You are on page 1of 14

Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia, 4(1) :53-66 (2016) ISSN : 2303-2960

PERTUMBUHAN CACING SUTERA PADA MEDIA KOTORAN PUYUH DAN


AMPAS TAHU TERFERMENTASI SERTA TEPUNG TAPIOKA DENGAN
KOMPOSISI BERBEDA

The Growth of Silk Worm on the Media of Quail Manure and Tofu Waste Fermented
and Tapioca Flour With Different Composition

Muhammad Fachri1, Mirna Fitrani1*, Yulisman1


1
PS.Akuakultur Fakultas Pertanian UNSRI
Kampus Indralaya Jl. Raya Palembang Prabumulih KM 32 Ogan Ilir Telp. 0711 7728874
*
Korespondensi email : fitranimirna@gmail.com

ABSTRACT
Silk worm is one of natural feed with high nutrien content. The supply of silk worm
is still rely on nature, therefore needs to be cultured. The aim of this research was to know
the growth of silk worm that cultured on combination media of quail manure and tofu
waste fermented and tapioca flour. This research conducted since March until May 2015 in
Laboratorium Dasar Perikanan, Aquaculture Program Study, Faculty of Agriculture,
Sriwijaya University. The research method used Completely Randomized Design (CRD)
with three treatments and three replications : (Treatment A : 50% fermented quail manure,
35% fermented tofu waste and 15% tapioca flour, Treatment B : 50% fermented quail
manure, 25% fermented tofu waste and 25% tapioca flour, Treatment C : 50% fermented
quail manure, 15% fermented tofu waste and 35% tapioca flour). The fermented quail
manure, fermented tofu waste and tapioca flour were entered to container base on
composition treatment with water flow 525 mL/min. Silk worm were put on media for 42
days. The results showed that culture of silk worm used fermented quail manure,
fermented tofu waste and tapioca flour gives significantly effect (P<0,05) on biomass
production, population and nutrition content of silk worm. The treatment B reached the
fastest time of population and the highest of population, biomass also nutrien contain.
Based on the results, the culture of silk worm use quail manure and tofu waste fermented
and tapioca flour could increase biomass, population and nutrition content of silk worm.

Keywords : tofu waste, fermentation, quail manure, growth of silk worm, tapioca flour

PENDAHULUAN minim (Direktorat Jendral Perikanan


Budidaya (2013) dalam Fajri et al.,
Salah satu permasalahan dalam (2014). Cacing sutera merupakan pakan
kegiatan budidaya perikanan adalah alami yang memiliki kandungan nutrisi
mortalitas yang tinggi pada larva ikan. yang tinggi. Penyediaan cacing sutera
Mortalitas yang tinggi ini disebabkan oleh sebagai pakan alami masih mengandalkan
ketersediaan pakan alami yang masih dari alam (Shafrudin et al., 2005)

53
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia Fachri, et al. (2015)

sehingga untuk mendukung ketersediaan dapat meningkatkan biomassa dan


cacing sutera dilakukan dengan cara pertumbuhan cacing sutera.
budidaya (Fajri et al., 2014). Dalam
kegiatan budidaya cacing sutera, Berdasarkan Fadillah (2004)
pertumbuhan cacing sutera dipengaruhi dalam Febriyani (2012) dan Febrianti
oleh bakteri dan partikel organik hasil (2004) yang membandingkan kotoran
perombakan bakteri sebagai makanan ayam terfermentasi dan tidak difermentasi
cacing sutera. Bakteri membutuhkan memberikan hasil biomassa dan populasi
kandungan C/N yang terdapat dalam cacing sutera tertinggi pada kotoran ayam
media pemeliharaan untuk menghasilkan terfermentasi. Menurut Rahman (2012)
protein sel sehingga dimanfaatkan oleh yang membandingkan antara kotoran
cacing sutera untuk pertumbuhannya puyuh terfementasi, kotoran ayam
(Casmuji, 2002). terfermentasi dan kotoran sapi
Dalam budidaya cacing sutera, terfermentasi dengan hasil biomassa
penggunaan pupuk kotoran ayam yang tertinggi cacing sutera pada kotoran puyuh
hampir 100% sebagai media budidaya terfermentasi. Selanjutnya, Fajri et al.,
belum memberikan hasil biomassa yang (2014) menggunakan kotoran ayam
tinggi bila dibandingkan penggunaan terfermentasi EM4 dikombinasikan ampas
kotoran puyuh. Hal ini dikarenakan, tahu dan tepung tapioka dapat
kotoran puyuh mengandung bahan memberikan pertumbuhan biomassa dan
organik kering dan rasio C/N lebih tinggi populasi yang lebih optimal dibandingkan
bila dibandingkan dengan kotoran ayam. dengan kotoran puyuh terfermentasi.
Nilai bahan organik kering dan rasio C/N Dengan adanya pengkombinasian bahan
berfungsi untuk meningkatkan jumlah nutrisi lain dapat meningkatkan rasio C/N
bakteri dan partikel organik hasil media pemeliharaan dan dapat
dekomposisi oleh bakteri (Syarip, 1988 meningkatkan biomassa serta kandungan
dalam Rahman, 2012). nutrisi cacing sutera. Pengkombinasian
Menurut Rahman (2012), kotoran puyuh terfermentasi dengan
teknologi fermentasi dapat meningkatkan ampas tahu terfermentasi dan tepung
kandungan nutrisi bahan organik sehingga tapioka dapat meningkatkan biomassa,

