You are on page 1of 11

Vol.13.No.2.Th.

2006

Pengaruh Suplementasi Agensia Defaunaasi Segar

Pengaruh Suplementasi Agensia Defaunasi Segar dan Waktu Inkubasi Terhadap


Degradasi Bahan Kering, Bahan Organik, dan Produks Fermentasi Secra In
Vitro
S. Putra*
*

Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Fak. Peternakan, UNUD. Jl. PB. Sudirman Denpasar, Bali

The Effects of Fresh Defaunating Agents Supplementation and Time of Incubation on the In Vitro Degradability
of Dry Matter, Organic Matter, and Products of Fermentation
ABSTRACT
Background : In Vitro experiment was carried out to study the effect of fresh defaunating agents supplementation and
time of incubation on the degradability of dry matter, organic matter and products of fermentation.
Methods : A completely randomized design with split in time arrangement (3 x 5) on two replicates was used in this
experiment. The first (main) factor was time of incubation (1.5, 3,0 and 4.5 hours respectively) and the second factor
was no supplement of defaunating agent ( A, as a control), a supplement of 10% sweet potatoes (Ipomeas batatas)
leaves (B); a supplement of Hibiscus tilliaceus leaves (C), a supplement of 10% Hibiscus rosasinensis leaves (D), and a
supplement of 2% corn oil (E).
Result : Results of the experiment indicated that defaunating agents supplementation (B, C, D, and E) increased DM
and OM degradability, which the highest were on the corn oil (E) 22.83 vs. 15.96% and 22.49 vs. 15.17%, respectively
(P<0.001) than without supplementation (A). Defaunating agents supplementation also increased products of
fermentation (VFA and N-ammonia), which the highest were on the treatment E (88.33 vs. 61.67 mM) and (4.83 vs.
4.23 mM), respectively (P<0,004) than treatment A. DM, OM degradability and VFA during incubation (1.5 to 4.5
hours) were significant different statistically (P<0.001), which the highest were on the 4.5 hours, respectively. A while
the highest and the lowest N-ammonia found at 3.0 and 4.5 hours incubation, respectively. This is due to the utilization
of N-ammonia during 4.5 hours more increased for microbial protein synthesis and their physiological activities. It was
concluded that supplementation of defaunating agents increased significantly different on the DM, OM degradability
and products of fermentation (VFA and N-ammonia), which the best defaunating agent was on the corn oil. Time of
incubation from 1.5 to 4.5 hours increased DM, OM degradability and VFA, but N-ammonia was decreased from 3.0 to
4.5 hours, particularly.
Key words: Defaunating agents, Time of incubation, DM and OM Degradability, Products of fermentation
ABSTRAK
Latar Belakang : Suatu penelitian in vitro telah dilaksanakan untuk mempelajari pengaruh suplementasi agensia
defaunasi segar dan waktu inkubasi terhadap degradasi bahan kering (DM), bahan organik (OM), dan produks
fermentasi (VFA dan N-amonia).
Metode : Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap pola split in time (3 x 5 x 2). Perlakuan utama
adalah waktu inkubasi (1,5; 3,0; dan 4,5 jam) dan perlakuan kedua adalah suplementasi agensia defaunasi: tampa
suplementasi (kontrol = A); 10% daun ubi jalar (Ipomea batatas = B); 10% daun waru (Hibiscus tilliacius = C); 10%
daun kembang sepatu (Hibiscus rosasinensis = D); dan 2% minyak jagung (E) yang masing-masing diulang dua kali.
Kesimpulan : Hasil penelitian menunjukkan bahwa suplementasi agensia defaunasi (B, C, D, dan E) nyata
meningkatkan degradasi DM, OM dengan nilai tertinggi terdapat pada suplementasi minyak jagung (E) masing-masing
22,83 vs 15,96% dan 22,49 vs 15,17% (P<0,001) daripada tampa suplementasi (A). Suplementasi agensia defaunasi
juga nyata meningkatkan produks fermentasi (VFA dan N-amonia) dengan nilai tertinggi terdapat pada perlakuan E
masing-masing 88,33 vs 61,17 mM dan 4,83 vs 3,23 mM (P<0,004) daripada perlakuan A. DM, OM terdegradasi, dan
VFA selama waktu inkubasi (1,5 4,5 jam) secara statistik berbeda nyata (P<0,001) dengan nilai tertinggi terdapat pada
4,5 jam inkubasi. Namun, N-amonia tertinggi dan terendah masing-masing terdapat pada 3,0 dan 4,5 jam inkubasi.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa suplementasi agensia defaunasi nyata meningkatkan degradasi DM, OM,
dan produks fermentasi (VFA dan N-amonia) dengan agensia defaunasi terbaik terdapat pada minyak jagung. Waktu
inkubasi dari 1,5 sampai 4,5 jam nyata meningkatkan degradasi DM, OM, dan VFA, tetapi N-amonia menurun
terutama dari 3,0 ke 4,5 jam inkubasi.
Kata kunci: Agensia defaunasi, waktu inkubasi, degradasi DM, OM, dan produks fermentasi

