.20% dari AKG, produk
biskuit dapat dikatakan biskuit tinggi protein. Selain itu biskuit juga memenuhi
kriteria WHO sebagai makanan tambahan karena per 100 gram biskuit
mengandung lebih dari 400 kkal energi dan 15 gram protein. Oleh karena itu,
biskuit balita dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai dapat
dikatakan makanan tambahan untuk balita yang tinggi protein.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Proses pembuatan tepung ikan dibagi menjadi dua bagian yaitu pembuatan
tepung kepala dan tepung badan ikan lele dumbo. Pembuatan tepung dimulai
dari sortasi ikan, lalu dilanjutkan dengan pemasakan dengan tekanan tinggi
(presto), pengepresan, pengeringan dengan drum dryer dan penggilingan
dengan willey mill.
2. Analisis sifat kimia tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) didapat hasil,
untuk tepung kepala ikan kadar air 8.72% (bb), kadar abu 18.10% (bk),
kadar protein 56.04 % (bk), kadar lemak 9.39% (bk) dan kadar karbohidrat
7.84% (bk), sedangkan hasil analisis untuk tepung badan ikan adalah kadar
air 7.99% (bb), kadar abu 4.83% (bk) kadar protein 63.83% (bk), kadar lemak
10.83% (bk) dan kadar karbohidrat 11.83% (bk). Berdasarkan pengukuran aw
menggunakan aw-meter diketahui Aw tepung badan ikan adalah 0.7068,
sedangkan aw tepung kepala ikan adalah 0.6612. Pengukuran densitas
kamba menunjukan bahwa tepung kepala ikan mempunyai densitas kamba
yang tebih tinggi daripada tepung badan ikan. Densitas kamba tepung kepala
ikan adalah 0.45 g/ml sedangkan densitas kamba tepung badan ikan adalah
0.37 g/ml. Hasil pengukuran derajat putih tepung menunjukan bahwa tepung
ikan memiliki derajat putih yang lebih rendah daripada tepung terigu. Tepung
kepala ikan memiliki derajat putih yang lebih rendah daripada tepung badan
ikan. Derajat putih tepung kepala dan tepung badan ikan masing-masing
adalah 29.00% dan 30.96%.
3. Biskuit yang dibuat dalam penelitian ini adalah jenis short dough. Tahapan
dalam pembuatan biskuit diawali dengan pencampuran bahan, pemipihan,
pencetakan dan pemanggangan. Pencampuran bahan dibagi menjadi tahap
creaming dan pencampuran bahan kering. Pemipihan dilakukan dengan
rolling pin sehingga didapat ketebalan adonan 0.5 cm. Pencetakan dilakukan
dengan cetakkan lingkaran berdiameter 5 cm. Suhu awal pemanggangan
adalah 140oC dan suhu akhir 160oC.
4. Pemilihan formula dilakukan melalui uji organoleptik pada biskuit dengan
penambahan sumber protein. Hal ini didasarkan pada sasaran pembuatan
biskuit ini adakah bagi anak yang menderita KEP (Kekurangan Energi
Protein). Hasil uji organoleptik menentukan bahwa formula F4 yang memiliki
penerimaan paling tinggi. Formula F4 memiliki frekuensi penerimaan panelis
paling tinggi untuk atribut warna, aroma, rasa, dan tekstur. Formula F4 juga
menunjukkan nilai beda nyata dengan selang kepercayaan 95% untuk atribut
warna, rasa, dan tekstur setelah diuji dengan uji kergaman Kruskal Wallis
Formula F4 mensubstitusi 15% tepung terigu (dari jumlah adonan) oleh 3.5%
tepung badan ikan, 1.5% tepung kepala ikan dan 10% isolat protein kedelai.
5. Hasil uji organoleptik oleh panelis balita terhadap formula F4 dan biskuit
balita komersil yang terdapat dipasaran menunjukan penerimaan balita
terhadap kedua biskuit tersebut tidak beda nyata ketika dianalisis
menggunakan statistik Paired Samples T-Test pada taraf signifikansi 5%.