54
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia Fachri, et al. (2015)

populasi dan kandungan nutrisi cacing perlakuan B (50% kotoran puyuh


sutera. terfermentasi, 25% ampas tahu
terfermentasi dan 25% tepung tapioka)
dan perlakuan C (50% Kotoran puyuh
BAHAN DAN METODA terfermentasi, 15% ampas tahu
terfermentasi dan 35% tepung tapioka).
Bahan yang digunakan dalam
penelitian yaitu cacing sutera (kepadatan Cara Kerja
0,15 Kg/m2), kotoran puyuh, ampas tahu, Persiapan Penelitian
tepung tapioka, molase dan EM4. Alat- Kotak talang air berukuran 50 x 13
alat yang digunakan yaitu kotak talang x 10 cm3 sebagai wadah kultur cacing
air (50 x 13 x 10 cm3), pipa paralon sutera. Substrat yang digunakan adalah
diameter ½ inch, water pump, ayakan, pasir dengan media pupuk perlakuan
baskom, timbangan analitik, DO meter, adalah 1 : 1 (Syam, 2012). Bahan pupuk
pH meter, oven, gelas ukur, beaker perlakuan adalah kotoran puyuh
glass, furnace dan blender. Penelitian ini terfermentasi, ampas tahu terfermentasi
dilaksanakan pada bulan Maret – Mei dan tepung tapioka. Pembuatan fermentasi
2015 di Laboratorium Dasar Perikanan, kotoran puyuh dan ampas tahu dengan
Program Studi Budidaya Perairan, EM4 sedangkan tepung tapioka tidak
Fakultas Pertanian, Universitas difermentasi. Sistem budidaya yang
Sriwijaya. diterapkan pada budidaya cacing sutera
adalah sistem air mengalir secara tertutup
Rancangan Penelitian dengan debit air 525 mL/menit
Penelitian ini menggunakan (Sulmartiwi, 2006).
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan
tiga perlakuan dan tiga kali ulangan dan Pembuatan Media Aktivasi
merupakan modifikasi dari penelitian Fajri Mikroorganisme EM4

et al., (2014). Perlakuan dalam penelitian Aktivasi mikroorganisme EM4

ini adalah perlakuan A (50% kotoran yaitu dengan cara menyiapkan campuran

puyuh terfermentasi, 35% ampas tahu molase dan air (1:2) dengan komposisi 0,5

terfermentasi dan 15% tepung tapioka), L molase : 1 L air untuk 100 mL larutan

55
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia Fachri, et al. (2015)