113

Putra

PENDAHULUAN
Proses pencernaan fermentatif di dalam
rumen pada ternak ruminansia pada dasarnya
dtentukan oleh faktor internal, eksternal, dan
interaksi keduanya. Faktor internal tersebut
ditekankan pada kapasitas rumen ( 70%) dari
keseluruhan kapasitas saluran pencernaan dan
juga ekosistem rumen serta aktivitas mikroba
rumen itu sendiri (Orskov, E. R. and M. Ryle, 1990).
Faktor eksternal yang dimaksud adalah jenis
pakan yang diberikan pada ternak ruminansia,
baik yang berhubungan dengan sifat fisik, kemis,
dan biologis yang nantinya dapat berpengaruh
terhadap aktivitas mikroba rumen mendegradasi
pakan. Dalam hal ini, pencernaan pakan secara
fermenatif, baik bahan kering (DM) atau pun
bahan organik (OM) yang terdegradasi semakin
tinggi sejalan dengan lamanya proses fermentasi
berlangsung. Kondisi fisiologis ini menunjukkan
bahwa pada waktu yang bersamaan aktivitas
mikroba rumen mendegradasi pakan semakin
meningkat, sehingga produk fermentasi juga
semakin tinggi. Waktu fermentasi (inkubasi)
dalam rumen 3-4 jam setelah ternak diberi makan
dapat dijadikan sebagai patokan dalam
menentukan pertumbuhan dan aktivitas mikroba
rumen dengan mengukur produksi biomasa
sintesis protein mikroba (Sutardi, T., 1980). Lebih
lanjut juga ditegaskan bahwa 1 jam setelah ternak
diberi makan dapat dijadikan sebagai pedoman
dalam penentuan produksi asam lemak volatil
(VFA) dan amonia sesuai dengan solubelitasnya.
Sehubungan dengan itu, dalam upaya
meningkatkan kemampuan mikroba rumen
mendegradasi
pakan,
sudah
selayaknya
memperhatikan jenis pakan dasar dan kandungan
nutriennya, agar dapat memenuhi mikroba rumen
akan VFA dan amonia. Salah satu pakan yang
dapat dijadikan sebagai sumber protein mudah
terdegradasi adalah daun gamal (Gliricidia
sepium), 66% dari total protein yang
dikandungnya dapat memacu sintesis protein
tubuh mikroba (Sutardi, T., 1995). Selain pakan
tersebut rumput gajah dapat menghasilkan VFA
yang nantinya dimanfaatkan sebagai sumber
energi, baik oleh mikroba rumen atau pun hewan
inang (Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo dan A.D.
Tillman, 1990).
Pakan lain yang tak kalah
pentingnya
adalah
lamtoro
(Leucaena
leucocephala) berfungsi sebagai sumber protein
yang lolos degradasi (UIP), yaitu 67% ( Sutardi, T.,
1995). Selanjutnya Nisbah DIP/UIP sepatutnya (2-

114

Jurnal Protein

3) : 1. Dengan merujuk sumber informasi tersebut


pakan dasar untuk ternak ruminansia selayaknya
minimal terdiri atas 3 bahan pakan, yakni rumput
gajah atau rumput alami, daun gamal, dan daun
lamtoro (Sutardi, T. , N.A. Sigit dan T. Toharmat,
1983).

Pengujian beberapa bahan pakan yang


potensial sebagai agensia defaunasi telah banyak
dilakukan baik, secara in vivo, maupun secara in
vitro (Sutardi, T., 1995). Daun ubi jalar, minyak
jagung, daun kembang sepatu (Hibiscus
rosasinensis), minyak ikan, minyak kedele, dan
minyak kelapa daya defaunasinya berturut-turut
92, 85, 69, 58, 57, dan 44%. Namun demikian,
penyusutan protozoanya masing-masing adalah
63, 58, 53, 44, 37, 36, dan 28%. Informasi
mengenai hasil penelitian secara in vitro tersebut
belum lengkap, karena keberhasilan agensia
defaunasi tersebut belum cukup hanya
menyusutkan protozoa, jika belum mampu
meningkatkan
populasi
bakteri.
Dengan
peningkatan populasi bakteri ini nantinya
diharapkan meningkatkan kecernaan DM, OM,
dan nutrien Pada penelitian secara in vivo
penggunaan 10% daun kembang pada ransum sapi
jantan FH berkonsentrat mampu menurunkan
54,86% protozoa dan meningkatkan 5,36%
populasi bakteri rumen (Jalaludin, 1994).
Daripada tampa kembang sepatu. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa kondisi rumen seperti itu dpat
meningkatkan 5,30% produksi VFA. Menurut
Putra, S. (2006a), daun waru (Hibiscus tilliaceus)
juga dapat dijadikan sebagai agensia defaunasi,
selain mampu menurunkan 32,31% populasi
protozoa juga dapat meningkatkan 11,24%
populasi bakteri rumen, 9,77% sintesis protein
mikroba, dan 10,96% VFA jika dibandingkan
dengan tanpa daun waru. Pada penelitian yang
lain, yaitu suplementasi beberapa agensia
defaunasi: waru, kembang sepatu, minyak jagung,
dan minyak kelapa secara in vitro berbasis pada
bahan pakan kering udara (dry weight) dihasilkan
DM, OM terdegradasi, VFA, dan amonia tertinggi
pada kembang sepatu, yaitu
masing-masing
25,01%; 23,59%; 111,67 mM; dan 4,11 mM
(Putra, S., 2006b).
Berdasarkan informasi hasil penelitian
tersebut dibutuhkan penelitian lanjutan tentang
suplementasi beberapa agensia defaunasi segar
seperti daun ubi jalar, daun waru, kembang
sepatu, dan minyak jagung pada ransum basal
segar sapi Bali secara in vitro dengan
memperhatikan waktu inkubasi. Penelitian ini

Vol.13.No.2.Th.2006

bertujuan
untuk
mempelajari
pengaruh
suplementasi agensia defaunasi segar terhadap
degradasi DM, OM, produksi VFA, dan Namonia. Pada penelitian ini diharapkan
menemukan agensia defaunasi terbaik dalam
upaya meningkatkan DM, OM terdegradasi dan
produks fermentasi.
MATERI DAN METODE PENELITIAN
Bahan Ransum
Pakan dasar (based diets) yang digunakan
pada penelitian ini terdiri atas tiga hijauan pakan
yakni rumput alami, daun gamal (Gliricidia
sepium),
dan
daun
lamtoro
(Leucaena
leucocephala). Bahan pakan dasar ini diperoleh
di sekitar Farm Sesetan Fakultas Peternakan,
Universitas
Udayana
Denpasar. Agernsia
defaunasi yang diteliti adalah empat macam yakni
daun ubi jalar (Ipomea batatas), daun waru
(Hibiscus tilliaceus), daun kembang sepatu
(Hibiscus rosasinensis) yang diperoleh di sekitar
Farm Sesetan, sedangkan agensia defaunasi
minyak jagung diperoleh dari supermarket
terdekat. Keseluruhan bahan-bahan tersebut, baik
hijauan pakan dasar maupun agensia defaunasi
disusun sedemikian rupa berdasarkan bahan
kering (Kearl, L.C., 1982), sehingga kandungan
nutriennya sesuai dengan kebutuhan sapi Bali
yang ditampilkan pada Tabel 2. Namun demikian,
keseluruhan sampel bahan ransum yang
digunakan pada penelitian ini, baik bahan pakan
dasar maupun bahan agensia defaunasi berbasis
pada bahan segar (fresh weight based).
Cairan Rumen
Ternak donor yang digunakan dalam
penelitian sebagai sumber cairan rumen adalah
sapi Bali milik Fakultas Peternakan di Farm
Sesetan Denpasar, dimana seminggu sebelum
pengambilannya sapi tersebut telah diberikan
ransum basal yang akan diujikan. Pengambilan
cairan rumen tersebut dilakukan 3-4 jam setelah
sapi diberikan makan menggunakan stomach
tube dengan bantuan beberapa alat yakni pompa
vakum, selang, kain nylon penyaring, termos,
tabung erlemeyer, dan thermometer .
Alat-alat dan Reagensia
Alat-alt yang dibutuhkan pada penelitian ini
adalah sesuai dengan peubah yang diamati dan
metode yang digunakan yakni penentuan bahan
kering (DM) dan bahan organik (OM) ransum