Hasil organoleptik oleh panelis ibu balita terhadap formula F4 menunjukan
bahwa 70% ibu menyukai biskuit formula F4.
6. Analisis biskuit formula F4 adalah kadar air 4.13% (bk), kadar abu 2.52%
(bk), kadar protein 19.55% (bk), kadar lemak 21.99% (bk) dan kadar
karbohidrat 55.94% (bk). Biskuit formula terpilih mengandung 480 kkal energi
per 100 gram biskuit. Protein biskuit diukur daya cernanya menggunakan
metode enzimatik secara in vitro dan didapat daya cerna biskuit adalah
sebesar 89.34%. Sifat fisik biskuit diukur rendemen, daya serap air dan
analisis tekstur. Rendemen biskuit adalah 84,29%. Daya serap ait biskuit
adalah 1.79 ml/g. Sedangkan hasil uji tekstur menunjukan nilai untuk
parameter kerenyahan 246.60.
7. Berdasarkan analisis kontribusi zat gizinya, formula terpilih dapat dikatakan
sebagai pangan tinggi protein karena dapat memenuhi target 20% protein
berdasarkan AKG balita. Untuk memenuhi target tersebut, jumlah yang harus
dikonsumsi balita setiap harinya adalah 4 keping biskuit atau 50 gram biskuit.
50 gram biskuit dapat memberikan 240 kkal energi, 9.8 gram protein, 26.9
gram karbohidrat dan 10.6 gram lemak.
Saran
Tepung ikan belum terlalu dikembangkan, padahal dengan kandungan
gizi yang tinggi tepung ikan sangat berpotensi diaplikasikan dalam makanan.
Oleh karena itu pengembangan aneka ragam pangan berbasis tepung ikan
sangat disarankan.
Tepung ikan yang dihasilkan memiliki ukuran partikel tepung ikan juga
kurang halus, oleh sebab itu disarankan untuk mencari metode penggilingan lain
untuk mendapatkan tepung ikan yang lebih halus. Selain itu disarankan juga
untuk dilakukan uji daya cerna protein dan pengukuran asam amino pada tepung
ikan untuk melengkapi informasi mengenai tepung ikan lele dumbo.
Saran untuk penelitian lanjutan mengenai pengaruh lama penyimpanan
terhadap nilai gizi, keamanan dan daya terima biskuit dengan substitusi tepung
ikan dan isolat protein kedelai. Hal ini dibutuhkan karena balita adalah kelompok
umur yang sensitif terhadap cemaran.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier S. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Azhar TN, dkk. 2006. Rekayasa kadar omega-3 pada ikan lele melalui modifikasi
pakan. http://animaldiversity.ummz.umich.edu /site/accounts/
information/Clarias_gariepinus [13 September 2008]
Brennan JG. 1974. Food Engineering Operations. London: Applied Science Publ.
Ltd.
Cheftel JC, JL Cuq & D Lorient. 1985. Proteines Alimentaries. Paris: Tech and
Doc., Lavoisier.
Faridi H & JM Faubion. 1990. Dough Reology and Baked Product Texture.
Nostrand Reinhold, USA.
Fennema. 1996. Food Chemistry. 3th Edition. New York: Marcel Dekker, Inc.
Fernando ER. 2008. Formulasi susu kacang tanah instan sebagai alternatif
makanan pendamping ASI. [skripsi]. Program Studi Gizi Masyarakat dan
Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Hasil Perikanan. Yogyakarta: Liberty.
Inayati I. 1991. Biskuit berprotein tinggi dari campuran tepung terigu, singkong
dan tempe kedelai. [skripsi]. Program Studi Teknologi Pangan dan Gizi,
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Khomsan A. 2004. Peran Pangan dan Gizi untuk Kuaitas Hidup. Jakarta: PT
Grasindo.
LIPI. 2004. Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta: Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia.
___. 1999. Tepung Ikan. Jakarta: Proyek Sistem Informasi Nasional Guna
Menunjang Pembangunan.
. 2000. Biscuit, Cracker, and Cookie Recipes for the Food Industry.
Washington: CRC Press
Matz SA & T. D. Matz. 1978. Cookies and Crackers Technology. Texas: The AVI
Publishing Co., Inc.