EM4. Campuran molase dan air kemudian dengan bahan yang sudah dihaluskan.
direbus. Pada saat perebusan ditambahkan Larutan digunakan untuk 1 Kg pupuk
tepung gandum 20 g. Ketiga campuran perlakuan. Larutan aktivator (EM4 yang
tersebut (air, molase dan tepung gandum) telah diaktivasi dengan molase, air dan
direbus sampai mendidih, kemudian tepung gandum) dicampurkan ke dalam
dimasukkan ke dalam jerigen selama pupuk kemudian di masukkan dalam
sehari. Setelah proses pendinginan selama plastik dan ditutup kemudian didiamkan
satu hari, larutan tersebut dimasukkan 100 selama 5 hari. Setelah itu, pupuk dijemur
mL EM4 dan ditutup, didiamkan selama dibawah sinar matahari atau menggunakan
lima hari serta dikocok minimal 1 hari oven dengan suhu <60o C kemudian
sekali (Fajri et al., 2014). 1 mL EM4 yang diayak dengan ayakan berukuran 60 mesh
telah diaktivasi dapat digunakan untuk 1 dan pupuk siap digunakan (Fajri et al.,
Kg pupuk perlakuan (Masrurotun et al., 2014).
2014).
Penebaran Cacing Sutera
Pembuatan Media Pemeliharaan Sebelum dilakukan penebaran
Media pemeliharaan yang cacing sutera maka wadah pemeliharaan
digunakan adalah kotoran puyuh, ampas diisi dengan pasir dan pupuk kombinasi
tahu dan tepung tapioka. Kotoran puyuh (kotoran burung puyuh fermentasi, ampas
dan ampas tahu dikeringkan dibawah sinar tahu fermentasi dan tepung tapioka) sesuai
matahari terlebih dahulu atau dengan perlakuan dengan perbandingan 1 : 1
menggunakan oven suhu <60o C (Revlisia, (Syam, 2012) sampai ketinggian substrat 4
2012). Kemudian dihaluskan dengan cm (Febrianti, 2004). Kemudian, wadah
menggunakan blender. digenangi air setinggi 2 cm selama 10
Proses fermentasi dilakukan pada hari. Setelah 10 hari penggenangan,
kotoran puyuh dan ampas tahu. Proses dilakukan penebaran cacing sutera dengan
fermentasi kotoran puyuh dan ampas tahu padat tebar 0,15 Kg/m2.
dengan menggunakan EM4 yang telah
diaktifkan sebagai aktivator fermentasi. 1 Pemupukan Harian
mL EM4 yang sudah diaktivasi diencerkan Menurut Fajri et al. (2014),
dengan 250 mL air, kemudian dicampur penambahan pupuk dilakukan setiap hari

56
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia Fachri, et al. (2015)

dengan dosis 1 Kg/m2. Sebelum diberi menggunakan air mengalir. Cacing dan
pupuk, aliran air pada wadah dimatikan. substrat yang dicuci menggunakan air
Persiapan pupuk dilakukan dengan cara kemudian ditiriskan terlebih dahulu
mencampur media dengan air 250 mL. hingga kadar airnya berkurang, setelah itu,
Pupuk yang sudah bercampur air dituang dimasukkan ke dalam wadah dengan
secara merata pada wadah, didiamkan diberi kain kasa dan ditutup dengan
sampai pupuk mengendap. Kemudian menggunakan plastik hitam yang tidak
aliran air dinyalakan kembali. tembus cahaya. Cacing memisahkan diri
dari substratnya dan bergerak menuju
Sampling bagian atas substrat setelah didiamkan
Menurut Febrianti (2004), selama 1-2 jam (Findy, 2011). Kemudian
pengambilan sampel dilakukan pada tiga cacing ditimbang untuk mengetahui bobot
tempat setiap wadah, yaitu inlet, tengah biomassa akhir cacing sutera.
dan outlet. Pengambilan contoh substrat
dilakukan dengan cara memasukkan pipa Parameter
paralon berukuran diameter ½ inch ke Pertumbuhan Biomassa Mutlak
setiap bagian pengambilan sampel Penghitungan pertumbuhan
kemudian lubang bagian atas ditutup dan biomassa cacing sutera menurut
pipa paralon diangkat, dimasukkan ke Weatherley (1972) dalam Fajri et al.,
dalam wadah kemudian bagian permukaan (2014) yaitu W = Wt - Wo.
diberi kain kasa dan ditutup dengan
plastik hitam selama 1 jam. Kemudian Populasi Cacing Sutera
cacing diambil dari kain kasa dan Menurut Hadiroseyani et al.,
kemudian dihitung. (2007) dalam Fajri et al. (2014), bahwa
perhitungan populasi dilakukan dengan
Panen menghitung secara langsung dari
Pemanenan dilakukan setelah pengambilan sampel yaitu sebanyak 1
dilakukan pemeliharaan selama 42 hari gram kemudian dikonversikan dengan
(Marian dan Pandian, 1984). Cara biomassa cacing sutera pada masing-
pemanenan mengacu pada Fajri et al., masing perlakuan.
(2014) yaitu mencuci media dengan