Pengaruh Suplementasi Agensia Defaunaasi Segar

sesuai dengan metode (Assosiation of Official


Analytical Chemist, 1970). seperti: timbangan
sartorius kapasitas 100 g dengan kepekaan 0,0001
g , cawan porselin, loyang aluminium dan oven
dengan suhu 60-70 0C dan 105-110 0C serta tanur
listrik. Alat dan reagensia yang dibutuhkan dalam
penentuan degradasi DM dan OM sesuai dengan
metode Telley dan Terry (1963) di antaranya:
shaker bath, larutan Mc Dougall dan HgCl 2. Pada
penentuan VFA (Volatile Fatty Acid) dengan
steam distilation dibutuhkan reagensia seperti:
H2SO4 15%, NaOH 0,5 N, indikator phenolptalin,
dan HCl 0,5N. Selanjutnya pada penentuan Namonia dengan metode spektrophotometer
dibutuhkan beberapa reagensia di antaranya:
larutan phenol-alkohol, Natrium nitropruside
0,5%, larutan alkali, larutan Natrium hipoklorit,
larutan pengoksidasi, HCl 2%, H2SO4 pekat, dan
(NH4) 2SO4.
Rancangan Percobaan
Rancangan
yang
digunakan
adalah
Rancangan Acak Lengkap dengan pola Split in
time sesuai dengan pendekatan metode dengan
perlakuan utama adalah waktu fermentasi
(inkubasi) yakni 1,5; 3,0; dan 4,5 jam inkubasi
(Gomez, K.A. and A.A Gomez, 1995). Perlakuan
kedua adalah suplementasi agensia defaunasi
dengan lima perlakuan yakni A = Ransum kotrol;
B = A + daun ubi jalar; C = A + daun waru; D = A
+ daun kembang sepatu; dan E = A + minyak
jagung;. Keseluruhan perlakuan, baik perlakuan
utama atau perlakuan yang kedua diulang masingmasing dua kali.
Peubah yang Diamati
Ada empat peubah yang diamati pada
penelitian ini, baik pada perlakuan utama yakni
1,5; 3,0; dan 4,5 jam waktu inkubasi atau pun
pada perlakuan ke dua yakni suplementasi agensia
defaunasi (ransum kontrol; suplementasi daun
waru, kembang sepatu, minyak jagung, dan
minyak kelapa). Adapun keempat peubah tersebut
adalah jumlah bahan kering (DM) dan bahan
organik (OM) yang terdegradasi serta produksi
VFA dan produksi N-amonia. Penentuan keempat
peubah ini secara in vitro berdasarkan pada bahan
pakan segar (fresh weight based), baik pada
ransum
kontrol
maupun
ransum
yang
disuplementasi agensia defaunasi.
Sebelum dilakukan penentuan ke empat
peubah tersebut perlu dilakukan penentuan bahan
kering dan bahan anorganik (abu) ke lima ransum

115

Putra

perlakuan berdasarkan metode (Assosiation of


Official Analytical Chemist, 1970). Adapun rumus
yang digunakan untuk menghitung kadar DM dan
OM; DM dan OM terdegradasi; asam lemak
volatil (VFA total) dan N-amonia dengan metode
Phenolhypochloride berdasarkan dengan reaksi
warna yang ditentukan oleh jumlah amonia yang
ada pada supernatan masing-masing ransum
adalah sebagai berikut:
1.
Kadar bahan kering (DM, %) ditentukan
dengan jalan mengurangi berat cawan berisi
sampel setelah dioven (g) dengan berat
cawan kosong konstan (g) dan hasilnyaa
dibagi berat sampel (g) selanjutnya dikalikan
dengan 100%.
2.
Kadar abu (%) ditentukan dengan jalan
mengurangi berat cawan berisi sampel
setelah diabukan dalam tanur (g) dengan
berat cawan kosong konstan (g) dan
hasilnyaa dibagi berat sampel (g) selanjutnya
dikalikan dengan 100%.
3.
Kadar bahan organik (OM, %) ditentukan
dengan jalan mengurangi 100% (DM)
dengan kadar abu (%)
4.
Bahan kering (DM) terdegradasi (%)
ditentukan dengan jalan mengurangi berat
DM asal (g) dengan berat DM residu (g)
hasilnya dibagi dengan berat DM asal (g)
selanjutnya dikalikan dengan 100%.
5.
Bahan organik (OM) terdegradasi (%)
ditentukan dengan jalan mengurangi berat
OM asal (g) dengan berat OM residu (g)
hasilnya dibagi dengan berat OM asal (g)
selanjutnya dikalikan dengan 100%.
6.
VFA total (mM) = (a b) x Normalitas
HCl x 1000/5, dimana
a = volume titran blangko, dan
b = volume titran sampel
7. N-amonia (mM) dapat dihitung dengan
rumus kadar amonia (ppm) dibagi dengan 14.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.