Mendez IM & JMG Abuin. 2006. Thermal Processing of Fishery Product. Dalam
Sun DW (ed.) Thermal Food Processing: New Technologies and Quality
Issues. New York: CRC Press.
_________. 1994. Gizi untuk Bayi: ASI, Susu Formula dan Makanan Tambahan.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Pearson AM & RB Young. 1989. Muscle and Meat Biochemistry. San Diego:
Acad. Press Inc.
Sikorski ZE, A Kalakowski & B Pan. 1990. The Nutritive Composition of The
Major Groups of Marine Food Organism. Di dalam Z. E. Sikorski (ed.).
Seafood : Resources, Nutritional Composition and Preservation. Florida:
CRC Press Inc.
Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil
Pertanian. Jakarta: Bhatara Karya Aksara.
Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya: untuk Keluarga dan Masyarakat.
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 1992. Mutu dan Cara Uji Biskuit. Jakarta:
Dewan Standarisasi Nasional.
Sultan WJ. 1983. Modern Pastry Chef Vol.1. Connecticut: The AVI Publishing,
Westport.
Suyanto S & NY Rachmatun. 2007. Budidaya Ikan Lele. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Suzuki T. 1981 Fish & Krill Proteins. Processing Technology. London: Appl. Sci
Publ.
Vail GE, JA Philips, LO Rust, RM Griswold & M Justin. 1978. Foods. 7th edition.
Boston: Houghton Mifflin Company.
Soekirman et al. 2004. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta: LIPI.
Gambar 17 Badan ikan lele dumbo Gambar 18 Kepala ikan lele dumbo
dalam box berisi es batu selama dalam box berisi es batu selama
pengangkutan pengangkutan
Gambar 19 Ikan lele dumbo dalam Gambar 20 Badan ikan lele dumbo
autoklaf untuk proses pemasakan matang
%N =
(ml HCl contoh ml HClblanko )xN HClx14.007 x100
mg contoh
Kadar Protein = 6.25 x %N
bobot lemak
Kadar lemak (%) = x100%
bobot sampel
11. Uji Daya Cerna Protein Teknik Multienzim (Hsu et al. 1977 dalam Muchtadi
1993)
Sampel digiling halus, lalu sampel disuspensikan dalam air destilata
sampai diperoleh 6.25 mg protein/ml. Sebanyak 50 ml suspense dituang ke
dalam gelas piala, kemudian diatur pH-nya menjadi 8.0 dengan menambahkan
HCl atau NaOH 0.1N. Letakkan gelas piala dalam penangas air bersuhu 37oC
dan diaduk dengan magnetic stirrer selama 5 menit. Lalu tambahkan 5 ml larutan
multienzim (saat penambahan enzim dicatat sebagai waktu ke nol, stopwatch
dijalankan) kedalam suspense sampel protein sambil tetap diaduk dalam
penangas air 37oC. Kemudian catat pH suspense sampel pada menit ke 10.
Komentar :
..........................................................................................................................
Terima Kasih
Lampiran 4 Kuesioner Uji Organoleptik Biskuit Pada anak Balita
Nama Panelis : Tanggal Pengujian:
Jenis Kelamin :L/P
Nama Produk : Biskuit dengan penambahan tepung ikan lele dan
isolat protein kedelai
Dihadapan adik telah disajikan biskuit dengan penambahan tepung ikan
lele dan isolat protein kedelai. Cicipilah sebagian biskuit, kunyak baik-baik, lalu
berikan penilaian sesuai bentuk wajah dibawah ini.
Tidak Suka
Netral/biasa
Suka
Lampiran 5 Kuesioner Uji Organoleptik Biskuit untuk Panelis Ibu Balita
Lembar Uji Kesukaan Biskuit
Komentar :
..........................................................................................................................