57
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia Fachri, et al. (2015)

Konversi Pupuk pemeliharaan. Pengukuran amonia dan


Penghitungan konversi pupuk dengan
bahan organik air dilakukan di Balai
menggunakan rumus Rahman (2012) yaitu jumlah
Teknik Kesehatan lingkungan dan
pupuk yang digunakan dibagi dengan biomassa
Pengendalian Penyakit, Palembang.
sutera. Pengukuran bahan organik substrat
dilakukan dengan mengambil 2 g substrat
Analisa Proksimat dan Rasio C/N dan dilakukan berdasar metode kadar abu
Pengukuruan kandungan nutrisi (Takeuchi, 1988 dalam Rahman, 2012).
masing-masing bahan, pupuk perlakuan
dan cacing sutera setelah dikultur meliputi
Analisa Data
protein, lemak, abu, air dan karbohidrat.
Data yang diperoleh disajikan
Pengujian proksimat di Laboratorium
dalam bentuk tabel dan grafik. Data
Bioproses, Jurusan Teknik Kimia,
pertumbuhan biomassa mutlak cacing
Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya.
sutera dianalisa dengan menggunakan
Rasio C/N dilakukan pada pupuk
analisis sidik ragam selang kepercayaan
perlakuan di Laboratorium Kimia, Biologi
95%, jika terdapat perbedaan nyata, maka
dan Kesuburan Tanah, Program Studi
diuji lanjut dengan uji BNJ (Beda Nyata
Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian,
Jujur) selang kepercayaan 95%. Data
Universitas Sriwijaya.
kandungan nutrisi media perlakuan, rasio
C/N, persentase bahan organik substrat,
Parameter Kualitas Air dan Bahan
konversi pupuk, pertumbuhan populasi
Organik Substrat
Parameter kualitas air yang diukur cacing sutera, kandungan nutrisi cacing

meliputi suhu, pH, DO, bahan organik air, sutera dan kualitas air dianalisa secara

amonia dan bahan organik substrat deskriptif.

dilakukan pada hari ke-0, 10, 20, 30 dan


42. Pengambilan sampel air untuk
pengukuran amonia dan bahan organik HASIL DAN PEMBAHASAN

(TOM) air dilakukan pada bagian outlet Kandungan Nutrisi Media Perlakuan

(Rahman, 2012) sedangkan untuk Hasil analisa proksimat yang telah

pengukuran suhu, pH dan DO dilakukan dilakukan terhadap media perlakuan

secara langsung didalam media diperoleh hasil yang tertera pada Tabel 1.

58
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia Fachri, et al. (2015)

perlakuan C memiliki komposisi


Tabel 1. Kandungan nutrisi media campuran tepung tapioka lebih banyak
perlakuan (% bobot kering)
daripada ampas tahu terfermentasi.
PerlakuanHasil analisa proksimat (%)
Menurut Fajri et al. (2014), tepung
Protein Lemak Karbohidrat
Abu
tapioka mengandung karbohidrat tinggi
A 28,50 4,51 51,33 15,67
B 27,55 3,74 53,71 15,01 (99,6918%) sehingga campuran tepung
C 26,57 3,68 56,22 13,54 tapioka sebanyak 35% dapat
meningkatkan nilai karbohidrat.
Keterangan : Hasil analisa di Laboratorium Perlakuan B walaupun tidak
Bioproses, Jurusan Teknik Kimia, Universitas
Sriwijaya memiliki kandungan nutrisi tertinggi
namun dapat menghasilkan pertumbuhan
Berdasarkan Tabel 1., kandungan
biomassa mutlak dan populasi cacing
protein, lemak dan abu tertinggi terdapat
sutera tertinggi (Gambar 2. dan Gambar
pada perlakuan A. Hal ini diduga
3.). Hal ini diduga disebabkan oleh
perlakuan A memiliki komposisi
kecukupan kandungan nutrisi dan
campuran ampas tahu terfermentasi yang
komposisi media pemeliharaan yang tepat
lebih banyak dari tepung tapioka. Adanya
yang menghasilkan rasio C/N optimal
proses fermentasi pada ampas tahu dapat
sehingga akan mempengaruhi
meningkatkan kandungan protein dan
dekomposisi bahan organik dan nilai
lemak dikarenakan adanya pertambahan
konversi pupuk (Gambar 1.).
protein sel dari bakteri fermentor sehingga
penambahan ampas tahu yang dominan
(35%) pada perlakuan A dapat 19