116

Degradasi Bahan Kering dan Bahan


Organik
Di antara agensia defaunasi yang
disuplementasikan ke dalam ransum kontrol,
minyak jagung dapat meningkatkan bahan
kering (DM) yang terdegradasi, yakni
43,05% (Tabel 3; P<0,001) dibandingkan
dengan ransum kontrol. DM terdegradasi
pada agensia defaunasi yang lainnya (waru,
kembang sepatu, dan ubi jalar) masing-

Jurnal Protein

masing 26,32; 12,28; dan 10,71% lebih


tinggi (P<0.001) daripada ransum kontrol.
Ransum yang disuplementasi ubi jalar dan
kembang sepatu DM terdegradsinya hampir
sama. Selanjutnya untuk bahan organik
(OM)
terdegradasi
secara
kuantitatif
mempunyai tren yang sama seperti pada
degradasi DM, yaitu suplementasi minyak
jagung dan waru 48,25 dan 28,02% lebih
tinggi (P<0,001) jika dibandingkan dengan
ransum kontrol.
Agensia defaunasi
(kembang sepatu dan ubi jalar) dapat
meningkatkan 13,51 dan 11,60% OM
terdegradasi jika dibandingkan dengan
ransum kontrol, namun secara statistik
berbeda tidak nyata (P>0,001). OM
terdegradasi
antara
ransum
yang
disuplementasi dengan daun ubi jalar, waru,
dan kembang sepatu berbeda tidak nyata
(P>0,001).
DM tedegradasi semakin tinggi sejalan
dengan meningkatnya waktu inkubasi dengan
jumlah tertinggi terdapat pada 4,5 jam
inkubasi, yakni 15,88% (Tabel 4; P<0,001)
dibandingkan dengan 1,5 jam inkubasi. Pada
3 jam inkubasi DM terdegradasi 12,58%
lebih tinggi (P<0,001) daripada 1,5 jam
inkubasi dan 2,85% lebih rendah (P>0,001)
daripada 4,5 jam inkubasi. Pada OM
terdegradasi menunjukkan tren yang sama
seperti pada DM terdegradasi. Semakin
meningkat waktu inkubsi dari 3,0 sampai 4,5
jam disertai dengan meningkatnya OM
terdegradasi, yaitu 10,75% sampai 14,23%
nyata
lebih
tinggi
(P<0,001)
jika
dibandingkan dengan 1,5 jam waktu
inkubasi, namun OM terdegrdasi tersebut
keduanya berbeda tidak nyata.
Secara kuantitatif rataan degradasi DM
dan OM berbsis sampel segar (FW) pada
penelitian ini relatif lebih rendah, jika
dibandingkan dengan hasil penelitian
berbasis pada sampel kering udara (Putra, S.,
2006b). DM terdegradasi pada ransum
kontrol dan ransum disuplementasi agensia
defaunsi berbasis pada sampel FW lebih
rendah, yaitu masing-msing (15,96 vs
22,60%) dan (19,65 vs 24,11%), jika
dibandingkan dengan ransum berbasis DW.
Demikian juga OM terdegradasi pada ransum
kontrol dan ransum yang disuplementasi
agensia defaunasi berbasis FW lebih rendah,
yaitu masing-masing (15,17 vs 20,48%) dan

Vol.13.No.2.Th.2006

(19,02 vs 22,60%), jika dibandingkan dengan


ransum yang berbasis DW. Perbedaan hasil
penelitian ini, pada hakikatnya terletak pada
perbedaan kemampuan mikroba donor dari
cairan rumen dalam mendegradasi DM dan
OM ransum, terutama yang berhubungan
dengan sifat fisik yang disebabkan oleh
ikatan
lignoselulosiknya.
Ikatan
lignoselulosik pada ransum yang berbasis
FW partikelnya lebih panjang dan relatif
lebih sukar dirombak atau didegradasi oleh
mikroba cairan rumen, sehingga DM dan OM
terdegradasi relatif lebih rendah. Berbeda
halnya dengan ransum yang berbasis sampel
DW partikelnya relatif lebih kecil dan pendek
serta ikatan lignoselulosiknya relatif longgar,
sehingga lebih mudah didegradsi oleh
mikroba cairan rumen. Selain faktor itu,
proses pemanasan atau pun pengeringan
sampai menjadi DW, barangkali dapat
melonggarkan atau pun memutuskan ikatan
lignoselulosik yang kuat dan kompleks
tersebut.
Lebih tingginya DM dan OM
terdegradasi
pada
ransum
yang
disuplementasi
agensia
defaunasi
dibandingkan dengan ransum kontrol
disebabkan oleh lebih baiknya ekosistem
mikroba dan aktivitas biofermentasinya.
Menurut Putra, S. (1999), pada dasarnya
suplementasi agensia defaunasi tersebut
dapat menurunkan populasi protozoa dalam
rumen, sehingga pada waktu yang bersamaan
dapat meningkatkan populasi bakteri rumen,
terutama selulotik bakteria. Dalam hal ini,
bakteri selulotik tersebut dapat mendegradasi
pakan atau zat-zat makanan secara lebih
efektif, karena ditunjang oleh ketersediaan
energi (VFA) dan nitrogen dari (N-amonia)
yang cukup sebagai akibat fraksi terlarut
yang tinggi, sehingga hasil degradasinya
lebih tinggi. Dengan ketersediaan VFA dan
N-amonia yang cukup dapat meningkatkan
sintesis protein mikroba (Sutardi, T., 1979),
sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan
degradasi DM dan OM. Semakin meningkat
sintesis protein mikroba pada sapi Bali
bunting, yaitu dari 13,3 sampai 20,8
mg/l/jam), DM tercernanya juga semakin
meningkat, yaitu dari 53,3 sampai 58,8%
(Putra, S., 2006a).
Ditinjau dari jenis agensia defaunasi,
minyak jagung ternyata paling tinggi