Terima Kasih
Lampiran 6 aw Tepung Ikan
Sampel Ulangan aw x + SD
0.728
1
0.729
Tepung Daging 0.7068 + 0.0252
0.683
2
0.687
0.702
1
0.703
Tepung Kepala 0.6612 + 0.0477
0.617
2
0.623
0.3800
1
0.3711
Tepung Daging 0.3710 + 0.0066
0.3686
2
0.3644
0.4579
1
0.4516
Tepung Kepala 0.4537 + 0.0043
0.4566
2
0.4488
Kadar Air x + SD
Sampel Ulangan (% BB) (% BB)
9.1639
1
Tepung 9.3623
7.9936 + 1.4682
Daging 6.7040
2
6.7443
10.9855
1
Tepung 11.2100
8.7237 + 2.7436
Kepala 6.2692
2
6.4303
3.5739 3.8844
1
Tepung 3.5928 4.4441 + 3.9049 4.8303 +
Daging 5.3127 0.9940 5.7743 1.0804
2
5.2971 5.7574
19.0131 20.8302
1
Tepung 19.0204 16.5254 + 20.8383 18.1048 +
Kepala 14.0345 2.8767 15.3758 3.1517
2
14.0337 15.3750
Air Abu Protein Lemak Karbohidrat Air Abu Protein Lemak Karbohidrat
Tepung Badan Ikan Lele 25 7.99 4.44 58.72 9.96 18.88 2.00 1.11 14.68 2.49 4.72 150000 3750
Tepung Kepala Ikan Lele 25 8.72 16.5 51.15 8.57 15.03 2.18 4.13 12.79 2.14 3.76 75000 1875
Isolat Protein Kedelai 100 7.77 4.36 80.24 2.37 5.26 7.77 4.36 80.24 2.37 5.26 55000 5500
Tepung Terigu 250 12 0.5 8.9 1.3 77.3 30.00 1.25 22.25 3.25 193.25 6008 1502
Gula Halus 180 5.4 0.6 0 0 94 9.72 1.08 0.00 0.00 169.20 8000 1440
133.2
Telur 180 74 1 12.8 11.5 0.7 0 1.80 23.04 20.70 1.26 16000 2880
Mentega 90 16.5 0.5 0.5 81.6 1.4 14.85 0.45 0.45 73.44 1.26 40000 3600
Margarin 90 15.5 2.5 0.6 81 0.4 13.95 2.25 0.54 72.90 0.36 30000 2700
Tepung susu 60 5.4 4.74 50.06 18.88 20.92 3.24 2.84 30.04 11.33 12.55 60000 3600
216.9 19.2
Total 1000 1 8 184.02 188.62 391.62
Baking Powder 4 30000 120
12000 24
Soda Kue 2 0.00 0.00
Kandungan Zat Gizi 1.9 18. 39.16
Adonan (%) 21.691 3 4 18.86 2 21.25 2.03 17.55 19.36 39.85
Kandungan Zat Gizi 2.3 22. 47.90
Biskuit(%) 4.2 6 5 23.07 9 4.20 2.36 22.51 23.07 47.91
Kontribusi Energi 0.00 0.00 90.05 207.67 191.64
Total Energi 489.36
Harga per resep 26991
Lampiran 22 Perhitungan estimasi zat gizi biskuit formula F4
Formula Komposisi (%) Kontribusi Zat Gizi Harga/1 Harga
Bahan Baku
(g) kg Aktual
Air Abu Protein Lemak Karbohidrat Air Abu Protein Lemak Karbohidrat
Tepung Badan Ikan Lele 35 7.99 4.44 58.72 9.96 18.88 2.80 1.55 20.55 3.49 6.61 150000 5250
Tepung Kepala Ikan Lele 15 8.72 16.5 51.15 8.57 15.03 1.31 2.48 7.67 1.29 2.25 75000 1125
Isolat Protein Kedelai 100 7.77 4.36 80.24 2.37 5.26 7.77 4.36 80.24 2.37 5.26 55000 5500