meningkatkan kandungan protein dan


lemak. Hal ini didukung pernyataan Fajri
et al. (2014) dan Rahmadi (2003) bahwa
proses fermentasi dengan menggunakan
Gambar 1. Nilai persentase bahan organik,
mikroba yang terdapat dalam EM4 dapat rasio C/N dan konversi pupuk
Berdasarkan
selama Gambar 1., dengan
pemeliharaan cacing
meningkatkan kandungan nutrisi bahan sutera
komposisi media perlakuan yang tepat
(protein dan lemak). Sedangkan
akan mempengaruhi rasio C/N pupuk
kandungan karbohidrat tertinggi terdapat
perlakuan B menjadi optimal (16,01). Hal
pada perlakuan C. Hal ini diduga

59
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia Fachri, et al. (2015)

ini mendukung pernyataan Bintaryanto Pertumbuhan Biomassa Mutlak Cacing


Sutera
dan Taufikurohmah (2013), bahwa rasio
C/N yang optimal (13,54-16,00) Berdasarkan hasil penelitian,
mempengaruhi dekomposisi bahan pertumbuhan biomassa mutlak cacing
organik yang tinggi sehingga berpengaruh sutera disajikan pada Gambar 2.
terhadap pertumbuhan bakteri serta dapat
meningkatkan populasi bakteri yang
merupakan makanan cacing sutera
sehingga mampu meningkatkan
pertumbuhan cacing sutera. Rendahnya
bahan organik menandakan telah
Keterangan :
dimanfaatkan oleh bakteri dan cacing Angka yang diikuti oleh huruf superskrip berbeda
Pertumbuhan biomassa mutlak
sutera. Menurut Brinkhurst (1996), cacing menunjukkan respon berbeda nyata pada taraf uji
5% (BNJ).
sutera selain mengkonsumsi bakteri juga Gambar 2. Pertumbuhan biomassa mutlak cacing
cacing sutera tertinggisutera terdapat pada
mengkonsumsi sumber organik hasil
perlakuan B. Hal ini diduga pemberian
perombakan oleh bakteri.
komposisi bahan pupuk perlakuan dengan
Nilai konversi pupuk berbanding
persentase ampas tahu terfermentasi dan
terbalik dengan biomassa mutlak cacing
tepung tapioka yang sama akan
sutera yang dihasilkan. Seperti halnya
menghasilkan rasio C/N yang optimal
perlakuan B yang memiliki konversi
(16,01) sehingga akan menyebabkan
pupuk yang rendah dikarenakan biomassa
produksi bakteri menjadi tinggi (2,53 x
mutlak cacing sutera yang tinggi. Menurut
106 CFU.mL-1) dan dapat mencukupi
Rahman (2012), konversi pupuk terbaik
makanan cacing sutera. Hal ini didukung
merupakan konversi pupuk yang rendah
Bintaryanto dan Taufikurohmah (2013),
yang dapat memproduksi biomassa cacing
rasio C/N optimal berkisar 13,54-16,00
sutera sebesar 1 Kg.
yang diperlukan oleh bakteri sebagai
makanan dalam budidaya cacing sutera.

60
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia Fachri, et al. (2015)