Pengaruh Suplementasi Agensia Defaunaasi Segar

degradasi DM dan OM-nya. Dalam hal ini,


walaupun daya defaunasi minyak jagung
lebih rendah (85 vs 95%) jika dibandingkan
dengan ubi jalar (Sutardi, T., 1995), namun
mungkin minyak jagung dapat menciptakan
ekosistem yang saling menguntungkan antara
mikroba cairan rumen. Selain faktor itu, salah
satu indikator penting dalam keberhasilan
pelaksanaan defaunasi adalah terjadinya
peningkatan populasi bakteri, terutama
bakteri selulolitik. Dengan ditunjang
produksi VFA total dan N-amonia yang
tertinggi, berarti bakteri selulolitik dapat
melakukan fungsi biodegradasinya secara
lebih efisien, sehingga DM dan OM yang
terdegradasi juga tertinggi. Sebaliknya daya
defaunasi daun ubi jalar tertinggi, namun
DM dan OM terdegradasinya relatif lebih
rendah. Dalam hal ini, barangkali ubi jalar
dari Bali yang digunakan pada penelitian ini
tidak seefektif dengan ubi jalar dari Bogor
yang digunakan dalam hal menurunkan
populasi protozoa (Sutardi, T., 1995).
Kondisi fisiologis ini belum mampu
menciptakan ekosistem mikroba cairan
rumen yang kondusif, terutama interaksinya
yang saling menguntungkan, sehingga DM
dan OM terdegrdasi relatif rendah.
Selanjutnya DM dan OM terdegradasi pada
ansum yang disuplementasi daun waru
berada pada peringkat kedua setelah minyak
jagung. Hasil penelitian ini tidak terlepas
dari kemampuan defaaunasinya seperti yang
dihasilkan, bahwa daun waru mampu
menurunkan
32,31%
protozoa
dan
meningkatkan 11,24% bakteri rumen; 9,77%
protein mikroba; serta 10,96% VFA (Putra,
S., 2006a).
Secara
keseluruhan
semakin
meningkat waktu inkubasi, terutama pada 1,5
4,5 jam, maka DM dan OM terdegradasi
juga semakin tinggi. Fenomena ini dapat
dijelaskan dengan dua pendekatan: Pertama
ditinjau dari kelarutan bahan pakan/ransum
itu sendiri, terutama pada 0-1 jam inkubasi,
semakin tinggi daya larut (solubilitas) suatu
bahan pakan akan memberi kontribusi positif
(tinggi) terhadap meningkatnya DM dan OM
terdegradasi. Produk fermentasi pada 1 jam
inkubasi ditentukan oleh solubilitas dari
bahan pakan, baik ditinjau dari bahan kering
dan bahan organiknya (Sutardi, T., 1980).
Kedua pada 3-4,5 jam inkubasi merupakan

117

Putra

puncak aktivitas mikroba cairan rumen dalam


mendegradasi pakan, karena itu semakin
tinggi DM dan OM terdegradasi lebih banyak
ditentukan oleh aktivitas mikroba rumen itu
sendiri, terbukti prduksi VFA-nya tertinggi
juga.
2.

118

Produksi VFA Total


Produksi VFA total pada ransum
kontrol adalah terendah, yaitu 61,67 mM,
sebaliknya VFA total tertinggi terdapat pada
ransum yang disuplementasi minyak jagung,
yaitu 88,33 mM (Tabel 3; P<0,07). VFA total
pada ransum yang disuplementasi kembang
sepatu 40,54% nyata lebih tinggi (P<0,007),
jika dibandingkan dengan ransum kontrol,
tetapi berbeda tidak nyata dibandingkan
dengan ransum yang disuplementasi minyak
jagung. Suplementasi ubi jalar dan waru
meningkatkan 11,22 dan 21,62% VFA total
daripada ransum kontrol. Namun, secara
statistik VFA tersebut berbeda tidak nyata,
baik dibandingkan dengan ransum kontrol
maupun ransum yang disuplementasi dengan
kembang sepatu dan minyak jagung.
Produksi VFA total nyata semakin
meningkat seiring dengan meningkatnya
waktu inkubasi, yakni dari 49 109 mM
(Tabel 4; P<0,001). Produksi VFA total pada
3 jam inkubasi berada di antara 1,5 dan 4,5
jam inkubasi, yakni 46,94% lebih tinggi
daripada 1,5 jam inkubasi dan 33,94% lebih
rendah daripada 4,5 jam inkubasi (P<0,001).
Antara agensia defaunasi dengan
waktu inkubasi terjadi interaksi terhadap
produksi VFA total. Produksi VFA total pada
suplementasi agensia defaunasi dan waktu
inkubasi nyata bervariasi, yakni antara 40
120 mM (Tabel 5; P<0,01). Produksi VFA
total tertinggi pada suplementasi agensia
defaunasi terdapat pada minyak jagung,
sedangkan pada waktu inkubasi, VFA
tertinggi terdapat pada 4,5 jam inkubasi. Ini
berarti kombinasi terbaik antara agensia
defaunasi dengan waktu inkubasi terhadap
produksi VFA total terdapat pada minyak
jagung dengan waktu inkubasi.4,5 jam.
Variasi produksi VFA secara kuantitatif
pada ransum kontrol dan ransum yang
disuplementasi agensia defaunasi pada
penelitian ini (berbasis pakan segar atau FW)
lebih rendah, yaitu (61,67 88,33 mM) vs
(106 111 mM; Putra, 2006b), jika

Jurnal Protein

dibandingkan dengan ransum berbasis


sampel kering udara (DW). Hal ini terjadi
sebagai akibat perbedaan kemampuan
mikroba cairan rumen mendegradasi DM dan
OM ransum. Hasil penelitian ini dapat
diperjelas dengan merujuk DM dan OM
terdegradasi pada ransum berbasis sampel
FW relatif lebih rendah, yaitu (15,96
19,65%) vs (22,60 24,11%) dan (15,17
19,02%) vs (20,48 22,60%), jika
dibandingkan dengan ransum berbasis
sampel DW. Secara keseluruhan variasi
produksi VFA pada penelitian ini dapat
dikatakan sebagai produksi minimal yakni
80-160 mM (Sutardi, T., 1980). Kenyataan
ini dapat dikatakan sebagai suatu proses
fisiologis yang rasional, mengingat substrat
yang dirombak dan mikroba yang
merombaknya berbeda. Perbedaan mikroba
mencerna substrat yang sama dan atau
berbeda hasil akhir atau produknya berbeda
pula, baik jumlah ataupun jenisnya
(Ogimoto, K. dan S. Imai. 1981). Produksi
VFA pada ransum yang disuplementasi
minyak jagung dan kembang sepatu dapat
ditetapkan sebagai produksi tertinggi, baik
dibandingkan dengan ransum kontrol
maupun dengan suplementasi ubi jalar dan
waru.
Penelahaan hasil penelitian ini dapat
didekati berdasarkan peranan dan esensi dari
suplementasi agensia defaunasi, yakni untuk
menurunkan populasi protozoa yang sering
mengganggu bakteri dan pada saat yang
bersamaan juga dapat meningkatkan populasi
bakteri. Dalam hal ini, jika ditinjau dari daya
defaunasi atau kemampuan minyak jagung
menyusutkan protozoa relatif lebih rendah,
yaitu 85 vs 95% dibandingkan dengan ubi
jalar (Sutardi, T., 1995), namun barangkali
kemampuan minyak jagung meningkatkan
bakteri paling tinggi. Semakin meningkatnya
bakteri, terutama bakteri selulolitik dapat
semakin meningkatkan DM dan OM
terdegradasi, sehingga menghasilkan VFA
total tertinggi.
Produksi VFA semakin meningkat
sejalan dengan meningkatnya waktu inkubasi
dari 1,5 sampai 4,5 jam inkubasi. Hasil
penelitian ini dapat dijelaskan dengan
beberapa pendekatan: (1) Pada 1,5 jam
inkubasi VFA yang diproduksi pada kelima
macam ransum dipengaruhi oleh solubilitas