Tepung Terigu 250 12 0.5 8.9 1.3 77.3 30.00 1.25 22.25 3.25 193.25 6008 1502
Gula Halus 180 5.4 0.6 0 0 94 9.72 1.08 0.00 0.00 169.20 8000 1440
Telur 180 74 1 12.8 11.5 0.7 133.20 1.80 23.04 20.70 1.26 16000 2880
Mentega 90 16.5 0.5 0.5 81.6 1.4 14.85 0.45 0.45 73.44 1.26 40000 3600
Margarin 90 15.5 2.5 0.6 81 0.4 13.95 2.25 0.54 72.90 0.36 30000 2700
Tepung susu 60 5.4 4.74 50.06 18.88 20.92 3.24 2.84 30.04 11.33 12.55 60000 3600
Total 1000 216.83 18.07 184.78 188.76 392.00
Baking Powder 4 30000 120
12000 24
Soda Kue 2 0.00 0.00
Kandungan Zat Gizi Adonan
(%) 21.683 1.81 18.5 18.876 39.2 21.24 1.91 17.63 19.38 39.89
Kandungan Zat Gizi Biskuit(%) 4.2 2.21 22.6 23.09 47.95 4.20 2.21 22.60 23.09 47.95
Kontribusi Energi 0.00 0.00 90.41 207.81 191.81
Total Energi 490.03
Harga per resep 27741
Lampiran 23 Rekapitulasi uji hedonik biskuit
No Formula
Responden 555 735 221 311
W A T R K W A T R K W A T R K W A T R K
1 3 4 3 3 3 2 3 4 2 3 4 3 4 4 4 5 4 4 5 4
2 4 4 2 4 4 2 3 2 3 3 4 4 3 3 3 4 4 4 4 4
3 4 4 2 3 3 4 4 3 2 4 3 3 2 2 3 4 4 3 4 4
4 2 2 3 4 4 1 3 2 4 4 2 2 3 3 4 4 3 4 4 4
5 4 4 1 2 2 3 3 4 3 3 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4
6 3 4 3 2 3 3 4 3 3 4 4 3 4 3 3 4 4 4 3 4
7 3 3 2 4 3 3 3 4 3 3 3 3 3 4 3 4 3 4 4 4
8 5 5 5 5 5 3 4 4 4 4 4 4 5 5 4 5 4 3 4 4
9 4 3 3 4 3 3 4 3 2 3 4 4 4 5 4 4 4 4 3 3
10 4 2 2 2 4 2 2 4 4 2 4 3 4 2 4 4 3 4 4 3
11 2 4 2 2 2 4 3 4 2 2 2 4 2 1 2 4 3 4 4 4
12 4 4 4 4 3 4 3 4 4 4 3 3 4 4 4 4 3 3 5 3
13 3 4 2 3 4 2 4 5 4 2 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
14 4 5 4 4 2 3 3 3 3 4 4 3 3 4 2 4 4 4 3 4
15 2 4 2 4 4 4 3 4 4 3 3 4 3 4 3 4 3 4 3 3
16 4 3 4 4 4 4 4 3 2 4 4 5 4 3 4 5 4 4 3 4
17 4 4 4 2 2 5 3 4 2 2 4 3 3 4 4 4 3 4 4 4
18 2 4 2 3 3 2 4 4 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
19 4 4 3 2 4 3 2 3 4 3 4 4 4 3 4 4 4 4 4 3
20 4 4 3 3 4 2 4 3 3 3 4 4 3 4 4 4 3 4 4 4
21 5 4 2 2 2 2 3 3 3 3 4 2 4 3 3 5 3 5 4 4
22 1 3 2 4 4 3 4 3 3 3 2 3 2 5 5 4 5 4 3 3
23 3 4 3 4 3 4 3 2 4 3 5 4 4 2 2 3 4 4 4 4
24 3 4 2 4 5 2 4 2 5 5 2 4 2 4 4 4 4 4 5 3
25 3 5 2 5 2 3 5 3 4 4 3 5 5 4 4 3 3 5 5 5
26 3 4 3 3 3 4 4 4 4 4 4 4 2 2 3 5 2 5 5 5
27 3 3 2 5 4 2 2 4 4 4 4 3 3 4 4 5 3 4 4 4
28 2 2 4 2 3 2 3 4 2 2 4 4 4 4 4 4 3 3 4 3
29 2 3 2 3 3 2 2 4 3 3 3 4 2 4 4 4 3 5 3 4