Tingginya populasi bakteri pada perlakuan Pertumbuhan Populasi Cacing Sutera


B dapat mempercepat proses dekomposisi Adapun hasil pengamatan
bahan organik menjadi partikel bahan pertumbuhan populasi cacing sutera
organik yang dapat mencukupi nutrisi disajikan pada Gambar 3.
cacing sutera sehingga dapat
meningkatkan biomassa cacing sutera.
Menurut Shafrudin et al. (2005), adanya
dekomposisi bahan organik menjadi
sumber organik oleh bakteri menyebabkan
kandungan nutrisi media pemeliharaan
dapat dicerna oleh cacing Tubifex sp.
Rendahnya biomassa mutlak
cacing sutera perlakuan A dan C diduga
dikarenakan rasio C/N pupuk perlakuan
yang dihasilkan menjadi lebih tinggi dari
Pertumbuhan populasi cacing
rasio C/N yang dibutuhkan oleh bakteri
sutera pada masing-masing perlakuan
dalam media kultur cacing sutera
menunjukkan pertumbuhan yang berbeda.
(perlakuan A 16,81 dan C 18,46) sehingga
Hal ini terlihat dari Gambar 3., Perlakuan
menyebabkan rendahnya kelimpahan
B mencapai puncak populasi terlebih
bakteri (2,41 x 106 CFU.mL-1 dan 2,37 x
dahulu pada hari ke-30 namun mengalami
106 CFU.mL-1) sebagai makanan cacing
penurunan pada hari ke-42. Hal ini diduga
sutera. Hal ini didukung oleh Bintaryanto
komposisi pupuk perlakuan yang
dan Taufikurohmah (2013), rasio C/N >16
digunakan memiliki nilai rasio C/N
akan menyebabkan bahan organik lebih
optimal (16,01) yang mempengaruhi
lama didekomposisi oleh bakteri
produksi bakteri yang tinggi sehingga
dibandingkan rasio C/N 13,92-16,00
mencukupi makanan cacing sutera.
sehingga kelimpahan bakteri menjadi
sedikit.

61
Adanya produksi bakteri yang menurun setelah 38 hari pemeliharaan
tinggi mempengaruhi kecukupan makanan karena disebabkan oleh kematian cacing
yang mempengaruhi berat tubuh dan sutera dewasa.
reproduksi cacing sutera sehingga Perlakuan A dan C mencapai
menghasilkan jumlah kokon yang lebih puncak populasi yang lebih lambat. Hal
banyak. Hal ini didukung oleh Lobo et al., ini diduga rasio C/N pada perlakuan A
(2011) dalam Nurfitriani et al. (2014), dan C mempengaruhi rendahnya bakteri
bobot tubuh cacing sutera akan sebagai makanannya. Rendahnya
mempengaruhi jumlah telur per kokon dan makanan cacing sutera menyebabkan
reproduksi cacing sutera. proses reproduksi menjadi lebih lambat.
Penurunan populasi pada Hal ini didukung oleh Nurfitriani et al.,
perlakuan B pada hari ke-42 diduga (2014), rendahnya ketersediaan makanan
karena tidak terdapatnya cacing sutera cacing sutera secara tidak langsung
dewasa mulai dari hari ke-30 berpengaruh pada kemampuan reproduksi.
pemeliharaan dan menurunnya
kemampuan cacing dewasa untuk Kandungan Nutrisi Cacing Sutera
menghasilkan individu baru, sementara Berdasarkan hasil analisa
cacing yang masih muda belum mampu proksimat kandungan nutrisi cacing sutera
bereproduksi dan adanya kematian cacing yang telah dikultur menunjukkan hasil
yang sudah mencapai usia tua. Hal ini kandungan nutrisi cacing sutera yang
didukung oleh Bouguenec dan Giani berbeda. Adapun hasil analisa proksimat
(1989) dalam Febriyani (2012), kandungan nutrisi cacing sutera disajikan
pertumbuhan populasi cacing sutera pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil analisa proksimat cacing sutera (% bobot kering)


Perlakuan Hasil analisa proksimat (%)
Awal Akhir
Protein Lemak Karbohidrat Abu Protein Lemak Karbohidrat Abu
A 53,77 19,67 3,08 23,48 57,33 20,20 3,26 19,22
B 53,77 19,67 3,08 23,48 58,13 21,38 4,88 15,63
C 53,77 19,67 3,08 23,48 55,33 20,00 9,80 14,87
Keterangan : Hasil analisa di Laboratorium Bioproses, Jurusan Teknik Kimia, Universitas Sriwijaya

62
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia Fachri, et al. (2015)