Vol.13.No.2.Th.2006

ransum itu sendiri dan belum dipengaruhi


oleh aktivitas mikroba, mengingat pada saat
itu merupakan langkah awal bagi mkroba
untuk beradaptasi terhadap lingkungan yang
ada. Kondisi fisiologis ini diperjelas bahwa
proses pencernaan pakan secara fermentatif
pada 1-1,5 jam inkubasi merupakan awal
penentu dari produksi VFA dan atau amonia
suatu pakan yang berasal dari solubilitas dari
pakan itu sendiri (Sutardi, T., 1980); (2)
Produksi VFA pada 3,0 jam inkubasi
meningkat sebagai akibat dari pertumbuhan
mikroba sudah mulai meningkat sejalan
dengan kondisi ekologi yang lebih mantap,
sehingga aktivitasnya dalam mendegradasi
pakan juga meningkat. Proses fermentasi
berjalan optimal bila seluruh rangkaian reaksi
berjalan selaras (coupled reaction) (Erwanto,
1995); dan (3) Pada 4,5 jam inkubasi juga
terjadi peningkatan produksi VFA sejalan
dengan semakin meningkatnya aktivitas
mikroba mendegrasi pakan atau ransum.
Pada 3 sampai 4 jam setelah ternak
ruminansia diberi makan secara in vivo dapat
dijadikan sebagai patokan dalam penentuan
populasi mikroba rumen dan aktivitas puncak
fermentasinya
serta
produk
yang
dihasilkannya seperti VFA dan atau ammonia
(Sutardi, T., 1979).
3.

Produksi N-amonia
Produksi N-amonia pada ransum
kontrol adalah terendah, yaitu 4,23 mM,
sebaliknya tertinggi terdapat pada ransum
yang disuplementasi minyak jagung, yaitu
4,83 mM (Tabel 3; P<0,004). Ransum yang
disuplementasi waru produksi N-amonianya
9,46% nyata lebih tinggi (P<0,004) daripada
ransum kontrol dan 4,14% lebih rendah
daripada ransum yang disuplementasi
minyak jagung, tetapi perbedaan tersebut
tidak nyata. Produksi N-amonia pada ransum
yang disuplementasi ubi jalar dan kembang
sepatu masing-masing 3,78 dan 6,38% lebih
tinggi daripada ransum kontrol. Namun,
secara statistik perbedaan tersebut tidak
nyata, baik dibandingkan dengan ransum
kontrol maupun ransum yang disuplementasi
waru.
Produksi N-amonia pada 3,0 jam
waktu inkubasi tertinggi (4,70 mM; Tabel 4),
yaitu 5,15% dan 7,31% nyata lebih tinggi
(P<0,001), jika dibandingkan dengan 1,5 jam

Pengaruh Suplementasi Agensia Defaunaasi Segar

dan 4,5 jam inkubasi. Produksi N-amonia


pada 4,5 jam inkubasi menurun sampai lebih
rendah dibandingkan dengan produksi Namonia pada 1,5 jam inkubasi, tetapi
perbedaannya tidak nyata.
Antara agensia defaunasi dengan
waktu inkubasi terjadi interaksi terhadap
produksi N-amonia. Produksi N-amonia pada
suplementasi agensia defaunasi dan waktu
inkubasi nyata bervariasi, yakni antara 4,24
5,20 mM (Tabel 6; P<0,01). Produksi Namonia tertinggi pada suplementasi agensia
defaunasi terdapat pada minyak jagung,
sedangkan pada waktu inkubasi, produksi Namonia tertinggi terdapat pada 3,0 jam
inkubasi. Ini berarti kombinasi terbaik antara
agensia defaunasi dengan waktu inkubasi
terhadap produksi N-amonia terdapat pada
minyak jagung dengan waktu inkubasi 3,0
jam.
Secara keseluruhan produksi N-amonia
pada ransum kontrol dan ransum yang
disuplementasi agensia defaunasi pada
penelitian ini (berbasis sampel FW)
menunjukkan tren yang berbeda seperti pada
DM, OM terdegradasi dan produksi VFA,
yaitu lebih tinggi (4,234,83 mM) vs (3,56
4,11 mM) (Putra, S., 2006b), jika
dibandingkan dengan ransum kontrol dan
ransum yang disuplementasi agensia
defaunasi berbasis sampel DW. Walaupun
demikian, kisaran N-amonia ini tergolong
produksi yang minimal (Sutardi, T., 1976),
kisaran produksi N-amonia yang normal,
yaitu 416 mM. Menelaah lebih lanjut
tingginya produksi N-amonia pada ransum
yang disuplementasi minyak jagung dan daun
waru disebabkan oleh daya defaunasinya,
selain menurunkan protozoa juga dapat
meningkatkan populasi bakteri. Dalam hal
ini, barangkali peningkatan populasi bakteri
salah satunya yang menonjol adalah bakteri
proteolitik.
Argumentasi ini dipertegas
kurang lebih 35% mikroba rumen (Sutardi,
T., 1976), adalah bakteri proteolitik yang
mampu mendegradasi protein ransum
menjadi
amonia
yang
selanjutnya
dimanfaatkan
oleh
mikroba
untuk
pertumbuhannya dan sisanya didaurulang
menjadi urea darah ataupun saliva atau
diekskresikan ke urin. Demikian juga
suplementasi 10% daun waru pada sapi Bali
laktasi dapat menurunkan protozoa (Putra, S.,