30 3 2 3 3 3 3 2 3 4 4 4 3 4 3 4 4 3 4 4 4
1 1 0 1 3 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0
2 6 4 14 8 6 11 5 4 7 5 4 2 6 4 3 0 1 0 0 0
Skor
3 10 5 9 8 12 10 13 11 10 13 7 12 9 8 8 2 14 4 7 8
Modus
4 11 17 5 11 10 7 11 14 12 11 18 14 13 14 18 22 14 22 18 20
5 2 3 1 0 2 1 1 1 1 1 1 2 2 3 1 6 1 4 5 2
Menerima 23 25 15 19 24 18 25 26 23 25 29 28 28 26 29 30 29 30 30 30
Presentasi
Penerimaan
Panelis 76.67 83.33 50.00 63.33 80.00 60.00 83.33 86.67 76.67 83.33 96.67 93.33 93.33 86.67 96.67 100.00 96.67 100.00 100.00 100.00
Lampiran 24 Hasil Uji Kruskal Wallis organleptik biskuit
Ranking
Statistik Ujia,b
Warna
Tukey HSD
Formula N 1 2 3
2 30 2.8667
1 30 3.2333 3.2333
3 30 3.5333
4 30 4.1333
Tekstur
Tukey HSD
Formula N 1 2 3
1 30 2.7000
3 30 3.3667
2 30 3.4000
4 30 4.0000
Tukey HSD
Formula N 1 2 3
1 30 2.7000
3 30 3.3667
2 30 3.4000
4 30 4.0000
Perbedaan Pasangan
95% Interval
Kepercayaan dari
Perbedaan
Std.
Std. Rataan Batas Batas Sig. (2-
Rataan Deviasi galat Atas Bawah t df ekor)
Pasa Biskuit_Ikan_ISP -
ngan Biskuit_Kontrol .03333 .55605 .10152 -.17430 .24097 .328 29 .745
1
Lampiran 30 Rekapitulasi uji penerimaan organoleptik ibu balita
No Responden Rasa Aroma Warna Tekstur
1 3 4 4 4
2 4 4 4 4
3 4 4 4 4
4 4 4 4 4
5 4 4 4 4
6 4 4 4 4
7 3 4 5 3
8 3 4 5 3
9 3 3 4 4
10 4 4 4 4
11 2 2 3 3
12 4 4 4 4
13 4 4 4 4
14 4 4 4 4
15 2 3 4 2
16 4 4 4 4
17 4 4 4 4
18 3 3 3 3
19 3 2 3 4
20 4 4 4 4
21 4 4 4 4
22 4 4 4 4
23 4 3 4 4
24 4 2 4 4
25 4 4 4 3
26 4 4 4 4
27 3 3 3 3
28 4 4 4 4
29 4 4 4 4
30 4 4 4 4
Skor Sangat - - - -
Modus Tidak
Suka
Tidak 2 3 - 1
Suka
Biasa 7 5 4 6
Suka 21 22 24 23
Sangat - - 2 -
Suka
% Sangat Tidak - - - -
Suka
% Tidak Suka 6.67 10 - 3.33
% Biasa 23.33 16.67 13.33 20
% Suka 70 73.33 80 76.67
% Sangat Suka - - 6.67 -
Lampiran 31 Rendemen Biskuit
Sampel Ulangan Rendemen (%) x + SD
Biskuit 1 83.49901
84.2942 + 1.1246
2 85.08946
2.2071 2.2981
1
2.2727 2.4223 + 2.3665 2.5223 +
Biskuit
2.6090 0.2124 2.7167 0.2212
2
2.6005 2.7078
Lampiran 36 Kadar Protein Biskuit
18.3634 19.1209
1
18.0854 18.7712 + 18.8315 19.5456 +
Biskuit
19.1128 0.6631 19.9012 0.6905
2
19.5234 20.3289
Kadar Kadar
x + SD x + SD
Sampel Ulangan Karbohidrat Karbohidrat (%
(% BB) (% BK)
(%BB) BK)
54.0580 56.2881
1
54.3956 53.7249 + 56.6397 55.9413 +
Biskuit
53.0595 0.6105 55.2485 0.6357
2
53.3863 55.5888