Berdasarkan Tabel 2. perlakuan Kandungan oksigen terlarut


B memiliki kandungan protein dan masih dalam kisaran toleransi untuk
lemak tertinggi. Sedangkan perlakuan pemeliharaan cacing sutera. Menurut
C memiliki kandungan protein dan Dausend (1931) dalam Pennak (1953),
lemak terendah. Hal ini diduga pada oksigen terlarut bukan menjadi faktor
perlakuan B memiliki rasio C/N pembatas dikarenakan cacing sutera
optimal sedangkan C memiliki rasio dapat bertahan hidup dalam kondisi
C/N yang kurang optimal. Rasio C/N tanpa oksigen (anaerob) selama 48
yang optimal akan mempengaruhi hari. Kandungan amonia selama
pertumbuhan bakteri dan populasi pemeliharaan mengalami perubahan
bakteri perlakuan B menjadi tinggi dimana terjadi penurunan konsentrasi
sehingga mempercepat proses amonia. Hal ini dikarenakan adanya
dekomposisi bahan organik oleh perombakan dan pemanfaatan N oleh
bakteri. Adanya proses dekomposisi bakteri dalam media pemeliharaan serta
yang cepat menyebabkan nutrisi pupuk adanya sistem resirkulasi. Menurut
perlakuan dapat diserap oleh cacing Febriyani (2012) bahwa pengaliran air
sutera yang akan mencukupi kebutuhan secara kontinyu menyebabkan adanya
nutrisi cacing sutera yang pada pencucian oleh air sehingga
akhirnya dapat meningkatkan menyebabkan penurunan kandungan
kandungan nutrisi cacing sutera. Hal ini amonia.
mendukung pernyataan Nurfitriani et Hasil pengukuran total bahan
al. (2014), bahwa kandungan nutrisi organik atau TOM air masih dalam
cacing sutera dipengaruhi oleh kisaran untuk menunjang pertumbuhan
kelimpahan makanan sehingga cacing sutera. TOM air memiliki pola
mencukupi kebutuhan cacing sutera. peningkatan pada hari akhir
pemeliharaan. Hal ini diduga adanya
Kualitas Air penambahan pupuk harian pada media
Berdasarkan hasil penelitian pemeliharaan cacing sutera dapat
yang telah dilakukan didapat nilai meningkatkan kandungan TOM air.
kualitas air yang meliputi suhu, pH, Menurut Febrianti (2004), pemberian
DO, ammonia dan bahan organik air. pupuk harian pada media pemeliharaan
secara langsung akan mempengaruhi

63
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia Fachri, et al. (2015)

bahan organik. Hal ini juga didukung DAFTAR PUSTAKA


oleh Padriansyah (2014), bahwa
pemberian pupuk secara reguler dapat Angel AJ., Pilar R dan Maite MM.
2004. Tubifex tubifex chronic
meningkatkan nilai TOM air. toxicity test using artificial
sediment : methodological
issues. Limnetica. 23(1-2):25-
KESIMPULAN DAN SARAN 36.
Kesimpulan Bintaryanto BW dan Taufikurohmah T.
Perlakuan B dengan komposisi 2013. Pemanfaatan campuran
limbah padat (sludge) pabrik
50% kotoran puyuh terfermentasi, 25% kertas dan kompos sebagai
ampas tahu terfermentasi dan 25% media budidaya cacing sutra
(Tubifex sp.). Journal of
tepung tapioka merupakan perlakuan Chemistry 2(1) :1-7.
terbaik dengan menghasilkan biomassa Brinkhurst RO. 1996. On the role of
mutlak 3,89 2
Kg/m , populasi tubificid oligochaetes in relation
to fish disease with special
737,05x103 ind/m2 dengan pencapaian reference to the myxozoa.
populasi tertinggi pada hari ke-30. Annual Review of Fish Disease.
6 : 29-40.
Cacing sutera yang dihasilkan pada
Casmuji. 2002. Pengunaan Supernatan
perlakuan B memiliki kandungan Kotoran Ayam dan Tepung
protein dan lemak yang lebih tinggi Tapioka dalam Budidaya
Dapnhia sp., Skripsi S1 (Tidak
dibandingkan dengan perlakuan dipublikasikan). Program Studi
lainnya. Budidaya Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institu Pertanian Bogor, Bogor.
Saran Fajri NW., Suminto dan Hutabarat J.
Diperlukan penelitian lanjutan 2014. Pengaruh penambahan
kotoran ayam, ampas tahu dan
mengenai pengaruh frekuensi tepung tapioka dalam media
pemupukan yang berbeda dengan kultur terhadap biomassa,
populasi dan kandungan nutrisi
menggunakan komposisi pupuk 50% cacing sutera (Tubifex sp.).
kotoran puyuh terfermentasi, 25% Jour. of Aquaculture Manag.
And Tech. 3(4) : 101-108.
ampas tahu terfermentasi dan 25%
Febrianti D. 2004. Pengaruh
tepung tapioka terhadap pertumbuhan Pemupukan Harian dengan
Kotoran Ayam Terhadap
cacing sutera.
Pertumbuhan Populasi dan
Biomassa Cacing Sutra, Skripsi
S1 (Tidak dipublikasikan).