119

Putra

1999), yaitu (8,04 vs 9,83 x 104 sel/ml));


meningkatkan populasi bakteri, yaitu (3,43
vs 2,95 x 108 kol/ml); meningkatkan
kecernaan protein, yaitu 7(5,3 vs 67,8%); dan
meningkatkan produksi amonia, yaitu (4,87
vs 2,54 mM), jika dibandingkan dengan
ransum tampa suplementasi daun waru.
Proses degradasi bahan pakan akan
menghasilkan N-amonia yang fungsinya
untuk menumbuhkan mikroba dan aktivitas
fisiologisnya,
dimana
N-amonia
ini
kemungkinan besar berkorelasi positif
terhadap sintesis protein mikroba. Secara
kuantitatif produksi N-amonia ransum yang
disuplementasi agensia defaunasi lebih tinggi
daripada ramsum tampa suplementasi agensia
defaunasi. Hasil penelitian ini dapat dibahas
dengan beberapa pendekatan di antaranya:
(1) Lebih tingginya produksi N-amonia
ransum yang disuplementasi agensia
defaunasi sebagai konsekwensi logis dari
keberhasilan agensia defaunasi meningkatkan
populasi bakteri. Dalam hal ini, walaupun
hampir 82% mikroba rumen mampu
menggunakan N-amonia (Shaefer, D.M.,
C.L. Davis and M.P. Bryant, 1980), namun
karena proses pembentukannya berjalan
secara kuantitatif, yakni mikroba rumen
terus-menerus melakukan deaminasi terhadap
protein atau asam amino pakan,, sehingga Namonia selalu tersedia bagi mikroba rumen;
dan (2) Menurunnya produksi N-amonia
pada 4,5 jam inkubasi disebabkan oleh pada
waktu inkubasi tersebut merupakan puncak
kegiatan mikroba dalam mendegradasi DM
dan OM pakan atau ransum. Ini berarti, untuk
memacu pertumbuhan mikroba cairan rumen
dan aktivitas enzim yang dihasilkannya,
maka sudah sepatutnya membutuhkan Namonia yang cukup sebagai nutrien utama,
selain VFA, terutama pada 4 jam inkubasi.
Pernyataan ini pada 3 sampai 4 jam setelah
ternak ruminansia diberi makan secara in
vivo dapat dijadikan sebagai patokan dalam
penentuan populasi mikroba rumen dan
aktivitas puncak fermentasinya serta produk
yang dihasilkannya seperti VFA dan atau
ammonia (Sutardi, T., 1976).

Jurnal Protein

Kesimpulan
Suplementasi
agensia
defaunasi
berpengaruh nyata terhadap degradasi bahan
kering, bahan organik, produksi VFA, dan
produksi N-amonia. Makin tinggi waktu inkubasi
(fermentasi) dari 1,5 sampai 4,5 jam makin tinggi
bahan kering dan bahan organik terdegradasi serta
produksi VFA, namun sebaliknya menurunkan
produksi N-amonia, terutama dari 3,0 ke 4,5 jm
inkubasi. Minyak jagung dan daun waru dapat
dijadikan sebagai agensia defaunasi terbaik
peringkat I dan II dalam meningkatkan bahan
kering, bahan organik terdegradasi dan produks
fermentasi (VFA dan N-amonia). Antara
suplementasi agensia defaunasi dengan waktu
inkubasi terjadi interaksi terhadap VFA dan Namonia dengan produksi tertinggi masing-masing
terdapat pada kombinasi minyak jagung dengan
4,5 jam waktu inkubasi dan kombinsi antara
minyak jagung dengan 3,0 jam inkubasi.
Saran
Pengujian atau evaluasi nilai nutrisi ransum
pada ternak ruminansia, terutama yang
berhubungan dengan agensia defaunasi sebaiknya
dilakukan dalam keadaan segar, baik dengan cara
digiling segar ataupun dengan diblender, agar
hasilnya sesuai dengan keadaan yang sebenarnya
di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Assosiation of Official Analytical Chemist. 1970.
Official Methods Of Analysis 11th ed. AOAC,
Washington, D.C.
Eddey, T. N., A.C. Bray, R.S. Copland and T.O.
Shea. 1981. A Course Manual in Tropical and
Goat Production Asian Australian Universities
Cooperative Scheme-University of Brawijaya
Malang. pp. 39-41.
Erwanto, 1995. Optimalisasi Sistem Fermen-tasi
Rumen melalui Suplement-asi Sulfur, Redukai
Emisi Metan dan Stimulsi Pertumbuhan Mikroba
pada Ternak Ruminansia. Disrtasi Doktor
Program Pascasarjana IPB Bogor.
Gomez, K.A. and A.A Gomez. 1995. Prosedur
Statistik untuk Penelitian Pertanian (Terjemahan)
Edisi Kedua. Universitas Indonesia Press.

KESIMPULAN DAN SARAN

120

Vol.13.No.2.Th.2006

Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo dan A.D.


Tillman. 1990. Tabel Komposisi Pakan untuk
Indonesia. Gajah Mada University Press.
Jalaludin, 1994. Uji Banding Gamal dan Angsana
sebagai Sumber Protein, Daun Kembang Sepatu
dan Minyak Kelapa sebagai Agensia Defaunasi,
dan Suplementasi Analog Hidroksi Methionin dan
Amonium Sulfat dalam Ransum Pertumbuhan
Sapi
jantan.
Thesis
Magister
Program
Pascasarjana IPB Bogor.
Kearl, L.C. 1982. Nutrition Requirement of
Ruminants in Developing Countries. International
Feedstuff Institute Utah Agric. Exp. Station Utah
State Univ. Logan Utah. USA.
Ogimoto, K. and S. Imai. 1981. Atlas of Rumen
Microbiology. Japan Scientific Societies Press,
Tokyo.
Orskov, E. R. and M. Ryle. 1990. Energy
Nutrition in Ruminant Elsevier Applied Science,
London.
Putra, S. 1999. Peningkatan Performans Sapi Bali
melalui Perbaikan Mutu Pakan dan Suplementasi
Seng Asetat.
Disertasi Doktor Program
Pascasarjana IPB Bogor.

Pengaruh Suplementasi Agensia Defaunaasi Segar

Ternak (Animal Production), Fakultas Peternakan,


Universitas Jenderal Soedirman. 8 (2): 121-130.
Shaefer, D.M., C.L. Davis and M.P. Bryant. 1980.
Ammonia saturation constant for predominant
species of rumen bacteria. J. Dairy. Sci. 63:1248.
Sutardi, T. 1976. Metabolism of Some Essential
Amino Acid by Rumen Microbes with Special
Reffrence to Alfa-keto Acid. Ph.D. Thesis Uiniv.
of Wisconsin Madison.
Sutardi, T. 1979. Ketahanan Protein Bahan
Makanan Ternak terhadap Degradasi oleh
Mikroba Rumen
dan Manfaatnya
bagi
Peningkatan Produksi Ternak.
Procceding
Seminar dan Penunjang Peternakan. LPP. Bogor.
Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Jilid I.
Departemen Ilmu Makanan Ternak. Fakultas
Peternakan.. IPB Bogor
Sutardi, T. , N.A. Sigit dan T. Toharmat. 1983.
Standarisasi Mutu Protein Bahan Makanan
Ruminansia
Berdasarkan
Parameter
Metabolismenya oleh Mikroba Rumen. Laporan
Penelitian Direktorat Pembinaan dan Pengabdian
kepada
Masyarakat,
Direktorat
Jenderal
Pendidikan Tinggi. Depar-temen Pendidikan dan
Kebudayaan.

Putra, S. 2006a. Perbaikan mutu pakan yang


disuplementasi seng setat dalam upaya
meningkatkan populasi bakteri dan protein
mikroba di dalam rumen, kecernaan bahan kering,
dan nutrien ransum sapi Bali bunting. Majalah
Ilmiah
Peternakan,
Fakultas
Peternakan,
Universitas Udayana, Denpasar. 9 (1): 1-6.

Sutardi, T. 1995. Peningkatan Produksi Ternak


Ruminansia melalui Amoniasi Pakan Serat
Bermutu Rendah, Defaunasi dan Suplementasi
Sumber Protein Tahan Degradasi dalam Rumen.
Laporan Penelitian Hibah Bersaing I/4 Perguruan
Tinggi Tahun Anggaran 1995/1996. Fapet IPB.

Putra, S. 2006b. Pengaruh suplementasi gensia


defaunasi dan waktu inkubasi terhadap bahan
kering, bahan organik terdegradasi, dan produks
fermeentasi secara in vitro. Jurnal Produksi

Yokohama, M.T. and K.A.


Johnson. 1988.
Microbiology of The Rumen and Intestine. D.C.
Church (ed). Digestive Physiology And
Nutritional of Ruminant. New Jersey.

121

Putra

Jurnal Protein

Tabel 1. Komposisi bahan pakan pada masing-masing ransum perlakuan


Ransum Perlakuan
Bahan pakan (%)
A
B
C
D
Rumput lapangan
35
30
30
30
Gamal
60
55
55
55
Lamtoro
5
5
5
5
Ubi jalar
10
Waru
10
Kembang sepatu
10
Minyak jagung
Total
100
100
100
100
Tabel 2. Kandungan nutrien pada masing-masing ransum perlakuan
Ransum Perlakuan
Nutrien (%)
A
B
C
Bahan kering
24,75
24,03
24,76
TDN
68,15
67,60
68,26
Protein kasar
20,13
20,44
20,70
Serat kasar
18,49
18,34
18,13
Lemak kasar
3,21
3,40
3,26
Abu
9,79
10,07
9,78
BETN
48,40
47,78
48,10

D
24,22
68,30
20,14
18,45
3,18
9,95
48,27

E
34
59
5
2
100

E
24,27
68,84
19,78
18,08
3,59
9,58
48,86

Tabel 3. Pengaruh suplementasi agensia defaunasi terhadap produks fermentasi


Defaunasi

DM
terdegradasi, %

OM
terdegradasi, %

VFA total
mM

Kontrol
15,96 d
15,17 c
61,67 b
c
bc
Ubi jalar
17,67
16,93
71,67 ab
b
b
Waru
20,16
19,42
75,00 ab
c
bc
Kembang sepatu
17,92
17,22
86,67 a
a
a
Minyak jagung
22,83
22,49
88,33 a
Signifikansi
P<0,001
P<0,001
P<0,007
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama adalah berbeda nyata
Tabel 4. Pengaruh lama waktu inkubasi terhadap produks fermentasi
Waktu
DM
OM
VFA total,
Inkubasi (jam)
terdegradasi, %
terdegradasi, %
mM
1,5
17,25 b
16,83 b
49,00 c
3,0
19,42 a
18,64 a
72,00 b
a
a
4,5
19,99
19,24
109,00 a
Signifikansi
P<0,001
P<0,001
P<0.001
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama adalah berbeda nyata

122

N-Amonia
mM
4,23 c
4,39 bc
4,63 ab
4,50 bc
4,83 a
P<0,004

N-Amonia,
MM
4,47 b
4,70 a
4,38 b
P<0,001

Vol.13.No.2.Th.2006

Pengaruh Suplementasi Agensia Defaunaasi Segar

Tabel 5. Interaksi antara suplementasi agensia defaunasi dan lama inkubasi terhadap
produksi VFA total
Waktu inkubasi, jam
Signifikansi
Defaunasi
1,5
3,0
4,5
Kontrol
40,00 B a
50,00 B b
95,00 A b
B
B
Ubi jalar
50,00 a
55,00 b
110,00 A ab
Waru
50,00 B a
65,00 B b
110,00 A ab
P<0.01
B
A
Kembang sepatu
55,00 a
95,00 a
110,00 A ab
Minyak jagung
50,00 B a
95,00 A a
120,00 A a
Signifikansi
P<0,01
Superskrip (huruf besar) yang berbeda pada baris yang sama adalah berbeda nyata
Superskrip (huruf kecil) yang berbeda pada kolom yang sama adalah berbeda nyata
Tabel 6. Interaksi antara suplementasi agensia defaunasi dan lama inkubasi terhadap
produksi N-amonia
Waktu inkubasi, jam
Defaunasi
Signifikansi
1,5
3,0
4,5
Kontrol
4,24 AB b
4,40 Ac
4,05 B c
A
A
Ubi jalar
4,42 ab
4,51 bc
4,25 A bc
A
A
Waru
4,56 a
4,78 b
4,56 A a
P<0.01
A
A
A
Kembang sepatu
4,45 ab
4,60 bc
4,45 ab
Minyak jagung
4,67 B a
5,20 A a
4,63 B a
Signifikansi
P<0,01
Superskrip (huruf besar) yang berbeda pada baris yang sama adalah berbeda nyata Superskrip
(huruf kecil) yang berbeda pada kolom yang sama adalah berbeda nyata

123

You might also like