64
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia Fachri, et al. (2015)

Departemen Budidaya Perairan, Pardiansyah D. 2014. Pemanfaatan


Fakultas Perikanan dan Ilmu Limbah Budidaya Ikan Lele
Kelautan, Institut Pertanian (Clarias sp.) Sistem Bioflok
Bogor, Bogor. untuk Budidaya Caacing Sutera
(Tubificidae). Tesis S2 (Tidak
Febriyani M. 2012. Budidaya Cacing
dipublikasikan). Sekolah Pasca
Oligochaeta dengan Padat
Sarjana, Institut Pertanian
Penebaran Berbeda pada
Bogor, Bogor.
Sistem Terbuka, Skripsi S1
(Tidak dipublikasikan). Pennak RW. 1953. Fresh-Water
Departemen Budidaya Perairan, Invertebrates of United States.
Fakultas Perikanan dan Ilmu The Ronald Press Company,
Kelautan, Institut Pertanian New York.
Bogor, Bogor. Rahmadi D. 2013. Pengaruh lama
Findy S. 2011. Pengaruh Tingkat fermentasi dengan kultur
Pemberian Kotoran Sapi mikroorganisme campuran
terhadap Pertumbuhan terhadap komposisi kimiawi
Biomassa Cacing Sutra kubis. J.Indon.Trop.Anim.Agri.
(Tubificidae), Skripsi S1 (Tidak 28(2) : 90-94.
dipublikasikan). Departemen Rahman WJ. 2012. Efektivitas
Budidaya Perairan, Fakultas Penggunaan Berbagai Pupuk
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Kandang yang Difermentasi
Institut Pertanian Bogor, Bogor. pada Budidaya Cacing Sutra
Marian MP dan Pandian TJ. 1984. Oligochaeta, Skripsi S1 (Tidak
Culture and harvesting dipublikasikan). Departemen
technique for Tubifex tubifex. Budidaya Perairan, Fakultas
Aquaculture. 42 : 303-315. Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Masrurotun, Suminto dan Hutabarat J.
2014. Pengaruh penambahan Revlisia R. 2012. Evaluasi Kandungan
kotoran ayam, silase ikan rucah Nutrien Panicum Maximum,
dan tepung tapioka dalam media Brachiaria decumbens dan
kultur terhadap biomassa, Pueraria thunbergiana melalui
populasi dan kandungan nutrisi Metode Pengeringan yang
cacing sutera (Tubifex sp.). Berbeda, Skripsi S1 (Tidak
Jour. of Aquaculture Manag. dipublikasikan). Departemen
And Tech. 3(4) : 151-157. Ilmu Nutrisi dan Teknologi
Pakan, Fakultas Peternakan,
Nurfitriani L., Suminto dan Hutabarat
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
J. 2014. Pengaruh penambahan
kotoran ayam, ampas tahu dan Shafrudin DW., Efiyanti dan
silase ikan rucah dalam media Widanarni. 2005. Pemanfaatan
kultur terhadap biomassa, ulang limbah organik dari
populasi dan kandungan nutrisi Tubifex sp., di alam. Jour.
cacing sutera (Tubifex sp.). Akuakultur Indo. 4(2) : 97-102.
Jour. of Aquaculture Manag. Sulmartiwi L. 2006. Modification of
And Tech. 3(4) : 109-117. water flow rate in Tubifex sp.,
culture to increase quality of

65
Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia Fachri, et al. (2015)

ornament fish. Media Jur. Ilmi.


Perikanan dan Kelautan. 1(1).
(Abstr.).
Syam FS. 2012. Produktivitas
Budidaya Cacing Sutra
(Oligochaeta) dalam Sistem
Resirkulasi Menggunakan Jenis
Substrat dan Sumber Air yang
Berbeda, Skripsi S1 (Tidak
dipublikasikan). Departemen
Budidaya Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.

66

You might also like